Anda di halaman 1dari 31

Makassar, 7 Oktober 2020

LAPORAN PBL

BLOK INDRA KHUSUS

KELOMPOK 11B

Tutor : dr. Hj. Hermiaty Nasruddin, M. Kes

YULIA NUGRA 11020180163


FAHMIATUL LAILI 11020180171
MUH. ANDRIADI BIN ARIFIN 11020180143
SITTI AINUN MW. PETTAWALI 11020180218
UFARAH INDAH SARI 11020180200
NURUL ANNISA AMIN 11020180223

RIFQHA DWIPUTRI ILHAM 11020180233


IDRUS ALATAS 11020180191
MUH. FEBRI ANANDA SJAKIR 11020180132
AINUN SAKINAH ADININGSIH 11020180211

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020
Kata Pengantar

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SubhanahuWa Ta’ala atas


berkat dan rahmat-Nya sehingga kita semua dapat beraktivitas dan mengejar
mimpi kita hingga saat ini.Tak lupa pula kita kirimkan shalawat dan salam
kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad ShallallahuAlaihiWasallam
yang telah menerangi kehidupan yang dahulu kelam akan jahiliah.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing kami,dr.
Arina . kestelah membimbing kami pada saat diskusi.
Dalam blok indra khusus kedokteran terdapat sebuah agenda perkuliahan
berupa diskusi kelompok, dimana mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Muslim Indonesia melakukan diskusi mengenai kasus pada indra khusus.

Makassar, 7 Oktober 2020

Blok Indra Khusus


SKENARIO 2
Seorang anak perempuan berusia 10 tahun diantar ibunya ke puskesmas dengan
keluhan keluar cairan pada telinga kanan sejak 3 hari yang lalu. Penurun pendengaran
ada, rasa pusing berputar tidak ada. Telinga kiri normal.

Kata Sulit
- TIDAK ADA

Kata Kunci
- Anak perempuan 10 tahun
- Keluhan keluar cairan pada telinga kanan sejak 3 hari yang lalu
- Penurun pendengaran ada, rasa pusing berputar tidak ada
- Telinga kiri normal

Pertanyaan
1. Bagaimana fisiologi pendengaran secara normal?
2. Faktor apa saja yang menyebabkan penurunan pendengaran dan bagaimana
patofisiologi penurunan pendengaran?
3. Struktur apa yang mengalami gangguan terkait skenario?
4. Bagaimana patomekanisme keluarnya cairan dari dalam telinga dan apa
hubungannya dengan riwayat penurunan pendengaran pada pasien?
5. Bagaimana langkah-langkah diagnosis terkait skenario?
6. Apa saja diagnosis banding terkait skenario?
7. Bagaimana upaya preventif terkait skenario?
8. Bagaimana perspektif islam terkait skenario?
Jawaban

1. Fisiologi pendengaran secara normal

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh


daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau
tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan
ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan
mengimplikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian
perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang
telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap
lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan
melalui membrane Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan
menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria.
Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan
proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke
dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius,
lalu dilanjutkan ke nucleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area
39-40) di lobus temporalis

Referensi: Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8.


Jakarta: EGC

2. Faktor yang menyebabkan penurunan pendengaran dan patofisiologi


penurunan pendengaran
a. Genetik herediter
b. Non Genetik seperti gangguan / kelainan pada masa kehamilan, kelainan
struktur anatomik dan kekurangan zat gizi (misalnya defisiensi iodium).
Selama kehamilan, periode yang paling penting adalah trimester pertama
sehingga setiap gangguan atau kelainan yang terjadi pada masa tersebut
dapat menyebabkan ketulian pada bayi. Infeksi bakteri maupun virus pada
ibu hamil, seperti toksoplasmosis, Rubela, cytomegalovirus, Herpes dan
Sifilis dapat berakibat buruk pada pendengaran bayi yang akan dilahirkan
c. Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan faktor
risiko terjadinya gangguan pendengaran / ketulian seperti prematur, berat
badan lahir rendah (<2500 gram), hiperbilirubinemia, asfiksia.
d. Adanya infekis bakteri dan virus pada postnatal seperti rubela, campak,
parotis, infeksi otak (meningitis, ensefalitis), perdarahan pada telinga
tengah, trauma temporal juga dapat menyebabkan tuli saraf atau tuli
konduktif
e. Gangguan pendengaran akibat bising. Telah diketahui secara umum bahwa
bising menimbulkan kerusakan di telinga dalam. Lesinya sangat bervariasi
dari disosiasi organ corti, ruptur membran, perubahan stereosilia dan
organel subseluler. Bising juga menimbulkan efek pada sel ganglion, saraf,
membran tektoria, pembuluh darah dan stria vaskularis. Pada observasi
kerusakan organ Corti dengan mikroskop elektron ternyata bahwa sel sel
sensor dan sel penunjang merupakan bagian yang paling peka di telinga
dalam
f. Gangguan pendengaran akibat obat ototoksik. Akibat penggunaan obat-
obat yang bersifat ototoksik akan dapat menimbulkan terjadi perubahan
struktur anatomi pada organ telinga dalam.

