Anda di halaman 1dari 47

BAGIAN FORENSIK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2020

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

PENANGANAN JENAZAH PADA SITUASI BENCANA

Disusun Oleh:

Nuryanti Utami Eka Putri Nasrul

11120182100

Pembimbing

dr. Denny Mathius, Sp.F, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN FORENSIK

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2020

LEMBAR PENGESAHAN
1
Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Nuryanti Utami Eka Putri Nasrul

NIM : 111 2018 2100

Laporan Kasus : Penanganan Jenazah Pada Situasi Bencana

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian

Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, Juli 2020

Pembimbing

dr. Denny Mathius, Sp.F, M.Kes

BAB I

2
PENDAHULUAN

Indonesia merupakan sebuah negeri yang rawan bencana. Sejarah


mencatat bahwa Indonesia pernah menjadi tempat terjadinya dua letusan
gunung api terbesar di dunia. Pada tanggal 26 Desember 2004, sebuah
gempa bumi besar terjadi di dalam laut sebelah barat Pulau Sumatra di
dekat Pulau Simeuleu. Gempa bumi ini memicu tsunami yang
menewaskan lebih dari 225.000 jiwa di sebelas negara dan menimbulkan
kehancuran hebat di banyak kawasan pesisir di negara-negara yang
terkena. Bencana itu sendiri merupakan suatu peristiwa yang terjadi
secara tiba-tiba disertai jatuhnya banyak korban dan bila tidak ditangani
dengan tepat akan menghambat, mengganggu dan merugikan
masyarakat, serta mengambat pelaksanaan pemulihan infrastruktur.
Bencana tersebut dapat berupa bencana alam dan bencana yang
diakibatkan oleh manusia. Beberapa contoh dari bencana alam adalah
bencana gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, gerakan tanah,
banjir,dan beberapa contoh dari bencana yang diakibatkan oleh manusia
adalah kebakaran hutan dan lahan, kebakaran gedung dan pemukiman,
kegagalan teknologi, endemi dan wabah penyakit, serta konflik sosial
seperti terorisme1.
Untuk menghadapi peningkatan potensi dan kompleksitas bencana di
masa depan dengan lebih baik, maka diperlukan suatu persiapan yang
baik dalam penanganan suatu bencana. Terutama pada kasus bencana
dengan kasus korban meninggal dunia yang tinggi, dibutuhkan
penanganan khusus dalam menangani jenazah yang ada. Pada beberapa
kasus sering terlihat jika jenazah-jenazah korban bencana tersebut
dikuburkan secara massal pada satu liang kubur. Hal ini dikarenakan
berkembangnya beberapa mitos yang mengatakan jika jenazah tersebut
dapat menyebabkan suatu edemi penyakit sehingga harus segera
dimusnahkan. Faktanya, banyak mitos yang berkembang di masyarakat
salah dan menyebabkan kerugian karena penguburan masal tersebut
3
dapat menyebabkan hilangnya kesempatan dalam pengidentifikasian
jenazah. Kegagalan dalam proses pengidentifikasian akan menyebabkan
penderitaan pada keluarga dari berbagai aspek 2.
Mengingat Indonesia merupakan daerah rawan bencana menyebabkan
penulis tertarik untuk mengangkat topik ini dalam penulisan karena
dibutuhkan suatu wawasan lebih dalam persiapan dan penanganan
terhadap suatu bencana yang terorganisir dan tersiapkan dengan baik
dapat meminimalisis kesalahan-kesalahan yang terjadi selama proses
penanganan bencana. Dan juga perlu diperhatikan aspek-aspek apa saja
yang dipengaruhi oleh bencana tersebut agar bisa rencana
penanggulangan bencana yang telah disusun dapat mencapai hasil yang
maksimal dan sesuai dengan yang diinginkan.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PERSIAPAN TERHADAP BENCANA MASAL


Dalam situasi bencana, negara dan pemerintah tidak hanya dipersiapkan
untuk memberikan bantuan langsung kepada korban bencana namun juga
mempertahankan infrastruktur setelah bencana terjadi. Penanganan akhir
jenazah akibat bencana juga menjadi tanggung jawab negara, terlepas
dari jumlah mereka. Pemerintah harus memiliki peran penting dalam
keseluruhan proses yaitu untuk mengatur segala pelayanan yang terlibat
dalam pengelolaan jenazah. Harus ada rencana yang terpadu dalam
menangani korban meninggal tersebut karena akan memiliki dampak yang
signifikan terhadap anggota keluarganya yang masih hidup 2.
 Koordinasi Institusi Terkait
Penanganan jenazah melibatkan serangkaian kegiatan yang dimulai
dengan pencarian mayat, pengidentifikasian tubuh, pentransferan ke
fasilitas pemakaman, pengiriman jenazah kepada anggota keluarga,
serta penanganan akhir jenazah sesuai dengan keinginan keluarga
dan mengikuti agama dan norma-norma budaya masyarakat. Hal ini
membutuhkan keterlibatan banyak orang termasuk tim penyelamat,
ahli kedokteran forensik, jaksa, polisi, tenaga administrasi, psikolog,
perwakilan dari LSM dan organisasi internasional, serta relawan
masyarakat. Harus ada koordinasi yang memadai dari semua pihak
untuk menghindari penyalahgunaan sumber daya. Untuk itu, salah
satu tugas dari Komite Operasional Darurat (di Indonesia dikenal
sebagai Badan Nasional Penanggulangan Bencana) pada suatu
negara harus menjadi pihak yang menangani jenazah dalam situasi
bencana. Jika secara hukum Badan Nasional Penanggulangan
Bencana ini tidak berfungsi, maka harus ditentukan institusi yang
bertanggung jawab seperti kementrian publik, cabang yudikatif,

5
departemen kesehatan, dan lainnya. Lembaga yang bertanggung
jawab harus berkoordinasi dengan lembaga lain yang terkait, termasuk
konseling psikologis bagi kerabat korban setelah terjadi bencana.
Kegagalan institusi dalam melakukan koordinasi ini akan berdampak
negatif terhadap seluruh proses pengelolaan jenazah selama
bencana2.

Manajemen Jenazah

Institusi yang bertanggung jawab

Tim Terkait

Pencarian dan Identifikasi Keputusan akhir Bantuan untuk


penemuan jenazah anggota keluarga
- -Kementrian dalam
negeri
-Kementrian
-Warga sipil kesehatan -Pemerintah daerah
-Pemadam kebakaran -Kementrian publik -Makam -Kementrian
-PMI -Departemen -Kamar jenazah Kesehatan
-Kantor pengacara Kesehatan -Gereja -Departemen
publik -Pengadilan Umum -Pemerintah Pusat Kesehatan

Bagan 1. Struktur Administratif penanganan jenazah pada bencana 2

Tugas penyelenggaraan penanggulangan bencana ditangani oleh Badan


Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat pusat dan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat daerah 3.
a. Tingkat pusat
1) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
BNPB merupakan lembaga pemerintah non departemen
setingkat menteri yang memiliki fungsi merumuskan dan
menetapkan kebijakan penanggulangan bencana dan
penanganan pengungsi secara cepat, tepat, efektif dan efisien
serta mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penanggulangan

6
bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh 3. Adapun
tugas dari BNPB adalah sebagai berikut3:
a. Memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha
penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan
bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan
rekonstruksi secara adil dan setara;
b. Menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan peraturan
perundangundangan;
c. Menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
d. Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana
kepada Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi normal
dan pada setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
e. Menggunakan dan mempertanggungjawabkan
sumbangan/bantuan nasional dan internasional;
f. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang
diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
g. Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan
perundangundangan;
h. Menyusun pedoman pembentukan BPBD.
2) Kementerian Kesehatan
Tugas dan kewenangan Kementerian Kesehatan adalah
merumuskan kebijakan, memberikan standar dan arahan serta
mengkoordinasikan penanganan krisis dan masalah kesehatan
lain, baik dalam tahap sebelum, saat maupun setelah terjadinya.
Dalam pelaksanaannya dapat melibatkan instansi terkait, baik
pemerintah maupun non pemerintah, LSM, lembaga
internasional, organisasi profesi maupun organisasi
kemasyarakatan sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku. Selain itu Kementerian Kesehatan secara aktif
membantu mengoordinasikan bantuan kesehatan yang
7
diperlukan oleh daerah yang mengalami situasi krisis dan
masalah
kesehatan lain 3.
b. Tingkat daerah
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) adalah
perangkat daerah yang dibentuk untuk melaksanakan tugas dan
fungsi penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah. Pada
tingkat provinsi BPBD dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di
bawah gubernur atau setingkat eselon Ib dan pada tingkat
kabupaten/kota dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah
bupati/walikota atau setingkat eselon IIa. Kepala BPBD dijabat
secara rangkap (ex‐officio) oleh Sekretaris Daerah yang
bertanggungjawab langsung kepada kepala daerah 3.
BPBD mempunyai fungsi3 :
1) Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan
bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak
cepat dan tepat, efektif dan efisien;
2) Pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh.
BPBD mempunyai tugas3 :
1) Menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan
kebijakan pemerintah daerah dan BNPB terhadap usaha
penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan
bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi
secara adil dan setara;
2) Menetapkan standardisasi serta kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan
Perundangundangan;
3) Menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan
bencana;

8
4) Menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan
bencana;
5) Melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana
pada wilayahnya;
6) Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana
kepada kepala daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi
normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
7) Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan
barang;
8) Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang
diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
9) Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan
perundangundangan.
Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota sebagai salah satu
anggota unsur pengarah penanggulangan bencana memiliki
tanggung jawab dalam penanganan kesehatan akibat bencana
dibantu oleh unit teknis kesehatan yang ada di lingkup provinsi dan
kabupaten/kota. Pelaksanaan tugas penanganan kesehatan akibat
bencana di lingkungan dinas kesehatan dikoordinasikan oleh unit
yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Kesehatan dengan surat
keputusan3.
Tugas dan kewenangan dinas kesehatan provinsi dan
kabupaten/kota adalah melaksanakan dan menjabarkan kebijakan,
memberikan standar dan arahan serta mengkoordinasikan kegiatan
penanganan kesehatan akibat bencana di wilayah kerjanya. Jika
memerlukan bantuan kesehatan karena ketidakseimbangan antara
jumlah korban yang ditangani dengan sumber daya yang tersedia
di tempat, dapat meminta bantuan ke Kemenkes Pusat
Penanggulangan Krisis maupun ke pusat bantuan regional 3.

