Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

DEMAM BERDARAH DENGUE PADA PASIEN TN. D DI RUANG MAHONI


RSUD PAKUHAJI TAHUN 2022

Dosen Pembimbing :
Ns. Dewi Nur Puspitasari, M.Kep

Disusun Oleh:
1. Neneng Rina Damaiyanti (19216116)
2. Ninuk Tri Wulandari (19216117)
3. Nola Andriani (19216118)
4. Nopela (19216119)
5. Novitasari (19216120)
6. Nur Kholifah (19216121)
7. Nur Rohmah (19216122)
8. Nur’aeni Putri (19216123)
9. Putri Handayani (19216136)
10. Quintyna Azzahra M Y (19216140)
11. Raden Roro Dyah W (19216141)
12. Rosy Rusmiyati (19216155)

PROGRAM STUDI SI KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) “YATSI” TANGERANG
Jl. Aria Santika No.40A, Margasari, Karawaci KotaTangerang Banten 15114
Telp : (021) 55726558 / 55725974 Fax : (021) 22252518
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT. yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Ka
mi panjatkan puji syukur atas ke hadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat dan hidaya
h Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu dan semaksim
al mungkin dalam tugas mata kuliah IKD dengan judul Laporan Pendahuluan dan Asuhan
Keperawatan Demam Berdarah Dengue Pada Pasien Tn,D di Ruang Mahoni RSUD
PAKUHAJI
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah mendukung, membantu, memberi masukan dan memfasilitasi penyusunan mak
alah ini sehingga berjalan dengan lancar. Diantaranya kepada : 
1. Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya.
2. Ibu Dr. Ida Faridah, S.Kp., M.Kes., Selaku Ketua STIKes Yatsi Tangerang.
3. Ibu Ns. Febi Ratnasari, S.Kep., M.Kep., Selaku Kaprodi S1 Keperawatan.
4. Ibu Ns. Imas Sartika, S.Kep., M.Kep Selaku Penanggung Jawab Tingkat 3 C
Keperawatan.
5. Ibu Ns. Dewi Nur puspitasari, M.Kep Selaku Dosen Pembimbing Ilmu Keperawatan
Dasar 2.
6. Orang Tua yang telah membantu pembuatan makalah ini dalam segi materil.
7. Teman-teman yang telah mendukung pembuatan makalah ini, dan Semua pihak yang
tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kal
imat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran, kritik dan masuka
n sebagai penyempurnaan kedepannya agar lebih baik.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menamba
h wawasan kita dalam mempelajari Ilmu Keperawatan Dasar 2

Tangerang, 02 Maret
2022

Kelompok 3

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I.........................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.....................................................................................................................1

A. Latar Belakang...................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah..............................................................................................................2

C. Tujuan................................................................................................................................2

D. Manfaat..............................................................................................................................2

BAB II.......................................................................................................................................3

TINJAUAN TEORI.................................................................................................................3

A. Pengertian..........................................................................................................................3

B. Tanda Dan Gejala..............................................................................................................3

C. Etiologi...............................................................................................................................4

D. Pathway.............................................................................................................................5

E. Pemeriksaan Penunjang.....................................................................................................6

F. Penatalaksanaan Medis......................................................................................................6

G. Patofisiologi.......................................................................................................................6

BAB III......................................................................................................................................7

TINJAUAN KASUS.................................................................................................................7

A. Pengkajian.........................................................................................................................7

B. Riwayat Keperawatan........................................................................................................7

C. Hasil Pemeriksaan Laboratorium.......................................................................................8

D. Analisa Data......................................................................................................................8

2
E. Intervensi Keperawatan....................................................................................................11

F. Implementasi....................................................................................................................12

G. Evaluasi...........................................................................................................................14

BAB IV....................................................................................................................................18

PENUTUP...............................................................................................................................18

A. Kesimpulan......................................................................................................................18

B. Saran................................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................19

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh satu dari 4 virus dengue berbeda dan ditularkan melalui nyamuk terutama Aedes
aegypti dan Aedes albopictus yang ditemukan di daerah tropis dan subtropis di
antaranya kepulauan di Indonesia hingga bagian utara Australia. Menurut data (WHO
2016) Penyakit demam berdarah dengue pertama kali dilaporkan di Asia Tenggara
pada tahun 1954 yaitu di Filipina, selanjutnya menyebar keberbagai negara. Sebelum
tahun 1970, hanya 9 negara yang mengalami wabah DHF, namun sekarang DHF
menjadi penyakit endemik pada lebih dari 100 negara, diantaranya adalah Afrika,
Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Amerika, Asia
Tenggara dan Pasifik Barat memiliki angka tertinggi kasus DHF. Jumlah kasus di
Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat telah melewati 1,2 juta kasus di tahun 2008
dan lebih dari 2,3 juta kasus di 2010. Pada tahun 2013 dilaporkan terdapat sebanyak
2,35 juta kasus di Amerika, dimana 37.687 kasus merupakan DHF berat (Kementerian
Kesehatan RI 2016).
Saat ini bukan hanya terjadi peningkatan jumlah kasus DHF, tetapi
penyebaran di luar daerah tropis dan subtropis, Setidaknya 500.000 penderita DHF
memerlukan rawat inap setiap tahunnya, dimana proporsi penderita sebagian besar
adalah anak-anak dan 2,5% di antaranya dilaporkan meninggal dunia. Morbiditas dan
mortalitas DHF bervariasi dan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain status
imun, kondisi vector nyamuk, transmisi virus dengue, virulensi virus, dan kondisi
geografi setempat (Kemenkes RI 2018).
Menurut data WHO, Asia Pasifik menanggung 75 persen dari beban dengue di
dunia antara tahun 2004 dan 2010, sementara Indonesia dilaporkan sebagai negara ke-
2 dengan kasus DHF terbesar diantara 30 negara wilayah endemis. Kasus DHF yang
terjadi di Indonesia dengan jumlah kasus 68.407 tahun 2017 mengalami penurunan
yang signifikan dari tahun 2016 sebanyak 204.171 kasus (WHO 2018).
Faktor penyebab DHF pada umumnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan
perilaku manusia. Mulai dari perilaku tidak menguras bak, membiarkan genangan air
di sekitar tempat tinggal. Belum lagi saat ini telah masuk musim hujan dengan potensi
penyebaran DHF lebih tinggi. Penderita DHF umumnya terkena demam tinggi dan

4
mengalami penurunan jumlah trombosit secara drastis yang dapat membahayakan
jiwa. Inilah yang membuat orangtua terkadang menganggap remeh. Sehingga hanya
diberikan obat dan menunggu hingga beberapa hari sebelum dibawa ke dokter atau
puskesmas. Kondisi ini tentu bisa parah bila pasien terlambat dirujuk dan tidak dapat
tertangani dengan cepat (Wang et al. 2019).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “Bagaimanakah Asuhan Keperawatan pada Tn. D dengan DHF
yang di Rawat di Rumah Sakit”

C. Tujuan
Tujuan dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Tujuan Umum
Untuk mendeskripsikan studi kasus Asuhan Keperawatan pada Tn. D dengan
DHF yang di Rawat di Rumah Sakit.
2. Tujuan Khusus
a. Mengkaji Klien Tn. D dengan DHF.
b. Menegakkan Diagnosis Keperawatan pada Tn. D dengan DHF.
c. Menyusun Perencanaan Keperawatan pada Tn. D dengan DHF.
d. Melaksanakan Intervensi Keperawatan pada Tn. D dengan DHF.
e. Mengevaluasi Tn. D dengan DHF

D. Manfaat
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi:
1. Bagi peneliti
Manfaat penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman, pengetahuan,
dan membuka wawasan berpikir penulis. Serta dapat mengaplikasikan hasil
asuhan keperawatan pada Tn. D dengan DHF.
2. Bagi rumah sakit
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada rumah sakit
selaku pemberi pelayanan kesehatan mengenai penyakit DHF pada Tn. D.
3. Bagi perkembangan ilmu keperawatan

5
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pembelajaran dan referensi bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya disiplin ilmu keperawatan mengenai
asuhan keperawatan pada klien dewasa dengan DHF.