Patomekanisme penurunan fungsi pendengaran/gangguan pendengaran


Gangguan Pendengaran Akibat Bising (GPAB) atau Noise Induced
Hearing Loss (NIHL) adalah tuli senso-neural dimana terjadi kerusakan sel
rambut luar cochlea karena paparan bising terus menerus dalam jangka waktu
lama. Ketulian biasanya bila-teral dan jarang menyebabkan tuli derajat sangat
berat. Stereosilia pada sel-sel rambut luar menjadi atrofi sehingga mengurangi
respon terhadap stimulasi. Dengan bertambahnya intensitas dan lamanya
paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan seperti hilangnya stereosilia.
Daerah yang pertama kali terkena adalah daerah basal. Dengan hilangnya
stereosilia, sel-sel rambut mati dan digantikan oleh jaringan parut. Dengan
semakin luasnya kerusakan sel-sel rambut dapat timbul degenerasi pada saraf
yang dapat sampai di nukleus pendengaran pada batang otak.
Fungsi pendengaran normal melibatkan gelombang suara yang tiba di
daun telinga, melewati saluran pendengaran eksternal (EAC), menyebabkan
getaran pada membran timpani. Getaran kemudian ditransmisikan melalui
ossicles (malleus, incus, stapes) ke koklea. Selanjutnya, sel rambut di dalam
koklea merangsang saraf kranial kedelapan yang mentransfer rangsangan
tersebut ke otak. Pemprosesan suara kasar terjadi di korteks otak yang lebih
tinggi dan ini termasuk pemahaman bahasa.
Gangguan pendengaran adalah suatu kondisi yang terjadi ketika transmisi
suara dari telinga luar ke otak mengalami gangguan. Gangguan dapat terjadi
pada setiap tahap, baik sebelum atau setelah koklea, dan gangguan
pendengaran masing-masing bersifat konduktif atau sensorineural. Jika kedua
tempat, sebelum dan sesudah koklea terpengaruh, maka gangguan
pendengaran dicirikan sebagai campuran.
Gangguan pendengaran dapat bersifat konduktif, sensorineural, atau
campuran. Gangguan pendengaran konduktif terjadi dengan gangguan
transmisi gelombang suara ke koklea. Penyebab paling umum termasuk
pembentukan daun telinga atau heliks yang tidak normal, impaksi serumen,
benda asing saluran telinga, otitis eksterna, disfungsi atau fiksasi rantai
ossicular, dan efusi telinga tengah. Kolesteatoma, perangkap puing-puing
skuamosa yang jinak meskipun secara lokal merusak yang timbul dari
membran timpani, serta tumor jinak atau ganas lainnya, dapat menyebabkan
gangguan pendengaran konduktif. 

