Anda di halaman 1dari 13

Teori Belajar Behavioristik dalam Pembelajaran

Fithrotul Kamilia
Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Walisongo Semarang
fithrotulkamilia21@gmail.com

ABSTRAK
Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui teori belajar behavioristik
dalam pembelajaran. Teori belajar behaviorisme berorientasi pada hasil yang dapat
diukur, diamati, dianalisis, dan diuji secara obyektif. Pengulangan dan pelatihan
digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang
diharapkan dari penerapan teori behaviorisme ini adalah terbentuknya suatu
perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan
perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian
didasarkan atas perilaku yang tampak.

Kata Kunci: Teori Belajar, Behavioristik, Pembelajaran

A. PENDAHULUAN
Secara sederhana, teori belajar adalah suatu prinsip umum atau kumpulan
prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta
dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Teori belajar adalah
suatu tesis-tesis yang mendeskripsikan beragam aspek pada hakikat belajar.
(Shahbana et al., n.d.). Teori belajar behaviorisme berorientasi pada hasil yang
dapat diukur, diamati, dianalisis, dan diuji secara obyektif. Pengulangan dan
pelatihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan.
Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behaviorisme ini adalah
terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan
mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat
penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasarkan atas perilaku yang
tampak. Dalam teori belajar ini guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi
instruksi singkat yang diikuti contoh, baik dilakukan sendiri maupun melalui
simulasi (Rahyubi, 2016).

1
Penggunaan teori belajar dengan langkah dan strategi pembelajaran yang
tepat akan mempermudah peserta didik dalam memahami sesuatu yang sedang
dipelajari. Selain itu, suasana dan kondisi lingkungan belajar akan terasa lebih
kondusif, nyaman dan menyenangkan. Pada hakikatnya belajar merupakan
suatu proses perubahan tingkah laku (Wiranta, et.al., 2022).

B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini, peneliti menggunakan metode kulatitatif yang berfokus
pada kajian literatur. Kajian literatur merupakan sebuah uraian atau deskripsi
tentang literatur yang relevan dengan bidang atau topik tertentu. Ia memberikan
tinjauan mengenai apa yang telah dibahas atau yang telah dibicarakan oleh
peneliti atau penulis, teori atau hipotesis yang mendukung, permasalahan
penelitian yang diajukan atau ditanyakan, metode dan metodologi yang sesuai.
Untuk menjelaskan mengenai teori belajar behavioristik dalam pembelajaran,
penulis melakukan kajian literatur dan untuk memperoleh data-data yang
dilakukan, maka penulis menggunakan buku-buku yang berkenaan dengan
topik yanga ada, supaya menemukan paparan yang baik mengenai teori belajar
behavioristik dalam pembelajaran.

C. PEMBAHASAN
1. Pengertian Teori Belajar Behavioristik
Behaviorisme dari kata behave yang berarti berperilaku dan isme
berarti aliran. Behavorisme merupakan pendekatan dalam psikologi yang
didasarkan atas proposisi (gagasan awal) bahwa perilaku dapat dipelajari
dan dijelaskan secara ilmiah. Dalam melakukan penelitian, behavioris tidak
mempelajari keadaan mental (Nurlina, et al., 2021).
Teori belajar Behavioristik merupakan salah satu aliran psikologi
yang memandang bahwasannya perilaku belajar seseorang atau individu
hanya pada kejadian atau fenomena yang tampak secara kasat mata atau
jasmaniah dan mengabaikan aspek-aspek mental hal ini di kemukakan oleh
Soesilo. Aliran psikologi atau teori belajar behavioristik tidak melibatkan