BAB II

TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Demam berdarah dengue atau DBD adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri
sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan ditesis
hemoragik. Pada DHF terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga
tubuh. Sindrom renjatan dengue yang ditandai oleh renjatan atau syok (Nurarif &
Kusuma 2015).
Demam berdarah dengue atau DBD (secara medis disebut dengue hemoragik
fever / DHF ) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan aedes albopictus. virus ini akan
mengganggu kinnerja darah kapiler dan sistem pembekuan darah, sehingga
mengakibatkan perdarahan. Demam berdarah dengue tidak menular melalui
kontak manusia dengan manusia. Virus dengue sebagai penyebab demam
berdarah hanya dapat ditularkan melalui nyamuk. (Prasetyo, 2012 )
DBD adalah jenis penyakit demam akut yang disebabkan oleh salah satu dari
empat serotipe virus dengan genus flavivirus yang dikenal dengan nama virus
dengue yang di tandai dengan lemas, lemah, lesu, gelisah, nyeri ulu hati, ditandai
tanda perdarahan dikulit berupa bintik perdarahan (Ayu Putri Ariani, 2018)

B. Tanda dan Gejala


Menurut pusat pengendalian dan pencegahan penyakit, lebih dari 80% orang yang
terinfeksi virus dengue diam – diam akan menularkan penyakit tanpa gejala /
hanya sakit ringan saja. Jika sistem pertahanan tidak dapat mengatasi virus, maka
gejala yang tampak bisa ringan / bahkan dapat menimbulkan berbagai kondisi
sebagai berikut :

6
1. Demam yang terjadi selama terus menerus hingga suhu tubuh mencapai
40℃ / bahkan lebih
2. Mual muntah dan nafsu makan berkurang
3. Nyeri sendi / nyeri otot
4. Nyeri kepala
5. Adanya konstipasi

C. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk
aedes aegypti atau aedes albopictus.
Virus dengue, termasuk genus Flavivirus, keluarga flaviridae. terdapat 4
serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Keempatnya ditemukan
di Indonesia dengan DEN-3 serotipe terbanyak. Infeksi salah satu serotipe akan
menimbulkan antibody terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibody
yang terbentuk terhadap serotype lain sangat kurang, sehingga tidak dapat
memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut.
Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4
serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di
berbagai daerah di indonesia (Nurarif & Kusuma 2015).

7
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mioma uteri adalah tumor jinak pada daerah rahim atau lebih tepatnya otot
rahim dan jaringan ikat di sekitarnya. Mioma uteri belum pernah ditemukan
sebelum terjadinya menarkhe, sedangkan setelah menopause hanya kira-kira
10% mioma yang masih tumbuh (Guyton, 2002 dalam Kurniasari, 2010).
Mioma uteri merupakan tumor jinak terbanyak pada wanita dan merupakan
indikasi histerektomi tersering di Amerika Serikat. Tercatat sebanyak 39%
dari 600.000 histerektomi yang dilakukan di Amerika Serikat tiap tahunnya.
Studi yang dilakukan di Amerika Serikat dengan teknik random sampling pada
wanita usia 35- 49 tahun menemukan bahwa 60% kasus terjadi pada usia 35
tahun dan meningkat sebanyak 80% di usia 50 tahun pada wanita Amerika.
Sedangkan pada wanita Keukasian insiden mioma uteri mencapai 40% pada
usia 35 tahun dan 70% pada usia 50 tahun (Sabrianti, 2015). Menurut
penelitian World Health Organisation (WHO) memperkirakan di seluruh dunia
20-50% wanita penderita mioma uteri. Medical Surveillance monthly Report,
Armed Force Amerika serikat tahun 2009-2013 melapor terdapat 11.931 kasus
mioma uteri (insidens rate 57,6 per 10.000 tiap tahun) pada wanita usia
reproduksi aktif ( Benson ,2013 dalam Sulastriningsih, 2017). Jumlah kejadian
mioma uteri di Indonesia menempati urutan kedua setelah kanker serviks,
sedangkan angka kejadiannya diprediksi mencapai 20−30% terjadi pada
wanita berusia di atas 35 tahun (Sunarsih (2016)). Di Indonesia, berdasarkan
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012-2013, angka kasus
Mioma Uteri sebesar 20 per 1000 wanita dewasa. Dalam 1 tahun, sekitar
49.598 wanita mengalami Mioma Uteri (Sulastriningsih, 2017). Menurut data
yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) tahun 2013 terdapat 546 kasus mioma uteri yang dilaporkan. Sedangkan
di Kabupaten Bantul terdapat 256 kasus mioma uteri yang dilaporkan yang
merupakan kasus mioma uteri terbanyak dibanding kabupaten lain yang
berada di Yogyakarta. Menurut Setiati (2015) penanganan mioma uteri salah
satunya dengan cara pembedahan, ada dua jenis pembedahan pada penderita
mioma uteri yaitu enkleasi mioma dan histerektomi. Risiko dari post operasi

8
adalah perdarahan (Majid,2011 dalam Anngraeni, 2016), perdarahan akibat
prosedur pembedahan dapat menyebabkan penderita mengalami keletihan
akibat penurunan jumlah sel darah merah yang ada di dalam sirkulasi.
Keletihan didefinisikan sebagai ketidakberdayaan secara fisik maupun
psikolog sehingga pasien tidak dapat melakukan aktivitas seperti biasa,
keletihan dapat menurunkan produktivitas dan pada akhirnya akan
menurunkan kualitas hidup (Nugraha, 2108). Peran perawat dalam
penatalaksanaan keletihan salah satunya dengan cara non farmakologi yaitu
manajemen energi. Manajemen energi, yaitu dengan cara mengkaji faktor
yang menyebabkan kelelahan, memonitor sumber energi yang adekuat,
mengkonsultasikan dengan ahli gizi untuk meningkatkan asupan makanan
yang berenergi tinggi, menganjurkan untuk menambah jam istirahat (Bulchek,
2013). Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik melakukan
studi dokumentasi tentang gambaran keletihan pada pasien dengan post
operasi total abdominal hysterektomy dan bilateral salphingo oophoreectomy
atas indikasi mioma uteri.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dirumuskan rumusan masalah dalam
studi kasus ini adalah bagaimana gambaran keletihan pada pasien post operasi
total abdominal hysterektomy dan bilateral salphingo oophoreectomy atas
indikasi mioma uteri.

C. Tujuan Studi Kasus


1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran keletihan pada pasien post operasi total abdominal
hysterektomy dan bilateral salphingo oophoreectomy atas indikasi mioma
uteri.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya gambaran tentang pengkajian keletihan pada pasien post
operasi total abdominal hysterektomy dan bilateral salphingo oophoreectomy
atas indikasi mioma uteri.

9
b. Diketahuinya gambaran tentang penegakan diagnosis keperawatan
keletihan pada pasien post operasi total abdominal hysterektomy dan bilateral
salphingo oophoreectomy atas indikasi mioma uteri.
c. Diketahuinya gambaran tentang perencanaan keperawatan keletihan pada
pasien post operasi total abdominal hysterektomy dan bilateral salphingo
oophorectomy atas indikasi mioma uteri.

d. Diketahuinya gambaran tentang pelaksanaan keperawatan keletihan pada pasien


post operasi total abdominal hysterektomy dan bilateral salphingo
oophoreectomyatas indikasi mioma uteri.
e. Diketahuinya gambaran tentang evaluasi keperawatan keletihan pada post
operasi total abdominal hysterektomy dan bilateral salphingo oophoreectomy atas
indikasi mioma uteri.
f. Diketahuinya gambaran tentang peran keluarga dalam merawat anggota yang
sakit post operasi total abdominal hysterektomy dan bilateral salphingo
oophoreectomy atas indikasi mioma uteri.