Gangguan pendengaran sensorineural (SNHL) biasanya terjadi akibat


transmisi rangsangan yang bermasalah pada atau setelah koklea. Kerontokan
ini bisa jadi terkait dengan disfungsi sel rambut atau gangguan saraf
kedelapan itu sendiri. Perbedaan utama antara kedua jenis gangguan
pendengaran, selain ciri patofisiologis, adalah bahwa pasien dengan gangguan
pendengaran konduktif merasakan suara berkurang, sementara pasien SNHL
mungkin merasakan suara berkurang dan terdistorsi. Gangguan pendengaran
yang melibatkan penularan yang bermasalah sebelum dan sesudah koklea
disebut gangguan pendengaran campuran.
Ada beberapa penyebab gangguan pendengaran. Pada populasi anak,
penyebab genetik adalah yang paling umum, terhitung lebih dari 50% dari
gangguan pendengaran. Penyebab genetik melibatkan berbagai sindrom yang
memiliki gangguan pendengaran sebagai salah satu fiturnya; namun, terdapat
keseluruhan gangguan pendengaran genetik non-sindrom, di mana pasien
mengalami gangguan pendengaran sementara fungsi lainnya normal. Mutasi,
perbedaan autosomal, serta keragaman genetik yang tidak diketahui,
berhubungan dengan jenis gangguan pendengaran ini. Penyebab prenatal juga
berhubungan dengan gangguan pendengaran pada bayi. Ini termasuk paparan
berbagai infeksi bakteri atau virus serta teratogen yang berbeda. Penyebab
perinatal lebih jarang, terutama terkait dengan prematuritas, skor APGAR
rendah, ikterus neonatal, dan sepsis. Penyebab pascakelahiran seperti infeksi
meningokokus dan gondongan juga dapat menyebabkan gangguan
pendengaran sebagai komplikasi lanjut, serta cedera kepala atau otitis media
kronis atau berulang.
Gangguan pendengaran terkait usia melibatkan penurunan bertahap
kapasitas pendengaran individu dan skor diskriminasi bicara yang buruk, paling
terlihat pada awalnya di lingkungan yang bising, yang kemungkinan terkait
dengan degenerasi koklea terkait usia di berbagai tempat, terutama di rambut
sel. Otosklerosis dan kolesteatoma adalah penyebab utama gangguan
pendengaran konduktif. Hal lain yang dapat terjadi pada populasi orang dewasa
adalah gangguan pendengaran sensorineural mendadak. Kondisi ini sangat
spesifik, dengan gangguan pendengaran tiba-tiba atau cepat di salah satu
telinga. Hal ini sering didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas akibat
virus, dan penanda inflamasi yang dimediasi oleh virus diduga sebagai
penyebabnya.
Referensi:

Suwento Ronny. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
& Leher. 2012. Balai Penerbit FK Universitas Indonesia : Jakarta
Anastasiadou, Sofia, Al Khalili, Yasir. 2020. Hearing Loss. .
[https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK542323/]

3. Struktur yang mengalami gangguan terkait skenario


Anatomi telinga manusia

Telinga manusia terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar (outer ear),
telinga tengah (middle ear), dan yang terakhir telinga bagian dalam (inner ear).
Perhatikan ilustrasi anatomi telinga berdasarkan tiga bagiannya berikut ini.
Gambar 1: AnatomiTelinga

Telinga tengah (middle ear)

Fungsi telinga bagian ini adalah menghantarkan suara yang telah


dikumpulkan auricula ke telinga bagian dalam. Bagian telinga ini memanjang
dari rongga ke membran timpani ke jendela oval yang terdiri dari tulang
malleus, incus, dan stapes dan banyak dinding yang rumit. Misalnya dinding
lateral, dinding medial, dinding tagmental, dan dinding jugularis.

Membran timpani berbentuk tipis dan semi transparan yang memisahkan


telinga luar dengan telinga tengah yang terdiri dari pars flaccida dan pars tensa.
Manubrium malleus melekat kuat pada membran timpani dengan bentuk
cekungan yang disebut umbo. Bagian yang lebih tinggi dari umbo inilah yang
disebut dengan flaccida pars dan sisanya disebut dengan pars tensa.

Ada tiga saraf sensori pada membra timpani, yaitu saraf auriculotemporal,
saraf arnold, dan cabang saraf timpanik. Pada permukaan dalam membran
timpani terdapat rantai tulang yang bergerak disebut ossicles, yaitu malleus
(palu), incus (landasan), stapes (sanggurdi). Unsur-unsur tulang ini berfungsi
untuk menghantarkan dan memperkuat gelombang suara hingga 10 kali lebih
kuat dari udara ke perilymph telinga dalam.
Selain itu, terdapat saluran eustachius yang menghubungkan telinga
tengah dengan bagian hulu kerongkongan dan hidung (nasofaring). Fungsinya
untuk menyamakan tekanan udara dengan gerakan buka tutup. Otot penting
yang terdapat di telinga tengah meliputi otot stapedius dan tendon tensor
tympani.