2
minat, emosi, dan perasaan individu dalam proses belajar. Peristiwa dalam
pelaksanaan pembelajaran hanya semata-mata karena stimulus dan respon
yang diberikan kemudian hal tersebut menjadi sebuah kebiasaan yang di
kuasi oleh individu. Belajar apabila ditinjau dari pandangan behavioristik
bisa disederhanakan lagi merupakan suatu bentuk perubahan yang dialami
individu berupa kemampuan dalam bentuk perubahan tingkah laku dengan
cara yang baru sebagai hasil dari adanya stimulus dan respon (Shahbana et
al., n.d.).
Teori Behavioristik hanya menganalisis perilaku yang tampak saja,
yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Teori kaum behavioris lebih
dikenal dengan nama teori belajar karena seluruh perilaku manusia adalah
hasil belajar. Teori behavioristik disebut juga stimulus – response theory (S
– R), kelompok ini mencakup tiga teori yaitu S-R Bond, conditioning, dan
reinforcement (Hapudin, 2021).
Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar adalah perubahan
perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dinilia secara konkret. Perubahan
terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan
perilaku reaktif (response) berdasarkan hukum-hukum mekanistik.
Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal
maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan, response
adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar
berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat, dan kecenderungan perilaku S-R
(Stimulus-Respons) (Thobroni, 2015).

2. Tokoh-tokoh Behaviorisme
Tokoh-tokoh penting yang mengembangkan teori belajar
behavioristik, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Ivan Petrovich Pavlov
Pavlov banyak menyumbangkan gagasan dan pemikirannya dalam
ilmu psikologi. Pendapatnya mengenai refleks terkondisi, adalah akibat
dari hasil pekerjaannya yang secara keseluruhan berbeda-beda di setiap

3
tempat. Teori Pavlov terkenal dengan sebutan teori classical
conditioning yang juga disebut response conditioning atau Pavloving
conditioning. Teori ini merupakan teori belajar kategori Stimulus-
Respons (S-R) tipe S. Classical conditioning (pengkondisian atau
persyaratan klasik) ada lah proses yang ditemukan Pavlov melalui
percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral
dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga
memunculkan reaksi yang diinginkan. Kata classical yang mengawali
nama teori ini semata-mata dipakai untuk menghargai karya Pavlov yang
dianggap paling dahulu di bidang conditioning (upaya pembiasaan) dan
untuk membedakannya dari teori conditioning lain yang dipakai oleh
para pemikir behavioris lainnya. Teori Pavlov ini juga dapat disebut
respondent conditioning. Dalam pemikiran Pavlov, ada konsep
pengkondisian (conditioning), serta hadiah (reward) dan hukuman
(punishment) (Rahyubi, 2016).
Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain
tampaknya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala
gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya. Hal ini sesuai dengan
pendapat Bakker, seorang pemikir lainnya, bahwa yang paling sentral
dalam hidup manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara,
melainkan tingkah lakunya. Pikiran seseorang mengenai tugas atau
rencana baru mendapatkan arti yang benar jika ia melakukan atau berbuat
sesuatu. Sedikit berbeda dengan eksperimen pada anjing dengan media
bel seperti dilakukan di atas, Pavlov kini melakukan percobaan dengan
cara mengoperasi leher seekor anjing sehingga kelenjar air liurnya
terlihat dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan
keluarlah air liur anjing tersebut. Kini sebelum makanan diperlihatkan,
maka yang diperlihatkan adalah sinar merah terlebih dahulu, baru
makanan. Maka, air liur anjing pun keluar. Apabila perbuatan yang
demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan

4
hanya memperlihatkan sinar merah saja tanpa makanan, maka air liur
anjing pun akan keluar pula (Rahyubi, 2016).

2) Edward Lee Thorndike (1874 – 1949)


Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus
dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan
belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap
melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan
pebelajar ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar
dapat berwujud konkret, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkret
yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat
mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana
cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike
ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Rahyubi, 2016). Jadi
perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit,
yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat
diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan
pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur
tingkah laku yang tidak dapat diamati.
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike (B.R.
Hergenhahn & Mattew H. Olson, 2019) yaitu: hukum kesiapan (law of
readiness), hukum latihan (law of exercise), dan hukum akibat (law of
effect). Pertama, hukum kesiapan (law of readiness), mengandung tiga
bagian, yakni (a) ketika seseorang siap untuk melakukan suatu tindakan,
maka melakukannya akan mendapatkan kepuasan; (b) ketika seseorang
siap untuk melakukan suatu tindakan, maka tidak melakukannya akan
menjengkelkan; dan (c) ketika seseorang belum siap untuk melakukan
suatu tindakan, maka melakukannya akan menjengkelkan. Inti dari
hukum kesiapan ini adalah belajar memerlukan kesiapan agar
mendapatkan kepuasan dan menghindarkan dari kejengkelan. Kedua