9
Bagan 2. Hubungan antara Organisasi atau Institusi terkait 3

 Pembentukan Tim
Dasar objektif dari penanganan bencana secara umum adalah
menyelamatkan sebanyak mungkin korban hidup pada bencana
tersebut, atau paling tidak meminimalisasi kemungkinan cedera dan
penyakit pada korban yang diakibatkan oleh suatu bencana. Namun
dasar objektif medikolegal pada kasus korban meninggal berbeda,
dimana objektifnya adalah2:
 Secara legal menentukan atau mengumumkan kematian
 Memulihkan kondisi jenazah
 Memastikan identitas korban yang meninggal
 Memastikan waktu meninggal
 Memperkirakan penyebab kematian
 Menjelaskan kemungkinan yang mempengaruhi kematian
 Mempersiapkan jenazah pada tempat peristirahatan terakhir
 Mempelajari kejadian tersebut sebagai persiapan
pencegahan di masa depan.
Untuk menghasilkan hasil akhir yang baik, maka dibutuhkan
keikutsertaan berbagai partisipan untuk mewujudkan tim penanganan
bencana yang baik. Partisipan terbagi menjadi dua kelompok besar
berdasarkan bagaimana mereka berpartisipasi, posisi mereka, dan ada
atau tidaknya pengetahuan spesialistik atau pelatihan mengenai
10
penanganan bencana dan tugas spesifik yang akan dilakukan. Dua
kelompok tersebut yaitu2:
 Disaster profesionals
a. Personil kesehatan
Idealnya personil kesehatan haruslah personil yang telah
mendapat pelatihan dalam menangani korban meninggal
massal dalam suatu bencana. Dalam suatu tim harus terdiri
dari dokter yang telah mendapat pelatihan teori yang
adekuat, memiliki beberapa pengalaman praktis, dan tahu
bagaimana mengintegrasikan tindakan dengan partisipan
lain seperti pemadam kebakaran, personil penyelamat dari
latar belakang yang berbeda, polisi, kriminologis, dan
lainnya. Proses pengidentifikasian jenazah dilakukan oleh
tim antropologi forensik atau menggunakan laboratorium
regional untuk mengecek genetik, skrining toksikologi, serta
rontgen. Dalam bencana yang sangat besar dan melibatkan
orang asing sebagai korban, maka dibutuhkan bantuan
sumber daya nasional dan internasional dalam bantuan
pengidentifikasian.
b. Polisi, pemadam kebakaran, dan tenaga khusus lainnya
Polisi dan tim pemadam kebakaran umumnya telah
mendapatkan pelatihan khusus dalam menghadapi suatu
bencana. Tim palang merah juga merupakan salah satu tim
yang telah mendapatkan pelatihan khusus. Namun beberapa
pengalaman menunjukkan jika tim yang berasal dari non
medis cenderung memberikan prioritas yang sama dalam
pengevakuasian jenazah dan orang yang masih hidup
karena tim yang berasal dari non medis kesulitan
menegakkan diagnosis, kurangnya pelatihan, dan persiapan
yang kurang dalam menghadapi situasi ini.
c. Kriminologi, Forensik Genetik, dan Ahli Bencana
11
Kriminologi adalah suatu studi yang berfokus pada
pemeriksaan material yang bisa menjadi bukti dalam suatu
tindakan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang atau
suatu studi yang mempelajari lokasi kejadian, material yang
didapat dari lokasi kejadian, noda-noda, proyektil, sepatu,
dan elemen lainnya yang dapat menjadi suatu bukti tindak
kriminal. Pada kejadian bencana alam, seorang ahli
kriminologi (kriminologis) juga memiliki peran penting, misal
dalam pendokumentasian dan mempelajari lokasi bencana,
investigasi kendaraan yang berhubungan dengan bencana,
studi tentang tubuh, sekresi, dan faktor biologis lainnya yang
digunakan dalam tujuan identifikasi. Forensik genetik adalah
salah satu alat yang penting dalam proses identifikasi.
Teknik ini menggunakan pengelompokan klasik golongan
darah ABO dan rhesus, studi imunologis terhadap human
leukocyte antigens (HLA), pengembangan biologi molecular
berupa analisis DNA. Jika teknik ini diindikasikan dalam
beberapa kasus, maka specimen biologis harus dikumpulkan
dan disimpan sejak awal investigasi karena kemungkinan
akan dibutuhkan di waktu mendatang. Seorang ahli bencana
(disaster expert) ditujukan pada seseorang yang
mendedikasikan dirinya untuk mempelajari suatu bencana.
Seorang ahli bencana tidak diharuskan memiliki latar
belakang pendidikan khusus, bisa dilatarbelakangi oleh
pendidikan engineering, kesehatan, kedokteran gigi,
kedokteran hewan, geografi, seismologi, meteorology,
cybernet, fisika, dan matematika. Pada suatu ilmu forensik
dibutuhkan suatu pendekatan komprehensif mengingat
banyak pertanyaan yang bisa muncul terhadap segala
situasi, tidak harus berpatokan pada suatu identifikasi saja.
d. Arsitek, insinyur, dan professional lainnya
12
Peran kelompok pasrtisipan ini adalah sebagai kelompok
multi dan interdisiplin yang berkoordinasi untuk membentuk
suatu rencana darurat terhadap suatu area dimana mereka
bekerja untuk mendapatkan hasil yang baik setelah suatu
bencana.
e. Jurnalis dan personil media
Peran jurnalis dan personil media sangatlah kompleks dalam
situasi bencana karena memiliki peran penting dalam
menyalurkan informasi kepada masyarakat luas mengenai
pencarian dan penolong, serta mengenai identifikasi dan
persiapan jenazah ke penempatan akhir.
f. Penegak hukum
Penegak hukum memiliki peran dalam pengambilan
keputusan yang behubungan dengan legalitas. Mereka
dapat berperan pada awal investigasi jika bencana tersebut
dicurigai diakibatkan oleh manusia. Hal ini banyak
diterapkan dalam kasus kecelakaan lalu lintas dan kejadian
penerbangan, dan penegak hukum dibutuhkan untuk
mengambil keputusan berbagai prosedur seperti otopsi dan
investigasi forensik lainnya, serta pengembalian jenazah ke
keluarganya.
 Partisipan lainnya dalam merespon bencana
a. Pemerintah dan pemimpin komunitas
Pemerintah memiliki peran kritis dalam merespon bencana.
Salah satu kewenangan pemerintah adalah dalam
memutuskan mobilisasi segera petugas keamanan, dan
permintaan keikutsertaan pihak luar ketika sumberdaya lokal
tidak mampu mengatasi situasi darurat tersebut. Karena
keputusan utama berada di tangan pemerintah, maka
pemerintah harus mendengar keputusan dari pihak ahli.
Pihak ahli sebagai penasihat harus menjelaskan keputusan
13
terbaik untuk mengatasi masalah yang ada secara adekuat
karena berhubungan dengan tingginya angka kematian.
b. Institusi agama dan kelompok-kelompok lokal
Kelompok partisipan ini memiliki peran yang sangat penting di
hampir seluruh negara karena dapat dengan cepat
menghimpun informasi mengenai data investigasi dan
menghubungi anggota keluarga dalam proses
pengidentifikasian termasuk pengiriman jenazah kembali ke
anggota keluarga.
c. Perusahaan pemakaman, penggali kubur, dan lainnya
Perusahaan pemakaman merupakan bagian yang paling
stabil dan cenderung dipersiapkan dengan baik dalam
menghadapi bencana dengan banyak korban meninggal
karena mereka telah terlatih menangani jenazah dan
menghadapi keluarga yang ditinggalkan. Pada beberapa
negara perusahaan pemakaman memiliki kewajiban untuk
menuruti aturan pengkremasian dan pengawetan jenazah,
serta mengurusi transportasi jenazah terutama saat jenazah
akan dikembalikan kepada keluarga masing-masing.
d. Perwakilan diplomat dan konsulat
Perwakilan diplomat dan konsulat akan terlibat jika ada warga
negaranya yang ikut di dalam bencana tersebut. Seringkali
hal ini terjadi pada kejadian-kejadian yang berhubungan
dengan transportasi antar negara. Mereka memiliki peranan
penting dalam menemukan informasi mengenai dugaan
korban terutama dalam melakukan kontak segera dengan
anggota keluarga dan menggali informasi yang dibutuhkan.
e. Tukang masak dan personil pelayanan lainnya
Tukang masak dan personil pelayanan lainnya memiliki peran
yang sangat penting, mengingat proses pencarian,
pemulihan, dan pengidentifikasian korban akan memakan
14
waktu yang lama sehingga dibutuhkan suplai makanan dan
minuman yang memadai di tempat-tempat pengungsian. Jasa
kebersihan, fasilitas mencuci, area makan, jasa telepon,
hingga jasa transportasi seperti taxi juga dibutuhkan.
f. Anggota keluarga, tetangga, dan publik umum
Anggota keluarga, tetangga, dan publik umum hampir selalu
hadir dalam situasi bencana tersebut sebelum pihak yang
berwenang hadir. Mereka dapat membantu bahkan
menghalangi kerja dalam merespon bencana. Hal ini dapat
dimengerti karena anggota keluarga merasa cemas dan akan
menghadapi masa-masa yang sulit sehingga menunjukkan
sikap yang tidak rasional.
 Koordinasi Pengoperasian
Pengalaman penatalaksaanaan bencana menunjukkan suatu hasil
yang efektif akan terbentuk ketika partisipan telah dipersiapkan dengan
baik dan koordinator pengoperasian memiliki pengetahuan yang baik,
wibawa, dan kemampuan kepemimpinan. Memiliki banyak pemimpin
tanpa suatu mandat serta pekerja yang banyak tanpa suatu arahan
yang jelas akan memberikan hasil yang tidak efektif 2.
 Pencarian informasi
Informasi merupakan dasar dalam pengambilan keputusan
terutama pada kondisi bencana. Mengetahui bencana yang kita
hadapi, kemungkinan jumlah korban meninggal dan kondisi
jenazah yang ada, serta memperkirakan kondisi cuaca dapat
mempengaruhi respon kita terhadap bencana tersebut 2.
 Tempat, peristiwa, dan resiko
Untuk menghadapi suatu bencana, maka diperlukan suatu
penggalian informasi dasar agar dapat membentuk rencana darurat
yang baik dan terstruktur. Informasi yang digali harus meliputi
tempat, tipe, dan keparahan bencana, kondisi pengoperasian,
sumber daya yang tersedia, dan aspek penting lainnya yang
15
berkaitan dengan bencana tersebut. Setelah bencana terjadi,
dokter atau tim professional lainnya yang bertugas untuk
mengkoordinasi penanganan pasca bencana harus menentukan
dan memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi
menurut2:
o Tipe kejadian
o Kapan dan dimana itu terjadi
o Jumlah atau perkiraan jumlah korban hidup dan meninggal
o Lokasi penampungan, termasuk lokasi pengumpulan jenazah
o Akses menuju lokasi bencana, penolong, dan lokasi
pengumpulan jenazah
o Waktu estimasi penemuan jenazah
o Kondisi jenazah, identitas, dan adanya orang asing
o Kemungkinan bahaya yang terdapat pada lokasi bencana
o Kondisi cuaca dan perkiraan cuaca
o Adanya sumber daya yang merespon pada situasi darurat
 Perkiraan korban
Memperkirakan korban yang ada akan membantu dalam
penemuan dan pengidentifikasian jenazah. Jika telah ada
bayangan umum mengenai perkiraan korban, pencarian informasi
harus segera dilakukan untuk membuat suatu penelusuran
identifikasi di setiap kasus2.
Identifikasi yang dilakukan haruslah berdasarkan perbandingan
informasi yang didapatkan dari jenazah (data post-mortem) dan
informasi perkiraan korban bencan (data ante-mortem). Hal ini akan
mempercepat proses medikolegal dan akan lebih mudah jika
informasi tersebut diproses dalam komputer dan software khusus
yang dibuat untuk menangani bencana. Pengumpulan data ante-
mortem mengenai dugaan korban memiliki beberapa tantangan,
dalam hal ini adalah ketika mewawancari orang-orang terdekat dari

