Anda di halaman 1dari 10

SMART CITY

DINAS KETAHANAN PANGAN KOTA MAKASSAR

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK E Kelas B

MAULANA RUMI IRWAN BALO 200907502029

PUTRI AYU 200907502024

MUH IBNU MUBIN 200907502025

WIDURI RAHAYU 200907502026

BISNIS DIGITAL

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2023
Smart City Dinas Ketahanan Pangan Kota Makassar

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Ketahanan pangan merupakan hal yang penting dan strategis, karena berdasarkan
beberapa negara menunjukan bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat
melaksanakan pembangunan secara mantap sebelum mampu mewujudkan ketahanan
pangan terlebih dahulu. Setiap negara membutuhkan pangan untuk masyarakatnya
bisa bertahan hidup, dalam memenuhi kebutuhannya. Undang-undang Nomor 18
Tahun 2012 tentang Pangan mengamankan bahwa pemerintah bersama masyarakat
mewujudkan ketahanan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena Indonesia
merupakan negara dengan jumlah penduduk yang banyak dan tingkat
pertumbuhannya yang tinggi, maka upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan
merupakan tantangan yang harus mendapatkan prioritas untuk kesejahteraan bangsa.
Karena harus ada lembaga yang mengatur ketersediaan, stabilitas dan pola
konsumsinya. Indonesia merupakan salah satu negara yang memperhatikan pangan
dari masyarakatnya, melalui Perpres No 66 Tahun 2021 pemerintah membentuk
Badan Pangan Nasional. Dalam kita perlu mengetahui arti, aspek, tujuan dan faktor
yang mempengaruhi ketahanan pangan.
2. Rumusan Masalah
Apakah Dinas Ketahanan Pangan Kota Makassar berperan dalam mewujudkan
smart city Kota Makassar ?
3. Tujuan Penelitian
Mengetahui peranan Dinas Ketahanan Pangan Kota Makassar dalam mewujudkan
smart city Kota Makassar
4. Manfaat Penelitan
Penelitian ini diharapkan menjadi kontribusi pemikiran bagi perkembangan
pemahaman terkait smart city Kota Makassar terkhusus pada Dinas Ketahanan
Pangan.
B. Landasan Teori

1. Definisi Ketahanan Pangan


Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi semua orang dan
negara setiap saat tercermin dari makanan bergizi, aman, bermutu, beragam, bergizi,
terjangkau dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat.
Arti Ketahanan Pangan menurut para ahli sebagai berikut :
a. United Nations’ Committee on World Foods Security Komite PBB tentang
Ketahanan Pangan Dunia, Ketahanan pangan adalah semua orang setiap saat
memiliki akses fisik, sosial, dan ekonomi ke pangan yang cukup, aman, dan
bergizi yang memenuhi preferensi pangan dan kebutuhan pangan mereka.
b. Food and Agriculture Organization (1997), Ketahanan pangan adalah sebagai
suatu kondisi dimana semua rumah tangga memiliki akses secara fisik maupun
ekonomi untuk mendapatkan pangan bagi seluruh anggota keluarganya,
dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses
tersebut.
c. Menurut Undang- Undang Nomer 18 Tahun 2012 Ketahanan Pangan adalah
kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang
tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan
dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat,
aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
d. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2015, Ketahanan Pangan dan Gizi
adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan Pangan dan Gizi bagi negara sampai
dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup,
baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, memenuhi kecukupan gizi,
merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan
budaya masyarakat, untuk mewujudkan status gizi yang baik agar dapat hidup
sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
2. Konsep Ketahanan Pangan
Pemenuhan pangan dan gizi masyarakat dapat ditentukan dari sistem. Sistem
Ketahanan Pangan dibagi menjadi 3 aspek yang terdiri dari :
a. Ketersediaan Pangan
Pangan bergizi yang cukup dengan kualitas baik tersedia bagi masyarakat
untuk dikonsumsi. Ketersedian dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
Produksi, banyaknya jumlah dan jenis makanan yang tersedia untuk
masyarakat
Distribusi, bagaimana makanan tersedia (dipindahkan secara fisik) dalam
bentuk apa, kapan dan kepada siapa
Pertukaran, berapa banyak makanan yang tersedia san diperoleh melalui
mekanisme pertukaran seperti barter, perdagangan, perdagangan atau
pinjaman.
b. Keterjangkauan Pangan
Adalah kemampuan masyarakat dalam mengakses pangan, baik dari sisi akses
terhadap ekonomi maupun akses fisik. Keterjangkauan pangan dari sisi
ekonomi dipengaruhi antara lain oleh tingkat pendapatan atau daya beli,
stabilitas harga pangan, maupun tingkat kemiskinan.
c. Keamanan Pangan
Adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari
kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga
aman untuk dikonsumsi (UU No 18 Tahun 2012). Makanan dikatakan aman
baik kuantitas dan kualitas yang dikonsumsi secara langsung akan menentukan
status gizi, namun penyerapan gizi dalam tubuh dipengaruhi oleh kondisi fisik
seseorang. Untuk dapat hidup secara sehat, aktif dan produktif, maka
diperlukan asupan pangan dan gizi yang sesuai dengan kebutuhan. Upaya
pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi tersebut dilakukan dengan penerapan
pola konsumsi pangan yang beragam bergizi seimbang dan aman (B2SA) yang
dimulai dari keluarga.
C. Metode
Kerangka Analisis