5
hukum latihan (law of exercise or repetition), yang terdiri dari dua
bagian, yakni: (a) law of use (hukum penggunaan), hubungan antara
stimulus dengan respons akan menguat saat keduanya dipakai; (b) law of
disuse (hukum ketidakgunaan), hubungan antara situasi dan respon akan
melemah apabila hubungan dihentikan. Inti dari hukum latihan ini
menyatakan bahwa manusia belajar dengan berbuat dan lupa karena tidak
berbuat. Jadi latihan akan memperkuat hubungan stimulus respon.
Ketiga, hukum efek (law of effect), jika suatu stimulus menimbulkan
respon yang pada gilirannya menimbulkan penguatan (reinforcement)
maka hubungan stimulus respon akan menguat. Begitu pula sebaliknya
jika stimulus menimbulkan respon yang berdampak menimbulkan
hukuman maka hubungan stimulus respon akan melemah. Intinya pada
hukum efek ini bahwa hubungan stimulus respon diperkuat bila disertai
rasa senang.

3) John Broadus Watson (1878 -1958)


Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara
stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus
berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observable) dan dapat
diukur. Dengan kata lain, meskipun ia mengakui adanya perubahan-
perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia
menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu
diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa perubahan-perubahan mental
dalam bentuk benak siswa itu penting, namun semua itu tidak dapat
menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau belum karena tidak
dapat diamati.
Teori behavioristik Watson disebut teori belajar S-R (stimulus–
respon) yang disebut teori behaviorisme atau teori koneksionisme
menurut Thorndike, namun dalam perkembangan besarnya
koneksionisme juga dikenal dengan psikologi behavioristik. Stimulus
dan respon (S-R) tersebut memang harus dapat diamati, meskipun

6
perubahan yang tidak dapat diamati seperti perubahan mental itu penting,
namun menurutnya tidak menjelaskan apakah proses belajar tersebut
sudah terjadi apa belum. Dengan asumsi demikian, dapat diramalkan
perubahan apa yang akan terjadi pada anak. Teori perubahan perilaku
(belajar) dalam kelompok behaviorisme ini memandang manusia sebagai
produk lingkungan. Segala perilaku manusia sebagian besar akibat
pengaruh lingkungan sekitarnya. Lingkunganlah yang membentuk
kepribadian manusia. Behaviorisme tidak bermaksud
mempermasalahkan norma-norma pada manusia. Apakah seorang
manusia tergolong baik, tidak baik, emosional, rasional, ataupun
irasional. Di sini hanya dibicarakan bahwa perilaku manusia itu sebagai
akibat berinteraksi dengan lingkungan, dan pola interaksi tersebut harus
bisa diamati dari luar. Belajar dalam teori behaviorisme ini selanjutnya
dikatakan sebagai hubungan langsung antara stimulus yang datang dari
luar dengan respons yang ditampilkan oleh individu. Respons tertentu
akan muncul dari individu, jika diberi stimulus dari luar. S singkatan dari
Stimulus, dan R singkatan dari Respons (Akhiruddin et al., 2019).

4) Edwin Ray Guthrie (1886-1959)


Prinsip utama teori pembelajaran Guthrie adalah hukum
kontiguitas, yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu
gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung diikuti oleh gerakan yang
sama. Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus respon
untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar teerjadi karena
gerakan teerakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan
tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya
melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan
mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan
respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar pebelajar/
perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan
respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa

7
hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar.
Hukuman yang dibeerikan pada saat yang tepat, mampu mengubah
tingkah laku seseorang. Saran utama dari teori ini adalah guru/dosen
harus dapat mengasosiasikan stimulus respon secara tepat. Pebelajar
harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola
kelas guru/dosen tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan
oleh anak (Rahyubi, 2016).

