Anda di halaman 1dari 11

PERSPEKTIF TEORI BEHAVIORISTIK DALAM BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

Oleh: Nurfarhanah
Universitas Negeri Padang

Abstract

Learning can be defined as a permanent influence on behavior, knowledge, and


thinking skills acquired through experience. Learning theory of behavioristik
explains that learning is a change in behavior that can be observed, measured
and assessed in the concrete. Change occurs is through stimulation (stimulus)
that causes reactive behavior relationship (response) based on mechanistic laws.
In this article will discuss about behavioral approach, also known as different
characteristics, both the human perspective, to its application to learning.

Keywords: teori behavioristik, belajar, pembelajaran

PENDAHULUAN
Pendekatan behavioristik merupakan orientasi teoretis yang didasarkan pada premis
bahwa psikologi ilmiah harus berdasarkan studi tingkah laku yang teramati (observable
behavior). Pada tahun 1913 Watson menuliskan artikel, di dalamnya mengemukakan bahwa
psikologi harus meninggalkan fokus kajian yang terkait dengan proses mental dan mengalihkan
dokus kajiannya kepada tingkah laku yang tampak (overt behavior). Watson beralasan bahwa
psikologi tidak dapat meneliti proses mental secara ilmiah, sebab proses tersebut bersifat pribadi
dan tidak dapat diamati oleh publik.
Teori Behavioristik muncul dari studi-studi laboratorium yang mempelajari hewan dan
manusia. Dua pioner behavioris adalah Thorndike dan Watson, namun pribadi yang dilekatkan
dengan posisi behavioristik adalah B.F. Skinner yang analisis behavioralnya berbeda jauh dari
teori-teori pesikodinamis yang sangat spekulatif.
Pendekatan behavioristik lebih memperhatikan kecenderungan-kecenderungan respon
yang dapat diamati. Pendekatan perilaku memandang kepribadian individu sebagai “koleksi
kecenderungan-kecenderungan respon yang terkait dengan berbagai situasi rangsangan yang
beragam”. Pendekatan Perilaku memang kurang memperhatikan terhadap struktur kepribadian
(seperti Id, Ego, dan Superego pada Psikoanalisa), tetapi memiliki perhatian yang cukup besar
terhadap perkembangan kepribadian. Mereka menjelaskan bahwa perkembangan itu melalui
belajar. Konsep belajar ini digunakan dalam hal-hal yang merujuk kepada perubahan tingkah
laku yang tahan lama sebagai hasil pengalaman.
Kebanyakan perilaku manusia tidak diwariskan begitu saja. Ketika seseorang
menggunakan komputer dengan cara baru, bekerja lebih keras memecahkan masalah,
mengajukan pertanyaan secara lebih baik, menjelaskan dengan jawaban yang lebih logis, berarti
orang tersebut sedang melalui proses belajar. Cakupan belajar itu luas. Pembelajaran melibatkan
perilaku akademik dan non-akademik. Pembelajaran berlangsung di sekolah dan di mana saja di
seputar dunia siswa.
Pembelajaran (learning) dapat didefinisikan sebagai pengaruh permanen atas perilaku,
pengetahuan, dan keterampilan berpikir yang diperoleh melalui pengalaman. Tidak semua yang
diketahui manusia diperoleh melalui hasil belajar. Ada beberapa kemampuan-kemampuan itu
dibawa sejak lahir, tidak dipelajari. Ada beberapa pendekatan dalam proses pembelajaran,
diantaranya behavioristik, humanistik, kognitif sosial, dan sebagainya. Masing-masing

1
pendekatan memiliki karakteristik yang berbeda, baik sudut pandang mengenai manusia, hingga
aplikasinya terhadap dunia pendidikan. Dalam artikel ini akan dibahas salah satu pendekatan
dalam pembelajaran, yaitu pendekatan perilaku atau dikenal juga dengan pendekatan
behavioristik.

