Anda di halaman 1dari 30

TREND DAN ISSUE TERKINI PENANGGULANGAN BENCANA ALAM

DI INDONESIA

DI SUSUN
KELOMPOK 3 :

Naya Zulaika (21142019032.P)


Dewi Septiani (21142019003.P)
Hari Fatkhurrozi (21142019036.P)
Rio Rahmat Alfath (21142019037.P)
Fadli Ariansyah (21142019034.P)
Endang Setiawati (21142019029.P)
Yuni Ameliana (21142019006.P)
Aditia Warman (21142019022.P)
M. Aditya Akbar (21142019023.P)
Bayu Setiaji (21142019001.P)
Juriyah (21142019035.P)
Elisa Fitria R (21142019014.P)
Restunalia (21142019010.P)
Dian Puspita Sari (21142019004.P)

Dosen Pembimbing :
Raden Surahmat, S.Kep.,Ners.,M.Kes.,M.Kep

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA HUSADA PALEMBANG
2022
ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktunya yang berjudul “TREND DAN ISSUE TERKINI
PENANGGULANGAN BENCANA ALAM DI INDONESIA”. Makalah ini disusun
dalam rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah Keperawatan Bencana
Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bina Husada
Palembang.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah ikut serta dalam penyusunan makalah ini
dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan meridhoi segala usaha kita. Amin.

Palembang, 19 Januari 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ...........................................................................................i


KATA PENGANTAR ...........................................................................................ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang...........................................................................................1
B. Tujuan.........................................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Evaluasi Dan Revormulasi Kebijakan.....................................................4
B. Sistem Penanggulangan Bencana.............................................................5
C. Trend Dan Issue Penanggulangan Bencana Di Indonesia....................12

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ..............................................................................................22
B. Saran .........................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................24
BAB 1
LATAR BELAKANG

A. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang memiliki sistem pertahanan negara dalam
melindungi setiap warganya dari ancaman, baik ancaman nyata maupun ancaman
tidak nyata. Ancaman nyata adalah ancaman yang dapat dihadapi di zaman
sekarang dan bisa terjadi dimasa yang akan datang. Salah satu contoh dari
ancaman nyata adalah bencana alam. Kejadian bencana merupakan hal yang tidak
asing lagi bagi bangsa Indonesia. Sebagai negara dengan predikat laboratorium
bencana, terdapat tiga jenis bencana alam menurut Jayawardena (dalam Sarvina,
2018) yaitu bencana, hidrometeorologi, biologi, dan geologi. Bencana
hidrometeorologi adalah bencana alam yang terjadi akibat fenomena meteorology
diantaranya adalah banjir, badai, kekeringan, kebakaran hutan, tanah longsor,
angin puting beliung, dan lain-lain.
Berdasarkan Data Indeks Bencana Indonesia (BNPB, 2019) dalam satu
dekade terakhir, bencana angin puting beliung, banjir, dan tanah longsor menjadi
bencana yang paling sering terjadi Provinsi Kalimantan Timur terutamanya di
Kabupaten Penajam Paser Utara. Kejadian tersebut jelas dapat mengganggu
keamanan nasional, terlebih dengan upaya pemindahan ibukota Indonesia yang
diputuskan oleh Presiden Joko Widodo melalui rapat terbatas pemerintah pada
tanggal 29 April 2019. Pemindahan ibukota ini tertuang dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2020-2024. Dalam keputusan rapat
terbatas tersebut, ditentukanlah lokasi ibukota negara baru akan dibangun di
wilayah adminstratif Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai
Kartanegara, Kalimantan Timur (Hakim et al., 2020).
Indonesia, dilanda berbagai bencana alam sepanjang tahun 2022. Kejadian
bencana banjir, cuaca ekstrem, tanah longsor hingga gempa bumi melanda
sejumlah wilayah di Indonesia. Hingga 6 Januari 2023 tercatat telah terjadi 3.542
kejadian bencana selama tahun 2022 dengan rincian banjir 1.530 kejadian, cuaca
ekstrem 1.067 kejadian, tanah longsor 634 kejadian, kebakaran hutan dan lahan
(karhutla) 252 kejadian, gempa bumi 28 kejadian, gelombang pasang/ abrasi 26

1
kejadian, kekeringan 4 kejadian dan letusan gunung api 1 kejadian. Rincian
kejadian tersebut menunjukan kejadian bencana yang terjadi didominasi bencana
hidrometeorologi dengan prosentase kejadian mencapai 91% dari keseluruhan
kejadian bencana. Selain itu, banjir, cuaca ekstrem dan tanah longsor berturut-
turut menjadi kejadian bencana yang paling banyak terjadi.
Bencana yang terjadi selama periode tahun 2022 mengakibatkan korban jiwa
sebanyak 856 jiwa meninggal dunia, 46 jiwa hilang, 8.726 jiwa mengalami luka-
luka, dan sebanyak 5.876.990 jiwa terdampak dan mengungsi. Selain korban
jiwa, bencana yang terjadi juga mengakibatkan kerusakan diantaranya total
95.223 rumah mengalami kerusakan dengan tingkat tingkat kerusakan mulai dari
rusak ringan hingga rusak berat, 1.130.195 rumah terendam akibat banjir dan
gelombang pasang/ abrasi, 1.239 fasilitas pendidikan rusak, 646 fasilitas
peribadatan rusak, 95 fasilitas kesehatan rusak, 163 fasilitas perkantoran rusak,
dan 342 jembatan rusak.
Berdasarkan grafik kejadian bencana per bulan, sepanjang tahun 2022 bencana
paling banyak terjadi di bulan Januari dengan 427 kejadian bencana, sedangkan
bulan Juli menjadi bulan dengan kejadian paling sedikit dengan 213 kejadian
bencana. Jumlah kejadian bencana cenderung mengalami penurunan seiring
dengan bulan-bulan datangnya musim kemarau, dan mengalami kenaikan seiring
dengan datangnya musim penghujan. Selama tahun 2022, banjir menjadi kejadian
bencana yang mendominasi hampir di setiap bulannya.
Hingga 6 Januari 2023, Provinsi Jawa Barat dilanda 824 kejadian bencana
dimana menjadikan Jawa Barat sebagai Provinsi dengan jumlah kejadian bencana
terbanyak sepanjang tahun 2022. Salah satu bencana terparah yaitu gempa bumi
dengan M 5.6 skala richter mengguncang wilayah Kabupaten Cianjur pada Senin
21 November 2022 pukul 13:21:10 WIB, dampak dari gempa ini yaitu 328 jiwa
meninggal dunia, 109.386 jiwa mwngungsi, dan 17.864 rumah rusak. Selain Jawa
Barat, empat provinsi lain dengan jumlah kejadian bencana terbanyak antara lain
Jawa Tengah sebanyak 489 kejadian, Jawa Timur dengan 400 kejadian, Aceh
dengan 222 kejadian dan Sulawesi Selatan dengan 144 kejadian. Selain Provinsi
dengan kejadian bencana terbanyak, lima provinsi dengan jumlah kejadian
terendah antara lain Papua Barat dengan 21 kejadian, DKI Jakarta dengan 17

