Anda di halaman 1dari 76

1

I. TUJUAN
1.1 Umum
Tujuan umum dari makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui potensi energi biomasa sebagai energi nonkonvensional

1.2 Khusus
Tujuan khusus dari makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui klasifikasi biomasa
2. Untuk mengetahui pemanfaatan biomasa
3. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan biomasa
4. Untuk mengetahui teknologi pengolahan biomasa
5. Untuk mengetahui cadangan biomasa di Indonesia dan dunia

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pengertian Biomasa
Biomasa adalah bahan yang berasal dari makhluk hidup, termasuk tanaman,
hewan dan mikroba. Penelitian mengenai nilai tambah yang dapat dieksplorasi dari
biomasa banyak dilakukan dekade terakhir ini, terutama bila dikaitkan degan hajat
hidup utama manusia yang menyangkut pada kebutuhan energi dan bahan lain yang
selama ini didapat dari sumber yang tidak dapat diperbaharui. Menjadikan biomasa
sebagai sumber untuk memenuhi kebutuhan tersebut menjadi menarik, sebab
biomasa merupakan bahan yang dapat diperbaharui, meliputi pohon, tumbuhan,
tanaman produksi dan residunya, serat-serat tanaman, limbah hewan, limbah
industri dan limbah-limbah lain yang berupa bahan organik. Pemanfaatan energi
biomasa yang sudah banyak ada saat ini adalah dari limbah Biomasa. Yakni, sisa-
sisa Biomasa yang sudah tidak terpakai semisal bagas (bekas tebu kering), tangkai
jagung, tangkai padi, dan yang semisalnya. Pencarian dan pengujian jenis tanaman
yang secara khusus telah disiapkan untuk ditanam sebagai sumber energi Biomasa
sudah dilakukan selama beberapa tahun terakhir.
2

Banyak tanaman yang telah diusulkan untuk kemudian diuji, yang secara
umum, tanaman untuk sumber energi Biomasa ini harus memiliki beberapa
karakteristik berikut:
1. Mudah ditanam dengan hasil produksi Biomasa kering yang tinggi
2. Tidak membutuhkan banyak usaha untuk perawatan (kebutuhan pupuk/air)
3. Biaya keseluruhan yang dibutuhkan cukup rendah.
4. Tidak memiliki banyak kontaminan.
5. Tahan terhadap hama
Karakteristik di atas sangat bergantung kepada kondisi iklim dan tanah di
mana tanaman tersebut ditumbuhkan.

Gambar 1. Struktur Biomasa yang tersusun dari selulosa, hemiselulosa dan lignin
Biomasa umumnya mengandung tiga komponen penting; selulosa (40–
50%), hemiselulosa (20–30%), lignin (20–25%), dan sejumlah kecil kandungan
lainnya. Rasio ini bisa berbeda-beda tergantung jenisnya. Rasio antara
selulosa/hemiselulosa dan lignin merupakan salah satu faktor penentu dalam
identifikasi kesesuaian jenis tanaman untuk pengolahan selanjutnya sebagai sumber
energi. Selulosa adalah polimer glukosa, yang terdiri dari rantai lurus unit monomer
(1,4)-D-glukopiranosa (C6), di mana setiap unitnya dihubungkan dalam konfigurasi
 pada posisi 1–4, dengan berat molekul sekitar 100.000. Hemiselulosa adalah
campuran polisakarida (dari monomer C5 dan C6), terdiri hampir seluruhnya adalah
gula seperti glukosa, manose, xilosa, arabinosa dan yang lainnya dengan berat
molekul rata-rata sekitar 30.000. Berbeda dengan selulosa, ikatan unit monomer
pada hemiselulosa adalah bercabang terikat erat secara acak dan ke permukaan
setiap mikrofibril selulosa. Adapun untuk lignin, meski struktur tepatnya belum
bisa dipastikan, namun lignin dapat dianggap sebagai grup amorf tiga dimensi yang
3

terdiri dari struktur metoksi fenilpropana. Ada tiga monomer utama yang
membentuk struktur lignin (monolignol) adalah: alkohol p-koumaril, koniferil, dan
sinapil. Monolignol ini membangun struktur lignin dalam ikatan phenylpropanoids
p-hydroxyphenyl (H), guaiacyl (G) dan syringyl (S), yang menyebabkan tingginya
berat molekul total lignin. (Lihat Gambar 1).
Para peneliti mengkategorikan Biomasa dalam berbagai kelompok, namun
secara mudah dapat diklasifikan sebagai berikut:
1. Tanaman berkayu (woody plant/lignocellulose)
2. Tanaman rerumputan (herbaceous plants/grasses)
3. Tanaman air (aquatic plants)
3. Pupuk (manure/compost)
Masing-masing kategori memiliki kadar rasio selulosa, hemiselulosa, dan
lignin yang berbeda. Saat ini, kategori Biomasa tanaman berkayu, rerumputan, dan
tanaman air sedang digalakkan untuk dipelajari oleh sebagian besar peneliti dan
penyedia teknologi.

2.1.1 Sifat dan Karakteristik Biomasa


Biomasa dapat dikonversi menjadi 3 jenis produk utama:
1. Energi panas/listrik
2. Bahan bakar transportasi
3. Bahan baku kimia.
Pemilihan jenis biomasa untuk dikonversi produk-produk di atas sangat
terkait sifat-sifat kimia dan fisika yang dimilikinya (chemical/physical property).
Sifat-sifat ini adalah sifat yang melekat pada Biomasa, yang menentukan pilihan
proses konversi dan teknologi pengolahan selanjutnya.
Sifat-sifat dan karakteristik penting pada biomasa yang perlu diperhatikan
adalah sebagai berikut:
1. kadar air (intrinsik dan ekstrinsik)
2. nilai kalori
3. kandungan residu/abu
4. kandungan logam alkali
5. rasio antara selulosa dan lignin
4

6. kandungan karbon terikat (fixed carbon) dan kandungan zat volatile (volatile
matter).

Terdapat dua tipe biomasa sebagai bahan baku bioenergi :


1. Biomasa Mentah
Yaitu bahan yang berasal dari benda hidup yang tidak diproses. Contohnya
produksi industri hutan, seperti kayu atau sisa logging yang tidak ekonomis untuk
dibuat produk jadi, produk-produk hasil pertanian, seperti jagung, ubi, rumput,
kelapa sawit, dan produk-produk laut seperti alga dan ganggang. Salah satu
pemanfaatan biomasa mentah menjadi sumber energi ialah pellet kayu.

2. Biomasa Bekas Olahan


Yaitu bahan yang awalnya diturunkan dari biomasa mentah tapi telah
mengalami perubahan yang berarti baik secara fisik maupun secara kimia. Misalnya
kertas, produk-produk karet alam, hasil samping dari pengolahan bahan pangan dan
minyak goreng bekas.

2.2 Pengolahan Biomassa


Tabel 1. Indikator Pembeda Biomassa Tradisional dan Biomassa Modern
5

Gambar 2. Skema Pengolahan Biomasa Hingga Menjadi Produk Jadi

2.2.1 Pengolahan Modern Sebagai Biopower


Penggunaan biomasa untuk membangkitkan energi listrik diseput biopower
atau biomasa power. Biopower menjadi hal yang menarik diperbincangkan akhir-
akhir ini sebab 1MWh energi listrik yang dihasilkan dari biopower menghindarkan
emisi CO2 sebesar 1 ton. Biopower adalah penggunaan biomasa melalui
pembakaran langsung, atau mengubahnya menjadi bahan bakar bebentuk gas atau
minyak, untuk menghasilkan energi listrik. Ada 5 tipe sistem biopower, yaitu
pembakaran langsung (direct fired), co-firing, gasifikasi, penguraian anaerobik dan
pirolisis.
6

Sumber : Renewable 2015 Status Report


Gambar 3. Pengolahan Biomasa Berdasarkan Bahan Bakunya

1. Direct-fired
Direct-fired dilakukan dengan membakar biomasa secara langsung untuk
menghasilkan uap panas, menggerakkan turbin dan generator hingga dihasilkan
energi listrik. Biomasa mengandung holoselulosa (selulosa dan hemiselulosa),
lignin dan ekstraktif yang mempunyai nilai panas yang cukup tinggi. Selulosa dan
hemiselulosa mempunyai nilai panas 8000 Btu/lb. Lignin mempunyai nilai panas
10.000-11.000 Btu/lb. Dengan lignin sebesar 11.479 Btu/lb, Tillmasn (1978)
merumuskan nilai panas kayu sebagai berikut :
hₒ = 7.527 + 11.479(1-C)
hₒ = nilai panas kayu (Btu/lb)
C = fraksi selulosa (%)
Dalam persamaan tersebut diasumsikan bahwa ekstraktif mempunyai nilai
panas yang sama dengan lignin. Bila diasumsikan bahwa bahan kayu tersebut tidak
mengandung ekstraktif, maka persamaasn menjadi :
hₒ = 7.527 + 39,52Xl
Xl = kandungan lignin (%)
7

Ekstraktif mempunyai nilai panas yang cukup tiinggi, yaitu 13.896 Btu/lb.
Menurut Howard (1973) resin mempunyai nilai panas sebesar 15.000-16.000
Btu/lb. Dengan mengasumsikan bahwa nilai panas ekstraktif sebesar 13.896 Btu/lb,
maka didapat persamaan sebagai berikut:
hₒ = 7.527 + 39,52Xl[(100-XE)/100] + 63,69XE
XE = kandungan ekstraktif (%)
Xl[(100-XE)/100] = kandungan kignin Klason (%OD)

Gambar 4. Skema sistem pembangkit listrik melalui direct-fired

Sebelum dibakar, biomasa harus dikeringkan terlebih daulu, lalu kecilkan


ukurannya selanjutnya dijadikan briket (pellet). Pembriketan adalah proses
densifikasi bahan organik lepas, seperti sekam padi, sekam kopi, serbuk gergaji.
Dengan pembriketan, maka karakteristik biomasa sebagai bahan bakar akan
meningkat. Panas yang didapat dari pembkanaran biomasa (briket) digunakan
untuk menghasilkan uap panas yang diumpankan ke boiler. Uap panas yang
dihasilkan akan memutar roda turbin dan melalui suatu generator, putaran tersebut
akan menghasilkan energi listrik.
8

Gambar 5. Diagram Alir Pembuatan Briket

Pembriketan biomasa akan meningkatkan karakteristik penanganan


biomasa, meningkatkan nilai kalori per satuan volum, mengurangi ongkos angkut
dan membuat biomasa dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Proses utama
pembriketan meliputi pengeringan, penggerindaan, pengayakan, pemadatan dan
pendinginan. Hasil samping utama produk pertanian,meliputi kayu, serbuk gergaji
dan lain sebagaimana dapat dijadikan briket. Faktor utama yang mempengaruhi
pemilihan bahan mentah untuk proses pembriketan adalah kadar air, kadar abu,
ukuran partikel dan flow characteristics. Kadar air ang dikehendaki untuk
penggerindaan adalah 10% hingga 15%. Kadar abu yang dikehendaki untuk
pembriketan adalah sekitar 4%.
Pada beberapa industri, uap panas yang dihasilkan tidak saja digunakan
untuk membangkitkan tenaga listrik, tetapi juga digunakan untuk proses produksi
dan menghangatkan ruangan. Sehingga energi yang dihasilkan dari uap panas dapat
dipergunakan lebih efisien. Industri yang menggunakan teknologi tersebut
dinamakan Combined Heat and Power (CHP) facility, industri yang
mengintegrasikan antara fasilitas panas dan energi.
9

Menggunakan teknologi pembangkit listrik bertenaga uap yang


menggunakan biomasa sebagai bahan bakarnya memungkinkan untuk
dikembangkan, namun efisinsi yang dihasilkannya sangat terbatas.

2. Co-firing
Merupakan proses pembakaran langsung dengan mengkombinasikan bahan
bakar antara batubara dengan biomassa untuk menghasilkan energi. Cara ini
dilakukan untuk menurunkan emisi yang dikeluarkan oleh batubara sehingga
menurunkan dampak pemanasan global yang sedang marak di perdebatkan. Selain
menurunkan emisi, kombinasi antara batubara dengan biomassa, seperti penelitian
yang dilakukan oleh National Energy Laboratory (NREL) menunjukan bahwa
kombinasi ini dapat meningkatkan efisiensi turbin hingga 33 % – 37%. Beberapa
keuntungan yang dihasilkan dari kombinasi batubara dan biomassa yaitu:
menurunkan sulfur dioksida yang dapat menyebabkn hujan asam, kabut, dan polusi
ozon. Disamping itu, karbon dioksida yang dihasilkan dari hasil pembakaran akan
menurun.
a. Direct Co-firing
Pada konfigurasi ini, biomassa (sebagai bahan bakar sekunder) dimasukkan
bersamaan dengan batubara (sebagai bahan bakar primer) ke dalam boiler yang
sama. Direct co-firing lebih umum digunakan karena paling murah. Pada direct
co-firing sendiri, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan. Yang pertama adalah
pencampuran dan perlakuan awal terhadap biomassa dan batubara dilakukan
bersamaan sebelum diumpankan ke pembakar. Yang kedua, perlakuan awal
biomassa dan batubara dilakukan secara terpisah, kemudian baru diumpankan ke
pembakar.
10

Gambar 6. Direct Co-Firing


b. Indirect Co-Firing
Konfigurasi indirect co-firing mengacu pada proses gasifikasi biomassa,
dimana gas hasil gasifikasi biomassa kemudian diumpankan ke dalam pembakar
dan dibakar bersama batubara. Dengan menggunakan konfigurasi ini, abu dari
biomassa akan terpisah dari abu batubara dengan tetap menghasilkan rasio co-
firing yang sangat tinggi. Kekurangan dari indirect co-firing adalah biaya
investasinya yang tinggi.

Gambar 7. Indirect Co-Firing


c. Parallel Co-Firing
Parallel co-firing melibatkan suatu pembakar dan boiler terpisah untuk
biomassa, dimana hasil pembakaran dari biomassa akan membangkitkan steam
yang kemudian akan digunakan pada sirkuit power plant pembakaran batubara.
Walaupun konfigurasi ini membutuhkan investasi yang lebih besar daripada direct
co-firing, konfigurasi ini memiliki kelebihan tersendiri. Dengan menggunakan
11

konfigurasi ini,sangatlah mungkin untuk digunakan bahan bakar dengan


kandungan logam alkali dan klorin tinggi dan abu dari hasil pembakaran batubara
serta biomassa akan dihasilkan terpisah.

Gambar 8. Parallel Co-Firing


3. Pirolisis
Pirolisis adalah dekomposisi kimia bahan organik melalui proses
pemanasan atau tanpa reaktan lain kecuali kemungkinan uap air dimana material
mentah akan mengalami pemecahan struktur kimia menjadi fase gas. Proses
pirolisis merupakan tahap awal dari rangkaian proses yang terjadi dalam proses
gasifikasi dan melibatkan proses kimia dan fisik yang kompleks dimana suatu
perubahan dalam kondisi operasi berpengaruh pada proses secara keseluruhan.
Pirolisis (juga disebut termalisis) dekomposisi termal (panas) dari bahan
organik, seperti pada waktu batubara dipanaskan lebih dari 300 °C tanpa udara
atmosfer. Pada reaksi kimia pirolisis biomasa, terdapat tiga faktor yang
berpengaruh.
1) Bahan baku : komposisi kimia, kadar air.
2) Reaktor : vertical – shaft / batch reactor, rotating tubular / fluidized
– bed reactor.
3) Kondisi operasi : suhu pirolisis, waktu pirolisis (waktu tinggal).
Seiring waktu reaksi dan suhu dinaikkan, komposisi dari produk pirolisis
berkembang menjadi komponen yang lebih stabil. Dekomposisi bahan organik
dijabarkan sebagai berikut.
12

100 – 200 °C Pengeringan dengan pemanasan, dehidrasi.