PRINSIP-PRINSIP DASAR TEORI BEHAVIORISTIK DALAM BELAJAR DAN


PEMBELAJARAN
Behaviorisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa perilaku harus dijelaskan
melalui pengalaman yang dapat diamati, bukan dengan proses mental. Proses mental
didefinisikan oleh psikolog sebagai pikiran, perasaan, dan motif yang dialami seseorang namun
tidak dapat dilihat oleh orang lain. Meskipun pikiran, perasaan, dan motif tidak bisa dilihat
secara langsung, semua itu adalah sesuatu yang riil. Menurut behavioris, pemikiran, perasaan
dan motif ini bukan subjek yang tepat untuk ilmu perilaku sebab semuanya itu tidak bisa
diobservasi secara langsung.
Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat
diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans)
yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik.
Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar peserta didik, baik yang internal maupun
eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak,
berupa reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan
kecenderungan perilaku S-R (Stimulus-Respon).
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143).
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya.
Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang
berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan pendidik kepada peserta didik,
sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan peserta didik terhadap stimulus yang diberikan
oleh pendidik tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk
diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah
stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh pendidik (stimulus) dan apa yang
diterima oleh peserta didik (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan
pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya
perubahan tingkah laku tersebut.

1. Pengkondisian Klasik (Ivan Petrovich Pavlov 1849-1936)

Classic Conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang


ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral
dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi
yang diinginkan.
Pengkondisian Klasik adalah tipe pembelajaran dimana suatu organisme belajar untuk
mengaitkan atau mengasosiasikan stimulus. Dalam pengkondisian klasik, stimulus netral
(seperti melihat seseorang) diasosiasikan dengan stimulus yang bermakna (seperti makanan) dan
menimbulkan kapasitas untuk mengeluarkan respon yang sama. Ada dua tipe stimulus dan
respon, yaitu: unconditioned stimulus (UCS), unconditioned response (UCR), condition
stimulus (CS), dan conditioned response (CR).
Sebelum Eksperimen
Pemberian makanan (UCS)  air liur keluar (UCR)
Bunyi bel (CS)  tidak ada respons
Eksperimen/latihan
Bunyi bel (CS) + pemberian makanan (UCS)
Setelah eksperimen
Bunyi bel (CS)  air liur keluar (CR)
Gambar 2.1 Pengkondisian Klasik Pavlov

2
Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat
terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari
perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bakker bahwa yang paling sentral dalam hidup
manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran
mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti yang benar jika ia berbuat sesuatu.
Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan
tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang diinginkan. Kemudian Pavlov
mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap
binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya,
secara hakiki manusia berbeda dengan binatang.
Pavlov mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi leher pada seekor
anjing. Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan
(US), maka akan keluarlah air liur anjing (UR) tersebut. Sebelum makanan diperlihatkan, maka
yang diperlihatkan adalah sinar merah (CR) terlebih dahulu, baru makanan. Dengan sendirinya
air liurpun (CR) akan keluar pula. Apabila perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang,
maka pada suatu ketika dengan hanya memperlihatkan sinar merah saja tanpa makanan maka air
liurpun akan keluar pula.
Makanan adalah rangsangan wajar, sedang merah adalah rangsangan buatan. Ternyata
kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan
menimbulkan syarat (kondisi) untuk timbulnya air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini
disebut: Reflek Bersyarat atau Conditioned Respons.
Pavlov berpendapat, bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat dilatih. Bectrev murid
Pavlov menggunakan prinsip-prinsip tersebut dilakukan pada manusia,yang ternyata
diketemukan banyak reflek bersyarat yang timbul tidak disadari manusia.
Dari eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasaan dapat diketahui bahwa
daging yang menjadi stimulus alami dapat digantikan oleh bunyi lonceng sebagai stimulus yang
dikondisikan. Ketika lonceng dibunyikan ternyata air liur anjing keluar sebagai respon yang
dikondisikan.
Pengkondisian Klasik dapat berupa pengalaman negatif dan positif dalam diri peserta
didik di kelas. Diantara hal-hal di sekolah peserta didik yang akan menghasilkan kesenangan
karena telah dikondisikan secara klasik adalah lagu favorit, perasaan bahwa kelas adalah tempat
yang aman dan menyenangkan dan kehangatan dan perhatian pendidik. Misalnya lagu bisa jadi
merupakan hal netral bagi peserta didik sebelum peserta didik bergabung dengan peserta didik
lain untuk menyanyikannya dengan diiringi oleh perasaan yang positif.
Contoh lain misalnya peserta didik akan merasa takut di kelas jika mereka
mengasosiasikan kelas dengan teguran dan karenanya teguran atau kritik menjadi CS untuk rasa
takut. Pengkondisian klasik juga dapat terjadi dalam kecemasan menghadapi ujian. Misalnya
peserta didik gagal dalam ujian dan ditegur, hal ini menghasilkan kegelisahan. Setelah itu,
peserta didik mengasosiasikan ujian dengan kecemasan, sehinggan menjadi CS untuk
kecemasan.
Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata
individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat
untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari
bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.

