Anda di halaman 1dari 56

Tugas Kelompok (Makalah)

Mata Kuliah : Epidemiologi Kesehatan Darurat Lanjut


Dosen : Prof. Dr. drg. Andi Zulkifli, M.Kes

PENILAIAN DAN MAPPING RISIKO, PENGEMBANGAN SKENARIO


SERTA RENCANA KONTINJENSI BENCANA ALAM
DI KABUPATEN BARRU TAHUN 2016

USWATUN HASANAH P1804216003


REZKI ELISAFITRI P1804216007
NUR FADHILAH P1804216017

KONSENTRASI EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah
ini dengan judul “Penilaian dan Mapping Risiko, Pengembangan Skenario serta
Rencana Kontinjensi Bencana Alam di Kabupaten Barru Tahun 2016”. Makalah
ini merupakan salah satu syarat untuk memenuhi tugas Epidemiologi Kesehatan
Darurat Lanjut.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama penyusunan makalah ini
penulis banyak menemui kesulitan dikarenakan keterbatasan penulis sendiri.
Dengan adanya kendala dan keterbatasan yang dimiliki penulis, maka penulis
berusaha semaksimal mungkin untuk menyusun makalah ini dengan sebaik-
baiknya.
Sebagai manusia biasa penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi perbaikan yang lebih baik
di masa yang akan datang.
Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat dan menjadi sumbangan
pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan
yang diharapkan dapat tercapai, Aamiin.

Makassar, Desember 2017


Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................................ i


KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 3
C. Tujuan ............................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 4
A. Tinjauan Umum Tentang Bencana.................................................... 4
B. Tinjauan Umum Tentang Risk Assessment ....................................... 12
C. Tinjauan Umum Tentang Pemetaan Risiko Bencana.........................14
D. Tinjauan Umum Tentang Perencanaan Kontinjensi ......................... 15
BAB III GAMBARAN UMUM KABUPATEN BARRU .................................. 21
A. Keadaan Geografis .............................................................................21
B. Keadaan Demografi .......................................................................... 23
C. Kondisi Hidrologi ............................................................................. 23
D. Kondisi Klimatologi dan Curah Hujan ............................................. 24
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 26
A. Penilaian Risiko Bencana Alam di Kabupaten Barru ........................26
B. Mapping Risiko Bencana Banjir di Kabupaten Barru....................... 37
C. Pengembangan Skenario Bencana Banjir di Kabupaten Barru ......... 38
D. Perencanaan Kontinjensi Bencana Banjir di Kabupaten Barru......... 40
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 51
A. Kesimpulan ....................................................................................... 51
B. Saran .................................................................................................. 51
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 52

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,
baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis (RI, 2007).
Indonesia merupakan salah satu negara yang berada di wilayah rawan
terhadap berbagai kejadian bencana alam, misalnya bahaya geologi (gempa
bumi, gunung api, longsor, tsunami) dan bahaya hidrometeorologi (banjir,
kekeringan, pasang surut, gelombang besar). Hal ini mengingat wilayah
negara Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis,
klimatologis dan demografis yang berpotensi terjadinya bencana, baik yang
disebabkan faktor alam maupun non alam, seperti bencana yang disebabkan
oleh faktor manusia (Haryono, et al., 2012).
Selama tahun 2016, terdapat 2342 kejadian bencana di Indonesia,
mengalami kenaikan sebesar 35% jika dibandingkan dengan jumlah bencana
pada tahun 2015. Dari 2342 kejadian tersebut, sebanyak 92% merupakan
bencana hidrometeorologi yang didominasi oleh banjir, longsor dan puting
beliung (BCC Indonesia, 2016). Hingga bulan November 2017, terdapat 1911
kejadian bencana yaitu 645 kejadian banjir, 553 puting beliung, 506 tanah
longsor, 96 kebakaran hutan dan lahan, 61 kombinasi banjir dan longsor, 16
gempa bumi, 6 kecelakaan transportasi, 7 gelombang pasang dan abrasi, 19
kekeringan, serta masing-masing 1 letusan gunung api dan konflik atau
kerusuhan sosial (DIBI BNPB, 2017). Artinya, kejadian bencana di Indonesia
selama kurun waktu tiga tahun yakni tahun 2015 hingga November 2017
didominasi oleh bencana hidrometeorologi.
Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi yang rawan
dengan kejadian bencana alam. Selama tahun 2016, telah terjadi 481 kejadian

1
bencana di Provinsi Sulawesi Selatan. Jenis bencana yang mendominasi
adalah bencana banjir, tanah longsor, angin puting beliung, angina kencang
dan kebakaran lahan. Bencana terbanyak yang terjadi di Provinsi Sulawesi
Selatan tahun 2016 adalah banjir sebanyak 91 kejadian. Kejadian banjir
paling banyak tersebar di Kabupaten Luwu Utara dan Luwu Timur. Adapun
tiga kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki jumlah
kejadian bencana terbanyak secara berturut-turut adalah Kota Pare-pare
sebanyak 70 kejadian bencana, Kabupaten Bone sebanyak 68 kejadian
bencana, dan Kabupaten Barru sebanyak 65 bencana (BPBD Provinsi
Sulawesi Selatan, 2017).
Kabupaten Barru merupakan salah satu kabupaten di Provinsi
Sulawesi Selatan yang rawan dengan bencana. Pada tahun 2016, bencana
yang mendominasi adalah banjir, angin puting beliung, kebakaran lahan,
tanah longsor, dan kebakaran pemukiman. Dari beberapa bencana tersebut,
banjir merupakan bencana yang paling sering meresahkan masyarakat karena
terjadi setiap tahunnya. Banjir yang terjadi di Kabupaten Barru tahun 2016
menyumbang kerusakan terbanyak berupa kerusakan rumah (BPBD Provinsi
Sulawesi Selatan, 2017).
Banyaknya bencana alam yang terjadi di Indonesia memberikan
dampak dan pengaruh terhadap kualitas hidup penduduk yang dapat dirasakan
baik secara langsung maupun tidak langsung. Bencana tidak hanya
menimbulkan korban meninggal dan luka serta rusaknya berbagai fasilitas
kesehatan, tetapi juga berdampak pada permasalahan kesehatan masyarakat,
seperti munculnya berbagai penyakit pasca bencana, fasilitas air bersih dan
sanitasi lingkungan yang kurang baik, trauma kejiwaan serta akses terhadap
pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan pasangan. Untuk
mengurangi dampak bencana perlu dilakukan kajian risiko di wilayah yang
rawan bencana (Widayatun & Fatoni, 2013).
Kajian risiko bencana berguna untuk menilai kemungkinan dan
besaran kerugian akibat ancaman yang ada. Dengan mengetahui
kemungkinan dan besaran kerugian, fokus perencanaan dan keterpaduan

2
penyelenggaraan penanggulangan bencana di suatu daerah akan menjadi lebih
efektif. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas terkait penilaian risiko,
mapping risiko wilayah rawan bencana, skenario dan rencana kontinjensi
bencana alam yang terjadi di Kabupaten Barru Tahun 2016.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka yang menjadi rumusan masalah
adalah “Bagaimana melakukan risk assessment, mapping risk wilayah
bencana, skenario dan rencana kontinjensi bencana alam yang terjadi di
Kabupaten Barru Tahun 2016?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tersusunnya risk assessment, mapping risiko wilayah bencana,
pengembangan skenario, dan rencana kontigensi bencana di Kabupeten
Barru.
2. Tujuan Khusus
a. Tersusunnya risk assessment bencana di Kabupeten Barru.
b. Tersusunnya peta rawan bencana alam di Kabupeten Barru.
c. Tersusunnya pengembangan skenario bencana di Kabupeten Barru.
d. Tersusunnya rencana kontigensi bencana di Kabupeten Barru.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Bencana


1. Definisi Bencana
Bencana menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24
pasal 1 Tahun 2007 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Menurut Bakornas PB (2007), bencana terjadi jika ada ancaman
yang muncul dengan kondisi kerentanan yang ada secara sederhana
hubungan ancaman dan kerentanan dapat digambarkan sebagai berikut:

Ancaman + Kerentanan = Bencana


Ancaman adalah suatu kejadian atau peristiwa yang berpotensi
menimbulkan kerusakan, kehilangan jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
dan menimbulkan dampak suatu kondisi yang ditentukan oleh psikologis.
Kerentanan adalah suatu kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor atau
proses-proses fisik, sosial, ekonomi dan sosial budaya dan lingkungan
yang mengakibatkan peningkatan kerawanan masyarakat dalam
menghadapi ancaman bencana (Bakornas PB, 2007).
2. Jenis-Jenis Bencana
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana membagi bencana dalam tiga jenis yaitu :
a. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan
dan tanah longsor.

4
b. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal
teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit.
c. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan
teror
Bencana alam menurut Kamandhis (2007) dibagi menjadi tiga jenis
berdasarkan penyebabnya yaitu:
a. Bencana alam geologis adalah bencana alam yang disebabkan oleh
gaya-gaya dari dalam bumi. Yang termasuk bencana alam geologis
yaitu gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, longsor/gerakan
tanah, amblesan atau abrasi.
b. Bencana alam klimatologis adalah bencana alam yang disebabkan oleh
perubahan iklim, suhu atau cuaca. Yang termasuk bencana alam
klimatologis yaitu banjir, banjir bandang, angina putting beliung,
kekeringan, kebakaran hutan (bukan oleh manusia)
c. Bencana alam ekstra-terestrial, yaitu bencana alam yang disebabkan
oleh gaya atau energi dari luar bumi, bencana alam geologis dan
klimatologis lebih sering berdampak terhadap manusia. Yang termasuk
bencana alam ekstra-terestrial yaitu impact atau hantaman atau benda
dari angkasa luar.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2010), jenis-
jenis bencana antara lain:
a. Gempa Bumi merupakan peristiwa pelepasan energi yang
menyebabkan dislokasi (pergeseran) pada bagian dalam bumi secara
tiba-tiba. Mekanisme perusakan terjadi karena energi getaran gempa
dirambatkan ke seluruh bagian bumi. Di permukaan bumi, getaran
tersebut dapat menyebabkan kerusakan dan runtuhnya bangunan
sehingga dapat menimbulkan korban jiwa. Getaran gempa juga dapat
memicu terjadinya tanah longsor, runtuhan batuan, dan kerusakan