Analisis situasi pangan dan


gizi di Kota Makassar

Aspek Akses Aspek Ketersediaan Aspek Aspek


Pangan Pangan Keterjangkauan Pemanfaatan
Pangan Pangan

Produksi, Cadangan
Keseimbangan
Pandemi Covid-19

Daya Beli Akses Pangan

Komoditas cabe besar


dan daging ayam ras
Analisis SWOT

Akses
Alternatif Strategi

Strategi Implementasi

Penguatan sumber daya dan lembaga pemberi pelayanan


kesehatan d gais terdepan (frontline unit)

Peningkatan aksesibilitas pangan di wilayah perkotaan


rawan pangan dan bagi keluarga miskin

Peningkatan diversifikasi gizi berbasis pangan lokal

Sensitif gender

Kesetaraan

Peningkatan efektifitas pelaksanaan monitoring status


gizi
D. Analisis

Analisis ketersedian pangan


Pada periode 2015-2020, produksi pangan strategis cenderung meningkat,
peningkatan tertinggi terjadi pada komoditas bawang merah yang mengalami peningkatan
sebesar 9,6% diikuti oleh telur Ayam ras (6,1%), daging sapi (4,4%), cabai rawit (3,2%) dan
beras (0,6%). Penurunan produksi terjadi untuk komoditas cabe besar dan daging ayam ras
masing-masing menurun sebesar 1,4% dan 11%. penurunan ini diduga disebabkan oleh
dampak pandemi COVID 19 yang menyebabkan daya beli yang berdampak pada respon
produsen daging ayam ras untung mengurangi produksi sesuai penurunan permintaan pasar.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dan meningkatkan kuantitas serta
kualitas konsumsi pangan, dalam pemenuhannya harus memperhatikan keberagaman jenis
(diversifikasi) dan jumlah pangan yang dikonsumsi masyarakat sesuai anjuran, untuk itu telah
ditetapkan target pencapaian angka ketersediaan pangan per kapita per tahun sesuai dengan
angka kecukupan gizinya. Hasil dari pemanfaatan/penyerapan pangan merupakan gambaran
dari status gizi seseorang terutama pada anak-anak. Konsumsi pangan yang beragam sangat
penting oleh karena tubuh manusia memerlukan beragam jenis zat gizi yang bersumber dari
berbagai jenis makanan dan minuman. Keragaman dan keseimbangan konsumsi pangan pada
tingkat keluarga akan menentukan kualitas konsumsi pada tingkat yang lebih luas baik
wilayah, kabupaten/kota, provinsi sampai ke tingkat nasional. gambaran kualitas konsumsi
pangan penduduk di suatu wilayah tercermin dari Skor Pola Pangan Harapan (PPH).
A. Masih rendahnya pendapatan dan daya beli sebagian masyarakat. Selain itu masih
terbatasnya ragam komoditas pangan yang ditunjukkan dengan sumber karbohidrat
masyarakat yang masih didominasi oleh beras. Akses pangan yang rendah akibat menurunnya
daya beli masyarakat yang disebabkan oleh kemiskinan dan stabilitas harga pangan yang
seringkali terganggu baik oleh kondisi alam maupun pasar.
B. Masih adanya sikap dan kebiasaan masyarakat, yang belum mengutamakan kandungan
gizi dalam memilih pangan yang dikonsumsi. Hal ini disebabkan oleh rendahnya pendidikan/
pengetahuan masyarakat terutama ibu atau pengasuh anak dan usia menikah yang terlalu
muda.
C. Kebijakan dan program terkait perbaikan gizi masih terfragmentasi akibat kurangnya
koordinasi dan belum dilaksanakannya pendekatan multi-sektor.

