Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

COMMUNITY MENTAL HEALTH NURSING

“KONSEP BENCANA DAN TINDAKAN KRISIS”

Disusun Oleh:

Nama : Melati Ananda

NIM : 1710105051

Prodi : Keperawatan 17 B

Dosen Pembimbing :

Ns.AMELIA SUSANTI, M.Kep, Sp. Kep.J

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

STIKES ALIFAH PADANG

TA 2019-2020

1
KATA PENGANTAR

Segala puji atas kebesaran Sang Khalik yang telah menciptakan alam semesta dalam
suatu keteraturan hingga dari lisan terpetik berjuta rasa syukur kehadirat ALLAH SWT. Karena
atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nyalah sehingga kami diberikan kesempatan dan kesehatan
untuk dapat menyelesaikan makalah Keperawatan Community Mental Health Nursing ini dengan
judul “Konsep Bencana Dan Tindakan Krisis” yang merupakan tugas kami dalam mata kuliah
Community Mental Health Nursing di semester enam ini.

Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada baginda Nabi Muhammad SAW, yang
diutus ke permukaan bumi ini menuntun manusia dari lembah kebiadaban menuju ke puncak
peradaban seperti sekarang ini. Kami menyadari sepenuhnya,dalam penyusunan makalah ini
tidak lepas dari tantangan dan hambatan. Namun berkat usaha dan motivasi dari pihak-pihak
langsung maupun tidak langsung yang memperlancar jalannya penyusunan makalah ini sehingga
makalah ini dapat kami susun seperti sekarang ini.Olehnya itu, secara mendalam kami ucapkan
banyak terima kasih atas bantuan dan motivasi yang diberikan sehingga Penyusun dapat
menyelesaikan makalah ini.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati kami menyadari bahwa hanya kepada ALLAH
SWT jugalah kita menyerahkan segalanya.Semoga makalah ini dapat menjadi referensi dan
tambahan materi pembelajaran bagi kita semua, Aamiin Yaa Robb.

Padang, 22 maret 2020

Penulis,

i
DAFTAR ISI

Kata pengantar...........................................................................................................i

Daftar isi.....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ......................................................................................1


1.2 Tujuan ...................................................................................................3

BAB II TIJAUAN TEORITIS

2.1 Defenisi Bencan.....................................................................................1


2.2 Faktor-Faktor/Penyebab Yang Mempengaruhi Bencana.......................1
2.3 Jenis-Jenis Bencana................................................................................6
2.4 Prosester Jadinya Bencana.....................................................................7
2.5 Respon Individu Terhadap Bencana......................................................9
2.6 Kelompok Rentan..................................................................................10
2.7 Cara Mengelola Bencana.......................................................................11
2.8 Tindakan Yang Dapat Dilakukan Saat Terjadi Bencana.......................14
2.9 Peran Perawat Dalam Bencana..............................................................18
2.10 Penanggulangan Bencana Dibidang Kesehatan.....................................20

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ................................................................................................25


3.2 Saran ..........................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap wilayah tempat tinggal manusia memiliki resiko bencana.Seringkali resiko


tersebut tidak terbaca oleh komunitas dan karenanya tidak dikelola dengan baik.Hal ini
menyebabkan terkadang, dan mungkin juga sering, bencana terjadi secara tak terduga-
duga.Dampak paling awal dari terjadinya bencana adalah kondisi darurat, dimana terjadi
penurunan drastis dalam kualitas hidup komunitas korban yang menyebabkan mereka tidak
mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dengan kapasitasnya sendiri.Kondisi ini harus
bisa direspons secara cepat, dengan tujuan utama pemenuhan kebutuhan dasar komunitas korban
sehingga kondisi kualitas hidup tidak makin parah atau bahkan bisa membaik.

Bencana harus ditangani secara menyeluruh setelah situasi darurat itu direspons.Setiap
akibat pasti punya sebab dan dampaknya, maka bencana sebagai sebuah akibat pasti punya sebab
dan dampaknya, agar penanganan bencana tidak terbatas pada simpton simpton persoalan, tetapi
menyentuh substansi dan akar masalahnya.Dengan demikian kondisi darurat perlu dipahami
sebagai salah satu fase dari keseluruhan resiko bencana itu sendiri.Penanganan kondisi darurat
pun perlu diletakkan dalam sebuah perspektif penanganan terhadap keseluruhan siklus bencana.
Setelah kondisi darurat, biasanya diikuti dengan kebutuhan pemulihan (rehabilitasi), rekonstruksi
(terutama menyangkut perbaikan-perbaikan infrastruktur yang penting bagi keberlangsungan
hidup komunitas), sampai pada proses kesiapan terhadap bencana, dalam hal ini proses preventif.

Perbedaan mendasar ditemukan antara kerja dalam kondisi darurat dengan kerja
penguatan kapasitas masyarakat secara umum.Dalam kondisi darurat, waktu kerusakan terjadi
secara sangat cepat dan skala kerusakan yang ditimbulkan pun biasanya sangat besar.Hal ini
menyebabkan perbedaan dalam karakteristik respon kondisi darurat.Komitmen, kecekatan dan
pemahaman situasi dan kondisi bencana (termasuk konflik) dalam rangka memahami latar
belakang kebiasaan, kondisi fisik maupun mental komunitas korban dan karenanya kebutuhan

1
mereka, sangat dibutuhkan.Selain itu, sebuah kondisi darurat juga tidak bisa menjadi legitimasi
kerja pemberian bantuan yang asal-asalan. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa sumber daya
sebesar apapun yang kita miliki tidak akan cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan komunitas
korban bencana. Di sisi lain, sekecil apapun sumber daya yang kita miliki akan memberikan arti
bila didasarkan pada pemahaman kondisi yang baik dan perencanaan yang tepat dan cepat,
mengena pada kebutuhan yang paling mendesak.

