Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH SKILL LAB

KEPERAWATAN BENCANA
SIMULASI DAN MANAJEMEN PSIKOSOSIAL PASCA BENCANA

Dosen Pengampu:

Ns. Arneliwati, M.Kep

Disusun Oleh: KELOMPOK 1

Aldi Arsenta (1811110191) Dessika Larassati (1811110762)


Adinda Nia Oktaviani (1811113751) Dina Amanda Ramadhani (1811113599)
Alifia Salsabila (1811113547) Dinda Bucira Alma (1811112458)
Ani Ayu Lita (1811111494) Doni Iman Sari (1811125252)
Annisa Devia Islamy (1811110493) Elmi Wahyuni (1811110605)
Annisa Ramadhani (1811112392) Fadhilah Putri Fertycia (1811110426)
Arni Febrianti (1811125318) Fajri Disfa Madhani (1811110273)
Datin Suhailah (1811112710) Hajar Adhara (1811112450)
Delvi Sa’idah (1811112543) Hanifa Arifany (1811113045)

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Rahmat dan
Karunia-Nya, kami sebagai penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya
dan tepat pada waktunya.
Makalah ini berjudul Simulasi dan Manajemen Psikososisal Pasca Bencana untuk
memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Keperawatan
Bencana. Selain itu juga, makalah ini diharapkan mampu menjadi sumber pembelajaran bagi
kita semua untuk mengerti lebih jauh tentang Penanganan dan Manajemen Psikososial Pasca
Bencana.
Makalah dibuat dengan meninjau beberapa sumber dan menghimpunnya menjadi
kesatuan yang sistematis. Terima kasih saya ucapkan kepada semua pihak yang menjadi sumber
referensi bagi kami. Terima kasih juga kepada dosen pengampu dan semua pihak yang terkait
dalam pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi pembaca sekalian. kami sebagai penyusun
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.

Pekanbaru, Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................ii
BAB I..................................................................................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................................1
C. Tujuan......................................................................................................................................1
A. Manajemen Psikososial Pasca Bencana...................................................................................3
1. Definisi.................................................................................................................................3
2. Tujuan Manajemen Psikososial Pasca Bencana...................................................................3
3. Dampak psikologis...............................................................................................................3
4. Dampak Yang Mungkin Terjadi Setelah Terjadinya Bencana.............................................8
5. Prinsip dasar penanganan masalah psikologis....................................................................10
6. Upaya intervensi.................................................................................................................11
7. Dukungan Psikososial........................................................................................................11
B. PFA ( PSYCHOLOGICAL FIRST AID)..............................................................................11
1. Definisi PFA dan Tujuan PFA...........................................................................................11
2. Prinsip dasar dan sikap terhadap penyitas..........................................................................12
3. Sikap terhadap penyintas....................................................................................................13
4. Kerangka kerja PFA...........................................................................................................14
C. Self Help Group.....................................................................................................................16
1. Defenisi Self Help Group...................................................................................................16
2. Tujuan Self help group.......................................................................................................16
3. Kesamaan karakteristik anggota self help grup dan Dasar pemikiran teoritis...................17
4. Mekanisme perubahan yang terjadi dalam self help group................................................17
5. Strategi dan teknik-teknik self help grup yang digunakan.................................................18
6. Manfaat Self Help Group...................................................................................................18
7. Prinsip Self Help Group.....................................................................................................19
8. Pengoprasiaan Self Help Group........................................................................................19
9. Hal-hal yang dilakukan dalam pelaksanaan self help group antara lain:...........................20
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................4
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kondisi geografis dan geologis indonesia menjadikannya area yang rawan berbagai bencana
alam mulai dari letusan gunung, gempa, hingga banjir. Wilayah indonesia berada di jalur cincin
api Pasifik yang merupakan rangkaian gunung api aktif di dunia dan hampir semua gempa bumi
dunia terjadi di jalur tersebut. Indonesia juga merupakan tempat pertemua tiga lempeng tektonik
besar: Indo-Australia, Eurasi, dan Lempeng Pasifik, sehingga punya potensi besar untuk
terjadinya bencana gempa bumi termasuk likuifaksi dan tsunami.
Dalam lima tahun terakhir Indonesia mengalami berbagai bencana alam mulai dari banjir,
tanah longsor, tsunami, likuifaksi, gempa bumi, letusan gunung berapi, hingga kebakaran hutan.
Menurut data dari BNPB, sejak tahun 2017 hingga pertengahan 2019, Indonedia telahmengalami
5.594 kejadian bencana. Bencana alam yang taejadi menimbulkan berbagai dampak, mulai dari
kerusakan fisik hingga korban jiwa.total korbanmeninggal dan hilang sebanyak 4.249 jiwa ,
27.000 lebih korban yang mengalami luka-luka, lebih dari 21 juta jiwa yang menderita dan
mengungsi. Selain itu, lebih dari 166 ribu rumah mengalami kerusakan berat, 105 ribu rumah
mengalami kerusakan sedang, dan 302 ribu rumah mengalami kerusakan ringan.
Bencana alam selain menimbulkan kerusakan secara fiksik serta korban jiwa, juga
memberikan dampak-dampak psikososial yang cukup serius pada orang-orang yang
mengalaminya baik secara langsung maupun tidak langsung. Terjadinya bencana alam mengubah
seluruh atau sebagian aspek dari kehidupan mereka. Contohnya, mereka yang kehilangan tempat
tinggal harus mengungsi ke tenda pengungsian, mereka yang kehilangan anggota keluarganya
mengalami kesedihan yang mendalam, mereka yang kehilangan pekerjaan atau mata pencaharian
belum bisa kembali bekerja karena situasi yang belum memungkinkan.
Pemerintah baik pusat maupun daerah adalah penanggung jawab utama dalam perlindungan
dan penanggulangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
penanggulangan bencana, termasuk memberikan perlindungan pada kelompok rentan, seperti
anak, ibu hamil dan menyusui, serta lansia. Perlindungan yang di maksud salah satunya adalah
upaya pendampingan psikososial, dari pengobatan sampai pemulihan.
1
2

