Anda di halaman 1dari 14

ACC TUTOR:

TULI ( KONGENITAL, PERSEPTIF, KONDUKTIF)

Disusun oleh:

Kelompok 10

Basilius Samuel Laiyan G1A018004


Muhammad Rifqi Setiawan Y G1A018030
Khoiriyah Silvi Azzahra G1A018031
Rizky Amalia Hidayat G1A018056
Alifa Jati Nurul Izza G1A018062
Sabrina Ayu Santyanti W G1A018064
Mahendra DD Luhurpakarti G1A018065
Naufal Dzulhijar G1A018069
Nafis ‘Inayatul Adzkiya G1A018092
Afifah Khairunnisa G1A018107

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, & PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

JURUSAN KEDOKTERAN

2019
LEMBAR PENGESAHAN

TULI ( KONGENITAL, PERSEPTIF, KONDUKTIF)

Disusun oleh:

Kelompok 10

Basilius Samuel Laiyan G1A018004


Muhammad Rifqi Setiawan Y G1A018030
Khoiriyah Silvi Azzahra G1A018031
Rizky Amalia Hidayat G1A018056
Alifa Jati Nurul Izza G1A018062
Sabrina Ayu Santyanti W G1A018064
Mahendra DD Luhurpakarti G1A018065
Naufal Dzulhijar G1A018069
Nafis ‘Inayatul Adzkiya G1A018092
Afifah Khairunnisa G1A018107

Untuk memenuhi salah satu persyaratan blok Special Senses Disorder


Jurusan Kedokteran Umum Fakultas Kedokteran
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto

Disetujui dan disahkan


Pada tanggal November 2019

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN...........................................................................ii

DAFTAR ISI..................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...................................................................................1
B. Tujuan................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Sistem Pendengaran............................................................2


B. Fisiologi Pendengaran........................................................................3
C. Tuli Kongenital
C.1 Etiologi dan Faktor Risiko..........................................................4
C.2 Patofisologi.................................................................................4
C.3 Penanganan.................................................................................4
D. Tuli Perseptif
D.1 Etiologi dan Faktor Risiko..........................................................4
D.2 Patofisologi.................................................................................5
D.3 Penanganan.................................................................................5
E. Tuli Konduktif
E.1 Etiologi dan Faktor Risiko...........................................................5
E.2 Patofisologi..................................................................................5
E.3 Penanganan..................................................................................6

BAB III: KESIMPULAN..............................................................................8

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................9

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuli merupakan suatu keadaan kehilangan pendengaran yang
mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap rangsangan, terutama
melalui indera pendengarannya (Lestari, 2016 ). Estimasi jumlah penderita
gangguan pendengaran di seluruh dunia meningkat dari 120 juta orang pada
tahun 1995 menjadi 250 juta orang pada tahun 2004. Lebih dari 5% dari
populasi dunia memiliki gangguan pendengaran (328 juta orang dewasa dan
32 juta anak-anak). Sedangkan di indonesia prevalensi ketulian mencapai 16
juta jiwa dimana 16,8% dari jumlah penduduknya (Eryani et al., 2017).
Tuli terbagi menjadi 3, yaitu tuli kongenital, tuli perseptif (tuli
sensorineural), dan tuli konduktif. Tuli kongenital merupakan ketulian yang
terjadi pada bayi disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi
kehamilan maupun saat lahir (Nugroho et al., 2012). Tuli sensorineural (tuli
perseptif) merupakan gangguan pada sistem sensor telinga dalam terutama
pada koklea, nervus VIII atau di pusat pendengaran (Iskandar et al., 2012).
Tuli konduktif adalah kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah
(Wijayati & Engkatini, 2018).
B. Tujuan

1. Mengetahui definisi tuli beserta jenisnya


2. Mengetahui aspek anatomi dari organ pendengaran
3. Mengetahui aspek fisiologi normal pendengaran
4. Mengetahui etiologi dan faktor risiko tuli
5. Mengetahui patofisiologi tuli
6. Mengetahui tatalaksana dan sediaan obat dalam terapi tuli
7. Mengetahui sediaan serta farmakologi obat tuli

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Sistem Pendengaran


Anatomi Telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, telinga
tengah, dan telinga dalam. Telinga luar terdiri dari aurikula, meatus acusticus
eksterna sampai membran timpani bagian lateral. Telinga tengah terdiri dari
membrana timpani, cavum timpani, tuba eustachius, dan tulang pendengaran
(maleus, inkus, stapes).Telinga dalam terdiri dari dua bagian, yaitu labirin
tulang (koklea, vestibulum, dan kanalis semi sirkularis) dan labirin
membranosa (utrikulus, sakulus, duktus koklearis, dan duktus semi sirkularis )
(Pearce, 2016).