World Health Report (WHR, 2012) telah memberikan berbagai rekomendasi dalam
pelayanan kesehatan jiwa, salah satu rekomendasinya adalah memberikan pelayanan
keperawatan kesehatan jiwa di masyarakat (komunitas). Pengembangan pelayanan kesehatan
jiwa masyarakat yang sudah di lakukan adalah intervensi krisis, rawat jalan, rawat inap di
Rumah Sakit Umum/klinik, program daycare, home care dan pelayanan klien dalam keluarga
(WHO,2013). Pelayanan ditekankan pada kemandirian klien, keluarga dan masyarakat. Dengan
demikian biaya dapat ditekan dan klien lebih dekat dengan keluarga dan masyarakat sebagai
pendukungnya. Keperawatan kesehatan jiwa komunitas /CMHN adalah pelayanan keperawatan
yang komprehensif, holistik dan paripurna berfokus pada masyarakat yang sehat jiwa,
rentan terhadap stres dan dalam tahap pemulihan serta pencegahan kekambuhan. Perawat
bekerja sama dengan klien, keluarga dan tim kesehatan lain dalam melakukan tindakan. Kegiatan
CMHN ini merupakan suatu pendekatan asuhan keperawatan jiwa masyarakat yang dapat di
lakukan oleh perawat melalui pelatihan khusus untuk kesehatan jiwa yang ditempatkan di setiap
pelayanan kesehatan dasar atau puskesmas, bertugas membantu masyarakat menyelesaikan
masalah - masalah kesehatan jiwa akibat dampak tsunami, konflik dan masalah sosial
lainnya.

Kegiatan ini juga bertujuan untuk memberdayakan masyarakat khususnya klien dan
keluarga agar mampu mandiri memenuhi kebutuhannya serta meningkatkan kemampuan
menyelesaikan masalah. Tindakan yang dilakukan oleh perawat CMHN adalah memberikan
asuhan keperawatan pada klien sehat, resiko dan gangguan jiwa. Keluarga sebagai bagian dari
masyarakat merupakan sumber daya yang memiliki potensi untuk dilibatkan dalam pelayanan
terhadap klien gangguan jiwa, psikososial maupun klien sehat jiwa. Kegiatan ini dinyatakan
sukses dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa masyarakat di Aceh maupun di Kepulauan

2
Nias, oleh sebab itu program ini diikuti oleh berbagai daerah di Indonesia (Keliat, Daulima &
Farida, 2014).

Pelaksanaan program CMHN di Provinsi Aceh telah dimulai dari tahun 2005 sampai
sekarang. Kabupaten Aceh Besar telah melaksanakan kegiatan BC - CMHN sebanyak 1 tahap,
IC - CMHN sebanyak 3 tahap dan AC- CMHN sebanyak 2 tahap. Perawat CMHN telah direkrut
sebanyak 44 orang dari 28 puskesmas yang ada di wilayah tersebut dan perawat CMHN telah
merawat sebanyak 1.621 klien gangguan jiwa. Sementara itu untuk Kota Banda Aceh telah
dilakukan pelaksanaan kegiatan BC - CMHN sebanyak 1 tahap, IC- CMHN sebanyak 3 tahap
dan AC - CMHN sebanyak 2 tahap. Perawat CMHN telah direkrut sebanyak 8 orang dan
telah merawat sebanyak 810 klien gangguan jiwa dari 11 puskesmas yang ada wilayah
tersebut. Kegiatan ini dinyatakan sukses dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa masyarakat di
Aceh (Dinkes Provinsi Aceh, 2013).

Keberlanjutan kegiatan CMHN masih dilaksanakan sampai saat ini, namun belum ada
penelitian mengenai analisis faktor - faktor yang berhubungan dengan keberhasilan pelaksanaan
kegiatan CMHN dengan skala luas (provinsi atau negara). Umumnya penelitian hanya dalam
skala lokal (comunity nursing home atau home care). Secara teknikal dan manajerial
kegiatan CMHN belum pernah di evaluasi ulang terhadap analisis faktor - faktor yang
berhubungan dengan keberhasilan pelaksanaan kegiatan CMHN Kabupaten Aceh Besar dan
Kota Banda Aceh.

1.2 Tujuan

Tujuan Umum : Mahasiswa mampu memahami tentang berbagai hal yang berhubungan
dengan bencana dan tindakan krisis

Tujuan Khusus :
a Mahasiswa mengetahui dan memahami tentang jenis bencana, fase-
fase bencana
b Mahasiswa mengetahui dan memahami tentang peran perawat
komunitas dalam manajemen kejadian bencana
c Mahasiswa mengetahui dan memahami permasalahan bencana

3
dibidang kesehatan
d Mahasiswa mengetahui pengkajian keperawatan di area bencana
e Mahasiswa dapat menyusun asuhan keperawatan pada area bencana.