16
korban, orang-orang tersebut cenderung enggan kooperatif karena
susah menerima kenyataan jika orang yang dicintainya meninggal.
Jika pada proses wawancara ini mengalami kesalahan informasi,
maka akan mengacaukan proses identifikasi berikutnya. Kesalahan
informasi yang sering terjadi adalah mengenai sisi tubuh mana
yang ingin di deskripsikan oleh informan, karena yang dilihat oleh
informan berkebalikan dengan sisi informan tersebut. Makadari itu
untuk mengurangi kesalahan-kesalahan yang mungkin timbul
sebaiknya dilakukan penggalian informasi dari banyak sumber dan
kemudian dibuatkan rentang mengenai informasi tersebut, sebagai
contoh tinggi tubuh 165-170 cm, usia 20-24 tahun 2.
Data ante-mortem yang bisa didapatkan berupa 2:
 Pakaian yang digunakan, termasuk jenis, warna, ukuran,
karakteristik khusus, merek, dan rincian lainnya
 Perhiasan yang digunakan, termasuk tipe, jumlah, bentuk
dan warna, ukuran, karakteristik, dan detail lainnya
 Dokumen yang dibawa, termasuk tipe, nomer, lokasi, dan
data lainnya
 Dokumen yang korban tidak bawa, seperti foto yang bisa
digunakan untuk membandingkan dan sidik jari
 Data kesehatan dan data lainnya yang berhubungan dengan
informasi klinis
 Karakteristik dugaan korban, seperti umur, jenis kelamin,
ras, tinggi; karakteristik khusus (jaringan parut, tanda lahir,
tatto); warna rambut (alami atau pengecatan); kumis dan
jenggot; gigi palsu, dental chart; golongan darah dan
informasi genetik lainnya, rontgen, data mengenai trauma
ante-mortem, abnormalitas, dan ortopedi serta protese;
penyakit; riwayat operasi dan konsekuensi khusus.

17
II. 2 PENATALAKSANAAN KORBAN MENINGGAL PADA BENCANA
MASSAL
Penatalaksanaan korban meninggal pada bencana masal di Indonesia
mengacu pada Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Kapolri
No. 1087/Menkes/SKB/IX/2004 dan No. Pol Kep/40/IX/2004, Pedoman
Pelaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana Massal 3.
 Pemindahan Jenazah
Ketika suatu bencana terjadi, salah satu hal kompleks yang sering
terjadi adalah pada saat penemuan jenazah korban bencana.
Pemindahan jenazah dari lokasi kejadian adalah salah satu aspek
terpenting dalam investigasi yang berperan pada aspek medikolegal.
Sayangnya, perhatian khusus pada proses pemindahan jenazah sering
terabaikan dikarenakan kurangnya pengetahuan mengenai metode
investigasi, sedikitnya personil yang dapat menyelesaikan kerja dalam
waktu singkat, dan adanya tekanan sosial terus menerus yang
meminta pemindahan jenazah segera dari lokasi bencana.
Pemindahan jenazah secara segera dari lokasi bencana dapat
menghilangan bukti-bukti yang ada dan dapat mengganggu proses
identifikasi jenazah terutama jenazah yang hanya berupa bagian
tubuh2.
1) Prosedur pada lokasi bencana
Ketika pemberitahuan mengenai suatu bencana diumumkan, tim
ahli dan asistennya akan segera dikirim ke lokasi bencana tersebut
bila memungkinkan. Yang akan langsung dilakukan adalah mencari
apakah terdapat korban selamat, memindahkan puing-puing
menggunakan tangan atau mesin, memadamkan api, dan
mengontrol gas beracun yang mengalami kebocoran. Setelah
menyelamatkan korban selamat dan menyelamatkan infrastruktur
yang ada, maka prosedur berikutnya adalah memindahkan
jenazah. Pemindahan jenazah harus menggunakan sketsa yang
digambarkan lokasi tempat jenazah tersebut ditemukan dan lokasi
18
jenazah tersebut setelah dipindahkan atau menggunakan
dokumentasi fotografi untuk membantu proses penyidikan
kedepan2.
2) Pemindahan jenazah
Ketika survey awal telah selesai dan jenazah telah dipindahkan,
maka jenazah tersebut harus dikumpulkan pada suatu area untuk
memudahkan pemeriksaan atau dipindahkan ke suatu lokasi
dimana pemeriksaan akhir dan penempatan jenazah telah dipilih.
Lokasi penempatan jenazah dipengaruhi oleh beberapa faktor,
termasuk: jumlah jenazah yang ditemukan, kondisi jenazah, jarak
lokasi kejadian dengan pemakaman terdekat atau fasilitas otopsi,
serta kemampuan tampung lemari pendingin pada suatu fasilitas 2.
Jenazah harus dibungkus dengan baik di dalam kantong dengan
identifikasi yang sesuai, kemudian dimasukkan kedalam truk atau
van yang berisi lemari pendingin bila memungkinkan. Temperatur
yang dianjurkan adalah 4 oC. suhu yang terlalu dingin tidak baik
dalam proses investigasi, termasuk dalam proses otopsi 2.
3) Lokasi penempatan dan pemeriksaan jenazah
Ketika jenazah telah dibawa ke lokasi penempatan, maka proses
identifikasi akan segera dilakukan. Setidaknya ada tiga lokasi kerja
yang dibutuhkan, yaitu: lokasi penempatan, lokasi untuk melihat
jenazah, lokasi pemeriksaan jenazah. Ukuran dan karakteristik tiap
lokasi tersebut bergantung pada kejadian yang terjadi dan sumber
daya yang tersedia2.
 Lokasi penempatan
Jenazah yang datang dari lokasi kejadian untuk sementara
waktu akan diletakkan di lokasi penempatan. Area penempatan
harus bersifat privasi, sinar matahari tidak mudah masuk agar
proses pembusukan berjalan lebih lambat. Pada daerah tropis,
jenazah harus ditempatkan pada lemari pendingin karena cuaca
sekitar yang panas. Jenazah yang terdapat di lokasi
19
penempatan tersebut diklasifikasikan kedalam kelompok yang
terdiri dari kelompok usia, jenis kelamin, warna kulit, warna dan
panjang rambut, tinggi tubuh, ukuran kaki, dan kelompok
lainnya. Dengan menggunakan program komputer dengan
sistem kartu akan membantu mengelola informasi dari masing-
masing jenazah sehingga akan membantu dalam proses
pengidentifikasian2.
 Lokasi untuk melihat jenazah
Penilaian berdasarkan visual seringkali diperlukan dalam
pengidentifikasian jenazah. Maka dari itu, sangatlah penting
mempersiapkan lokasi untuk keluarga, teman, dan orang-orang
yang mengenal korban untuk membantu identifikasi. Pertama,
foto perhiasan, baju, dan barang-barang yang mudah untuk
teridentifikasi yang ada pada jenazah akan ditampilkan. Kedua,
akan ditampilkan foto jenazah terutama bagian wajah agar
mudah untuk teridentifikasi. Ketiga, objek dan jenazah akan
langsung ditampilkan pada keluarga dan kerabat sebagai tahap
akhir dalam pengidentifikasian jenazah2.
 Lokasi pemeriksaan
Pada situasi bencana, pemeriksaan luar umumnya perlu
dilakukan pada jenazah. Pemeriksaan otopsi umumnya jarang
dilakukan, kecuali pada beberapa kasus penting dan tidak pada
semua jenazah. Pada otopsi biasanya dilakukan pemeriksaan
untuk mencari bukti apakah apendiktomi telah dilakukan,
pemeriksaan mulut, pengukuran tulang humerus, memperkirakan
usia jenazah berdasarkan tulang trabekula tengkorak.
Pengambilan sampel biologis untuk skrining toksikologi juga
diperlukan, terutama untuk melihat kandungan alkohol. Proses
pengawetan juga dapat dilakukan pada lokasi pemeriksaan 2.
 Metode Pengidentifikasian Jenazah