Nervus auditorius dari dua bagian, yaitu nervus vestibular


(keseimbangan) dan nervus kokhlear (pendengaran). Vaskularisasi telinga
dalam berasal dari Arteri Labirintin cabang A. Cerebelaris anteroinferior atau
cabang dari A. Basilaris atau A. Verteberalis (Pearce, 2016). Persarafan
telinga dalam melalui Nervus Vestibulokohlearis (N. akustikus), sedangkan
sel-sel sensoris dipersarafi oleh N. Kohlearis (Pearce, 2016).

2
B. Fisiologi Pendengaran
Ketika terdapat suara, pinna auricula akan menangkap gelombang
suara masuk ke meatus acusticus externus. Getaran membran tympani
diteruskan ke tulang – tulang pendengaran (os maleus, os incus, os stapes).
Getaran stapes akan diteruskan ke fenestra vestibuli yang akan mendorong dan
mengatur tekanan perilimfe di scala vestibuli dan scala tympan, kemudian
menggetarkan endolimfe (Sherwood,2012).

Gambar :Fisiologi Pendengaran


(Sherwood, 2012)

Tekanan endolimfe akan menyebabkan membrana basilaris bergetar


dan menggerakan sel rambut di Organon Korti sehingga stereosilia pada
bagian atas sel rambut berkontak dengan membran tektorium dan
meregangkan tip links yang akan menyebabkan pembukaan dari kanal
natrium dan kanal kalsium, terjadilah depolarisasi (Sherwood, 2012).

Impuls tersebut akan dihantarkan ke nervus cochlea untuk diteruskan


keluar dari modiolus menuju meatus acusticus interna dan bergerak ke
medulla oblongata, bergabung di colliculus inferior. Impuls kemudian
bergerak ke corpus geniculate medial dan menuju area lobus temporal
dimana getaran akan diinterpretasikan oleh otak sebagai bunyi (Dee Hoit dan
Weismer, 2018).

C. Tuli Kongenital

3
C.1 Etiologi dan Faktor Risiko
Faktor yang menyebabkan tuli kongenital salah satunya yaitu
infeksi virus saat kehamilan (rubella, cytomegalovirus (CMV),
toxoplasma, herpes simplex), genetik, dan prematuritas (Simatupang,
2014). Tuli kongenital dapat menyebabkan lesi pada persyarafan koklea
maupun syaraf auditorius dan defek pada media konduksi bunyi
(Pratiningrum dan Purnami, 2010).
C.2 Patofisiologi
Salah satu penyebab tersering tuli kongenital adalah infeksi virus
Rubella. Virus ini bekerja dengan menghambat proses pembentukan sel
dan meningkatkan apoptosis sel sehingga organ tidak dapat terbentuk
ataupun sel penyusun organ berkurang. Pada janin sistem pendengaran
mulai terbentuk pada usia kehamilan 8 minggu sehingga jika terjadi
infeksi pada usia kehamilan kurang dari 8 minggu dapat menyebabkan
terjadinya tuli sensorineural ( Fitriany dan Husna, 2018).
C.3Penanganan
Penanganan tuli kongenital dapat dicegah dengan cara vaksinasi
saat masa kehamilan. Untuk perlindungan terhadap serangan virus Rubella
telah tersedia vaksin MMR (Mumps, Measles, Rubella). Vaksin Rubella
diberikan pada bayi usia 15 bulan. Setelah itu harus mendapat ulangan
pada umur 4-6 tahun. Bila belum mendapat ulangan pada umur 4-6 tahun,
harus tetap diberikan umur 11-12 tahun, bahkan sampai remaja. Vaksin
tidak dapat diberikan pada ibu yang sudah hamil (Fitriany & Husna,2018).