4
BAB II

TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi Bencana
Bencana adalah suatu fenomena alam yang terjadi yang menyebabkan
kerugian baik materiil dan spiritual pada pemerintah dan masyarakat (Urata, 2018).
Fenomena atau kondisi yang menjadi penyebab bencana disebut hazard ( Urata,
2018).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia bencana adalah peristiwa
pada suatu wilayah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian ekologi,
kerugian hidup bagi manusia serta menurunnya derajat kesehatan sehingga
memerlukan bantuan dari pihak luar (Effendy & Mahfudli, 2016). Disaster menurut
WHO adalah setiap kejadian, situasi, kondisi yang terjadi dalam kehidupan
(Effendy& Mahfudli, 2016).
Bencana adalah kejadian yang disebabkan manuasia ataupun perubahan alam
yang mengakibatkan kerusakan dan kehancuran sehingga perlu bantuan orang lain
untuk memperbaikinya.bencana akan selalu menimbulkan kerugian dan penderitaan
serta mempengaruhi aspek-aspek ,kehidupan orang,keluarga, kelompok maupun
masyarakat secara umum hingga di perlukan cara khusus untuk mencegah dan
mengelolanya.
2.2 Faktor-faktor / Penyebab yang Mempengaruhi Bencana
1. Faktor alami
Faktor alami merupakan keadaan mudah terjadinya bencana atau
kerentanan tergantung kondisi alam seperti bentuk geografis, geologi,
cuaca, iklim (Urata, 2018).
2. Faktor sosial
Faktor social adalah kerentanan akibat ulah manusia, contohnya:
pembangunan bangunan di daerah yang miring, meningkatnya angka
urbanisasi, kemiskinan, pengendalian bencana yang tidak tepat (Urata,

5
2018).
2.3 Jenis Bencana Alam
Jenis-jenis bencana alam terdiri 3 bagian (Urata, 2018)
(1) Bencana alam ( natural disaster)
Bencana yang terjadi akibat kerusakan ekosistem dan telah terjadi
kelebihan kapasitas komunitas yang terkena dampaknya.
a. Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan
bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan
aktif, akitivitas gunung api atau runtuhan batuan. Gempa bumi
menyebabkan kerusakan fisik sarana dan prasarana dan menyebabkan
banyak korban. Masalah kesehatan yang sering muncul cacat karena
patah tulang dan masalah sanitasi.
b. Letusan gunung api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang
dikenal dengan istilah "erupsi". Bahaya letusan gunung api dapat
berupa awan panas, lontaran material (pijar), hujan abu lebat, lava, gas
racun, tsunami dan banjir lahar. Masalah kesehatan yang di hasilkan
adalah kematian, luka bakar, gangguan pernafasan akibat gas. Letusan
gunung merapi dapat menyebabkan masalah gizi karena menyebabkan
rusaknya tanaman, pohon serta hewan ternak.
c. Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang ombak
lautan ("tsu" berarti lautan, "nami" berarti gelombang ombak).
Tsunami adalah serangkaian gelombang ombak laut raksasa yang
timbul karena adanya pergeseran di dasar laut akibat gempa bumi.
Tsunami menyebabkan kerusakan bangunan, tanah, sarana dan
prasarana umum, kerusakan sumber air bersih.
d. Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau
batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng
akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng.
e. Banjir adalah peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu
daerah atau daratan karena volume air yang meningkat.

6
Banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba dengan debit
air yang besar yang disebabkan terbendungnya aliran sungai pada alur
sungai.
(2) Bencana buatan manusia
Bencana buatan manusia adalah penyebabnya ditimbulkan oleh aktivitas
manusia contohnya kecelakaan kereta, kecelakaan kereta, kecelakaan
lalulintas, kebocoran gas.
(3) Bencana khusus
Bencana khusus dibedakan menjadi empat kategori yaitu:
a. Tipe menyebar ke wilayah yang luas contohnya radio aktif dan nuklir
b. Tipe komplek jika terjadi bencana pertama di susul bencana kedua
dank ke tiga serta di susul penyebarannya.
c. Tipe gabungan atau campuran, bencana ini terjadi campuran antara
bencana alam dengan bencana akibat ulah manusia.
d. Tipe jangka panjang, tipe ini memerlukan waktu pengecekan lokasi
kejadian dan penyelamatan korban.

2.4 Proses Terjadinya Bencana

Non-Bencana Bencana Pasca-Bencana

Stabil Trauma Krisis Trauma E R

Krisis

Gamabar 4.1 proses terjadinya bencana (Keliat, Helena & Farida, 2014).

(1) Non-Bencana

7
Kondisi No-Bencana adalah kondisi tidak ada bencana
(stabil) pada lokasi rawan bencana seperti daerah pantai atau pergunungan,
daerah jalur genpa, daerah pinggiran sungai, lokasi pemungkiman
padat,gedung-gedung tinggi dan lain-lain.
(2) Bencana
Tahap ini meliputi 2 kondisi yaitu prabencana (saat di prediksi akan
terjadi bencana tetapi belum benar-benar terjadi) dan bencana (24 pukul
pertama setelah terjadi bencana). Karateristik fase ini adalah ada tanda-
tanda awal terjadi bencana (seperti air yang meninggi, uap panas dan
butiran batu dari kawah gunung berapi), hingga 24 pukul setelah
bencana.untuk itu yang dilakukan adalah mengingatkan masyarakat
(peringatan siaga I dan III),mobilisasi dan evakuasi jika perlu.
Pada msyarakat atau individu yang mengalami bencana akan
mengalami trauma dan berada pada situasi krisis akibat perubahan yang
terjadi secara tiba-tiba dalam kehidupannya. Perubahan ini dapat
menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan bagi individu maupun
masyarakat yang mengalami atau terkena bencana.
(3) Pasca bencana
Individu yang terkena bencana dapat dipastikan akan mengalami
trauma seperti cidera fisik maupun trauma psikologis yang disebabkan oleh
bencana alam tersebut. Trauma psikologis sama pentingnya dengan trauma
fisik bahkan dapat meninggalkan luka di hati yang tak kunjung sembuh.
Pada tahap ini dukungan moral dan emosional sangat penting untuk
membantu individu melalui proses penyembuhannya dan membantu mereka
mengatasi penderitaan yang dialami mereka akibat dari bencana tersebut.
Tindakan yang dilakukan pada pasca bencana meliputi fase emergensi
(segera setelah bencan) dan fase rekonstruksi (mulai diberikan bantuan yang
terkonsentrasi pada perbaikan aspek-aspek kehidupan yaitu kebutuhan dasar
manusia.
2.5 Respon Individu Terhadap Bencana