5
tanah lainnya yang merusak permukiman penduduk. Gempa bumi juga
menyebabkan bencana ikutan berupa , kecelakaan industri dan
transportasi serta banjir akibat runtuhnya bendungan maupun tanggul
penahan lainnya.
b. Tsunami diartikan sebagai gelombang laut dengan periode panjang
yang ditimbulkan oleh gangguan impulsif dari dasar laut. Gangguan
impulsif tersebut bisa berupa gempa bumi tektonik, erupsi vulkanik
atau longsoran. Kecepatan tsunami yang naik ke daratan (run-up)
berkurang menjadi sekitar 25-100 Km/jam dan ketinggian air.
c. Letusan Gunung Berapi adalah merupakan bagian dari aktivitas
vulkanik yang dikenal dengan istilah "erupsi". Hampir semua kegiatan
gunung api berkaitan dengan zona kegempaan aktif sebab
berhubungan dengan batas lempeng. Pada batas lempeng inilah terjadi
perubahan tekanan dan suhu yang sangat tinggi sehingga mampu
melelehkan material sekitarnya yang merupakan cairan pijar (magma).
Magma akan mengintrusi batuan atau tanah di sekitarnya melalui
rekahan-rekahan mendekati permukaan bumi. Setiap gunung api
memiliki karakteristik tersendiri jika ditinjau dari jenis muntahan atau
produk yang dihasilkannya. Akan tetapi apapun jenis produk tersebut
kegiatan letusan gunung api tetap membawa bencana bagi kehidupan.
Bahaya letusan gunung api memiliki resiko merusak dan mematikan.
d. Tanah Longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau
batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng
akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng
tersebut. Tanah longsor terjadi karena ada gangguan kestabilan pada
tanah/batuan penyusun lereng.
e. Banjir dimana suatu daerah dalam keadaan tergenang oleh air dalam
jumlah yang begitu besar. Sedangkan banjir bandang adalah banjir
yang datang secara tiba-tiba yang disebabkan oleh karena
tersumbatnya sungai maupun karena pengundulan hutan disepanjang

6
sungai sehingga merusak rumah-rumah penduduk maupun
menimbulkan korban jiwa.
f. Kekeringan adalah hubungan antara ketersediaan air yang jauh
dibawah kebutuhan air baik untuk kebutuhan hidup, pertanian,
kegiatan ekonomi dan lingkungan.
g. Angin Topan adalah pusaran angin kencang dengan kecepatan angin
120 km/jam atau lebih yang sering terjadi di wilayah tropis diantara
garis balik utara dan selatan, kecuali di daerah-daerah yang sangat
berdekatan dengan khatulistiwa. Angin topan disebabkan oleh
perbedaan tekanan dalam suatu sistem cuaca. Angin paling kencang
yang terjadi di daerah tropis ini umumnya berpusar dengan radius
ratusan kilometer di sekitar daerah sistem tekanan rendah yang ekstrem
dengan kecepatan sekitar 20 Km/jam. Di Indonesia dikenal dengan
sebutan angin badai.
h. Gelombang Pasang adalah gelombang air laut yang melebihi batas
normal dan dapat menimbulkan bahaya baik di lautan, maupun di darat
terutama daerah pinggir pantai. Umumnya gelombang pasang terjadi
karena adanya angin kencang atau topan, perubahan cuaca yang sangat
cepat, dan karena ada pengaruh dari gravitasi bulan maupun matahari.
Kecepatan gelombang pasang sekitar 10-100 Km/jam. Gelombang
pasang sangat berbahaya bagi kapal-kapal yang sedang berlayar pada
suatu wilayah yang dapat menenggelamkan kapal-kapal tersebut. Jika
terjadi gelombang pasang di laut akan menyebabkan tersapunya daerah
pinggir pantai atau disebut dengan abrasi.
i. Kegagalan Teknologiadalah semua kejadian bencana yang diakibatkan
oleh kesalahan desain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan
manusia dalam penggunaan teknologi atau industri.
j. Kebakaran adalah situasi dimana suatu tempat atau lahan atau
bangunan dilanda api serta hasilnya menimbulkan kerugian.
Sedangkan lahan dan hutan adalah keadaan dimana lahan dan hutan

7
dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan lahan dan hutan serta
hasil-hasilnya dan menimbulkan kerugian.
k. Aksi Teror atau Sabotaseadalah semua tindakan yang menyebabkan
keresahan masyarakat, kerusakan bangunan, dan mengancam atau
membahayakan jiwa seseorang atau banyak orang oleh seseorang atau
golongan tertentu yang tidak bertanggung jawab. Aksi teror atau
sabotase biasanya dilakukan dengan berbagai alasan dan berbagai jenis
tindakan seperti pemboman suatu bangunan/tempat tertentu,
penyerbuan tiba-tiba suatu wilayah, tempat, dan sebagainya. Aksi teror
atau sabotase sangat sulit dideteksi atau diselidiki oleh pihak
berwenang karena direncanakan seseorang atau golongan secara diam-
diam dan rahasia.
l. Kerusuhan atau Konflik Sosialadalah suatu kondisi dimana terjadi
huru-hara atau kerusuhan atau perang atau keadaan yang tidak aman di
suatu daerah tertentu yang melibatkan lapisan masyarakat, golongan,
suku, ataupun organisasi tertentu.
3. Penanggulangan Bencana
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana. Sebagaimana didefinisikan
dalam UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,
penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya
bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi
(BNPB, 2008).
Pada dasarnya penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah
tiga tahapan yakni :
a. Pra bencana yang meliputi:
1) situasi tidak terjadi bencana
2) situasi terdapat potensi bencana
b. Saat Tanggap Darurat yang dilakukan dalam situasi terjadi bencana
c. Pasca bencana yang dilakukan dalam saat setelah terjadi bencana.

8
Tindakan penangulangan bencana menurut BNPB (2008) adalah
perkiraan ancaman bahaya yang akan terjadi dan kemungkinan dampak
yang ditimbulkan. Secara lebih rinci pilihan tindakan tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut:
a. Pencegahan dan Mitigasi
Upaya atau kegiatan dalam rangka pencegahan dan mitigasi
yang dilakukan, bertujuan untuk menghindari terjadinya bencana serta
mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh bencana. Tindakan mitigasi
dilihat dari sifatnya dapat digolongkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu
mitigasi pasif dan mitigasi aktif.
Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif
antara lain adalah:
1) Penyusunan peraturan perundang-undangan
2) Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah.
3) Pembuatan pedoman/standar/prosedur
4) Pembuatan brosur/leaflet/poster
5) Penelitian/pengkajian karakteristik bencana
6) Pengkajian/analisis risiko bencana
7) Internalisasi PB dalam muatan lokal Pendidikan
8) Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana
9) Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum
10) Pengarus-utamaan PB dalam perencanaan pembangunan
Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif
antara lain:
1) Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya,
larangan memasuki daerah rawan bencana dsb.
2) Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang
penataan ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan
lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana.
3) Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.

9
4) Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah
yang lebih aman.
5) Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat.
6) Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur
evakuasi jika terjadi bencana.
7) Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah,
mengamankan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh
bencana, seperti: tanggul, dam, penahan erosi pantai, bangunan
tahan gempa dan sejenisnya.
Adakalanya kegiatan mitigasi ini digolongkan menjadi mitigasi
yang bersifat non-struktural (berupa peraturan, penyuluhan,
pendidikan) dan yang bersifat struktural (berupa bangunan dan
prasarana).
b. Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban
jiwa, kerugian harta benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat.
Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi
akan terjadi, kegiatan yang dilakukan antara lain:
1) Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur
pendukungnya.
2) Pelatihan siaga/simulasi/gladi/teknis bagi setiap sektor
Penanggulangan bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan
pekerjaan umum).
3) Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan
4) Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik.
5) Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan
terpadu guna mendukung tugas kebencanaan.
6) Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini (early
warning)
7) Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan)

10
8) Mobilisasi sumber daya (personil dan prasarana/sarana peralatan)
c. Tanggap Darurat
Tahap Tanggap Darurat merupakan tahap penindakan atau
pengerahan pertolongan untuk membantu masyarakat yang tertimpa
bencana, guna menghindari bertambahnya korban jiwa.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat
meliputi:
1) pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan,
kerugian, dan sumber daya;
2) penentuan status keadaan darurat bencana;
3) penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
4) pemenuhan kebutuhan dasar;
5) perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
6) pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
d. Pemulihan
Tahap pemulihan meliputi tahap rehabilitasi dan rekonstruksi.
Upaya yang dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk
mengembalikan kondisi daerah yang terkena bencana yang serba tidak
menentu ke kondisi normal yang lebih baik, agar kehidupan dan
penghidupan masyarakat dapat berjalan kembali. Kegiatan-kegiatan
yang dilakukan meliputi:
1) perbaikan lingkungan daerah bencana;
2) perbaikan prasarana dan sarana umum;
3) pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;
4) pemulihan sosial psikologis;
5) pelayanan kesehatan;
6) rekonsiliasi dan resolusi konflik;
7) pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya;
8) pemulihan keamanan dan ketertiban;
9) pemulihan fungsi pemerintahan; dan
10) pemulihan fungsi pelayanan publik

11
Sedangkan tahap rekonstruksi merupakan tahap untuk
membangun kembali sarana dan prasarana yang rusak akibat bencana
secara lebih baik dan sempurna. Oleh sebab itu pembangunannya harus
dilakukan melalui suatu perencanaan yang didahului oleh pengkajian
dari berbagai ahli dan sektor terkait.
1) pembangunan kembali prasarana dan sarana;
2) pembangunan kembali sarana sosial masyarakat;
3) pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat
4) penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan
yang lebih baik dan tahan bencana;
5) partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan,
dunia usaha dan masyarakat;
6) peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya;
7) peningkatan fungsi pelayanan publik; atau
8) peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.