20
Dahulu dikenal 2 metode pokok identifikasi yaitu metode sederhana
(visual, kepemilikan (perhiasan dan pakaian), dokumentasi) dan
metode ilmiah (sidik jari, serologi, odontology, antropologi, biologi
molekuler). Saat ini berdasarkan standar Interpol untuk proses
identifikasi pada DVI telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai
yaitu: metode identifikasi primer (sidik jari, gigi geligi, DNA), dan
metode identifikasi sekunder (medik, property). Metode visual tidak
dipakai di dalam metode identifikasi untuk DVI saat ini karena metode
ini tidak dapat diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi
serta tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh karena
melibatkan faktor psikologi keluarga yang melakukannya (sedang
berduka, stress, sedih dan lainnya)3,4.
Identifikasi Primer:
a. Analisis Sidik Jari
Ada tiga alasan mengapa sidik jari merupakan indikator handal
identitas4:
 Sidik jari yang unik:
Papiler ridges pada jari dua individu yang berbeda atau pada jari-jari
yang berbeda dari satu individu tidak sama.
 Sidik jari tidak berubah:
Papiler ridges terbentuk pada bulan keempat kehamilan dan tetap
tidak berubah hingga kematian. Mereka akan tumbuh kembali dalam
pola yang sama setelah cedera ringan. Luka yang lebih parah akan
menyebabkan jaringan parut permanen.
 Sidik jari dapat diklasifikasikan:
Karena sidik jari dapat diklasifikasikan, mereka dapat diidentifikasi
dan terdaftar secara sistematis.
b. Analisis Gigi
Gigi dan rahang memiliki struktur yang unik sehingga dapat digunakan
untuk identifikasi korban hidup dan meninggal. Data gigi dapat
ditentukan dan dicatat pada data post-mortem kemudian dibandingkan
21
dengan data ante mortem yang diberikan oleh dokter umum atau dokter
gigi yang merawat korban selama hidup mereka. Gigi terlindung dengan
baik dalam rongga mulut dan mampu menahan pengaruh eksternal
menjelang kematian maupun setelah waktu kematian. Gigi terbentuk
dari zat yang paling kuat dalam tubuh, dimana saat jaringan lunak
sudah mengalami kerusakan, karakteristik gigi masih bertahan. Gigi
yang mengalami perawatan menjadi data yang lebih akurat dari pada
sekedar mencari informasi tentang umur atau jenis kelamin. Ciri‐ciri
demikian antara lain : misalnya adanya gigi yang dibungkus logam, gigi
yang ompong atau patah, lubang pada bagian depan biasanya dapat
lebih mudah dikenali oleh kenalan atau teman dekat atau keluarga
korban3,4.

22
c. Analisis DNA

Analisis DNA

Pertimbangan penggunaaan teknik pemeriksaan

Pilih teknik yang sah dan paling informatif

Aplikasi teknik analisis DNA berdasarkan kebutuhan dan ketersediaan sampel

Bagan 3. Proses identifikasi DNA2

Penggunaan metode antropologi dan metode molecular dalam


pengidentifikasian jenazah dapat meningkatkan hasil yang positif
terutama pada kasus-kasus dimana jenazah tersebut telah sulit
diidentifikasi lagi secara fisik. Analisis DNA manusia telah dipilih
sebagai alat identifikasi, dan hal ini bergantung pada tipe sampel,
derajat sampel, dan lama sampel tersebut terekspos dengan
lingkungan luar. Tipe DNA dibagi menjadi dua, yaitu DNA mitokondrial
dan DNA nuclear. Penggunaan DNA motokondrial masih memiliki
beberapa keterbatasan, dan DNA nuclear merupakan pilihan terbaik 2.

Tipe DNA

DNA nuclear DNA mitokondria

DNA dari
DNA dari
kromosom
kromosom seks
autosomal

Bagan 4. Tipe DNA2

23
Identifikasi DNA didasarkan pada korespondensi yang ada, yaitu
antara penanda genetik dari nenek moyang kepada keturunan mereka,
yaitu, warisan genetik dari ayah dan ibu kepada anak-anaknya. Untuk
membangun korespondensi ini, seseorang harus mendapatkan profil
genetik tersebut dari kerabat langsung. Profil genetik adalah kombinasi
unik dari varian penanda warisan dari orang tua, setengah dari ibu dan
setengah dari ayah. Teknik amplifikasi modern menggunakan proses
PCR memungkinkan kita untuk memperoleh DNA dari sel-sel dari
jaringan hidup serta dari jaringan dari almarhum, termasuk dari mereka
yang tewas oleh paparan suhu ekstrim2.
Komunitas ilmiah telah menggunakan tiga metode untuk menunjukkan
hubungan DNA2:
1. Menggunakan penanda yang disebut mikrosatelit DNA dari
genom nukleus, yang mewakili profil genetik dari individu;
2. Penanda yang ditemukan dalam DNA dari kromosom seks pria
dan yang diwarisi oleh anak laki-laki, dan
3. Perbandingan urutan region mitokondria DNA, yang hanya
diturunkan berdasarkan garis maternal yaitu dari ibu ke anak-
anaknya, dan diantara saudara kandung ibunya.
Identifikasi Sekunder
a. Deskripsi personal dan data medis
Deskripsi personal terdiri dari data dasar (usia, jenis kelamin, tinggi
badan, etnis) dan keanehan tertentu. Temuan medis yang ada, seperti
bekas luka dan bekas operasi pengangkatan organ dapat memberikan
informasi penting tentang riwayat medis korban. Operasi yang
umumnya dilakukan sehingga dapat menunjukkan karakteristik
beberapa individu (misalnya usus buntu) harus diperhitungkan dalam
konteks ini. Pace maker jantung dan prostease dapat memberikan
gambaran identifikasi yang baik. Tato dan tahi lalat juga dapat berfungsi
sebagai penanda identitas4.
b. Properti pada jenazah
24
Properti ini mencakup semua efek yang ditemukan pada tubuh korban
(misalnya perhiasan, pakaian, dokumen identitas pribadi, dan lainnya).
Bekas perhiasan pada kulit dapat memberikan petunjuk penting
mengenai identitas korban. Hal ini penting untuk dipertimbangkan
karena terdapat kemungkinan jika barang-barang bukti yang ada pada
jenazah tidak benar-benar milik jenazah tersebut (misalnya surat
identitas orang yang berbeda, item perhiasan atau pakaian yang
dipinjamkan ke individu lain, atau barang lain yang tidak sengaja
ditempatkan dalam satu kantong mayat). Perhiasan memiliki nilai
identifikasi yang lebih tinggi jika perhiasan tersebut melekat erat pada
tubuh korban, misalnya cincin kawin4.
 Proses Disaster Victim Identification (DVI)
Penanggung jawab DVI adalah Kepolisian yang dalam pelaksanaan
operasinya dapat bekerjasama dengan berbagai pihak lintas institusi,
sektoral dan fungsi. Ketua tim dan koordinator fase berasal pihak
kepolisian. Pada kasus yang lebih mementingkan aspek penyidikan,
kecepatan dan hot issues seperti pada man made
disaster, ketua tim DVI lebih mengedepankan timnya sesuai dengan
keahlian dan pengalaman, sedangkan pada kasus yang lebih
mengedepankan aspek kemanusiaan pada natural disaster maka
ketua DVI dapat melibatkan beberapa tim dari berbagai institusi 3.
Prinsip dalam bekerja bagi tim DVI adalah team work sesuai dengan
keahlian/kompetensi dan pengalaman. Masing-masing tim yang
bekerja dalam masing-masing fase mempunyai tanggung jawab,
keahlian dan pengalaman yang berbeda yang menjadi pertimbangan
bagi seorang ketua tim DVI. Misalnya tim DVI fase I diperuntukkan
bagi tim yang telah terlatih dan mempunyai pengalaman di TKP
dibandingkan dengan seorang dokter forensik/dokter gigi forensik yang
lebih berkompeten di DVI fase 2 untuk memeriksa jenasah. Proses DVI
terdiri dari 5 fase yaitu The Scene (fase pertama), Post Mortem