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan manajemen psikososial pasca bencana?
2. Apa tujuan dari simulasi dan manajemen psikososial pasca bencana?
3. Apa penyebab timbulnya masalah kesehatan jiwa dan psikososial dalam bencana?
4. Bagaimana dampak psikologis dari korban bencana?
5. Bagaimana upaya intervensi kesehatan jiwa yang dilakukan oleh pemerintah dan nakes?
6. Bagaimana dukungan psikososial yang dapat diberikan?
7. Apa tujuan dari PFA dan kerangka kerjanya?
8. Apa tujuan dari self help group serta mekanismenya?
9. Bagaimana strategi dan teknik-teknik self help group yang digunakan?
10. Bagaimana dampak yang diberikan pada self help grop terhadap korban bencana?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk memahami simulasi dan manajemen psikososial pasca bencana untuk
memberikan pendampingan psikososial terhadap korban bencana dalam hal
pemulihan dan pengobatan.
2. Tujuan Khusus
a. Memahami defenisi serta tujuan dari simulasi manajemen psikososial pasca
bencana
b. Mengetahui dampak psikologis dari bencana
c. Mengetahui prinsip penanganan masalah dari psikologis korban bencana
d. Mengetahui upaya intervensi kesehatan jiwa dan psikososial untuk
kesiapsiagaan bencana
e. Memahami bagaimana dukungan psikososial untuk korban pasca bencana
f. Memahami defenisi dan tujuan dari PFA (Psychological First Aid)
g. Memahami prinsi kerja dari PFA (Psychological First Aid)
h. Memahami defenisi serta tujuan dari SELF HELP GROUP (Self Help Group)
i. Mengetahui bagaimana strategi dan teknik-teknik self help group yang di
gunakan
j. Mengetahui bagaimana mekanisme perubahan yang terjadi dalam SELF HELP
GROUP

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Manajemen Psikososial Pasca Bencana

1. Definisi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata simulasi adalah metode
pelatihan yang meragakan sesuatu dalam bentuk tiruan yang mirip dengan keadaan yang
sesungguhnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata manajemen
adalah penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Psikososial
adalah relasi yang dinamis antara aspek psikologis dan sosial seseorang. Fase pasca
dampak dimulai saat pemulihan dari fase darurat. Fase ini juga ditandai dengan dimulainya
masyarakat berusaha kembali melakukan aktifitas secara normal. Secara umum dalam pasca
dampak ini para korban bencana akan mengalami dampak psikologis berupa penolakan,
marah, tawar menawar, depresi hingga akhirnya bisa menerima.
Pertolongan pertama psikologis merupakan tindakan pertama yang dilakukan dalam durasi
singkat kepada seseorang yang baru saja mengalami bencana ataupun krisis untuk membantu
keadaan pada saat itu serta mencegah timbulnya dampak psikologis yang lebih mendalam.

2. Tujuan Manajemen Psikososial Pasca Bencana


Bencana alam, selain menimbulkan kerusakan fisik serta korban jiwa, juga memberikan
dampak-dampak psikososial yang cukup serius pada orang-orang yang mengalaminya baik
secara langsung maupun tidak langsung. Terjadinya bencana alam mengubah sebagian atau
seluruh aspek kehidupan mereka. Contohnya, mereka yang kehilangan tempat tinggal harus
mengungsi ke tenda pengungsian; mereka yang kehilangan anggota keluarganya mengalami
kesedihan yang mendalam; mereka yang kehilangan pekerjaan atau mata pencaharian belum
bisa kembali bekerja karena situasi yang belum memungkinkan.

3. Dampak psikologis
Dampak psikologis pasca bencana dapat diakibatkan oleh kegiatan tertentu dalam siklus
kehidupan dan stres kronik pasca bencana yang terkait dengan kondisi psykitrik korban
bencana. Hal ini perlu adanya pemantauan dalam jangka panjang oleh tenaga spesialis. Hal
4
5

lain yang penting diperhatikan pasca bencana adalah menginventarisasi semua sumber daya
yang ada secara terinci, konkrit dan diumumkan tenaga spesialis. Hal lain yang penting
diperhatikan pasca bencana adalah menginventarisasi semua sumber daya yang ada secara
terinci, konkrit dan diumumkan.
Gejala dan dampak psikologis pasca bencana juga dapat dilihat dari daftar gejala Hopkins
untuk mengetahui adanya depresi dan kecemasan. Gejala- gejala Hopkins tersebut meliputi
perasaan depresi, minat atau rasa senang yang berkurang, dan DSM-IV kriteria A. Gejala
perasaan depresi meliputi mudah menangis, merasa tidak ada harapan untuk masa depan,
merasa galau dan merasa kesepian. Minat atau rasa senang yang berkurang seperti tidak ada
rasa minat terhadap segala hal, dan hilangnya minat atau kesenangan seksual. Sedangkan
gejala DSM-IV pada kriteria A adalah nafsu makan rendah, kesulitan untuk tidur atau tetap
tidur, merasa kurang bertenaga dan atau merasa segala sesuatu perlu usaha, menaruh
kesalahan pada diri sendiri untuk segala hal, terlalu khawatir mengenai segala hal atau merasa
tidak berguna, dan berpikir untuk bunuh diri.
Dampak psikologis karena bencana juga dapat dilihat dari DSM IV pada kriteria B, kriteria
C, dan kriteria D. Kriteria-kriteria ini selanjutnya dikembangkan dan dijadikan acuan untuk
menyusun kuesioner pada klien yang mengalami trauma oleh Mollica et al (2004) dari Havard
University sehingga dikenal dengan Trauma Havard Quesioner (THQ). Pada DSM-IV kriteria
B menjelaskan tentang gejala mengalami kembali (re- experiencing) misalnya pikiran atau
ingatan yang muncul kembali tentang peristiwa yang paling menyakitkan atau menakutkan,
merasa seolah-olah peristiwa terjadi lagi, mimpi buruk yang muncul kembali, reaksi
emosional atau fisik secara tiba-tiba ketika diingatkan mengenai peristiwa yang paling
menyakitkan atau traumatic.
Pada DSM-IV kriteria C atau disebut juga sebagai gejala penghindaran atau mati rasa
(avoidance and numbing) yaitu merasa jauh dari orang lain, tidak mampu merasakan emosi,
menghindari melakukan kegiatan atau pergi ke tempat yang mengingatkan peristiwa yang
traumatik atau menyakitkan, ketidakmampuan untuk mengingat beberapa bagian dari
peristiwa yang paling traumatik atau menyakitkan tersebut, menurunnya minat pada kegiatan
sehari-hari, merasa seolah-olah tidak memiliki masa depan, menghindari fikiran atau perasaan
yang terasosiasikan berkaitan dengan peristiwa traumatik atau menyakitkan tersebut.
Sedangkan pada DSM–IV kriteria D atau disebut dengan gejala rangsangan (arousal) sebagai
6