B. Tinjauan Umum Tentang Risk Assessment


Penilaian risiko adalah evaluasi terhadap semua unsur yang
berhubungan dengan pengenalan bahaya serta dampaknya. Tujuannya untuk
menyusun prioritas risiko bencana yang mungkin terjadi. Lingkup kegiatan
risk assessment adalah pengumpulan, pengolahan dan analisa data; penetapan
variabel penilaian risiko dan pelaksanaan penilaian risiko. Langkah-langkah
penilaian risiko :
1. Pembuatan peta rawan ancaman dan kerentanan dengan melengkapi peta
topografi, dan inventarisasi ancaman. Peta kerentanan dibuat dengan
melengkapi peta rawan ancaman dengan kerentanan masyarakat meliputi
data demografi, sarana prasarana kesehatan, ketenagaan kesehatan dan
data cakupan pelayanan kesehatan.
2. Menetapkan jenis bahaya : tsunami, gempa bumi, letusan gunung merapi,
banjir dll.
3. Menetapkan variabel : karakteristik bahaya, kerentanan dan manajemen

12
a. Karakterisrik bahaya dinilai dengan 5 komponen yaitu :
1) Frekuensi : seberapa sering suatu bahaya/ancaman terjadi
2) Intensitas : diukur dari kekuatan dan kecepatan kuantitatif/kualitatif
3) Dampak : pengukuran seberapa besar akibatnya terhadap
kehidupan
4) Keluasan: luasnya daerah yang terkena
5) Komponen uluran waktu : rentang waktu peringatan gejala awal
hingga terjadinya dan lamanya proses bencana berlangsung
b. Kerentanan dinilai dengan 3 komponen yaitu :
1) Fisik: kekuatan struktur bangunan fisik (lokasi, bentuk, material,
konstruksi, pemeliharaanya); sistem transportasi dan
telekomunikasi (akses jalan, sarana angkutan, jaringan
telekomunikasi)
2) Sosial: meliputi unsur demografi (proporsi kelompok rentan, status
kesehatan, budaya, status sosek dll)
3) Ekonomi: meliputi dampak primer dan sekunder (kerugian
langsung & tidak langsung)
c. Manajemen dinilai dengan 3 komponen yaitu :
1) Kebijakan: telah ada/tidaknya kebijakan, peraturan perundangan,
Perda, protap terkait penanggulangan bencana.
2) Kesiapsiagaan: telah ada/tidaknya sistem peringatan dini, rencana
tindak lanjut termasuk pembiayaan
3) Peran serta masyarakat: meliputi kesadaran dan kepedulian
masyarakat akan bencana
4. Penetapan cara penilaian : menilai berdasarkan jenis ancaman dan sesuai
kelompok variabel berdasarkan data, pengalaman dan taksiran yang saling
terkait satu sama lain. Nilai risiko berkisar antara 1 s/d 3 dengan 1 = risiko
terendah, 2 = risiko sedang, 3 = risiko tertinggi. Sedangkan penilaian
manajemen dinilai dengan skala terbalik yaitu : 1 = kemampuan tinggi, 2 =
kemampuan sedang, 3 = kemampuan rendah.
5. Buat matriks penilaian

13
6. Melakukan penilaian dan menetapkan hasil luarannya
Masing-masing nilai komponen karakteristik bahaya, kerentanan
dan manajemen dijumlahkan dan didapatkan prioritas bencana yang akan
dibuatkan rencana kontingensi.

C. Tinjauan Umum Tentang Pemetaan Risiko Bencana


Pengkajian risiko bencana terdiri dari 2 bagian yaitu peta risiko
bencana dan dokumen kajian risiko bencana (Gambar 1 dan Gambar 2).
Dimana peta risiko dihasilkan mencakup juga peta bahaya, peta kerentanan,
dan peta kapasitas. Sedangkan dokumen memuat tingkat risiko bencana yang
merupakan gabungan dari tingkat kerugian, tingkat bahaya, dan tingkat
kapasitas (BNPB, 2013).
Pemetaan analisis risiko bencana alam dilakukan dengan pengumpulan
data primer yang berupa data spatial yang memiliki referensi ruang kebumian
(georeference) dan data sekunder yang berupa data temporal yang menentukan
lokasi dan koordinat pada suatu peta (Islamadina, 2012).

Gambar 2.1. Metode Penyusunan Peta Risiko

14
Gambar 2.2. Metode Penyusunan Dokumen Kajian Risiko Bencana

Mekanisme penyusunan peta risiko bencana saling terkait dengan


mekanisme penyusunan dokumen kajian risiko bencana. Peta risiko bencana
menghasilkan landasan penentuan tingkat risiko bencana yang merupakan
salah satu komponen capaian dokumen kajian risiko bencana. Selain itu
dokumen kajian bencana juga harus menyajikan kebijakan minimum
penanggulangan bencana daerah yang ditujukan untuk mengurangi jumlah
penduduk terpapar, kerugian harta benda, dan kerusakan lingkungan.

D. Tinjauan Umum Tentang Perencanaan Kontinjensi


1. Pengertian Perencanan Kontijensi
Perencanaan kontinjensi merupakan bagian penting dari
keseluruhan program kesiapsiagaan dan perlu dikembangkan untuk
setiap jenis bahaya, kemudian dimutakhirkan dan dilatihkan secara
regular. Menurut UNSDR (Strategi Internasional untuk Pengurangan
Bencana PBB) perencanaan kontijensi adalah proses manajemen yang

15
mengalisis kejadian potensial tertentu atau situasi yang timbul yang
mungkin mengancam masyarakat dan lingkungan dan enyusun
pengaturan di muka untuk memungkinkan tanggapan yang tepat
waktu, efisien, dan patut terhadap kejadian atau situasi seperti itu.
Sedangkan menurut BNPB perencanaan kontijensi adalah proses
perencanaan ke depan, dalam keadaan tidak menentu, dimana skenario
dan tujuan disepakati, tindakan teknis dan manajerial ditetapkan, serta
sistem tanggapan dan pengerahan potensi disetujui bersama untuk
mencegah, atau menanggulangi secara lebih baik keadaan atau situasi
darurat yang dihadapi (Vidiarina, 2010).
2. Tujuan Perencanaan Kontijensi
Tujuan penyusunan perencanaan kontijensi menurut BNPB
yaitu untuk memaksimalkan pemakaian sumber daya dan/atau potensi
masyarakat dalam menangani bencana/kedaruratan. Rencana
kontinjensi itu lebih tepat bagi bencana dengan skala besar, yang
menyiratkan bahwa bencana dengan skala lebih kecil tidak mesti
membutuhkan perencanaan kontinjensi, karena mereka mengatakan
bahwa pemerintah sudah memiliki prosedur dan kebijakan sendiri
mengenai hal itu (Vidiarina, 2010).
Pada umumnya, perencanaan kontinjensi harus segera dimulai
ketika potensi bencana yang merusak teridentifikasi, baik itu jenis
bencana yang sering maupun jarang terjadi. Proses kontinjensi
mungkin saja dipicu oleh tanda-tanda peringatan dini, khususnya
untuk kejadian yang datangnya lambat seperti kekeringan, letusan
gunung berapi, dan epidemik. Namun bagaimanpun juga, bencana
yang jarang terjadi tapi sangat merusak seperti tsunami perlu segera
dibuat ketika hasil kajian bahaya dan risiko mengindikasikan adanya
potensi ancaman tersebut. Peringatan dini merupakan alat penting
untuk menentukan pengambilan tindakan secara detil. Perencanaan
kontinjensi berubah menjadi aksi terencana ketika peringatan dini

16
keluar dan mengindikasikan bencana akan segera tiba (Vidiarina,
2010).
Rencana ini harus dikaji, ditinjau, diuji, dan dipebarui secara
rutin untuk memvalidasi relevansinya. Waktu yang baik untuk
memutakhirkan rencana adalah setelah bencana besar terjadi. Kejadian
ini juga menjai saat yang baik untuk memicu pembuatan renacana baru
jika belum ada rencana yang pernah dibuat (Vidiarina, 2010).
Mengembangkan sebuah rencana merupakan kerjasama tim.
Agar proses perencanaan tetap terkendali, kelompok kerja khusus
harus dibentuk, terdiri dari perwakilanmasyarakat dan pemerintah
sebagai perwujudan tanggung jawab bersama diantara pemerintah dan
masyarakat dalam kesiapan bencana. Uraian terinci BNPB dapat
menjadi contoh yang baik tentang pelaku-pelaku yang perlu terlibat
dalam rencana kontinjensi yaitu dari kalangan lembaga pemerintah,
Angkatan Bersenjata, Polisi Nasional, LSM, Universitas, sektor
swasta, organisasi masyarakat, media, pemimpinkeagamaan dan/atau
terkemuka, pramuka, serta pelaku-pelaku lainnya. Semua wakil
lembaga-lembaga di atas harus memiliki kemampuan dan kecakapan
dalam bidang masing-masing serta kewenangan dan pengambilan
putusan (Vidiarina, 2010).
Masukan dan dukungan juga dibutuhkan dari berbagai orang di
berbagai jabatan, yang lalu akan memberikan bantuan yang penting
dan tak ternilai kepada mereka yang terlibat dalam perencanaan
kontinjensi. Orang-orang ini mencakup mereka di berbagai sektor
pemerintah, perusahaan milik negara, perusahaan swasta, LSM,
badaninternasional dan masyarakat sendiri. Sebuah sistem dan
mekanisme penyebaran informasi yang cemerlang harus dibuat guna
memastikan bahwa semua pelaku yang terkait mendapatkan cukup
informasi (Vidiarina, 2010).

17
3. Proses dan Langkah-Langkah Perencanaan Kontijensi
Aspek-aspek berikut dalam proses perencanaan kontinjensi:
a. Menganalisis potensi kedaruratan;
b. Mnganalisis potensi dampak kemanusiaan dan konsekuensi
kedaruratan yang teridentifikasi;
c. Menyusun tujuan, strategi, kebijakan dan prosedur yang jelas dan
menegaskan tindakan kritis yang harus diambil guna menanggapi
suatu kedaruratan, dan;
d. Memastikan bahwa kesepakatan terekam dan tindakan yang perlu
diambil guna menyempurnakan kesiapsiagaan.
BNPB berfokus pada kelompok kerja yang terdiri atas berbagai
perwakilan masyarakat dan pemerintah sebagai bentuk nyata akan
tanggung jawab Bersama antara pemerintah dan masyarakat dalam
kesiapsiagaan bencana. Modelnya terdiri atas tujuh langkah seperti
pada gambar berikut.