250 °C Hilangnya cairan dan karbon dioksida. Evolusi hidrogen.
340 °C Putusnya rantai karbon makromolekul.
380 °C Tahap pirolisis, pengayaan karbon.
400 °C Pecahnya rantai C-O dan C-H.
400 – 600 °C Konversi komponen organik cair dalam hal ini untuk
menghasilkan produk pirolisis cair (tar).
600 °C Pemecahan komponen organik cair untuk menghasilkan
komponen yang stabil (gas, hidrokarbon rantai pendek) senyawa
aromatik (senyawa bensen).
>600 °C Pemanasan aromatis menghasilkan benzen dan aromatik titik
didih tinggi.
Proses pirolisis dapat dibagi menjadi beberapa fase dimana menjadi
pedoman kesuksesan prosesnya.
1) Fase pengeringan.
2) Fase pirolisis.
3) Fase evolusi gas.
Pada suhu 200 °C pengeringan fisik disertai produksi uap air, jika yang
dimasukkan bahan biomasa yang basah maka perlu disertakan atau dimasukkan
steam (uap air panas) ke dalam reaktor, Pirolisis terjadi pada suhu 200 – 500 °C.
struktur makromolekul pecah menjadi gas, komponen organik cair, karbon padat.
Evolusi gas terjadi pada 500 – 1200 °C, produk hasil pirolisis diturunkan lebih
lanjut, karbon padat dan produk organik cair menghasilkan gas yang stabil.
Hidrokarbon besar molekul besar dipecah menjadi metana dan karbon padat.
Metana direaksikan dengan uap air dikonversi menjadi karbon monoksida dan
hidrogen. Karbon padat direksikan dengan uap air atau karbon dioksida dikonversi
menjadi karbon monoksida dan hidrogen.
Reaksi kimia peruraian selulosa pada biomasa.
3(C6H10O5) 8H2O + C6H8O + 3CO2 + CH4 + H2 + 8C
Reaksi utama yang terjadi pada fase evolusi gas dijabarkan sebagai berikut.
CnHm xCH4 + y H2 + zC
CH4 + H2O CO + 3H2
13

C + H2O CO + H2
C + CO2 2CO (Ullmann’s, 2002)
Tabel 2. Reaksi kimia peruraian selulosa
Reaksi Produk
C6H10O5 + panas CH4 + 2CO + 3H2O + 3C
C6H10O5 6C + 5H2O(g) Karbon
C6H10O5 0.8 C6H8O + 1.8 H2O(g) + 1.2 CO2 Oli residu
C6H10O5 2C2H4 + 2CO2 + H2O(g) Etilen
Sumber : (Sorensen B, 2004)
Sebelum dimasukkan ke reaktor, biomasa dikecilkan ukurannya terlebih
dahulu, hingga ukurannya tidak lebih besar dari 14 m3sh. Pirolisis cepat dilakukan
pada suhu 500ºC tekanan 101kPa. Setelah proses pirolisis selesai, arang padat
dipisahkan dari cairan yang dihasilkan dengan alat pemisah berputar. Arang yang
dihasilkan tersebut selanjutnya digunakan sebagai bahan bakar untuk memanaskan
reaktor.
Hasil pirolisis 1 kg biomasa yang berasal dari sampah perkotaan adalah 10%
air, 20% arang (kandungan energi sekitar 4500kkal/kg), 30% gas (kandungan
energi sekitar 3570 kkal/m3) dan 40% minyak (kandungan energi sekitar
5950kkal/kg).

Gambar 9. Likuifikasi Biomasa dengan Pirolisis


4. Gasifikasi biomasa.
Proses gasifkasi telah dikenal sejak abad lalu untuk mengolah batubara,
gambut. Atau kayu menjadi bahan bakar gas yang kini mulai dimanfaatkan. Pada
tahun-tahun terakhir ini proses gasifikasi mendapat perhatian kembali di seluruh
14

dunia, terutama untuk mengolah biomassa sebagai sumber energi alternatif yang
terbaharukan.
Pirolisis atau bisa di sebut thermolisis adalah proses dekomposisi kimia
dengan menggunakan pemanasan tanpa kehadiran oksigen. Proses ini sebenarnya
bagian dari proses karbonisasi yaitu roses untuk memperoleh karbon atau arang,
tetapi sebagian menyebut pada proses pirolisis merupakan high temperature
carbonization (HTC), lebih dari 500 ºC. Karbonisasi merupakan suatu proses untuk
mengkonversi bahan orgranik menjadi arang . pada proses karbonisasi akan
melepaskan zat yang mudah terbakar seperti CO, CH4, H2, formaldehid, methana,
formik dan acetil acid serta zat yang tidak terbakar seperti seperti CO2, H2O dan tar
cair. Gas-gas yang dilepaskan pada proses ini mempunyai nilai kalor yang tinggi
dan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan kalor pada proses
karbonisasi.Proses pirolisis menghasilkan produk berupa bahan bakar padat yaitu
karbon, cairan berupa campuran tar dan beberapa zat lainnya. Produk lainn adalah
gas berupa karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan beberapa gas yang memiliki
kandungan kecil.
Biomasa dengan kadar air kurang dari 50% dapat dipanaskan dalam udara
terbatas dan diubah menjadi gas (syngas) yaitu campuran antara gas karbon
monoksida dan hidrogen. Syngas dapat digunakan sebagai ahan bakar untuk
membangkitkan energi listrik atau dapat juga dikonversi menjadi bentuk lain,
seperti hidrokarbon, alkohol, eter atau produk kimia lainnya. Syngas yang akan
dijadikan bahan bakar untuk membangkitkan energi listrik atau dapat juga
dikonversi menjadi bentuk lain, seperti hidrokarbon, alkohol, eter atau produk
kimia lainnya. Syngas yang akan dijadikan bahan bakar harus dibersihkan terlebih
dahulu secara menyeluruh sebelum masku ke ruang bakar, sebab syngas yang
dihasilkan masih mengandung beberapa senyawa kimia yang dapat menyebabkan
karat pada mesin.
Secara sederhana proses gasifikasi dapal dikatakan sebagai reaksi kimia
pada temperatur tinggi antara biomassa dengan udara. Yang tahapannya dapat
digambarkan sebagai berikut.
15

1. Tahap pengeringan.
Akibat pengaruh panas, biomassa mengalami pengeringan pada temperatur
sekitar 100ºC.
2. Tahap pirolisis.
Bila temperatur mencapai 250ºC, biomassa mulai mengalami proses
pirolisis yaitu perekahan molekul besar menjadi molekul-molekul kecil akibat
pengaruh temperatur tinggi. Proses ini berlangsung sampai temperatur 500ºC. Hasil
proses pirolisis ini adalah arang, uap air, uap tar, dan gas- gas.
3. Tahap reduksi.
Pada temperatur di atas 600ºC arang bereaksi dengan uap air dan karbon
dioksida. Untuk menghasilkan hidrogen dan karbon monoksida sebagai komponen
utama gas hasil.
4. Tahap oksidasi.
Sebagian kecil biomassa atau hasil pirolisis dibakar dengan udara untuk
menghasilkan panas yang diperlukan oleh ketiga tahap tersebut di atas. Proses
oksidasi (pembakaran) ini dapat mencapai temperatur 1200ºC, yang berguna untuk
proses perekahan tar lebih lanjut.
Tahap-tahap proses diatas dilaksanakan dalam satu alat yang disebut
gasifier atau reaktor gasifikasi.

Gambar 10. Prinsip Proses Gasifikasi


16

a. Biomasa Sebagai Umpan Gasifikasi


Dengan unsur utama karbon, hidrogen dan oksigen. hampir semua jenis
biomassa dapat dipakai sebagai umpan gasifikasi. Tetapi agar prosesnya berjalan
lancar, ada persyaratan teknis yang perlu diperhatikan:
a. Kadar air biomasa tidak lebih dari 30%
b. Bentuk partikel mendekati bulat atau kubus, bukan panjang atau pipih
c. Ukuran partikel antara 0,5 - 5,0 cm
d. Tidak banyak mengandung zat-zat anorganik
e. Rapat massanya di atas 400 kg/m2
Untuk memenuhi persyaratan tersebut di atas, kadang-kadang diperlukan
pengolahan awal seperti: pengeringan. pemotongan atau pemampatan. Di samping
itu biomassa harus tersedia dalam jumlah yang cukup secara kontinyu, nilai
ekonomisnya rendah atau tidak ada manfaat lainnva. Kayu, batok kelapa, tongkol
jagung dan batok sawit merupakan biomassa yang mendekati persyaratan tersebut
diatas Sekam padi. serbuk gergaji, sabut kelapa. kulit kopi danl lain-lainnya adalah
contoh biomassa yang perlu penanganan khusus untuk proses gasifikasi.

b. Gas Hasil Gasifikasi


Gas hasil gasifikasi terutama terdiri dari gas-gas mempan bakar yaitu CO,
H2, dan CH4 dan gas-gas tidak mempan bakar CO2, dan N2. Komposisi gas ini
sangat tergantung pada komposisi unsur dalam biomassa, bentuk dan partikel
biomassa, serta kondisi-kondisi proses gasifikasi. Sebagai ilustrasi, komposisi gas
hasil gasifikasi beberapa biomassa disajikan dalam Tabel 2. Dengan panas
pembakaran antara 3000 - 5000 Watt, gas ini dapat diumpankan ke dalam motor
bakar torak maupun sebagaI bahan bakar untuk pemanas.

c, Gas Hasil Untuk Motor


Motor bensin maupun motor diesel dapat digabungkan dengan perangkat
gasifikasi untuk memanfaatkan gas hasil. Untuk maksud ini, gas hasil dialirkan ke
dalam aliran udara masuk motor, dengan sambungan pipa silang atau sistem injeksi.
Sambungan silang sangat sederhana dan murah sesuai untuk kapasitas rendah.
17

Sedangkan sistem injektor agak rumit pembuatanya tetapi dapat memberikan


pencampuran gas-udara yang lebih baik, dan sesuai untuk kapasilas tinggi.
Disamping panas pembakarannya, gas hasil harus memenuhi persyaratan-
persyaratan berikut ini agar tidak mengurangi performansi dan umur motor:
a. Kandungan tar tidak lebih dari 100 mg/m3
b. Kandungan abu maksimum 50 mg/m3
c. Ukuran debu tidak lebih dan 10 mikrometer
d. Temperatur gas di bawah 40ºC

Dalam motor bensin, seluruh kebutuhan bensin dapat digantikan dengan


gas. Daya motor dapat diatur dengan pengaturan laju alir campuran gas-udara
dengan komposisi tetap. Karena kecepatan pembakaran gas kurang daripada
kecepatan pembakaran bensin. maka waktu pengapian busi harus diajukan, kira-
kira 15 derajat lebih atas.
Dalam motor diesel, tidak seluruh kebutuhan solar dapat digantikan. Karena
sedikit solar tetap diperlukan untuk sarana pengapian. Operasi ini disebut sebagai
sistem bahan bakar ganda. Dalam praktek, komposisi bahan bakar ganda ini kira-
kira 20% solar dan 80% gas. Pengaturan daya motor dapat dilakukan dengan
pengaturan laju alir gas, sementara laju alir solar diatur pada kebutuhan minimum
untuk sarana pengapian.
Daya maksimum yang dapat dihasilkan oleh motor bensin maupun motor
diesel dengan bahan bakar gas turun sampai kira-kira 70% dari daya aslinya. Motor
untuk penggunaan gas hasil gasifikasi sebaiknya dipilih yang mempunyai
kecepatan nominal 1500 putaran permenit. Berdasarkan pengalaman di ITB, satu
liter bensin atau solar dapat digantikan dcngan 7,5 m2 gas dari gasifikasi 4 kg kayu
atau 6 kg sekam.

d. Gas Hasil Sebagai Umpan Burner


Gas hasil biomassa tergolong gas bahan bakar berkualitas rendah
(dibandingkan dengan panas pembakaran gas alam 32000kJ/m3). Gas hasil
gasifikasi dapat digunakan untuk motor diesel, motor bensin, atau alat pemanasan
18

dan pengeringan. Gasifikasi biomassa dapat mengurangi ketergantungan akan


bahan bakar minyak di tempat-tempat terpencil
Tabel 3. Komposisi gas hasil

Sumber : Kajian Biomasa 1999


Sumber : Andi, 2003
Secara teoritik satu m3 gas hasil gasifikasi biomassa memerlukan 1,2 m3
udara untuk pembakaran, dan menghasiIkan temperatur 1600ºC. Pada prakteknya,
temperatur pembakar-an gas ini hanya berkisar antara 700-1200ºC.
Berdasarkan kualitasnya, gas hasil ini tidak ekonomis bila disimpan atau
didistribusikan tetapi harus dimanfaatkan di tempat proses gasifikasi. Penggunaan
gas yang paling sesuai adalah untuk pengeringan hasil-hasil pertainian, perkebunan
dan kehutanan yang tidak memerlukan temperatur terlalu linggi.
Ketika biomasa dibakar pada suhu tinggi (500-900ºC), maka akan terbentuk
abu yang meliputi sejumlah kecil logam berat yang dapat menguap (Cd, Pb, dan
Zn) dan sejumlah besar mineral uang merupakan nutrien biomasa (K dan Ca). Seara
umum ada 3 fraksi abu yang terbentuk dalam pembakaran biomasa, abu bagian
dasar, yang mengendap pada panggangan, dan abu halus yang sebagian besar
mengandung aerosol yang terbentuk selama pembakaran. Logam berat yang dapat
menguap terlepas ke udara selama pembakaran dan terakumulasi bersama abu yang
melayang, selanjutnya terkondensasi atau bereaksi secara kimia dengan partikel
lain yang melayang pada cerobong pembakaran. Abu dasar yang bercampur dengan
abu kasar yang mengandung logam berat dapat menyebabkan polusi pada tanah.

5. Penguraian Anaerobik
Penguraian anaerobik adalah suatu proses biologi, dimana metana akan
dilepaskan dalam proses pembusukan yang dilakukan oleh bakteri dari archaea,
metana yang dihasilkan selanjutnya digunakan sebagai digunakan sebagai bahan
19

bakar untuk membangkitkan energi listrik. Sebagai bahan baku untuk proses
penguraian anaerobik dapat digunakan kotoran hewaan ternak atau dari limbah
rumah tangga. Pada proses yang sederhana, kotoran ternak ditempatkan dalam
suatu kantong dan diuraikan dengan bantuan bakteri dan air. Bakteri akan
menguraikan bahan organik padat menjadi gula dan asam amino. Proses fermentasi
bahan-bahan tersebut akan menghasilkan asalam lemak yag menguap (volatile fatty
acids/VFAs). VFAs lalu akan membentuk hidrogen, karbon dioksida dan asetat
melalui proses acidogenesis. Selanjutnya biogas akan diproduksi oleh proses
methanogeneseis. Biogas tersebut meruakan campuran dari 55-70% metana, 25-
30% karbon dioksida dan sebagian kecil lainnya berua nitrogen dan hidrogen
sulfida.
20

2.3 Jenis-Jenis Bioenergi


Bioenergi merupakan energi alternatif yang berasal dari sumber-sumber
biologis. Keunggulan pemanfaatan bioenergi ini adalah meningkatkan kualitas
lingkungan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, serta mengurangi
ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.
Saat ini pengembangan bioenergi telah sampai pada generasi keempat yakni
mengubah vegoil dan biodiesel menjadi gasolin. Generasi pertama pengembangan
bioenergi ini dinilai kurang etis karena berkompetisi dengan bahan pangan dan
pakan menjadi vegetable oil, biodiesel, bio-alcohol, biogas, solid biofuel, dan
syngas. Pemanfaatan bahan diluar pangan dan pakan dimulai pada generasi kedua
diantaranya menggunakan limbah, cellulose dan tanaman yang didedikasikan untuk
pengembangan energi (dedicated energy crops), yang mengubah biomasa menjadi
liquid technology. Generasi ketiga pengembangan biofuel adalah oligae yang
berasal dari algae. Selain itu, Pemanfaatan bioenergi saat ini bahkan telah sampai
pada pengembangan bahan bakar pesawat terbang. The Embraer EMB 202 Ipanema
merupakan pesawat pertama yang berbahan bakar ethanol dan banyak
dimanfaatkan di lahan pertanian (agricultural aircraft). Selain itu, telah
dikembangkan juga syngas berbahan dasar kayu yang dimanfaatkan sebagai
generator.
Pada tahun 2005 negara di belahan Amerika Selatan telah memproduksi
16.3 milyar liter ethanol, menyumbang 33.3 persen produksi dunia dan 42 persen
produksi ethanol yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Negara yang telah
menggunakan BE 10 (campuran 10% ethanol dan 90% BBM), diantaranya AS,
Kanada, India, Thailand, China, Filipina dan Jepang. Hanya Brasil yang telah
menggunakan BE 20. Adanya teknologi hybrid saat ini, Brazil tidak ada lagi
kendaraan yang hanya menggunakan gasoline tetapi telah memakai 20-25 %
ethanol (E25). Dari data yang didapatkannya, sebanyak 3 juta mobil telah
beroperasi menggunakan 100 % etanol dan 6 juta mobil berteknologi hybrid
(flexible-fuels vehicles).
Langkah-langkah antisipatif juga telah dilakukan negara-negara maju untuk
menghadapi krisis energi dimasa yang akan datang dengan cara mengarahkan
kebijakan energi strategis untuk beralih dari energi fosil ke energi terbarukan
21

terutama bioenergi. Pemerintah Australia mengatur kebijaksanaan pemakaian


biofuel untuk transportasi,industri serta pembangkit tenaga listrik. Di USA, akhir
2005 produksi Biodiesel AS mencapai 4 miliar galon dan akan meningkat menjadi
8 miliar galon pada 2012. Selain itu, pada tahun 2005 Belanda juga mengambil
kebijaksanaan untuk impor 400 ribu ton kelapa sawit dari Indonesia untuk
dikonversi menjadi biodiesel. Selain negara-negara tersebut diatas, Indonesia juga
mengeluarkan kebijakan melalui Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 2006, Untuk
mendorong Departemen Pertanian melakukan penyediaan dan pengembangan
bahan baku BBN untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBM. Pada tahun
pada tahun 2025, pemerintah Indonesia menargetkan penggunaan biofeul sebesar 5
%.