2. Operant Conditioning (Burrhus Frederic Skinner 1904-1990)


Seperti halnya kelompok penganut psikologi modern, Skinner mengadakan pendekatan
behavioristik untuk menerangkan tingkah laku. Pada tahun 1938, Skinner menerbitkan bukunya
yang berjudul The Behavior of Organism. Dalam perkembangan psikologi belajar, Skinner
mengemukakan teori Operant Conditioning. Buku itu menjadi inspirasi diadakannya konferensi
tahunan yang dimulai tahun 1946 dalam masalah The Experimental an Analysis of Behavior.
Hasil konferensi dimuat dalam jurnal berjudul Journal of the Experimental Behaviors yang
disponsori oleh Asosiasi Psikologi di Amerika.

3
B.F. Skinner berkebangsaan Amerika dikenal sebagai tokoh behavioris dengan
pendekatan model instruksi langsung dan meyakini bahwa perilaku dikontrol melalui proses
operant conditioning. Dimana seorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui
pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan relatif besar. Dalam beberapa hal,
pelaksanaannya jauh lebih fleksibel daripada conditioning klasik.
Reinforcement (penguatan) adalah konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa
suatu perilaku akan terjadi. Sebaliknya punishment (hukuman) adalah konsekuensi yang
menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku. Misalnya seorang pendidik berkata pada
peserta didiknyanya, “selamat, saya merasa senang telah membaca cerita yang ananda tulis”.
Jika peserta didik bekerja lebih keras dan menulis lebih baik lagi untuk cerita selanjutnya,
komentar positif pendidik tersebut merupakan penguat atau memberi imbalan pada perilaku
menulis peserta didik. Jika seorang pendidik merengut pada peserta didik yang bicara di kelas
dan kemudian perilaku bicara itu menurun, maka muka pendidik yang merengut tersebut
merupakan hukuman bagi tindakan peserta didik.
Ada dua jenis penguatan. Pertama penguatan positif, frekuensi respons meningkat
karena diikuti dengan stimulus yang mendukung (rewarding), seperti dalam contoh dimana
komentar positif pendidik meningkatkan perilaku menulis peserta didik. Kedua penguatan
negatif, frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang
merugikan (tidak menyenangkan). Misalnya seorang ayah memarahi putranya agar mau
mengerjakan PR. Sang ayah terus memarahi putranya. Akhirnya anak itu lelah mendengarkan
omelan ayahnya dan mengerjakan PR. Respons anak (mengerjakan PR) menghilangkan
stimulus yang tidak menyenangkan (omelan).
Satu cara untuk mengingat perbedaan antara penguatan positif dan negatif adalah dalam
penguatan positif ada sesuatu yang ditambahkan atau diperoleh. Dalam penguatan negatif, ada
sesuatu yang dikurangi atau dihilangkan. Sangat mudah untuk mengacaukan penguatan negatif
dengan hukuman (punishment). Agar istilah ini tidak rancu, ingat bahwa penguatan negatif
meningkatkan probabilitas terjadinya suatu perilaku, sedangkan hukuman menurunkan
probabilitas terjadinya suatu perilaku.