8
Dampak psikologis yang diakibatkan bencana sangat bervariasi. Faktor
keseimbangan yang mempengaruhi respons individu terhadap krisis adalah
persepsi terhadap kejadian, sitem pendukung yang dimiliki dan mekanisme
koping yang digunakan. Reaksi emosi dapat diobservasidari individu yang
menjadi korban. Ada 3 tahapan raeksi emosi yang dapat terjadi setelah bencana.
1. Reaksi individu segera (24 pukul) setelah bencana adalah :
a. Tegang, cemas, panik
b. Terpaku, linglung, syok dan tidak percaya
c. Gembira dan euforia, tidak terlalu merasa menderita.
d. Lelah, bingung
e. Gelisah, menangis, menarik diri
f. Merasa bersalah
Reaksi ini asih termasuk reaksi normal terhadap situasi yang abnormal
dan memerlukan upaya pencegahan primer.
2. Minggu pertama bencana sampai ketiga setelah bencana
a. Ketakutan,waspada, sensiti, mudah marah, kesulitan tidur
b. Khawatir, sangat sedih
c. Mengulang-ulang kembali (flashback) kejadian
d. Bersedih
e. Reaksi pasif yang masih dimiliki :berharap berpikir tentang masa depa,
terlibat dalam kegiatan menolong dan menyelamatkan
f. Menerima bencana sebagai takdir.
Kondisi ini masih termasuk respons normal yang membutuhkan
tindakan psikososial minimal:termasuk untuk respons yang maladaptif.
3. Lebih dari minggu ketiga setelah bencana. Reaksi yang diperlukan dapat
menetap dan dimanifestasikan dengan:
a. Kelelahan
b. Merasa panik
c. Kesediaan terus belajar, pesimis, dan berpikir tidak realitas
d. Tidak beraktivitas, isolasi, menarik diri

9
e. Kecemasan yang dimanifestasikan dengan palpitasi, pusing, letih,
mual, sakit kepala, dll.
Pada sebagian korban bencana yang selamat dapat mengalami gangguan
mental akut yang timbul dari beberapa minggu hingga berbulan-bulan sesudah
bencana. Beberapa bentuk gangguan tersebut antara lain reaksi akut terhadap
stres, berduka dan berkabung, gangguan mental yang terdiaknosis, gangguan
penyusuaian gangguan mental yang kambuh kembali atau semakin berat, dan
psikomatis. Kondisi ini membutuhkan bantuan psikososial dari tenaga kesehatan
profesional.
2.6 Kelompok Rentan
Memahami akibat dari bencana adalah manusia potensial menjadi korban,
sehingga perlu kita perlu memahami dua hal yang perlu mendapatkan fokus
utama adalah mengenali kelompok rentan dan meningkatkan kapasitas dan
kemampuan masyarakat dalam menanggulangi bencana.Kerentanan adalah
keadaan atau sifat manusia yang menyebaabkan ketidakmampuan menghadapi
bencana yang berfokus pada pencegahan, menjinakkan, mencapai kesiapan, dan
dalam menghadapi dampak tertentu.
Undang-undang penanggulangan bencana pada pasal 56 dan pasal 26(1)
menjelaskan bahwa masyarakat yang rentan adalah masyarakat yang
membutuhkan bantuan diantaranya bayi, balita, anak-anak, ibu hamil, ibu
menyusui, lansia. Kerentanan dalam masyarakat dapat dikelompokkan menjadi:
1. Kerentanan fisik
Adalah resiko yang dihadapimasyarakat dalam menghadapi ancaman
bahaya tertentu, misalnya kekuatan rekonstruksi bangunan rumah pada
daerah rawan banjir dan gempa.
2. Kerentanan ekonomi
Adalah kemampuan ekonomi individu atau masyarakat dalam
mengalokasikan dana utuk mencegas dan penanggulangan bencana.

3. Kerentanan social

10
Kerentanan social dilihat dari aspek pendidikan, pengetahuan tentang
ancaman dan penanggulangan bencana, serta ingkat kesehatan yang
rendah.
4. Kerentanan lingkungan
Kerentanan yang melihat aspek tempat tinggal masyarakat dan lingkungan
sekitarnya.

2.7 Cara Mengelola Bencana

Non- Bencana & Pra- Bencana/emergensi rekonstruksi


Bencana
Antisipasi segera setelah bencana pemulihan

(a). Program Antipatif Terhadap Bencana


Pada tahap ini lingkup tindakan ditunjukan pada kesiapan individu dan
masyarakat untuk mengantisipasi bencana yang akan terjadi. Pada lokasi-
lokasi yang diperkirakan mengalami bencan perlu dilakukan tindakan
antisipasi agar masyarakat dapat melakukan tindakan yang tepat apabila
terjadi bencana.
Secara profesional petugas kesehatan perlu mengetahui secara jelas
penanganan bencana (protap) yang telah disusun dan berkoordinasi
dengan pihak terkait, terutama palang merah indonesia. Masyarakat perlu
diajarkan beberapahal yang merupakan tanda-tanda bencana,
mengingatkan bencana yang pernah terjadi sebelumnya, mengingatkan
tindakan yang perlu dilakukan masyarakat, mobilisasi dan evakuasi jika
perlu.
Berapa contoh tindakan antisipatif :
“Bila terjadi gempa bumi......ingat!”