D. Ruang Lingkup
Penelitian ini termasuk dalam lingkup keperawatan Maternitas. Materi yang dibahas
adalah Gambaran keletihan dengan post op total abdominal hysterektomy dan
bilateral salphingo oophoreectomy atas indikasi mioma uteri.
E. Manfaat
Studi kasus ini diharapkan memberikan manfaat:
1. Teoritis Menambah keluasan ilmu dan teknologi terapan bidang keperawatan
tentang gambaran keletihan pada pasien post op total abdominal hysterektomy dan
bilateral salphingo oophoreectomy atas indikasi mioma uteri.
2. Praktisi Memperoleh pengalaman dalam mengaplikasikan hasil riset keperawatan,
khususnya studi kasus tentang penatalaksanaan keletihan pada pasien post op total
abdominal hysterektomy dan bilateral salphingo oophoreectomy atas indikasi mioma
uteri.

BAB II

10
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Mioma Uteri
a. Definisi Mioma uteri
merupakan penyakit tumor jinak pada otot rahim yang disertai jaringan ikatnya.
Mioma uteri merupakan tumor jinak yang paling sering ditemukan, yaitu satu dari
empat wanita selama masa reproduksi yang aktif. Gejala terjadinya mioma uteri
sukar dideteksi karena tidak semua mioma uteri memberikan keluhan dan
memperlukan tindakan operatif. Walapupun kebanyakan mioma muncul tanpa
gejala, tetapi sekitar 60% ditemukan secara kebetulan pada laparatomi daearh
pelvis (Setiati, 2018). Mioma uteri berbatas tegas dan berasal dari otot polos
jaringan fibrous sehingga mioma uteri dapat berkonsistensi padat jika jaringan
ikatnya dominan dan berkonsistensi lunak jika otot rahimnya yang dominan.
Mioma uteri biasanya juga disebut leiomioma uteri, fibroma uteri, fibroleimioma,
mioma fibroid atau mima simple (Setiati, 2018). b. Klasifikasi Menurut Setiati
(2018) mioma uteri dapat diklasifikasikan menurut letaknya, yaitu:
1) Mioma uteri subserosum
lokasi tumor di subserosa korpus uteri dapat hanya sebagai tonjolan saja, dapat
pula sebagai satu massa yang dihubungkan dengan uterus melalui tangkai.
Pertumbuhan kearah lateral dapat berada di dalam ligamentum latum, dan
disebut sebagai mioma intraligamen. Mioma yang cukup besar akan mengisi
rongga peritoneum sebagai suatu massa. Perlekatan dengan omentum di
sekitarnya menyebabkan sistem peredaran darah diambil alih dari tangkai ke
omentum. Akibatnya tangkai semakin mengecil dan terputus, sehingga mioma
terlepas dari uterus sebagai massa tumor yang bebas dalam rongga
peritoneum. Mioma jenis ini dikenal sebagai mioma jenis parasitik.
2) Mioma uteri intramural
Mioma uteri intramural disebut juga sebagai mioma intra epitalial, biasanya
multiple. Apabila masih kecil, tidak merubah bentuk uterus, tapi bila besar
akan menyebabkan uterus berbenjol-benjol, uterus bertambah besar dan
berubah bentuknya. Mioma ini sering tidak memberikan gejala klinis yang
berarti kecuali rasa tidak enak karena adanya massa tumor di daerah perut
sebelah bawah.

11
3) Mioma uteri submukosum
Mioma yang berada di bawah lapisan mukosa uterus/endometrium dan
tumbuh kearah kavum uteri. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan
bentuk dan besar kavum uteri. Bila tumor ini tumbuh dan bertangkai, maka
tumor dapat keluar dan masuk ke dalam vagina yang disebut mioma geburt.
Mioma submukosum walaupun hanya kecil selalu memberikan keluhan
perdarahan melalui vagina. Perdarahan sulit dihentikan, sehingga sebagai
terapinya dilakukan histerektomi.

c. Etiologi dan Patogenesis


Menurut Setiati (2018) Penyebab pasti mioma uteri belum diketahui secara
pasti, tetapi tumor ini mungkin berasal dari sel otot yang normal, dari otot
imatur yang ada di dalam miometrium atau dari sel embrional pada dinding
pembuluh darah uterus. Mioma tumbuh mulai dari benih – benih multipel
yang sangat kecil dan tersebar pada miometrium. Benih ini tumbuh sangat
lambat tetapi progresif. Faktor-faktor yang mempengarui pertumbuhan mioma
uteri:
1) Esterogen
Estrogen memegang peranan penting untuk terjadinya mioma uteri, hal ini
dikaitkan dengan: mioma tidak pernah ditemukan sebelum menarche,
banyak ditemukan pada masa reproduksi, pertumbuhan mioma lebih cepat
pada wanita hamil dan akan mengecil pada masa menopause. Ada terori
menyatakan bahwa untuk terjadinya mioma uteri harus terdapat dua
komponen penting yaitu: sel nest (sel muda yang terangsang) dan estrogen
(perangsang sel nest secara terus menerus). Hormon estrogen dapat
diperoleh melalui alat kontrasepsi hormonal (Pil KB, Suntikan KB dan
susuk KB). Alat kontrsepsi hormonal mengandung estrogen, progesteron
dan kombinasi estrogen dan progesteron.
2) Progesteron
Progesteron merupakan antagonis natural dari estrogen. Progesteron
menghambat pertumbuhan tumor dengan dua cara yaitu: mengaktifkan

12
hidroxydesidrogenase dan menurunkan jumlah reseptor estrogen pada
tumor.
3) Hormon
pertumbuhan Level hormon pertumbuhan menurun selama kehamilan,
tetapi hormon yang mempunyai struktur dan aktivitas biologik serupa,
yaitu HPL, terlihat pada periode ini dan memberi kesan bahwa
pertumbuhan yang cepat dari leiomioma selama kehamilan mungkin
merupakan hasil dari aksi sinergistik antara HPL dan estrogen.

d. Faktor Risiko
Menurut Setiati (2018) ada beberapa faktor yang berpengaruh sebagai
faktor risiko terjadinya mioma uteri, yaitu:
1) Umur
Risiko mioma uteri meningkat seiring dengan peningkatan umur.
Kasus mioma uteri terbanyak terjadi pada kelompok umur 40-49 tahun.
Mioma uteri jarang ditemukan pada wanita di bawah umur 20 tahun
dan belum pernah dilaporkan terjadi kasus sebelum menarche, dan
setelah menopause hanya 10% kejadian mioma uteri yang masih dapat
bertumbuh lebih lanjut. Mioma uteri biasanya akan menunjukkan
gejala klinis pada umur 40 tahun keatas.
2) Paritas
Mioma uteri lebih sering ditemukan pada wanita nullipara atau wanita
yang kurang subur. Mioma uteri berkurang pada wanita yang
mempunyai anak lebih dari satu dibandingkan dengan wanita yang
belum pernah melahirkan, hal ini berkaitan juga dengan keadaan
hormonal. Beberapa penelitian menemukan hubungan saling berbalik
antara paritas dan munculnya myoma uteri. Hal ini disebabkan
besarnya jumlah reseptor estrogen yang berkurang di lapisan
miometrium setelah kehamilan.
3) Ras dan Genetik
Pada wanita ras tertentu. Khususnya wanita berkulit hitam, angka
kejadian mioma uteri tinggi. Terlepas dari faktor ras, kejadian tumor
ini tinggi pada wanita dengan riwayat keluarga penderita mioma uteri.
4) Fungsi Ovarium