2
kejadian, Kepulauan Riau dengan 11 kejadian, Jambi dengan 9 kejadian dan
Papua dengan 8 kejadian bencana.
Perbandingan kejadian dan dampak bencana pada tahun 2021 dan 2022
menunjukan penurunan pada aspek jumlah kejadian, korban luka-luka, terdampak
dan mengungsi serta rumah rusak sedangkan korban meninggal mengalami
kenaikan atau berbanding terbalik dengan penurunan jumlah kejadian bencana.
Korban meninggal mengalami kenaikan sebesar 17,58% dimana pada tahun 2021
terdapat 728 korban meninggal sedangkan pada tahun 2022 terdapat 856 korban
meninggal. Penurunan terbesar terjadi pada aspek korban luka-luka dimana
mengalami kenaikan sebesar 41,50% yang pada tahun 2021 terdapat 14.915
korban luka-luka menurun menjadi 8.726 korban luka-luka pada tahun 2022.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu evaluasi dan revormulasi kebijakan?
2. Untuk mengetahui apa saja sistem penanggulangan bencana?
3. Untuk mengatahui trend dan issue penanggulangan bencana di Indonesia?

3
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Evaluasi dan Reformulasi Kebijakan


Dalam konteks merumuskan kebijakan publik, Nugroho (2014)
mengemukakan beberapa model yang dapat digunakan yaitu: model kelembagaan,
model proses, model kelompok, model elit, model rasional, model inkremental,
model permainan, model pilihan publik, model sistem, model demokratis, model
strategis, dan model deliberatif (Nugroho, 2014), (Jachock, 2016).
Pearson (2013) menambahkan dalam merumuskan kebijakan publik,
setidaknya mencakup hal-hal sebagai berikut: identifikasi masalah kebijakan
(identifying policy problems); merumuskan usulan kebijakan (formulating policy
proposals); melegitimasi kebijakan publik (legitimizing public policy);
Implementasi kebijakan public (implementing public policy); dan mengevaluasi
kebijakan public (evaluating public policy) (Pearson, 2013).
Perumusan kebijakan publik merupakan “core” atau inti dari kebijakan publik
itu sendiri, dimana dilakukan limitasi kebijakan yang pada tujuannya untuk
mengintervensi kehidupan publik. Pada akhirnya, perumusan kebijakan
merupakan usaha yang dilakukan pemerintah untuk melakukan intervensi
terhadap permasalahan yang ada pada ranah publik.
Dari segi proses, perumusan kebijakan terdiri dari beberapa tahapan, antara
lain:
(1) menetapkan masalah/isu baik saat ini maupun tantangan ke depan;
(2) melakukan analisis kebijakan; dan
(3) membuat keputusan.
Sementara evaluasi formulasi kebijakan publik yaitu berkaitan erat dengan
apakah formulasi tersebut telah dilaksanakan:
(1) menggunakan pendekatan yang sesuai dengan masalah yang hendak
diselesaikan,
(2) mengarah pada permasalahan inti,
(3) mengikuti prosedur yang diterima secara optimal, dan
(4) mendayagunakan sumber daya yang ada secara optimal.

4
Salah satu teknik evaluasi kebijakan dapat mengacu pada muatan kebijakan
itu relevan dengan masalah yang hendak dipecahkan dengan kriteria dasar yaitu
adanya kesesuaian muatan dengan masalah, masalah strategis, dan tujuan yang
hendak dicapai (Nugroho, 2015).
Dalam konteks proses reformulasi kebijakan publik, penting untuk
melakukan perumusan masalah. William N dunn mengemukakan beberapa proses
dalam perumusan masalah, antara lain: pencarian masalah (problem search);
pendefinisian masalah (problem definition), spesifikasi masalah (problem
specification), dan pengenalan masalah (problem sensing) (Dunn, 1994).
Lebih jauh Patton dan Sawicki mengusulkan 7 (tujuh) tahapan dalam
merumuskan masalah, antara lain:
(1) Memikirikan suatu masalah;
(2) Menggambarkan batasan/limitasi masalah;
(3) Mengembangkan fakta;
(4) Mengurutkan tujuan (goals) dan sasaran (objectives);
(5) Mengidentifikasi ukuran masalah;
(6) Menunjukan biaya dan keuntungan potensial;
(7) Membahas pernyataan masalah (Patton dan Sawicki, 1993).

B. Sistem Penanggulangan Bencana


Sistem penanggulangan bencana dibangun berdasarkan kerangka dasar
legislasi peraturan perundangan terkait Undang Undang No. 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana beserta turunannya (Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, Peraturan Kepala BNPB, dan sebagainya) (Maarif, 2012).
Ditinjau dari sifatnya, maka penanggulangan bencana juga harus bersifat
menyeluruh (holistic). Artinya, penanganan bencana tidak bersifat parsial
memperhatikan seluruh sendi kehidupan. Dalam kerangka kebijakan
penanggulangan bencana tersebut, telah dijelaskan bahwa bencana merupakan
urusan seluruh pihak (multi stakeholder). Dalam perkembangannya, bencana
sebagai urusan seluruh pihak saat ini dikenal dengan model pendekatan
pentahelix, yaitu akademisi melibatkan Pemerintah, Akademisi, Dunia Usaha,
Masyarakat, dan Media. Model pendekatan pentahelix ataupun multiplehelix,