2.3.1 Pelet Kayu


Pelet kayu menjadi bahan bakar primadona saat ini terutama di negara yang
memiliki 4 musim sebagai bahan pengganti batubara (sebagian/seluruhnya)
dalam PLTU batubara, penghangat ruangan, kompor biomassa, dan
pengeringan pada jasa laundry. Ekspor batubara Indonesia mulai merosot
(Januari-September 2015 ekspor batubara turun 19,8%, menjadi 235 juta ton,
sedangkan produksinya turun menjadi 308 juta ton). Akibatnya 37 dari 43
perusahaan tambang batubara di Jambi tutup, dan 70% atau 60 perusahaan di
Samarinda juga tutup. Sekitar 80% perusahaan tambang batubara menyetop
produksi mereka dan tutup sementara. Hanya 500 dari 3.000 perusahaan
pemegang izin usaha pertambangan yang masih beroperasi. Sementara, harga
batubara acuan Indonesia di pasar internasional (Februari 2016) jatuh menjadi
US$50,92/ton, bahkan harga batubara lokal hanya Rp.300.000/ton (yang
normalnya sekitar Rp 1juta/ton). Hal itu disebabkan oleh negara tujuan ekspor
batubara (Korsel, Jepang, China, dan India) secara perlahan beralih ke pelet
kayu Indonesia yang berkualitas baik, ramah lingkungan, dan terbarukan
(terbukti dari permintaan pelet kayu di pasar internasional meningkat pesat).
Di sisi lain, China secara bertahap juga mulai melarang penggunaan batubara
(kalori rendah) bagi warganya (karena polusi dan emisi sulfur yang tinggi).
22

Australia dan AS meminimalkan penggunaan batubara. Indonesia juga


mengganti penggunaan batubara dengan pelet kayu.
Guna memanfaatkan kelebihan pasokan batubara sekaligus memperbaiki harga
batubara, maka pengusaha batubara diminta melengkapi usahanya dengan
membangun PLTU mulut tambang (dengan teknologi sub-critical pada
boilernya agar ramah lingkungan) sekaligus mempercepat program realisasi
daya listrik 35.000MW.
Ada beberapa alasan batubara akan terhempas oleh pelet kayu:
1. Pelet kayu adalah bahan bakar terbarukan, dan ramah lingkungan,
sedangkan batubara tidak terbarukan dan kurang ramah lingkungan. Oleh
karena itu, pemanfaatan batubara di level internasional berkurang secara
bertahap. Jadi, ada peluang untuk menambah pasokan listrik nasional
menggunakan bahan bakar pelet kayu. Kalori pelet kayu setara dengan
kalori batubara rendah.
2. Produksi karbon lebih rendah dari batubara.
3. Biaya listrik yang dihasilkan pelet kayu pengganti batubara sama dengan
yang dihasilkan gas alam yang tentu saja lebih murah dari batubara.
4. Posisi staf yang diperlukan untuk kehadiran PLTU pelet kayu (termasuk
penyiapan infrastruktur pelet kayu) sekitar 3.480 orang, sedangkan PLTU
batubara dengan daya yang sama membutuhkan staf sekitar 2.540 orang
(menambah lapangan kerja)
5. Permintaan pelet kayu berkelanjutan dalam jangka panjang memotivasi
pemangku kepentingan untuk melestarikan dan memperbaiki manajemen
hutan, sekaligus mengembangkan lahan kritis menjadi hutan tanaman
industri khusus pelet kayu (misalnya kayu Kaliandra Merah, Mahang /
Macaranga Gigantean, Karamunting / Melastoma Malabatricum)
6. Permintaan pelet kayu yang datang dari segenap penjuru dunia terus
berdatangan ke Indonesia yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat
Indonesia mampu menghasilkan listrik biomassa ~49,8 GW (Indonesia
hanya perlu tambahan listrik nasional 35 GW). Potensi biomassa Indonesia
sekitar 146,7juta ton/tahun yang berasal dari residu padi (150GJ/tahun ), kayu
23

karet (120 GJ/tahun ), residu gula (78 GJ/tahun ), residu kelapa sawit (67
GJ/tahun ), dan sampah organik lain (20GJ/tahun ).

Gambar 11. Global Regional Pellet Production


Seperti diketahui, pengguna pelet kayu dunia tahun 2013 (23,6juta ton)
tercatat adalah negara Jepang, Korsel, China (2juta ton), Eropa (12juta ton)
(pengguna sekaligus penghasil terbesar, yaitu Jerman, Swedia, Latvia, dan
Portugal), AS (3juta ton), Rusia (2juta ton) dan Kanada (3juta ton).

Gambar 12. Global Regional Wood Pellet Production


Meski negara-negara pengguna pelet kayu tersebut mampu memproduksi
sendiri, tetapi mereka masih belum mampu mencukupi kebutuhan pelet kayu
DN mereka (harus impor), karena pertumbuhan kayu di negara sub-tropis lebih
lambat dibandingkan di negara tropis. Contoh: tahun 2013, Eropa butuh 19 juta
ton [10 (panas) + 9 (industri)] (kurang 7 juta ton), Kanada (4 juta ton) (kurang
1juta ton), Asia (Jepang & Korsel) kurang 1 juta ton. Kedua negara Asia itu
akan menjadi importir pelet kayu terbesar pada dekade mendatang (diduga
sekitar 5 juta ton tahun 2020).
24

Produksi pelet kayu dunia sudah mendekati 25,5 juta ton (2014). Sementara,
pemasaran pelet kayu global untuk pembangkit listrik dan panas terus tumbuh
sekitar 14,1% per tahun. Tahun 2020, kebutuhan pelet kayu diperkirakan
melambung hingga 80 juta ton. Oleh karena itu, beberapa negara, misalnya
Korsel, Jepang, Eropa (impor ~14 juta ton/2014), AS, dan Kanada berusaha
mencari pasokan bahan baku ke negara tropis yang salah satunya ke Indonesia.
Di lain pihak, contoh harga pelet kayu di Eropa (Swiss, Jerman, dan Austria)
(hingga Jan 2016) dapat dilihat dalam Gambar di atas (~Euro).

Gambar 13. Harga Pelet Kayu di Eropa (Swiss, Jerman dan Austria)
Khusus untuk Indonesia, pabrik pelet kayu terbesar ada di Semarang, yang
produksi pelet kayunya populer di Korsel, karena kualitasnya bagus (kalori
tinggi, kandungan kimia dan abu cukup rendah). Korsel melakukan proyek-
proyek kerma di Jatim dan Jateng, Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Indonesia akan menjadi target Korsel untuk menjadi pemasok pelet kayu di
masa datang di Asia terutama untuk bahan biopelet yang berasal dari pelepah /
cangkang sawit, bagas tebu, jerami, kaliandra merah, dan lain-lain.
Pelet Bagas, serbuk Gergaji, jerami padi/gandum, sekam padi, bagas /
ampas tebu (mengandung gula 2,5%, nilai kalori 1.825kKal), batang
jagung/sorgum, sampah daun, rumput, ranting, dan bagian tanaman yang telah
dianggap limbah dapat menjadi sumber pelet kayu. Pelaku usaha pelet kayu
mulai menanam kayu cepat panen yang minim perawatan, dan kandungan
energinya tinggi sebagai campuran limbah tsb. Sebagai contoh: Petai cina
(Leucaena leucocephala), kaliandra merah (Caliandra calotahun yrsus), dan
25

Gamal (Gliricidia sepium). Tujuan membuat pelet kayu adalah nilai kalor
limbah kayu tersebut hendak ditingkatkan agar menjadi BAHAN BAKAR
berkalori mendekati batubara (5.000 - 6.000 kKal), yaitu sekitar 4.200 - 4.800
kKal dengan kadar abu sekitar 0,5-3%.

Jenis-Jenis Pellet Kayu


1. Pelet Batang

Gambar 14. Pelet Batang


Bahan dasar pelet ini adalah, batang jagung, jerami gandum, jerami padi,
kulit kacang tanah, tongkol jagung, ranting kapas, batang kedelai, gulma
(rumput liar), ranting, dedaunan, serbuk gergaji, dan limbah tanaman lainnya.
Setelah bahan baku diremukkan, lalu ditekan, dan dicetak, dibentuk menjadi
bentuk pelet dengan memberikan tekanan antara roller dan dies pada bahan.
Densitas bahan semula sekitar 130kg/m3, tetapi densitas pelet menaik hingga
di atas 1100kg/m3, sehingga memudahkan untuk disimpan dan ditranspor,
sekaligus kinerja bakarnya menaik.

2. Pelet Bagas
26

Pelet bagas adalah bioenergi yang baru. Ia dapat digunakan sebagai


pemanas ruangan, kompor, boiler air panas dan industri, PLTBm, dan lainnya.
Ia berfungsi sebagai pengganti kayu bakar, batubara, minyak bakar, dan LPG.

Gambar 15. Pellet Bagas


Potensi bagas di Indonesia adalah 30 ton/Ha/tahun. Sementara, areal lahan
tebu (2014) seluas 447.000Ha [63,46% berada di Jawa, sisanya 36,54% berada
di luar Jawa], maka potensi bagas total sekitar 13,41 juta ton/tahun , yang areal
tanamnya menurun 6% dibandingkan tahun 2013, (470.198Ha). Oleh karena
itu, guna memenuhi kebutuhan gula DN dan mengurangi impor raw sugar,
maka Pemerintah menyiapkan lahan tebu tambahan sebanyak 500.000Ha di
Sultra, P. Aru, dan Merauke, sekaligus membangun 10 pabrik gula baru DN.
Di masa depan, akan ada tambahan bagas sekitar 15juta ton/tahun.

Pemanfaatan pelet bagas


Bagas (ampas tebu) memiliki kandungan energi dan kualitas bakar tinggi.
Prosedur produksinya: pembelian bahan mentah, pengeringan, peletisasi, dan
pengepakan. Kualitas bahan tergantung kepada periode penanaman. Semua
bahan dapat disimpan secara efisien pada waktunya, kemudian dikeringkan,
dan dipeletisasi. Kandungan air pada tanaman tebu sekitar 20-25%. Pelet bagas
memiliki nilai kalori tinggi 3.400-4.200 kKal (sebelum dipeletisasi hanya
sekitar 1.825kKal, dan bila bagas mentah itu hanya dipanaskan menggunakan
gas buang dari cerobong ketel, kadar air ampas turun 40%, dan nilai kalor
menjadi 2305kKal).
Pemilihan Tapak dan Anggaran Biaya Pabrik Pelet Bagas
Tapak pabrik bagas harus berada di lokasi bahan mentah yang melimpah,
murah dan dekat bandar/pelabuhan guna mempermudah transportasi produk,
27

sehingga biaya bahan mentah dan biaya lainnya (buruh, sewa gudang, biaya
manajemen, dan lain-lain) dapat dihemat serendah-rendahnya. Aspek legalitas
bangunan dan ijin industri: TDI, SIUP, HO, IMB, dan lain-lain yang terkait
perlu disiapkan. Sertifikat untuk ekspor (SVLK) dan sertifikat produk
(misalnya dari Sucofindo,dan SGS) juga disiapkan.
Investasi awal pabrik pelet bagas sekitar 112.414 USD dengan kapasitas 1
ton/jam (kapasitas dapat dinaikkan hingga 6 ton/jam dengan menambah
peralatan yang diperlukan). Investasi gedung pabrik sekitar 19.271 USD
dengan luas lantai 6.000m2. Investasi modal awal peralatan sekitar 72.266
USD termasuk pengering 24.089 USD, stranding cage 1.927 USD, kabinet
listrik 1.927 USD, mesin pelet (1 ton/jam) 25.695 USD, dan lain-lain. Modal
kerja sekitar 40.148 USD guna penyimpanan awal bahan mentah dan pra
penjualan produk.
Bila pasar dan operasi stabil, anda dapat menaikkan investasi. Pengering
24.089 USD dapat digunakan untuk 3 pabrik pelet, anda cukup menambah
investasi di Stranding cage, mesin pelet, dan conveyor. Bila pabrik pelet lebih
dari tiga, maka pengering perlu ditambah dan sebuah truk fork-lift diperlukan.
Mesin pendingin perlu dipertimbangkan tergantung situasi produksi.

3. Pelet Serbuk Gergaji


Jalur produksi pelet serbuk gergaji: pembelian bahan mentah, pengumpulan
bahan, pengeringan, peletisasi dan pengepakan. Kandungan air serbuk gergaji
sekitar 30-45% dan harga bahan mentah sekitar 21,05 - 24,29 USD/ton. Nilai
kalorinya dapat mencapai 4.000 - 4.500 kKal.
Jalur produksi pelet serbuk gergaji: pembelian bahan mentah, pengumpulan
bahan, pengeringan, peletisasi dan pengepakan. Kandungan air serbuk gergaji
sekitar 30-45% dan harga bahan mentah sekitar 21,05 - 24,29 USD/ton. Nilai
kalorinya dapat mencapai 4.000 - 4.500 kKal.
28

Gambar 16. Pelet Serbuk Gergaji

4. Pelet Ranting
Jalur produksi pelet ranting: pembelian bahan mentah, peremukan,
pengeringan, peletisasi dan pengepakan. Biaya bahan mentah ~16,19 USD/ton.
Nilai kalori pelet ranting lebih rendah dari pelet serbuk gergaji.

Gambar 17. Pelet Ranting


5. Kaliandra Merah
Kaliandra merah (KM) merupakan bahan baku terbaik pelet kayu
(4600kkal/kg, arangnya 7.400 kKal/kg) dibandingkan petai Cina, gamal, dan
sengon buton dari sisi laju tumbuh, penyuburan tanah melalui fiksasi nitrogen
dalam tanah, dan berat jenis, sehingga kadar abu dapat lebih rendah. Lagipula,
umur KM dapat mencapai 29 tahun sekali tanam. KM tidak hanya sebagai
bahan baku pelet kayu (1 Ha KM dapat menghasilkan kayu 20-65m3/tahun),
daunnya sebagai pakan ternak (protein tinggi), dan bunganya sebagai ladang
ternak lebah (produksi madu berasal dari nektar bunga KM terkenal di dunia,
1 Ha KM menghasilkan madu 1 ton/tahun) selama 15 tahun tanpa perawatan
berarti. Ia tumbuh baik di ketinggian 400-600m di atas muka laut, pH~5, dan
sedikit air. Tanaman tsb sekaligus berfungsi sebagai tanaman penutup tanah
sedang (perdu) (penyubur tanah / konservasi lahan / penahan erosi di tanah
29

miring) guna menghindari banjir karena akar tunjangnya menghunjam ke


dalam tanah, dan akar halus lainnya yang memanjang hingga ke permukaan
tanah.