Bagian horizontal saraf wajah melintasi rongga timpani. Oleh karena itu,
bila terjadi kelumpuhan pada saraf atau otot wajah akan menyebabkan
ketajaman suara terhalang dan kerusakan pada telinga bagian dalam.

Membran Timpani

Membran timpani terbentuk dari dinding lateral kavum timpani dan


memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani dengan ketebalannya yaitu
0,1 mm. Membran timpani terletak miring mengarah dari belakang luar kemuka
dalam dan membentuk sudut 45o dari dataran sagital dan horizontal. Membran
timpani memiliki dua bagian menurut anatomisnya, yaitu pars tensa yang
merupakan organ terbesar dari membran timpani dan pars flaksida atau
membran shrapnell yang terletak di atas muka yang berbentuk lebih tipis
dibandingkan dengan pars tensa.

Tuba Auditiva
Tuba auditiva dapat disebut juga dengan tuba eustachii yang
menghubungkan dari dinding anterior kavum timpani ke posterior, anterior dan
medial sampai ke nasofaring. Bagian ini terdiri dari tulang pada spertiga bagian
posterior dan kartilago pada dua pertiga bagian anteriornya. Tuba ini berfungsi
sebagai penyeimbang tekanan udara dalam kavum timpani dengan nasofaring.

Referensi: Bradfor, alina. Ears: Fact, Function and Disease. Live Science. 2016-
04-07T18:47:00Z
Meyerhoff WL, Carter JB. Anatomy and physiology of hearing. In: Meyerhoff
WL eds. Diagnosis and management of hearing loss. Philadelphia: WB
Saunders, 1984: 1 -12.

http://repository.unimus.ac.id/1497/4/BAB%20II.pdf

4. Patomekanisme keluarnya cairan dari dalam telinga dan hubungannya dengan


riwayat penurunan pendengaran
Otore, keluarnya cairan pada telinga mungkin timbul dari penyakit
saluran telinga, tapi lebih sering dikaitkan dengan infeksi telinga tengah.
Pasien dengan Otore biasanya memiliki gangguan pendengaran tapi mungkin
tidak mengalami rasa sakit. Serumen lunak bisa keliru dianggap sebagai suatu
otore, sebaliknya otore dapat diabaikan oleh beberapa orang pasien dengan
masalah serius penyakit telinga tengah. Karakter dari cairan otore ini dapat
memberikan petunjuk mengenai etiologi kelainan pada telinga ( table dibawah
ini ).
Tabel 1. Karakteristik Otorrhoea

Adanya infeksi pada telinga luar ( otitis eksterna) dapat menyebabkan


otore jika pembengkakan yang terjadi pecah. Selain itu, adanya pustule yang
kemudian pecah pada saluran telinga juga dapat menyebabkan terjadinya
otore. Keadaan ini dapat menyebabkan penurunan pendengaran ( tuli
konduksi) apa bila pembengkakan pada liang telinga ataupun cairan yang
keluar terlalu banyak bahkan menumpuk, menghambat masuknya gelombang
udara.

Adanya infeksi pada telinga tengah dapat menyebkan rupture


membrane timpani. Rupturnya membrane timpani menyebabkan terjadinya
otore. Kejadian ini jelas akan menyebkan turunnya pendengaran akibat proses
konduksi dari membrane timpani ke tulang pendengaran terganggu oleh
rupturnya membrane timpani.

Berdasarkan gejala pada skenario, kami curiga bahwa pasien


mungkinn menderita otitis media akut dengan efusi/perfusi. OMA jenis ini
penyebab paling umum gangguan pendengaran konduktif pada anak-anak.
Insiden sebenarnya tidak diketahui, tetapi hingga 60% anak-anak di tahun
pertama mereka mungkin memiliki efusi telinga tengah yang secara klinis
tidak bergejala.

Efusi pada telinga tengah mungkin dengan karakter serosa, berlendir


atau kental. Etiologinya seringkali adalah disfungsi tuba eustachius, dimana
ventilasi normal telinga tengah terganggu.

Referensi: Dhillon, R. S., 2013. C. A. Ear, Nose and Throat and Head and Neck
Surgery. Elsevier. 4th Edition

5. Langkah-langkah diagnosis terkait skenario


a. Anamnesis:

1. Dapat menanyakan identitas pasien (umur, jenis kelamin, pekerjaan,


pendidikan, suku, alamat tempat tinggal tetap).