5
yaitu yang melibatkan Pemerintah, Akademisi, Dunia Usaha, Masyarakat, dan
Media saat ini dinilai sangat tepat untuk mengakomodasi partisipasi seluruh pihak
dengan mekanisme koordinasi dan kolaborasi (collaborative governance). Namun
demikian, sebagaimana amanat peraturan perundangan dimaksud, tanggung jawab
utama tetap bertumpu pada Pemerintah, baik pada level Pusat, Provinsi,
Kabupaten/Kota hingga level Desa (heavy government). Dari segi pentahapannya,
maka penyelenggaraan penanggulangan bencana dimulai dari tahap prabencana,
tanggap darurat dan pascabencana.
Secara umum, sistem penanggulangan bencana merupakan suatu kerangka
konseptual yang saling terintegrasi dengan beberapa aspek, yaitu: kerangka
legislasi (regulation), perencanaan (planning), kelembagaan (institutional),
pendanaan (budjeting), pengembangan kapasitas (capacity building) dan
penyelenggaraan penanggulangan bencana (disaster management implementation)
(Maarif, 2012).
Sistem penanggulangan bencana yang tertuang dalam dalam Undang-Undang
No. 24 Tahun 2007 tentang Sistem Penanggulangan Bencana sudah sepatutnya
diterapkan diseluruh wilayah Indonesia mengingat Indonesia berisiko tinggi
terhadap bencana (Kristian, 2018).
Walaupun sistem penanggulangan bencana secara nasional tersebut telah
disusun pada dalam kerangka konseptual, namun implementasi sistem
penanggulangan bencana juga sangat bersifat lokalitas. Berbagai lesson learnt di
berbagai negara di benua Asia, Amerika, dan Afrika, menunjukan bahwa
keberhasilan programprogram pengurangan risiko bencana berdasarkan partisipasi
dan kontribusi komunitas. Komunitas lokal merupakan aktor utama dalam
penanggulangan bencana. Pendekatan partisipatoris, keterampilan dan
pengetahuan lokal (local wisdom) menjadi bagian dari sistem penanggulangan
bencana yang tidak terpisahkan dan berperan besar dalam upaya pengurangan
risiko bencana (Maarif, 2013).
Sejalan dengan hal tersebut, dalam kerangka legislasi penanggulangan
bencana, yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana juga telah ditegaskan bahwa pentingnya peran serta masyarakat dalam
penanggulangan bencana “bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk

6
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dalam penanggulangan bencana”,
dimana peran serta tersebut mencakup “pengambilan keputusan, memberikan
informasi, pengawasan, perencanaan, implementasi, dan pemeliharaan program”
(Hadi, 2020).
Dengan aspek yang bersifat lokalitas, masing-masing individu diharapkan
menjaga dan memelihara kelestarian alam. Upaya tersebut harus di lakukan oleh
setiap individu dalam segala aktivitasnya untuk menjamin kualitas hidup manusia
(kita jaga alam, alam jaga kita). Secara konseptual, hal ini sejalan dengan
membangun upaya kedasaran terhadap bencana (Ambo dan Sulandari, 2008).
Setiap perencanaan pembangunanan diharapkan memberikan keberpihakan
(affirmative policy planning) pada keselarasan dengan alam. Perencanaan
pembangunan berbasis pendekatan ekologis diharapkan mampu menjaga
keseimbangan alam (Kodar, 2020).

Gambar 1 Sistem Penanggulangan Bencana Indonesia

1. Reformulasi Kebijakan pada Tahap Prabencana


Dalam UU 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, penyelenggaraan
penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana antara lain meliputi:
1) perencanaan penanggulangan bencana;
2) pengurangan risiko bencana;
3) pencegahan;
4) pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
5) persyaratan analisis risiko bencana;

7
6) penegakan rencana tata ruang;
7) pendidikan dan pelatihan; dan
8) persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
Sementara dalam hal situasi situasi terdapat potensi terjadi bencana, maka
penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
a) ke siapsiagaan;
b) peringatan dini; dan
c) mitigasi bencana.
Berdasarkan evaluasi kebijakan pada tahap prabencana, legislasi atau regulasi
yang ada belum seluruhnya regulasi yang disusun adaptif dengan upaya
pengurangan risiko bencana (peka terhadap aspek kebencanaan). Berbagai studi
mengemukakan bahwa aktifitas ekonomi seperti pertambangan tidak
memperhatikan aspek risiko bencana (Wijayanto dkk., 2020).
Pentingnya penerapan sanksi (disinsentif), maupun penghargaan (insentif)
terhadap regulasi dan legislasi yang disusun (Luh dkk., 2021). Penulis juga
mengusulkan perkuatan kebijakan pengarusutamaan (mainstreaming)
pengurangan risiko bencana ke dalam legislasi atau regulasi yang disusun,
utamanya terkait pembangunan di pusat dan daerah (RPJMN/D, RKP/D, RTR/
RTRW/RDTR, dan sebagainya).
Sementara untuk aspek perencanaan pada tahap prabencana, yaitu belum
sepenuhnya perencanaan pembangunan di daerah memasukan aspek kebencanaan.
Kajian Risiko Bencana (KRB) dan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB)
masih belum seluruh daerah memilikinya. Kedua dokumen tersebut utamanya
digunakan sebagai dasar perencananaan sektoral. Hal ini juga sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sutrisna (2020) yang mengemukakan perencanaan
sektoral kesehatan, belum memperhatikan aspek kebencanaan dikarenakan belum
adanya kajian risiko bencana dan rencana penanggulangan bencana di daerah
tersebut (Sutrisna, 2020).
Sementara untuk kelembagaan pada tahap prabencana, juga masih perlu
perkuatan dalam pengurangan risiko bencana. Pengurangan risiko bencana harus
menjadi pengarusutamaan (mainstreaming) dalam kehidupan sehari-hari. Seluruh
lapisan masyarakat harus memahami konseptual maupun implementasinya dalam

8
kehidupan (Cempaka dkk., 2021).
Dalam hal upaya mitigasi untuk mengurangi risiko bencana yang kemungkinan
terjadi dimasa yang akan datang, maka budaya hidup harmoni) dengan bencana
(living harmony with disaster risk) harus ditanamkan kepada masyarakat melalui
kearifan lokal yang ada di daerah. Langkah ini perlu dipersiapkan agar kerugian
materi dan non-materi bisa diminimalkan (Hartono dkk., 2021), (Samad dkk.,
2020).
Adapun reformulasi kebijakan penanggulangan bencana khususnya pada saat
prabencana untuk aspek kelembagaan yaitu perkuatan kebijakan pengarusutamaan
(mainstreaming) pengurangan risiko bencana ke seluruh lapisan masyarakat,
melalui komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) serta partisipasi dan kolaborasi
seluruh pihak. Kolaborasi berbagai pihak terbukti dapat mengefektifkan upaya
penanggulangan bencana (Suartini dkk., 2015), (Munir, 2017), (Hakam, 2018),
(Tyas dkk., 2020). Pendanaan (budjeting) pada tahap prabencana masih menjadi
pekerjaan besar. Dana kontijensi yang tersebar di Kementerian/Lembaga maupun
diberbagai stakeholder masih belum optimal jika dari segi outcome maupun
impactnya. Pembelajaran dari bencana besar seperti Tsunami Aceh dan Gempa
Yogyakarta berdampak pada Gross domestic product (GDP). Pada saat Tsunami
Aceh (2004), maka 3% GDP secara nasional menghilang, sementara Gempa
Yogyakarta (2006) kehilang 30% GPD dari Provinsi DIY (Samad dkk., 2020).
Hal ini tentunya menjadi perhatian dalam hal masih minimnya pendanaan yang
bersifat investasi pengurangan risiko bencana. Kedepan, reformulasi kebijakan
pendanaan yang diusulkan untuk tahap prabencana yaituperkuatan kebijakan
pendanaan yang bersifat pro-investasi berbasis risiko (seperti dana kontijensi
maupun asuransi kebencanaan). Investasi pengurangan risiko bencana untuk
pendanaan pembangunan yang bersifat kesiapsiagaan, mitigasi (struktural dan non
struktural) maupun investasi lainnya yang bersifat pengurangan risiko bencana.