Proses Pembuatan Pelet


(1) Proses pengeringan
Secara umum, kadar air awal kayu adalah 50%. Perlu untuk mengeringkan
bahan baku ini hingga kadar air mencapai 10-20% untuk mendapatkan kondisi
optimum untuk proses penggilingan dan pemeletan. Bahan baku dengan
ukuran partikel yang besar seharusnya dikeringkan dengan tanur putar, dan
bahan baku dengan ukuran partikel yang kecil harus dikeringkan dengan
menggunakan pengering kilat.
(2) Proses penggilingan
Bahan baku seharusnya digiling berdasarkan ukuran pelet. Untuk
keseluruhan kayu atau limbah ukuran besar, bahan baku harus dihancurkan
terlebih dahulu sebelum proses pengeringan supaya kadar airnya seragam.
Akan tetapi, proses ini tidak diperlukan untuk hal dimana bahan bakunya
adalah jerami padi.
(3) Proses pemeletan
Penggintil terdiri atas pegumpan, penggulung, dan lumping sebagaimana
disajikan pada Gambar 2.2 menunjukkan diagram skematik penggintil untuk
pellet kayu. Penggintil jenis ini paling populer di seluruh dunia.

Gambar 18. Diagram skematik pembuatan pellet kayu


30

(4) Proses pendinginan


Karena pelet yang telah dibuat memiliki suhu yang tinggi dan mengadung
kadar air yang tinggi pula, maka diperlukan proses pendinginan.
(5) Proses penapisan
Pelet yang berkualitas rendah akan dikeluarkan di dalam proses ini. Ia akan
digunakan sebagai energi untuk pengeringan.
Berikut adalah contoh skema mesin alat pembuatan pelet dari jerami
padi/gandum dengan kapasitas pelet 200-300 kg/jam. Mesin tersebut juga
dapat memanfaatkan aneka bahan baku lainnya seperti kayu, ampas tebu,
batang / kulit jagung / sorgum, kulit kacang, ampas jarak pagar, kulit kopi,
tanaman cepat tumbuh, pelepah sawit (8,6ton/Ha, 3650kCal/kg) serbuk gergaji,
potongan kertas, dan tatal kayu. Mesin terdiri atas, hammer mill, pellet mill,
cooler, vibrated pellet separator yang dilengkapi dengan penangkap debu guna
mencegah polusi debu. Seperti diketahui, jerami adalah benda yang halus dan
sulit dipres. Oleh karena itu, mesin memerlukan pengumpanan screw conveyor
yang khusus dirancang dengan tambahan hopper, sehingga pengguna dapat
menambah serbuk gergaji dan potongan kertas guna meningkatkan kualitas
pelet. Bila umpan terlalu basah, maka pengering ekstra perlu ditambahkan.

Gambar 19. Aneka jenis contoh mesin lain (diam, bergerak / dalam truk, mesin
31

jinjing, besar dan kecil) banyak tersedia di pasaran LN [1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8];


DN [1, 2, 3] untuk membuat pelet dari aneka bahan baku biomasa.
Perbandingan Pelet jerami (terhadap jerami padi) adalah: Kandungan air: 8-
10% (15-30%); kadar abu 3% (15-20%); Nilai kalori: 18,5 MJ/kg (13,98
MJ/kg) atau 4422 kKal/kg (3341 kKal/kg). Pembakaran pelet jerami
menghasilkan karbon netral yang dapat digunakan kembali pada pertumbuhan
biomassa berikutnya.
Pembuatan pelet jerami dapat menaikkan densitas curahnya, mengurangi
biaya transpor, kandungan energi menaik (4422kKal/kg), kadar abu rendah
(3%), dan abu pembakaran pelet jerami dapat digunakan sebagai pupuk mineral
untuk pertumbuhan tanaman.

2.3.2 Biodiesel
Biodiesel merupakan bahan bakar yang terdiri dari campuran mono--alkyl
ester dari rantai panjang asam lemak, yang dipakai sebagai alternatif bagi
bahan bakar dari mesin diesel dan terbuat dari sumber terbaharui seperti
minyak sayur atau lemak hewan.
Sebuah proses dari esterifikasi lipid digunakan untuk mengubah minyak
dasar menjadi ester yang diinginkan dan membuang asam lemak bebas. Setelah
melewati proses ini, tidak seperti minyak sayur langsung, biodiesel memiliki
sifat pembakaran yang mirip dengan diesel (solar) dari minyak bumi, dan dapat
menggantikannya dalam banyak kasus. Namun, dia lebih sering digunakan
sebagai penambah untuk diesel petroleum, meningkatkan bahan bakar diesel
petrol murni ultra rendah belerang yang rendah pelumas.
Biodiesel dapat dibuat dari berbagai minyak nabati (minyak nabati atau lemak
hewani) melalui proses esterifikasi gliserida atau dikenal dengan proses
alkoholisis.
Ester merupakan suatu senyawa turunan asam karboksilat dimana gugus
hidroksi dari asam karboksilat digantikan oleh gugus alkoksi. Esterifikasi
merupakan rekasi pembentukan ester antara asam karboksilat dan alcohol.
Esterifikasi adalah reaksi ionic yang merupakan kombinasi dari rekasi adisi dan
penyusunan ulang (reaarangement).
32

Esterifikasi langsung, yang merupakan rekasi antara alcohol dengan asam


lemak.
RCOOH + R’OH RCOOR’ + H2O
Reaksinya merupakan rekasi substitusi nukleofilik gugus asil. Reaksinya
tidak langsung secara substitusi, tetapi melalui 2 tahap yaitu tahap pertama
adalah adisi nukleofilik dan diikuti tahap ke dua yaitu eliminasi.
Transesterifikasi yang meliputi :
1. Alkoholisis, merupakan reaksi antara ester dengan alcohol membentuk ester
yang baru.
RCOOR’ + R”OH RCOOR” + R’OH
2. Asidolisi, merupakan reaksi antara ester dengan asam karboksilat
membentuk ester yang baru.
RCOOR’ + R”COOH R’COOR’ + RCOOH
3. Interesterifikasi merupakan suatu reaksi ester dengan ester lainnya atau
disebut ester interchange.
Teknik produksi biodiesel yang dilakukan saat ini pada umumnya yaitu
transesterifikasi. Cara ini merupakan teknik yang paling ekonomis karena :
proses memerlukan temperature rendah dan tekanan atmosfir (150ºF, 20Psi)
tingkat konversi tinggi (mencapai 98%) dengan waktu rekasi yang cukup
singkat dan reaksi samping yang minimal konversi langsung ke metal ester
(biodiesel) tanpa melalui tahapan intermediate tidak memerlukan konstruksi
yang rumit
Minyak atau lemak direaksikan dengan alcohol seperti methanol, dengan
bantuan katalis. Dari proses ini dihasilkan glycerin dan metal ester (Biodiesel).
Methanol kemudian di-recovery. Katalis yang digunakan umumnya KOH atau
NAOH yang tercampurkan secara baik dalam alcohol.
Proses produksi biodiesel yang akan dipaparkan lebih lanjut adalah
biodiesel berbahan baku minyak sawit / CPO (Crude Palm Oil). Secara garis
besar, proses produksi biodiesel berbahan baku minyak sawit / CPO
digambarkan pada Gambar 19.
33

Gambar 19. produksi biodiesel berbahan baku minyak sawit / CPO


Tahapan-tahapan proses produksi biodiesel berbahan baku minyak sawit serta
produk sampingnya meliputi :

Penyiapan bahan baku dan reaksi esterifikasi


Bahan baku berupa CPO disiapkan untuk mengkondisikan bahan baku serta
mengurangi tingkat kesulitan pemurnian produk pada proses selanjutnya.
Proses penyiapan bahan baku terdiri dari :
1. Pemanasan untuk mencairkan CPO sekaligus untuk mencapai temperature
operasi reaksi esterifikasi
2. Proses degumming, yakni proses penghilangan pengotor berupa zat-zat
terlarut atau zat-zat yang bersifat koloidal seperti resin, gum, protein dan
fosfatida dalam minyak mentah. Proses degumming biasanya dilakukan
34

dengan beberapa cara yaitu : pemanasan, penambahan asam, penambahan


basa, proses hidrasi atau menggunakan reagen khusus. Proses degumming
dengan menggunakan asam dan pemanasan memiliki kelebihan karena tidak
menyebabkan proses penyabunan asam lemak bebas, yang dapat
menyerapzat lender dan sebagian pigmen. Selain itu, dengan cara ini
kandungan asam lemak bebas dalam CPO tidak akan hilang, bahkan dalam
proses selanjutnya sisa asam tersebut dapat dijadikan katalis pada reaksi
esterifikasi asam lemak bebas yang masih utuh menjadi metal ester,
sehingga perolehan produk lebih banyak. Rekasi esterifikasi tersebut
berlangsung menurut persamaan rekasi berikut ini :

Air yang terbentuk kemudian dihilangkan dengan cara pemanasan hingga


120ºC
3. Pembuatan katalis sodium metoksida
Bahan baku pembuatan Sodium Metoksida adalah Metanol dan Sodium
Hidroksida (NaOH). Jumlah katalis yang digunakan biasanya 10% berat
minyak yang digunakan
4. Reaksi Transesterifikasi
Reaksi transesterifikasi berlangsung pada temperature sekitar 60ºC dan
dilakukan selama 4 – 6 jam. Untuk mendapatkan yield yang tinggi, reaksi
transesterifikasi dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, katalis yang
digunakan sebanyak 2/3 bagian katalis total. Sisanya direaksikan dengan
produk hasil reaksi tahap pertama yang dipisahkan gliserolnya.
Produk dari reaksi transesterifikasi sempurna didalam reaktor berupa cairan
yang terpisah menjadi dua lapisan. Lapisan atas merupakan lapisan metal ester
kotor, sedangkan lapisan bawah adalah gliserol kotor. Jika reaksi belum
sempurna, akan ada lapisan ketiga ditengah berupa minyak yang tidak
terkonversi.
5. Pemurnian metil ester
Selanjutnya, metil ester yang diperoleh dimurnikan. Proses ini pada
umumnya melalui tahapan recovery methanol dan penghilangan pengotor.
35

Lapisan metal ester yang mengandung methanol dipanaskan, kemudian uap


methanol dikondensasikan.
Kemudian metil ester dibersihkan untuk menghilangkan sisa katalis dan
kotoran lain seperti sabun. Untuk meningkatkan kemurnian metal ester
dilakukan dua tahap pembersihan, yaitu menggunakan gliserol murni dan
penetralan diikuti dengan pencucian dengan air. Gliserol disemprotkan ke
permukaan metal ester dan karena lebih berat akan turun melewati metal ester
sambil membawa sisa-sisa pengotor. Pada tahap akhir, gliserol dipisahkan
kembali dari metal ester.
Pencucian menggunakan air dilakukan dengan beberapa metode sekaligus,
dimana diharapkan pencucian berlangsung efektif dan biodiesel yang diperoleh
cukup bersih. Metode pencucian tersebut adalah :
1. Menambahkan asam asetat. Dimaksudkan untuk menetralkan biodiesel dan
mengeluarkan sisa sodium. Penambahan asam asetat akan mengurangi
pemakaian air.
2. Menggunakan percikan air bersih. Air yang dipercikkan dipermukaan
biodiesel akan turun sepanjang lapisan biodiesel sambil melarutkan sisa-sisa
katalis dan kotoran
3. Menggunakan metode pengadukan mekanis. Pengadukan dilakukan sekitar
50 – 70 rpm untuk meningkatkan kontak air dengan biodiesel. Setelah
melalui tahap pencucian, metal ester dikeringkan untuk menghilangkan sisa
air pencuci dengan dipanaskan sampai suhu 120ºC. Metil ester kering
kemudian didinginkan sampai temperature dibawah 38ºC agar gliserol yang
masih tersisa membeku. Selanjutnya metal ester disaring dan dimasukkan
ke dalam tangki penyimpanan.
4. Perolehan kembali methanol dan pemurnian gliserol
Larutan gliserol kotor hasil pemisahan, dipanaskan untuk memperoleh
kembali methanol yang ada di dalamnya. Uap Metanol kemudian
dikondensasikan dan disalurkan kembali ke tangki Metanol. Gliserol bebas
methanol diencerkan dengan menambahkan 2/3 bagian air bersih, dan
dipanaskan agar sisa asam lemak bebas hasil hidrolisis tersabunkan oleh sisa
NaOH. Ester dari sabun yang terbentuk dikeluarkan dari larutan dengan cara
36

menambahkan sejumlah garam NaCl. Larutan Gliserin kemudian ditambahkan


H2SO4 dan Aluminium Hidroksida sampai mencapai pH 4,5. Padatan yang
terbentuk kemudian disaring. Larutan dinetralkan dengan penambahan 50 %
larutan NaOH, kemudian didistilasi. Gliserol yang teah murni (kemurnian >
99,5%) disimpan, dan sebagian dikirim ke unit pembersihan Biodiesel.
Kelebihan dan Kelemahan Biodiesel
Produksi dan penggunaan BBM alternatif harus segera direalisasikan
untuk menutupi kekurangan terhadap kebutuhan BBM fosil yang semakin
meningkat. Biodiesel dapat dibuat dari bermacam sumber, seperti minyak
nabati, lemak hewani dan sisa dari minyak atau lemak (misalnya sisa minyak
penggorengan). Biodiesel memiliki beberapa kelebihan dibanding bahan bakar
diesel petroleum. Keunggulan Biodiesel :
1. Biodiesel tidak beracun.
2. Biodiesel adalah bahan bakar biodegradable.
3. Biodiesel lebih aman dipakai dibandingkan dengan diesel konvensional.
4. Biodiesel dapat dengan mudah dicampur dengan diesel konvensional, dan
dapat digunakan di sebagian besar jenis kendaraan saat ini, bahkan dalam
bentuk biodiesel B100 murni.
5. Biodiesel dapat membantu mengurangi ketergantungan kita pada bahan
bakar fosil, dan meningkatkan keamanan dan kemandirian energi.
6. Biodiesel dapat diproduksi secara massal di banyak negara, contohnya USA
yang memiliki kapasitas untuk memproduksi lebih dari 50 juta galon
biodiesel per tahun.
7. Produksi dan penggunaan biodiesel melepaskan lebih sedikit emisi
dibandingkan dengan diesel konvensional, sekitar 78% lebih sedikit
dibandingkan dengan diesel konvensional.
8. Biodiesel memiliki sifat pelumas yang sangat baik, secara signifikan lebih
baik daripada bahan bakar diesel konvensional, sehingga dapat
memperpanjang masa pakai mesin.
9. Biodiesel memiliki delay pengapian lebih pendek dibandingkan dengan
diesel konvensional.
37

10.Biodiesel tidak memiliki kandungan sulfur, sehingga tidak memberikan


kontribusi terhadap pembentukan hujan asam.
Kelemahan Biodiesel:
1. Biodiesel saat ini sebagian besar diproduksi dari jagung yang dapat
menyebabkan kekurangan pangan dan meningkatnya harga pangan. Hal
ini bisa memicu meningkatnya kelaparan di dunia.
2. Biodiesel 20 kali lebih rentan terhadap kontaminasi air dibandingkan
dengan diesel konvensional, hal ini bisa menyebabkan korosi, filter rusak,
pitting di piston, dll.
3. Biodiesel murni memiliki masalah signifikan terhadap suhu rendah.
4. Biodiesel secara signifikan lebih mahal dibandingkan dengan diesel
konvensional.
5. Biodiesel memiliki kandungan energi yang jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan diesel konvensional, sekitar 11% lebih sedikit
dibandingkan dengan bahan bakar diesel konvensional.
6. Biodiesel dapat melepaskan oksida nitrogen yang dapat mengarah pada
pembentukan kabut asap.
7. Biodiesel, meskipun memancarkan emisi karbon yang secara signifikan
lebih aman dibandingkan dengan diesel konvensional, masih berkontribusi
terhadap pemanasan global dan perubahan iklim.
Karakteristik Biodiesel
Tsbel 3. Syarat Mutu biodiesel ester alkil