D. Tuli Perseptif
D.1 Etiologi dan Faktor Risiko
Tuli perseptif / sensorineural adalah tuli yang diakibatkan adanya
lesi pada reseptor sensoris koklea atau saraf auditorius baik perifer
maupun sentral (Marlina et.al, 2016). Faktor yang menyebabkan
terjadinya lesi salah satunya yaitu kebisingan (Rahmawati, 2015), infeksi

4
(sindrom rubella kongenital), asfiksi neonatarum, kongenital (prematur)
(Rahayuningrum et.al, 2016).
D.2 Patofisiologi
Kebisingan suara dapat merusak sel-sel rambut (hilangnya
stereosilia) pada koklea yang mengakibatkan kematian sel dan
penggantian sel rambut dengan jaringan parut sehingga suara yang masuk
tidak dapat diteruskan. Salain itu, kurangnya supply oksigen juga dapat
merusak sel rambut koklea (Silbernagl dan Lang, 2016).
D.3 Penanganan
a. Alat Bantu Dengar
Alat bantu dengar dibuat untuk memperkuat rangsangan bahagian sel-
sel sensorik telinga bagian dalam yang rusak terhadap rangsangan
suara dan bunyi-bunyian dari luar (Jumali et al,2013).
b. Implan Koklea
Implan koklea merupakan alat prostetik yang dirancang untuk
mengubah energi suara mekanik menjadi sinyal elektrik yang secara
langsung merangsang saraf auditori pada penderita dengan gangguan
pendengaran berat-sangat berat (Zainul et al,2010).

E. Tuli Konduktif
E.1 Etiologi dan Faktor Risiko
Tuli konduktif disebabkan oleh gangguan struktur yang
menghantarkan gelombang suara ke koklea antara lain akibat dari
abnormalitas telinga luar atau telinga tengah (Santoso dan Ekorini, 2014).
Faktor yang dapat menyebabkan tuli konduktif yaitu disgenesis aurikula
dan kanalis akustikus eksternus, infeksi, trauma, dan tumor sebab lainnya
(impacted serumen) (Wibowo, 2019).
E.2 Patofisiologi
Tuli konduktif disebabkan adanya gangguan dalam hantaran suara
seperti adanya penumpukan serumen pada otitis media. Pada kemoterapi
kanker nasopharing, radiasi akan memperbesar mukosa yang akan

5
mempengaruhi patensi tuba eustachius dan menyebabkan akumulasi cairan
di telinga tengah sehingga menghambat hantaran suara ( Natalia dan Musa,
2010). Pada kondisi otosklerosis, tulang-tulang pendengaran tidak dapat
menghantaran suara dari membran timpani ke jendela oval (Silbernagl dan
Lang, 2016).
E.3 Penanganan
a. Pembersihan Serumen dengan Spoling
Spoiling adalah tindakan memasukkan air ke dalam telinga dengan
cara disemprotkan dengan menggunakan spuit dan jarum venocath
(Roland et al., 2009).
b. Gromet untuk Otitis Media Efusi
a. Efedrin HCl 0,5%
1. Farmakokinetik

Absorpsi di gastrointestinal, metabolisme di hati oleh N-


demetilasi menjadi senyawa tidak aktif. Volume distribusi 3L/Kg.
Dosis 3-4 kali sehari 60 mg, waktu paruh plasma ±7 jam
(Siswandoro, 2016). Waktu paruh eliminasi 4-6 jam tergantung
dari pH urin. Kadar 55% hingga 75% dari dosis diekskresikan di
dalam urin dalam bentuk utuh, sisanya dimetabolisme dalam hati
(Lestari, et al., 2017).

2. Farmakodinamik
Mekanisme utama efek efedrin terhadap kardiovaskular
adalah meningkatkan kontraktilitas otot jantung dengan aktivasi
reseptor β1. Dengan adanya antagonis reseptor β maka efek
efedrin terhadap kardiovaskular adalah dengan stimulasi reseptor
α (Firmanda, 2019).

b. H2O2 3%
1. Farmakokinetik

6
Hidrogen peroksida mengalami dekomposisi dalam usus
sebelum penyerapan. Ketika masuk ke dalam jaringan, larutan
memiliki daya tembus yang buruk. Jalur distribusi dapat melalui
paru-paru, usus hati dan ginjal. Waktu paruh 8-20 jam, diekskresi
melalui pernapasan manusia sebanyak 1,0 ± 0,5 g/ L (Cadahia, et
al, 2018).