2. Reformulasi Kebijakan pada Tahap Tanggap Darurat


Dalam UU 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi:
1) pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber

9
daya;
2) penentuan status keadaan darurat bencana;
3) penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
4) pemenuhan kebutuhan dasar;
5) pelindungan terhadap kelompok rentan; dan
6) pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Salah satu tantangan dari kerangka regulasi yang ada saat ini, masih terdapat
gap, legislasi yang belum disusun sebagaimana amanat UU 24 tahun 2007 tentang
penanggulangan bencana, yaitu aturan turunan berupa Peraturan Presiden terkait
Status dan Tingkatan Bencana yang belum terealisasi. Hal ini menjadi penting
mengingat tantangan luas wilayah Indonesia yang berisiko tinggi terhadap
bencana dan keterbatasan sumberdaya (resources), sehingga perlu manajemen
yang lebih efektif dan efisien.
Perencanaan pada saat tanggap darurat masih sangat minim. Sampai dengan
saat ini, belum tersedianya perencanaan atau analisis kebutuhan (need asesstment)
untuk Penanganan Darurat Bencana (PDB) yang fungsinya untuk mempermudah
operasi darurat (seperti kajian kebutuhan logistik untuk penyintas, data informasi
sarana logistik yang dapat digunakan, moda transportasi, informasi akses, dan
sebagainya yang menjadi ruang lingkup penanganan darurat bencana). Sejalan
dengan hal tersebut, studi yang dilakukan di Jawa Timur, seperti di Kabupaten
Kediri yaitu dilakukan oleh Fitrianto (2020) yang mengemukakan bahwa Belum
tersedianya rencana kontijensi bencana letusan Gunung Kelud di BPBD setempat,
serta belum adanya berbagai Standar Operasional Prosedur (SOP) Pemberian
Bantuan Korban Bencana yang disebabkan oleh bencana kegagalan Konstruksi;
SOP Pengendalian bantuan; SOP tentang relawan dalam negeri dan luar negeri
(Fitrianto, 2020). Reformulasi kebijakan perencanaan pada saat tanggap darurat
yaitu menyusun rencana kontijensi dan rencana operasi (yang dapat segera
diaktivasi) dan dapat langsung digunakan secara operasional kedaruratan,
utamanya pada wilayah yang berisiko tinggi bencana.
Dalam hal kelembagaan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat,
berdasarkan hasil evaluasi yaitu masih terdapat multi interpretasi terhadap
aktivitas keposkoan penanganan darurat bencana, utamanya pembagian peran

10
antara pusat, provinsi, dan kabupaten. Hambatan dan tantangan kelembagaan
keposkoan pada saat tanggap darurat yaitu ketidakjelasan personil hingga belum
jelasnya pedoman (blue print) serta standar operasional prosedur (SOP) pada saat
tanggap darurat (Suarjat, 2017).
Isu pendanaan pada tahap tanggap darurat merupakan salah satu isu yang
sering muncul di berbagai daerah. Hal ini juga disampaikan oleh (Nugraha dkk.,
2020), yaitu menyampaikan kondisi pendanaan pada saat kebakaran hutan dan
lahan yang minim sehingga penanganan kedarurat bencana terhambat dan tidak
optimal (Nugraha dkk., 2020). Minimnya politik anggaran dan keberpihakan
Pemerintah Daerah (Pemda) dalam alokasi Belanja Tak Terduga (BTT) juga
menjadi kendala di berbagai daerah (Silmi, Nur dan Purwanti, 2019). Dilain sisi,
pendanaan melalui BTT dianggap tidak fleksibel dan rawan terhadap
penyimpangan. Usulan reformulasi kebijakan pendanaan pada saat tanggap
darurat yaitu berupa perkuatan kebijakan pendanaan, salah satunya skema BTT
dengan Permendagri serta aturan yang operasional dan fleksibel, sehingga Pemda
aman (tidak takut pada saat implementasi BTT).

3. Reformulasi Kebijakan pada Tahap Pascabencana


Dalam UU 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada pascabencana meliputi:
1) rehabilitasi; dan
2) rekonstruksi.
3) Adapun rehabilitasi meliputi:
4) perbaikan lingkungan daerah bencana;
5) perbaikan prasarana dan sarana umum;
6) pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;
7) pemulihan sosial psikologis;
8) pelayanan kesehatan;
9) rekonsiliasi dan resolusi konflik;
10) pemulihan sosial ekonomi budaya;
11) pemulihan keamanan dan ketertiban;
12) pemulihan fungsi pemerintahan; dan

11
13) pemulihan fungsi pelayanan publik.
Sementara rekonstruksi meliputi:
1) pembangunan kembali prasarana dan sarana;
2) pembangunan kembali sarana sosial masyarakat;
3) pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat;
4) penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang
lebih baik dan tahan bencana;
5) partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia
usaha, dan masyarakat;
6) peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya;
7) peningkatan fungsi pelayanan publik; dan
8) peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.
Berbagai legislasi atau regulasi pada tahapan pascabencana dari tingkat
Peraturan Pemerintah (PP) hingga Peraturan BNPB telah ada, namun belum
mengatur peran multipihak pada tahap pascabencana secara mendetail. Secara
legislasi, telah ada Peraturan BNPB Nomor 5 tahun 2017 terkait Rencana
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana (R3P). Namun demikian, legislasi
tersebut belum mengatur rinci peran multipihak dan cenderung BNPB selaku
pelaksana utama rehabilitasi dan rekonstuksi pascabencana. Sehingga kedepan,
perlu adanya perkuatan refomulasi kebijakan berupa regulasi yang mengatur peran
multi pihak secara mendetail pada tahapan pascabencana. BNPB maupun BPBD
dalam hal tersebut berperan sebagai koordinator, sementara untuk implementasi
diserahkan kepada masing-masing sektor.