25
Examination (fase kedua), Ante Mortem Information Retrieval (fase
ketiga), Reconciliation (fase keempat), dan Debriefing (fase kelima)3,5.
1) Fase I: Fase TKP
Tim awal yang datang ke TKP melakukan pemilahan antara korban
hidup dan korban mati selain juga mengamankan barang bukti yang
dapat mengarahkan pada pelaku apabila bencana yang terjadi
merupakan bencana yang diduga akibat ulah manusia 5. Fase ini
dilaksanakan oleh tim DVI unit TKP dengan aturan umum sebagai
berikut3:
a. Tidak diperkenankan seorang pun korban meninggal yang dapat
dipindahkan dari lokasi, sebelum dilakukan olah TKP aspek DVI;
b. Pada kesempatan pertama label anti air dan anti robek harus
diikat pada setiap tubuh korban atau korban yang tidak dikenal
untuk mencegah kemungkinan tercampur atau hilang. Label ini
harus memuat informasi tim pemeriksa, lokasi penemuan, dan
nomor tubuh/mayat;
c. Semua perlengkapan pribadi yang melekat di tubuh korban tidak
boleh dipisahkan;
d. Untuk barang-barang kepemilikan lainnya yang tidak melekat
pada tubuh korban yang ditemukan di TKP, dikumpulkan dan
dicatat;
e. Identifikasi tidak dilakukan di TKP, namun ada proses kelanjutan
yakni masuk dalam fase kedua dan seterusnya.
2) Fase II: Fase Post Mortem
Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat.
Fase ini dapat berlangsung bersamaan dengan fase pertama dan
fase ketiga. Data‐data post mortem diperoleh dari tubuh jenazah
berdasarkan pemeriksaan dari berbagai keahlian antara lain dokter
ahli forensik, dokter umum, dokter gigi forensik, sidik jari, fotografi,
DNA dan ahli antropologi forensik5.
Kegiatan pada fase ini3:
26
a. Menerima jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari unit
TKP;
b. Mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh,
tidak utuh, potongan jenazah dan barang]barang;
c. Membuat foto jenazah;
d. Mengambil sidik jari korban dan golongan darah;
e. Melakukan pemeriksaan korban sesuai formulir interpol DVI PM
yang tersedia (berwarna pink);
f. Melakukan pemeriksaan terhadap property yang melekat pada
mayat;
g. Melakukan pemeriksaan gigi-geligi korban;
h. Membuat rontgen foto jika perlu;
i. Mengambil sampel DNA;
j. Menyimpan jenasah yang sudah diperiksa;
k. Melakukan pemeriksaan barang-barang kepemilikan yang tidak
melekat di mayat yang ditemukan di TKP;
l. Mengirimkan data-data yang telah diperoleh ke unit pembanding
data.
3) Fase III: Fase Ante Mortem
Fase ketiga adalah fase pengumpulan data antemortem dimana ada
tim kecil yang menerima laporan orang yang diduga menjadi korban.
Tim ini meminta masukan data sebanyak-banyaknya dari keluarga
korban5.
Kegiatan pada fase ini3:
a. Menerima keluarga korban;
b. Mengumpulkan data korban semasa hidup seperti foto dan
lainnya yang dikumpulkan dari keluarga terdekat yang kehilangan
anggota keluarganya dalam bencana tersebut;
c. Mengumpulkan data-data korban dari instansi tempat korban
bekerja, RS/Puskesmas/Klinik, dokter pribadi, dokter yang

27
merawat, dokter gigi pribadi, polisi (sidik jari), catatan sipil, dan
lainnya;
d. Data Ante Mortem gigi geligi;
1) Data Ante Mortem gigi geligi adalah keterangan tertulis atau
gambaran dalam kartu perawatan gigi atau keterangan dari
keluarga atau orang yang terdekat;
2) Sumber data Ante Mortem tentang kesehatan gigi diperoleh
dari :
a) Klinik gigi RS Pemerintah, TNI/Polri dan Swasta;
b) Lembaga pendidikan Pemerintah/TNI/Polri/Swasta;
c) Praktek pribadi dokter gigi.
e. Mengambil sampel DNA pembanding;
f. Apabila diantara korban ada warga Negara asing maka data Ante
Mortem dapat diperoleh melalui perantara Set NCB Interpol
Indonesia dan perwakilan Negara asing (kedutaan/konsulat);
g. Memasukkan data yang ada dalam formulir Interpol DVI AM
(berwarna kuning);
h. Mengirimkan data-data yang telah diperoleh ke Unit Pembanding
Data.
4) Fase IV: Fase Rekonsiliasi
Seseorang dinyatakan teridentifikasi pada fase keempat yaitu fase
rekonsiliasi apabila terdapat kecocokan antara data Ante Mortem
dan Post Mortem dengan kriteria minimal 1 macam Primary
Identifiers atau 2 macam Secondary Identifiers5.
Kegiatan pada fase ini3:
a) Mengkoordinasikan rapat-rapat penentuan identitas korban mati
antara Unit TKP, Unit Post Mortem dan Unit Ante Mortem;
b) Mengumpulkan data-data korban yang dikenal untuk dikirim ke
Rapat Rekonsiliasi;
c) Mengumpulkan data-data tambahan dari Unit TKP, Unit Post
Mortem dan Unit Ante Mortem untuk korban yang belum dikenal;
28
d) Membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem;
e) Check and Recheck hasil Unit Pembanding Data;
f) Mengumpulkan hasil identifikasi korban;
g) Membuat sertifikat identifikasi, surat keterangan kematian untuk
korban yang dikenal dan surat-surat lainnya yang diperlukan;
h) Publikasi yang benar dan terarah oleh Unit Rekonsiliasi sangat
membantu
masyarakat untuk mendapatkan informasi yang terbaru dan akurat.
5) Fase V: Fase Debriefing
Fase ini dilakukan 3-6 bulan setelah proses identifikasi selesai.
Pada fase debriefing, semua orang yang terlibat dalam proses
identifikasi berkumpul untuk melakukan evaluasi terhadap semua
hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proses identifikasi korban
bencana, baik sarana, prasarana, kinerja, prosedur, serta hasil
identifikasi5.
Kegiatan pada fase ini3:
1) Melakukan analisa dan evaluasi terhadap keseluruhan proses
identifikasi dari awal hingga akhir;
2) Mencari hal yang kurang yang menjadi kendala dalam operasi
DVI untuk diperbaiki pada masa mendatang sehingga
penanganan DVI selanjutnya dapat menjadi lebih baik;
3) Mencari hal yang positif selama dalam proses identifikasi untuk
tetap dipertahankan dan ditingkatkan pada operasi DVI
mendatang.
Secara teoritis, kelima fase DVI seharusnya dikerjakan sesuai standar
pada setiap kasus bencana. Namun pada kenyataannya, banyak
hambatan dan kendala yang ditemui di lapangan untuk menerapkan
prosedur DVI. Beberapa kendala tersebut seperti sudah
diidentifikasinya jenazah oleh pihak penyidik bersama keluarga di TKP
sehingga menyebabkan keluarga menolak dilakukan pemeriksaan
terhadap korban dengan alasan sudah dikenali, kurang koordinasinya
29
fase TKP dengan fase II dan III dimana pemeriksaan fase II dan fase
III dilakukan oleh orang yang sama secara bersama-sama dan
melibatkan keluarga sehingga menimbulkan ketidakakuratan dalam
proses identifikasi yaitu data antemortem tidak sesuai dengan data
postmortem jenazah. Selain itu kendala yang muncul adalah kurang
tersedianya fasilitas seperti listrik atau sarana lainnya dalam
mempreservasi jenazah sehingga kondisi mayat membusuk pada saat
telah teridentifikasi. Dan dari kelima fase yang ada, fase kelima
(debriefing) sulit untuk dilaksanakan karena sulitnya mengumpulkan
kembali para anggota tim yang berasal dari seluruh wilayah di
Indonesia untuk melakukan evaluasi kinerja 5.
 Prinsip Identifikasi
Prinsip dari proses identifikasi adalah mudah yaitu dengan
membandingkan data‐data korban (data Post Mortem) dengan data
dari keluarga (data Ante Mortem), semakin banyak kecocokan akan
semakin baik. Data gigi, sidik jari, atau DNA secara tersendiri sudah
dapat digunakan sebagai faktor determinan primer, sedangkan data
medis, property harus dikombinasikan untuk dianggap sebagai ciri
identitas yang pasti3,4.
Identifikasi terhadap mayat dapat dikatakan positif apabila minimal
satu dari metode identifikasi primer adalah cocok atau jika tidak ada
yang cocok dari metode identifikasi primer, maka seluruh metode
identifikasi sekunder harus cocok. Penentuan identifikasi ini dilakukan
di dalam rapat rekonsiliasi3,4.
Sangat penting untuk tetap memperhatikan file record dan segala
informasi yang telah dibuat untuk dikelompokkan dan disimpan dengan
baik. Dokumentasi berkas yang baik juga berkepentingan agar pihak
lain (Interpol misalnya) dapat melihat, me‐review kasusnya, sehingga
menunjukkan bahwa proses identifikasi ini dikerjakan sesuai prosedur
dan berdasarkan prinsip ilmiah4.
 Penindaklanjutan Jenazah
30
a) Korban teridentifikasi:
Setelah korban teridentifikasi sedapat mungkin dilakukan perawatan
jenazah
yang meliputi antara lain3:
a. perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah;
b. pengawetan jenazah (bila memungkinkan);
c. perawatan sesuai agama korban;
d. memasukkan dalam peti jenazah.
Kemudian jenazah diserahkan kepada keluarganya oleh petugas
khusus dari Tim Unit Rekonsiliasi berikut surat‐surat yang diperlukan
pencatatan yang penting pada proses serah terima jenazah antara
lain3:
a. tanggal (hari, bulan, tahun) dan jamnya;
b. nomor registrasi jenazah;
c. diserahkan kepada siapa, alamat lengkap penerima, hubungan
keluarga dengan korban;
d. dibawa kemana atau akan dimakamkan di mana.
Perawatan jenazah setelah teridentifikasi dapat dilaksanakan oleh
unsur Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas
Pemakaman dengan dibantu seorang dokter spesialis forensik
dalam teknis pelaksanaannya3.
b) Korban tidak teridentifikasi
Dalam proses identifikasi pada kenyataannya tidaklah selalu mudah
walaupun
data ante mortemnya lengkap. Hal ini dapat disebabkan karena
beberapa faktor
antara lain3:
a. Keadaan jenazah yang ditemukan dalam kondisi:
1) Mayat membusuk lanjut, tergantung derajat pembusukannya
dan kerusakan jaringannya, atau mayat termutilasi berat dan
kerusakan jaringan lunak yang banyak maka metode
31
identifikasi yang digunakan sidik jari bila masih mungkin atau
dengan ciri anatomis dan medis tertentu, serologi, DNA atau
odontologi;
2) Mayat yang telah menjadi kerangka, identifikasi menjadi
terbatas untuk sedikit metode saja yaitu: serologis, ciri
anatomis tertentu dan odontologi.
b. Tidak adanya data antemortem, tidak adanya data orang hilang
atau sistem pendataan yang lemah;
c. Jumlah korban yang banyak, baik pada populasi yang terbatas
ataupun pada populasi yang tak terbatas.
Menjadi suatu masalah, jika ahli waris keluarga korban meminta
surat kematian untuk kepentingan administrasi seperti sertifikat
kematian, pengurusan warisan, asuransi dan sebagainya,
sedangkan Tim DVI tidak mempunyai data post mortemnya oleh
karena memang tidak dilakukan pemeriksaan atau tidak ditemukan
jasad atau bagian tubuhnya. Salah satu solusi adalah dilakukannya
kesepakatan bersama antara beberapa ahli hukum dengan Tim DVI
untuk berdiskusi dari situasi dan kondisi bencana, alasan tidak
ditemukannya dan sebagainya. Selanjutnya hasil keputusan
tersebut diajukan ke pengadilan dan menghasilkan suatu ketetapan,
yang berdasarkan keputusan pengadilan inilah kemudian dipakai
sebagai acuan untuk menentukan orang tadi dinyatakan sudah
meninggal serta dikeluarkannya surat
kematian3.
Apabila dalam proses tersebut ada yang tidak teridentifikasi, maka
Tim DVI melakukan koordinasi dengan pihak terkait untuk
melakukan penguburan massal dengan beberapa ketentuan antara
lain mayat harus diambil sampel DNA nya terlebih dahulu dan
dikuburkan dengan dituliskan nomor label mayat pada bagian
nisannya3.
 Penanganan Akhir Jenazah
32
Jenazah korban bencana umumnya berakhir dengan penguburan dan
pemakaman. Di beberapa negara, kremasi juga merupakan pilihan
akhir terhadap jenazah tersebut. Pada beberapa kondisi, jenazah
korban bencana umumnya disimpan hingga waktu yang tepat untuk
penindakan akhirnya. Terdapat banyak metode yang dilakukan untuk
menyimpan jenazah korban bencana. Beberapa metode tradisional
yang digunakan adalah2:
1. Penyimpanan pada temperatur rendah
Metode ini merupakan metode lama yang masih sering dilakukan.
Metode ini membutuhkan daerah yang dingin, ruangan pendingin,
menggunakan dry ice untuk mempertahankan suhu yang rendah,
atau upaya lainnya yang dapat digunakan untuk mempertahankan
suhu yang rendah.
Namun, metode penyimpanan ini memiliki beberapa kelemahan
sehingga memerlukan suatu perhatian khusus. Pembekuan dapat
menyebabkan jaringan mengalami dehidrasi sehingga
menyebabkan perubahan warna kulit. Selain itu pembekuan yang
cepat dapat menyebabkan post mortem injury. Menjatuhkan
jenazah saat jenazah dalam kondisi beku dapat menyebabkan
fraktur, dan penumpukan jenazah pada temperatur pembekuan
dapat mengubah wajah jenazah yang tertindih dan kondisi tersebut
susah untuk dikembalikan seperti semula. Hal-hal tersebut dapat
menyebabkan hasil interpretasi medikolegal susah ditegakkan dan
proses identifikasi susah untuk dilakukan nantinya.
2. Proses kimiawi
Penggunaan bahan kimia untuk pengawetan jenazah sudah dikenal
sejak lama. Beberapa proses kimiawi yang sering dilakukan seperti
memasukkan injeksi formalin ke dalam pembuluh darah,
memasukkan larutan lainnya ke dalam kavitas tubuh, atau
penggunaan cairan kimia tersebut diluar tubuh. Pada kasus dimana
jenazah telah membusuk atau organnya terpisah maka
33
penggunaan injeksi formalin tidak mungkin dilakukan. Beberapa
teknik yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah
melumuri suatu substansi pada jenazah agar menghambat proses
pembusukan, mengurangi bau, dan mencegah cairan keluar dari
tubuh pada saat pengiriman. Bahan yang digunakan biasanya
adalah bubuk formaldehyde dan bubuk calcium hydroxide. Setelah
pelumuran substansi ini, jenazah akan dibungkus menggunakan
bahan nilon atau kantong plastik kemudian direkatkan. Hal ini
hanya dapat dilakukan setelah proses identifikasi medikolegal
selesai dan pencaritahuan mengenai penyebab kematian telah
selesai.
3. Penguburan
Teknik penguburan biasanya dilakukan secara sementara selama
situasi bencana hingga situasi yang tepat sehingga jenazah dapat
dikirim ke tempat terakhir. Pada kasus penguburan sementara
dibutuhkan suatu dokumentasi dan penanda yang teliti seperti
penguburan jenazah pada umumnya agar tidak terjadi kesalahan
dalam identifikasi jenazah.

