Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH MATA KULIAH MIKROBIOLOGI INDUSTRI

Bioconversion of Renewable Resources to Desirable End Products


“Case Study: From Biomass to Biofuel (Ethanol)”

Dosen Pengampu:
Yoga Dwi Jatmiko, S.Si., M.App.Sc., Ph.D

Disusun oleh:
Kelompok 7
Arlisa Muthia Rivalina Muarif 205090100111003
Silvana Adelia Izza 205090100111064
Angelizsa Yusticia Christa Mariahati Silalahi 205090107111013

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring dengan kemajuan kehidupan dalam beberapa dekade akhir, telah terjadi urbanisasi,
modernisasi, dan industrialisasi yang berkaitan dengan produksi dan pemanfaatan energi.
Sehingga, hal ini telah menjadi lingkaran fundamental dalam sektor ilmiah, ekonomi, dan sosial.
Terbatasnya sumber bahan bakar yang tidak dapat diperbarui dan emisi gas rumah kaca telah
menjadi isu kritis. Maka dari itu, dibutuhkan sebuah perubahan yang dilakukan untuk mengatasi
krisis energi dengan mengeksplorasi opsi alternatif, mempertimbangkan masalah lingkungan dan
mitigasinya, serta memenuhi permintaan energi yang melonjak (Osman dkk., 2021).
Bahan bakar fosil merupakan bahan bakar yang sulit untuk digantikan dengan mudah oleh
sumber energi alami, seperti angin, matahari, panas bumi, laut, dan tenaga air. Hal ini karena
sumber energi alami hanya dapat memenuhi kebutuhan energi, tetapi tidak dapat secara langsung
menghasilkan bahan kimia atau bahan bakar (Osman dkk., 2021). Maka dari itu, diperlukan
pemanfaatan biomassa untuk menghasilkan bahan bakar dan bahan kimia. Biomassa merupakan
sumber daya terbarukan dan menjanjikan untuk menghasilkan energi, bahan bakar, dan bahan
kimia. Biomassa dapat diklasifikasikan sebagai biomassa non lignoselulosa atau biomassa
lignoselulosa. Biomassa non lignoselulosa bisa berbentuk minyak inedible, biomassa alga, dan
biomassa lainnya dengan lignin yang dapat diabaikan. Sedangkan biomassa lignoselulosa bisa
berbentuk kayu, kayu, ampas tebu, sekam padi, dan jerami gandum memiliki jumlah lignin yang
signifikan. Komposisi utama biomassa adalah hidrokarbon teroksigenasi yang memiliki potensi
sebagai bahan bakar dan bahan kimia. Namun dikarenakan terdapatnya variasi komposisi dan
struktur molekul yang kompleks, diperlukan teknologi berkelanjutan seperti pembakaran
langsung, gasifikasi, pirolisis, hidrolisis, fermentasi, proses enzimatik, dan jalur katalitik yang
digunakan untuk memecah komposisi dan struktur tersebut untuk membentuk bahan bakar dan
bahan kimia dari biomassa (Quereshi dkk., 2021).
Salah satu produk dari biomassa lignoselulosa adalah bioetanol. Bioetanol merupakan bahan
bakar yang alternatif yang baik dalam bahan tambahan bensin atau sebagai bahan bakar murni
dengan efisiensi dan kinerja tinggi (Verardi dkk., 2021). Bioetanol dapat diproduksi dari biomassa
lignoselulosa dengan proses yang cukup sulit. Hanya bagian selulosa dan hemiselulosa dari
biomassa yang dapat dikonversikan menjadi bioetanol, sehingga diperlukan pretreatment awal
agar selulosa dan hemiselulosa dapat diakses oleh enzim (Adiatama & Prasojo, 2021). Namun,
secara garis besar kita dapat mengetahui proses konversi dari biomassa lignoselulosa menjadi
bioetanol yang dapat mengurangi polusi udara dan mengurangi emisi gas rumah kaca terdiri atas
pretreatment, depolimerisasi, fermentasi, dan distilasi (Canilha dkk., 2012). Oleh karena itu,
pengetahuan mengenai biokonversi biomassa menjadi biofuel sangat diperlukan untuk mengetahui
jenis, pemanfaatan, dan keunggulan dari biomassa untuk menghasilkan biofuel.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah mikrobiologi industri dengan topik Bioconversion of
Renewable Resources to Desirable End Products “Case Study: From Biomass to Biofuel
(ethanol)” ini adalah sebagai berikut.
1. Memahami sumber-sumber dari biomassa sebagai energi terbarukan.
2. Memahami produk bioetanol sebagai salah satu jenis biofuel.
3. Memahami tahap pengubahan biomassa ke produk bioetanol.