Gambar 2.3. Langkah-Lagkah Perencanaan Kontijensi

18
a. Analisis risiko. Tahap ini melakukan pengumpulan informasi yang
cukup mengenai bahaya, risiko, dan kerentanan yang terkait
dengan kejadian kedaruratan yang diprediksikan.
b. Asumsi Kejadian. Menentukan akar penyebab kejadian, cara
kejadian akan berlangsung dan gejala yang dapat diamati yang
akan mengisyaratkan kejadian yang akan terjadi.
c. Pengembangan skenario. Beberapa skenario dikembangkan dengan
mempertimbangkan berbagai bentuk kejadian darurat yang
diramalkan menggunakan dimensi-dimensi waktu, ruang, dan
magnitut sebagai parameter. Skenario ini harus juga
memproyeksikan dampak bencana pada nyawa manusia,
perumahan, harta benda, nafkah, dan infrastruktur serta kejadian
pemicu terkait dan ambang atau threshold untuk pengaktifan
sistem tanggap darurat.
d. Identifikasi Kebijakan & Strategi. Kegiatan tanggap bahaya dan
kontinjensi memerlukan sebuah visi. Pada tingkat nasional,
terdapat kebijakan dasar untuk penanggulangan bencana yang juga
memberikan platform yang dibutuhkan bagi perencanaan
kontinjensi. Beberapa contoh mencakup Keputusan Presiden
Nomor 03/2001 dan Undang-Undang Nomor 24/2007.
e. Analisis Kesenjangan. Tahap ini berfokus pada analisis dan
pengaturan diantara sektor-sektor, menjawab pertanyaan tentang
penampilan setiap sektor saat kedaruratan terjadi, menetapkan
tujuan sektor, menentukan indikator diantara sektor, menentukan
kebutuhan dengan membandingkan sumber daya yang ada dengan
kebutuhan yang diproyeksikan, dan menggambar bagan arus untuk
kegiatan sektor dan cara tugas-tugas disebarkan kepada anggota
sektor.
f. Perumusan rencana ke depan. Tahap ini merupakan rangkaian
konsolidasi mulai dari menyusun draf sampai merampungkan

19
Rencana Kontinjensi. Rencana kontinjensi yang baik harus
membatasi tugas dan fungsi dan memperjelasnya sedini mungkin.
g. Pengesahan dan Pengaktifan. Rencana akhir harus diserahkan
kepada otoritas yang terkait, yakni kepada Kepala BPBD,
Walikota, dan DPRD. Pengesahan sedemikian sangat penting
untuk memastikan komitmen kelembagaan dari para pihak yang
terlibat dan menjadikan rencana kerja tidak sekedar bersifat
akademis tetapi menjadi rencana tindakan resmi. Sama pentingnya
adalah bahwa pengesahan ini akan memberikan pembenaran bagi
otoritas local dimana di dalam situasi kedaruratan, jumlah sumber
daya yang sudah direncanakan bisa dikeluarkan dengan segera.
Pengesahan resmi juga akan mendorong otoritas memandang
rencana dengan sungguh-sungguh dan berperan serta dalam
pemantauan peringatan dini serta pernyataan keadaan darurat
nantinya, jika diperlukan.

20
BAB III
GAMBARAN UMUM KABUPATEN BARRU

A. Keadaan Geografis
Kabupaten Barru yang dikenal dengan Motto Daerah HIBRIDA
(Hijau, Bersih, Asri dan Indah) adalah salah satu Kabupaten yang terletak di
pesisir pantai Barat Propinsi Sulawesi Selatan dengan panjang garis pantainya
78 km. Kabupaten Barru secara administrative terbagi atas 7 Kecamatan yaitu
Kecamatan Tanete Riaja, Kecamatan Tanete Rilau, Kecamatan Barru
(Ibukota Kabupaten), Kecamatan Soppeng Riaja, Kecamatan Mallusetasi,
Kecamatan Pujananting dan Kecamatan Balusu dan terdiri dari 15 Kelurahan
dan 40 Desa dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
1. Sebelah Utara dengan Kota Pare-Pare dan Kabupaten Sidrap
2. Sebelah Timur dengan Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Bone
3. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan
4. Sebelah Barat dengan Selat Makassar.
Secara administratif kecamatan yang ada di Kabupaten Barru dapat
dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.2. Pembagian Wilayah Administratif Kabupaten Barru

Luas
No Kecamatan Desa/Kelurahan
Km2 %
1 Tanete Riaja 7 174,29 14,84
2 Pujananting 6 314,26 26,75
3 Tanete Rilau 10 79,17 6,74
4 Barru 10 199,32 16,97
5 Soppeng Riaja 7 78,90 6,71
6 Balusu 6 112,20 9,55
7 Mallusetasi 8 216,58 18,44
Total 54 1174,72 100
Sumber : Kabupaten Barru dalam Angka, Tahun 2017

21
Secara geografis Kabupaten Barru terletak diantara Koordinat
4º0.5’35” - 4º47’35” Lintang Selatan dan 199º35’00” - 119º49’16” Bujur
Timur dengan luas wilayah 1.174,72 Km² (117.472 Ha) dan berada ± 102 Km
disebelah Utara Kota Makassar Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan yang dapat
ditempuh melalui perjalanan darat ± 2,5 jam. Kabupaten Barru terletak pada
jalan Trans Sulawesi dan merupakan daerah lintas provinsi yang terletak
antara Kota Makassar dan Kota Pare-Pare. Berikut disajikan peta
administratif Kabupaten Barru.

PETA ADMINISTRATIF
KABUPATEN BARRU

Gambar 3.1. Peta Administratif Kabupaten Barru

22
B. Keadaan Demografi
Jumlah penduduk Kabupaten Barru setiap tahun terjadi peningkatan.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di


Kabupaten Barru Tahun 2016
Luas Jumlah Penduduk Kepadatan
Kecamatan
(Km2) Laki-Laki Perempuan Total (Jiwa/Km2)
Tanete Riaja 174,29 10.739 11.895 22.634 129,86
Pujananting 314,26 6.422 6.642 13.064 41,57
Tanete Rilau 79,17 16.240 17.412 33.652 425,06
Barru 199,32 19.670 21.035 40.705 204,22
Soppeng Riaja 78,90 8.620 9.249 17.869 226,48
Balusu 112,20 8.756 9.732 18.488 164,78
Mallusetasi 216,58 12.172 13.322 25.494 117,71
Total 1174,72 82.619 89.278 171.906 1309,64
Sumber : Kabupaten Barru dalam Angka, Tahun 2017

Jumlah penduduk pada tahun 2016 sebesar 171.906 jiwa, meningkat


sebesar 0,40% dibanding tahun 2015 yang berjumlah 171.217 jiwa. Jumlah
penduduk terbesar pada Kecamatan Barru yang mencapai 40.705 jiwa dan
terendah pada Kecamatan Pujananting dengan jumlah 13.064 jiwa. Sementara
dari segi kepadatan, Kecamatan Tanete Rilau berada pada tingkat kepadatan
paling tinggi yaitu sebesar 425,06 jiwa/km2 dan paling rendah pada
kecamatan Pujananting yaitu 41,57 jiwa/km2.

C. Kondisi Hidrologi
Air merupakan sumberdaya alam untuk memenuhi hayat hidup
manusia maupun makhluk hidup lainnya. Potensi sumber air di Kabupaten
Barru yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan adalah air hujan, air
permukaan dan aliran sungai atau limpasan. Sungai merupakan sumber air
terbesar di Kabupaten Barru yaitu Sungai Bojo, Sungai Kupa, Sungai Nepo,
Sungai Mamba, Sungai Ceppaga, Sungai Takkalasi, Sungai Ajakkang, Sungai
Palakka, Sungai Bungi, Sungai Sikapa, Sungai Parempang, Sungai Jalanru,

23
dan diantara sungaisungai tersebut terdapat Sungai yang terbesar adalah
Sungai Sikapa yang berhulu di daerah Kecamatan Tanete Riaja yang mengalir
melalui daerah persawahan serta bermuara ke Selat Makassar. Sungai-sungai
yang ada selain airnya dimanfaatkan untuk keperluan irigasi, industri, rumah
tangga juga sungai-sungai yang ada berpotensi untuk pembangkit listrik
tenaga air (PLTA) dan untuk budidaya perikanan.

D. Kondisi Klimatologi dan Curah Hujan


Tipe iklim dengan Metode Zone Agroklimatologi yang berdasarkan
pada bulan basah (curah hujan lebih dari 200 mm/bulan) dan bulan kering
(curah hujan kurang dari 100 mm/bulan) di Kabupaten Barru terdapat seluas
71,79 persen Wilayah (84.340 Ha) dengan Tipe Iklim C yakni mempunyai
bulan basah berturut-turut 5 – 6 bulan (Oktober sampai dengan Maret) dan
bulan kering berturut-turut kurang dari 2 bulan (April sampai dengan
September).

Tabel 3.3. Keadaan Curah Hujan Setiap Bulan Kabupaten Barru

Bulan Jumlah Hujan (Hari) Curah Hujan (mm)


Januari 17 480
Februari 19 493
Maret 17 409
April 15 214
Mei 13 185
Juni 10 98
Juli 8 105
Agustus 1 11
September 11 234
Oktober 15 343
November 17 280
Desember 20 464
Total 163 3316
Sumber : Kabupaten Barru dalam Angka, Tahun 2017

24
Total hari hujan selama setahun di Kabupaten Barru sebanyak 163
hari dengan jumlah curah hujan sebesar 3.316 mm. Curah hujan di Kabupaten
Barru berdasarkan hari hujan terbanyak pada bulan Desember dan Februari
dengan jumlah curah hujan 464 mm dan 493 mm sedangkan hari hujan
terkecil pada bulan Juli-Agustus masing-masing 8 hari dan 1 hari dengan
jumlah curah hujan masing – masing 105 mm dan 11 mm.

25
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penilaian Risiko Bencana Alam di Kabupaten Barru


Bencana yang terjadi di Kabupaten Barru pada tahun 2016 didominasi
oleh angin puting beliung, kebakaran lahan, banjir dan tanah longsor. Berikut
ini disajikan tabel frekuensi kejadian bencana alam menurut kecamatan di
Kabupaten Barru tahun 2016.