II. 3 ASPEK YANG DIPENGARUHI PADA BENCANA MASSAL


A. ASPEK KESEHATAN
 Mitos
Adanya mitos mengenai jenazah seringkali ditemukan di tengah
masyarakat seiring berjalannya waktu. Hal ini normalnya terjadi karena
adanya pengaruh norma agama, tahayul, atau hal-hal kecil
yangdianggap rebagai realita2.
Beberapa mitos yang sering terjadi pada masyarakan yang
berhubungan dengan bencana adalah 2:
 Bencana menyebabkan kematian yang beragam
 Cara tercepat untuk menghilangkan mayat dan mencegah
menyebarnya penyakit adalah dengan cara menanam mereka pada
34
kuburan masal atau mengkremasi mereka sehingga akan
menyelamatkan populasi
 Setelah suatu bencana, jenazah pasti akan menyebabkan suatu
epidemic
 Informasi yang ada yang berhubungan dengan bencana sebaiknya
dibatasi
 Tidak mungkin melakukan identifikasi jenazah dalam jumlah besar
setelah suatu bencana
 Teknologi tes DNA untuk mengidentifikasi jenazah masih sulit
diakses di banyak negara karena memerlukan biaya tinggi dan
memerlukan teknik khusus
 Resiko Epidemiologi Jenazah Pada Daerah dengan Penyakit Endemik
Ketika bencana alam terjadi, kematian tersering terjadi karena trauma
sebagai penyebab langsung dari tipe bencana. Pada penanganan
jenazah, perlu diperhatikan adanya penyakit endemik (sebagai contoh
vibrio cholera, mycobacterium tuberculosis) dan beberapa vektor
seperti lalat, tikus yang dipercaya dapat menjadi tempat trasmisi dari
mikroorganisme yang terdapat pada tubuh jenazah seperti tipus atau
plak. Namun pada kenyataannya, penting untuk diketahui jika jenazah
bukanlah ancaman bagi kesehatan publik. Pada tubuh yang sudah
meninggal, suhu tubuh akan turun secara cepat dan menyebabkan
bakteri maupun virus yang paling resisten sekalipun akan mati. Hal ini
membuktikan jika mikroorganisme tersebut akan sulit berpindah dari
jenazah ke vektor dan ke populasi masyarakat 2.
Satu hal yang bisa dipastikan adalah jenazah tersebut dapat menjadi
karier oleh agen etiologi, namun tidak dapat menyebabkan suatu
epidemi. Penelitian sains masih belum bisa menghubungkan jenazah
sebagai penyebab situasi epidemi pada beberapa situasi bencana
dengan jumlah kematian tinggi. Namun pada beberapa kasus wabah
kolera dan salmonella di Zaire dan Chile setelah mengalami suatu
bencana, kuat dugaan jika wabah tersebut diakibatkan oleh jenazah
35
yang mengkontaminasi sumber air minum. Namun hingga saat ini
beberapa peneliti masih menganggap jika wabah tersebut terjadi
karena buruknya sanitasi2.
Beberapa penyakit harus diwaspadai pada jenazah yang ada. Sebagai
contoh virus human immunodeficiency virus (HIV) dapat bertahan
selama 16 hari di dalam jenazah dan bertahan pada suhu serendah
2oC. TB juga dapat bertahan di dalam tubuh dan dapat menyebar pada
udara bebas sehingga sebaiknya pada saat pemindahan jenazah,
mulut jenazah ditutup dengan kain agar saluran pernafasan tidak
terekspos dengan udara bebas2.

Tabel 1. Penyakit infeksius pada jenazah manusia 2


Infeksi Bakteri Infeksi Virus
Tuberkulosis Infeksi gastrointestinal
Infeksi streptokokus Creutzfeldt-Jakob disease
Infeksi gastrointestinal (penyakit sapi gila)
Meningitis dan septisemia yang Hepatitits B
diakibatkan meningokokus Hepatitis C
Infeksi HIV
Demam berdarah