2. Farmakodinamik
Hidrogen peroksida merupakan peroksida inorganik yang
bekerja sebagai antimikroba, membunuh bakteri dengan
melepaskan oksigen reaktif saat berkontak dengan jaringan yang
mengandung enzim katalase (Baumann, 2018).

c. Miringoplasti untuk Perforasi Membrana Timpani

Miringoplasti adalah operasi yang dilakukan untuk memperbaiki


perforasi (lubang) pada gendang telinga. Operasi ini biasanya dilakukan
jika keluar cairan dari telinga dan jika telinga nyeri (Billy et al, 2014).

d. Stapedectomi untuk Otosklerosis

Otosklerosis adalah suatu penyakit pada tulang bagian telinga


tengah khususnya stapes yang disebabkan pembentukan baru tulang
spongiosus sehingga dapat mengakibatkan fiksasi pada stapes ( Junianto
et al, 2014).

7
BAB III

KESIMPULAN

1. Tuli merupakan gangguan pendengaran dan terbagi menjadi tuli kongenital, tuli
perseptif (tuli sensorineural) dan tuli konduktif.

2. Anatomi organ telinga dibagi menjadi tiga area, yaitu telinga bagian luar,
tengah, dan dalam.

3. Proses mendengar adalah proses merubah hantaran getaran bunyi (melewati


membran timpani, tulang-tulang pendengaran, scala vestibuli, scala timpani, dan
organon korti) menjadi impuls suara oleh sel-sel rambut di orgnon korti dan
diterima oleh otak untuk diinterpretasikan sebagai suatu suara.

4. Etiologi tuli yang paling sering ditemukan, yaitu infeksi virus saat kehamilan
(kongenital), lesi neural (perseptif), dan gangguan stuktural (konduktif).

5. Ketulian disebabkan oleh sel rambut yang rusak dikarenakan adanya stress
suara maupun iskhemik dapat mengganggu terbukanya kanal k+ di membran
sel.

6. Penanganan tuli dilakukan dengan cara spoiling, pemasangan grommet,


miringioplasti, stapedektomi, serta pemberian obat.

7. Pemberian obat dilakukan pada pengobatan tuli konduktif berupa Efedrin HCL
0,5% dan H2O2 (hydrogen peroksida) 3%.

8
DAFTAR PUSTAKA

Baumann L. S. 2018. Safety and efficacy of hydrogen peroxide topical solution,


40% (w/w), in patients with seborrheic keratosis: results from 2 identical
randomized, double-blind, placebo-controlled, phase 3 studies (A-101
SEBK-301/302). Journal of the American Academy of Dermatology.
Volume 79(5): 869-77.

Billy, T., Tumbel, R., dan Palandeng, O. 2014. Pengaruh Bising terhadap Ambang
Pendengaran Pada Karyawan yang Bekerja DiTempat Mainan Anak
Menado Town Square. Jurnal Ilmia. Menado Fakultas Kedokteran.
Universitas Sam Ratulangi.

Cadahia, J.P., Bondebjerg, J., Hansen, C.A., Previtali, V., Andersen, T.L. 2018.
Synthesis and Evaluation Of Hydrogen Peroxide Sensitive Prodrugs Of
Methotrexate and Aminopterin for The Treatment Of Rheumatoid
Arthritis. Journal Of Medical Chemistry. Vol 61(8): 3503-3515.

Dee Hoit, J. Weismer, G. 2018. Foundations of Speech and Hearing: Anatomy


and Physiology. San Diego Plural Publishing hal 210-227.

Eryani, Y, M., Wibowo, C, A., Saftarina, F. 2017. Faktor Risiko Terjadinya


Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Medula. Vol. 7(4): 112-117

Firmanda, D. 2019. Efektifitas Ephedrine 20 µg/KgBB Dibandingkan Dengan


Lidokain 30 Mg Terhadap Nyeri Dan Respon Hemodinamik Akibat
Penyuntikan Propofol Pada Anestesia Umum Dengan Intubasi
Endotrakea. Jurnal Penelitian Farmasi & Herbal. Volume 2(1), 29-37.

Fitriany, J., Husna, Y. 2018. Sindrom Rubella Kongenital. Jurnal Averrous Vol
4(1).

Iskandar, N., Soepardi, E., & Bashiruddin, J., Restuti, R, D. 2012. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-6.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

9
Jumali., Sumadi., Andriani, S., Subhi, M., Suprijanto, D., Handayani, W. D.2013.
Prevalensi dan Faktor Risiko Tuli Akibat Bising pada Operator Mesin
Kapal Feri. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Vol 7(12): 545-550.

