DISUSUN OLEH :
KELOMPOK E Kelas B
BISNIS DIGITAL
2023
Smart City Dinas Ketahanan Pangan Kota Makassar
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Ketahanan pangan merupakan hal yang penting dan strategis, karena berdasarkan
beberapa negara menunjukan bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat
melaksanakan pembangunan secara mantap sebelum mampu mewujudkan ketahanan
pangan terlebih dahulu. Setiap negara membutuhkan pangan untuk masyarakatnya
bisa bertahan hidup, dalam memenuhi kebutuhannya. Undang-undang Nomor 18
Tahun 2012 tentang Pangan mengamankan bahwa pemerintah bersama masyarakat
mewujudkan ketahanan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena Indonesia
merupakan negara dengan jumlah penduduk yang banyak dan tingkat
pertumbuhannya yang tinggi, maka upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan
merupakan tantangan yang harus mendapatkan prioritas untuk kesejahteraan bangsa.
Karena harus ada lembaga yang mengatur ketersediaan, stabilitas dan pola
konsumsinya. Indonesia merupakan salah satu negara yang memperhatikan pangan
dari masyarakatnya, melalui Perpres No 66 Tahun 2021 pemerintah membentuk
Badan Pangan Nasional. Dalam kita perlu mengetahui arti, aspek, tujuan dan faktor
yang mempengaruhi ketahanan pangan.
2. Rumusan Masalah
Apakah Dinas Ketahanan Pangan Kota Makassar berperan dalam mewujudkan
smart city Kota Makassar ?
3. Tujuan Penelitian
Mengetahui peranan Dinas Ketahanan Pangan Kota Makassar dalam mewujudkan
smart city Kota Makassar
4. Manfaat Penelitan
Penelitian ini diharapkan menjadi kontribusi pemikiran bagi perkembangan
pemahaman terkait smart city Kota Makassar terkhusus pada Dinas Ketahanan
Pangan.
B. Landasan Teori
Produksi, Cadangan
Keseimbangan
Pandemi Covid-19
Akses
Alternatif Strategi
Strategi Implementasi
Sensitif gender
Kesetaraan
Pada tahun 1999 tingkat konsumsi hampir semua jenis pangan menurun akibat krisis
ekonomi yang berlangsung sejak 1997. Konsumsi beras menurun sekitar 6 persen dan terigu
(pangan olahan dari terigu) menurun sekitar separuhnya (52 persen). Sebaliknya konsumsi
jagung dan ubi kayu sedikit meningkat. Pada masa pemulihan ekonomi (2002 – 2007),
konsumsi beras dan jagung masih terus menurun, konsumsi terigu relatif stagnan, sedangkan
konsumsi ubi jala dan ubi kayu meningkat. Peningkatan terbesar terjadi pada konsumsi ubi
kayu yang mencapai 16.6%.
Analisis Kebijakan Dan Program Dinas Ketahanan Pangan
Pendekatan yang digunakan untuk tujuan tersebut di atas berawal dari penyusunan
rencana usulan proyek pengembangan SKPG Indonesia pada tahun 1979. Proyek penelitian
dan pengembangan SKPG dilaksanakan dengan dukungan Cornell di Lombok Tengah, Nusa
Tenggara Barat, dan wilayah Boyolal di Jawa Tengah. . Universitas, Amerika Serikat. Proses
pengembangan Sistem Pensinyalan untuk Intervensi Dini (SIDI) berasal dari proyek
percontohan di Lombok Tengah dan Boyolali. Proyek percontohan ini kemudian akan
dilaksanakan di seluruh Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, masalah gizi dan gizi
dapat terjadi kapan saja dan tidak hanya bergantung pada kegagalan produksi. Oleh karena
itu, sejak tahun 1990 hingga 1997, SKPG dikembangkan lebih luas di seluruh Indonesia, dan
komponen operasionalnya terdiri dari: (1) Sistem Sinyal Intervensi Dini (SIDI), (2)
Pemantauan Status Gizi, dan (3) Pangan dan Gizi Jaringan Informasi. (JIPG).
Pada tahun 1995-2005 konsumsi beras hampir selalu melebihi produksi dalam negeri
sehingga terjadi defisit hampir setiap tahun. Produksi beras bersih meningkat dari 28,20 juta
ton pada tahun 1995 menjadi 30,70 juta ton pada tahun 2005 atau rata-rata 0,85% per tahun.
Namun total konsumsi dalam negeri meningkat dari 28,57 juta ton pada tahun 1995 menjadi
30,86 juta ton pada tahun 2005 atau rata-rata 0,77 persen per tahun. Pada periode tersebut,
laju pertumbuhan produksi sedikit lebih cepat dari pertumbuhan konsumsi, sehingga defisit
beras turun dari 0,37 juta ton pada tahun 1995 menjadi 0,16 juta ton pada tahun 2005. Puncak
defisit pada tahun 1998 sebesar 2,63 juta ton. Defisit yang besar pada tahun 1998 antara lain
disebabkan oleh gagal panen yang disebabkan oleh anomali iklim (El Niño) selama periode
1997/98 Mh. Namun, terdapat bukti bahwa defisit beras mengalami penurunan rata-rata 8,02
persen per tahun selama 10 tahun terakhir.
Produksi beras pada periode 2007-2017 berfluktuasi naik. Hanya pada tahun 2011 dan
2014 turun sebesar -1,09n -0,60%. Peningkatan produksi padi terbesar terjadi pada tahun
2009 sebesar 13,22%. Pada awal pemerintahan Jokowi pada 2015-2017, produksi beras
meningkat. Hal ini tidak terlepas dari konsistensi program peningkatan produksi padi melalui
benih, subsidi, mesin pertanian, jaminan harga bagi petani, dan waduk yang menampung air
hujan pada musim hujan untuk kemudian digunakan petani untuk mengairi lahan. Musim
kemarau. Di sisi konsumsi beras, konsumsi beras terus tumbuh dengan kecenderungan
mengikuti pertumbuhan penduduk setiap tahunnya. Data BPS menunjukkan jumlah penduduk
Indonesia 265 juta jiwa pada tahun 2018, meningkat 12,8 juta jiwa dibandingkan 252,2 juta
jiwa pada tahun 2014. Jika rata-rata jumlah penduduk bertambah 3,2 juta jiwa atau meningkat
1,27% per tahun. Dihitung dari tingkat konsumsi beras per kapita, data BPS menunjukkan
penurunan. Pada 2017, konsumsi beras per orang per tahun mencapai 114,6 kilogram,
dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 124,89 kilogram per orang per tahun. Bandingkan
dengan rata-rata konsumsi di China yang hanya 90 kg, India 74 kg, Thailand 100 kg dan
Filipina 100 kg (Sri Endang Rahayu, Mukmin Pohan, 2016). Melihat data tersebut, total
konsumsi beras meningkat menjadi 33.470.000 ton pada tahun 2018, dibandingkan dengan
33.300.000 ton pada tahun 2015. Hal ini karena pertumbuhan penduduk pada tahun 2018
mencapai 265 juta jiwa.