Sumber : SNI 04-7182-2006


38

Sumber – Sumber Biodiesel

Tabel 5.Yield minyak dari tanaman darat dan mikroalga per satuan luas
area (kL/ha)

Sumber : Chisti, 2007

Tabel 6. Kandungan minyak dari beberapa jenis mikroalga

Sumber : (Chisti, 2007, Gouiveia & Oliveira, 2009)

2.3.3 Bioetanol
Ethanol merupakan senyawa Hidrokarbon dengan gugus Hydroxyl (-

OH) dengan 2 atom karbon (C) dengan rumus kimia C2H5OH. Secara umum
Ethanol lebih dikenal sebagai Etil Alkohol berupa bahan kimia yang diproduksi
dari bahan baku tanaman yang mengandung karbohidrat (pati) seperti ubi
kayu,ubi jalar,jagung,sorgum,beras,ganyong dan sagu yang kemudian
39

dipopulerkan dengan nama Bioethanol. Bahan baku lain-nya adalah tanaman


atau buah yang mengandung gula seperti tebu, nira, buah mangga, nenas,
pepaya, anggur, lengkeng, dll. Bahan berserat (selulosa) seperti sampah
organik dan jerami padi pun saat ini telah menjadi salah satu alternatif
penghasil ethanol. Bahan baku tersebut merupakan tanaman pangan yang biasa
ditanam rakyat hampir di seluruh wilayah Indonesia,sehingga jenis tanaman
tersebut merupakan tanaman yang potensial untuk dipertimbangkan sebagai
sumber bahan baku pembuatan bioethanol. Namun dari semua jenis tanaman
tersebut, ubi kayu merupakan tanaman yang setiap hektarnya paling tinggi
dapat memproduksi bioethanol. Selain itu pertimbangan pemakaian ubi kayu
sebagai bahan baku proses produksi bioethanol juga didasarkan pada
pertimbangan ekonomi. Pertimbangan ke-ekonomian pengadaan bahan baku
tersebut bukan saja meliputi harga produksi tanaman sebagai bahan baku, tetapi
juga meliputi biaya pengelolaan tanaman, biaya produksi pengadaan bahan
baku, dan biaya bahan baku untuk memproduksi setiap liter ethanol.
Secara umum ethanol biasa digunakan sebagai bahan baku industri
turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi,
kosmetika dan kini sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan bermotor.
Mengingat pemanfaatan ethanol beraneka ragam, sehingga grade ethanol yang
dimanfaatkan harus berbeda sesuai dengan penggunaannya. Untuk ethanol
yang mempunyai grade 90-95% biasa digunakan pada industri, sedangkan
ethanol/bioethanol yang mempunyai grade 95-99% atau disebut alkohol teknis
dipergunakan sebagai campuran untuk miras dan bahan dasar industri farmasi.
Sedangkan grade ethanol/bioethanol yang dimanfaatkan sebagai campuran
bahan bakar untuk kendaraan bermotor harus betul-betul kering dan anhydrous
supaya tidak menimbulkan korosif, sehingga ethanol/bio-ethanol harus
mempunyai grade tinggi antara 99,6-99,8 % (Full Grade Ethanol = FGE).
Perbedaan besarnya grade akan berpengaruh terhadap proses konversi
karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air.

Proses Produksi Bioethanol


40

Produksi ethanol/bioethanol (atau alkohol) dengan bahan baku tanaman


yang mengandung pati atau karbohydrat, dilakukan melalui proses konversi
karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air. Konversi bahan baku tanaman
yang mengandung pati atau karbohydrat dan tetes menjadi bioethanol
ditunjukkan pada
Tabel 7. Konversi Bahan Baku Tanaman Yang Mengandung Pati Atau
Karbohidrat Dan Tetes Menjadi Bio-Ethanol
Bahan Baku Kandungan
Gula Jmlh Hasil Perbandingan
Dalam Konversi Bahan Baku
Konsumsi
Jenis Bahan Bioethanol dan
(Kg)
Baku (Liter) Bioethanol
(Kg)
Ubi
1000 250-300 166,6 6,5 : 1
Kayu
Ubi
1000 150-200 125 8:1
Jalar
Jagung 1000 600-700 200 5:1
Sagu 1000 120-160 90 12 : 1
Tetes 1000 500 250 4:1
Sumber:Suharyanto
Glukosa dapat dibuat dari pati-patian, proses pembuatannya dapat dibedakan
berdasarkan zat pembantu yang dipergunakan, yaitu Hydrolisa asam dan
Hydrolisa enzyme. Berdasarkan kedua jenis hydrolisa tersebut, saat ini
hydrolisa enzyme lebih banyak dikembangkan, sedangkan hydrolisa asam
(misalnya dengan asam sulfat) kurang dapat berkembang, sehingga proses
pembuatan glukosa dari pati-patian sekarang ini dipergunakan dengan
hydrolisa enzyme. Dalam proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa)
larut air dilakukan dengan penambahan air dan enzyme; kemudian dilakukan
proses peragian atau fermentasi gula menjadi ethanol dengan menambahkan
yeast atau ragi. Reaksi yang terjadi pada proses produksi ethanol/bio-ethanol
secara sederhana ditujukkan pada reaksi 1 dan 2.
41

Selain ethanol/bioethanol dapat diproduksi dari bahan baku tanaman


yang mengandung pati atau karbohydrat, juga dapat diproduksi dari bahan
tanaman yang mengandung selulosa (mis: jerami padi), namun dengan adanya
lignin mengakibatkan proses penggulaannya menjadi lebih sulit, sehingga
pembuatan ethanol/bioethanol dari selulosa sementara ini tidak kami
rekomendasikan. Meskipun teknik produksi ethanol/bioethanol merupakan
teknik yang sudah lama diketahui, namun ethanol/bioethanol untuk bahan
bakar kendaraan memerlukan ethanol dengan karakteristik tertentu yang
memerlukan teknologi yang relatif baru di Indonesia antara lain mengenai
neraca energi (energy balance) dan efisiensi produksi, sehingga penelitian lebih
lanjut mengenai teknologi proses produksi ethanol masih perlu dilakukan.
Secara singkat teknologi proses produksi ethanol/bioethanol tersebut
dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu Persiapan Bahan Baku,Liquefikasi dan
Sakarifikasi,Fermentasi,Distilasi,dan Dehidrasi.
I. Persiapan Bahan Baku
Bahan baku untuk produksi biethanol bisa didapatkan dari berbagai
tanaman, baik yang secara langsung menghasilkan gula sederhana semisal
Tebu (sugarcane), gandum manis (sweet sorghum) atau yang menghasilkan
tepung seperti jagung (corn), singkong (cassava) dan gandum (grain sorghum)
disamping bahan lainnya. Persiapan bahan baku beragam bergantung pada
jenis bahan bakunya, sebagai contoh kami menggunakan bahan baku Singkong
(ubi kayu). Singkong yang telah dikupas dan dibersihkan dihancurkan untuk
memecahkan susunan tepungnya agar bisa berinteraksi dengan air secara baik.
42

Penghancuran Singkong Pemasakan bahan baku

Gambar 20. Treatment Bahan Baku Bioetanol Sebelum Diolah


Liquifikasi dan Sakarifikasi
Kandungan karbohidrat berupa tepung atau pati pada bahan baku
singkong dikonversi menjadi gula komplex menggunakan Enzym Alfa
Amylase melalui proses pemanasan (pemasakan) pada suhu 90 derajat celcius
(hidrolisis). Pada kondisi ini tepung akan mengalami gelatinasi (mengental
seperti Jelly). Pada kondisi optimum Enzym Alfa Amylase bekerja
memecahkan struktur tepung secara kimia menjadi gula komplex (dextrin).
Proses Liquifikasi selesai ditandai dengan parameter dimana bubur yang
diproses berubah menjadi lebih cair seperti sup. Sedangkan proses Sakarifikasi
(pemecahan gula kompleks menjadi gula sederhana) melibatkan tahapan
sebagai berikut :
- Pendinginan bubur sampai mencapai suhu optimum Enzym Glukosa
Amylase bekerja.
- Pengaturan pH optimum enzim.
- Penambahan Enzym Glukosa Amilase secara tepat dan mempertahankan
pH serta temperatur pada suhu 60 derajat celcius hingga proses
Sakarifikasi selesai (dilakukan dengan melakukan pengetesan kadar gula
sederhana yang dihasilkan).
43

Gambar 21. Liquifikasi dan Sakarifikasi


Fermentasi
Pada tahap ini, tepung telah telah berubah menjadi gula sederhana
(glukosa dan sebagian fruktosa) dengan kadar gula berkisar antara 5 hingga 12
%. Tahapan selanjutnya adalah mencampurkan ragi (yeast) pada cairan bahan
baku tersebut dan mendiamkannya dalam wadah tertutup (fermentor) pada
kisaran suhu optimum 27 s/d 32 derajat celcius selama kurun waktu 5 hingga
7 hari (fermentasi secara anaerob). Keseluruhan proses membutuhkan
ketelitian agar bahan baku tidak terkontaminasi oleh mikroba lainnya. Dengan
kata lain,dari persiapan baku,liquifikasi,sakarifikasi,hingga fermentasi harus
pada kondisi bebas kontaminan. Selama proses fermentasi akan menghasilkan
cairan etanol/alkohol dan CO2.
Hasil dari fermentasi berupa cairan mengandung alkohol/ethanol
berkadar rendah antara 7 hingga 10 % (biasa disebut cairan Beer). Pada kadar
ethanol max 10 % ragi menjadi tidak aktif lagi,karena kelebihan alkohol akan
beakibat racun bagi ragi itu sendiri dan mematikan aktifitasnya.

Gambar 22. Fermentasi bahan baku bioethanol


44

4. Distilasi.
Distilasi atau lebih umum dikenal dengan istilah penyulingan dilakukan
untuk memisahkan alkohol dalam cairan beer hasil fermentasi. Dalam proses
distilasi, pada suhu 78 derajat celcius (setara dengan titik didih alkohol) ethanol
akan menguap lebih dulu ketimbang air yang bertitik didih 95 derajat celcius.
Uap ethanol didalam distillator akan dialirkan kebagian kondensor sehingga
terkondensasi menjadi cairan ethanol. Kegiatan penyulingan ethanol
merupakan bagian terpenting dari keseluruhan proses produksi bioethanol.
Dalam pelaksanaannya dibutuhkan tenaga operator yang sudah menguasai
teknik penyulingan ethanol. Selain operator, untuk mendapatkan hasil
penyulingan ethanol yang optimal dibutuhkan pemahaman tentang teknik
fermentasi dan peralatan distillator yang berkualitas.
Penyulingan ethanol dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara :
1. Penyulingan menggunakan teknik dan distillator tradisional
(konvensional). Dengan cara ini kadar ethanol yang dihasilkan hanya
berkisar antara antara 20 s/d 30 %.
2. Penyulingan menggunakan teknik dan distillator model kolom reflux
(bertingkat). Dengan cara dan distillator ini kadar ethanol yang dihasilkan
mampu mencapai 90-95 % melalui 2 (dua) tahap penyulingan.
5. Dehidrasi
Hasil penyulingan berupa ethanol berkadar 95 % belum dapat larut
dalam bahan bakar bensin. Untuk substitusi BBM diperlukan ethanol berkadar
99,6-99,8 % atau disebut ethanol kering. Dalam proses pemurnian ethanol 95
% akan melalui proses dehidrasi (distilasi absorbent) menggunakan beberapa
cara,antara lain : 1. Cara Kimia dengan menggunakan batu gamping 2. Cara
Fisika ditempuh melalui proses penyerapan menggunakan Zeolit Sintetis 3
angstrom. Hasil dehidrasi berupa ethanol berkadar 99,6-99,8 % sehingga dapat
dikatagorikan sebagai Full Grade Ethanol (FGE),barulah layak digunakan
sebagai bahan bakar motor sesuai standar Pertamina. Alat yang digunakan pada
proses pemurnian ini disebut Dehidrator.
45

Proses penyulingan ethanol dengan alat konvensional

Penyulingan (distilasi) ethanol menggunakan distillator model kolom reflux

Cairan ethanol dari proses distilasi Bioethanol kadar 95-96 % (alkohol teknis) Cairan ethanol dari proses distilasi

Pengukuran kadar ethanol (alkohol)

Gambar 23. Langkah Kerja Pembuatan Bioetanol

5. Hasil samping penyulingan ethanol.


Akhir proses penyulingan (distilasi) ethanol menghasilkan limbah
padat (sludge) dan cair (vinase). Untuk meminimalisir efek terhadap
46

pencemaran lingkungan, limbah padat dengan proses tertentu dirubah menjadi


pupuk kalium,bahan pembuatan biogas,kompos,bahan dasar obat nyamuk
bakar dan pakan ternak. Sedangkan limbah cair diproses menjadi pupuk cair.
Dengan demikian produsen bioethanol tidak perlu khawatir tentang isu
berkaitan dengan dampak lingkungan.

Limbah cair (Vinase)


Limbah padat (sludge)

Gambar 24. Limbah Hasil Pemuatan Bioetanol

Rumus Kimia Bioetanol/Etanol


Etanol adalah sejenis cairan yang mudah menguap, mudah terbakar,
tak berwarna, dan merupakan alkohol yang paling sering digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Senyawa ini merupakan obat psikoaktif dan dapat
ditemukan pada minuman beralkohol dan termometer modern. Etanol adalah
obat rekreasi yang paling tua. Etanol termasuk dalam alkohol rantai tunggal,
dengan rumus kimia C2H5OH dan rumus empiris C2H6O. Ia merupakan
isomer konstitusional dari dimetil eter. Etanol sering disingkat menjadi EtOH,
dengan “Et” merupakan singkatan dari gugus etil (C2H5).

Sifat Fisika Dan Sifat Kimia Bioetanol


a. Sifat Fisika Bioetanol
· Berbentuk cair
· Tidak berwarna
· Mudah terbakar
· Larut dalam air dan pelarut organik lainnya (meliputi asam asetat,
aseton, benzena, karbon tetraklorida, dietil eter, etilena glikol, gliserol,
nitrometana, piridina, dan toluena).
47

· Larut dalam hidrokarbon alifatik yang ringan, seperti pentana dan


heksana.
· Larut dalam senyawa klorida alifatik seperti trikloroetana dan
tetrakloroetilena.
b. Sifat Kimia Bioetanol
· Memiliki titik didih 78,40c dan titik leleh -114,30c
· Densitasnya 0,789 g/cm3
· Dan memiliki tingkat keasaman 15,9.

Manfaat Bioetanol
Manfaat bioetanol sendiri dalam kehidupan sehari-hari adalah
sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan karena memiliki
bilangan oktan yang cukup tinggi, selain itu juga bioetanol dijadikan sebagai
bahan baku beralkohol. Adapun manfaat bioetanol yang lainnya adalah:
· Sebagai bahan bakar kendaraan
· Sebagai bahan dasar minuman beralkohol
· Sebagai bahan kimia dasar senyawa organik
· Sebagai bahan bakar roket
· Sebagai antiseptik
· Sebagai antidote beberapa racun
· Sebagai pelarut untuk parfum, cat dan larutan obat.