2. Dapat menanyakan keluhan utama pasien dan menggalih keluhan utama


pada pasien

a. Gangguan pendengaran (hearing loss) :


- Sejak kapan

- Didahului oleh apa

- Penyebab gangguan pendengaran :

1. Kongenital

2. Kelainan anatomi

3. Otitis eksterna dan media baik akut maupun kronis

4. Trauma

5. Benda asing/cerumen

6. Ototoksis

7. Degenerasi

8. Noise induce

9. Neoplasma

b. Keluar cairan (otorrhea):

- Sejak kapan.

- Didahului oleh apa (trauma, kemasukan benda asing, pilek).

- Deskripsi cairan (jernih/ keruh, cair/ kental, warna kuning/ kehijauan/


kemerahan; berbau/ tidak).

- Apakah keluar cairan disertai dengan darah.

- Disertai oleh gejala yang lain (demam, telinga sakit,pusing dll).

- Diagnosis banding otorrhea : MT perforation, granulasi, polip, liang telinga,


infeksi pada otitis media

b. Pemeriksaan Fisis pasien:


- Inspeksi
Untuk inspeksi liang telinga dan membrana timpani, pergunakan
spekulum telinga atau otoskop. Untuk visualisasi terbaik pilih spekulum
telinga ukuran terbesar yang masih pas dengan diameter liang telinga
pasien. Diameter liang telinga orang dewasa adalah 7 mm, sehingga untuk
otoskopi pasien dewasa, pergunakan spekulum dengan diameter 5 mm,
untuk anak 4 mm dan untuk bayi 2.5 – 3 mm. Lakukan pemeriksaan
terhadap kedua telinga. Bila telinga yang sakit hanya unilateral, lakukan
pemeriksaan terhadap telinga yang sehat terlebih dahulu. Inspeksi telinga
untuk melihat kelainan pada telinga luar, meliputi :

1. Kulit daun telinga : Normal/abnormal


2. Muara/lubang telinga : Ada atau tidak
3. Keberadaan telinga : - Terbentuk/ tidak terbentuk - Besarnya : kecil/
sedang/ besar atau normal/ abnormal. - Adakah kelainan seperti
hematoma pada daun telinga (cauliflower ear).
4. Liang telinga : - Mengenal pars ossea, isthmus dan pars cartilaginea dari
liang telinga - Adakah tanda-tanda radang - Apakah keluar cairan/tidak -
Adakah kelainan di belakang/depan telinga
5. Gendang telinga : Dinilai warnanya, besar kecilnya, ada tidaknya reflek
cahaya (cone of light), perforasi, sikatrik, retraksi, penonjolan prosesus
brevis.
- Palpasi telinga

Sekitar telinga :

 Belakang daun telinga


 Depan daun telinga
 Adakah rasa sakit/ tidak (retroauricular pain/ tragus pain)

- Auskultasi
Menilai adakah bising di sekitar liang telinga. Tes Pendengaran meliputi :
1. Tes Bisik (whispered voice test)
Tes bisik dipergunakan untuk skrining adanya gangguan pendengaran
dan membedakan tuli hantaran dengan tuli sensorineural.
2. Tes Penala/Garputala
Bertujuan untuk menilai ada tidaknya gangguan pendengaran (tuli/
hearing loss) dan membedakan tuli hantaran (conductive hearing loss)
dan tuli sensorineural (sensorineural hearing loss). Tes penala
meliputi:
a) Tes Rinne : Tes Rinne berguna untuk membandingkan hantaran
udara dan hantaran tulang, sehingga membantu menegakkan
diagnosis tuli hantaran (conductive hearing loss).
b) Tes Weber : dilakukan setelah tes Rinne, bertujuan untuk
membedakan tuli hantaran dan tuli sensorineural.
c) Tes Swabach : Garputala digetarkan, tangkai garputala diletakkan
pada prosesus mastoideus penderita sampai tidak terdengar bunyi.
Kemudian tangkai garputala segera dipindahkan pada prosesus
mastoideus telinga pemeriksa yang pendengarannya normal.