 Tinjauan Keilmuan Mengenai Tidak Adanya Faktor Resiko


Epidemiologi Pada Area Non Endemi
Terdapat beberapa bukti yang menunjukkan jika jenazah dapat
menyebabkan resiko pada daerah yang tidak mengalami suatu edemi
penyakit. Namun beberapa institusi kesehatan menyangkal asumsi
tersebut dan menyatakan jika jenazah tidak menimbulkan bahaya pada
kesehatan publik. WHO telah berualang kali menjelaskan jika
penularan infeksi dari tubuh yang telah meninggal sangatlah minimal.
Pada tahun 2002, WHO menyatakan jika “jenazah yang sudah
meninggal, baik yang sudah mengalami pembusukan atau tidak,
36
secara umum tidak akan menimpulkan suatu bahaya kesehatan yang
serius, kecuali jenazah tersebut mencemari sumber air dengan
kotorannya, atau terinfeksi tifus dan plak, dimana pada kasus ini lalat
dan kadal dapat membantu penyebaran penyakit tersebut”.
Berdasarkan peneliti dari Water, Engineering, and Development
Centre (WEDC) di Amerika Serikat, hubungan antara jenazah dan
epidemi tidak pernah terbukti secara ilmiah dan dilaporkan. Justru
dikatakan pemusnahan jenazah dalam jumlah masal justru akan
menyebabkan gangguan kesehatan, misalnya pada kasus
pembakaran masal akan menghasilkan asap yang sangat banyak yang
mengandung airbone dioxin, sehingga nantinya akan menghasilkan
gangguan pernapasan2.
 Bangkai Binatang
Mitos mengenai bangkai binatang sebagai sumber penyebaran
penyakit endemi juga berkembang pesat di masyarakat. Pada
dasarnya bangkai binatang sama dengan jenazah manusia, dimana
bangkai ini akan membahayakan kesehatan masyarakat pada kondisi-
kondisi tertentu. Terdapat dua situasi dimana bangkai binatang
tersebut dapat menjadi resiko terhadap manusia, yaitu: adanya spesifik
agen infeksius dan terkontaminasinya sumber air oleh feses dan
nanah dari luka. Mikroorganisme yang harus mendapatkan perhatian
lebih adalah Cryptosporidia, Campylobacter, dan Lysteria tapi hanya
ketika tubuh bangkai tersebut berada di dalam air. Mikroorganisme ini
tidak akan bertahan lama pada kondisi kering. Maka dari itu
pemusnahan bangkai binatang sebaiknya dilakukan dengan cara
menguburnya pada lubang sedalam 3 kaki, lumuri bagkai tersebut
denga minyak pada lokasi dimana tidak ada kemungkinan sumber
kontaminasi atau genangan air. Harus dipertimbangkan jika terdapat
situasi banjir maka bangkai tersebut sebaiknya bangkai tersebut
dimasukkan ke dalam kantong sambil menunggu waktu yang tepat
untuk dibakar atau dikubur. Dari beberapa penelitian, ditarik
37
kesimpulan bahwa bangkai binatang bisa menjadi bahaya bagi
kesehatan publik jika terdapat beberapa kondisi berikut, yaitu: 1)
binatang tersebut harus terinfeksi penyakit yang bisa ditransmisikan ke
manusia; 2) kuman harus dapat bertahan setelah host mati; 3)
lingkungan harus memfasilitasi penyebaran agen infeksius (missal air
yang yang terkontaminasi). Adanya intrupsi pada salah satu kondisi
tersebut dapat meminimalisasi penyebaran penyakit ke masyarakat
luas2.

B. ASPEK PSIKOLOGIKAL
 Kerentanan spesifik
Tingginya angka kematian dan banyaknya harta benda yang hilang
akibat bencana akan mempengaruhi aspek psikososial yang tinggi.
Maka dari itu harus disadari adanya perbedaan kerentanan tiap orang,
utamanya berdasarkan jenis kelamin dan usia, sebagai suatu respon
bantuan darurat dari tim penolong. Kematian dalam jumlah besar
memiliki efek yang berbeda dalam populasi laki-laki dan wanita,
dimana penelitian menunjukkan jika kejiwaan pria akan dipengaruhi
lebih cepat, wanita akan menderita lebih lama, dan manifestasi
gangguan psikologis akan tampak belakangan. Corak sosiokultural
akan menunjukkan perbedaan bagaimana reaksi laki-laki dan
perempuan. Laki-laki cenderung untuk merepresi emosi kesedihannya,
akan memiliki waktu yang sulit untuk berbicara mengenai perasaannya
karena merasa itu adalah suatu kelemahan dirinya. Sedangkan wanita
akan cenderung untuk lebih mudah berkomunikasi untuk
mengekspresikan ketakutannya, dan mencari dukungan untuk dirinya
dan anak-anaknya. Wanita yang kehilangan suami dan anak
terbesarnya akan mengalami masa-masa yang lebih sulit karena akan
menjadi tulang punggung keluarga yang baru bagi keluarganya dan hal
ini akan menjerumuskan wanita ke dalam suatu keadaan depresi 2.

38
Kelompok rentan lainnya adalah anak-anak, dimana anak-anak yang
mengalami kejadian traumatik memiliki pengertian yang rendah
mengenai apa yang telah terjadi dan mereka terbatas dalam
mengungkapkan perasaannya. Beberapa anak akan menolak atau
menunjukkan sikap yang tidak mengalami perubahan ketika mereka
belajar menerima rasa kehilangan satu atau lebih anggota
keluarganya. Beberapa orang akan mengira jika anak tersebut telah
melupakan apa yang ia alami namun itu adalah suatu kesalahan
karena anak-anak tersebut masih bisa mengingat kejadian traumatik
tersebut ketika perasaan mereka tidak bisa dikontrol. Reaksi post
traumatik pada anak haruslah ditangani dengan cepat karena jika tidak
ditangani maka akan menjadi suatu kesalahan fatal dan menyebabkan
anak tersebut menderita dan ketakutan.2
 Kesedihan
Kesedihan akan muncul segera setelah merasa kehilangan seseorang.
Kesedihan akan kematian seseorang akan dirasakan berupa
campuran antara kesedihan, kecemasan, ketakutan, dan kemarahan
dan dalam suatu momen kritis akan menjadi nyeri emosional yang
sangat menyakitkan2.
Beberapa manifestasi psikologis yang sering muncul karena suatu
kesedihan adalah:2
 Sering mengingat almarhum dan apa yang terjadi
 Gugup atau takut, sedih dan menangis
 Keinginan untuk mati
 Masalah tidur dan nafsu makan yang buruk
 Masalah dengan memori dan kesulitan berkonsentrasi
 Kelelahan, kurangnya motivasi, dan sulit beraktivitas normal
 Cenderung mengisolasi diri dan berdiam diri
 Kombinasi perasaan atau emosi seperti: mencela diri sendiri,
menyalahkan orang lain, frustrasi, impotensi, marah, merasa
kewalahan
39
 Mengabaikan penampilan dan kebersihan pribadi
 Manifestasi fisik berupa pusing, mual, sakit kepala, nyeri dada,
tremor, susah bernafas, palpitasi, mulut kering, dan darah tinggi
 Gangguan Psikiatri Pada Korban Selamat
Manifestasi psikologis umumnya muncul setelah mengalami suatu
kejadian traumatik. Beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk
menggambarkan suatu ekspresi emosi menjadi simtomatik yaitu: sikap
berlarut-larut; perasaan menderita; adanya prilaku bunuh diri;
perubahan aspek sosial dan fungsional rutin seseorang sehari-harinya.
Penyakit psikologis yang umumnya terjadi pada korban selamat adalah
episode depresi dan reaksi stress akut. Beberapa efek lanjutan yang
sering muncul dari perasaan sedih yang bersifat patologis muncul
sebagai suatu depresi, gangguan penyesuaian, gangguan stress
pasca trauma, alcohol abuse dan obat-obatan lainnya, serta penyakit
psikosomatik. Pada suatu keadaan perang atau konflik yang
berkelanjutan, corak penderitaan dapat berupa kesedihan, gangguan
panik, dan gangguan cemas. Angka percobaan bunuh diri juga
meningkat setelah suatu bencana dengan angka kematian tinggi 2.
 Pentingnya Informasi Yang Benar, Tepat, dan Cepat
Memberikan informasi yang transparan, terbuka, sesuai, dan cepat
berperan penting dalam menekan emosi anggota keluarga dan
masyarakat luas. Pemberitahuan harus diberikan secara berjenjang,
yaitu: pemberitahuan langsung terhadap individu, pemberitahuan
langsung terhadap kelompok dan komunitas, dan pemberitahuan
langsung melalui media komunikasi. Pemerintah dan pemimpin harus
mempersiapkan diri dalam menjawab pertanyaan yang kemungkinan
akan dilontarkan2.
Media masa memiliki tanggung jawab sosial terhadap servis publik
yang mereka berikan. Informasi mengenai bencana dan tingginya
kematian seringkali diberitakan terlalu berlebihan bahkan dimanipulasi
karena keinginan mencari perhatian publik. Hal ini akan menyebabkan
40
kekacauan masal karena keluarga dan masyarakat pertama kali akan
memahami apa yang terjadi melalui media. Hal ini akan menyebabkan
masyarakat akan datang beramai-ramai ke tempat kejadian, rumah
sakit, pemakaman, atau tempat lainnya dan akan mengganggu proses
penanganan bencana dan proses pengidentifikasian. Pada situasi
dimana personil keamanan tidak ada, tim medis atau pekerja lainnya
didedikasikan untuk mengontrol keramaian tersebut. Perlu
diinformasikan kepada publik dimana resiko wabah epidemi dari
jenazah adalah sangat kecil dan resiko menjadi tidak ada ketika
jenazah tersebut terkubur di tanah atau terjepit reruntuhan bangunan 2.