berikut merasa resah, mudah kaget, kesulitan untuk berkonsentrasi, sulit tidur, merasa was-
was, dan merasa kesal atau sering tiba-tiba marah.
Berikut ini akan dijelaskan tentang dampak secara psikologis dan psikososial dari
terjadinya bencana, yaitu:
a. Dampak manusia
1) Meninggalnya orang yang disayangi
2) Hilangnya sanak saudara
3) Luka berat dan luka ringan
4) Kurangnya makanan dan air menyebabkan munculnya penyakit
5) Layanan kesehatan yang tidak memadai dan infrastruktur lainnya
6) Hancurnya tempat tinggal, rumah sakit, sekolah, masjid, gereja dan sebagainya.
b. Dampak psikologis
Dampak berarti pengaruh yang kuat yang menimbulkan akibat baik positif maupun
negatif. Sedangkan psikologis adalah kata sifat dari psikologis yang artinyaa kejiwaan,
merupakan sifat dari jiwa seseorang. Secara harfiah psikologi umumnya dimengerti
sebagai “ilmu jiwa”. Pengertian ini didasarkan pada terjemahan dari bahasa Yunani:
psyche dan logos. Psyche berarti “jiwa” atau “nyawa” atau “alat untuk berfikir”. Logos
berarti “ilmu”. Dengan demikian, psikologi diterjemahkan ilmu yang mempelajari jiwa.
Dampak psikologis yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu dampak atau pengaruh
yang kuat pada jiwa seseorang dikarenakan terjadinya suatu bencana alam. Dampak
psikologis pada akhirnya berlanjut pada tahapyang lebih kompleks, yaitu gangguan
kejiwaan. Gangguan kejiwaan merupakan sebuah kelainan yang terjadi bukan kelainan
jasmani, anggota tubuh atau kerusakan pada sistem otak. Kelainan-kelainan tersebut
diantaranya adalah ketegangan jiwa, depresi, cemas, stres, was-was, kompulasi yang
tidak disengaja, conversion hysteria, merasa tidak bersemangat dan tidak mampu
mencapai tujuan, takut, pikiran gelap meliputi individu dalam kesadarannya, sehingga
pikiran bercabang-cabang dan dalam tidur tidak lelap.

Seseorang rang yang mentalnya kacau tidak dapat memperoleh ketenangan hidup.
Jiwa mereka sering timbul emosi, negatif sehingga dirinya tidak mampu mencapai
kedewasaan psikis, mudah putus asa, dan bahkan bunuh diri. Sebagian besar orang yang
terkena bencana akan terlihat panik walaupun sebagian kecil orang tampak terlihat
7

tenang dan berusaha bersikap secara rasional. Orang-orang yang tenang dan rasional
adalah mereka yang biasanya telah memperkirakan terjadinya bencana tersebut dan
cukup memiliki ‘data’ dari proses learning-helplessness. Korban bencana alam
mengalami gangguan kurang tidur, mimpi buruk, kehilangan keleluasaan beraktifitas.
Dukungan sosial akan memberikan stress-buffering- effect bagi korban. Post-traumatic
disorder yaitu gangguan psikologis yang muncul setelah bencana terjadi dan lebih
berbahaya dibanding stres yang dialami pada saat bencana. Stres yang dialami pada saat
bencana umumnya akan lebih mudah diberikan perlakuan dibandingkan post-traumatic
stress disorder. Post-traumatic stress disorder akan menyebabkan korban mengalami
gangguan stres yang berat, mengalami gangguan tidur, terlibat social withdrawn dan
kecemasan yang sangat tinggi.
Dengan demikian, Post-traumatic stress disorder ketika bencana alam terjadi dapat
mengakibatkan dampak psikologis, seperti menyebabkan hilangnya perasaan cinta pada
orang lain. Karena pada setiap orang ingin menyelamatkan diri sendiri, dan lupa untuk
menyelamatkan orang terdekatnya. Hilangnya harta benda dan keluarga mengakibatkan
kondisi ketidakberdayaan. Trauma setelah terjadinya bencana tidak dapat diketaahui
secara cepat, namun dapat diamati secara seksama untuk menentukan apakah seseorang
mengalami trauma atau tidak. Seseorang yang secara fisiknya terlihat sehat, namun
dalam kondisi tertentu dapat mengalami gangguan psikologis.
Selain itu, dampak psikologis yang sering muncul ialah:

1) Ketidakberdayaan terutama karena terjadi secara tiba- tiba


2) Perasaan tidak mempunyai harapan hidup
3) Stres, berkabung, dan kehilangan arah, tidak tahu apa- apa
4) Beban penyesuaian diri akan perubahan hidup
5) Tantangan untuk memulai segala sesuatu dari awal lagi

c. Dampak psikososial
a) Jaringan dukungan sosial dan struktur masyarakat mengalami kehancuran
b) Terganggunya bentuk-bentuk tradisi dalam masyarakat
8

c) Beberapa masyarakat tidak memiliki sumber daya ekonomi untuk membangun


kembali di daerah pedesaan sangat potensial menghancurkan cara hidup
masyarakat pedesaan.
d) Di daerah pedesaan sangat potensial menghancurkan cara hidup masyarakat
pedesaan.
e) Bencana dapat memberikan dampak baik terhadap manusia, psikologis,
maupun psikososial. Dengan adanya kegiatan layanan psikososial diharapkan
dapat membantu penyintas untuk meringankan beban yang dirasakan ketika
bencana terjadi.