c. Pemeriksaan Penunjang :
1. Elektrokokleagraf digunakan untuk mengukuraktivitas koklea dan
saraf pendengaran. Kadang pemeriksaan ini bisa membantu
menentukan penyebab dari penurunan fungsi pendengaran
sensorineural.
2. Timpanometri adalah pemeriksaan telinga yang berguna untuk
menentukan keadaan di telinga tengah. Dengan pemeriksaan ini dapat
diketahui adanya cairan ditelinga tengah, adanya kekakuan tulang-
tulang pendengaran, tekanan negative di telinga tengah.
3. Audiometri adalah pemeriksaan penurunan daya dengar dengan
menggunakan suatu alat eletrik untuk pemeriksaan kemampuan daya
dengar baik yang disebabkan oleh gangguan dari lingkungan kerja
bising maupun yang disebabkan oleh penyakit atau pertambahan usia.
4. CT-Scan Temporal
5. Diskriminasi

Referensi: Keterampilan BP. Pemeriksaan tht 1.

6. Diagnosis banding terkait skenario


A. Otitis Media Akut
Definisi

Otitis Media Akut (OMA) merupakan inflamasi akut telinga tengah


yang berlangsung kurang dari tiga minggu. Yang dimaksud dengan telinga
tengah adalah ruang di dalam telinga yang terletak antara membran timpani
dengan telinga dalam serta berhubungan dengan nasofaring melalui tuba
Eustachius. Perjalanan OMA terdiri atas beberapa aspek yaitu terjadi secara
mendadak, di lanjutkan efusi telinga tengah yang dapat berkembang menjadi
pus oleh karena adanya infeksi mikroorganisme, dan akhirnya muncul tanda
inflamasi akut, antara lain otalgia, iritabilitas, dan demam. Otitis Media Akut
(OMA) adalah salah satu komplikasi Infeksi Saluran Pernapasan Atas ( ISPA)
yang paling sering pada anak. Tetapi baru-baru ini, pengaruh virus pernapasan
juga ditekankan sebagai agen penyebab OMA. Telah diketahui bahwa anak-
anak dengan infeksi Respiratory Syncytial Virus (RSV) sering berkomplikasi
menjadi OMA.

Epidemiologi

Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan khususnya pada


anak-anak. Diperkirakan 70% anak mengalami satu atau lebih episode otitis
media menjelang usia 3 tahun. Penyakit ini terjadi terutama pada anak dari
baru lahir sampai umur sekitar 7 tahun, dan setelah itu insidennya mulai
berkurang. Anak umur 6-11 bulan lebih rentan menderita OMA. Insiden
sedikit lebih tinggi pada anak laki-laki dibanding perempuan. Sebagian kecil
anak menderita penyakit ini pada umur yang sudah lebih besar, pada umur
empat dan awal lima tahun. Beberapa bersifat individual dapat berlanjut
menderita episode akut pada masa dewasa. Salah satu laporan Active
Bacterial Core Surveilance (ABCs) dari Center for Disease Control and
Prevention  (CDC) menunjukkan kasus OMA terjadi sebanyak enam juta
kasus per tahun. Prevalensi tertinggi OMA di dunia terjadi di Afrika Barat dan
Tengah (43,37%), Amerika Selatan (4,25%), Eropa Timur (3,96%), Asia
Timur (3,93%), Asia Pasifik (3,75%), dan Eropa Tengah (3,64%). Di Asia
Tenggara, Indonesia termasuk keempat negara dengan prevalensi gangguan
telinga tertinggi (4,6%). Tiga negara lainnya adalah Sri Lanka (8,8%),
Myanmar (8,4%) dan India (6,3%).