13
Diperkirakan ada korelasi antara hormon estrogen dengan
pertumbuhan mioma, dimana mioma uteri muncul setelah menarke,
berkembang setelah kehamilan, dan mengalami regresi setelah
menopause. Pemberian agonis GnRH dalam waktu lama sehingga
terjadi hipoestrogenik dapat mengurangi ukuran mioma. Efek estrogen
pada pertumbuhan mioma mungkin berhubungan dengan respon
mediasi oleh estrogen terhadap reseptor dan faktor pertumbuhan lain.
Terdapat bukti peningkatan produksi reseptor dan faktor pertumbuhan
lain. Terdapat bukti peningkatan produksi reseptor progesteron, faktor
pertumbuhan epidermal, dan insulin-like growth factor pertama yang
distimulasi oleh estrogen.
f. Patologi Anatomi
Menurut Setiati (2018) gambaran histopatologi mioma uteri adalah seperti
berikut: Pada gambaran makroskopik menunjukkan suatu tumor berbatas jelas,
bersimpai, pada penampang menunjukkan massa putih dengan susunan
lingkaran-lingkaran konsentrik di dalamnya. Tumor ini bisa terjadi secara
tunggal tetapi kebiasaanya terjadi secara multipel dan bertaburan pada uterus
dengan ukuran yang berbeda-beda. Perubahan sekunder yang terjadi sebagian
besar bersifat degenerasi

Hal ini terjadi karena berkurangnya pemberian darah pada mioma. Perubahan
sekunder yang sering terjadi yaitu:
1) Atrofi
Setelah menopause mioma uteri akan menjadi kecil, hal ini terjadi karena
saat menopause akan terjadi penurunan stimulus estrogen.
2) Degenerasi
Hialin Perubahan ini sering terjadi terutama pada penderita berusia lanjut.
Tumor kehilangan struktur aslinya dan menjadi homogen, dapat meliputi
sebagian besar atau hanya sebagian kecil dari tumor tersebut seolah-olah
memisahkan satu kelompok serabut otot dari kelompok lainnya.
3) Degenerasi
Kistik Perubahan ini dapat meliputi daerah kecil maupun luas, dimana
sebagian dari mioma menjadi cair, sehingga terbentuk ruangan-ruangan
yang tidak teratur berisi seperti agar-agar, dapat juga terjadi

14
pembengkakan yang luas dan bendungan limfe sehingga menyerupai
limfangioma, dengan konsistensi yang lunak tumor sukar dibedakan dari
kista ovarium atau suatu kehamilan.
4) Degenerasi
Membatu (Calcereous Dereration) Terutama terjadi pada wanita berusia
lanjut oleh karena adanya gangguan dalam sirkulasi, perubahan ini dapat
terjadi setelah degeneratif kistik dan dengan adanya pengendapan garam
kapur pada sarang mioma maka mioma akan menjadi keras (womb stone)
dan akan memberikan bayangan pada foto rontgen.
5) Degenerasi Merah (Carneous Degeneration)
Perubahan ini biasanya terjadi pada masa kehamilan dan nifas.
Patogenesis diperkirakan karena suatu nekrosis subakut sebagai gangguan
vaskularisasi. Pada pembelahan dapat dilihat sarang mioma seperti daging
mentah bewarna merah disebabkan oleh pigmen hemosiderin dan
hemofusin. Degenerasi merah tampak khas apabila terjadi pada kehamilan
muda seperti emesis, haus, sedikit demam, kesakitan, tumor pada uteus
membesar dan nyeri pada perabaan. Penampilan klinik ini sama seperti
pada putaran tangkai tumor ovarium atau mioma bertangkai.
6) Degenerasi Lemak Degenerasi lemak
merupakan kelanjutan dari degenerasi hialin, akan tetapi perubahan ini
jarang terjadi.
g. Manifestasi Klinis
Menurut Padila (2015) gejala yang dikeluhkan tergantung letak mioma,
besarnya, perubahan sekunder, dan komplikasi. Tanda dan gejala tersebut
dapat digolongkan sebagai berikut:
1) Perdarahan abnormal seperti dismenore, menoragi, metroragi.
2) Rasa nyeri karena gangguan sirkulasi darah pada sarang mioma yang
disertai nekrosis dan peradangan.
3) Gejala dan tanda penekanan seperti retensio urine, hidronefrosis,
hidroureter, poliuri.
4) Abortus spontan karena disoroti rongga uterus pada mioma submukosum.
5) Infertilasi bila sarang mioma menutup atau menekan pars interstitialis
tuba.

15
h. Penanganan
Penangana mioma uteri menurut Setiati (2018) dilakukan tergantung pada
umur, paritas, lokasi, dan ukuran tumor.Penanganan mioma uteri terbagi atas
beberapa kelompok, yaitu :
1) Penanganan koservatrif
Dilakukan jika mioma yang muncul pada pra dan postmenopause tanpa
gejala. Cara penanganan konservatif adalah sebagai berikut :
a) Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodik setiap 3-6
bulan.
b) Jika terjadi anemia, maka Hb kurang.
c) Pemberian zat besi.
d) Penggunaan agonis GnRH leuprolid asetat 3,75 mg IM pada hari
pertama sampai ketiga menstruasi setiap minggu, sebnyak tiga kali.
Obat ini mengakibatkan pengerutan tumor dan menghilangkan gejala.
Obat inti menekan sekresi gonadotropin dan menciptakan keadaan
hipoesterrogenik yang serupanyang ditemuka pada periode
postmenopause. Efek maksimum dalam mengurangi ukuran tumor
diobservasi dalam 12 minggu. Terapi egonis GnRH ini dapat pula
diberikan sebelum pembedaahan karena memberikan beberapa
keuntungan, antara lain mengurangi hilangnya darah selama
pembedahan dan mengurangi kebutuhan akan transfusi darah.
2) Penanganan operatif
Dilakukan jika terjadi hal-hal berikut:
a) Ukuran tumor lebih besar dari ukuran uterus 12-14 minggu.
b) Pertumbuhan tumor cepat.
c) Mioma subserosa bertangkai dari torsi.
d) Dapat mempersulit kehamilan berikutnya.
e) Hipermenorea pada mioma submucosa
f) Penekanan pada organ sekitarnya.

Jenis operasi yang dilakukan untuk mengatasinya dapat berupa


langkah-langkah berikut :
1) Enukleasi mioma

16
Enukleasi mioma dilakukan pada penderita yang infertil, masih
manginginkan anak, atau mempertahankan uterus demi
kelangsungan fertilasi. Sejauh ini, tempaknya langkah ini aman,
efektif dan masih menjadi pilihan terbaik. Enukleasi sebaiknya
tidak dilakukan jika ada kemungkinan terjadinya karsinoma
edometrium atau sarkoma uterus dan dihindari pada masa
kehamilan. Tindakan ini seharusnya dibatasi pada tumor dengan
tangkai dan tumor ya dengan mudah dapat dijepit dan diikat. Bila
miomektomi menyebabkan cacat yang menembus atau sangat
berdekatan dengan endometrum, maka kehamilan berikutnya harus
dilahirkan dengan seksio sesarea.

Menurut American Collefe of Obstretricians Gynecologists


(ACOG), kriteria preoperasi adalah sebaigai berikut :
a) Kegagalan untuk hamil atau keguguran berulang.
b) Terdapat leimioma dalam ukuran yang kecil dan berbatas tegas.
c) Alasan yang jelas dari penyebab kegagalan kehamilan dan
keguguran yang berulang tidak ditemukan.