Analisis komsumsi pangan


Konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang di konsumsi agar
pemanfaatan pangan dalam tubuh dapat optimal dengan peningkatan atas kesadaran
pentingnya pola konsumsi yang beragam.
Konsumsi Pangan adalah sejumlah makanan dan atau minuman yang dimakan atau
diminum oleh manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hayatinya. Kajian konsumsi
pangan dapat dilakukan dari dua aspek, yaitu secara kuantitatif dan secara kualitatif. Untuk
menilai apakah penduduk telah terpenuhi kebutuhan pangannya secara kuantitatif dapat
didekati dari konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan proteinnya. Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi VIII (WNPG) menganjurkan konsumsi energi dan protein penduduk
Indonesia masing-masing adalah 2000 kkal/kap/hari dan 52 gram/kap/hari. Pada
rekomendasi WNPG sebelumnya, angka kecukupan energi adalah 2100 kkal/kap/hari dan
kecukupan protein sebesar 56 gram/kap/hari.

Persyaratan kecukupan (sufficiency condition) untuk mencapai keberlanjutan


konsumsi pangan adalah adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan.
Aksesibilitas ini tercermin dari jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga.
Dengan demikian data konsumsi pangan secara riil dapat menunjukkan kemampuan rumah
tangga dalam mengakses pangan dan menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam
rumah tangga. Perkembangan tingkat konsumsi pangan tersebut secara implisit juga
merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli masyarakat terhadap pangan.

Pada tahun 1999 tingkat konsumsi hampir semua jenis pangan menurun akibat krisis
ekonomi yang berlangsung sejak 1997. Konsumsi beras menurun sekitar 6 persen dan terigu
(pangan olahan dari terigu) menurun sekitar separuhnya (52 persen). Sebaliknya konsumsi
jagung dan ubi kayu sedikit meningkat. Pada masa pemulihan ekonomi (2002 – 2007),
konsumsi beras dan jagung masih terus menurun, konsumsi terigu relatif stagnan, sedangkan
konsumsi ubi jala dan ubi kayu meningkat. Peningkatan terbesar terjadi pada konsumsi ubi
kayu yang mencapai 16.6%.
Analisis Kebijakan Dan Program Dinas Ketahanan Pangan

Perencanaan makan dimulai di Indonesia oleh Pelita I. On pelaksanaan awal


perencanaan gizi berdasarkan informasi yang sangat baik terbatas, berasal dari temuan
penelitian di berbagai bidang, begitu sering menggambarkan kondisi yang kurang tepat untuk
seluruh Indonesia.

Karena permasalahan yang muncul, terutama kurangnya ketahanan pangan di


berbagai daerah, telah menarik minat kalangan ahli gizi Indonesia kegiatan untuk
mengembangkan sistem sesuai dengan kebutuhan dan situasi di Indonesia. Pemerintah juga
mempertimbangkan untuk membuat sistem peringatan pangan dan Gizi (SKPG) penting dan
sudah waktunya untuk mengembangkan dukungan meningkatkan kegiatan pembangunan.
Prinsip-prinsip berikut digunakan sebagai pedoman, misalnya dalam pengembangan SKPG
di Indonesia lainnya: a) SKPG disusun secara bertahap dengan memperhatikan tujuan SKPG
harus tercapai, (b) pengembangan SKPG menitikberatkan pada sesuatu masalah gizi yang
penting dan diprioritaskan, (c) Penyusunan SKPG memanfaatkan informasi dan organisasi
yang sudah ada.

Pendekatan yang digunakan untuk tujuan tersebut di atas berawal dari penyusunan
rencana usulan proyek pengembangan SKPG Indonesia pada tahun 1979. Proyek penelitian
dan pengembangan SKPG dilaksanakan dengan dukungan Cornell di Lombok Tengah, Nusa
Tenggara Barat, dan wilayah Boyolal di Jawa Tengah. . Universitas, Amerika Serikat. Proses
pengembangan Sistem Pensinyalan untuk Intervensi Dini (SIDI) berasal dari proyek
percontohan di Lombok Tengah dan Boyolali. Proyek percontohan ini kemudian akan
dilaksanakan di seluruh Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, masalah gizi dan gizi
dapat terjadi kapan saja dan tidak hanya bergantung pada kegagalan produksi. Oleh karena
itu, sejak tahun 1990 hingga 1997, SKPG dikembangkan lebih luas di seluruh Indonesia, dan
komponen operasionalnya terdiri dari: (1) Sistem Sinyal Intervensi Dini (SIDI), (2)
Pemantauan Status Gizi, dan (3) Pangan dan Gizi Jaringan Informasi. (JIPG).