4. Dampak Yang Mungkin Terjadi Setelah Terjadinya Bencana


a. Gangguan jiwa yang merupakan akibat langsung dari trauma yang dialami seperti
Gangguan Stress Akut dan Gangguan Stres Pasca Trauma
b. Gangguan jiwa yang dicetuskan oleh peristiwa traumatik yang dialami seperti:
Gangguan Depresi, Gangguan Ansietas dan Gangguan psikotik
c. Gangguan jiwa yang tidak langsung disebabkan bencana, karena peristiwa ini dapat
menghentikan proses pengobatan gangguan yang diderita sebelumnya sehingga terjadi
kekambuhan, misalnya pada skizofrenia.
d. Stres sekunder
1) Perubahan mendadak tempat tinggal (tenda pengungsian, rumah keluarga)
2) Krisis Ekonomi
3) Perubahan atau kehilangan komunitas local
4) Perubahan dalam dukungan social
Dampak Yang Mungkin Terjadi Setelah Terjadinya Bencana
a. Stres
Stres secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana individu terganggu
keseimbangannya. Stres terjadi akibat adanya situasi dari luar ataupun dari dalam diri yang
memunculkan gangguan, dan menuntut individu berespon secara sesuai. Stres merupakan
sesuatu yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, bahkan seperti bagian dari
kehidupan itu sendiri. Pasca terjadinya bencana, masyarakat sering sekali mengalami stres,
diantaranya: gelisah, tegang, cemas, mengalami kelelahan, ketegangan otot dan sulit tidur.
Adapula tekanan darah dan detak jantungnya meningkat, sakit kepala, perut mulas, gatal-
9

gatal dan diare. Stres juga dapat merubah perilaku sseseorang, misalnya masyarakat menjadi
lebih mudah marah, lebih suka menyendiri, nafsu makan berkurang, merasa tidak berdaya,
tidak bersemangat, frustasi, atau merasa tidak percaya diri.
b. Depresi
Depresi adalah suatu gangguan mental yang sering terjadi pada korban bencana alam
dahsyat. Setelah mengalami depresi, selanjutnya korban akan mengalami pasca trauma.
Depresi berupa perasaan sedih yang berat berkepanjangan, putus asa, merasa tidak
tertolong lagi. Biasanya karena kehilangan ssesuatu yang dicintai, kehilangan anggota
keluarga, rumah, sawah, ladang, ternak dan harta benda lainnya. Kehilangan kebersamaan
hidup sekeluarga dengan tetangga, dan kehilangan kecantikan atau kegagahan karena luka.
c. Trauma
Trauma adalah perasaan menghadapi sebuah kejadian atau serangkaian kejadian yang
berbahaya, baik bagi fisik maupun psikologis seseorang yang membuatnya tidak lagi merasa
aman menjadikannya merasa tidak berdaya dan peka dalam menghadaapi bahaya.54
d. Pasca Trauma
Trauma merupakan istilah yang sangat luas dan terkadang sering dipergunakan di dalam
masyarakat, sehingga tidak heran ketika bervariasi dalam menerjemahkan atau
mengartikannya. Akan tetapi, semua variasi tersebut tidak lepas dari makna suatu peristiwa
yang mengancam atau membahayakan kehidupan psikis maupun psikologis bagi individu
yang mengalaminya. Seseorang dapat dikatakan mengalami trauma ketika dirinya merasa
terancam, baik fisik maupun psikologis, nyata maupun hanya dalam pikiran dan merasa
tidak aman dan berdaya serta tidak sanggup menanganinya.
Gangguan stres pasca trauma adalah merupakan gangguan mental pada seseorang yang
muncul sesudah orang itu mengalami suatu pengalaman traumatik dalam kehidupan maupun
suatu peristiwa yang mengancam keselamatan jiwanya. Gangguan stres pasca trauma
didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan mental secara ekstrim yang timbul
setelah seseorang melihat, mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan
atau kejadian yang mengancam kehidupannya. Keadaan ini ditandai dengan suasana perasaan
murung, sedih, kurangnya semangat dalam melakukan kegiatan sehari-hari maupun kegiatan
yang menimbulkan kesenangan, dan bila sudah berat dapat menimbulkan gangguan dalam
fungsi peran dan kehidupan sosial.
Berdasarkan penjelasan di atas, bahwasannya setelah terjadi bencana seringkali menimbulkan
10

korban jiwa, kehilangan harta benda, dan juga banyak ditemukan dampak psikologis akibat
bencana tersebut. Diantaranya stres, depresi, trauma, dan dampak tersebut sangatlah
mempengaruhi kondisi seseorang baik bagi dirinya sendiri maupun interaksi dengan
lingkungannya. Seseorang yang sudah mengalami gangguan psikologis sangatlah
membutuhkan pertolongan, karena jika dibiarkan akan mengganggu keberfungsian dirinya
dan seseorang menjadi tidak produktif. Stres yang berkelanjutan atau yang dikenal dengan
post-traumatic stress disorder dapat menimbulkan gangguan lanjutan. Adapun gejala-
gejalanya adalah sebagi berikut:
1) Instrusiv re-experiencing, yaitu selalu kembalinya peristiwa traumatik dalam ingatan.
Dengan gejala-gejalanya antara lain, yaitu: selalu kembalinya traumatik dalam ingatan.
Dengan gejala-gejalanya antara lain, yaitu: berulang-ulang muncul dan mengganggu
perasaan mengenai peristiwa, termasuk pikiran, perasaan atau persepsi-persepsi.
Kemudian pikiran-pikiran traumatik selalu muncul, termasuk perasaan hidup kembali
perasaan traumatik, ilusi, halusinasi, dan mengalami flashback atau seolah sedang
mengalami peristiwa traumatik kembali. Selain itu juga gangguan psikologis yang sangat
kuat ketika menyaksikan sesuatu yang mengingatkan tentang peristiwa traumatik.
2) Avoidance, yaitu selalu menghindari sesuatu yang berhubungan dengan trauma dan
perasaan terpecah. Gejala- gejalanya antara lain, yaitu: berusaha menghindari situasi,
pikiran-pikiran atau aktivitas yang berhubungan dengan peristiwa traumatik.
3) Arousal, yaitu kesadaran secara berlebih. Antara lain gejalanya adalah mengalami
gangguan tidur atau bertahan untuk selalu tidur, kesulitan memusatkan konsentrasi dan
gugup serta mudah terkejut.
4) Menghidari pembicaraan yang berhubungan dengan trauma, depresi, atau putus harapan
dan terlalu waspada atau berhati-hati.
5) Individu yang mengalami kecenderungan post- traumatic stress disorder dipengaruhi oleh
faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor dari dalam individu yang
berpengaruh dalam hubungannya dengan post-traumatic stress disorder, sedangkan faktor
eksternal adalah faktor di luar individu yang mempunyai peran terhadap kemungkinan
individu mengalami post-traumatic stress disorder.