Pencampuran Bioetanol dengan Bensin


Bioetanol yang bisa digunakan sebagai bahan bakar adalah bioetanol
dengan kadar air 99.5%. Bioetanol ini bisa dicampurkan dengan bensin dengan
perbandingan bietanol : bensin sebesar 1 : 9 atau 2 : 8.
Pemanfaatan Bioetanol :
a. Sebagai bahan bakar substitusi BBM pada motor berbahan bakar bensin;
digunakan dalam bentuk neat 100% (B100) atau diblending dengan
premium (EXX)
b. Gasohol s/d E10 bisa digunakan langsung pada mobil bensin biasa (tanpa
mengharuskan mesin dimodifikasi).
48

Keunggulan dan Kelemahan Bahan Bakar Etanol


Seperti semua bahan bakar lainnya, bahan bakar etanol juga memiliki
keunggulan dan kelemahan yang akan dibahas di artikel ini. Salah satu
keunggulan bahan bakar etanol yang paling jelas adalah bahan bakar etanol
merupakan sumber energi terbarukan, yang berarti bahwa bahan bakar etanol
tidak terbatas seperti bahan bakar fosil.
Negara yang menggunakan etanol akan mengurangi ketergantungannya
pada impor minyak asing, dan juga mengurangi efek harga minyak yang tak
stabil. Produksi etanol dalam jumlah besar di dalam negeri akan memastikan
bahwa uang akan tetap berputar di dalam negeri dan bukannya dibelanjakan
pada minyak asing yang mahal. Tentu saja peningkatan produksi etanol dalam
negeri juga akan menciptakan lebih banyak pekerjaan, dan juga sangat
mungkin akan menurunkan harga bahan bakar.
Pembakran etanol lebih bersih daripada bahan bakar fosil yang berarti
mengurangi emisi gas rumah kaca. Hal ini merupakan keuntungan etanol yang
paling signifikan bagi lingkungan dibandingkan dengan bahan bakar fosil.
Bahan bakar etanol juga memiliki kelemahan dan fakta bahwa sebagian
besar produksi etanol berasal dari tanaman pangan memiliki potensi untuk
meningkatkan harga pangan dan bahkan menyebabkan kekurangan pangan. Isu
bahan bakar vs makanan adalah bahan perdebatan utama, karena dengan
adanya peningkatan penggunaan etanol maka banyak lahan yang akan
dipergunakan untuk memproduksi etanol, bukan untuk menghasilkan
makanan, dan ini akan menyebabkan kekurangan jumlah pangan yang diikuti
dengan peningkatan harga pangan, dan kemungkinan akan menghasilkan lebih
banyak masalah kelaparan di dunia.
Etanol menghasilkan energi per satuan volume lebih rendah dibandingkan
dengan bensin. Etanol juga cenderung sangat korosif karena dapat dengan
mudah menyerap air dan kotoran. Tanpa sistem penyaringan yang tepat, etanol
dapat menyebabkan korosi di dalam blok mesin terjadi dengan cepat.
49

Saat kompresi, mesin yang didesain untuk etanol murni memiliki efisiensi
bahan bakar 20-30% lebih rendah dibandingkan mesin yang didesain untuk
bensin murni. Mesin yang menggunakan campuran etanol tinggi akan menjadi
masalah saat cuaca dingin (musim dingin).
Selain itu, beberapa keunggulan yang dapat diperoleh dari bioethanol adalah
sebagai berikut:
1. Nilai oktan yang tinggi menyebabkan campuran bahan bakar terbakar tepat
pada waktunya sehingga tidak menyebabkan fenomena knocking.
2. Emisi gas buang tidak begitu berbahaya bagi lingkungan salah satunya gas
CO2 yang dapat dimanfaatkan kembali oleh tumbuhan untuk proses
fotosintesa serta emisi NO yang rendah
3. Efisiensi tinggi dibanding bensin
Selain memiliki keunggulan yang begitu banyak bioethanol ini pun terdapat
kelemahan, kelemahan-kelemahan tersebut diantaranya:
1. Memerlukan modifikasi mesin jika ingin menggunakan bioethanol murni
pada kendaraan
2. Bisa terjadi kemungkinan ethanol mengeluarkan emisi polutan beracun.
Kelebihan bioetanol dibanding minyak tanah adalah api berwarna biru
sehingga tidak menghanguskan alat masak. Bahan bakar dari bioetanol juga
tidak berbau dan mudah dipadamkan dengan air.

Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan bioetanol dan dampaknya


terhadap industri
Untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Presiden(Perpres) No.5 Tahun 2006 tentang kebijakan
energi nasional untuk mendorong pengembangan sumber energi alternatif
sebagai pengganti bahan bakar minyak.
Sementara itu, berdasarkan peraturan menteri ESDM 25/2013, pemerintah
menargetkan pemanfaatan biodiesel sebesar 30% pada tahun 2025(khusus
untuk pembangkit listrik) dan menurunkan pamanfaatan bioetanol pada tahun
2015 sampai tahun 2025 dan meningkatkan pemanfaatannya pada tahun 2025
sebesar 20%.
50

Dengan regulasi yang dibuat oleh pemerintah tersebut diharapkan


pemanfaatan bioetanol semakin meningkat. Mekanisme pemanfaatan bioetanol
sendiri dilakukan dengan pencampuran bioetanol dan bensin dengan persentase
tertentu hingga pada tahun 2025 ditargetkan komposisi campuran bensin dan
bioetanol adalah 80:20. Dilain hal, pelaksanaan dari regulasi tersebut melalui
mandatori pemerintah terhadap penggunaan bioetanol nyaris tidak menunjukan
realisasinya. Dalam hal ini, pemerintah masih kurang serius menerapkan
kebijakan diversifikasi energi tersebut. Akibatnya, pangsa pasar bioetanol pun
mengalami keterpurukan.
Hal ini berakibat pada industri-industri bioetanol di Indonesia yang semakin
terancam bangkrut, khususnya pada pabrik-pabrik skala rumahan. Pada
awalnya, industri beranggapan bahwa bioetanol yang mereka hasilkan akan
diterima oleh Pertamina, atau lembaga lain yang bertugas sebagai pembeli
siaga (off taker). Namun, karena kualitas bioetanol tidak memenuhi
persyaratan yang ditetapkan Pertamina(kemurnian 99%), dimana bioetanol
yang dihasilkan hanya memiliki kemurnian 90%. Hal ini disebabkan hanya
perusahaan-perusahaan besarlah yang memiliki teknologi yang mampu
menghasilkan kemurnian hingga 99%(full grade ethanol).
Selain itu, kebijakan pemerintah dinilai masih belum disiapkan dengan
matang. Pasalnya, belum adanya sistem yang berkelanjutan dari mulai
distribusi bioetanol dari para pengusaha bioetanol hingga dapat diterima oleh
Pertamina. Sebagai contoh, pada distribusi beras, badan penyangga yang
mengelolanya adalah bulog, pada listrik, yakni PLN. Negara-negara lain
seperti Brazil, Thailand, Filipina yang pengembangan bioetanolnya sudah lebih
maju pun memiliki lembaga penyangga terhadap industri bioetanol.

Pabrik-pabrik yang memproduksi bioetanol di Indonesia


Sebagian besar pabrik biofuel saat ini masih dalam skala yang relatif kecil,
karena kebanyakan adalah milik beberapa lembaga penelitian sebagai pilot
project. Terdapat 9 pabrik etanol dengan total kapasitas produksi mencapai
133.632 kilo liter, dan beberapa diantaranya telah mulai produksi pada tahun
2007. Pemerintah melalui Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati
51

memperkirakan biaya investasi yang harus dikeluarkan untuk pengembangan


Biofuel di Indonesia sampai tahun 2010, dengan target tercapainya penggunaan
10% biodiesel dan 5% bioetanol adalah sebesar Rp 200 triliun. Beberapa pabrik
yang berkecimpung dalam industri bioetanol antara lain:

PT Molindo Raya
PT Molindo Raya Surabaya adalah produsen utama bioetanol di Indonesia.
Dengan kapasitas terpasang sebesar 40.000 Kl/hari(330 hari kerja pertahun),
operating capacity nya saat ini(tahun 2008) adalah ± 35.000 Kl/tahun. Bahan
baku yang digunakan dalam memproduksi bioetanol adalah molases yang
disuplai dari pabrik-pabrik sekitar. Pabrik ini dapat memproduksi etanol untuk
bahan bakar kendaraan bermotor sebanyak 10.000 kiloliter per tahun.

PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X


Pabrik bioetanol ini terletak di Mojokerto, Jawa Timur berkapasitas 30 juta
liter per tahun dengan investasi Rp 461,21 miliar. Bioetanol yang diproses dari
bahan baku tetes tebu (molasses) dari Pabrik Gula (PG) Gempolkrep
Mojokerto ini akan diserap oleh Pertamina sebagai campuran bahan bakar
premium. PTPN X mempunyai 11 pabrik gula yang tersebar di berbagai kota
di Jawa Timur. Menurut Sudibyo, Direktur Utama PTPN X, pabrik bioetanol
yang terintegrasi dengan pabrik gula ini diharapkan bisa berkontribusi dalam
upaya meningkatkan penggunaan energi terbarukan di Indonesia. Selain itu,
pabrik ini juga sekaligus menjadi model bagi pengembangan industri gula yang
terintegrasi dari hulu ke hilir. Kebutuhan bahan baku pabrik bioetanol ini
sebesar 120.000 ton tetes tebu.

Dinamika produksi bioetanol dan realisasinya di Indonesia


BBN yang terdiri dari biodiesel dan bioetanol merupakan bahan bakar
alternatif yang paling potensial mengurangi dominasi bahan bakar minyak.
Selama kurun waktu 23 tahun(2012-2035), diprediksi BBN meningkat dengan
laju pertumbuhan 15,9%(0,7 juta kl pada 2012 menjadi 21 juta kl pada 2035)
per tahun untuk skenario dasar dan 17,4% untuk skenario tinggi (BPPT 2014).
52

Pada kedua skenario, pertumbuhan bioetanol sangat rendah. Hal ini disebabkan
hampir semua bahan baku bioetanol diperlukan sebagai bahan pangan atau
farmasi sehingga cukup sulit untuk mengembangkan perkebunan energi untuk
bioetanol sementara sementara hasil perkebunan tersebut masih diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan pangan dan komoditas ekspor.
Berikut proyeksi pemanfaatan biodiedel dan bioetanol pada skenario dasar
dan skenario tinggi dalam jangka waktu 2012-2035:
Pemerintah telah mengalokasikan subsidi di sektor transportasi PSO(Public
Service Obligation) untuk pemanfaatan biodiesel sebesar 3000 Rp./liter dan
bioetanol 3500 Rp./liter pada APBN-P 2013 dan RAPBN 2014. Perubahan
mandatori dengan targer yang lebih tinggi dengan dibuatnya peraturan menteri
ESDM 25/2013 mempercepat pemanfaatan biodiesel dan bioetanol.
Berdasarkan peraturan tersebut, pada tahun 2025 target yang diwajibkan
pemerintah adalah wajib pakai bioetanol dari awalnya 15% menjadi 20%,
namun pada tahun 2015 dari awalnya 5% diturunkan menjadi 1% sementara
untuk transporasi non PSO dan industri turun dari 10% menjadi 2%. Hal ini
disebabkan pemanfaatan bioetanol pengganti bensin masih dihadapkan oleh
berbagai kendala.
Sejak tahun 2010 sampai saat ini, wajib pemakaian bioetanol belum dapat
direalisasikan karena Indeks Harga Pasar(HIP) bioetanol masih tinggi
sedangkan subsidi bioetanol sebesar Rp. 3500/liter tidak cukup menarik bagi
produsen bioetanol.
Saat ini, 8 produsen bioetanol telah memiliki izin usaha niaga BBN dengan
kapasitas produksi bioetanol sebesar 416 ribu kl/tahun, dimana kapasitas
sebesar 200 ribu kl/tahun siap untuk diproduksi.
Pada kurun waktu 23 tahun mendatang, kebutuhan bensin akan meningkat
3 kali lipat dari sekarang, dengan kondisi pengembangan bioetanol yang masih
belum cukup baik, diprediksi bioetanol belum mampu menggantikan bensin.
Saat ini bahan baku yang potensial digunakan dalam membuat bioetanol di
Indonesia antara lain molases atau tetes tebu, ketela pohon, ubi jalar, sorgum
dan lain-lain. Setiap hektar lahan tebu dapat menghasilkan tetes tebu sekitar
10-15 ton(sekitar 766-1150 liter bioetanol grade bahan bakar). Pada tahun 2013
53

luas tanaman tebu di Indonesia sekitar 470.000 Ha(sekitar 3,6 juta kl


bioetanol). Untuk mengembangkan bioetanol lebih lanjut diperlukan
penambahan luas lahan baru yang selama ini masih menjadi kendala. Luas
lahan sagu di Indoensia sekitar 1,2 juta Ha dengan potensi produksi sagu sekitar
5 juta ton pati kering. Dengan instensitas produksi 600 liter per ton pati, maka
dapat dihasilkan bioetanol sebesar 2,85 juta kl. Selain tebu dan sagu, sumber
bahan baku bioetanol yang potensial antara lain: Nipah, Aren dan Lontar.
Nipah diperkirakan dapat menghasilkan 750 ribu bioetanol (dengan 25%
produksi).Permasalahan pengembangan bioetanol di Indonesia adalah
bersaingnya penggunaan hasil bahan baku tersebut terhadap kebutuhan pangan
maupun obat-obatan.
Selain itu, dengan subsidi sebesar 3500 Rp./liter, harga bioetanol belum
cukup kompetitif sehingga kurang menarik minat industri dalam negeri dan
investor. Permasalahan utama yang dihadapi sekarang adalah HIP yang
menjadi acuan harga bioethanol sudah tidak sesuai dengan keekonomian, alias
terlalu murah. Kementerian ESDM mengajukan usulan kenaikan HIP menjadi
sekitar Rp9 ribu per liter. Ini sesuai dengan biaya produksi bioetanol yang
sekitar Rp9 ribu-Rp9200 per liter. Sementara harga bioetanol saat ini hanya
sekitar Rp8 ribu per liter.
Di lain hal, Pertamina sebagai BUMN, memiliki peran yang strategis untuk
menciptakan dan mengembangkan pasar bioetanol sehingga industri-industri
yang bergerak dalam produksi bioethanol bisa tetap berjalan dan berkembang.

Negara-negara yang menggunakan bietanol sebagai bahan bakar


Biofuel telah dikembangkan di banyak negara sebagai salah satu sumber
energi untuk subsitusi energi yang berasal dari fosil seperti minyak bumi.
Negara-negara seperti Amerika Serikat, Brazil, Korea Selatan, India dan
Jepang telah melakukan penelitian yang intensif untuk mengembangkan
biofuel (Kementerian ESDM 2014).
Industri biofuel dunia saat ini masih didominasi oleh produksi bioetanol,
yang mencapai sekitar 700.000 barel per hari, sementara itu biodiesel
produksinya hanya sekitar 75.000 barel per hari pada tahun 2006. Amerika
54

serikat dan Brazil adalah negara utama produsen dan konsumen bioetanol,
dengan produksi 80% dari total produksi dunia. Dan konsumsi bioethanol oleh
Amerika Serikat dan Brazil mencapai 75% dari total konsumsi dunia. Bioetanol
juga berkembang pesat di negara-negara Uni Eropa seperti Jerman, Spanyol
dan Swedia. Sementara itu Honggaria, Lithuania dan republik Czech adalah
negara baru produsen bioetanol. Di Asia, bioetanol mulai berkembang di
beberapa negara antara lain India, Thailand, China, Malaysia dan Indonesia
(Indonesian Commercial Newsletter 2008).
Amerika Serikat
Sejak tahun 1979, pemerintah Amerika Serikat telah menerapkan insentif
pajak terhadap pengguna biofuel dalam bentuk Federal Excise Tax Exemption,
dan saat ini sedang meningkatkan penggunaan Fuel Flexible Vechicles, dan
memberikan insentif terhadap pembangunan SPBU. Beberapa negara bagian
seperti Minnesota, Hawaii, Montana, dan Oregon saat ini telah menerapkan
E10 (bioetanol yang dicampur dengan bensin dengan perbandingan 10:90),
dengan bahan baku jagung.
Brazil
Menurut data dari kementerian ESDM, Brazil telah mengembangkan
bioetanol yang bersumber dari tebu dengan melakukan uji coba pada kendaraan
sejak tahun 1925, dan dikembangkan dalam periode cukup lama dengan
dukungan penuh dari pemerintah dalam bentuk regulasi dan insentif, dan saat
ini pengembangan biofuel di Brazil telah menggunakan mekanisme pasar. Dari
seluruh produksi tebu, perbandingan untuk pemanfaatan sebagai gula dan
bioetanol adalah sekitar 50:50.
India
Kebijakan pengembangan bioetanol diarahkan pada pemanfaatan Molasses
yang berasal dari komoditas tebu, sehingga tidak mengganggu penyediaan
gula. Saat ini telah ditetapkan kebijakan E5 dan secara bertahap dikembangkan
ke E10 pada 2012. Serangkaian percobaan terhadap industri otomotif untuk
penerapan E5 dan telah dinyatakan layak, namun saat ini masih belum dapat
ditingkatkan kearah yang lebih tinggi karena masih dianggap dapat
mengganggu mesin kendaraan. Indian Oil telah menerapkan E5 di beberapa
55

negara bagian India sejak 2003, dan pemanfaatannya akan lebih baik apabila
menerapkan catalityc converter kit.