C. Trend Dan Issue Penanggulangan Bencana Di Indonesia


a. Trend Dan Issue Penanggulangan Bencana Di Kota Balikpapan
Kantor Pencarian dan Pertolongan Balikpapan mempunyai wilayah kerja ±
550.374.80 km2 terdiri dari 14 kabupaten/kota yang berada di wilayah
Kalimantan Timur. Batas wilayah kerja Kantor Pencarian dan Perolongan
Balikpapan meliputi wilayah utara berbatasan dengan Serawak Malaysia Timur,
wilayah barat berbatasan dengan Kalimantan Tengah, wilayah selatan berbatasan
dengan Kalimantan Selatan dan wilayah timur berbatasan dengan selat Makassar.

12
Dengan kondisi wilayah pegunungan, perbukitan, rawa, sungai dan laut, Kantor
Pencarian dan Pertolongan Balikpapan mempunyai satu pos Pencarian dan
Perolongan yang berada di Kutai Timur/ Sangatta, serta 1 unit siaga Pencarian dan
Pertolongan yang berada di Kota Samarinda.
Dalam penanganan terhadap bencana dan kecelakaan, Kantor Pencarian dan
Pertolongan Balikpapan memiliki peran sesuai yang tertuang dalam tugas dan
fungsinya yaitu membina, mengoordinasikan, dan mengendalikan potensi
pencarian dan pertolongan dalam kegiatan pencarian dan pertolongan terhadap
orang yang hilang atau dikhawatirkan hilang, atau menghadapi bahaya dalam
pelayaran dan atau penerbangan, serta memberikan bantuan pencarian dan
pertolongan dalam bencana dan kecelakaan sesuai dengan peraturan pencarian
dan pertolongan nasional dan internasional. Pencarian dan pertolongan adalah
segala usaha dan kegiatan mencari, menolong, menyelamatkan, dan
mengevakuasi manusia yang menghadapi keadaan darurat dan/ atau bahaya dalam
kecelakaan, bencana, atau kondisi membahayakan manusia.
Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2014
tentang Pencarian dan Pertolongan menyatakan bahwa penyelenggaraan
pencarian dan pertolongan dilakukan terhadap kecelakaan kapal dan pesawat
udara, kecelakaan dengan penanganan khusus, bencana pada tahap tanggap
darurat dan/ atau kondisi membahayakan manusia. Dengan karakter wilayah
Kalimantan Timur yang memiliki variasi kontur pegunungan dan lainnya serta
termasuk jalur strategis transportasi menjadikan wilayah Kalimantan Timur
termasuk daerah yang rawan kecelakaan serta bencana alam.
Sesuai dengan tugas dan fungsi Kantor Pencarian dan Pertolongan
Balikpapan yaitu melaksanakan operasi pencarian dan pertolongan terhadap
kecelakaan, bencana alam, dan kondisi membahayakan manusia. Operasi
pencarian dan pertolongan tersebut melibatkan komponen masyarakat yang biasa
disebut potensi pencarian dan pertolongan. Adapun potensi tersebut merupakan
SDM yang sudah terlatih dalam pencarian dan pertolongan, peralatan, sarana dan
prasarana pendukung yang dapat dimanfaatkan untuk operasi pencarian dan
pertolongan. Selain itu, dalam pelaksanaan operasi pencarian dan pertolongan
Kantor Pencarian dan Pertolongan Balikpapan sebagai leading sector dalam

13
proses evakuasi.

Operasi pencarian dan pertolongan yang ditangani oleh Kantor Pencarian


dan Pertolongan Balikpapan dalam 3 tahun terakhir meliputi kecelakaan kapal,
kondisi membahayakan manusia (orang tenggelam), dan bencana alam banjir/
longsor yang terjadi di wilayah Samarinda. Untuk mensiasati respon times
Kantor Pencarian dan Pertolongan Balikpapan, dibentuk Pos Pencarian dan
Pertolongan dan juga Unit Pencarian dan Pertolongan sebagai kepanjangan
tangan Kantor Pencarian dan Pertolongan Balikpapan dalam menjalankan tugas
dan fungsinya melaksanakan operasi pencarian dan pertolongan. Dalam
pelaksanaan operasi pencarian dan pertolongan, Kantor Pencarian dan
Pertolongan Balikpapan dilengkapi dengan peralatan pendukung dan sarana
pencarian dan pertolongan sesuai dengan karakter wilayah, jenis kecelakaan/
bencana, dan/ atau kondisi yang membahayakan manusia.
Ditinjau dari Sumber Daya Manusia (SDM), diketahui bahwa jumlah
personil secara keseluruhan dari kantor pencarian dan pertolongan kelas A
Balikpapan berjumlah 74 orang. Berdasarkan peta jabatan yang ada di Kantor
Pencarian dan Pertolongan Balikpapan untuk jabatan rescuer hanya berjumlah 36
personil rescuer. Jumlah jabatan rescuer ini masih kurang dari jumlah kebutuhan
yang harus diisi. Dengan kata lain, Kantor Pencarian dan Pertolongan masih
kekurangan jumlah rescuer yang bertugas langsung dalam penanganan operasi
pencarian dan pertolongan di wilayah Kalimantan Timur.
Sebagai komponen pendukung keberhasilan pelaksanaan operasi Pencarian
dan Pertolongan, sarana dan peralatan Kantor Pencarian dan Pertolongan
Balikpapan mengikuti perkembangaan ilmu pengetahuan dan teknologi baik
kualitas maupun kuantitasnya. Secara umum, gambaran kondisi sarana dan
peralatan Kantor Pencarian dan Pertolongan Balikpapan sebagai berikut :
a) Sarana Pencarian dan Pertolongan Laut. Untuk menunjang penyelamatan
korban di lautan, Kantor Pencarian dan Pertolongan Balikpapan telah memiliki
Rescue Boat, Rigid Inflatable Boat, Rubber Boat, Amphibious serta Rescue
Fast Water. Selain sebagai sarana angkut tim penolong yang akan memberikan
pertolongan, sarana laut juga memiliki kemampuan mencari dan mengarungi

14
lautan pada berbagai kondisi alam dan cuaca.
b) Sarana Pencarian dan Pertolongan Darat. Sebagai sarana penunjang operasi
pertolongan terhadap kecelakaan, bencana dan kondisi membahayakan
manusia, secara garis besar sarana Pencarian dan Pertolongan darat yang
dimiliki oleh Kantor Pencarian dan Pertolongan Balikpapan yaitu Rescue
Truck, Truck personil, Rescue Commob dan Rescue Car. Dalam rangka
mendukung kecepatan mobilisasi tim penolong, kendaraan-kendaraan tersebut
telah dilengkapi dengan rescue tools.
c) Peralatan Pencarian dan Pertolongan. Peralatan Pencarian dan Pertolongan
adalah bagian penting bagi rescuer dalam melaksanakan pertolongan terhadap
korban kecelakaan, bencana dan kondisi membahayakan manusia sehingga
dukungan peralatan yang memadai akan membantu proses pertolongan dengan
cepat, tepat, efektif dan efisien. Peralatan Pencarian dan Pertolongan yang
dimiliki Kantor Pencarian dan Pertolongan Balikpapan meliputi Peralatan
Pencarian dan Pertolongan Darat seperti alat mounteneering, ekstrikasi, alat
urban SAR dll serta Peralatan Pertolongan Laut yaitu, alat selam, kompressor,
Under Water Communcation, dll.