5) Burrhus Frederic Skinner (1904 - 1990)


Konsep-konsep yang dikemukakan Skinner tentang belajar lebih
mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan
konsep belajar secara sederhana, namu lebih komprehenshif. Menurut
Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui
interaksi dengan lingkungannya, dan menimbulkan perubahan tingkah
laku. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu,
karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan
interaksi antar stimulus itu memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon
yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-
konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi munculnya perilaku
(Alizamar, 2016).
B.F. Skinner dikenal sebagai tokoh behavioris dengan pendekatan
model instruksi langsung (directed instruction) dan meyakini bahwa
perilaku dikontrol melalui proses pengkondisian operan (operant
conditioning). Gaya mengajar guru dilakukan dengan beberapa
pengantar dari guru secara searah dan dikontrol guru melalui
pengulangan (drill) dan latihan (exercise) (Rahyubi, 2016). Dalam
percobaannya, Skinner mendapatkan tipe tingkah laku yang secara
spesifik ditujukan kepada perangsang lingkungan yang diistilahkannya
dengan operant behavior. Oleh sebab itu, teorinya disebut Operant
Conditioning. Ada beberapa konsep yang berhubungan Conditioning
adalah sebagai berikut: (a) positive and negative reinforcement; (b)

8
shapping; (c) successive approximation; (d) extinction; (e) chaining; (f)
schedules of reinforcement (Alizamar, 2016).
Berdasarkan berbagai percobaannya pada tikus dan burung
merpati, Skinner berpendapat bahwa unsur terpenting dalam belajar
adalah penguatan (reinforcement). Pengetahuan yang terbentuk melalui
ikatan stimulus-respons akan semakin kuat bila diberi penguatan.
Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan
penguatan negatif. Penguatan positif sebagai stimulus dapat
meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu, sedangkan
penguatan negatif dapat mengakibatkan perilaku berkurang atau
menghilang, Bentuk-bentuk penguatan positif berupa hadiah (permen,
makanan, dan lain-lain), perilaku (senyum, bertepuk tangan,
mengacungkan jempol), atau penghargaan (nilai A. Juara 1, dan
sebagainya). Sedangkan bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain
menunda/tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan, dan
menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, muka kecewa, marah,
dan lain-lain) (Rahyubi, 2016).

6) Clark Leonard Hull


Clark Hull merupakan salah satu tokoh behaviorisme yang
terpengaruh oleh teori evolusi Carles Darwin. Hull beranggapan semua
fungsi perilaku berguna untuk menjaga individu agar tetap hidup. Hull
mengatakan kebutuhan biologis (drive atau dorongan) dan pemuasan
kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati
posisi utama dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus
(stimulus/dorongan) dalam belajar pun hampir selalu dikaitkan dengan
kebutuhan biologis, walaupun respons yang akan muncul mungkin dapat
berwujud macam-macam. Menurut Eveline Siregar & Hartini Nara
implikasinya praktisnya adalah guru harus merencanakan kegiatan
belajar berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap motivasi
belajar yang terdapat pada siswa. Dengan adanya motivasi maka belajar

9
merupakan penguatan. Makin banyak belajar makin banyak
reinformcement, makin motivasi memberikan respon yang menuju
keberhasilan belajar (Setiawan, 2017).

3. Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Behavioristik


Ahli pendidikan menyampaikan sejumlah kritik terhadap teori belajar
behavioristik mengenai beberapa kelemahan yang muncul, kritik atas
kelemahan tersebut (Setiawan, 2017) yaitu:
a. Teori ini mengabaikan pikiran sehingga tidak mengadaptasi dan tidak
mampu menjelaskan berbagai jenis pembelajaran, dan cenderung
mementingkan perilaku yang tampak;
b. Tidak mampu menjelaskan, variasi tingkat emosi siswa, dan tidak
mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks;
c. Tidak mementingkan pikiran, dan cenderung mengarahkan peserta didik
untuk berpikir linear, konvergen, tidak kreatif, dan tidak prroduktif.
Selain beberapa kritik yang muncul tentunya ada beberapa kelebihan
yang didapat dari teori belajar behavioristik (Setiawan, 2017) di antaranya
yaitu:
a. Cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan
pembiasaan yang mengandung unsur- unsur seperti kecepatan,
spontanitas, kelenturan, refleks, dan daya tahan. Contoh: percakapan
bahasa asing, mengetik, menari, berenang, olahraga;
b. Cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan
dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan,
suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung
seperti diberi hadiah atau pujian;
c. Dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan
stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang
diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan;
d. Membangun konsentrasi pikiran, dalam teori ini ada penguatan dan
hukuman bila di rasa perlu;

10
e. Materi yang di berikan sangat detail.