Potensi bioetanol di Indonesia


Menurut artikel di Bisnis Indonesia(tanggal 15 desember 2013) populasi
kendaraan di Indonesia tidak kurang dari 100 juta unit. Dari jumlah tersebut 80
juta unit adalah sepeda motor. Pertumbuhan kendaraan bermotor di Indonesia,
khususnya sepeda motor melonjak secara signifikan pada beberapa tahun
belakangan dengan pertumbuhan eksponensial. Hal ini berakibat pada
kebutuhan BBM yang meningkat pula. Dengan kondisi seperti ini, dimana
BBM semakin lama semakin menipis, bioetanol berpotensi menjadi bahan
bakar alternatif pengganti bensin dengan keunggulannya seperti pembakaran
lebih sempurna, mengurangi emisi karbon monoksida dan lain-lain.
Selain itu, potensi biomassa diprediksi berpotensi membangkitkan energi
listrik hingga 49.810 megawatt. Saat ini diperkirakan pemanfaatan biomassa
baru mampu memproduksi listrik 445 megawatt. Namun, hal yang perlu
diperhatikan adalah bahwa negara Indonesia adalah negara kepulauan sehingga
potensi tersebut bersifat sektoral dimana akan terjadi kesulitan pendistribusian
biomasa tersebut untuk diolah menjadi bioetanol.
Saat ini, teknologi yang digunakan dalam produksi bioetanol memanfaatkan
bahan baku non pangan atau biasa disebut bioetanol generasi kedua, dimana
bioetanol generasi pertama menggunakan bahan baku yang berbasis pangan.
Bioetanol generasi kedua menggunakan bahan baku seperti limbah pertanian
maupun kehutanan. Salah satu bahan baku yang paling potensial digunakan
adalah limbah ampas tebu, dengan luas tanaman tebu di Indonesia sekitar
470.000 Ha(menghasilkan sekitar 3,6 juta kl bioetanol).

Hambatan-hambatan yang mempengaruhi pengembangan bioetanol


1. Industri nonenergi juga membutuhkan bioetanol
56

Menurut Kepala Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati,


Alhilal Hamdi(dalam Market Intelligence Report On Perkembangan
Industri Biofuel di Indonesia) menyatakan, keterbatasan salah satu bahan
baku utama biofuel, yaitu etanol untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar
menjadi kendala utama. Etanol yang tersedia, jadi rebutan dengan dengan
industri lain. Etanol di Indonesia juga digunakan untuk industri alkohol atau
industri lain seperti rokok, kosmetik dan plastik.

2. Harga yang Belum Bersaing


Biaya produksi biofuel seperti biodiesel berkisar antara Rp. 8000 –
Rp. 10000, sementara biaya produksi bioetanol melebihi biodiesel. Hal ini
mengakibatkan bioetanol kalah bersaing dengan BBM bersubsidi.
Disamping itu proses pembuatan biodiesel yang menggunakan unit destilasi
juga memerlukan energi yang besar sehingga modal yang diperlukan untuk
biaya produksi pun meningkat.
Terlebih lagi, apabila industri ingin mengekspor bioetanol ke negara
lain, pajak impor yang ditetapkan sangat besar, yakni 30%. Hal ini yang
menyebabkan pasar bioetanol sepi peminat.

3. Efisiensi produksi bioetanol


Menurut Agus Haryono, Koordinator Proyek Kerja Sama Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan Korea International
Cooperation Agency (Koica) dalam pengembangan pabrik bioetanol
generasi kedua, meneliti bahwa efisiensi kerja enzim dalam fermentasi
bahan baku menjadi bioetanol perlu ditingkatkan, karena enzim hanya
mampu menghasilkan kadar bioetanol sebesar 6% saja. Disamping itu,
kemurnian bioetanol harus dijaga kualitasnya, hal ini berpengaruh terhadap
performa mesin kendaraan dimana kandungan air yang terdapat pada
bioetanol dapat menyebabkan korosi pada mesin kendaraan.
4. Bahan baku bietanol untuk energi atau pangan
Tebu merupakan bahan baku bioetanol yang paling potensial
digunakan. Namun, tidak seperti Brazil yang memiliki luas daratan yang
57

besar. Indonesia adalah negra kepulauan, sehingga keterbatasan lahan


menjadi kendala. Disamping itu, komoditas tebu di Indonesia lebih
cenderung dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan gula pasir sebagai
bahan pangan.

Solusi-solusi strategis untuk meningkatkan pengembangan bietanol


Strategi yang dapat diambil agar bioetanol dapat bertahap digunakan
sebagai bahan bakar pengganti bensin antara lain:
- Menghapus atau mengurangi subsidi premium sampai harga bioetanol
dapat bersaing dipasaran
- Meningkatkan subsidi bioetanol dibarengi dengan pengurangan subsidi
premium
- Melakukan budidaya tanaman-tanaman sebagai bahan baku bioetanol yang
tidak bersaing dengan pangan dan memperluas wilayahnya
Disamping itu, pemerintah harus konsisten melaksanakan kebijakan
terkait bioetanol agar pemanfaatan energi terbarukan ini bisa berjalan dengan
optimal dan dapat menjaga ketahanan energi Indonesia di masa depan.

2.3.4 Biogas
Biogas merupakan teknologi pembentukan energi dengan
memanfaatkan limbah, seperti limbah pertanian, limbah peternakan, dan
limbah manusia. Selain menjadi energi alternatif, biogas juga dapat
mengurangi permasalahan lingkungan, seperti polusi udara dan tanah.
Misalnya, seekor sapi potong yang berbobot 400―500 kg/ekor menghasilkan
kotoran ternak segar sebanyak 20―29 kg/harinya. Bisa dibayangkan berapa
banyak limbah yang dihasilkan dari sebuah peternakan yang mengelola
puluhan sampai ratusan ekor sapi potong. Kondisi tersebut sebenarnya
merupakan peluang usaha untuk dijadikan bahan baku pembuatan biogas. Hasil
dari pembuatan biogas dapat dijadikan sumber energi serta sisa keluaran
berupa lumpur (sludge) dapat dijadikan pupuk siap pakai sehingga dapat
menambah penghasilan bagi
peternak sapi itu sendiri.
58

1. Prinsip Dasar Biogas


Prinsip dasar teknologi biogas adalah proses penguraian bahan-
bahan organik oleh mikroorganisme dalam kondisi tanpa udara (anaerob)
untuk menghasilkan campuran dari beberapa gas, di antaranya metan dan
CO2. Biogas dihasilkan dengan bantuan bakteri metanogen atau
metanogenik. Bakteri ini secara alami terdapat dalam limbah yang
mengandung bahan organik, seperti limbah ternak dan sampah organik.
Proses tersebut dikenal dengan istilah anaerobic digestion atau pencernaan
secara anaerob. Umumnya, biogas diproduksi menggunakan alat yang
disebut reaktor biogas (digester) yang dirancang agar kedap udara
(anaerob), sehingga proses penguraian oleh mikroorganisme dapat berjalan
secara optimal. Berikut beberapa keuntungan yang dihasilkan dari digester
anaerob.

Gambar 25. Pembuatan Biogas

a). Keuntungan Pengolahan Limbah


1. Digunakan untuk proses pengolahan limbah yang alami.
59

2. Lahan yang dibutuhkan lebih kecil dibandingkan dengan lahan untuk


proses kompos.
3. Memperkecil rembesan polutan.
4. Menurunkan volume limbah yang dibuang.
b). Keuntungan Energi
1. Menghasilkan energi yang bersih.
2. Bahan bakar yang dihasilkan berkualitas tinggi dan dapat diperbaharui.
3. Biogas yang dihasilkan dapat digunakan untuk berbagai penggunaan.
c). Keuntungan Lingkungan
1. Mengurangi polusi udara.
2. Memaksimalkan proses daur ulang.
3. Pupuk yang dihasilkan bersih dan kaya nutrisi.
4. Menurunkan emisi gas metan dan CO2 secara signifikan.
5. Memperkecil kontaminasi sumber air karena dapat menghilangkan
bakteri Coliform sampai 99%.
d). Keuntungan Ekonomi
Ditinjau dari siklus ulang proses, digester anaerobik lebih ekonomis
dibandingkan dengan proses lainnya.

2. Potensi dan Sumber Bahan Baku Biogas


Sumber bahan baku biogas dapat berasal dari berbagai limbah yakni
:
a). Biogas dari Limbah Peternakan
Sektor peternakan skala usaha kecil umumnya dilakukan
masyarakat pedesaan dengan memelihara 2―5 ekor ternak. Sementara
itu peternak skala usaha besar biasanya memelihara puluhan sampai
ratusan ternak secara intensif.

Tabel 4. Produksi Kotoran Ternak


60

Keterangan : KTS (Kotoran Ternak Segar)


Sumber: United Nations (1984)

Namun, berkembangnya usaha sektor peternakan menghasilkan limbah


berupa kotoran ternak yang cukup banyak, sehingga dapat menimbulkan bau
yang dapat mengakibatkan polusi udara dan dapat mengganggu kesehatan
manusia. Karena, gas metana yang dihasilkan memiliki potensi pemanasan
global 21 kali lebih tinggi dibandingkan gas

Karbondioksida (CO2).
Dekomposisi kotoran ternak menghasilkan polutan berupa BOD
(Biological Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand), polusi air,
polusi udara, dan bakteri patogen. Salah satu solusi untuk mengurangi dampak
negatif limbah peternakan adalah mengelolanya dengan baik.
Tabel 5. Produksi Gas

Sumber: Chengdu Biogas Research Institut (1989)


Limbah peternakan seperti kotoran padat dan cair dapat dijadikan bahan
baku biogas yang akan menghasilkan energi dan pupuk organik. Umumnya,
kebutuhan energi untuk memasak satu keluarga rata-rata 2000 liter per hari,
61

sedangkan produksi biogas dari seekor sapi berkisar 600―1000 liter biogas per
hari. Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan energi untuk memasak
satu keluarga dibutuhkan 2—3 ekor sapi

b). Biogas dari Limbah Pertanian


Pertanian merupakan salah satu sektor usaha yang turut mendukung
perekonomian di Indonesia. Sama seperti sektor peternakan, lahan pertanian
yang cukup luas juga menghasilkan limbah yang tidak sedikit. Tanaman
padi yang merupakan komoditas pangan utama dapat menghasilkan limbah
berupa jerami sekitar 3,0―3,7 ton/ha. Biasanya, limbah pertanian diatasi
dengan cara dibakar dan ditimbun.
Padahal, cara tersebut dapat merugikan petani dan lingkungan
sekitar. Karena, pembakaran yang dilakukan dapat menghasilkan gas CO2
yang berbahaya bagi kesehatan petani. Sementara itu, penimbunan limbah
di dalam tanah, dapat menjadi faktor penyebab penyakit bagi pertanaman
selanjutnya. Salah satu pola pengelolaan limbah yang tepat agar limbah
tersebut dapat dimanfaatkan yaitu dengan cara mengolah limbah menjadi
biogas. Biogas yang dihasilkan dapat dimanfaatkan oleh petani sebagai
sumber energi, sedangkan hasil sampingan berupa pupuk organik dapat
dimanfaatkan untuk pertanaman selanjutnya.
c). Biogas dari Limbah Perairan
Hasil perairan yang sampai saat ini dimanfaatkan hanya sebatas
kekayaan ikan saja. Padahal, masih banyak sumber daya air lain yang dapat
dimanfaatkan seperti rumput laut, alga, dan eceng gondok.
Rumput laut merupakan salah satu komoditas unggulan perairan.
Jumlahnya di perairan Indonesia meningkat setiap tahunnya, namun
pemanfaatannya baru sebagian kecil dan belum menyeluruh. Rumput laut
memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena mengandung banyak manfaat.
Jenis rumput laut yang berpotensi dijadikan bahan baku biogas adalah
Euchema cottoni karena memiliki imbangan C/N (43,98) yang dapat
digunakan untuk pembuatan biogas. Selain rumput laut, jenis tumbuhan air
yang dapat dimanfaatkan yaitu eceng gondok
62

(Eichhornia crassipes). Tumbuhan air yang mengapung ini sering


dianggap sebagai gulma yang dapat merusak lingkungan perairan karena
memiliki tingkat kecepatan tumbuh yang tinggi. Karena itu, ketersediaan
eceng gondok yang melimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal dapat
dijadikan bahan baku pembuatan biogas.
d). Biogas dari Limbah Industri
Saat ini, agroindustri di Indonesia telah banyak berkembang.
Berbagai hasil pertanian seperti kelapa sawit, tebu, singkong, dan kedelai
diolah menjadi produk yang lebih tinggi nilainya. Umumnya, proses
pengolahan hasil pertanian ini akan menghasilkan limbah sebagai produk
sampingan. Karena itu, untuk mencegah pencemaran dan kerusakan
lingkungan, agroindustri harus diikuti dengan pengolahan lmbah yang baik.
Salah satu pengolahan limbah yang saat ini dikembangkan yaitu biogas.
Pengolahan limbah industri menggunakan teknologi biogas dapat
menghasilkan energi yang dapat dijadikan bahan bakar pengganti solar
sehingga dapat mengurangi biaya produksi.
Pabrik tapioka dan pabrik gula termasuk penghasil limbah organik
yang berpotensi memproduksi biogas. Limbah yang dihasilkan dari pabrik
tapioka berupa limbah padat dan limbah cair. Selain limbah tapioka, potensi
pemanfaatan tongkol jagung menjadi biogas juga terbilang besar. Karena,
selama ini tongkol jagung sisa pakan ternak dibuang begitu saja, sehingga
menjadi limbah. Berdasarkan struktur organnya, tongkol jagung merupakan
bagian dari organ betina tempat bulir-bulir jagung menempel. Organ itulah
yang dapat diolah menjadi biogas. Tongkol jagung dapat dimanfaatkan
sebagai biogas karena memiliki kandungan senyawa selulosa sebesar 41%
dan hemiselulosa sebanyak 36%. Kedua bahan itu dapat diubah menjadi
biogas.

e). Biogas dari Limbah Sampah Organik


Sampah merupakan salah satu masalah lingkungan yang sampai saat
ini belum dapat ditangani dengan tepat dan cepat. Kemampuan pengelola
63

kebersihan dalam menangani sampah belum seimbang dengan akumulasi


sampah yang dihasilkan. Padahal, sampah yang tidak dikelola dengan baik
dapat menurunkan etika dan estetika lingkungan, menimbulkan bau tidak
sedap, dapat menjadi tempat berkembangnya berbagai macam penyakit, dan
dapat memicu pemanasan global. Pengolahan sampah yang benar
mensyaratkan adanya keterpaduan dari berbagai aspek, mulai dari hulu
sampai hilir. Di tempat yang pengolahannya terpadu, tiap jenis sampah
ditempatkan sesuai dengan jenisnya, sehingga bak sampah yang digunakan
ada dua macam, sampah organik dan sampah anorganik. Pemisahan ini
memudahkan dalam pengelolaan sampah selanjutnya. Sampah organik
dapat dijadikan bahan untuk pembuatan biogas dan pupuk organik.
Sementara itu, sampah anorganik dapat didaur ulang, sehingga menambah
nilai guna seperti dijadikan bahan kerajinan tangan.
f). Biogas dari Limbah Kotoran Manusia
Limbah lain yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan
biogas berasal dari kotoran manusia. Kandungan nutrisi kotoran manusia
tidak jauh berbeda dibanding dengan kotoran ternak. Kotoran manusia
memiliki keunggulan dari segi nutrisi, dimana imbangan C dan N jauh lebih
rendah daripada kotoran ternak.