Tabel 4.1. Frekuensi Bencana Alam menurut Kecamatan di


Kabupaten Barru Tahun 2016

Jenis Bencana Alam


No. Kecamatan Angin Puting Tanah Kebakaran
Banjir
Beliung Longsor Lahan
1 Tanete Riaja 2 1 3 0
2 Pujananting 0 1 2 0
3 Tanete Rilau 0 7 0 3
4 Barru 0 3 0 0
5 Soppeng Riaja 2 5 1 2
6 Balusu 3 1 0 0
7 Mallusetasi 0 1 0 0
Total 7 19 6 5
Sumber: BPBD Provinsi Sulawesi Selatan, 2017

1. Banjir
Banjir merupakan bencana alam yang selalu terjadi setiap tahun di
Kabupaten Barru terutama pada musim hujan. Berdasarkan kondisi
morfologinya, bencana banjir disebabkan curah hujan yang tinggi di atas
normal, kurangnya daerah serapan air akibat pembagunan pemukiman
penduduk dan sistem drainase yang buruk.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2017, terjadi
banjir sebanyak tujuh kali di Kabupaten Barru selama tahun 2016.
Bencana banjir tersebut terjadi di tiga kecamatan yaitu Kecamatan
Balusu (3 kali), Kecamatan Soppeng Riaja (2 kali) dan Kecamatan

26
Tanete Riaja (1 kali). Banjir terjadi pada bulan Januari, Oktober, dan
Desember. Dampak yang timbulkan dari banjir tersebut antara lain
menyebabkan adanya korban pengungsian (4 orang) dan kerusakan pada
area persawahan, perumahan (227 rumah), jembatan (1 jembatan), serta
jalan (4 jalan).
Berikut ini adalah peta kejadian bencana banjir di Kabupaten
Barru tahun 2016.
PETA SEBARAN KEJADIAN
BANJIR DI KABUOATEN BARRU
TAHUN 2016

Frekuensi Kejadian Bencana:

<1

1–3

>4

Gambar 4.1. Peta Sebaran Kejadian Bencana Banjir di


Kabupaten Barru Tahun 2016

27
2. Puting Beliung
Kejadian puting beliung telah menjadi isu yang sangat hangat
sejak beberapa tahun terakhir, kejadian ini seringkali mengejutkan
masyarakat karena selalu terjadi secara tiba-tiba dan tanpa ada tanda-
tanda yang mudah dikenal terlebih dahulu. Kejadian puting beliung
sering menimbulkan kerugian materi dan mungkin korban jiwa yang
tidak sedikit. Puting beliung adalah angin yang berputar dengan
kecepatan lebih dari 60-90 km/jam yang berlangsung 5-10 menit akibat
adanya perbedaan tekanan sangat besar dalam area skala sangat lokal
yang terjadi di bawah atau di sekitar awan Cumulonimbus (Cb).
Gejala awal puting beliung, antara lain udara terasa panas dan
gerah; di langit tampak ada pertumbuhan awan Cumulus (awan putih
bergerombol yang berlapis-lapis); di antara awan tersebut ada satu jenis
awan yang mempunyai batas tepinya sangat jelas berwarna abu-abu
menjulang tinggi yang secara visual seperti bunga kol; awan tiba-tiba
berubah warna dari berwarna putih menjadi berwarna hitam pekat (awan
Cumulonimbus). Jika fenomena ini terjadi, kemungkinan besar kehadiran
hujan disertai angin kencang sudah menjelang. Durasi fase pembentukan
awan, hingga fase awan punah berlangsung paling lama sekitar 1 jam.
Karena itulah, masyarakat agar tetap waspada selama periode ini.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2017, terjadi
puting beliung sebanyak 19 kali di Kabupaten Barru selama tahun 2016.
Bencana puting beliung melanda semua kecamatan di Kabupaten Barru,
yaitu di Kecamatan Tanete Riaja (1 kali), Kecamatan Pujananting (1
kali), Kecamatan Tanete Rilau (7 kali), Kecamatan Barru (3 kali),
Kecamatan Soppeng Riaja (5 kali), Kecamatan Balusu (1 kali) dan
Kecamatan Mallusetasi (1 kali). Bencana puting beliung terjadi pada
bulan Januari, September, Oktober, November dan Desember. Dampak
yang timbulkan dari puting beliung tersebut antara lain menyebabkan
adanya korban terdampak sebanyak 188 orang dan kerusakan perumahan

28
warga sebanyak 89 rumah serta kerugian ekonomi ditaksir sebesar
Rp232.275.000.
Berikut ini adalah peta kejadian puting beliung di Kabupaten
Barru tahun 2016.
PETA SEBARAN KEJADIAN
ANGIN PUTING BELIUNG DI
KAB. BARRU TAHUN 2016

Frekuensi Kejadian Bencana:

<1

1–3

>4

Gambar 4.2. Peta Sebaran Kejadian Angin Puting Beliung di


Kabupaten Barru Tahun 2016

3. Tanah Longsor
Tanah longsor adalah runtuhnya tanah secara tiba-tiba atau
pergerakan tanah atau bebatuan dalam jumlah besar secara tiba-tiba atau

29
berangsur yang umumnya terjadi di daerah terjal yang tidak stabil. Faktor
yang mempengaruhi terjadinya bencana ini adalah lereng yang gundul
serta kondisi tanah dan bebatuan yang rapuh. Hujan deras adalah pemicu
utama terjadinya tanah longsor. Tetapi tanah longsor dapat juga
disebabkan oleh gempa. Ulah manusia pun bisa menjadi penyebab tanah
longsor seperti penambangan tanah, pasir dan batu yang tidak terkendali.
Berikut ini adalah peta kejadian tanah longsor di Kabupaten Barru
tahun 2016.

PETA SEBARAN KEJADIAN


TANAH LONGSOR DI KAB.
BARRU TAHUN 2016

Frekuensi Kejadian Bencana:

<1

1–3

>4

Gambar 4.3. Peta Sebaran Kejadian Tanah Longsor di Kabupaten


Barru Tahun 2016

30
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2017, terjadi
bencana tanah longsor sebanyak 6 kali di Kabupaten Barru selama tahun
2016. Bencana tanah longsor melanda tiga kecamatan di Kabupaten
Barru, yaitu Kecamatan Tanete Riaja (3 kali), Kecamatan Pujananting (2
kali), dan Kecamatan Soppeng Riaja (1 kali). Bencana tanah longsor
terjadi pada bulan Januari, Oktober, November dan Desember. Dampak
yang timbulkan dari bencana tanah longsor tersebut antara lain empat
kerusakan rumah dan kerugian ekonomi ditaksir sebesar Rp36.265.000.

4. Kebakaran Lahan
Kebakaran lahan merupakan sebuah fenomena alam yang
seringkali terjadi di alam liar yang jauh dari pemukiman. Kebakaran
lahan dapat mengganggu kestabilan lingkungan dan kehidupan.
Penyebab kebakaran lahan bisa karena faktor alam maupun karena ulah
manusia yang tidak bertanggung jawab. Faktor alami antara lain oleh
pengaruh El-Nino yang menyebabkan kemarau berkepanjangan
sehingga tanaman menjadi kering. Sedangkan faktor kegiatan
manusia yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan seperti
adanya kegiatan pembukaan lahan dengan teknik tebang-tebas-bakar
yang tidak terkontrol dan membuang puntung rokok yang menyala
secara sembarangan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2017, terjadi
kebakaran lahan sebanyak 8 kali di Kabupaten Barru selama tahun 2016.
Kebakaran lahan terjadi di dua kecamatan di Kabupaten Barru, yaitu di
Kecamatan Tanete Rilau (3 kali) dan Kecamatan Soppeng Riaja (2 kali).
Kebakaran lahan terjadi pada bulan April, Juni, Juli, Agustus, dan
September.
Berikut ini adalah peta kejadian kebakaran lahan di Kabupaten
Barru tahun 2016.

31
PETA SEBARAN KEJADIAN
KEBAKARAN LAHAN
DI KAB. BARRU TAHUN 2016

Frekuensi Kejadian Bencana:

<1

1–3

>4

Gambar 4.4. Peta Sebaran Kejadian Kebakaran Lahan di


Kabupaten Barru Tahun 2016

Dari tiga bencana alam yang mendominasi di Kabupaten Barru tahun


2016, dilakukan penilaian risiko bencana untuk menentukan prioritas bencana
yang akan dibuatkan rencana kontinjensi yaitu sebagai berikut:
1. Karakteristik Penilaian Risiko
Untuk menilai risiko rawan bencana dilakukan penilaian terkait
karakteristik bahaya, kerawanan, dan manajemen :

32
a. Karakteristik Bahaya terdiri dari frekuensi, intensitas, dampak,
keluasan (Extent) dan uluran waktu.
b. Kerawanan dalam bentuk fisik, sosial, dan ekonomi.
c. Manajemen yang terdiri dari kebijakan, rencana kontigensi dan peran
serta masyarakat/ LSM
2. Penilaian Risiko pada Tiap Karakteristik
a. Karakteristik Bahaya
1) Frekuensi, yaitu seberapa sering bencana terjadi. Kriteria
penilaian bencana banjir, angin puting beliung, dan longsor
adalah sebagai berikut.
a) Nilai 1 jika terjadi > 5 tahun sekali.
b) Nilai 2 jika terjadi 3 – 5 tahun sekali.
c) Nilai 3 jika terjadi 1 – 2 tahun sekali.
2) Intensitas
a) Banjir, diukur berdasarkan tingginya genangan air.
b) Angin Puting Beliung, diukur berdasarkan kecepatan
perputaran angin.
c) Tanah Longsor, diukur berdasarkan tekstur tanah
3) Dampak, diukur dari seberapa banyak korban akibat bencana
(baik yang luka-luka, hilang, maupun yang meninggal) dan
adanya kerusakan pada fasilitas umum, serta sumber mata
pencaharian. Kriteria penilaian bencana banjir, angin puting
beliung, dan longsor adalah sebagai berikut.
a) Nilai 1 jika terjadi hanya pada satu desa dan tidak ada
korban jiwa.
b) Nilai 2 jika terjadi pada 2 – 3 desa dan terdapat korban jiwa.
c) Nilai 3 jika terjadi pada > 3 desa dan terdapat korban jiwa.
4) Keluasan, diukur dari luasnya daerah yang terkena bencana alam
(tingkat desa/kelurahan atau tingkat kecamatan). Kriteria
penilaian bencana banjir, angin puting beliung, dan longsor
adalah sebagai berikut.

33
a) Nilai 1 jika terjadi hanya pada satu desa.
b) Nilai 2 jika terjadi pada 2 – 3 desa.
c) Nilai 3 jika terjadi pada > 3 desa.
5) Uluran Waktu
a) Banjir, diukur berdasarkan lama genangan. Dengan kriteria
penilaian sebagai berikut:
1) Nilai 1 jika lama genangan <3 hari.
2) Nilai 2 jika lama genangan 1 – 2 minggu.
3) Nilai 3 jika lama genangan 2 – 4 minggu.
b) Angin Puting Beliung, di ukur berdasarkan durasi
perputaran angin tersebut. Dengan kriteria penilaian sebagai
berikut:
1) Nilai 1 jika angin yang berputar dengan kecepatan lebih
dari 60 - 90 km/jam dan berlangsung < 5 menit.
2) Nilai 2 jika angin yang berputar dengan kecepatan lebih
dari 60 - 90 km/jam dan berlangsung 5 – 10 menit.
3) Nilai 3 jika angin yang berputar dengan kecepatan lebih
dari 60 - 90 km/jam dan berlangsung > 10 menit.
c) Tanah Longsor, diukur berdasarkan lama pembersihan
lokasi terjadinya tanah longsor. Dengan kriteria penilaian
sebagai berikut:
1) Nilai 1 jika lama dibersihkan <3 hari.
2) Nilai 2 jika lama dibersihkan 1 – 2 minggu.
3) Nilai 3 jika lama dibersihkan 2 – 4 minggu.
b. Karakteristik Kerawanan/Kerentanan
1) Fisik
Secara fisik bentuk kerentanan yang dimiliki masyarakat berupa
daya tahan menghadapi bahaya tertentu, misalnya kekuatan
bangunan rumah, adanya tanggul pengaman banjir bagi
masyarakat yang tinggal di bantaran sungai.