11
 “Segera berlindung dibawah meja dan lindungi kepala anda saat
berada didalam ruangan”
 “Jika berada dibangunan bertingkat berlari kelantai yang lebih
tinggi”
 “Selamatkan diri terlebih dahulu sebelum menyelamatkan orang
lain”
“Tanda-tanda terjadi stunami”
 “Bila terdengar suara gemuruh tetapi tidak disertai hujan”
 “Bila air laut dipantai surut mendadak”
 “Bau belerang/garam tercium dari jarak yang cukup jauh”
 “Bila terjadi gempa berkekuatan besar”
(b).Tindakan segera setelah bencana (emergensi)
Segera setelah bencana perilaku yang terlihat adalah masyarakat saling
membantu satu sama lain (karena bantuan dari luar belum ada). Jenis
bantuan yang perlu seger diperlukan dari luar daerah bencana antara lain
berupa bantuan kesehatan perbaikan komunikasi dan transportasi, deteksi
terhadap penyakit menular dan gangguan mental serta korban selamat jika
di perlukan.
Tindakan yang perlu di lakukan harus sesuai dengan area yang mengalami
bencana dan bantuan yang dibutuhkan.
1. Tingkat I, bencana pada tingkat ini membutuhkan bantuan emergensi
medik, kepolisian, pemadam kebakaran,SAR dari daerah setempat.
2. Tingkat II, pada tingkat ini dibutuhkan bantuan dengan cakupan yang
lebih luas biasanya melibatkan tim kesehatan,SAR dan kepolisian
satuprovinsi karena lokasi bencana yang lebih luas.
3. Tingkat III, pada tingkat ini penanganan bencana sudah membutuhkan
bantuan bantuan dari berbagai unsur di masyarakat yang melibatkan
satu negara seperti gempa bumi,angin ribut, banjir bandang, dan iar
bah.

12
Bila menemukan korban-korban dengan kondisi mental yang berat
(gangguan orientasi realita [halusinasi, waham, bicara kacau]) segera rujuk
ke pelayanan kesehatan (puskesmas, RSU,RS). Agar memperoleh
perawatan atau pengobatan yang lebih tepat oleh perawat kesehatan jiwa
masyarakat, psikolog dan psikiater. Bentuk tindakan keperawatan yang
bisa dilakukan adalah melatih para korban massal tentang menajemen
stres.
(c). Tindakan pemulihan
Tindakan pada tahap pemulihan (recovery) adalah keterlibatan untuk
bergerak bersama memperbaiki kondisi ekonomi dan kehidupan
masyarakat. Kondisi yang menunjukan kondisi perbaikan diantaranya
adalah adanya penanganan masalah-masalah kesehatan oleh departemen
kesehatan atau dinas kesehatan bersama dengan LSM yang terkait,
pembangunan perumahan dan jalan-jalan oleh departemen pekerjaan
umum dan lembaga terkait, keamananoleh tentara atau polisi, air bersih
oleh PAM, makanan, minuman, pakaian oleh kementrian kesejahteraan
rakyat dan lain-lain.
Tindakan yang dilakukan difase ini adalah perbaikan,penataan
kembali,dan mitigasi. Tindakan yang termasuk fase perbaikan meliputi
pembangunan kembali sarana fisik yang rusak, kembali sekolah dan
bekerja serta melanjutkan kehidupan sesuai dengan kondisi saat ini.
Fase penataan kembali dilakukan jika kehidupan masyarakat sudah
lebih normal. Penataan dilakukan terhadap infratruktur yang rusak dan
membangun kembali sistem kehidupan masyarakat.
Pada fase mitigasi adalah merencanakan kativitas yang berorientasi
pada masa depan untuk mencegah bencana sekunder yang dapat terjadi
atau meminimalkan dampak bencana seperti penyiapan program pelatihan
untuk meningkatkan keterampilan.
2.8 Tindakan Yang Dapat Dilakukan Saat Terjadi Bencana
Prinsip tindakan untuk mengatasi krisis sesuai dengan tiga faktor penyeimbang

13
tersebut yaitu membina hubungan saling percaya yang erat dengan pasien,
menggali permasalahan yang dialami pasien dan mengenbangkan alternatif
pemecahan masalah,
(a). Segera setelah bencana (24 jam)
Perlu menilai dengan cermat :
1. Kerusakan lingkungan yang terjadi
2. Jenis cidera yang di alami
3. Penderitaan yang dialami
4. Kebutuhan dasar yang harus dipenuhi segera
Pada tahap ini yang perlu dilakukan segera adalah:
1. Pertolongan kedaruratan untuk masalah fisik
2. Memenuhi kebutuhan dasar
3. Untuk membantu individu melalui fase krisisnya maka perawat
perlu memfasilitasi kondisi yang dapat menyeimbangkan krisis
seperti menjadi sumber koping (sistem pendukung) bagi klien.
(b).Minggu pertama sampai ketiga setelah bencana
1. Berikan informasi yang sederhana dan mudah diakses tentang lokasi
jenazah
2. Mendukung keluarga jika jenazah dimakamkan tanpa upacara tertentu
3. Bantu mencari keluarga pasien yang terpisah pada individu yang
beresiko seperti lansia, ibu hamil,anak dan remaja.
4. Anjurkan pasien dan keluarga untuk melakukan aktivitas kelompok
yang terorganisir seperti ibadah bersama.
5. Motivasi anggota tim lapangan untuk terlibat dalam proses berkabung
6. Lakukan aktivitas reaksi bagi anak-anak
7. Informasikan pada korban tentang reaksi psikologi normal yang terjadi
setelah bencan. Yakinkan mereka bahwa hal tersebut normal dan
berlansung sementara yang akan hilang dengan sendirinya dan dialami
oleh semua orang.
8. Informasikan tentang reaksi stres yang normal pada msyarakat secara