Penguatan Positif
Peserta didik mengajukan Pendidik memuji Peserta Peserta Didik mengajukan
pertanyaan yang bagus Didik lebih banyak pertanyaan
Penguatan Negatif
Peserta Didik menyerahkan Pendidik berhenti menegur Peserta Didik makin sering
PR tepat waktu Peserta Didik menyerahkan PR tepat waktu
Hukuman
Peserta Didik menyela Pendidik menegur Peserta Peserta Didik berhenti
guru Didik langsung menyela Pendidik
Gambar 2.2 Penguatan dan Hukuman

Gaya mengajar pendidik dilakukan dengan beberapa pengantar dari pendidik secara
searah dan dikontrol pendidik melalui pengulangan dan latihan. Manajemen Kelas menurut
Skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku antara lain dengan proses penguatan
yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun
pada perilaku yang tidak tepat. Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant
(penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang
kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.
Skinner membuat eksperimen sebagai berikut: dalam laboratorium Skinner memasukkan
tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang disebut “skinner box”, yang sudah dilengkapi
dengan berbagai peralatan yaitu tombol, alat pemberi makanan, penampung makanan, lampu
yang dapat diatur nyalanya, dan lantai yang dapat dialiri listrik. Karena dorongan lapar tikus
berusaha keluar untuk mencari makanan. Selama tikus bergerak kesana kemari untuk keluar dari
box, tidak sengaja ia menekan tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan makanan

4
secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut
shapping.
Berdasarkan berbagai percobaannya pada tikus dan burung merpati, Skinner mengatakan
bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan. Maksudnya adalah pengetahuan yang
terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner
membagi penguatan ini menjadi dua yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Bentuk
bentuk penguatan positif berupa hadiah, perilaku, atau penghargaan. Bentuk bentuk penguatan
negatif antara lain menunda atau tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau
menunjukkan perilaku tidak senang.
Beberapa prinsip Skinner antara lain:
 Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada peserta didik, jika salah dibetulkan, jika
benar diberi penguat.
 Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
 Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
 Dalam proses pembelajaran, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah,
untuk menghindari adanya hukuman.
 Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktifitas sendiri.
 Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah.
 Dalam pembelajaran digunakan shaping.
Operan Kondisi memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon
terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal
ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus). Ciri dari teori ini adalah
mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan
lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan,
mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar
yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan.

3. Koneksionisme (Edward Edward Lee Thorndike 1874-1949)


Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara
peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R). Stimulus adalah suatu
perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk
beraksi atau berbuat sedangkan respon dari adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan
karena adanya perangsang. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar
(puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu
adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha–usaha atau
percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling
dasar dari belajar adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan
berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan
oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi.
Adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberi sumbangan yang cukup besar di dunia
pendidikan tersebut maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam psikologi
pendidikan.
Percobaan Thorndike yang terkenal dengan binatang coba kucing yang telah dilaparkan
dan diletakkan di dalam sangkar yang tertutup dan pintunya dapat dibuka secara otomatis
apabila kenop yang terletak di dalam sangkar tersebut tersentuh. Percobaan tersebut
menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and conecting”, yaitu bahwa belajar itu
terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini,
kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai
hasil. Setiap respons menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan
menimbulkan respons lagi, demikian selanjutnya, sehingga dapat digambarkan sebagai berikut:

S R S1 R1 dst

5
Dalam percobaan tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing
berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak tersengaja
kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing segera lari
ke tempat makan. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10
sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja menyentuh kenop tersebut apabila di
luar diletakkan makanan. Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar
sebagai berikut:

a) Hukum Kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh
suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan
kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan membentuk
asosiasi (connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya,
jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung
mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan
menghasilkan prestasi memuaskan.
Masalah pertama hukum law of readiness adalah jika kecenderungan bertindak dan
orang melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan tindakan
lain.
Masalah kedua, jika ada kecenderungan bertindak, tetapi ia tidak melakukannya, maka
timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi
atau meniadakan ketidakpuasannya.
Masalah ketiganya adalah bila tidak ada kecenderungan bertindak padahal ia
melakukannya, maka timbullah ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain
untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
b) Hukum Latihan (law of exercise), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/dilatih
(digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
Prinsip law of exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang)
dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila
koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa
prinsip utama dalam belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan
semakin dikuasai.
c) Hukum Akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila
akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.
Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil
perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan
lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan
cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.
Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat menguat
atau melemah, tergantung pada “buah” hasil perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya,
bila anak mengerjakan PR, ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia
akan dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk sikapnya.
Thorndike berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama
dengan yang berlaku pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada
binatang tanpa dipeantarai pengartian. Binatang melakukan respons-respons langsung dari
apa yang diamati dan terjadi secara mekanis.
Selanjutnya Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut:
 Hukum Reaksi Bervariasi (multiple response).
Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh proses trial dan error yang
menunjukkan adanya bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat
dalam memecahkan masalah yang dihadapi.

6
 Hukum Sikap (Set/Attitude).
Hukum ini menjelaskan bahwa perilaku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh
hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam
diri individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya.
 Hukum Aktifitas Berat Sebelah (Prepotency of Element).
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan respon pada
stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi (respon
selektif).
 Hukum Respon by Analogy.
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi yang belum
pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum
pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau
perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang
sama maka transfer akan makin mudah.
 Hukum perpindahan Asosiasi (Associative Shifting)
Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang
belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit
unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyampaian teorinya
Thorndike mengemukakan revisi Hukum Belajar antara lain:
 Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk
memperkuat hubungan stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan
stimulus respon belum tentu diperlemah.
 Hukum akibat direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk
perubahan tingkah laku adalah hadiah, sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa.
 Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon bukan kedekatan, tetapi adanya saling
sesuai antara stimulus dan respon.
 Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain.
Teori koneksionisme menyebutkan pula konsep transfer of training, yaitu kecakapan
yang telah diperoleh dalam belajar dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain.
Perkembangan teorinya berdasarkan pada percobaan terhadap kucing dengan problem box-nya.

PENGGUNAAN ANALISIS PERILAKU TEORI BEHAVIORISTIK DALAM BELAJAR


DAN PEMBELAJARAN

Penggunaan analisis perilaku teori behavioristik adalah penerapan prinsip pengkondisian


operan untuk mengubah perilaku manusia. Ada tiga penggunaan analisis perilaku yang penting
dalam belajar dan pembelajaran: meningkatkan perilaku yang diinginkan, menggunakan
dorongan (prompt) dan pembentukkan (shaping) dan mengurangi perilaku yang tidak
diharapkan.
1) Meningkatkan Perilaku yang Diharapkan
Terdapat lima strategi pengkondisian operan yang dapat digunakan untuk meningkatkan
perilaku anak yang diharapkan, yaitu:
a. Memilih Penguat yang Efektif
Tidak semua penguat akan sama efeknya bagi anak. Analisis perilaku terapan
menganjurkan agar pendidik mencari tahu penguat apa yang paling baik bagi peserta
didik, yakni mengindividualisasikan penggunaan penguat tertentu.
Penguat yang paling sering digunakan pendidik adalah aktivitas. Prinsip Premarck
menyatakan bahwa aktivitas probabilitas tinggi dapat berfungsi sebagai penguat aktivitas
probabilitas rendah. Prinsip Premarck akan bekerja ketika pendidik berkata kepada
peserta didiknya, “jika kamu selesai mengerjakan tugas menulis, kamu bisa main game di