1. Isu Strategis
Wilayah Kalimantan Timur memiliki SDA alam yang berlimpah dan
merupakan wilayah pertambangan baik pertambangan batu bara, minyak dan gas
alam. Dengan banyaknya wilayah pertambangan yang ada di Kalimantan Timur
menyebabkan potensi kecelakaan, bencana dan kondisi membahayakan manusia
semakin tinggi. Berkaitan dengan pemindahan Ibu Kota baru yang akan dibangun
di wilayah Penajam Paser Utara, menyebabkan semakin tinggi potensi kecelakaan
dikarenakan semakin tinggi arus transportasi untuk mengangkut bahan material
dan manusia dalam pengerjaan pembangunan Ibu Kota baru. Dalam kondisi
pembangunan tersebut akan meningkatkan potensi bencana alam terutama longsor
dan juga kondisi membahayakan manusia sehingga perlu kesiapan yang tinggi
dalam mengantisipasi kemungkinan terjadi kecelakaan, bencana dan kondisi
membahyakan manusia.
Kegiatan Pencarian dan Pertolongan pada dasarnya adalah usaha berupa

15
kegiatan mencari, menolong, menyelamatkan jiwa manusia yang hilang atau
dikhawatirkan hilang atau menghadapi bahaya dan atau kecelakaan, baik dalam
pelayaran dan/ atau penerbangan maupun bencana dan/ atau kondisi
membahayakan manusia lainnya. Kegiatan ini bersifat represif dan dilakukan
segera pada saat kecelakaan atau kejadian tersebut terjadi.
Dalam pelaksanaan operasi Pencarian dan Pertolongan memerlukan
kemampuan mencari (Search) lokasi kecelakaan dan kemampuan memberikan
pertolongan (rescue) terhadap korban kecelakaan. Operasi Pencarian dan
Pertolongan dapat dikatakan berhasil apabila dalam penyelenggaraan operasi
Pencarian dan Pertolongan tersebut mampu menemukan dan menyelamatkan
korban seoptimal mungkin.

2. Tren Kejadian Bencana di Kota Balikpapan


Dilihat dari kurun waktu tiga tahun berturut-turut, trend kejadian di wilayah
operasi kantor pencarian dan pertolongan kelas A Balikpapan didominasi oleh
kejadian kondisi membahayakan manusia kemudian disusul oleh kejadian
kecelakaan kapal. Hal ini menjadi sering terjadi melihat kondisi lalu lintas
perairan Kalimantan Timur cukup ramai. Setelah itu disusul oleh kejadian
bencana. Berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab dari Kantor Pencarian dan
Pertolongan Balikpapan, selama tiga tahun ini kejadian kecelakaan penerbangan
dan kejadian kecelakaan dengan penanganan khusus belum pernah terjadi. Berikut
merupakan diagram akumulasi trend kejadian selama tiga tahun berturut-turut di
wilayah Provinsi Kalimantan Timur.

Tabel 1. Data Kejadian 2017-2019


Jumlah Kejadian Ju m la h
Jenis
Kejadian 2017 2018 2019

Kecelakaan
- - - -
Pesawat
Kecelakaan 4
20 12 13

16
Kapal 5
Kondisi
1
Membahay 28 41 35
0
akan
4
Manusia
Bencana
(Tanggap 4 1 1 6
Darurat)
Kecelakaan
Dengan - - - -
Penangana
n Khusus
1
Total 52 63 49 6
4
Sumber : Kantor Pencarian dan Pertolongan Balikpapan

Berdasarkan tabel 1 di atas, kejadian kondisi membahayakan manusia dan


kecelakaan kapal memiliki intensitas yang tinggi jika dibandingkan dengan
kecelakaan pesawat, Bencana Alam dan Kecelakaan dengan penanganan khusus.
Selama kurun waktu 3 tahun terakhir tidak terdapat kecelakaan pesawat dan
kecelakaan dengan penanganan khusus. Sedangkan pada kondisi membahayakan
manusia mengalami kenaikan tertinggi pada tahun 2018 dalam kurun waktu 3
(tiga) tahun terakhir dan pada kecelakaan kapal mengalami penurunan di tahun
2018 dibandingkan tahun sebelumnya dan mengalami kenaikan 1 kejadian pada
tahun 2019 dari tahun sebelumnya. Bencana Alam yang terjadi di Kalimantan
Timur tidak terlalu besar jumlahnya yaitu pada tahun 2017 hanya terdapat 4
(empat) kejadian dan tahun selanjutnya hanya terdapat 1 (satu) kali kejadian.

3. Evakuasi Korban oleh Kantor Pencarian dan Pertolongan Balikpapan


Tolok ukur keberhasilan Kantor Pencarian dan Pertolongan Balikpapan dalam
melaksanakan operasi Pencarian dan Pertolongan dapat dilihat dari jumlah korban

17
yang terselamatkan dan ditemukan pada pelaksanaan operasi Pencarian dan
Pertolongan. Dalam hal ini pengukuran tersebut diambil dari rata-rata jumlah
korban pada kecelakaan pesawat udara, kecelakaan kapal, bencana, kondisi
membahayakan manusia serta kecelakaan dengan penanganan khusus.
Terkait jumlah korban terselamatkan dalam pelaksanaan operasi Pencarian dan
Pertolongan diukur dari jumlah korban selamat baik dalam keadaan sehat, luka
ringan dan luka berat dari jumlah total korban kecelakaan, bencana, kondisi
membahayakan manusia serta kecelakaan dengan penanganan khusus yang terdata
pada pelaksanaan tanggap darurat. Sedangkan untuk jumlah korban yang
ditemukan diukur dari jumlah korban yang selamat dan meninggal dari jumlah
total korban kecelakaan, bencana, kondisi membahayakan manusia serta
kecelakaan dengan penanganan khusus yang dilaporkan / terdata.
Gambar . Data Evakuasi Korban

Kecelakaan…
Bencana 2019
Kondisi… 2018
Kecelakaan…
2017
Kecelakaan…
0
1000 2000 3000

Berdasarkan tabel di atas, korban pada kecelakaan kapal dan Bencana


memiliki jumlah yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan Kecelakaan
Pesawat, Kondisi Membahayakan Manusia dan Kecelakaan dengan penanganan
khusus. Selama kurun waktu 3 tahun terakhir tidak terdapat kecelakaan pesawat
dan kecelakaan dengan penanganan khusus. Sedangkan pada kejadian bencana
mengalami kenaikan jumlah korban yang cukup tinggi pada tahun 2019. Korban
tersebut merupakan korban selamat yang dapat dievakuasi sebanyak 2347 korban
pada bencana banjir di Samarinda. Pada kecelakaan kapal mengalami penurunan
jumlah korban di tahun 2018 dibandingkan tahun sebelumnya dan mengalami
kenaikan jumlah korban pada tahun 2019. Berdasarkan tabel di atas, Kantor
Pencarian dan Pertolongan Balikpapan dapat mengevakuasi korban selamat
dengan jumlah lebih banyak dibandingkan korban meninggal dunia maupun
korban hilang.