2) Histerektomi
Histerektomi dilakukan jika pasien tidak meninginkan anak lagi
dan pada pasien yang memiliki leiomioma yang simtomatik atau
yang sudah bergejala. Kriteria ACOG untuk histerektomi adalah
sebagai berikut :
a) Terdapat satu sampai tiga leiomioma asimptomatik atau yang
dapat teraba dari luar dan dikeluhaknn oleh pasien.
b) Perdarahan uterus berlebihan.
c) Perdarahan yang banyak, bergumpal-gumpal, atau berulang-
ulang selama lebih dari delapan hari.
d) Anemia akut atau kronis akibat kehilangan darah. Rasa tidak
nyaman pada bagia pelvis akibat mioma uteri meliputi hal-hal
berikut :
a) Nyeri hebat dan akut.

17
b) Rasa tertekan yang kronis di bagian punggung bawah atau
perut bagian bawah.
c) Penekanan buli-buli dan frekuensi urine yang
berulangulang dan tidak disebabkan infeksi saluran kemih.

3) Penanganan Radoterapi
Tujuan dari radioterapi adalah untuk menghentikan
perdarahan. Langkah ini dilakukan sebagai penanganan dengan
kondisi sebagai berikut :
a) Hanya dilakukan pada pasien yang tidak dapat dioperasi
(bad risk patient).
b) Uterus harus lebih kecil dari usia kehamilan 12 minggu.
c) Bukan jenis submukosa.
d) Tidak diserati radang pelvis atau penekanan pada rectum
e) Tidak dilakukan pada wanita muda karena dapat
menyebabkan menopause.

i. Jenis-jenis Histerektomi
Menurut Khabibi (2017) dalam Arista (2018) ada beberapa jenis histerektomi
yang dilakukan oleh wanita yaitu:
1) Histerektomi Radikal Histerektomi radikal yaitu mereka yang menjalani
prosedur ini akan kehilangan seluruh sistem reproduksi seperti seluruh rahim
dan serviks, tuba fallopi, ovarium, bagian atas vagina, jaringan lemak dan
kelenjar getah bening. Prosedur ini dilakukan pada mereka yang mengidap
kanker. Prosedur ini melibatkan operasi yang luas dari pada histerektomi
abdominal totalis,karena prosedur ini juga mengikutsertakan pengangkatan
jaringan lunak yang mengelilingi uterus serta mengangkat bagian atas dari
vagina. Histerektomi radikal ini sering dilakukan pada kasus-kasus karsinom
serviks stadium dini. Komplikasi lebih sering terjadi pada histerektomi jenis
ini dibandingkan pada histerektomi tipe abdominal. Hal ini juga menyangkut
perlukaan pada usus dan sistem urinarius.
2) Histerektomi Abdominal
a) Histerektomi Total

18
Histerektomi total yaitu seluruh rahim dan serviks diangkat jika menjalani
prosedur ini. Namun ada pula jenis histerektomi total bilateral
saplingoooforektomi yaitu prosedur ini melibatkan tuba fallopi dan ovarium.

Keuntungan dilakukan histerektomi total adalah ikut diangkatnya serviks yang


menjadi sumber terjadinya karsinoma dan prekanker.Akan tetapi, histerektomi
total lebih sulit daripada histerektomi supraservikal karena insiden
komplikasinya yang lebih besar. Operasi dapat dilakukan dengan tetap
meninggalkan atau mengeluarkan ovarium pada satu atau keduanya. Pada
penyakit, kemungkinan dilakukannya ooforektomi unilateral atau bilateral
harus didiskusikan dengan pasien. Sering kali, pada penyakit ganas, tidak ada
pilihan lain, kecuali mengeluarkan tuba dan ovarium karena sudah sering
terjadi mikrometastase.

Berbeda dengan histerektomi sebagian, pada histerektomi total seluruh bagian


rahim termasuk mulut rahim (serviks) diangkat. Selain itu, terkadang
histerektomi total juga disertai dengan pengangkatan beberapa organ
reproduksi lainnya secara bersamaan. Misalnya, jika organ yang diangkat itu
adalah kedua saluran telur (tuba fallopi) maka tindakan itu disebut salpingo.
Jika organ yang diangkat adalah kedua ovarium atau indung telur maka
tindakan itu disebut oophor.Jadi, yang disebut histerektomi bilateral salpingo-
oophorektomi adalah pengangkatan rahim bersama kedua saluran telur dan
kedua indung telur. Pada tindakan histerektomi ini, terkadang juga dilakukan
tindakan pengangkatan bagian atas vagina dan beberapa simpul (nodus) dari
saluran kelenjar getah bening, atau yang disebut sebagai histerektomi radikal
(radical hysterectomy). Banyak gangguan yang dapat menyebabkan
diputuskannya tindakan hsterektomi. Terutama untuk keselamatan nyawa ibu,
seperti pendarahan hebat yang disebabkan oleh adanya miom atau persalinan,
kanker rahim atau mulut rahim, kanker indung telur, dan kanker saluran telur
(fallopi). Selain itu, beberapa gangguan atau kelainan reproduksi yang sangat
mengganggu kualitas hidup wanita, seperti miom atau endometriosis dapat
menyebabkan dokter mengambil pilihan dilakukannya histerektomi.
b) Histerektomi Subtotal Histerektomi subtotal adalah Pengangkatan bagian
atas uterus dengan meninggalkan bagian segmen bawah rahim. Tindakan ini

19
umumnya dilakukan pada kasus gawat darurat obstetrik seperti
pendarahanpaska persalinan yang disebabkan atonia uteri, prolapsus uteri, dan
plasenta akreta. Oleh karena itu, penderita masih dapat terkena kanker mulut
rahim sehingga masih perlu pemeriksaan papsmear (pemeriksaan leher rahim)
secara rutin.
c) Histerektomi Eksenterasi
Pelvik Histerektomi eksenterasi Pelvik yaitu pengangkatan semua jaringan
dalam rongga panggul. Tindakan ini dilakukan pada kasus metastase daerah
panggul.

2. Keletihan
a. Definisi Keletihan
merupakan kelelahan terus-menerus dan penurunan kapasitas kerja fisik dan
mental pada tingkat yang lazim (NANDA /North American Nursing
Diagnostic Association, 2018). Penurunan kapasitas kerja fisik dan mental
yang tidak pulih dengan istirahat (Tim Pokja SDKI (Standar Diagnosa
Keperawatan Indonesia) DPP PPNI,2017).
b. Tanda Gejala Menurut
NANDA (2018) tanda dan gejala keletihan adalah sebagai berikut :
1) Tidak mampu mempertahankan aktivitas fisik pada tingkat yang biasanya.
2) Tidak mampu mempertahankan rutinitas yang biasanya
3) Peningkatan keluhan fisik
4) Peningkatan kebutuhan istirahat
5) Kelelahan

c. Penyebab Menurut
NANDA (2018) penyebab keletihan yaitu :
1) Ansietas
2) Depresi
3) Kondisi kehilangan
4) Peningkatan kelelahan fisik
5) Fisik tidak bugar
6) Stresor
7) Malnutrisi

20
8) Tuntutan pekerjaan
9) Gaya hidup tanpa stimulus

d. Kondisi klinik terkait


Menurut NANDA (2018) kondiri klinis terkait keletihan yaitu:
1) Anemia
2) Kehamilan
3) Penyakit

e. Manifestasi klinis
Menurut penelitian yang dilakukan Ningrum (2017) keletihan yag dialami
pada pasien anemia memiliki tanda gejala Hb kurang dari 10g/dl.

f. Dampak keletihan
Risiko dari post operasi adalah perdarahan (Majid,2011 dalam Anngraeni,
2016), perdarahan akibat prosedur pembedahan dapat menyebabkan penderita
mengalami keletihan akibat penurunan jumlah sel darah merah yang ada di
dalam sirkulasi. Keletihan didefinisikan sebagai ketidakberdayaan secara fisik
maupun psikolog sehingga pasien tidak dapat melakukan aktivitas seperti
biasa, keletihan dapat menurunkan produktivitas dan pada akhirnya akan
menurunkan kualitas hidup (Nugraha, 2108).