7
komputer”, atau seorang pendidik berkata kepada semua peserta didiknya di kelas, “jika
kelas ini menyerahkan PR pada hari jumat, kita akan mengadakan wisata minggu depan”.
b. Menjadikan Penguat Kontingen dan Tepat Waktu
Penguat akan lebih efektif jika diberikan tepat pada waktunya, sesegera mungkin
setelah peserta didik menjalankan tindakan yang diharapkan. Ini akan membantu siswa
melihat hubungan kontingensi antar-imbalan dan perilaku mereka. Jika peserta didik
menyelesaikan perilaku sasaran (seperti mengerjakan sepuluh soal matematika) tapi
pendidik tidak memberikan waktu bermain pada anak sampai sore hari, maka peserta
didik itu mungkin akan kesulitan membuat hubungan kontingensi.
c. Memilih Jadwal Penguat Terbaik
Jadwal penguatan merupakan jadwal penguatan parsial yang menentukan kapan suatu
respons akan diperkuat. Empat jadwal penguatan utama adalah rasio-tetap, rasio-variabel,
interval-tetap, dan interval-variabel.
Pada jadwal rasio-tetap, suatu perilaku diperkuat setelah sejumlah respons. Misalnya
pendidik dapat memuji peserta didik hanya setelah muncul empat respons yang tepat,
bukan sesudah tiap respons.
Pada jadwal rasio-variabel, suatu perilaku diperkuat setelah terjadi sejumlah respons,
akan tetapi tidak berdasarkan pada basis yang dapat diprediksi. Misalnya pujian pendidik
rata-rata diberikan setelah respons kelima, tetapi pujian itu diberikan setelah respons yang
benar kedua, setelah delapan lagi respons yang benar, setelah tujuh lagi respons yang
benar dan setelah tiga lagi respons yang benar. Jadwal intervensi ditentukan berdasarkan
jumlah waktu yang berlalu sejak perilaku terakhir diperkuat.
Pada jadwal interval-tetap, respons tepat pertama setelah beberapa waktu akan
diperkuat. Misalnya, seorang pendidik memberikan pujian dua menit kemudian setelah
peserta didik mengajukan pertanyaan yang bagus atau membri latihan soal tiap minggu.
Pada jadwal interval-variabel, suatu respons diperkuat setelah tiga menit berlalu,
kemudian setelah tujuh menit berlalu dan seterusnya. Memberi soal latihan pada interval
yang berbeda-beda juga merefleksikan jadwal interval-variabel.
d. Menggunakan Perjanjian (contracting)
Perjanjian adalah menempatkan kontingensi penguatan dalam tulisan. Jika muncul
masalah dan peserta didik tidak bertindak sesuai dengan harapan, pendidik dapat merujuk
peserta didik pada perjanjian yang mereka sepakati. Analisis perilaku terapan menyatakan
bahwa perjanjian kelas harus berisi masukan dari pendidik dan peserta didik.
e. Menggunakan Penguatan Negatif secara Efektif
Dalam penguatan negatif, frekuensi respons meningkat karena respons tersebut
menghilangkan stimulus yang dihindari (tidak menyenangkan). Jika seorang pendidik
mengatakan, “Pepeng, kamu harus duduk dan menyelesaikan tugas mengarang sebelum
kamu boleh bergabung dengan peserta didik lain untuk membuat poster”. Ini berarti dia
menggunakan penguatan negatif. Kondisi negatif disuruh duduk saat peserta didik lain
melakukan sesuatu yang menyenangkan akan dihilangkan jika Pepeng sudah
menyelesaikan tugas mengarangnya.
f. Menggunakan Prompt dan Shapping
Prompt (dorongan) adalah stimulus tambahan atau isyarat tambahan yangdiberikan
sebelum respons dan meningkatkan kemungkinan respons itu akan terjadi. Instruksi dapat
dipakai sebagai prompt. Misalnya saat pelajaran menggambar akan selesai, pendidik
berkata, “mari bersiap untuk pelajaran membaca”. Jika peserta masih saja menggambar,
pendidik bisa menambahkan, “baiklah, letakkan gambar kalian dan ikut saya ke ruangan
membaca”.
Shapping (pembentukan) adalah mengajari perilaku baru dengan memperkuat perilaku
yang mirip dengan perilaku sasaran. Pada mulanya, respons diperkuat dengan seuatu yang
mirip dengan perilaku yang diharapkan. Kemudian diperkuat lagi respon yang lebih mirip
dengan perilaku sasaran, dan seterusnya. Sampai murid itu melakukan perilaku sasaran
dan kemudian sasaran perilaku tersebut diperkuat lagi. Misalnya ada peserta didik yang