34
2) Sosial
Kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat
kerentanan terhadap ancaman bahaya. Dari segi pendidikan,
kekurangan pengetahuan tentang risiko bahaya dan bencana
akan mengakibatkan rentan menghadapi bahaya.
3) Ekonomi
Kemampuan ekonomi suatu individu atau masyarakat sangat
menentukan tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya.Pada
umumnya masyarakat atau daerah yang miskin atau kurang
mampu lebih rentan terhadap bahaya, karena tidak mempunyai
kemampuan finansial yang memadai untuk melakukan upaya
pencegahan atau mitigasi bencana.
c. Karakteristik Manajemen
1) Kebijakan, diukur berdasarkan telah ada/tidaknya kebijakan,
peraturan perundangan, Perda, Protap, dan lain-lain tentang
penanggulangan bencana serta adanya bentuk kebijakan yang
disertai dengan bakunya mekanisme kerja. Dengan kriteria
penilaian sebagai berikut:
a) Nilai 1 jika tidak ada kebijakan
b) Nilai 2 jika ada kebijakan tetapi tidak ada mekanisme kerja
yang baku
c) Nilai 3 jika ada bentuk kebijakan yang disertai dengan
bakunya mekanisme kerja.
2) Kesiapsiagaan, meliputi peringatan dini dan rencana kontinjensi
termasuk anggaran kontinjensi. Dengan kriteria penilaian
sebagai berikut:
a) Nilai 1 jika tidak ada peringatan dini maupun rencana
kontinjensi.
b) Nilai 2 jika ada peringatan dini tetapi tidak ada rencana
kontinjensi.
c) Nilai 3 jika ada peringatan dini dan rencana kontinjensi.

35
3) Peran Serta Masyarakat, meliputi kesadaran dan kepedulian
masyarakat akan bencana. Dengan kriteria penilaian sebagai
berikut:
a) Nilai 1 jika tidak ada kepedulian masyarakat terhadap
bencana.
b) Nilai 2 jika masyarakat peduli terhadap bencana
c) Nilai 3 jika ada kepedulian dari masyarakat dan dukungan
dari LSM.

Berikut penilaian faktor risiko bencana di Kabupaten Barru tahun


2016 berdasarkan karakteristik bahaya, kerawanan, dan manajemen.

Tabel 4.2. Penilaian Risiko Bencana Alam di Kabupaten Barru Tahun


2016

Puting Tanah
No Variabel Banjir
Beliung Longsor
Bahaya
a. Frekuensi 3 3 2
b. Intensitas 3 2 1
c. Dampak 3 3 2
1
d. Keluasan 2 3 2
e. Tenggang Waktu 3 1 1
Jumlah 14 12 8
Skor 14/5 = 2,8 12/5 = 2,4 8/5 = 1,6
Kerawanan
a. Fisik 3 3 2
b. Sosial 2 2 2
2
c. Ekonomi 2 2 2
Jumlah 7 6 6
Skor 7/3 = 2,3 7/3 = 2,3 6/3 = 2
Manajemen
a. Kebijakan 3 2 3
b. Kesiapsiagaan 2 1 2
3
c. PSM/LSM 3 3 3
Jumlah 8 6 8
Skor 8/3 = 2,7 6/3 = 2 8/3 = 2,7
Nilai total = (1+2+3)/3 7,83 = 2,6 6,7/3 = 2,2 6,3/3 = 2,1
Nilai Prioritas 1 2 3

36
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa bencana banjir merupakan bencana
alam dengan skor tertinggi sehingga perlu diprioritaskan dalam penyusunan
rencana kontinjensi.

B. Mapping Risiko Bencana Banjir di Kabupaten Barru


Hampir setiap tahunnya beberapa bagian kecamatan di Kabupaten
Barru mengalami banjir. Banjir pada umumnya terjadi pada bulan Desember
hingga Februari, yaitu pada saat curah hujan tertinggi pada setiap tahunnya.
Peta Risiko Bencana Banjir di Kabupaten Barru adalah sebagai
berikut.

Gambar 4.5. Peta Risiko Bencana Banjir di Kabupaten Barru

37
C. Pengembangan Skenario Bencana Banjir di Kabupaten Barru
Skenario banjir di Kabupaten Barru ini dikembangkan berdasarkan
kejadian bencana banjir yang terjadi tahun 2016, dengan penambahan
sejumlah wilayah yang diidentifikasi berpotensi terkena dampak banjir.
1. Skenario Kejadian
Dengan memperhitungkan faktor dominan berupa curah hujan
yang tinggi pada bulan Januari 2016 dan Desember 2016 diperkirakan
banjir akan melanda 30 desa/kelurahan di empat kecamatan (Kecamatan
Balusu, Kecamatan Soppeng Riaja, Kecamatan Barru, dan Kecamatan
Tanete Riaja) di Kabupaten Barru. Banjir mulai terjadi pada jam 2
Subuh, dimana sebagian besar penduduk masih dalam keadaan tidur.
Banjir ini dipicu dengan curah hujan yang tinggi selama beberapa hari di
Kabupaten Barru dan sekitarnya, sehingga air dari 5 sungai yang terletak
di wilayah Kabupaten Barru yaitu Sungai Ralla, Sungai Lisu, Sungai
Bulusu, Sungai Lampoko, dan Sungai Ajakkang meluap. Kondisi banjir
diperburuk dengan sistem drainase yang tidak memadai di sejumlah
wilayah. Intensitas banjir di beberapa wilayah juga dipengaruhi oleh
naiknya air laut serta kurangnya wilayah resapan air. Ketinggian air
bervariasi antara 1 hingga 3 meter. Banjir berlangsung selama 3 hari.
2. Skenario Dampak
Skenario dampak bencana banjir akan mempengaruhi aspek
demografi, wilayah, infrastruktur, ekonomi, sosial budaya, pendidikan,
kesehatan, keamanan dan ketertiban.
a. Kondisi Demografi
Dampak pada aspek demografi dapat berupa kematian,
pengunsian, hilang dan lan-lain. Skenario bencana banjir di
Kabupaten Barru mengakibatkan 99.696 jiwa terdampak banjir
(Kecamatan Tanete Riaja sebesar 22.634, Kecamatan Barru sebesar
40.705, Kecamatan Soppeng Riaja sebesar 17.869, dan Kecamatan
Balusu sebesar 18.488) dan diperkirakan 997 jiwa masyarakat
mengungsi. Dari penduduk yang terdampak banjir, terdapat

38
penduduk yang rentan, terdiri dari bayi sebanyak 15.170 orang, balita
sebanyak 15.779, lansia sebanyak 4.158 orang
b. Kondisi Wilayah
Kawasan-kawasan yang diperkirakan akan terkena dampak banjir
terdiri dari 30 desa/kelurahan di 4 Kecamatan, dengan rincian
sebagai berikut:
1) Kecamatan Tanete Riaja, terdiri dari 7 desa/kelurahan.
2) Kecamatan Barru, terdiri dari 10 desa/kelurahan.
3) Kecamatan Soppeng Riaja, terdiri dari 7 desa/kelurahan.
4) Kecamatan Balusu, terdiri dari 6 desa/kelurahan.
Total luasan wilayah terdampak banjir di Kabupaten Barru sebesar
564,71 Ha. Wilayah terdampak paling luas adalah Kecamatan Barru
yaitu 199,32 Ha.
c. Infrastruktur
Dampak pada aspek sarana dan prasarana dapat berupa
kerusakan jembatan, jalan, penerangan/PLN, pasokan air bersih,
kerusakan rumah penduduk, kerusakan gedung perkantoran, fasilitas
sosial dan fasilitas umum, dan lain-lain.
d. Ekonomi
Dampak pada aspek ekonomi dapat berupa hilangnya mata
pencaharian masyarakat, hilangnya harta benda, tidak berfungsinya
pasar tradisional, terganggunya perekonomian masyarakat karena
kawasan industri, perkebunan, komersial, ternak, pertanian (sawah),
tambak dan lain-lain terdampak.
e. Sosial Budaya
Dampak terhadap aspek sosial budaya berupa terganggunya
atau terendamnya rumah ibadah.
f. Pendidikan
Dampak terhadap sektor pendidikan berupa terganggunya
atau terendamnya bangunan sekolah hingga siswa-siswi diliburkan
selama masa tanggap darurat bencana banjir sebanyak 11 unit.

39
g. Kesehatan
Dampak terhadap sektor kesehatan berupa terganggunya atau
terendamnya bangunan Puskesmas hingga pelayanan kesehatan
terganggu. Terdapat 6 unit puskesmas yang berada di wilayah
terdampak banjir.
h. Kamtib
Dampak terhadap aspek Keamanan dan Ketertiban seperti
meningkatnya kerawanan social dan angka kriminalitas meningkat
(pencurian, perampokan), karena rumah-rumah warga yang kosong.

D. Perencanaan Kontinjensi Bencana Banjir di Kabupaten Barru


Secara umum perencanaan dalam penanggulangan bencana dilakukan
pada setiap tahapan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana, agar setiap kegiatan dalam setiap
tahapan dapat berjalan dengan terarah, maka disusun suatu rencana yang
spesifik pada setiap tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana.
1. Pada tahap pra-bencana dalam situasi tidak terjadi bencana, dilakukan
penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (Disaster Management
Plan), yang merupakan rencana umum dan menyeluruh yang meliputi
seluruh tahapan kerja kebencanaan. Secara khusus untuk upaya
pencegahan dan mitigasi bencana tertentu terdapat rencana yang disebut
rencana mitigasi.
2. Pada tahap pra-bencana dalam situasi terdapat potensi bencana dilakukan
penyusunan Rencana Kesiapsiagaan untuk menghadapi keadaan darurat
yang didasarkan atas skenario menghadapi bencana tertentu (single
hazard) maka disusun satu rencana yang disebut Rencana Kontinjensi
(Contingency Plan).
3. Pada tahap tangap darurat dilakukan Rencana Operasi (Operational
Plan) yang merupakan operasionalisasi dari Rencana Kedaruratan atau
Rencana Kontinjensi yang telah disusun sebelumnya.