4. Gambaran Asuhan Keperawatan


Pasien Post Op Histerektomi Menurut Padila (2015) gambaran asuhan
keperawatan pada pasien dengan mioma uteri meliputi :
a. Pengkajian
1) Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan kegiatan dalam menghimpun informasi (data-data)
dari klien. Data yang dapat dikumpulakn pada klien sesudah pembedahan total
abdominal hysterektomy dan bilateral saphingo oophorectomy (TAH-BSO)
adalah sebagai berikut :
a) Mioma biasanya terjadi pada usia reproduksi, paling sering ditemukan pada
usia 35 tahun keatas
b) Makin tua usia maka toleransi terhadap nyeri akan berkurang

21
c) Orang dewasa mempunyai dan mengetahui cara efektif dalam menyesuaikan
diri terutama terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya akibat tindakan
TAH-BSO.

2) Keluhan utama
Keluhan utama yang timbul pada perempuan dengan mioma uteri
adalah perdarahan abnormal seperti dismenore, menoragi dan
metroragi. Selain perdarahan abnormal rasa nyeri juga timbul
karena gangguan sirkulasi darah pada sarang mioma yang disertai
nekrosis dan peradangan, nyeri timbul pada hampir tiap jenis
oprasi, hal ini dikarenakan terjadi toherent tarikan, manipulasi
jaringan organ. Rasa nyeri setelah pembedahan biasanya
berlangsung 24-28 jam.

3) Riwayat Reproduksi
a) Haid Dikaji tentang riwayat menarche haid terakhir, sebab
mioma uteri tidak pernah ditemukan sebelum menarche dan
mengalami atrofi pada masa menopause. Selain riwayat menarche,
volume dan siklus haid juga perlu dikaji.
b) Riwayat Perdarahan Dikaji apakah pasien pernah mengalami
perdarahan sebelumnya.
c) Hamil dan persalianan
(1) Kehamilann mempengaruhi pertumbuhan mioma, dimana
mioma uteri tumbuh cepat pada masa hamil ini dihubungkan
dengan hormon esterogen pada masa ii dihasilakn dalam jumlah
yang besar.
(2) Jumlah kehamilan dan anak yang hidup mempengaruhi
psikolog klien dan keluarga terhadap hilangnya organ kewanitaan.

3) Data psikolog
Pengangkatan organ reproduksi dapat sangat berpengaruh terhadap
emosional klien dan diperlukan waktu untuk memulai perubahan
yang terjadi. Organ reproduksi merupakan komponen kewanitaan,
wanita melihat fungsi menstruasi sebagai lambang feminitas,

22
sehingga berhentinya menstruasi bisa dirasakan sebagai hilangnya
perasaan kewanitaan. Perasaan seksualitas dalam arti hubungan
seksual perlu ditangani. Beberapa wanita merasa cemas bahwa
hubungan seksualitas terhalangi atau hilangnya kepuasan.
Pengetahuan klien tentang dampak yang akan terjadi sangat perlu
persiapan psikolog klien.

4) Status respiratori
Respirasi bisa meningkatkan atau menurun. Pernafasan yang ribut
dapat terdengar tanpa stetoskop. Bunyi pernafasan akibat lidah
jatuh kebelakang atau akibat secret. Suara paru yang kasar
merupakan gejala terdapat secret pada saluran nafas. Usaha batuk
dan bernafas dalam dilaksanakan segera pada klien yang memakai
anestesi general.
5) Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran dibuktikan melalui pertanyaan sederhana yang
harus dijawab oleh klien atau di suruh untuk melakukan perintah.
Variasi tingkat kesadaran dumulai dari siuman sampai ngantuk,
harus di observasi dan penurunan tingkat kesadaran merupakan
gejala syok.
6) Status urinari
Retensi urin paling umum terjadi setelah pembedahan ginekologi,
klien yang hidrasinya baik biasanya kencing setelah 6 sampai 8 jam
setelah pemebdahan. Jumlah output urine yang sedikit akibat
kehilangan cairan tubuh saat operasi, muntah akibat anestesi.
7) Status gastrointestinal
Fungsi gastrointestinal biasanya pulih pada 24-27 jam setelah
pembedahan, tergantung pada kekuatan efek narkose pada
penekanan intestinal. Ambulatori dan kompres hangat perlu
diberikan untuk menghilangkan gas dalam usus.

b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada pasien mioma uteri menurut NANDA
(2018) adalah sebagai berikut:

23
1) Risiko perdarahan dibuktikan dengan kurang pengetahuan
tentang kewaspadaan perdarahan.
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi
3) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan
kurang. 4) Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum,tirah baring.
5) Keletihan berhubungan dengan kelusuhan fisiologi (anemia).
c. Intervensi Perencanaan keperawatan
pada pasien mioma uteri menurut Bulechek (2013) adalah sebagai
berikut:
1) Kaji faktor yang menyebabkan kelelahan
2) Monitor sumber energi yang adekuat
3) Konsultasikan dengan ahli gizi untuk meningkatkan asupan
makanan yang berenergi tinggi.
4) Anjurkan untuk menambah jam istirahat

d. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan
dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap
perencanaan (Setiadi, 2012 dalam Dhian, 2018).
implementasi yang dilakukan menurut antara lain sebagai beriku :
1) Mengkaji faktor yang menyebabkan kelelahan
2) Memonitor sumber energi yang adekuat
3) Mengkonsulasikan dengan ahli gizi untuk meningkatkan asupan
makanan yang berenergi tinggi.
4) Menganjurkan untuk menambah jam istirahat

e. Evaluasi
Menurut Manurung (2011), evaluasi keperawatan adalah kegiatan
yang terus menerus dilakukan untuk menentukan apakah rencana
keperawatan efektif dan bagaimana rencana keperawatan
dilanjutkan, merevisi rencana atau menghentikan rencana
keperawatan. Bentuk evaluasi keperawatan yaitu:
1) Evaluasi struktur

24
Evaluasi struktur difokuskan pada kelengkapan tata cara atau
keadaan sekeliling tempat pelayanan keperawatan diberikan.
Aspek lingkungan secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi dalam pemberian pelayanan.
2) Evaluasi proses
Evaluasi proses berfokus pada penampilan kerja perawat dan
apakah perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan
merasa cocok, tanpa tekanan, dan sesuai wewenang.
3) Evaluasi hasil.
Evaluasi hasil berfokus pada respon dan fungsi pasien. Respon
perilaku pasien merupakan pengaruh dari intervensi
keperawatan dan akan terlihat pada pencapaian tujuan dan
kriteria hasil.

f. Dokumentasi Keperawatan
Dokumentasi keperawatan adalah bukti pencatatan dan
pelaporan yang diberikan, yang dimiliki perawat dalam
melakukan perawatan yang berguna untuk kepentingan pasien,
perawat dan tim kesehatan dalam memberikan pelayanan
kesehatan dengan dasar komunikasi yang akurat dan lengkap
secara tertulis dengan tanggung jawab perawat (Nursalam,
2013).