3. Pemanfaatan Biogas
Berkembangnya usaha pemanfaatan limbah menjadi biogas turut
mengembangkan beragam alat instalasi biogas, seperti kompor biogas, rice
cooker, lampu biogas, pompa air, traktor pertanian, dan alat pasteurisasi
yang dimodifikasi agar sesuai dengan penggunaan biogas. Alat tersebut
fungsinya sama dengan yang terdapat di pasaran, hanya saja bahan bakar
yang digunakan berbeda dan sama mudahnya dalam penggunaan.

4. Pemanfaatan Hasil Samping Biogas


Biogas memang pilihan yang tepat untuk dijadikan sebagai energi
alternatif. Selain murah, biogas juga sangat ramah lingkungan. Limbah yang
dihasilkan selama proses produksi biogas juga masih dapat dimanfaatkan.
64

Hasil samping biogas yang berupa lumpur atau yang lebih dikenal dengan
sebutan sludge mengandung banyak unsur hara yang dapat dimanfaatkan
menjadi pupuk untuk tanaman.
Pupuk organik yang dihasilkan dari alat keluaran biogas sudah dapat
digunakan dan berkualitas prima. Kandungan unsur haranya yang tinggi
sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah dengan memperbaiki sifat
fisik, kimia, dan biologi tanah. Proses pembuatan pupuk organik dengan
memanfaatkan hasil keluaran biogas ini lebih efisien dibandingkan dengan
pembuatan kompos yang memerlukan lahan yang lebih luas serta proses
yang lebih lama. Selain itu, digester yang didesain kedap udara juga
mengurangi tingkat kegagalan proses dekomposisi sehingga pupuk organik
yang dihasilkan berkualitas maksimal.

5. Perkembangan Biogas di Indonesia


Biogas mulai diperkembangkan di Indonesia sekitar tahun 1970.
Namun, tingginya penggunaan bahan bakar minyak tanah dan tersedianya
kayu bakar menyebabkan penggunaan biogas menjadi kurang berkembang.
Teknologi biogas mulai berkembang kembali sejak tahun 2006 ketika
kelangkaan energi menjadi topik utama di Indonesia.
Awalnya, biogas dibangun dalam bentuk denplot oleh pemerintah
dengan reaktor berbentuk kubah dari bata/beton (fixed dome) dan bentuk
terapung (floating) yang terbuat dari drum yang disambung. Kini, bahan
reaktor yang digunakan telah berkembang, ada yang terbuat dari beton/bata,
plat besi, plastik, dan serat kaca (fiber glass), dengan masing-masing
kelebihan dan kekurangan sebagai berikut :

Tabel 6. Kelebihan dan kekurangan reaktor biogas


65

Sumber : Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional

Keberhasilan Kegiatan Pengembangan Biogas dipengaruhi beberapa faktor


:
1. Sumber Daya Manusia
a. Dalam pnerapan memerlukan SDM yang terampil. Untuk itu perlu
pelatihan dan pendampingan , sehingga pengguna terampil dalam
pengoperasian digester dan mampu mengatasi hambatan
b. Bila Biogas dan pupuk diposisikan sebagai sumber pendapatan,
Pengguna harus dilatih bagaimana membangun kelembagaan,
membina jaringan dan kewirausahaan.
2. Pemasaran dan Promosi
a. Pesaing utama biogas adalah minyak tanah, kayu bakar dan biomass
lainnya.
b. Agar masyarakat tertarik menggunakan biogas , berbagai kegiatan
yang perlu dilakukan yakni pemasaran dan promosi terutama oleh
pemerintah.
3. Sosial Budaya
a. Kotoran masih dianggap sesuatu yang menjijikan dan belum
dimanfaatkan terutama sebagai bahan biogas
b. Persepsi ini perlu dihapus secara perlahan, Kotoran ternak memiliki
nilai ekonomi, baik sebagai energi maupun pupuk organik yang
potensial sebagai pendapatan tambahan peternak.
c. Kebijakan pemerintah yang jelas dan konsisten terutama dalam
penyediaan anggaran yang memadai pada tahap pemasyarakatan
biogas.
66

2.4 Kelebihan dan Kekurangan Biomasa


Tabel 8. Kelebihan dan Kelemahan Sumber Energi dari Biomassa dibandingkan
Sumber Energi Terbarukan Lain

Biomassa Sumber Energi


Lain
Terbarukan

1. Dapat disimpan dalam jangka


lama
2. Dapat dimanfaatkan sebagai
1. Tergantung lokasi,
sumber panas maupun daya (CHP)
persediaannya cukup
sehingga efisiennya tinggi.
banyak.
Kelebihan 3. Teknologinya fleksibel, baik untuk
2. Pengembangannya
skala kecil, sedang, ataupun besar.
lebih ke arah
4. Lebih efisien jika antara sumber
pembangkitan daya.
energi dan pemanfaatannya
berjarak dekat (reduced
transportation cost).

1. Untuk beberapa teknologi proses


masih menghasilkan bau.
2. Perlu gas cleaning. 1. Beberapa sulit
3. Abu yang dihasilkan cukup tinggi disimpan dalam waktu
Kelemahan sehingga maintenance peralatan yang lama
lebih sering dilakukan. 2. Efisiensinya masih
4. Sparepart untuk proses gasifikasi, rendah
pirolisis, cogeneration masih
terbatas.
67

2.4 Cadangan Biomasa di Dunia

Gambar 26. Kontribusi penyediaan energi terbarukan untuk konsumsi energi


dunia dan peranan biomassa untuk panas, etanol, biodiesel, listrik

Tabel 8. Population relying on traditional use of biomass for cooking in 2013

Sumber : IEA, World Energy Outlook 2015.


68

Tabel 9. Traditional use of biomass for cooking in developing Asia – 2013

Sumber : IEA, World Energy Outlook 2015.


69

2.5 Cadangan Biomasa di Dunia


Potensi energi biomassa Indonesia diperkirakan: 49.810 MW (50 GW) yang
berasal dari perkiraan produksi 200 juta ton biomassa/tahun dari residu pertanian,
kehutanan, perkebunan dan limbah padat/sampah kota.

Gambar 27. Kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Biomasa di Indonesia

Kelapa Sawit
Indonesia adalah produsen kelapa sawit terbesar di dunia, dan produksi CPO
tahun 2011 diperkirakan 22 juta ton, (tahun 2005 masih 13,8 juta ton) dengan
potensi biomassa dari residu minyak kelapa sawit dan 350 pabrik minyak kelapa
sawit dalam jumlah besar pula, dalam hal ini tandan kosong kelapa sawit (TKKS)
sekitar 27,5 juta ton basah (1 ton TBS/Tandan Buah Segar menghasilkan 200 kg
CPO, limbah TKKS 250 kg, dan limbah cair 0,5 m3). Masih ada limbah sawit lain,
seperti pelepah 4%, cangkang 6,5%, serat 13%. Pemerintah melarang membakar
TKKS langsung guna menghindari pencemaran udara.

Pelet Kayu/Limbah Kayu


PLN dan General Electric International Operation Co. bekerjasama
membangun PLTBiomassa 1 MW (dari serpihan kayu/tumbuhan organik) di P.
Sumba (NTT) yang melahap lahan sekitar 100 Ha..
70

Limbah Jagung (+sekam padi)


Tahun 2009, areal jagung seluas 105,479 Ha menghasilkan produksi
569.110 ton dan limbah berupa tongkol, batang, dan daun sebanyak 2,2 juta ton.
Sementara, padi seluas 44.829 Ha menghasilkan limbah sekam padi 51.385 ton.
PLBM tersebut membutuhkan limbah jagung dan sekam padi 350 ton/hari. Studi
kelayakannya telah selesai Januari 2011.

Jerami+sekam padi
Per 1 Ha sawah menghasilkan kira-kira 5 ton jerami dan 1 ton sekam.
Artinya, 1 MW listrik dihasilkan dari 1500 Ha sawah. Sementara, luas lahan padi
Indonesia sekitar 12,87 juta Ha (th 2010) yang berarti energi listrik
setidaknya 8.600 MW dapat dipetik dari jerami+sekam padi, bila panen
dilaksanakan setahun sekali (panen umumnya dilaksanakan dua kali setahun).

Gas TPA
Sampah di kota besar Indonesia sungguh besar jumlahnya.
Tahun 2006 Jakarta menghasilkan sampah 25.700 m3/hari, Bandung 7.500
m3/hari, Surabaya 8.700 m3/hari (1.300 ton/hari, 2009), dan Semarang 4.651
m3/hari. Dari sampah itu, limbah organik saja yang akan masuk ke TPA, sedangkan
lainnya (kertas, plastik, logam, gelas, dll) didaur-ulang. Setiap 500 ton/hari sampah
yang diolah setara dengan daya listrik 5-6 MW.
71

Sumber : Anonim

Gambar 28. Rencana Pemanfaatan Biomasa di Indonesia


EBTKE-- Pemerintah menargetkan 141,7 megawatt (MW) pembangkit listrik
berbasis bahan bakar bioenergi dapat beroperasi tahun ini.
Kapasitas pembangkit sebesar tersebut tersebar di Jawa, Sumatera, Bali,
Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku yang dikembangkan oleh listrik
swasta (Independent Power Producer/IPP) maupun pemerintah melalui Direktorat
Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) dengan
menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pembangkit listrik bioenergi yang dikembangkan oleh Pemerintah berupa
pembangkit listrik tenaga (PLT) biogas POME yang dikembangkan dua unit di
Sumatera Utara dengan kapasitas masing - masing 1 MW. Kemudian di Kalimantan
Barat dengan kapasitas 1 MW dan pembangkit listrik biomassa di Nusa Tenggara
Timur (NTT) juga berkapasitas 1 MW. Disamping PLT Biogas POME, pemerintah
72

juga mendanai pengembangan PLT Sampah di Palembang dengan kapasitas 1 MW.


Pembangkit lain yang dikembangkan pemerintah yaitu PLT sampah kota yang
dikembangkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta dengan kapasitas 7 MW.
Sementara untuk pembangkit yang dikembangkan oleh swasta diantaranya
pembangkit listrik biomassa dan sampah kota di Bali yang dikembangkan oleh PT
Charta Putra dengan kapasitas 0,4 MW untuk biomassa dan 1,7 MW sampah kota.
Kemudian Excess Power dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III di Sumatera
Utara yang berasal dari palm waste dengan kapasitas 7 MW.
Lalu PLT Biogas Pome yang dikembangkan oleh PT Pratama di Sumatera
Utara denngan kapasitas 2 MW, selain itu PLT palm waste yang dikembangkan
oleh PT Kencana Group di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan dengan
kapasitas masing - masing 6 dan 10 MW. Ada lagi yang dikembangkan oleh Prima
Gasifikasi Indonesia berbasis PLT palm waste di Tanjung Baru dengan kapasitas 2
MW, kemudian 2,5 MW di Pangkalan Kerinci dan 1 MW di Karimun Jawa.
Disamping itu, PLT Biogas POME yang dikembangkan PT Karya Mas
Energi di Sumatera Utara dan Kalimantan Barat dengan kapasitas masing - masing
2 MW, disamping itu di dua titik di Provinsi Riau dengan kapasitas masing - masing
1 MW.
Bukan hanya itu, terdapat 3,1 MW PLT Biogas POME yang dikembangkan
oleh REA Kaltim Plantations. Kemudian PLT palm waste yang dikembangkan oleh
Growth Steel Group (GSG) di Kalimantan Barat dengan kapasitas masing – masing
10 MW, lalu di Jambi dengan juga dengan kapasitas 10 MW serta dua unit di
Sumatera Utara dengan kapasitas masing – masing 10 MW.
Pengembang lain, yaitu PT Gikoko Kogyo yang mengembangkan PLT
Sampah Kota di TPA Sumur Batu Bekasi dengan kapasitas 3x1 MW lalu PT
Sumber Organik yang mengembangkan PLT sampah kota di Surabaya dengan
kapasitas 9 MW terakhir PT Cakrawala Agro pengembangan listrik hutan energi di
Sulawesi Selatan dengan kapasitas 10 MW.
Tabel 11. Kapasitas PLT Biomasa Terpasang per Tahun di Indonesia
73
74

IV. KESIMPULAN
a. Energi biomassa menjadi salah satu sumber energi alternatif pengganti
bahan bakar fosil. Biomassa sebagai sumber energi tidak akan pernah habis,
karena bahan biologis yang di butuhkan untuk membuat energi biomassa
akan selalu tersedia selama kehidupan di muka bumi ini masih ada.
b. Pemanfaatan energi biomasa sebagai bahan baku untuk menjadi bionergi:
 Biogas
 Biodiesel
 Bioethanol
 Pelet Kayu
c. Biomasa dapat dikonversi menjadi 3 jenis produk utama:
 Energi panas/listrik
 Bahan bakar transportasi
 Bahan baku kimia

d. Kelebihan dari energi biomasa adalah sifatnya yang terbarukan dan tidak
akan habis juga pengolahan yang fleksibel dimana kita dapat menentukan
jenis energi seperti apa yang kita butuhkan. Kekurangan dari energi biomasa
ialah sifatnya yang berlawanan dengan pangan dan dibutuhkan lahan yang
luas untuk menanam.

e. Di dunia Indonesia merupakan negara nomor 6 terbesar didunia dalam


pengguna biomasa yaitu 98 juta populasi. Negara paling banyak yang
menggunakan biomasa adalah negara cina yaitu sebesar 450 juta populasi
dan brazil 840 juta populasi.
75

Daftar Pustaka

Pieter, D.V. 2014. Panduan Energi Terbarukan. Diterjemahkan oleh: Andrew


Budianto. Jakarta: Pnpm Mandiri.

Harayti, T. Biogas: Limbah Peternakan yang Menjadi Sumber Energi Alternatif:


Wartazoa vol 16 no03, 2006.

Karki, A.B dan K. Dixit. Biogas Fieldbook: Nepal: Sahayogi Press, 1984.

Mertahardianti, G.A dan S.R Juliastuti. Pengaruh Enzim Α-Amylase dalam


Pembuatan Biogas dari Limbah Padat Tapioka yang Melibatkan Effective
Microorganism (EM) dalam Anaerobic Digester: Seminar Nasional Aplikasi Sains
dan Teknologi, Yogyakarta, 2008.

Putro, S. Penerapan Instalasi Sederhana Pengolahan Kotoran Sapi Menjadi Energi


Biogas di Desa Sugihan Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo: Warta vol 10
no 2 , hal 178-188, 2007.

Sihombing, D.T.H dan S. Simamora. Biogas From Biogical Waste for Rural
Household in Indonesia, dalam K. Abdullah, Bogor Agriculture University,
Indonesia and O. Kitani: Tokyo, Tokyo University Agriculture, 1988.

Simamora, S., Salundik, Sri W, dan Surajudin. Membuat Biogas, Pengganti Bahan
Bakar Minyak dan Gas dari Kotoran Ternak: Jakarta: Agromedia Pustaka, 2006.

Soewarno, N., A. Sato, Muchayat. Pengolahan Sampah Organik untuk


Memproduksi Biogas sebagai Energi Terbarukan: Seminar Nasional Teknik Kimia
Indonesia – SNTKI, 2009.
76

Wahyuni, S. Biogas, Jakarta: Penebar Swadaya, 2011. Widodo, T.K., Ahmad A,


Ana N., dan Elita R. Rekayasa dan Pengujian Reaktor Biogas Skala Kelompok Tani
Ternak: Jurnal Enjiniring Pertanian. Vol. IV, No. 1, 2006.

Statistik Energi Terbarukan. 2015. http//esdm.go.id diakses pada tanggal 22 April


2016
www.bbrp2b.kkp.go.id “Riset Teknik Pembuatan Biogas sebagai Sumber Energi”
diakses pada tanggal 22 April 2016

www.agribisnis.deptan.go.id “Sepuluh Faktor Sukses Pemanfaatan Biogas Kotoran


Ternak” diakses pada tanggal 22 April 2016

http://www.worldenergyoutlook.org/resources/energydevelopment/energyaccessd
atabase/ diakses pada tanggal 22 April 2016

Anda mungkin juga menyukai