5. Prinsip dasar penanganan masalah psikologis


Prinsip dasar penanganan masalah psikologis
11

a. Rasa percaya
b. Kerahasiaan
c. Ikut menentukan dalam pengambilan keputusan
d. Sikap tidak menghakimi
e. Melibatkan tradisi/budaya lokal dalam pemulihan trauma

6. Upaya intervensi
Intervensi psikososial berdasarkan fase-fase adalah sebagai berikut:
a. Fase segera setelah kejadian (rescue)
b. Fase pemulihan awal (bulan pertama setelah kejadian):
c. Fase pemulihan lanjutan (dua bulan setelah kejadian dan setelahnya):
d. Fase rekonstruksi
Sedangkan di Jepang, fase-fase penanganan bencana ini dilakukan berdasarkan masa akut,
masa sub-akut, dan masa kronis (Mieko, 2009)

7. Dukungan Psikososial
Ketentuan pemberiam dukungan psikososial adalah sebagai berikut :
a. Tidak semua individu mengalami gangguan psikologis, banyak pula individu yang
mampu resilien.
b. Mungkin beberapa kelompok rentan bermasalah pada suatu masalah dan kuat pada
masalah yang lain.
c. Konteks bencana. Masing-masing kelompok  masyarakat memperlihatkan masalah sosial
dan psikologis yang berbeda-beda.
d. Informasi adalah kebutuhan, namun perlu dipikirkan kapan saat yang tepat
memberikannya.

B. PFA ( PSYCHOLOGICAL FIRST AID)

1. Definisi PFA dan Tujuan PFA


Menurut WHO (2011), PFA merupakan perawatan dasar yang bersifat praktis, suportif,
dan humanis, yang digunakan untuk menolong orang yang mengalami tekanan karena
12

bencana atau keadaan krisis, diberikan segera setelah bencana terjadi, dengan pendekatan
yang tidak memaksa dan disesuaikan dengan nilai-nilai yang berlaku.
Psychology First Aid (PFA) adalah salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk
mengatasi dampak dari situasi kegawatan atau bencana, dan meminimalkan dampak yang
ditimbulkan karena kejadian kegawatan ataupun bencana pada individu (Pekevski, 2013).
Psychological First Aid (PFA) dikembangkan di Amerika oleh Nasional Child Traumatik
Stress Network and National Center for PTSD (Brymer et al., 2006). PFA merupakan
serangkaian keterampilan yang bertujuan untuk mengurangi dampak negatif stres dan
mencegah timbulnya gangguan kesehatan mental yang lebih buruk yang disebabkan oleh
bencana atau situasi kritis (Everly,Phillips, Kane & Feldman, 2006). PFA merupakan
serangkaian keterampilan dasar yang bersifat praktis yang bertujuan untuk:
a. Mengurangi serta mencegah munculnya dampak psikologis yang lebih buruk dari bencana
atau situasi sulit lainnya.
b. Memperkuat proses pemulihan psikologis.

2. Prinsip dasar dan sikap terhadap penyitas.


a. Berikan bantuan sesegera mungkin langsung pada orang yang memerlukan dukungan
b. Sediakan informasi akurat dan logis tentang situasi yang ada
c. Bersikap jujur, jangan pernah menjanjikan sesuatu yang tak bisa kita penuhi
d. Sediakan dukungan emosional bagi orang yang memerlukan dukungan
e. Fokus pada kemampuan yang dimiliki orang yang memerlukan dukungan untuk pulih
f. Berikan perhatian yang non diskriminatif untuk semua. Perhatian yang non diskriminatif
adalah perhatian dengan tanpa membeda‐bedakan latar belakang dari orang yang
memerlukan dukungan.

Secara umum, PFA memiliki 3 (tiga) prinsip, yaitu melihat, mendengar, dan
menghubungkan. Masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Melihat, tercakup di dalamnya adalah mengecek reaksi distress yang serius, mengecek
keselamatan, dan mengecek kebutuhan dasar korban;
b. Mendengar, tercakup di dalamnya adalah mendekati mereka yang memerlukan dukungan,
bertanya tentang perhatian dan kebutuhannya, mendengar keluhannya, menerima semua
perasaan yang mereka tumpahkan, dan membantunya merasa tenang.
13

c. Menghubungkan, tercakup di dalamnya adalah menolong mereka yang tertekan untuk


mendapatkan kebutuhan dasarnya,membantu mereka mengakses pelayanan dan mengatasi
permasalahannya, membantu mereka mendapatkan informasi yang faktual, membantu
mereka menghubungi orang-orang terdekat, serta mempermudah mereka mendapatkan akses
dukungan sosial.

3.Sikap terhadap penyintas


WHO (2011) dalam Psychological First Aid: Guide for field workers, mengembangkan
kerangka kerja dari PFA terdiri dari tiga prinsip tindakan untuk membantu, yaitu Look, Listen
dan Link. Look dan Listen dapat diartikan sebagai upaya untuk melihat dengan cara masuk
dalam lingkungan bencana untuk mengetahui, mendengarkan dan memahami kebutuhan korban
yang terdampak bencana.
Langkah 1. Persiapan; Pada tahap persiapan hal yang harus dimiliki oleh seorang penyedia
layanan PFA adalah pengetahuan awal tentang bencana, apa yang terjadi (jenis bencana, pada
tahap apa penanganan yang dilakukan, kebutuhan penyitas serta bantuan yang dibutuhkan).
Langkah 2. Memperkenalkan diri dan Memulai kontak; Memperkenalkan diri dan memulai
kontak adalah hal yang penting untuk bisa dilanjutkan ke proses selanjutnya, diharapkan bisa
terbina hubungan saling percaya. Dalam proses ini hal yang hendaknya disampaikan: identitas,
permintaan ijin untuk melakukan pembicaraan, tujuan keberadaan disana, menawarkan bantuan,
menjaga kerahasiaan informasi pribadi dari penyitas. Sebaliknya hal-hal yang tidak boleh
dilakukan adalah: memotong pembicaraan, memaksa penyitas untuk bercerita.
Langkah 3. Memberi Rasa Aman; Dalam tahap ini yang diperlukan oleh pemberi layanan PFA
adalah memberi rasa aman dan menyediakan kebutuhan dasar penyitas. Selalu bersikap tenang
saat berbicara dengan orang yang sedang menderita. Tunjukkan kekhawatiran tetapi jadilah
kehadiran meyakinkan yang meyakinkan. Orang lain akan mendapatkan kepercayaan dari
kepercayaan diri Anda (Everly, Brelesky & Everly, 2018).
Langkah 4. Mendorong keberfungsian; Dalam tahap ini hal yang harus dilakukan oleh seorang
penyitas adalah dengan memberikan rasa nyaman dengan perilaku verbal dan nonverbal pada
penyitas terutama bagi penyitas yang sangat berduka atau emosional, penyedia layanan PFA
diharapkan bisa mengajarkan cara mengelola stres secara sederhana misalnya dengan relaksasi,
menganjurkan penyitas supaya tetap menjaga dan bersama sama dengan keluarga,
mengupayakan pertemuan kembali penyitas dengan keluarga yang terpisah, menginformasikan
14