25
26
F. Pathway

Virus Dengue

Reaksi Antigen-antibody viremia

Mengeluarkan zat mediator

Peningkatan permeabilitas dinding vasodilatasi pembuluh mengeluarkan zat mediator mual merangsang saraf
simpatis
darah otak
nafsu makan
menurun diteruskan ke ujung saraf
bebas
Pembuluh darah sakit kepala merangsang hipotalamus anterior
intake adekuat nyeri otot
Kebocoran Plasma suhu tubuh

nyeri akut
Trombositopenia
Hipertermia

Resiko Perdarahan

27
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Leukosit = leukopenia cenderung pada demam dengue
2. Adanya bukti kebocoran plasma yang disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas pembuluh darah pada demam berdarah dengue dengan
manifestasi peningkatan hematokrit diatas 20% dibandingkan standart sesuai
usia dan jenis kelamin dan atau menurun dibandingkan nilai hematoktrit
sebelumnya >20% setelah pemberian terapi. (Prasetyo, 2020)
3. Trombositopenia ditemukan pada demam berdarah dengue

H. Penatalaksanaan Medis
a. Tirah baring / istirahat baring
b. Diet makan lunak
c. Minum banyak ( 2-2,5 Lt / 24jam )
d. Pemberian cairan intravena
e. Monitor tanda – tanda vital tiap 3 jam
f. Periksa Hb, Ht dan trombosit setiap hari
g. Pemberian obat ( Tarwoto dalam Prasetyo, 2020)

I. Patofisiologi
Patofisiologi primer DBD dan Dengue syok syndrome (DSS) adalah
peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke
dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan
penurunan tekanan darah. pada kasus berat, volume plasma menurun lebih dari
20%, hal ini di dukung penemuan post mortem meliputi efusi pleura,
hemokonsentrasi dan hipopoteinemi
Setelah masuk dalam tubuh manusia, virus dengue berkembang biak dalam sel
retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung 5 – 7
hari. Akibat infeksi ini, muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi
dengue primer antibodi mulai terbentuk, pada infeksi sekunder kadar antibodi
yang telah ada jadi meningkat. ( Aryu Candra, 2010 )

28
BAB III
TINJAUAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. D DENGAN DIAGNOSA DEMAM


BERDARAH DENGUE DI RUANG MAHONI RSUD PAKUHAJI TAHUN 2022

A. PENGKAJIAN
a. Identitas
Nama pasien : Tn. D
No RM : 037975
Umur : 22 tahun
Ruangan : Mahoni ( Penyakit Dalam )
Diagnosa : Febris H.3 E.C DBD
Tanggal Pengkajian : 22 Februari 2022
Alamat : Kp. Kebon Kelapa Rt 001/006
Jenis Kelamin : Laki – laki
Tanggal Masuk : 21 Februari 2022, 22.50 WIB

b. Riwayat Keperawatan
1. Keluhan utama
Demam sejak 3 hari sebelum masuk RS, demam mendadak tinggi, lemas,
mual dan pusing
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengatakan mual tidak ada muntah, terasa nyeri di ulu hati,keadaan
umum sedang, kesadaran compos metis GCS 15
3. Riwayat penyakit dahulu
Tidak ada
4. Alergi
Tidak ada

29
c. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 22-februari-2022
Parameter Hasil Satuan Nilai normal
Hemoglobin 16,0 9/dl 13,2-17,3
Leukosit 3,1 Ribu 5-10
Hematokrit 48 % 40-52
Trombosit 50 ribu 150-450
Erittrosit 5,89 juta 4,5-6,2
MCV 81 fl 80-96
MCH 27 pg 27-31
MCHC 34 g/dl 32-37
Terapi obat
1) Domperidon tablet 3x10 mg
2) Omeprazole injeksi 1x40 mg
3) Ondansentron injeksi 3x8 mg
4) Ampialin injeksi 4x1,5 gr
5) Infus RL 500cc/4 jam
B. Analisa data
No. Hari/tanggal Data Etiologi Masalah
1. Selasa, 22 DS: Makan / Nyeri akut
Februari 2022 Pasien mengatakan nyeri minuman yang D.0077
dibagian ulu hati hilang bersifat instan
timbul
DO: Iritasi mukosa
 Pasien tampak lambung
meringis
 TD : 132/78 Peradangan
 N : 81X/menit mukosa

 RR : 20x/mnt lambung

 S : 36,9 oC
Nyeri di ulu
 SPO2 : 99
hati mual dan

30
- P : Nyeri timbul muntah
saat pasien bergerak
atau berakaktifitas
- Q : Nyeri seperti
ditusuk-tusuk
- R : Nyeri terasa di
ulu hati
- S : Skala nyeri 3
- T : Waktu hilang
timbul
2. Selasa, 22 DS : Arbovirus Hipertermia
Februari 2022 Pasien mengatakan demam (melalui D.0130
3 hari smrs, demam nyamuk aedes
mendadak tinggi aegypti)
DO :
 TD : 132/78 Beredar dalam
 N : 81X/menit aliran darah

 RR : 20x/mnt
 S : 36,9 oC Infeksi virus
dengue
 SPO2 : 99
(viremia)
 Akral : hangat
 Leukosit :3,1
Mengaktifkan
sistem
komplemen

Membentuk
dan
melepaskan zat
C3a, C5a

P6E2
Hipotalamus

31
hipertermi
Selasa, 22 DS: - Virus dengue Risiko
Februari 2022 DO: pendarahan
 TD : 132/78 Reaksi antigen D.0012
 N : 81X/menit
 RR : 20x/mnt Mengeluarkan

 S : 36,9 oC zat mediator

 SPO2 : 99
Peningkatan
 HB :16,0
permeabilitas
 HT : 48
dinding
 Trombosit :50
pembuluh
darah

Kebocoran
plasma

Trombosit
topenia

Risiko
pendarahan

C. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa SLKI SIKI
.
1. Nyeri akut Setelah dilakukan intervensi Pemberian Obat Intravena
(D.0077) b.d agen selama 3x7 jam, maka Observasi:
pencedera diharapkan tingkat nyeri - verifikasi order obat
fisiologis (L.08066) menurun dengan sesuai dengan indikasi
kriteria hasil: - periksa tanggal
 keluhan nyeri kadarluarsa obat

32
menurun - monitor TTV dan nilai
 meringis menurun lab
 mual menurun Terapeutik

 tekanan darah - lakukan prinsip 6 benar

membaik - berikan obat IV dengan


kecepatan yang tepat
- tempelkan lebel
keterangan nama, nama
obat,dan dosis pada
wadah cairan IV
Edukasi
- jelaskan jenis obat dan
alasan pemberian
2. Hipertemi Setelah dilakukan intervensi Manajemen Hipertemia
(D.0130) b.d selama 3x7 jam diharapkan Observasi
proses penyakit termoregulasi (L.14134) - monitor suhu tubuh
infeksi virus membaik dengan kriteria Terapeutik
hasil: - longgarkan pakaian
 suhu tubuh membaik pasien
 tekanan darah - berikan cairan oral
membaik Edukasi
- anjurkan tirah baring
Kolaborasi
- pemberian cairan IV
3. Risiko pendarahan Setelah dilakukan intervensi Pemantauan Tanda Vital
(D.0012) b.d GG. selama 3x7 jam diharapkan Observasi
koagulasi tingkat perdarahan - monitor tekanan darah,
(trombositopenia) (L.02017) menurun dengan nadi, pernafasan, suhu
kriteria hasil: Terapeutik
 HB membaik - dokumentasi hasil
 HT membaik pemantauan

 trombosit membaik Edukasi

 TD membaik - informasikan hasil

33
 suhu tubuh membaik pemantauan hasil
laboratorium observasi
- monitor hasil lab

D. implementasi
No Hari/ tanggal Diagnosa Implemtasi keperawatan
1 Selasa, 22 feb Nyeri akut (D.0077) b.d agen  Memberikan obat intra vena
2022 pencedera fisiologis - omeprazole infeksi 1x
40 mg
- ondensentron injeksi 3x
8 mg
- ampialin injeksi 4x 1,5
gr
 Memonitor nilai tanda vital
 Memonitor hasil lab
 Melakukan prinsip 6 benar
2 Selasa, 22 feb Hipertermia (D.0130) b.d  Memonitor suhu tubuh
2022 proses penyakit infeksi virus  Memberikan cairan oral
 Menganjurkan tirah baring
 Memberikan cairan
intravena
 Infus Rl 500cc/ 4 jam
3 Selasa, 22 feb Resiko pendarahan (D. 0130)  Memonitor tanda vital
2022 b.d gangguan koagulassi  Mendokumentasikan hasil
trombositopenia pemantauan
 Menginformasikan hasil
pemantauan
 Memonitor hasil lab
4 Rabu 23 feb 2022 Nyeri akut (D.0077) b.d agen  Memberikan obat intra vena
pencedera fisiologis - omeprazole infeksi 1x
40 mg
- ondensentron injeksi 3x