18
b. Trend Dan Issue Penanggulangan Bencana Gempa Cianjur Jawa Barat
Gempabumi dengan Mw 5.6 mengguncang wilayah Kabupaten Cianjur pada
Senin 21 November 2022 pukul 13:21:10 WIB. Badan Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika (BMKG) merilis episenter gempabumi terletak pada koordinat 6,84
LS dan 107,05 BT, atau tepatnya berlokasi di darat pada kedalaman 10 km.
Tercatat hingga tanggal 22 November 2022 telah tercatat 140 gempa-gempa
susulan (aftershocks) dengan magnitudo 1.2-4.2 dan kedalaman rata-rata sekitar
10 km, dimana 5 gempa diantaranya dirasakan oleh masyarakat sekitar.
Gempabumi utama (mainshock) Mw 5.6 berdampak dan dirasakan di kota Cianjur
dengan skala intensitas V-VI MMI (Modified Mercalli Insensity); Garut dan
Sukabumi IV-V MMI; Cimahi, Lembang, Kota Bandung, Cikalong Wetan,
Rangkasbitung, Bogor dan Bayah dengan skala intensitas III MMI; Tangerang
Selatan, Jakarta dan Depok dengan skala intensitas II-III MMI (Gambar dibawah).
Dari hasil kaji cepat yang dilakukan BPBD Kabupaten Cianjur bersama BPBD
Provinsi Jawa Barat dalam jeda waktu 3 jam setelah kejadian gempa bumi
melaporkan kondisi mutakhir Kabupaten Cianjur meliputi pendataan warga yang
menderita luka-luka serta kerugian material saat itu yang dilaporkan meliputi 354
unit rumah rusak berat, 4 unit kantor pemerintahan rusak, 3 unit fasilitas
Pendidikan rusak, 2 unit kios rusak, 1 unit pondok pesantren rusak berat, 1 unit
RSUD Cianjur rusak ringan, dan 1 titik jalan tertutup longsor, dimana masih terus
secara keseluruhan masih dalam proses pendataan. Intensitas gempabumi juga
dirasakan cukup kuat dalam durasi yang beragam yakni 10-15 detik di Kabupaten
Cianjur, 7 – 10 detik di Kota Sukabumi, 5 -7 detik di Kabupaten Sukabumi,
Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bogor, serta 3 – 5 detik di Provinsi DKI, di
Kota Bekasi dan di Kabupaten Garut.

19
Upaya yang dilakukan pasca terjadinya gempabumi sesuai dengan arahan
Presiden Jokowi yang menghimbau agar seluruh korban gempa bumi ditangani
dengan baik dengan memprioritaskan evakuasi dan distribusi logistic serta
memberikan instruksi langsung untuk segera membuka askses daerah terisolasi
akibat gempabumi. Adapun BNPB mengkoordinasi pemasangan 33 unit tenda
pengungsi berukuran 6 x 12 pada lokasi pengungsian dan ruah sakit terdampak
dengan dukungan BPBD Provinsi Jawa Barat. Pada Senin (28/11) BNPB Kembali
melakukan pendistribusian logistik yang meliputi Kasur set (bantal, sprei, sarung
bantal) sebaganyak 300 set dan tenda pengungsi ke BPBD Kabupaten Cianjur
sebanyak 6 unit. Terkait pendistribusian logistic untuk daerah yang sulit dijangkau
akan terus diupayakan melalui jalur udara yakni dengan menggunakan 1 unit
helicopter serta melalui jalur darat dengan menggunakan 50 unit sepeda motor.
Tercatat pos pengungsi sebanyak 451 titik dengan rincian 351 titik terpusat dan
100 titik mandiri. Dinas sosial juga telah mengoperasikan 18 unit dapur umum,
serta terdapat penambahan 150 bilik MCK untuk pos-pos pengungsian terpusat,
sehingga total telah terdapat 197 MCK.
Terkait dengan kondisi tanggap darurat pasca bencana gempabumi Kabupaten
Cianjur, Pemerintah Kabupaten Cianjur telah menetapkan Status Tanggap Darurat
No. 360/ KEP376-BPBD/2022; Status selama 30 hari (21 November 2022 s/d 20
Desember 2022). Dari peninjauan Bupati Cianjur bersama Kemenko PMK dan
Kepala BNPB terkait relokasi di Desa Sirnagalih, Kecamatan Cilaku. Personil
pendukung dibantu dengan alat berat guna membuka lahan untuk lokasi relokasi
hunian tetap di Desa Sirnagalih dengan luas lahan adalah 2,5 hektar yang
kemudian akan diperuntukan sebanyak 200 unit rumah dengan tipe 36 (6m x 6m).
Adapun perencanaan pembangunan hunian tetap ini ditargetkan 1 bulan,

20
kemudian disusul pembangunan fasilitas umum. Seluruh pengerjaan hunian tetap
berada di bawah kendali Kementerial PUPR dengan penyediaan lahan dari
Pemerintah Kabupaten Cianjur.

21
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, bahwa dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana telah digambarkan suatu Sistem
Penanggulangan Bencana yang bersifat Nasional dan merupakan satu kesatuan
sistem penyelenggaraan penanggulangan bencana yang terintegrasi meliputi
aspek legislasi– regulasi, perencanaan, kelembagaan dan pendanaan, maupun
penyelenggaraan penggulangan bencana. Adapun reformulasi kebijakan
penanggulangan bencana yang perlu diperkuat untuk sistem pe-nanggulangan
bencana sebagai berikut: (1) Prabencana, (2) Tanggap Darurat, dan (3)
Pascabencana.
Indonesia, dilanda berbagai bencana alam sepanjang tahun 2022. Kejadian
bencana banjir, cuaca ekstrem, tanah longsor hingga gempa bumi melanda
sejumlah wilayah di Indonesia. Hingga 6 Januari 2023 tercatat telah terjadi 3.542
kejadian bencana selama tahun 2022 dengan rincian banjir 1.530 kejadian, cuaca
ekstrem 1.067 kejadian, tanah longsor 634 kejadian, kebakaran hutan dan lahan
(karhutla) 252 kejadian, gempa bumi 28 kejadian, gelombang pasang/ abrasi 26
kejadian, kekeringan 4 kejadian dan letusan gunung api 1 kejadian. Rincian
kejadian tersebut menunjukan kejadian bencana yang terjadi didominasi bencana
hidrometeorologi dengan prosentase kejadian mencapai 91% dari keseluruhan
kejadian bencana. Selain itu, banjir, cuaca ekstrem dan tanah longsor berturut-
turut menjadi kejadian bencana yang paling banyak terjadi.