14
masal (dilibatkan ulama, guru dan pemimpin sosial lainnya)
9. Motivasi para korban untuk bekerja bersama memenuhi kebutuhan
mereka seperti membersihkan lokasi bersma-sama, memasak bersama
10. Libatkan korban yang masih sehat dalam pelaksanaan bantuan.
11. Memotivasi pemimpinan masyarakat dan tokoh kunci lainnya untuk
terlibat dalam diskusi kelompok dan dapt memotivasi klien untuk
berbagi perasaan
12. Pastikan informasi yang diterima akurat.
13. Pastikan distribusi bantuan meraka
14. Berikan pelayanan dengan empati “yang sehat”dan tidak memihak
pada salah satu bagian dari masyarakat
(c). Setelah minggu ketiga bencana
Pada fase ini dapat melakukan tindakan dengan menggunakan metode
pemberian informasi,konseling,dan bimbingan antisipasi. Setelah melalui
fase akut tindakan yang dapat dilakukan adalah
1. Tindakan psikososial. Tujuannya melakukan tindakan ini agar sebagia
besar klien dan keluarga mampu beradaptasi terhadap kondisi
psikososial dengan menggunakan mekanisme koping yang dimiliki
walaupun dukungan dari keluarga/orang lain dilingkungannya yang
sangat minim atau tidak ada meliputi:
a. Identivikasi individu dan koping yang tiak efektif yang ditandai
dengan gejala psikologis yang dilaporkan
b. Bina hubungan slaing percaya
c. Penuhi kebutuhan fisik yang mendadak
d. Mobilisasi dukungan sosial (tetapi jangan memaksa)
e. Cegah timbulnya bahaya yang lain (seperti berjangkitnya penyakit
yang menular)
f. Memulai berkomunikasi : mendengarkan masalah mereka
sampaikan keprihatinan, berikan bantuan yang berkelanjutan
(tetapi jangan pernah memaksa)

15
g. Sampaikan bahwa semua korban bencana merasakan perasaan
yang sama
h. Tetap mensupervisi perawatan sampai reaksi berlalu.

2. Tindakan psikososial khusus. Tibdakan yang dapat dilakukan pada


fase ini antara lain: konseling trauma, konseling berduka dan
bimbingan antisipasi.
a. Konseling terhadap trauma
1. Dengarkan ungkapan perasaan pasien dengan penuh perhatian
2. Tanyakan dan klarifikasi untuk menggali lagi pengalamannya
tetapi jangan memaksa bila pasien menolak
3. Coba memahami penderitaan yang dialami pasien dan
keluarganya.
4. Sampaikan bahwa anda akan selalu membantu dan perlihatkan
bahwa anda memahami apa yang dirasakannya.
5. Sampaikan bahwa orang lainpun akan mengalami hal yang
sama bila mengalami kejadian seperti yang dialami pasien
6. Bicarakan cara yang terbaik yang dapat dilakukan untuk
mengatasi masalah
b. Konseling terhadap proses berduka langkah yng dapat dilakukan
adalah ;
1. Lakukan pendekatandengan cara yang lemah-lembut
2. Tanyakan tentang kondisi keluarga dan kemudian bicarakan
tentang korban yang meninggal.
3. Motivasi untuk berbagi informasi tentang anggota
keluargayang meninggal (mis; menunjukan dan membicarakan
poto anggota keluarga).
4. Fokuskan pembicaraan pada hubungan dengan orang- orang
terdekat sebelum bencana dan arti kehilangan secara pribadi.
c. Bimbingan antisipasi.

16
1. Bantu pasien untuk menerima bahwa reaksi yang mereka
perlihatkan adalah normal sehingga dapat mengurangi rasa
tidak berarti dan putus asa.
2. Berikan informasi tentang reaksi stres yang alamiah dan
intensitas perasaan dapat berkurang seiring berjalannya waktu.
3. Lakukan pertemuan- pertemuan yang berisi berbagai informasi
yang perlu diketahui korban.
4. Jangan fokuskan perhatian hanya pada reaksi akibat stres
secara individual tetapi fokuskan pada kekuatan kelompok
untuk menghadapi krisis secara bersama-sama.
d. Konseling krisis
1. Bersama klien mengidentifikasi masalah nyang menyebabkan
klien meminta pertolongan.
2. Bantu pasien membuat daftar alternatif dan starateggi untuk
maengatasi masalah
3. Bantu klien untuk menilai dukungan sosial yang tersedia
untuk-nya.
4. Bantu klien untuk mengambil keputusan yang tepat bagi
dirinya.
5. Bantu klien untuk melaksanakan keputusan yang telah diambil
6. Diskusikan kemampuan klien tetang kemampuannya.
e. Konseling untuk menyelesaikan masalah
1. Mengidentifikasi masalah
2. Mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah melaui curah
pendapat
3. Bandingkan keuntungan dan kerugian dari tiap penyelesaian
masalah.
4. Identifikasi yang paling sesuai dengan klien
5. Implementasikan bentuk penyelesainaan yang telah dipilih
2.9 Peran Perawat Dalam Bencana

17
Peran perawat diharapkan dalam setiap bencana yang terjadi. Peran
perawat menurut fase bencana:
1. Fase pre impact
a. Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga
kesehatan dalam penanggulangan ancaman bencana untuk setiap
fasenya.
b. Perawat ikut terlibat dalam berbagai kegiatan pemerintahan,
organisasi lingkungan, Palang Merah Nasinal, maupun lembaga-
lembaga kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan
simulasi memberikan tanggap bencana.
c. Perawat terlibat dalam promosi kesehatan dalam rangka
meningkatkan tanggap bencana, meliputi usaha pertolongan diri
sendiri, pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga dan
menolong anggota keluarga yang lain, pembekalan informs cara
menyimpan makanan dan minuman untuk persediaan, perawat
memberikan nomer telepon penting seperti nomer telepon
pemadam kebakaran, ambulans, rumah sakit, memberikan
informasi peralatan yang perlu dibawa (pakaian, senter).
2. Fase impact
a. Bertindak cepat.
b. Perawat tidak memberikan janji apapun atau memberikan harapan
palsu pada korban bencana.
c. Konsentrasi penuh pada hal yang dilakukan.
d. Berkoordinasi dengan baik dengan tim lain.
e. Bersama pihak yang terkait mendiskusikan dan merancang master
plan revitalizing untuk jangka panjang.
Perawat harus melakukan pengkajian secara cepat untuk
memutuskan tindakan pertolongan pertama. Ada saat dimana ”seleksi”
pasien untuk penanganan segera (emergency) akan lebih efektif.
(Triase).