40
4. Pada tahap pemulihan dilakukan Penyusunan Rencana Pemulihan
(Recovery Plan) yang meliputi rencana rehabilitasi dan rekonstruksi yang
dilakukan pasca kejadian bencana. Sedangkan jika bencana belum
terjadi, maka untuk mengantisipasi kejadian bencana di masa mendatang
dilakukan penyusunan pedoman mekanisme penanggulangan pasca
bencana.

Berikut perencanaan kontinjensi penanggulangan banjir yang dapat dilakukan


pada tahap pra bencana, bencana, dan pasca bencana banjir.
1. Penetapan Kebijakan dan Strategi
Kebijakan penanganan darurat dimaksudkan untuk memberikan
pedoman bagi sektor–sektor terkait untuk melaksanakan kegiatan
tanggap darurat. Kebijakan bersifat mengikat karena dalam penanganan
darurat diberlakukan kesepakatan-kesepakatan yang harus dipatuhi oleh
semua pihak. Sedangkan strategi penanganan kedaruratan dilaksanakan
oleh masing-masing sektor.
a. Kebijakan
Dalam rangka penanganan terhadap korban yang ditimbulkan
oleh bencana Banjir akibat tingginya curah hujan dan tingginya
gelombang pasang air laut, maka perlu diambil beberapa kebijakan
agar semua korban dapat segera tertolong, pelayanan kesehatan,
pelayanan pengungsi, dan berbagai penyediaan fasilitas sarana dan
prasarana, serta terselenggaranya koordinasi dalam penanggulangan
bencana banjir tersebut diperlukan beberapa kebijakan penting yang
harus diambil yaitu:
1) Penanggulangan bencana dilaksanakan secara terpadu
terkoordinir yang melibatkan seluruh potensi pemerintah dan
masyarakat baik sebelum terjadi, saat terjadi maupun setelah
terjadi bencana.
2) Penetapan Tanggap Darurat selama 7 (tujuh) hari.

41
3) Mengkoordinasikan kegiatan penanganan bencana yang
dilakukan oleh berbagai lembaga baik pemerintah, swasta dan
masyarakat.
4) Penanggulangan bencana dilakukan sejak dini untuk mencegah
meluasnya dampak bencana, terutama korban manusia.
5) Penanganan bencana dilakukan dengan memprioritaskan
keselamatan jiwa manusia, dan target utama kelompok rentan.
Bagi korban yang luka-luka diberikan pengobatan, sedangkan
yang meninggal dunia segera dimakamkan.
6) Memantau dan melaporkan kerugian yang ditimbulkan oleh
bencana, baik harta benda maupun jiwa.
7) Memastikan bantuan dapat sampai ke daerah pengungsian
dengan mengerahkan seluruh petugas, relawan dan armada
angkutan.
8) Mendistribusikan bantuan dengan transparan sesuai dengan
aturan yang berlaku.
b. Strategi
1) Mengaktifkan POSKO untuk memantau dan mengendalikan
operasi penanganan bencana/kedaruratan.
2) Mengerahkan semua sumber daya dengan mengutamakan
sumber daya dan potensi lokal.
3) Mengerahkan unsur TNI dan POLRI untuk mendukung
pelaksanaan operasi tanggap darurat.
4) Menurunkan TRC dan melakukan penilaian kerusakan serta
taksiran kebutuhan dan prediksi perkembangan kejadian untuk
tanggap darurat, pemulihan darurat, rehabilitasi dan
rekonstruksi.
5) Memberikan informasi kepada masyarakat tentang
perkembangan penanganan bencana.

42
2. Pola Penanganan Bencana Banjir
Pola penanganan bencana banjir dilakukan dengan
mengutamakan upaya kesiapsiagaan dan kecepatan bertindak sejak
kesiapsiagaan tanggap darurat hingga pemulihan darurat.
a. Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan dilakukan oleh Pemerintah Daerah cq
SATLAK PB dan SATKORLAK PB. Sedangkan Pemerintah pusat
yang dikoordinasikan BAKORNAS PB sebagai unsur pendukung.
Upaya kesiapsiagaan yang biasanya dilakukan oleh pemerintah,
yaitu:
1) Memasang tanda ancaman pada jembatan yang rendah agar
tidak dilalui masyarakat pada saat banjir.
2) Mempersiapkan keperluan darurat selama banjir, seperti
peralatan untuk tindakan penyelamatan, misalnya perahu karet,
kendaraan dan bahan bakarnya; persediaan bahan pokok yang
diperlukan pada kondisi tanggap darurat, seperti makanan
pokok, obat-obatan, air bersih, selimut,peralatan memasak untuk
di tempat evakuasi, tempat evakuasi, dll (ADPC, 2005).
3) Melakukan perencanaan untuk melakukan evakuasi. Hal ini
terkait dengan koordinasi antara satu dengan yang lainnya, siapa
melakukan apa pada saat keadaan darurat, serta bagaimana
menyelamatkan diri menuju tempat yang aman (menentukan
jalur evakuasi dan tempat evakuasi) serta melakukan latihan
evakuasi.
4) Mengorganisasikan sistem keamanan pada keadaan darurat,
khususnya rumah hunian yang ditinggal mengungsi.

Sementara tindakan kesiapan/kesiapsiagaan yang dapat dilakukan di


tingkat masyarakat (keluarga dan individu) adalah sebagai berikut:
1) Menempatkan barang barang elektronik (pemanas air,
panel,meteran dan peralatan listrik) serta barang berharga

43
(ijasah, sertifikat tanah, dll) di tempat yang tinggi (tidak
terjangkau bencana banjir)
2) Menyiapkan alamat/no telp yang penting untuk dihubungi.
3) Menyediakan barang-barang kebutuhan darurat saat memasuki
musim penghujan ( seperti radio, obat obatan, makanan,
minuman, baju hangat dan pakaian, senter, lilin, selimut,
pelampung, ban dalam mobil atau barang-barang yang bisa
mengapung, tali dan korek api.
4) Pindahkan barang-barang rumah tangga seperti furniture ke
tempat yang lebih tinggi
5) Menyimpan surat-surat penting di dalam tempat yang tinggi,
kedap air dan aman
b. Tanggap Darurat
1) Kajian secara cepat dan tepat
Dengan pengkajian ini dapat diidentifikasikan
kebutuhan-kebutuhan seketika serta dapat mengembangkan
strategi penyelamatan jiwa dan pemulihan dini. Oleh karena itu,
tools pengkajian cepat ini harus responsive pada kebutuhan
korban yang beragam dari sisi umur, gender dan keadaan fisik
dan kebutuhan khususnya. Sebagai pengkajian menentukan
pilihan-pilihan bantuan kemanusiaan, bagaimana menggunakan
sumber daya sebaik-baiknya. Kaji cepat dan tepat dilakukan
pada umumnya dengan menggunakan beberapa indikator
diantaranya adalah :
a) Mencatat jumlah korban (luka/meninggal) akibat dari
bencana banjir
b) Memperkirakan kerugian harta benda yang dialami
masyarakat
c) Menilai kerusakan sarana dan prasarana
d) Menghitung cakupan luas wilayah yang terkena banjir
e) Menilai dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan

44
2) Status Keadaan Darurat
Menetapkan status keadaan darurat dilakukan dengan
dasar penilaian dari kajian secara cepat dan tepat, penentuan
status dilakukan sesuai besaran dampak yang ditimbulkan dari
bencana banjir. Saat status darurat telah ditetapkan, kemudian
dibentuk komando tanggap darurat dengan diberikan
kemudahan akses dalam mngerahkan sumber daya manusia
dalam melakukan penyelamat korban banjir, pengerahan
logistik, dan pengelolaan bantuan.
3) Penyelamatan dan Evakuasi
Evakuasi melibatkan pemindahan masyarakat dari zona
banjir ke lokasi yang lebih aman. Perhatian utama adalah
perlindungan kehidupan masyarakat dan perawatan segera bagi
mereka yang cedera.
a) Segera melakukan tindakan pencarian dan penyelamatan
korban yang hanyut dan terancam naiknya debit air
b) Pertolongan darurat dan pertolongan medis
c) Evakuasi masyarakat dari zona berisiko akan banjir susulan
atau ancaman naiknya debit air ke lokasi yang aman.
4) Pemenuhan Kebutuhan Dasar (Relief)
Pengadaan bantuan kemanusiaan berupa material dan
perawatan medis yang dibutuhkan untuk menyelamatkan dan
menjaga keberlangsungan hidup, seperti :
a) Menyediakan kebutuhan sanitasi dan air bersih
b) Penyediaan sandang dan pangan
c) Menyediakan Pos Pelayanan Kesehatan
d) Menyediakan penampungan dan tempat hunian
e) Menyediakan bantuan non pangan berupa peralatan masak
dan makan, penerangan dan bahan bakar.

45
5) Perlindungan
Penanganan korban dan pengungsi yang terkena banjir
dilakukan dengan kegiatan meliputi pendataan, penempatan
lokasi yang aman dan pemenuhan kebutuhan dasar dengan
memprioritaskan perlindungan terhadap korban yang terluka
parah dan kelompok rentan yaitu bayi, balita dan anak-anak; ibu
yang sedang mengandung dan menyusui; penyandang cacat, dan
lanjut usia.
6) Pemulihan Darurat
a) Mengembalikan sarana/prasarana vital yang rusak akibat
banjir agar dapat berfungsi normal dan masyarakat dapat
beraktivitas kembali.
b) Evaluasi penanganan darurat dan pernyataan tanggap
darurat selesai.