Junianto, H., Moningka, M., Rumampuk, J. 2014. Gangguan Pendengaran pada


Pekerja di Tempat Hiburan Malam di Kota Manado. Jurnal e-Biomedik.
Vol(2)1:1-5.

Lestari, D, S. 2016. Penyesuaian Sosial Pada Mahasiswa Tuli.Journal of disability


studies. Vol. 3(1): 103-134.

Marlina. S., Suwondo, A., Jayanti, S. 2016. Analisis Faktor Risiko Gangguan
Pendengaran SensorineuralPada Pekerja PT. X Semarang. Jurnal
Kesehatan Masyarakat. Vol. 4(1): 359-366.

Natalia, L., Musa, Z. 2010. Tuli Sensorineural Pasca Kemoradiasi pada Pasien
Karsinoa Nasofaring. Damianus Journal of Medicine Vol 9(1) hal: 55-60.

Nugrahenny, D. 2017. Buku Ajar Farmakologi Dasar. Malang: UB Press.

Nugroho, D, A., Zulfikar., Muyassaroh. (2012). Kemampuan Auditorik Anak Tuli


Kongenital Derajat Sangat Berat dengan dan Tanpa Alat Bantu Dengar.
Medica Hospitalia. Vol. 1 (2): 80-82.

Pearce, Evelyn C. 2016. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama. Halaman: 56-70.

Pratiningrum, M., Purnami, N. 2010. Ketulian Pada Sindroma Rubella


Kongenital. Jurnal FK UNAIR Vol 3(1) hal: 1-11.

Rahayuningrum, D. F., Z. Naftali, dan W. Yusmawan. 2016. Faktor-faktor Risiko


yang Berpengaruh terhadap Sensorineural Hearing Loss (SNHL) pada
Penderita Speech Delay : Studi di Rumah Sakit Umum Pusat Dokter
Kariadi Semarang. Jurnal Kedokteran Diponegoro. Vol 5(4) : 649-657.

Rahmawati, D. 2015. Faktor-faktor Risiko yang Berhubungan dengan Gangguan


Pendengaran pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat

10
Treatment PT Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015.Skripsi.
Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah. Jakarta.

Roland, P., Smith,T.L., Schwartz, S.R., Rosenfeld, R.M., Ballachanda, B., Earli,
J.M., Fayad, J., Harlor, A.D., Hirsch, B.E., Jones, S.S., Krouse, H.J.,
Magit, A., Nelson, C., Stutz, D.R., Wetmore, S.2009.Clinical Practice
Guideline:Cerumen Impaction. Otolaryngology-Head and Neck Surgery.
Am Acad Otolaryngol-Head and Neck Surg Found. Vol 2(1): 125-132.

Saladin, Kenneth S. 2014. Anatomy and Physiology: The unity of Form and
Function. 7th Edition. McGraw Hill, New York. Halaman 134-150.

Santoso, H.A., dan H.M. Ekorini. 2014. Deteksi dini gangguan koklea
berdasarkan pemeriksaan otoacoustic emissions pada neonatus. Jurnal
THT-KL. Vol 7(1) : 28-40.

Sherwood, L. 2012. Fisiologi Manusia. EGC Edisi 8 : 233-240.

Silbernagl, S., Lang, F. 2016. Teks Dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta:
EGC.

Simatupang, T. 2014. Infeksi Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus Dan


Herpes Simplex Virus (Torch) Sebagai Faktor Risiko Neural Hearing Loss
(Nhl) Pada Anak. Skripsi.Universitas Gadjah Mada. Hal 1-6.

Wibowo, S. W. 2019. Ketulian : Pemeriksaan dan Penyebabnya. Paper. Jakarta:


UPI.

Wijayati, L., Engkartini. 2018. Hubungan Antara Tuli Konduktif Dengan


Kebiasaan Membersihkan Telinga Dengan Cotton Buds Pada
Mahasiswa STIKES AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH Cilacap Prodi
DIII Keperawatan Tingkat II Tahun Akademik 2016/2017. Jurnal
Kesehatan Al-Irsyad (JKA). Vol. 11(1): 35-39.

Zainul, A., Djaafar., Helmi., Ratna, D., Restuti.2010. Kelainan Telinga Tengah
ed. 6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

11

Anda mungkin juga menyukai