1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari penyusunan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan,
khususnya dalam bidang mikrobiologi industri terkait pemanfaatan biomassa menjadi produk
biofuel khususnya bioetanol, serta tahap pengubahan biomassa menjadi produk bioetanol sehingga
dapat digunakan sebagai salah satu acuan untuk penelitian selanjutnya terkait pengembangan
produk bioetanol.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Biomassa
Biomassa merupakan sumber dari energi terbarukan paling luas dan eksploitasinya mengalami
peningkatan seiring berjalannya waktu. Biomassa berasal dari kombinasi bahan alami yang berasal
dari komponen organik seperti tanaman, pohon, alga, dan matriks organik lainnya. Biomassa
memiliki potensi besar dalam proses produksi biofuel yang dimanfaatkan di bidang transportasi,
listrik, dan panas. Biomassa menjadi sumber daya yang dapat diperbarui karena memiliki
rangkaian proses pembentukan yang singkat dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi
lingkungan sekitar. Proses pembentukan biomassa tidak akan meningkatkan CO2 pada atmosfer
bumi, karena senyawa kimia (CO2) yang dihasilkan dalam proses pembentukannya akan
dimanfaatkan kembali oleh tumbuhan sebagai bahan fotosintesis atau proses metabolismenya.
Sumber biomassa (Gambar 1) berasal dari berbagai aktivitas. Adapun sumber biomassa yakni
berasal dari residu hewan (berupa limbah organik pada peternakan), residu hutan dan pertanian
(berupa limbah industri pengolahan kayu), sistem pembuangan air, Municipal Solid Waste
(MSW), alga, dan tanaman air lainnya (Tursi, 2019).

(Tursi, 2019)
Gambar 1. Sumber biomassa

Biomassa diklasifikasikan ke dalam beberapa karakteristik sesuai dengan komposisi


penyusunnya. Berdasarkan asal, fungsi dan juga produk akhir yang dihasilkan dari biomassa,
terdapat dua kategori yakni berdasarkan jenis biomassa di alam (secara ekologi maupun jenis
vegetasinya), kedua yakni berdasarkan aplikasi biomassa sebagai bahan bakunya (Tursi, 2019).
Secara susunan senyawa kimianya, biomassa dibagi menjadi lima kategori yakni sebagai berikut:
A. Biomassa kayu
Merupakan biomassa yang berasal dari bahan sisa pembakaran maupun proses konversi
pohon, semak berkayu, dan kulit kayu sehingga dapat dihasilkan energi. Biomassa kayu yang
dimanfaatkan sebagai bahan bakar maupun sumber energi berasal dari limbah kayu pasca
produksi, limbah pertanian dan perkotaan. Biomassa kayu dapat menghasilkan energi
dengan jumlah yang cukup. Secara global, produksi energi dari biomassa kayu sebesar 30
Exajoule (EJ), pada aktivitas rumah tangga menghasilkan energi sebesar 16 EJ, dan dalam
penggunaannya di bidang industri biomassa kayu menghasilkan energi sebesar 14 EJ (Tursi.,
2019).