4. Aplikasi dan Implikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan


Pembelajaran
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung
dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran,
karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik
memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.
Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah
perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan
pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang
sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah,
sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan
oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut (Djamaluddin & Wardana,
2019).
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran
dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pembelajaran
untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya
sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis
dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti
kinerja mesin atau robot. Akibatnya pembelajar kurang mampu untuk
berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka (Shahbana et
al., n.d.). Berikut beberapa implikasi teori belajar behavioristik dalam
pembelajaran (Setiawan, 2017), yaitu:
a. Pembelajaran yang disusun dan berdasarkan pada teori behaviorisme
memandang pengetahuan secara obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.
Pengetahuan sudah tertata dengan rapi, sehingga belajar adalah
perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan
pengetahuan (transfer of knowledge) kepada peserta didik.

11
b. Peserta didik dianggap sebagai objek pasif yang memerlukan motivasi
dan penguatan dari pendidik
c. Teori behaviorisme dalam pembelajaran sedikit memberikan kebebasan
bagi peserta didik untuk berkreasi, bereksperimentasi dan
mengembangkan kemampuan.
d. Peserta didik dikendalikan oleh aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan
secara ketat.
e. Tujuan pembelajaran berfokus menambahkan pengetahuan, sedangkan
belajar sebagi aktivitas untuk mengungkapkan kembali pengetahuan
yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, ataupun tes.
f. Evaluasi menekankan pada perilaku yang nampak, respon pasif,
ketrampilan.

D. KESIMPULAN
Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar adalah perubahan
perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dinilia secara konkret. Perubahan
terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku
reaktif (response) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain
adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang
menjadi penyebab belajar. Sedangkan, response adalah akibat atau dampak,
berupa reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan,
asosiasi, sifat, dan kecenderungan perilaku S-R (Stimulus-Respons). Tokoh-
tokoh penting yang mengembangkan teori belajar behavioristik, yaitu: Ivan
Petrovich Pavlov, Edward Lee Thorndike, John Broadus Watson, Edwin Ray
Guthrie, Burrhus Frederic Skinner, dan Clark Leonard Hull. Teori belajar
behavioristik terdapat kelebihan dan kekurangan.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari
beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik
pembelajaran, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran
yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa
pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Implikasi dari teori

12
behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang
gerak yang bebas bagi pembelajaran untuk berkreasi, bereksperimentasi dan
mengembangkan kemampuannya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Akhiruddin, Sujarwo, & Atmowardoyo, H. N. (2019). Belajar dan Pembelajaran.
In Cv. Cahaya Bintang Cemerlang.
Alizamar. (2016). Teori Belajar dan Pembelajaran: Implementasi dalam
Bimbingan Kelompok Belajar di Perguruan Tinggi. Media Akademi.
B.R. Hergenhahn & Mattew H. Olson. (2019). Theories Of Learning (7th ed.).
Kencana.
Djamaluddin, A., & Wardana. (2019). Belajar Dan Pembelajaran. In CV Kaaffah
Learning Center.
Nurlina, Nurfadilah, dan A. B. (2021). Teori belajar dan pembelajaran (H.
Bancong (ed.)). LPP Unismuh Makassar. http://repository.uin-
malang.ac.id/6124/
Rahyubi, H. (2016). Teori-Teori Belajar dan Aplikasi Pembelajaran Motorik
(Deskripsi dan Tinjauan Kritis). Nusa Media.
Setiawan, A. (2017). Belajar dan Pembelajaran. Uwais Inspirasi Indonesia.
https://www.coursehero.com/file/52663366/BELAJAR-DAN-
PEMBELAJARAN1-convertedpdf/
Shahbana, E. B., Kautsar farizqi, F., & Satria, R. (n.d.). Implementasi Teori
Belajar Behavioristik Dalam Pembelajaran. Jurnal Serunai Administrasi
Pendidikan, 9(1), 24–33. https://doi.org/10.37755/jsap.v9i1.249
Wiranta, et.al. (2022). Penerapan Teori Belajar Skinner. Saliha, 5(1), 78–91.

13

Anda mungkin juga menyukai