kepada penyitas terkait keinginan untuk mengabarkan terjadinya bencana yang baru saja
dialami, membantu penyitas terhubung kepada sumber bantuan yang tersedia. Jangan bertindak
berdasarkan gagasan yang terbentuk sebelumnya tentang apa yang Anda pikir dibutuhkan orang
tersebut. Tanyakan apa yang mereka butuhkan (Everly, Brelesky & Everly, 2018). Pengambilan
perspektif seperti ini akan menumbuhkan kepercayaan.
Langkah 5. Memfasilitasi penyitas Untuk Pemulihan; Pada tahap ini penyedia layanan berupaya
mendorong penyitas untuk berpartisipasi dalam proses pemulihan pasca bencana dan membantu
penyitas menyusun rencana tindak lanjut Dalam kasus semacam itu, penting untuk bertanya dan
menindaklanjuti. Dalam tahap ini yang lebih diupayakan adalah mendorong penitas untuk dapat
kembali ke rutinitasnya sebelum bencana, melibatkan penyitas dalam upaya pemenuhan
kebutuhannya dan memberikan kesempatan sesama penyitas untuk saling membantu dan
memberi dukungan.

4. Kerangka kerja PFA


PFA dikembangkan dalam sebuah kerangka kerja berdasarkan pembelajaran dari upaya
penanganan bencana sebelumnya dan penelitian‐penelitian terkait. Fungsi kerangka kerja dalam
sebuah model adalah agar langkah‐langkah yang dilakukan tepat sasaran dan efektif. Tanpa
adanya kerangka kerja kita akan cenderung melakukan proses trial and error. Hal ini tentunya
bisa merugikan orang yang ingin kita bantu.
PFA diadaptasi dengan menggunakan kerangka kerja Safety, Function, dan Action (SFA).
Ketiga komponen inilah yang akan difasilitasi oleh penyedia layanan PFA5. Ada 3 target utama
dalam kerangka ini :
a. Memenuhi rasa aman orang yang memerlukan dukungan (AMAN),
b. Mendorong keberfungsian optimal orang yang memerlukan dukungan (FUNGSI)
c. Memfasilitasi tindakan orang yang memerlukan dukungan untuk pemulihannya (AKSI).

Dalam menjalankan PFA, ketiga target ini dapat dijadikan sebagai suatu tahapan pemberian
dukungan. Meskipun demikian mengacu konteks situasi dan sosial budaya yang ada, maka
kerangka tahapan ini tidak juga dilihat sesuatu yang kerangka tahapan yang kaku. Hal ini
berarti penyedia layanan PFA dapat saja menentukan untuk fokus pada target tertentu
disesuaikan dengan kondisi orang yang akan dibantu. Misalnya dalam sebuah kejadian bencana
salah satu target yang harus kita capai adalah menfasilitasi rasa aman dengan menyediakan
tempat penampungan atau mempertemukan mereka dengan anggota keluarga yang terpisah.
15

Baru kemudian kita menfasilitasi keberfungsiannya dan rencana tindak lanjutnya. Akantetapi
jika ternyata saat kita datang, rasa aman itu sudah dirasakan terpenuhi oleh mereka, kita tidak
perlu melakukannya lagi bisa langsung ke target berikutnya.
1. Kondisi yang diciptakan PFA
a. Target : SAFETY (Rasa Aman)
Strategi : melindungi dari bahaya dan memenuhi kebutuhan dasar seperti makan,
minum,pakaian, dan layanan kesehatan.
b. Target : CALMING (tenang dan nyaman )
Strategi : menenangkan, mendengarkan, relaksasi, stabilitasi emosi
c. Target : MEGHUBUNGKAN DAN TERHUBUNG
Strategi : tidak sendiri, ada dukungan sosial, menghubung dengan dukungan sosial.
d. Target : SELF EFFICACY & EMPOWERMENT (merasa mampu dan berdaya)
Stategi : melakukan edukasi fasilitasi partisipasi
2. Tanda-tanda seseorang perlu dirujuk
a. Kehilangan fungsi hidup sehari-hari.
Ketika fungsi sehari-harinya terjadi perubahan.
b. Tidak bisa mengendalikan emosi.
Seseorang mengalami sesuatu yang mengguncang dirinya bisa juga membuat
emosinya tidak terkendali seperti menangis, mondar-mandir, bengong, hingga tatapannya
sering kosong.
c. Hubungan sosial terganggu.
Jika seseorang mengurung diri, tidak mau berhubungan dengan siapa-siapa
d. Berbicara negatif tentang diri sendiri.
Merasa diri tidak berharga, tidak berguna. Atau saat seseorang yang kehilangan untuk
selama-lamanya kemudian merasa dirinya tidak punya siapa-siapa.

C. Self Help Group

1. Defenisi Self Help Group


Self help group merupakan kelompok informal yang anggotanya saling berbagi pengalaman
yang dialami, saling bekerja sama untuk mencapai tujuan dan menggunakan kekuatan untuk
melawan masalah dalam hidupnya. Self help group bertujuan membuat pasien dapat
16

mempertahankan dan meningkatkan fungsi diri dan sosial melalui kerjasama dan berbagi dalam
menghadapi tantangan dalam hidupnya. Self help group memahamkan orang bahwa mereka
tidak sendiri, dimana anggotanya saling membantu, mendukung dengan menceritakan
pengalaman dan alternatif cara dalam menyelesaikan permasalahannya. Jadi self help group
merupakan kelompok informal dengan anggota yang mengalami masalah yang serupa sehingga
dapat berbagi pengalaman, bekerjasama dan mendukung dalam menyelesaikan masalah terkait
diri dan sosial.
Contoh self-help group ini misalnya komunitas orang tua dari anak yang menderita gangguan
jiwa, orang tua-orang tua yang merasa stress dan rendah diri karena kondisi anaknya tersebut
bisa ikut berpartisipasi dalam self-help group. Di dalam kelompok ini, mereka para anggota
berbagi kisah dan pengalaman mereka, lalu helper atau anggota yang lain memberikan bantuan
atau solusi.
Self-help group bisa dipakai sebagai salah satu teknik bimbingan dan konseling kelompok,
karena metode yang digunakan ialah dengan cara mengelompokkan orang berdasarkan satu
masalah atau satu kondisi yang sama-sama ingin mencapai satu tujuan, yang didalamnya
terdapat helper untuk membantu. Dalam konteks bimbingan dan konseling, helper disini ialah
seorang konselor