B. Biomassa herba
Merupakan biomassa yang berasal dari tanaman monokotil atau tidak berkayu serta dari
tanaman mati yang mengalami pembusukan. Biomassa herba juga dapat diklasifikasikan ke
dalam sisa pengolahan produk makanan dari biji-bijian seperti sereal dengan bentuk limbah
berupa jerami (Tursi., 2019).

C. Biomassa aquatic
Biomassa aquatic atau biomassa perairan merupakan biomassa yang berasal dari tanaman air
seperti mikroalga, makroalga, dan tumbuhan air liar. Beberapa kategori dari biomassa aquatic
yakni sebagai berikut:
• Makroalga merupakan organisme multisel yang dapat tumbuh hingga mencapai panjang 60
m. Makroalga digunakan sebagai produksi makanan dan ekstrak hidrokoloid.
• Mikroalga merupakan organisme mikroskopis yang diklasifikasikan ke dalam sub
kelompok yakni diatom (alga coklat uniseluler yang merupakan mikroflora air dan biomassa
terbesar), alga hijau (alga hijau dapat menghasilkan produk utama berupa pati), dan alga
emas (alga dengan warna coklat keemasan dan mampu menghasilkan produk utama berupa
minyak dan karbohidrat).
• Tumbuhan air liar merupakan tumbuhan yang tumbuh atau muncul pada permukaan rawa-
rawa dengan jumlah spesies di alam yang cukup besar yakni berkisar 55.000. Tumbuhan ini
dapat menghasilkan metabolit dan senyawa kimia lainnya yang berasal dari proses
fotosintesis dengan bahan dasar CO2, air, dan sinar matahari (Tursi, 2019).

D. Biomassa Hasil Ekskresi Manusia dan Hewan


Merupakan biomassa yang berasal dari daging dan tepung tulang berbagai jenis hewan, sisa
ekskresi manusia, dan juga pupuk kandang. Sebelum adanya teknologi pengolahan biomassa
sampah organik tersebut dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Akan tetapi pada pengolahan
digestasi anaerobik dapat menghasilkan produk seperti biogas yang dapat dimanfaatkan sebagai
bahan dasar penghasil listrik (Tursi, 2019).
E. Biomassa campuran
Merupakan biomassa yang berasal dari campuran berbagai jenis biomassa (Tursi, 2019).

2.2 Biofuel
Biofuel adalah bahan bakar alternatif dari bahan bakar fosil, yang dapat digunakan untuk
transportasi, pemanas, dan pembangkit listrik. Biofuel dianggap terbarukan karena berasal dari
biomassa yang dapat ditanam atau diproduksi secara berkelanjutan. Namun, hal ini bergantung
pada cara memperoleh biofuel beserta dengan produknya. Biofuel dapat terbentuk dari fraksi-
fraksi limbah organik, seperti tanaman, limbah pertanian, sisa hutan, bahkan dari ganggang. Salah
satu contoh biofuel yang sering dikenal adalah etanol. Etanol merupakan hasil produk biofuel yang
dibentuk dengan proses fermentasi gula-gula turunan. Etanol biasa dihasilkan dari bahan-bahan
makanan berbahan dasar pati, seperti tebu, gandum, jagung, atau biomassa lignoselulosa yang
biasa digunakan untuk menstabilkan dekarbonisasi pada bahan bakar transportasi (Kowalski dkk.,
2022). Berdasarkan bahan baku dan proses konversinya, biofuel dapat diklasifikasikan dalam
empat generasi (Gambar 2).