C. ASPEK LEGAL
 Peraturan Penanganan Jenazah
Pencatatan sipil daerah mendefinisikan orang secara fisik sebagai
entitas yang mampu memperoleh atau memegang hak dan kewajiban.
Kematian adalah akhir dari seseorang, dan untuk alasan ini maka
kematian dijadikan sebagai suatu peristiwa penting yang memiliki
konsekuensi hukum dan warisan yang mendasar. Di antaranya kita
harus menekankan pengalihan harta almarhum untuk ahli waris nya,
dan perceraian dengan konsekuensi bahwa pasangan yang masih
hidup dapat menikah lagi2.
Kematian seseorang merupakan suatu kejadian yang bersifat legal,
dimana seseorang yang meninggal harus dikonfirmasi kematiannya,
ditentukan secara pasti waktu kematiannya, ditentukan ukuran yang
menandakan kematiannya, ditunjukkan penyebab dan cara kematian
jenazah, serta adanya dokumentasi dan bukti kematian. Untuk orang-
orang yang hilang juga memiliki pengaturan tersendiri untuk
mengumumkan kematiannya2.
Dokumentasi yang menunjukkan jika seseorang telah meninggal
disebut sebagai sertifikat kematian. Sertifikat ini berisikan nama
korban, usia, jenis kelamin, penyebab kematian, hari dan jam
41
kematian, nama ahli yang mengeluarkan diagnosis dan
menandatangani sertifikat, serta tempat dan tanggal sertifikat tersebut
dikeluarkan. Sertifikat kematian ini harus didaftarkan untuk statistik
populasi di masyarakat2.
 Jenazah yang tidak teridentifikasi
Jenazah yang tidak teridentifikasi diatur oleh hukum, dimana
jenazah ini menjadi hak milik negara dan negaralah yang
memutuskan untuk: keputusan akhir jenazah, mengirim ke tempat
pemakaman, identifikasi jenazah, menetapkan penyebab kematian,
dan mengirimkan jenazah ke anggota keluarga atau perjanjian lain
dimana jika tidak ada seorangpun yang mengklaim jenazah
tersebut2.
Ketika keberadaan jenazah dilaporkan, peraturan akan berjalan
walaupun jenazah tersebut korban kriminal atau tidak. Sebelum
jenazah tersebut diproses, jenazah tersebut akan mengikuti
prosedur yang telah berlaku meliputi inspeksi lokasi penemuan,
pemeriksaan awal jenazah, mengumpulkan bukti-bukti yang
memungkinkan, serta mendokumentasikan lokasi kejadian. Tujuan
mengumpulkan bukti dalam jumlah banyak ini adalah untuk
membantu menentukan penyebab kematian dan mengeluarkan
identitas jenazah tersebut. Jenazah tersebut kemudian dikirim ke
rumah jenazah sehingga prosedur otopsi dapat dilakukan.
Terhadap jenazah yang identitasnya tidak jelas, petugas harus
mendeskripsikan secara jelas karakteristik jenazah tersebut,
seperti perkiraan usia, jenis kelamin, penampakan ras,
dokumentasi, persiapan dental chart, pengambilan sidik jari,
pengambilan jaringan atau sampel lainnya untuk mengecek DNA,
dan sampel lainnya yang berhubungan dengan investigasi di waktu
mendatang.2
Jenazah akan ditempatkan di rumah jenazah tersebut selama
kapasitas penampungan jenazah masih tersedia atau bergantung
42
pada aturan yang berlaku. Jenazah kemudian akan dimakamkan
secara individu atau bersamaan dengan yang lainnya namun
makam tersebut tetap diberikan penanda dan pemisah dengan
jenazah lainnya sehingga jika nantinya jenazah tersebut telah
teridentifikasi jenazah tersebut akan dengan mudah dikirimkan
kepada keluarganya. Kremasi pada jenazah hanya bisa dilakukan
jika jenazah tersebut telah teridentifikasi dan telah mendapat
persetujuan dari keluarganya. Namun terdapat pengecualian
berdasarkan aturan legal tertulis, dimana jenazah tersebut dapat
menyebarkan penyakit2.
 Orang hilang
Seseorang dikatakan menghilang jika tidak ada berita sama sekali
mengenai orang tersebut dalam waktu lama. Ketika seseorang
menghilang, anggota keluarga akan menghadapi situasi ambigu
dan kompleks dimana dipengaruhi oleh rasa kehilangan.
Seseorang tidak bisa dikatakan meninggal jika sertifikat
kematiannya belum terbit dan ini berpengaruh pada konsekuensi
ekonomi karena keluarga tidak bisa mengakses aset keluarga,
tidak bisa mendapatkan hak milik orang yang hilang, dan tidak bisa
mendapatkan klaim asuransi. Dalam hal ini, anggota keluarga dan
orang lain yang memiliki kepentingan yang sah dapat membuat
permintaan hukum untuk deklarasi kematian terhadap seseorang
yang telah hilang dalam keadaan tertentu (misalnya, kecelakaan
atau hilangnya kapal atau pesawat udara, gempa bumi atau
peristiwa bencana lainnya, atau perang). Ini merupakan
persyaratan hukum untuk jumlah waktu yang wajar dan berlalu
setelah kejadian untuk menghindari penipuan. Proses ini diakhiri
dengan deklarasi kematian terhadap orang hilang tersebut
berdasarkan perkiraan tanggal kematian. Temuan ini masuk ke
catatan sipil atau register pribadi sehingga kematian terakreditasi
untuk tujuan hukum. Aturan tersebut juga mengatur hal yang
43
berkaitan dengan munculnya kembali orang yang diduga telah
tewas. Namun proses ini berlangsung lama dan mahal bagi
anggota keluarga karena diharuskan melibatkan pengacara,
pengumuman di surat kabar, dan perjanjian lainnya yang mahal 2.
 Identifikasi jenazah dalam jumlah besar
Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, terdapat hukum yang
mengatur tentang penemuan jenazah, identifikasi, dan penguburan,
namun belum ada perundang-undangan yang membahas mengenai
kasus dengan jumlah kematian tinggi akibat suatu bencana. Pada
umumnya ketika suatu bencana alam yang besar terjadi, maka tidak
ada keraguan yang muncul mengenai penyebab kematian tersebut
selain bencana itu sendiri dan tidak ada kecurigaan sama sekali jika
suatu kriminalitas terjadi. Hal ini akan mempengaruhi fakta yang ada
karena jenazah yang ada di lokasi bencana akan segera dipindahkan
sehingga beberapa elemen tidak didokumentasikan dan diawetkan.
Selain itu, umumnya akan dilakukan tindakan yang cepat karena
adanya tekanan dari kerabat dan pada beberapa kasus terdapat
kepercayaan jika keberadaan jenazah tersebut akan mempengaruhi
kesehatan. Pada kasus bencana yang penyebab tingginya kematian
sudah jelas sekalipun, pencarian jenazah dan pengumpulan data
harus dilakukan sebanyak mungkin, sambil mengingat keadaan
darurat dan prioritas lainnya. Ini akan memfasilitasi proses identifikasi,
dan pengungkapan identitas akan menjadi sama pentingnya dengan
pengungkapan penyebab kematian. Banyaknya jumlah korban akan
menyebabkan kesulitan bagi tim yang bertugas untuk menangani
jenazah seperti pada kondisi normal. Namun jika aturan yang dibuat
telah mengikuti prosedur yang terstruktur yang disebutkan di bagian
sebelumnya maka kesulitan-kesulitan tersebut akan sedikit teratasi
dan membantu proses penanganan jenazah dalam jumlah besar 2.

44
III. PENUTUP

Simpulan
1. Diperlukan suatu persiapan yang baik dalam menghadapi suatu
bencana, mulai dari peran institusi terkait dalam membuat suatu
rencana dalam menghadapi bencana. Serta diperlukan koordinasi
yang baik dalam penanganan suatu bencana, ditelaah dari peran
masing-masing institusi dan harus dilakukan secara sinergis dan
sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan agar didapatkan
hasil akhir yang masimal dalam penanganan jenazah korban
bencana tersebut.
2. Terdapat beberapa poin penting dalam penanganan korban
meninggal suatu bencana massal. Hal penting tersebut adalah
mengenai pemindahan jenazah dari lokasi kejadian, metode
pengidentifikasian, proses pengidentifikasian, serta
penindaklanjutan jenazah. Semua poin penting tersebut harus
dilakukan sebaik-baiknya untuk mendapatkan hasil akhir yang baik.
3. Kasus bencana juga turut mempengaruhi beberapa aspek yang
ada, diantaranya adalah aspek kesehatan, aspek psikologikal, dan
aspek legalitas. Aspek kesehatan yang dipengaruhi seperti adanya
mitos yang berkembang di masyarakat dan mengatakan jika
jenazah yang dibiarkan begitu saja dapat menjadi sumber penyakit
edemi sehingga harus segera dimusnahkan. Pada kenyataannya
jenazah tersebut tidak dapat menjadi suatu resiko terjadinya edemi
pada suatu daerah, terkecuali jika jenazah tersebut
mengkontaminasi sumber air. Hal ini juga berlaku pada bangkai
binatang yang menjadi korban bencana alam. Aspek psikologis
juga dipengaruhi setelah terjadinya suatu bencana. Banyak kasus
gangguan psikologis terjadi pada korban yang selamat maupun
keluarga korban sehingga peranan penanganan psikologis juga
penting dalam penatalaksanaan suatu bencana. Aspek legal pada
45
suatu bencana meliputi peraturan umum dalam penatalaksanaan
jenazah, utamanya pada jenazah yang hilang dan jenazah yang
belum teridentifikasi. Termasuk juga mengenai identifikasi jenazah
dalam jumlah banyak. Berdasarkan aspek legal, jenazah yang
belum teridentifikasi tidak bisa dimusnahkan begitu saja dan
seseorang yang hilang tidak bisa dianggap sudah meninggal tanpa
bukti yang jelas karena masing-masing memiliki aspek legal.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. Rencana nasional penanggulangan bencana 2010 – 2014.


Badan Nasional Penanganan Bencana Republik Indonesia;
Jakarta.
2. Anonim. 2004. Management of dead bodies in disaster situation.
Disaster Manuals and Guidelines Series No 5. Pan American
Health Organization, World Health Organization; Washington DC.
3. Anonim. 2011. Pedoman teknis penangguJangan krisis kesehatan
akibat bencana: Edisi Revisi. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, World Health Organization; Jakarta.
4. INTERPOL. Disaster victim identification guide 2009. Diakses 11
November 2012. Diunduh dari: URL:
www.interpol.int/Media/Files/INTERPOLExpertise/DVI/DVI-Guide.
5. Henky, Safitry Oktavinda. 2012. Identifikasi korban bencana
massal: praktik DVI antara teori dan kenyataan. Bagian/SMF Ilmu
Kedokteran Forensik FK Universitas Udayana, Departemen Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK Universitas Indonesia.
Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences 2012; 2(1): 5-7

47

Anda mungkin juga menyukai