2. Tujuan Self help group


SELF HELP GROUP bertujuan kelompok yaitu untuk membawa dan membentuk suatu
perubahan yang diinginkan. Kelompok swadaya yang didasarkan pada sekelompok individu
yang berbagai perilaku, kemudian mereka mengidentifikasi permasalahan yang ada dan
mencoba untuk menghilangkan perilaku tersebut. Terbentuknya self-help group akan lebih
efektif dalam menangani korban, sehingga orang dewasa pada umumnya yang terdiri dari para
orangtua, guru, dan tokoh masyarakatlah yang perlu menjadi sasaran utama dalam suatu
intervensi. Ketika orang dewasa sudah mampu mengatasi persoalannya, barulah perhatian
ditujukan kepada anak-anak. Selama ini penanganan korban gempa banyak terfokus pada
anak-anak, entah dengan tujuan mengailihkan perhatian dari kesusahan akibat bencana,
misalkan dengan kegiatan nyanyl, atau menggambar.

3. Kesamaan karakteristik anggota self help grup dan Dasar pemikiran teoritis
a. Kesamaan Karakteristik Anggota Self Help Group.
17

Anggota self help group cenderung memiliki kesamaan karakteristik, diantaranya adalah
sebagai berikut.
1) Berorientasi teman sebaya
2) Memiliki fokus permasalahan yang cenderung sama dan seirama.
3) Para anggotanya cenderung memiliki karakteristik unik yang terkadang dianggap
aneh di pandang masyarakat.
4) Memiliki dasar ideologis
b. Dasar Pemikiran Teoritis

Kebanyakan self help group didasarkan pada teori sosiologi atau psikologi.
Pendekatan Self help group dalam pelaksanaannya didasarkan pada teori psikologis atau
kemasyarakatan. Berbagai masalah psikologi individu atau kesulitan yang dialami
individu dalam masyarakat sering dihadapi. Karena itu, individu dibantu melalui cara
bekerja dengan orang lain yang berlatar belakang sama melalui kelompok dalam
masyarakat.

4. Mekanisme perubahan yang terjadi dalam self help group


Mekanisme perubahan yang terjadi dalam self help group di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Pemberian dukungan yang saling menguntungkan: melalui Self help groupakan
memberikan dukungan sosial untuk men-support dampak psikologis dalam peristiwa
hidupnya yang kurang baik, penuh tekanan, karena satu sama lainnya saling
memberikan dukungan yang saling menguntungkan.
b. Terapi pertolongan: melakukan sesuatu bagi orang lain, yaitu memberikan pada
seseorang rasa kebercukupan dan keberdayaan. Self help groupdapat dijadikan sebagai
metode “Terapi Pertolongan” yang dapat memberi suatu perasaan nyaman, dalam upaya
penguatan, karena faktor terapeutik dalam Self help groupdidasarkan atas dimensi
efektif, behavioral, dan kognitif
c. Peran Ideologi: ada keyakinan pada Self help groupbahwa intervensi bisa diterapkan.
Dalam intervensinya ideologi mempunyai peran penting, salah satunya dengan
menanamkan rasa kepercayaan dan kejujuran bagi anggotanya. Semua anggota
kelompok diberi kesempatan untuk berubah dan didorong untuk mencapai tujuan
mereka sendiri, dan bila mereka berhasil mencapai tujuan personal, maka kehidupan
mereka jadi terkontrol, dan selanjutnya keberhasilan dengan sendirinya akan dicapai.
18

Namun apabila mereka belum berhasil, mereka tetap diterima dan didorong untuk
mencoba lagi agar berhasil.
Mekanisme perubahan yang terjadi dalam self help grup

5. Strategi dan teknik-teknik self help grup yang digunakan


a. Memberikan perasaan diterima dan menjadi bagian dari kelompok kepada para anggota.
b. Memberikan dukungan moral dengan pengertian bahwasannya para anggota
mempunyai masalah atau status yang sama
c. Memberikan kesempatan kepada para anggota agar mengutarakan masalah-masalah
mereka, saling membicarakan perasaan-perasaan, dan menerima nasehatnasehat tentang
pemecahan masalah dari anggota-anggota lain.
d. Memberikan model-model peranan yang diambil dari anggotaanggota kelompok yang
telah berhasil dalam penanggulangan masalah-masalah atau situasi-situasi mereka.
e. Memberikan kesempatan kepada para anggota kelompok agar mengadakan hubungan
dengan kelompok-kelompok lainnya di dalam masyarakat untuk tujuan peningkatan
pemahaman akan masyarakat dan pelayanan-pelayanan yang terdapat di dalamnya.
Kegiatan semacam ini diharapkan juga dapat meningkatkan kepercayaan anggota
kepada diri sendiri dan memperkuat loyalitas mereka terhadap kelompok maupun
tujuan-tujuannya

6. Manfaat Self Help Group


Self Help Group memberikan manfaat bagi anggota kelompok yang terlibat di dalamnya.
Anggota dapat mencurahkan pemikirannya serta bisa membagikan pengalaman yang dimiliki
masing-masing anggota, sehingga anggota yang lain dapat memberikan nasihat, masukan dan
dukungan yang menimbulkan semangat dari anggota.
Self Help Group terbukti efektif dalam menangani berbagai permasalahan kesehatan.
Efektifitas kelompok-kelompok ini berasal dari berbagai asumsi. Dukungan emosional dari
orang lain mengurangi isolasi sosial yang dialami banyak orang dengan kondisi kronis yang
dialaminya. Memunculkan identitas diri yang kolektif melalui partisipasi kelompok. Tiap
anggota memiliki kesempatan untuk mengembangkan konsep baru yang ada pada dirinya.
Partisipasi antar anggota kelompok memungkinkan terjadinya kegiatan saling berbagi
pengalaman, pengetahuan, dan saran untuk mengatasi masalah yang dialaminya
19