(Cavelius dkk., 2023)


Gambar 2. Klasifikasi generasi dari biofuel

Generasi pertama biofuel didasarkan pada fermentasi mikroba dari bahan makanan yang dapat
dimakan tetapi harus berbahan dasar pati dan sukrosa. Bahan dasar yang biasa digunakan adalah
gandung, jagung, dan tebu. Proses penghasilan bioetanol tidak terbatas untuk pada generasi
pertama, tetapi tetap bergantung pada stok pangan dan strain yang digunakan untuk produksi.
Selain bioethanol, terdapat biobutanol juga yang dapat dihasilkan dari proses fermentasi gula, dari
tebu, jagung, dan tanaman pangan lainnya. Namun, produksi biobutanol ini terbatas karena
produktivitas dan hasilnya yang rendah. Pada generasi pertama biofuels terdapat kelebihan seperti
proses yang sederhana, biaya yang tidak mahal, bersifat stabil dan tidak terdapat pretreatment yang
intensif. Sedangkan untuk kekurangannya sendiri yaitu karena adanya perdebatan antara
kepentingan pangan dan bahan bakar, tingginya penggunaan lahan dan air bersih yang dibutuhkan
(Cavelius dkk., 2023).
Berdasarkan kekurangan dari generasi pertama, dilakukan pengembangan pada produksi
biofuel generasi kedua. Generasi kedua biofuel menggunakan biomassa lignoselulosa dari residu
pertanian, residu hutan, dan lainnya seperti sisa industri makanan. Keunggulan dari biofuel
generasi kedua adalah tidak bergantung pada perubahan penggunaan lahan pertanian dan tidak ada
kepentingan untuk bersaing dengan sumber makanan. Namun, terdapat juga kekurangan dari
produksi biofuel generasi kedua, yaitu terbentuknya biomassa yang terbatas dan dibutuhkan proses
pretreatment yang panjang dan penting karena digunakan bahan baku yang kompleks. Salah satu
contoh dari hasil biofuel generasi kedua adalah sunliquid yang merupakan etanol selulosa dari
jerami yang merupakan residu pertanian yang kurang dimanfaatkan (Cavelius dkk., 2023).
Generasi ketiga biofuel dibentuk oleh mikroalga dan biomassa cyanobacteria. Kedua
mikroorganisme ini dapat digunakan untuk menghasilkan alkohol dan lipid secara alami yang
dapat diubah menjadi biodiesel atau bahan bakar energi tinggi lainnya. Terdapat laju fotosintesis
2—4 kali lipat lebih tinggi pada alga apabila dibandingkan dengan tanaman terestrial dalam
kecepatannya untuk menghasilkan dan membentuk biomassa. Selain itu, alga tidak membutuhkan
tanah yang subuh atau air tawar untuk tempat budidayanya. Budidaya alga dapat dengan mudah
dilakukan pada air payau, air limbah, atau pada air laut (Gambar 3). Namun, yang paling
terpenting dibutuhkan pasokan karbon dioksida yang cukup dalam membudidayakan alga, yang
dengan mudah didapatkan dan dipasok melalui industri penghasil emisi karbon dioksida atau
bahkan dengan penangkapan karbon di atmosfer. Biomassa yang dihasilkan alga akan terdapat
potensi jejak karbon negatif, dikarenakan mereka dapat mengikat GHG dalam produksi biomassa
mereka. Kekurangan lainnya adalah dibutuhkan biaya downstream yang tinggi, dikarenakan
proses pemanenan yang sulit dan membutuhkan energi yang tinggi untuk dilakukan. Hal ini terjadi
karena ukuran dan kepadatan sel mikroalga yang rendah, selain itu kepekaan sel terhadap pH yang
tinggi. Terdapat banyak perusahaan yang mengarahkan pemanfaatan biomassa dari alga untuk
produksi makanan, pangan dan aplikasi komersial biofuel (Cavelius dkk., 2023).

(Cavelius dkk., 2023)