Tabel 4.3. Kegiatan dalam Tanggap Darurat


Kegiatan Pelaku/ Unsur Pelaksanaan
Satlak/satkorlak Sesaat setelah
Pendirian POSKO
PB kejadian
Satlak/satkorlak Sesaat setelah
Pengerahan Tim Reaksi Cepat
PB kejadian
Satlak/satkorlak
Pemenuhan kebutuhan dasar di Sesaat setelah
PB/sektor
penampungan sementara kejadian
terkait
Pemberian layanan air bersih, Selama masa
Dinas PU
jamban dan sanitasi darurat
Pemberian layanan kesehatan, Dinas Selama masa
perawatan dan rujukan Kesehatan darurat
Selama masa
Pengoperasian alat-alat berat Dinas PU
darurat
Pengerahan sarana transportasi Dinas Selama masa
udara/laut Perhubungan darurat
Koordinasi dan komando (satlak / Satlak/satkorlak Selama masa
satkorlak PB/Bakornas PB) PB darurat
Setiap saat
Satlak/satkorlak
Pelaporan selama masa
PB
darurat

46
3. Proyeksi Kebutuhan dan Pengerahan Sumber Daya
a. Kebutuhan Sumber Daya
Kebutuhan sumber daya untuk menangulangi bencana banjir
di 4 kecamatan di Kabupaten Barru, yaitu sumber daya manusia
(dalam hal ini tenaga kesehatan dan non kesehatan yang terkait
dengan penanganan bencana) dan sumber daya alam.
b. Pengerahan Sumber Daya Sektoral
Masing-masing instansi penanggung jawab sektor
mengerahkan sumber daya yang ada di bawah lingkup
kewenangannya, baik sumber daya yang dimiliki pemerintah
maupun non-pemerintah. Pengerahan dilakukan sejak tahap
kesiapsiagaan sampai dengan pemulihan darurat.
c. Dukungan BAKORNAS PB
Untuk mendukung pengerahan sumberdaya tersebut,
BAKORNAS PB akan memback-up instansi/penanggung jawab
sektor dalam penanganan bencana, termasuk pendanaan sejak tahap
kesiapsiagaan sampai dengan pemulihan darurat. Tanggung jawab
pasca-bencana (setelah pemulihan darurat), dikembalikan kepada
masing-masing instansi sektor terkait.
d. Rencana Biaya
Pemerintah Kabupaten seharusnya menyediakan dana untuk
program penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dalam
bentuk dana segar yang siap digunakan oleh setiap instansi terkait
termasuk Dinas Kesehatan bila terjadi bencana di wilayahnya.
Pembiayaan bidang kesehatan meliputi pengadaan obat, alat
kesehatan, makanan, pendirian posko pelayanan kesehatan, biaya
operasional kendaraan, komunikasi , dan biaya operasional lainnya
dilapangan.
Perkiraan anggaran yang dibutuhkan dalam rangka
penanggulangan banjir di Kabupaten Barru adalah sebagai berikut :

47
Tabel 4.4. Perkiraan Anggaran Penanggulangan Banjir di
Kabupaten Barru

Estimasi
No Kegiatan
Anggaran
1. Tahap Pra Bencana dan Bencana
a. Pengadaan tenda penampungan Rp 40.000.000
b. Persediaan stok obat-obatan Rp 50.000.000
c. Pembuatan sanitasi Rp 30.000.000
d. Pengadaan alat perlindungan Rp 40.000.000
e. Persediaan kebutuhan sembako Rp 60.000.000
2. Tahap Pasca Bencana
a. Pengadaan tempat bimbingan dan Rp 30.000.000
konseling
b. Perbaikan sarana fisik maupun non Rp 100.000.000
fisik dalam bentuk sementara
c. Membangun kembali sarana- Rp 500.000.000
prasarana umum dan sosial, rumah
penduduk dan lingkungan
4. Tahap Mitigasi
Perencanaan, pengorganisasian, Rp 100.000.000
kesiapan masyarakat, kesiapan institusi
kesehatan dan kesiapan institusi lain.
5. Monev Rp 15.000.000
Total anggaran Rp 965.000.000

4. Koordinasi dan Rencana Pelaksanaan


a. Tingkat Kabupaten/Kota
Bupati/Walikota selaku Ketua SATLAK PB menunjuk
Komandan Penanganan Darurat (Incident Commander) untuk
mengendalikan operasi. Tugas Komandan Penanganan Darurat
adalah sebagai berikut:
1) Mengendalikan pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana
banjir.
2) Menyusun perencanaan dan kesiapsiagaan daerah berdasarkan
tingkat kerawanan bencana

48
3) Membuka POSKO di lapangan dan mengaktifkan Ruang Posko
Crisis Centre.
4) Memberlakukan Rencana Operasi menjadi Perintah Operasi
Tanggap Darurat.
5) Melaporkan tindakan yang telah diambil dan upaya serta saran-
saran kepada Ketua SATLAK PB yang tembusannya
disampaikan kepada Ketua SATKORLAK PB dan Ketua
BAKORNAS PB Cq Kalakhar BAKORNAS PB melalui Posko
Crisis Centre.
b. Unsur Teknis dari Dinas atau Badan terkait
Dalam pelaksanaan tugas, Satlak PB didukung oleh instansi
Teknis/Dinas/lembaga tingkat Kabupaten/Kota antara lain Dinas
Kesehatan, Dinas PU, Dinas Sosial, Dinas Kebersihan, dan Badan
Kesbang Linmas/lembaga terkait.
c. Instansi Teknis Pusat di Kabupaten/ Kota
Pelaksanaan tugas SATLAK PB berserta unsur teknis dalam
penanggulangan banjir juga didukung oleh Instansi Teknis Pusat
antara lain BMG, TNI (KODIM), Kepolisian (POLRES), dan
BASARNAS (SAR).
d. Unsur Masyarakat
Unsur masyarakat yang dapat berperan serta dalam upaya
penggulangan banjir sejak kesiapsiagaan sampai tanggap darurat
selesai, antara lain PMI, Pramuka, Lembaga Swadaya Masyarakat,
RAPI, ORARI, dan organisasi/pihak-pihak lain.

5. Pemantauan dan Rencana Tindak Lanjut


a. Terjadi bencana
1) Rencana Kontinjensi ini diberlakukan sebagai Rencana Operasi
Tanggap Darurat dengan melakukan kajian cepat ke lokasi
bencana.
2) Rencana Kontinjensi berlaku hingga musim hujan berakhir.

49
3) Pola penanganan/pengorganisasian didasarkan pada system
operasi Incident Command System (ICS).
4) Hal-hal yang tidak/belum terakomodasikan dalam Rencana
Kontinjensi ini, secara otomatis dilaksanakan oleh masing-
masing sektor beserta semua pihak yang terlibat di dalamnya.
5) Semua pihak dari unsur pemerintah maupun non-pemerintah
diharapkan berpartisipasi aktif dalam penanggulangan bencana
banjir.
6) Pengakhiran masa berlaku Rencana Kontinjensi didahului
dengan pernyataan resmi tentang selesainya penanganan darurat.
b. Tidak terjadi bencana
1) Jika musim penghujan telah berakhir dan tidak ada lagi potensi
bencana banjir, maka Rencana Kontinjensi dapat dinyatakan
tidak berlaku lagi dan posisi sumberdaya yang telah di-plot
dalam Rencana Kontinjensi kembali ke asal/posisi semula di
masing-masing sektor/instansi.
2) Dilakukan pemutakhiran/validasi data dan sumber daya melalui
pertemuan berkala dengan sektor-sektor terkait untuk
menghadapi ancaman banjir pada tahun berikutnya.

50
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Jenis bencana yang mendominasi di Kabupaten Barru tahun 2016 adalah
banjir, tanah longsor, puting beliung dan kebakaran lahan. Dari bencana
tersebut, banjir merupakan bencana yang diprioritaskan untuk ditangani
berdasarkan hasil perhitungan analisis risiko bencana.
2. Mapping risiko bencana banjir di Kabupaten Barru meliputi beberapa
kecamatan yang berisiko mengalami banjir yang dibedakan atas risiko
rendah, sedang, dan tinggi.
3. Pengembangan skenario bencana banjir di Kabupaten Barru terdiri dari
skenario kejadian (berdasarkan kejadian bencana banjir tahun 2016) dan
skenario dampak (demografi, wilayah, infrastruktur, ekonomi, social
budaya, kesehatan, serta keamanan dan ketertiban).
4. Rencana kontinjensi bencana banjir di Kabupaten Barru meliputi
penetapan kebijakan dan strategi, pola penanganan bencana (tanggap
darurat), proyeksi kebutuhan dan pengerahan sumber daya, koordinasi
dan rencana pelaksanaan, serta pemantauan dan rencana tindak lanjut.

B. Saran
1. Diharapkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Barru khususnya
Badan Penanggulangan Bencana Daerah agar aktif melakukan sosialisasi
tentang potensi bencana di Kabupaten Barru agar tercipta kesiapsiagaan
dari masyarakat setempat yang berada pada daerah yang rawan terjadi
bencana alam.
2. Dalam penyusunan rencana kontinjensi perlu melibatkan semua lembaga
yang terkait agar dapat bersama-sama merumuskan tugas masing-masing
lembaga dalam penanganan bencana.
3. Perlu adanya simulasi bencana banjir secara rutin yang melibatkan
masyarakat setempat yang berada pada daerah yang rawan banjir.

51
DAFTAR PUSTAKA

Bakornas PB. 2007. Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di


Indonesia. Jakarta: Badan Koordinasi Nasional PB.

BBC Indonesia. 2016. Jumlah Bencana di Indonesia Mencapai Rekor pada 2016.
Jakarta: British Broadcasting Corporation Indonesia. Retrieved 1 Desember,
2017, from http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38456759.

BNPB. 2008. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana


Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Penanggulangan
Bencana. Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

BNPB. 2010. Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014. Jakarta:


Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

BNPB. 2013. Indeks Risiko Bencana Indonesia. Jakarta: Badan Nasional


Penanggulangan Bencana.

BPBD Provinsi Sulsel. 2017. Data Bencana Per Daerah di Sulsel Tahun 2016.
Makassar: Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan.

BPBD Provinsi Sulsel. 2017. Peta Rawan Bencana Sulsel. Makassar: Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.

BPS Kabupaten Barru. 2017. Kabupaten Barru dalam Angka 2017. Barru : Badan
Pusat Statistik Kabupaten Barru.

DIBI BNPB. 2017. Statistik Bencana Indonesia 2017. Jakarta: Data dan Informasi
Bencana Indonesia Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Retrieved 1
Desember, 2017, from http://dibi.bnpb.go.id/.

Islamadina, R. & Nasaruddin. 2012. Aplikasi Web Sistem Informasi Geografis


Untuk Multi Risiko Bencana Aceh. Jurnal Rekayasa Elektrika;10(1):25-31.

Kamadhis UGM. 2007. Bencana Alam. Buletin Kamadhis UGM Nomor.XXVII.


Yogyakarta.

Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun


2007 Tentang Penaggulangan Bencana. Lembaran Negara RI Tahun 2007,
No. 66. Sekretariat Negara. Jakarta.

52
Vidiriana, Henni Dwi. 2010. Perencanaan Kontinjensi: Tinjauan tentang
beberapa Pedoman Perencanaan dan Rencana Kontinjensi. Jakarta.

Widayatun, Fatoni Zainal. 2013. Permasalahan Kesehatan dalam Kondisi


Bencana: Peran Petugas Kesehatan Dan Partisipasi Masyarakat. Jurnal
Kependudukan Indonesia, 8(1): 37-52.

53

Anda mungkin juga menyukai