SKPG masih dianggap sangat penting, sebagaimana tertuang dalam Peraturan


Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Administrasi Umum antara Dewan Nasional, Pemerintah Kabupaten, dan Pemerintah
Kabupaten dan Kota yang urusan daerah merupakan bagian dari Pangan. manajemen
keamanan. Pemerintah provinsi mempunyai tanggung jawab sebagai berikut: (1) mencegah
dan menanggulangi masalah pangan akibat menurunnya ketersediaan pangan di daerah
karena berbagai sebab; (2) pencegahan dan penyelesaian masalah pangan akibat penurunan
mutu, gizi dan keamanan pangan; (3) meningkatkan ketersediaan pangan manusia dan
mencegah pembusukan; dan (4) menangani dan memantau ketahanan pangan di provinsi.
Pemerintah negara bagian/kota memiliki tanggung jawab untuk mengatasi masalah ketahanan
pangan terkait SKPG, seperti: (1) mengidentifikasi kelompok ketahanan pangan di daerah;
(2) pengelolaan distribusi pangan pada kelompok rawan pangan di tingkat kabupaten; (3)
melakukan pencegahan dan pengendalian serta penanggulangan masalah pangan yang
disebabkan oleh penurunan ketersediaan, mutu, gizi, ketersediaan dan keamanan pangan; (4)
mengumpulkan dan menganalisis data ketahanan pangan daerah untuk perumusan kebijakan
ketahanan pangan di tingkat provinsi dan nasional.

Analisis Stabilitas Pangan

Pada tahun 1995-2005 konsumsi beras hampir selalu melebihi produksi dalam negeri
sehingga terjadi defisit hampir setiap tahun. Produksi beras bersih meningkat dari 28,20 juta
ton pada tahun 1995 menjadi 30,70 juta ton pada tahun 2005 atau rata-rata 0,85% per tahun.
Namun total konsumsi dalam negeri meningkat dari 28,57 juta ton pada tahun 1995 menjadi
30,86 juta ton pada tahun 2005 atau rata-rata 0,77 persen per tahun. Pada periode tersebut,
laju pertumbuhan produksi sedikit lebih cepat dari pertumbuhan konsumsi, sehingga defisit
beras turun dari 0,37 juta ton pada tahun 1995 menjadi 0,16 juta ton pada tahun 2005. Puncak
defisit pada tahun 1998 sebesar 2,63 juta ton. Defisit yang besar pada tahun 1998 antara lain
disebabkan oleh gagal panen yang disebabkan oleh anomali iklim (El Niño) selama periode
1997/98 Mh. Namun, terdapat bukti bahwa defisit beras mengalami penurunan rata-rata 8,02
persen per tahun selama 10 tahun terakhir. 
Produksi beras pada periode 2007-2017 berfluktuasi naik. Hanya pada tahun 2011 dan
2014 turun sebesar -1,09n -0,60%. Peningkatan produksi padi terbesar terjadi pada tahun
2009 sebesar 13,22%. Pada awal pemerintahan Jokowi pada 2015-2017, produksi beras
meningkat. Hal ini tidak terlepas dari konsistensi program peningkatan produksi padi melalui
benih, subsidi, mesin pertanian, jaminan harga bagi petani, dan waduk yang menampung air
hujan pada musim hujan untuk kemudian digunakan petani untuk mengairi lahan. Musim
kemarau. Di sisi konsumsi beras, konsumsi beras terus tumbuh dengan kecenderungan
mengikuti pertumbuhan penduduk setiap tahunnya. Data BPS menunjukkan jumlah penduduk
Indonesia 265 juta jiwa pada tahun 2018, meningkat 12,8 juta jiwa dibandingkan 252,2 juta
jiwa pada tahun 2014. Jika rata-rata jumlah penduduk bertambah 3,2 juta jiwa atau meningkat
1,27% per tahun. Dihitung dari tingkat konsumsi beras per kapita, data BPS menunjukkan
penurunan. Pada 2017, konsumsi beras per orang per tahun mencapai 114,6 kilogram,
dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 124,89 kilogram per orang per tahun. Bandingkan
dengan rata-rata konsumsi di China yang hanya 90 kg, India 74 kg, Thailand 100 kg dan
Filipina 100 kg (Sri Endang Rahayu, Mukmin Pohan, 2016). Melihat data tersebut, total
konsumsi beras meningkat menjadi 33.470.000 ton pada tahun 2018, dibandingkan dengan
33.300.000 ton pada tahun 2015. Hal ini karena pertumbuhan penduduk pada tahun 2018
mencapai 265 juta jiwa. 

Anda mungkin juga menyukai