Gambar 3. Proses budidaya alga pada Algaetec
Terakhir adalah generasi keempat dari biofuels. Pada generasi ini, digunakan rekayasa
genetika untuk meningkatkan sifat yang diinginkan dari organisme yang digunakan dalam
produksi biofuel. Sifat yang diinginkan seperti penggunaan berbagai jenis gula, proses sintesis
lipid yang lebih tinggi, bahkan peningkatan proses fiksasi karbon dan fotosintesis. Pada saat ini,
digunakan dua pendekatan terbaru pada proses rekayasa genetika, seperti pendekatan rekayasa
jalur pada produsen asli (mengoptimalkan tingkat pertumbuhan, memanfaatkan sumber karbon
yang berbeda, mengarahkan fluks metabolisme menuju produksi biofuel, dan meningkatkan titer
produksi) serta pendekatan rekonstruksi jalur yang diidentifikasi pada produsen alami dalam
organisme model yang lebih dapat diakses secara genetik. Kelebihan dari generasi keempat adalah
didapatkan hasil yang lebih meningkat karena adanya proses rekayasa genetik dan termasuk
penggunaan secara langsung karbon dioksida dan gas sintetik. Salah satu contoh pemanfaatan
rekayasa genetika pada generasi keempat biofuels ini yaitu dapat mengoptimalkan cyanobacteria
secara genetika untuk memproduksi tidak hanya etanol tetapi juga bahan bakar lainnya, seperti
butanol, isobutanol, bahkan asam lemak termodifikasi. Terlepas dari kuantitas dan kualitas biofuel
yang dapat dihasilkan, generasi keempat ini tetap memiliki kekurangan yaitu peraturannya yang
ketat dan lebih banyak karena masalah keamanan, yang dapat menyebabkan masalah seperti
adanya risiko lolosnya organisme hasil rekayasa genetika (GMO) yang berbahaya (Cavelius dkk.,
2023).

2.3 Tahapan Pengubahan Biomassa Menjadi Bioetanol


Etanol merupakan zat cair dengan sifat tidak mudah menguap, memiliki sedikit bau, dan juga
mudah menguap. Produksi etanol dapat dilakukan secara mikrobiologis yang disebut sebagai
bioetanol. Bahan dasar bioetanol (Gambar 4) terbagi ke dalam tiga generasi yakni pada generasi
pertama meliputi sukrosa yang berasal dari sari tebu, gula, buat bit, sorghum, buah buahan, pati
(jagung, gandum, kentang, beras, ubi jalar, dan singkong). Generasi kedua produksi etanol berasal
dari biomassa lignoselulosa yang meliputi kayu, jerami, dan juga rerumputan. Sedangkan generasi
ketiga yakni turunan dari biomassa alga yang meliputi makroalga dan mikroalga (Kuila & Sharma,
2018).

(Kuila & Sharma, 2018)


Gambar 4. Bahan dasar produksi bioetanol
Pengubahan biomassa menjadi bioetanol dilakukan melalui beberapa proses dari fermentasi
hingga dehidrasi. Skema pembentukan bioetanol dari biomassa (Gambar 5) menunjukkan proses
upstream hingga downstream. Biomassa dilakukan pretreatment melalui metode vent gas atau
pembuangan gas sebagai proses persiapan untuk metode selanjutnya yakni digesti anaerobik.
digesti anaerobik dilakukan dengan proses fermentasi bahan organik (biomassa) oleh
mikroorganisme (yeast) yang menggabungkan serangkaian reaksi biokimia sehingga dapat
mengubah gula sederhana (pentosa dan heksosa) menjadi CO2 dan etanol (CH3CH2OH). Bahan
dasar yang digunakan sebagai produk dari pembentukan bioetanol dibagi dalam tiga kategori yakni
gula, pati, dan juga substrat lignoselulosa. Proses pengubahan gula untuk menghasilkan etanol
dilakukan melalui dua proses metabolisme yang didasarkan oleh substrat awal yang digunakan.
Gula sederhana heksosa akan melalui proses glikolisis atau Embden-Meyerhof pathway (EMP).
Metabolisme kedua yang dilakukan yakni pada pentosa melalui pentose phosphate pathway (PPP).
Proses pengubahan biomassa menjadi etanol dan CO2, terdapat produk sampingan yang dihasilkan
yakni gliserol dan asam karboksilat. Hasil dan kualitas produk akan dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain suhu, bahan baku, pH, inokulum, dan juga lama waktu fermentasi. Proses terakhir
dari pembentukan etanol yakni destilasi dan dehidrasi. Tahapan inu bertujuan untuk menghasilkan
etanol pekat dan memisahkan dengan residu padat yang dapat digunakan sebagai bahan bakar
boiler dan sebagai produksi gas (Tursi, 2019).