18
TRIASE :
a. Merah — paling penting, prioritas utama. keadaan yang
mengancam kehidupan sebagian besar pasien mengalami
hipoksia, syok, trauma dada, perdarahan internal, trauma kepala
dengan kehilangan kesadaran, luka bakar derajat I-II.
b. Kuning — penting, prioritas kedua. Prioritas kedua meliputi
injury dengan efek sistemik namun belum jatuh ke keadaan syok
karena dalam keadaan ini sebenarnya pasien masih dapat bertahan
selama 30-60 menit. Injury tersebut antara lain fraktur tulang
multipel, fraktur terbuka, cedera medulla spinalis, laserasi, luka
bakar derajat II.
c. Hijau — prioritas ketiga. Yang termasuk kategori ini adalah
fraktur tertutup, luka bakar minor, minor laserasi, kontusio,
abrasio, dan dislokasi.
d. Hitam meninggal. Ini adalah korban bencana yang tidak dapat
selamat dari bencana, ditemukan sudah dalam keadaan
meninggal.
3. Fase post-impact
a. Memberikan terapi bagi korban bencana untuk mengurangi
trauma.
b. Selama masa perbaikan perawat membantu korban bencana alam
untuk kembali ke kehidupan normal.
c. Beberapa penyakit dan kondisi fisik yang memerlukan pemulihan
dalam jangka waktu lama memerlukan bekal informasi dan
pendampingan.

2.10 Penanggulangan Bencana di Bidang Kesehatan

Dengan melihat faktor resiko yang terjadi akibat bencana, maka


penanggulangan bencana sector kesehatan bisa dibagi menjadi aspek medis

19
dan aspek kesehatan masyarakat.Pelaksanaanya tentu harus melakukan
koordinasi dan kloaborasi dengan sector dan program terkait.Berikut ini
merupakan ruang lingkup bidang pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan, terutama saat tanggap darurat dan pasca bencana.
1. Sanitasi darurat.
Kegiatannya adalah penyediaan serta pengawasan air bersih dan jamban
:kualitas tempat pengungsian, serta pengaturan limbah sesuai standard.
Kekurangan jumlah maupun kualitas sanitasi ini akan meningkatkan
resiko penularan penyakit.
2. Pengendalian vector.
Bila tempat pengungsian dikategorikan tidak ramah, maka kemungkinan
terdapat nyamuk dan vector lain disekitar pengungsi. Ini termasuk
timbunann sampah dan genagan air yang memungkinkan tejadinya
perindukan vector. Maka kegiatan pengendalian vector terbatas saat
diperlukan baik dalam bentuk spraying, atau fogging, larvasiding, maupun
manipulasi lingkungan.
3. Pengendalian penyakit.
Bila dari laporan pos pos kesehatan diketahui terdapat peningkatan kasus
penyakit, terutama yang berpotensi KLB, maka dilakukan pengendalian
melalui intensifikasi penatalaksanaan kasus serta penanggulangan faktor
resikonya.Penyakit yang memerlukan perhatian adalah diare dan ISPA.
4. Imunisasi terbatas.
Pengungsi pada umumnya rentan terhadap penyakit, terutama orang tua,
ibu hamil, bayi dan balita.Bagi bayi dan balita perlu imunisasi campak bila
dalam catatan program daerah tersebut belum mendapatkan crash program
campak. Jenis imunisasi lain mungkin diperlukan ssuai dengan kebutuhan
setempat seperti yang dilakukan untuk mencegah kolera bagi sukarelawan
di Aceh pada tahun 2005 dan imunisasi tetanus toksoid (TT) bagi
sukarelawan di DIY dan jateng apda tahun 2006.
5. Surveilanse Epidemologi.

20
Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh informasi epidemologi penyakit
potensi KLB dan faktor resiko.atas informasi inilah maka dapat ditentukan
pengendalian penyakit, pengendalian vector, dan pemberian imunisasi,
informasi epidemologi yang harus diperoleh melalui kegiatan surveilens
epidemologi adalah :
a. Reaksi social
b. Penyakit menular
c. Perpindahan penduduk
d. Pengaruh cuaca
e. Makanan dan gizi
f. Persediaan air dan sanitasi
g. Kesehatan jiwa
h. Kerusakan infrastruktur kesehatan.

Menurut DepKes RI (2016) manajemen siklus penanggulangan


bencana terdiri dari:
1) impact (saat terjadi bencana)
2) Acute Response (tanggap darurat)
3) Recovery (pemulihan)
4) Development(pembangunan)
5) Prevention (pencegahan)
6) Mitigation (Mitigasi)
7) Preparedness (kesiapsiagaan).