7. Prinsip Self Help Group


Terdapat 9 prinsip self help group :
a) Self help group merupakan kelompok informal yang dibimbing oleh volunteer
b) Self help group bukan organisasi politik
c) Kepemimpinan bersifat kolektif
d) Pembiayaan untuk melaksanakan kegiatan ditanggung bersama kelompok
e) Tiap anggota berperan secara aktifuntuk berbagai perasaan, pengetahuan, dan
bagaimana dalam mencari jalan keluarnya
f) Saling memahami dan membantu tanpa membeda-bedakan
g) Setiap anggota kelompok harus menghargai kerahasiaan dan privacy masing-masing
anggota
h) Kelompok mempunyai kemandirian (otonomi) dalam mengambil keputusan dan
melibatkan anggota kelompok
i) Setiap anggota kelompok memiliki tanggung jawab atas keputusan yang diambil

8. Pengoprasiaan Self Help Group


Self Help Group terdiri dari leader, anggota kelompok dan fasilisator. Posisi leader setiap
pertemuan akan di ganti oleh anggota lainnya sehingga semua anggota mendapat giliran
untuk menjadi leader. Fasilisator memiliki peran agar anggota kelompok dapat melihat dan
belajar bagaimana cara dan tugas menjadi leader.
Tugas leader dalam Self Help Group yaitu:
a. Memimpin jalannya diskusi
b. Memilih topik pertemuan sesuai dengan daftar masalah
c. Menentukan lamanya pertemuan
d. Mempertahankan suasana bersahabat agar anggota kelompok dapat lebih kooperatif
e. Memberikan kesempatan pada anggota kelompok untuk mengekspresikan masalah
f. Menerima dan memahami pendapat yang disampaikan oleh anggota kelompok
g. Menyimpulkan hasil diskusi untuk tiap pertemuan yang dilakukan Fasilitator yang
merupakan seorang tenaga kesehatan memberikan pengertian, penjelasan, dan motivasi
agar semua anggota kelompok mengungkapkan masalahnya dan memberikan pendapat
atas masalah yang dihadapi. Selain itu anggota kelompok juga mengikuti jalannya
diskusi dengan kesepakatan yang dibentuk kelompok dan leader.
20

9. Hal-hal yang dilakukan dalam pelaksanaan self help group antara lain:
1) Pertemuan pertama
Pertemuan pertama yang memiliki peran terbanyak adalah fasilitator. Karena anggota
kelompok belum memahami pelaksanaan self help group.
Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan fasilitator antara lain:
a) Pembukaan
Fasilitator dan anggota duduk dalam kursi dan membentuk setengah lingkaran.
Kegiatan ini diawali dengan membuka diskusi ini dengan mengucapkan salam, doa
pembuka. Menjelaskan tujuan, lama, dan tempat pertemuan. Mempersilahkan anggota
yang terlibat dalam diskusi untuk memperkenalkan diri masing-masing.
b) Kerja
Pada tahap kerja menjelaskan tentang konsep self help group yang meliputi
pengertian, tujuan, dan prinsip kepada semua anggota kelompok yang ada. Membuat
kesepakatan tentang peraturan mengenai jalannya diskusi yang disepakati oleh semua
anggota kelompok. Menjelaskan langkah-langkah kegiatan self help group.
Langkah-langkah self help gorup antara lain :
i. Memahami masalah Fasilisator menjelaskan dan memperagakan posisi leader
dalam mengidentifikasi masalah. Fasilitator (sebagai leader) memfasilitasi
semua anggota kelompok untuk mengungkapkan permasalah yang dialami.
ii. Mengidentifikasi cara penyelesaian masalah Fasilitator memfasilitasi semua
anggota kelompok agar bisa saling bertukar pikiran tentang masalah yang
dihadapi dan menemukan cara penyelesaiannya.
iii. Memilih cara penyelesaian masalah Fasilitator memfasilitasi semua pendapat
anggota kelompok dalam penyelesaian masalah yang dihadapi satu persatu
dengan mempertimbangkan faktor yang mendukung atau menghambat
penyelesaian masalah. Agar pemahaman lebih bertambah bisa dilakukan
dengan metode roleplay.
c) Penutup
Menanyakan perasaan yang dialami oleh semua anggota kelompok setelah mengikuti
kegiatan self help group. Mereka menyepakati tempat, waktu, topik pertemuan yang
akan dilakukan berikutnya. Memilih ketua atau leader yang akan memimpin
pertemuan selanjutnya. Membaca doa penutup dan mengucapkan salam
21

2) Pertemuan kedua dan seterusnya


Pada pertemuan kedua, fasilitator masih memiliki peran sebagai leader. Kemudian mulai
pada pertemuan ketiga dan seterusnya diskusi dipimpin oleh seorang leader yang telah
ditunjuk sebelumnya. Fasilitaor sendiri bertugas membimbing jalannya diskusi yang
sedang berlangsung
DAFTAR PUSTAKA

Dita Exnes Septiyana, Nim: 15220040 (2019) Layanan Psikososial untuk Meningkatkan


Kesiapan Pikis Masyarakat di Wilayah Rawan Bencana di PMI Kota Yogyakarta. Skripsi
thesis, Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Viora, Eka. Peran Psikiater Pada Bencana. Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis
Kedokteran Jiwa Indonesia.

Wibowo, U.D.A., 2021. PELATIHAN ALTRUISME DALAM KERELAWANAN PADA


MAHASISWA KOMUNITAS PSIKOSOSIAL. Dharma Bhakti Ekuitas, 6(1), pp.601-606.

Avelina, yuldensia & Damayanti, fransiska. (2018). Keefektifan Psychological First Aid (Pfa)
Sebagai Pertolongan Pertama Pada Korban Bencana & Trauma. Prosiding Seminar
Nasional. 127-129.

Cahyono, wahyu. (2015). Psychological First Aid "Sebuah Kesiapsiagaan dari Kita untuk
Kita”. Pusat Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia : Depok.

Winurini, sulis. (2014). Kontribusi Psychological First Aid (PFA) Dalam Penanganan Korban
Bencana Alam. Jurnal Kesejahteraan Sosial. 6(3), 10-11.

Dinda. (23 juli 2019). Self Help Group. Di peroleh tanggal 08 Oktober 2021 dari
https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-self-help-group/128497

22

Anda mungkin juga menyukai