(Tursi, 2019)
Gambar 5. Skema pembentukan bioetanol

Produksi bioetanol dipengaruhi oleh bahan dasar atau substrat yang digunakan dalam
proses pembentukannya. Variasi bahan dasar pembuatan bioetanol (Tabel 1), menunjukkan hasil
etanol yang bervariasi pula. Berdasarkan 9 bahan dasar yang digunakan untuk memproduksi
etanol, terdapat 1 bahan organik dengan produk etanol yang dihasilkan cukup tinggi yakni berkisar
5.000—15.000 gal/acre atau 46.760—1.402. 900 L/ha. Sedangkan pada biomassa penghasil etanol
paling kecil adalah gandum (wheat) (Kuila & Sharma., 2018).

Tabel 1. Produksi etanol berdasarkan variasi bahan dasar

(Kuila & Sharma., 2018)

Proses produksi bioetanol akan melibatkan serangkaian fermentasi yang dibantu oleh
mikroorganisme. Salah satu mikroorganisme yang mampu menghasilkan metabolit sebagai bahan
fermentasi penghasil alkohol adalah yeast atau ragi. Sebagian besar ragi atau yeast yang digunakan
dalam fermentasi adalah yeast dari ascomycetes yang biasa dikenal dengan Saccharomyces
cerevisiae (Radecka dkk., 2015). Adapun beberapa yeast yang dimanfaatkan dalam proses
fermentasi alkohol atau etanol yakni sebagai berikut:

a. Saccharomyces cerevisiae
Merupakan mikroorganisme (yeast) yang paling banyak digunakan di bidang industri
fermentasi. Yeast ini optimal dalam melakukan fermentasi pada suhu 25—37 0C.
Saccharomyces cerevisiae dapat berkembang biak pada kondisi aerobik maupun anaerobik
sehingga memiliki kemampuan untuk mengakumulasi etanol dengan konsentrasi yang tinggi.
Kemampuan dari yeast ini menjadi pilihan dalam bidang industri fermentasi makanan maupun
minuman (Radecka dkk., 2015).

b. Zygosaccharomyces rouxii
Merupakan ragi dari filum hemiascomycetes dengan kemampuan yang paling osmotoleran
dan halotoleran sehingga dapat tumbuh pada konsentrasi gula 90%. Ragi ini digunakan sebagai
fermented atau pembusuk makanan dan minuman dengan kandungan gula tinggi.
Zygosaccharomyces rouxii digunakan pada produksi cuka dan kecap dengan fungsi untuk
membentuk rasa (Radecka dkk., 2015).
c. Dekkera bruxellensis
Merupakan ragi dengan kemampuan seperti S. cerevisiae sehingga seringkali digunakan
sebagai rahi pembusuk pada makanan dan minuman seperti bir, anggur, dan sari buah apel.
Dekkera bruxellensis merupakan ragi dengan sifat anaerobik fakultatif, mampu tumbuh pada
lingkungan asam, dapat toleran terhadap etanol, dan mampu menghasilkan serta
mengakumulasi kadar etanol yang tinggi (Radecka dkk., 2015).