Aktivitas yang dilakukan untuk menangani masalah kesehatan


dalam siklus bencana dibagi menjadi 2 macam, yaitu pada fase akut untuk
menyelamatkan kehidupan dan fase sub-akut sebagai perawatan rehabilitatif.
Menurut DepKes RI (2016) untuk mengetahui manajemen penanggulangan
bencana secara berkesinambungan, perlu dipahami siklus penanggulangan
bencana dan peran tiap komponen pada setiap tahapan, sebagai berikut:

21
1. Kejadian bencana (impact)
Kejadian atau peristiwa bencana yang disebabkan oleh alam atau ulah
manusia, baik yang terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan, dapat
menyebabkan hilangnya jiwa manusia, trauma fisik dan psikis, kerusakan
harta benda dan lingkungan, yang melampaui kemampuan dan
sumberdaya masyarakat untuk mengatasinya.
2. Tanggap darurat (acute response)
Upaya yang dilakukan segera setelah kejadian bencana yang bertujuan
untuk menanggulangi dampak yang timbul akibat bencana,
terutama penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan
pengungsian.
3. Pemulihan (recovery)
Proses pemulihan kondisi masyarakat yang terkena bencana baik dampak
fisik dan psikis, dengan memfungsikan kembali sarana dan prasarana pada
keadaan semula. Hal ini dilakukan dengan memperbaiki prasaran dan
pelayanan dasar (jalan, listrik, air bersih, pasar, Puskesmas dll) dan
memulihkan kondisi trauma psikologis yang dialami anggota masyarakat.
4. Pembangunan (development)
Merupakan fase membangun kembali sarana dan prasarana yang rusak
akibat bencana.Pembangunan ini dapat dibedakan menjadi 2
tahapan.Tahapan yang pertama yaitu rehabilitasi yang merupakan upaya
yang dilakukan setelah kejadian bencana untuk membantu
masyarakatmemperbaiki rumah, fasilitas umum dan fasilitas sosial
serta menghidupkan kembali roda ekonomi. Tahapan yang kedua
yaitu rekonstruksi, yang merupakan program jangka menengah dan
jangka panjang yang meliputi program fisik, sosial dan ekonomi
untuk mengembalikan kehidupan masyarakat pada kondisi yang sama atau
lebih baik.
5. Pencegahan (prevention)
Tindakan pencegahan yang harus dilaksanakan antara lain berupa

22
kegiatan untuk meningkatkan kesadaran/kepedulian mengenai
bahaya bencana. Langkah-langkah pencegahan difokuskan pada
intervensi terhadap gejala-gejala alam dengan tujuan agar menghindarkan
terjadinya bencana dan atau menghindarkan akibatnya dengan
caramenghilangkan/memperkecil kerawanan dan meningkatkan
ketahanan/kemampuan terhadap bahaya.
6. Mitigasi (mitigation)
Upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak bencana, baik secara
fisik struktural dengan pembuatan bangunan-bangunan fisik maupun non-
fisik struktural melalui perundang-undangan dan pelatihan.Mitigasi
merupakan semua aktivitas yang dilakukan untuk menghilangkan atau
mengurangi derajat risiko jangka panjang dalam kehidupan manusia yang
berasal dari kerusakan alam dan buatan manusia itu sendiri (Stoltman et
al., 2014).
7. Kesiapsiagaan (preparedness)
Upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana, melalui
pengorganisasian langkah-langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
Persiapan adalah salah satu tugas utama dalam disaster
managemen, karena pencegahan dan mitigasi tidak dapat menghilangkan
vulnerability maupun bencana secara tuntas

23
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Di beberapa daerah di Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana.


Dengan banyaknya bencana, kesiagaan dan pelaksanaan tanggap bencana
harus dilakukan dengan baik. Karena dampak yang ditimbulkan bencana
tidaklah sederhana, maka penanganan korban bencana harus dilakukan dengan
terkoordinasi dengan baik sehingga korban yang mengalami berbagai sakit
baik fisik, sosial, dan emosional dapat ditangani dengan baik dan manusiawi.

Perawat sebagai kaum yang telah dibekali dasar-dasar kejiwaan


kebencanaan dapat melakukan berbagai tindakan tanggap bencana.

24
Seharusnya modal itu dimanfaatkan oleh mahasiswa keperawatan agar secara
aktif turut melakukan tindakan tanggap bencana.

3.2 Saran

Perawat adalah tenaga kesehatan yang sangat berkompeten untuk


melakukan pelayanan kesehatan di daerah yang sedang mengalami bencana,
oleh karena itu diharapkan bagi mahasiswa keperawatan maupun perawat
yang sudah berpengalaman dalam praktik pelayanan kesehatan mau untk
berperan dalam penanggulangan bencana yang ada di sekitar kita. Karena
ilmu yang didapat di bangku perkuliahan sangat relevan dengan yang terjadi
di masyarakat, yaitu fenomena masalah kesehatan yang biasanya muncul di
tempat yang sedang terjadi bencana.

DAFTAR PUSTAKA

Efendi, Ferry. 2016. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik


dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Keliat,B.A, dkk. 2014. Manajemen Kasus Gangguan Jiwa Dalam Keperawatan
Kesehatan JiwaKomunitas. Jakarta : Modul IC CMHN.FIKUI
Urata . 2018. Pengertian dan Istilah-istilah Bencana.
www.kangurata.com/bencana/pengertian-dan-istilah-istilah-bencana. Diakses
Pada Tanggal 2 September 2018. Pukul 08.15 WIB
Stoltman et al, 2014. Peran Perawat Dalam Manajemen
Bencana.http://weenbee.wordpress.com/2011/08/23/peran-perawat-dalam-
manajemen-bencana/#more-94. Diakses Pada Tanggal 2 September 2016.
Pukul 09.00 WIB.
Wikipedia. 2011. Bencana. www.id.wikipedia.org/wiki/bencana. Diakses Pada
Tanggal 21 Maret 2012. Pukul 08.30 WIB.

25
26

Anda mungkin juga menyukai