8
pemalu. Perilaku sasarannya adalah membuatnya mau berkelompok dan berbicara dengan
teman sebayanya. Pada awalnya pendidik perlu memperkuatnya dengan memberinya
senyum di kelas. Kemudian pendidik memperkuatnya hanya jika peserta didik itu
mengatakanb sesuatu untuk teman sekelasnya. Kemudian pendidik memperkuatnya hanya
jika melakukan percakapan yang lama dengan teman sekelasnya. Terakhir pendidik harus
memberinya imbalan hanya jika peserta didik melakukan perilaku sasaran, yakni
bergabung dengan teman-temannya dan berbicara dengan mereka.

2) Mengurangi Perilaku yang Tidak Diharapkan


Ada empat langkah untuk mengurangi perilaku yang tidak diharapkan, yaitu:
a. Menggunakan Penguatan Diferensial
Dalam penguatan diferensial, pendidik memperkuat perilaku yang lebih tepat atau
yang tidak sesuai dengan apa yang dilakukan peserta didik. Misalnya pendidik lebih
memperkuat aktivitas belajar peserta didik di komputer ketimbang bermain game, atau
memperkuat perilaku sopan atau peserta didik yang duduk tenang ketimbang berlarian di
kelas atau peserta didik yang mengerjakan pekerjaan rumah tepat pada waktunya.
b. Menghentikan Penguatan (Pelenyapan)
Strategi menghentikan penguatan ini adalah menarik penguatan positif terhadap
perilaku tidak tepat atau tidak pantas. Banyak perilaku tidak tepat yang secara tak sengaja
dipertahankan karena ada penguatan positif terhadapnya, terutama oleh perhatian
pendidik. Salah satu strategi bagus adalah meminta seseorang mengobservasi kelas
beberapa kali dan menggambarkan pola penguatan yang diberikan pendidik kepada
peserta didik. Jika pendidik kemudian menyadari bahwa pendidik terlalu banyak memberi
perhatian pada perilaku peserta didik yang tidak tepat, abaikan perilaku itu dan beri
perhatian pada perilaku peserta didik yang tepat. Misalnya ketika peserta didik berhenti
memonopoli percakapan dalam diskusi kelompok setelah pendidik tidak
mempedulikannya, beri peserta didik perhatian pada perilaku tepat yang dilakukan
peserta didik itu.
c. Menghilangkan Stimulus yang Diinginkan
Misalnya pendidik mencoba dua opsi pertama dan ternyata tidak berhasil.
Opsi ketiga adalah menghilangkan stimulus yang diinginkan peserta didik.
Dua strategi dalam opsi ini adalah:
 Time out. Strategi yang paling sering dipakai pendidik untuk menghilangkan stimulus
yang diinginkan ialah time out (disetrap). Dengan kata lain, jauhkan penguatan positif
dari peserta didik.
 Response cost. Strategi kedua untuk menjauhkan stimulus yang diinginkan adalah
response cost, yakni menjauhkan penguatan positif dari peserta didik. Misalnya
setelah seorang peserta didik berperilaku salah, pendidik bisa menyuruh peserta didik
tidak boleh istirahat saat jam istirahat tiba. Response cost biasanya menggunakan
beberapa bentuk hukuman atau denda. Seperti halnya dengan time out, response cost
harus diiringi dengan strategi untuk meningkatkan perilaku positif peserta didik.
d. Menyajikan Stimulus yang Tidak Disukai (Hukuman)
Kebanyakan orang mengasosiasikan presentasi stimulus yang tidak disukai (tidak
menyenangkan) dengan hukuman, seperti saat pendidik membentak peserta didik atau
orang tua menampar anaknya. Tetapi sering kali stimulus tidak menyenangkan ini bukan
hukuman efektif karena stimulus itu tidak mengurangi perilaku yang tidak diinginkan dan
bahkan kadang-kadang menambah perilaku yang tidak diinginkan. Teguran lebih efektif
jika dilakukan segera setelah perilaku buruk terjadi ketimbang dilakukan belakangan dan
jika dilakukan dengan langsung dan cepat. Teguran ini tidak selalu berupa bentakan dan
omelan, yang justru malah menambah kebisingan kelas dan membuat pendidik menjadi
contoh buruk bagi pendidik. Cukup katakan dengan tegas “jangan lakukan itu!” dan
diiringi dengan kontak mata. Ini biasanya sudah cukup untuk menghentikan perilaku yang