2.4 Study Case Pembentukan Bioetanol


Biomassa merupakan salah satu sumber energi alternatif yang sangat baik untuk proses
produksi bahan bakar. Bahan bakar yang dihasilkan dari pemrosesan biomassa disebut dengan
biofuel. Salah satu biofuel yang paling umum adalah bioetanol. Bioetanol memiliki sifat yang
ramah lingkungan karena menghasilkan polutan yang lebih sedikit. Makroalga atau rumput laut
dapat digunakan untuk proses fermentasi etanol, dengan cara mengubah polisakarida yang berada
di makroalga menjadi gula yang dapat difermentasi. Makroalga memiliki kandungan karbohidrat
yang dapat digunakan untuk produksi bioetanol. Salah satu metode yang paling umum untuk
produksi bioetanol dari biomassa yakni biochemical process melalui fermentasi. Sebagian besar
etanol yang dikomersilkan merupakan etanol yang difermentasi oleh Saccharomyces cerevisiae,
yang dapat mengubah hampir 90% glukosa menjadi etanol (Saravanan dkk., 2018).
Tahapan yang dilakukan untuk pembuatan bioetanol ini diawali dengan koleksi sampel berupa
alga merah Gracilaria sp. dan dan alga cokelat Sargassum sp. yang didapatkan dari wilayah pesisir
tenggara India. Sampel diambil kemudian dibilas dengan air laut untuk menghilangkan partikel
dan epifit dari makroalga. Sampel disimpan dalam ice box kemudian dibilas dengan tap water
untuk menghilangkan garam di permukaan. Makroalga kemudian dikeringkan dan dipotong untuk
dibuat bubuk. Sampel dianalisis komposisi biokimia, yang meliputi kadar air, protein, lipid,
karbohidrat, dan kadar abu. Kemudian, dilakukan proses fermentasi, diawali dengan mechanical
pre-treatment, yang dilakukan dengan desalinasi bubuk makroalga, agar salinitas tidak
mengganggu proses purifikasi. Kemudian dilakukan treatment menggunakan air panas dan alkali
untuk mengekstrak polisakarida. Ekstrak dipurifikasi menggunakan filtrasi atau sentrifugasi, dan
kandungan air pada ekstrak dihilangkan. Sampel dilakukan hidrolisis asam dengan menambahkan
3% dan 4% H2SO4 sebanyak 80 mL kemudian disterilisasi dengan autoklaf pada 121°C selama 30
menit, diinkubasi pada shaker incubator, dan dilakukan pengaturan pH hingga 6,5-7. Hidrosilat
dari proses hidrolisis asam kemudian dilakukan hidrolisis enzim, yakni selulase dan pektinase
untuk Sargassum sp., serta selulase dan β-glucosidase untuk Gracilaria sp. Setelah dilakukan
hidrolisis, sampel disentrifugasi. Supernatan yang didapatkan digunakan untuk produksi etanol
(Saravanan dkk., 2018).
Tahap selanjutnya adalah isolasi dan identifikasi yeast untuk produksi bioetanol. Isolat yeast
diisolasi dari sari tebu, kemudian diidentifikasi sehingga diketahui bahwa yeast yang digunakan
adalah Saccharomyces cerevisiae MTCC174 dan Hanseniaspora opuntiae GK01. Produksi
bioetanol dilakukan pada erlenmeyer 500 mL yang berisi fermentation broth sebanyak 100 mL,
pH diatur menjadi 5.0 kemudian dilakukan sterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121°C
selama 20 menit. Kedua yeast diinokulasi pada medium Sargassum sp. dan Gracilaria sp., lalu
diinkubasi pada inkubator shaker pada 12 rpm, 30°C selama 96 jam. Aliquot disentrifugasi untuk
mendapatkan cell free supernatants. Produk yang didapatkan pada medium merupakan campuran
dari etanol, cell mass, dan air. Produk dilakukan purifikasi menggunakan distilasi untuk
mendapatkan etanol. Etanol yang didapatkan kemudian dipekatkan dan diestimasi menggunakan
metode oksidasi dikromat (Saravanan dkk., 2018).
Hasilnya, uji komposisi biokimia menunjukkan karbohidrat memiliki persentase tertinggi
dibandingkan dengan protein dan lipid (Gambar Y_Y). Sebanyak 45% dan 56% dari bobot kering
makroalga adalah total karbohidrat. Hasil dari hidrolisis asam menunjukkan bahwa jumlah gula
pereduksi Gracilaria sp. lebih tinggi dibandingkan dengan Sargassum sp., hal ini disebabkan
karena kandungan karbohidrat yang dapat difermentasi pada Gracilaria sp. lebih tinggi. Hidrolisis
enzim menghasilkan gula pereduksi seperti glukosa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Gracilaria sp. yang difermentasi menggunakan S. cerevisiae memiliki dengan dua tahap hidrolisis,
yakni hidrolisis asam dan hidrolisis enzim menghasilkan etanol tertinggi (Saravanan dkk., 2018).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Biomassa merupakan sumber energi terbarukan yang berasal dari bahan alami seperti tanaman,
pohon, alga, dan matriks organik lainnya. Proses pembentukan biomassa tidak meningkatkan CO2
pada atmosfer, karena CO2 yang dihasilkan dimanfaatkan kembali oleh tumbuhan sebagai bahan
fotosintesis. Sumber biomassa berasal dari residu hewan, residu hutan dan pertanian, sistem
pembuangan air, Municipal Solid Waste (MSW), dan alga. Biofuel merupakan bahan bakar yang
dihasilkan dari biomassa. Salah satu contoh biofuel adalah etanol. Etanol dibentuk dari proses
fermentasi gula-gula turunan yang dihasilkan dari bahan berbahan dasar pati. Berdasarkan bahan
baku dan proses konversinya, biofuel dapat diklasifikasikan dalam empat generasi. Tahapan
pengubahan biomassa menjadi bioetanol dilakukan dari fermentasi hingga dehidrasi. Salah satu
contoh dari pembentukan bioetanol generasi ketiga adalah pembentukan bioetanol dari Gracilaria
sp. dan Sargassum sp. yang difermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae MTCC174 dan
Hanseniaspora opuntiae GK01.
DAFTAR PUSTAKA