B. SARAN
1) Bagi Masyarakat
Perlu adanya peningkatan pengetahuan dasar masyarakat tentang pengurangan
risiko bencana, agar masyarakat dapat berkontribusi secara nyata dalam
penanggulangan bencana banjir khususnya di daerahnya masing-masing.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan diantaranya:
a. Key person /relawan dalam membangun manajemen bencana berbasis
masyarakat merupakan sukarelawan yang menjaga koordinasi dan

22
komunikasi manajemen bencana di wilayahnya sehingga kelompok atau
forum akan aktif bekerjasama.
b. Relawan penanggulangan bencana membangun jejaring antar wilayah,
komunitas, stakeholder untuk memperkuat kemampuan masyarakat dalam
manajemen bencana, dan membangun kebijakan – kebijakan lokal untuk
upaya mitigasi maupun adaptasi.
2) Bagi Pemerintah
Perlu dikembangkan kerjasama dengan stakeholder lain dalam pengurangan
resiko bencana sehingga dapat berjalan optimal dan berkelanjutan, berwawasan
lingkungan hidup dan berkeadilan. Beberapa upaya yang perlu dilakukan
adalah:
a) Sosialisasi dan pembinaan masyarakat oleh BPBD Kota Semarang dalam
manajemen bencana berbasis masyarakat
b) Kerjasama multi pihak (masyarakat, kelompok, swasta dan pemerintah)
dalam manajemen bencana berbasis masyarakat.
c) Kegiatan preventif dalam rangka meminimalkan dampak bencana
d) Peningkatan pengetahuan dna kapasitas masyarakat dalam manajemen
bencana
e) Pembinaan dan peningkatan kapasitas oleh pemerintah kepada kelompok
dan masyarakat dalam pegelolaan manajemen bencana berbasis masyarakat
f) Pelibatan masyarakat dalam membangun manajemen bencana berbasis
masyarakat
g) Pengelolaaan lingkungan sesuai dengan tataruang yang sesuai dengan
kondisi lingkungan
h) Pelatihan dan peningkatan kapasitas bagi masyarakat dalam pengelolaan
manajemen bencana
i) Penanaman pohon untuk kegiatan reboisasi dan menambah cadangan air
bawah tanah

23
DAFTAR PUSTAKA

https://gis.bnpb.go.id/arcgis/apps/sites/#/public/apps/
67ae11d4abca463888d205ed3c41bac3/explore
Banjarnahor, J., Rahmat, H. K., & Sakti, S. S. (2020). Implementasi Sinergitas
Lembaga Pemerintah untuk Mendukung Budaya Sadar Bencana di Kota
Balikpapan. NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 7(2), 448-461.
BNPB. (2019). Tren Kejadian Bencana Provinsi Kalimantan Timur. Jakarta:
Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Gustaman, F. A. I., Rahmat, H. K., Banjarnahor, J., & Maarif, S. (2020). Peran
Kantor Pencarian dan Pertolongan Lampung dalam Masa Tanggap Darurat
Tsunami Selat Sunda Tahun 2018. NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan
Sosial, 7(2), 462-469.
Hakim, F. A., Banjarnahor, J., Purwanto, R. S., Rahmat, H. K., & Widana, I. D.
K. K. (2020).Pengelolaan Obyek Pariwisata Menghadapi Potensi Bencana di
Balikpapan sebagai Penyangga Ibukota Negara Baru. NUSANTARA: Jurnal
Ilmu Pengetahuan Sosial, 7(3), 607-612.
Kodar, M. S., Rahmat, H. K., & Widana, I. D.K. K. (2020). Sinergitas Komando
Resor Militer 043/ Garuda Hitam dengan Pemerintah Provinsi Lampung
dalam Penanggulangan Bencana Alam. NUSANTARA: Jurnal Ilmu
Pengetahuan Sosial, 7(2), 437-447.
Kurniadi, Y. U., Rahmat, H. K., Hakim, F. A., & Maarif, S. (2020). Peran
Pangkalan Udara Pangeran M. Bun Yamin Bandar Lampung dalam
Penanggulangan Bencana Guna Mendukung Keamanan Nasional.
NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 7(3), 591-597.
Moeldoko. (2019). Pemindahan Pusat Pemerintahan: Analisis dan Perspektif
Pertahanan & Keamanan. Jakarta: Kementerian PPN.
Moleong, L. J. (2000). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Robsdakarya.
Rahmat, H. K. (2019). Implementasi Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling
Komprehensif Bagi Siswa Tunanetra di MTs Yaketunis Yogyakarta. Hisbah:
Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam, 16(1), 37-46.

24
Rahmat, H. K., Ramadhani, R. M., Ma’rufah, N., Gustaman, F. A. I., Sumantri, S.
H., & Adriyanto, A. (2020). Bantuan China Berupa Alat Uji Cepat COVID-
19 kepada Filipina: Perspektif Diplomacy and International Lobbying
Theory. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, 30(1), 19-27.
Rahmat, H. K., Santika, E., Kusumaningtyas,A. B. (2018). Urgensi Teknologi
Informasi dan Komunikasi dalam Bimbingan dan Konseling Islam. Prosiding
Kalijaga Technology and Media in Counselling Conference 2019, 19-38.
Sarvina, Y. (2018). Aspek Hidrometeorologi dalam Menumbuhkan Budaya
Sadar Bencana Di Indonesia. Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana, 9.
Sugiyono. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta.
Supranto. (2000). Metode Riset : Aplikasinya Dalam Pemasaran. Jakarta:
Rineka Cipta.
Syamsuddin. (2009). Manajemen Keuangan Perusahaan. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Utama, B. D., Prewito, H. B., Pratikno, H.,Kurniadi, Y. U., & Rahmat, H. K.
(2020). Kapasitas Pemerintah Desa Dermaji Kabupaten Banyumas dalam
Pengurangan Risiko Bencana. NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan
Sosial, 7(3), 591-606.

25

Anda mungkin juga menyukai