34
8 mg
- ampialin injeksi 4x 1,5
gr
 Memonitor nilai tanda vital
 Memonitor hasil lab

5 Rabu 23 feb 2022 Hipertermia (D.0130) b.d  Memonitor suhu tubuh


proses penyakit infeksi virus  Memberikan cairan oral
 Memberikan cairan
intravena
 Infus Rl 500cc/ 4 jam
6 Rabu 23 feb 2022 Resiko pendarahan (D. 0130)  Memonitor tanda vital
b.d gangguan koagulassi  Mendokumentasikan hasil
trombositopenia pemantauan
 Menginformasikan hasil
pemantauan
 Memonitor hasil lab
7 Kamis 24 feb Nyeri akut (D.0077) b.d agen  Memberikan obat intra vena
2022 pencedera fisiologis - omeprazole infeksi 1x
40 mg
- ondensentron injeksi 3x
8 mg
- ampialin injeksi 4x 1,5
gr
 Memonitor nilai tanda vital
 Memonitor hasil lab

8 Kamis 24 feb Hipertermia (D.0130) b.d  Memonitor suhu tubuh


2022 proses penyakit infeksi virus  Memberikan cairan oral
 Infus Rl 500cc/ 4 jam

35
9 Kamis 24 feb Resiko pendarahan (D. 0130)  Memonitor tanda vital
2022 b.d gangguan koagulassi  Memonitor hasil lab
trombositopenia

E. Evaluasi
No Diagnosa Hari/ tanggal Evaluasi keperawatan
1 Nyeri akut Selasa 22 feb 2022 S : Pasien mengatakan terasa nyeri
(D.0077) b.d di bagian ulu hati, hilang timbul
agen pencedera O:
fisiologis  Pasien tampak meringis
 TD : 113/85
 N : 81
 R : 20
 S : 36,8
 P : Nyeri timbul saat
aktivitas
 Q : Nyeri seperti di tusuk
tusuk
 R : Nyeri timbul di ulu hati
 S : Skala nyeri 3
 T : Waktu hilang timbul
A : Masalah nyeri akut belum
teratasi
P : Intervensi dilanjutkan

36
2 Hipertermia Selasa 22 feb 2022 S : Pasien mengatakan demam
(D.0130) b.d O:
proses penyakit  Akral hangat
infeksi virus  Leukosit : 3,1
 TD : 113/85
 N : 81
 R : 20
 S : 36,8
A : Masalah hipertermia belum
teratasi
P : Intervensi di lanjutkan
3 Resiko Selasa 22 feb 2022 S:-
pendarahan (D. O:
0130) b.d  TD : 113/85
gangguan  R : 20
koagulassi  N : 81
trombositopenia  S: 36,8
 Hb : 16,0
 Ht : 48
 Trombosit : 50
 Leukosit : 3,1
A : Masalah resiko pendarahan
belum teratasi
P : Intervensi di lanjutkan
4 Nyeri akut Rabu 23 feb 2022 S : Pasien mengatakan masih terasa
(D.0077) b.d nyeri namun sudah berkurang sedikit
agen pencedera O:
fisiologis  Pasien tampak meringis
 TD : 131/90
 N : 81
 R : 20
 S : 36,8

37
 Hb : 15,8
 Ht : 2,8
 P : Nyeri timbul saat
aktivitas
 Q: Nyeri seperti di cubit
 R : Nyeri timbul di ulu hati
 S : Skala nyeri 2
 T : Nyeri hilang timbul
A : Masalah nyeri akut teratasi
sebagian
P : Intervensi dilanjutkan
5 Hipertermia Rabu 23 feb 2022 S : Pasien mengatakan kepalanya
(D.0130) b.d pusing, mual dan badanya terasa
proses penyakit panas
infeksi virus O:
 TD : 131/90
 N : 81
 R : 20
 S : 36,8
A : Masalah hipertermia teratasi
sebagian
P : Intervensi di lanjutkan
6 Resiko Rabu 23 feb 2022 S:-
pendarahan (D. O:
0130) b.d  TD : 131/90
gangguan  R : 20
koagulassi  N : 81
trombositopenia  S: 36,8
 Hb : 15,8
 Ht : 2,8
 Trombosit : 80
 Leukosit : 2,8

38
A : Masalah resiko pendarahan
teratasi sebagian
P : Intervensi di lanjutkan
7 Nyeri akut Kamis 24 feb 2022 S : Pasien mengatakan sudah tidak
(D.0077) b.d terasa nyeri, mual dan pusing sudah
agen pencedera berkurang
fisiologis O:
 TD : 133/89
 N : 79
 R : 20
 S : 36,5
 Hb : 16
 Ht : 48
 Trombosit : 120
 Leukosit : 4
A : Masalah nyeri akut sudah
teratasi
P : Intervensi dihentikan
8 Hipertermia Kamis 24 feb 2022 S : Pasien mengatakan sudah tidak
(D.0130) b.d merasa mual dan badanya tidak
proses penyakit terasa panas
infeksi virus O:
 TD : 133/89
 N : 79
 R : 20
 S : 36,5
A : Masalah hipertermia sudah
teratasi
P : Intervensi di hentikan
9 Resiko Kamis 24 feb 2022 S:-
pendarahan (D. O:
0130) b.d  TD : 133/ 89
gangguan

39
koagulassi  R : 20
trombositopenia  N : 79
 S: 36,5
 Hb : 16
 Ht : 48
 Trombosit : 120
 Leukosit : 4
A : Masalah resiko pendarahan
sudah teratasi sebagian
P : Intervensi di hentikan

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Akhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan keperawatan
yang di berikan. Pada evaluasi yang peneliti lakukan pada klien 1 berdasarkan kriteria
yang peneliti susun terdapat 3 diagnosa keperawatan yang telah teratasi dengan baik
sesuai rencana yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
hipertermi berhubungan dengan proses penyakit ditandai dengan suhu tubuh diatas
nilai normal, risiko perdarahan ditandai dengan gangguan koagulasi
(trombositopenia).
B. Saran
1. Bagi penulis
Hasil penelitian yang peneliti dapatkan bisa menjadi bahan acuan dan menjadi
bahan pembanding pada peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitian pada

40
klien dengan menggunakan acuan SDKI, SIKI, dan SLKI. Pada Asuhan
Keperawatan pada Klien Anak dengan Dengue Hemorragic Fever (DHF).
2. Bagi perkembangan ilmu keperawatan
Menambah keluasan ilmu dalam keperawatan pada klien dengan DHF
berkembang setiap tahunnya dan juga memacu pada peneliti selanjutnya
menjadikan acuan dan menjadi bahan pembandingan dalam melakukan penelitian
pada klien dengan DHF.
3. Bagi masyarakat
Untuk lebih memperhatikan perilaku kesehatan atau kebiasaan sehari-hari karena
merupakan pengaruh penting dalam penularan dan penyebaran penyakit DHF

DAFTAR PUSTAKA

Ayu Candra. (2010) . Demam Berdarah Dengue dan Epidemiologi, patogenesis dan faktor
Resiko Penularan, Aspirator Vol2. No.2 . 110-119
Prasetyono, Dwi Sunar (2012) Daftar Tanda Gejala Ragam Penyakit. Jogjakarta : FlashBooks
Ariani, Ayu Putria . (2016) . Demam Berdarah Dengue (DBD). Nuha Medika. Yogyakarta
Amin Huda Nurarif dan Kusuma . (2015) . Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda NIN NOC , (Edisi Revisi) . MediAction

41

Anda mungkin juga menyukai