Adiatama, J. C. & H. Prasojo. 2021. Critical review on the biofuel development policy in
Indonesia. IESR. Jakarta.
Canilha, L., A. K. Chandel, T. Suzane dos Santos Milessi, F. A. F. Antunes, W. Luiz da Costa
Freitas, M. das Graças Almeida Felipe & S. S. Da Silva. 2012. Bioconversion of sugarcane
biomass into ethanol: an overview about composition, pretreatment methods,
detoxification of hydrolysates, enzymatic saccharification, and ethanol fermentation.
Journal of Biomedicine and Biotechnology. 2012.
Kuila, A & Sharma, V. 2018. Principles and Applications of Fermentation Technology.
Scrivener Publishing LLC. Hoboken.
Osman, A. I., N. Mehta, A. M. Elgarahy, A. Al-Hinai, A. A. H. Al-Muhtaseb, & D. W. Rooney.
2021. Conversion of biomass to biofuels and life cycle assessment: a review.
Environmental chemistry letters. 19: 4075—4118.
Quereshi, S., P. R. Jadhao, A. Pandey, E. Ahmad & K.K. Pant. 2021. Sustainable Fuel
Technologies Handbook. Academic Press. Chennai.
Radecka, D., Mukherjee, V., Mateo, R. Q., Stojiljkovic, M., Foulquie-Moreno, M. R., &
Thevelein, J. M. 2015. Looking beyond Saccharomyces: the potential of non-conventional
yeast species for desirable traits in bioethanol fermentation. FEMS yeast research. 15(6):
fov053.
Saravanan, K., S. Duraisamy, G. Ramasamy, A. Kumarasamy & S. Balakrishnan. 2018. Evaluation
of the saccharification and fermentation process of two different seaweeds for an
ecofriendly bioethanol production. Biocatalysis and Agricultural Biotechnology. 14: 444—
449.
Tursi, A. 2019. A review on biomass: importance, chemistry, classification, and conversion.
Biofuel Research Journal. 6(2): 962.
Verardi, A., C. G. Lopresto, A. Blasi, S. Chakraborty & V. Calabrò. 2020. Lignocellulosic
biomass to liquid biofuels. Academic Press. San Diego.

Anda mungkin juga menyukai