9
tidak diharapkan itu. Strategi lainnya adalah memanggil peserta didik lalu ditegur dalam
ruang tersendiri, bukan di depan kelas.
Berikut adalah terapan dalam pendidikan yang dituangkan ke dalam bagan.

Tabel 2.1 Menerapkan Operan Kondisi dalam Kelas

Penguatan dan Hukuman


Jika memungkinkan gunakan penguatan lebih sering daripada hukuman.
Sekolah Dasar Setelah memberikan pelajaran, pendidik berpindah
kelas dan memberikan tiket pada peserta didik yang
bekerja dengan baik. Peserta didik bisa menukar
tiket tersebut dengan kesempatan bermain game.
Sekolah Menengah Pertama Memberikan peserta didik “poin perilaku” di awal
pekan. Jika peserta didik melanggar aturan, dia
kehilangan poin. Di akhir pekan, peserta didik bisa
menjual sisa poin mereka yang dapat digunakan
untuk sesuatu.
Sekolah Menengah Atas Pendidik memberikan bonus poin untuk
pengembangan. Peserta didik menerima pemberian
poin agar poin mereka lebih tinggi dari rata-ratanya.

SIMPULAN

Salah satu pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran yaitu pendekatan Perilaku
(Behavioristik). Pendekatan Behavioristik merupakan orientasi teoretis yang didasarkan pada
premis bahwa psikologi ilmiah harus berdasarkan studi tingkah laku yang teramati (observable
behavior).
Dalam behavioristik ada yang disebut dengan stimulus dan respons, stimulus tidak lain
adalah lingkungan belajar peserta didik, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi
penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap
stimulus. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan perilaku S-R
(stimulus-Respon).
B.F. Skinner berkebangsaan Amerika dikenal sebagai tokoh behavioris dengan
pendekatan model instruksi langsung dan meyakini bahwa perilaku dikontrol melalui proses
operant conditioning. Di mana seorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui
pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan relatif besar. Dalam beberapa hal,
pelaksanaannya jauh lebih fleksibel daripada conditioning klasik.
Reinforcement (penguatan) adalah konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa
suatu perilaku akan terjadi. Sebaliknya punishment (hukuman) adalah konsekuensi yang
menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku.
Teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi, bentuk paling dasarnya dari belajar
adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung
menurut hukum-hukum tertentu.
Penggunaan analisis perilaku dalam belajar dan pembelajaran adalah penerapan prinsip
pengkondisian operan untuk mengubah perilaku manusia. Ada tiga penggunaan analisis perilaku
yang penting dalam bidang pendidikan: meningkatkan perilaku yang diinginkan, menggunakan
dorongan (prompt) dan pembentukkan (shaping) dan mengurangi perilaku yang tidak
diharapkan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Alfasius, Yuyun. 2009. Learning Theory. Tersedia:


http://www.scribd.com/doc/10961275/psikologi-kritis.

Eggen, Paul dan Don Kauchak. 2007. Educational Psychology: Windows on Classroom. New
Jersey: Pearson Education Inc.

Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn
and Bacon.

Sugihartono, dkk. 2009. Teori Behavioristik. Tersedia: www.lutfizulfi.wordpress.com.

Syah, Muhibbin. 1997. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Rosdakarya.

Yusuf, Syamsu dan Ahmad Juntika Nurihsan. 2008. Teori Kepribadian. Bandung: Rosdakarya.

_______. 2009. Teori Belajar Behavioristik. Tersedia: http://teknik-


mesin06.blogspot.com/2009/01/teori-belajar-behavioristik.html.

11

Anda mungkin juga menyukai