Etiologi

Otitis media akut bisa disebabkan oleh bakteri dan virus. Bakteri yang
paling sering ditemukan adalah Streptococcus pneumaniae, diikuti oleh
Haemophilus influenza, Moraxella catarrhalis, Streptococcus grup A, dan
Staphylococcus aureus. Beberapa mikroorganisme lain yang jarang ditemukan
adalah Mycoplasma pneumaniae, Chlamydia pneumaniae, dan Clamydia
tracomatis.
Broides et al menemukan prevalensi bakteri penyebab OMA adalah
H.influenza 48%, S.pneumoniae 42,9%, M.catarrhalis 4,8%, Streptococcus
grup A 4,3% pada pasien usia dibawah 5 tahun pada tahun 1995-2006 di
Negev, Israil. Sedangkan Titisari menemukan bakteri penyebab OMA pada
pasien yang berobat di RSCM dan RSAB Harapan Kita Jakarta pada bulan
Agustus 2004 – Februari 2005 yaitu S.aureus 78,3%, S.pneumoniae 13%, dan
H.influenza 8,7%.20 Virus terdeteksi pada sekret pernafasan pada 40-90%
anak dengan OMA, dan terdeteksi pada 20-48% cairan telinga tengah anak
dengan OMA.
Virus yang sering sebagai penyebab OMA adalah respiratory syncytial
virus. Selain itu bisa disebabkan virus parainfluenza (tipe 1,2, dan 3),
influenza A dan B, rinovirus, adenovirus, enterovirus, dan koronavirus.
Penyebab yang jarang yaitu sitomegalovirus dan herpes simpleks. Infeksi bisa
disebabkan oleh virus sendiri atau kombinasi dengan bakteri lain.

Patofisiologi

Otitis media akut terjadi karena terganggunya faktor pertahanan tubuh.


Sumbatan pada tuba Eustachius merupakan faktor utama penyebab terjadinya
penyakit ini. Dengan terganggunya fungsi tuba Eustachius, terganggu pula
pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah sehingga kuman masuk dan
terjadi peradangan. Gangguan fungsi tuba Eustachius ini menyebabkan
terjadinya tekanan negatif di telingah tengah, yang menyebabkan transudasi
cairan hingga supurasi. Pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran
pernafasan atas (ISPA). Makin sering anak-anak terserang ISPA, makin besar
kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi dan anak terjadinya OMA
dipermudah karena: 1. morfologi tuba eustachius yang pendek, lebar, dan
letaknya agak horizontal; 2. sistem kekebalan tubuh masih dalam
perkembangan; 3. adenoid pada anak relatif lebih besar dibanding orang
dewasa dan sering terinfeksi sehingga infeksi dapat menyebar ke telinga
tengah. Beberapa faktor lain mungkin juga berhubungan dengan terjadinya
penyakit telinga tengah, seperti alergi, disfungsi siliar, penyakit hidung
dan/atau sinus, dan kelainan sistem imun.

Klasifikasi

Ada 5 stadium OMA berdasarkan pada perubahan mukosa telinga


tengah, yaitu:
1. Stadium Oklusi
Stadium ini ditandai dengan gambaran retraksi membran timpani akibat
tekanan negatif telinga tengah. Membran timpani kadang tampak normal
atau berwarna suram.
2. Stadium Hiperemis
Pada stadium ini tampak pembuluh darah yang melebar di sebagian atau
seluruh membran timpani, membran timpani tampak hiperemis disertai
edem.
3. Stadium Supurasi
Supurasi Stadium ini ditandai edem yang hebat telinga tengah disertai
hancurnya sel epitel superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di
kavum timpani sehingga membran timpani tampak menonjol (bulging) ke
arah liang telinga luar.
4. Stadium Perforasi
Pada stadium ini terjadi ruptur membran timpani sehingga nanah keluar
dari telinga tengah ke liang telinga.
5. Stadium Resolusi
Pada stadium ini membran timpani berangsur normal, perforasi membran
timpani kembali menutup dan sekret purulen tidak ada lagi. Bila daya
tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah maka resolusi dapat terjadi
walaupun tanpa pengobatan.
Ada juga yang membagi OMA menjadi 5 stadium yang sedikit berbeda
yaitu: 1. stadium kataralis; 2. stadium eksudasi; 3. stadium supurasi; 4.
stadium penyembuhan; dan 5. stadium komplikasi.

Manifestasi Klinis

Gejala otitis media akut yang paling sering adalah kemerahan pada
membran timpani sebanyak 52,8% episode dan sakit pada telinga dilaporkan
sebanyak 48,4% episode. Keluarnya cairan dari telinga dilaporkan sebanyak
14,4% episode. Orang dewasa dengan otitis media akut biasanya terdapat sakit
telinga yang mendadak, tetapi pada anak-anak yang belum bisa bicara
biasanya ditandai dengan memegang telinga, menangis berlebih, demam,
perubahan kebiasaan dan pola tidur . Anak dengan OMA umumnya dibawa
oleh orang tuanya dengan keluhan – keluhan seperti demam, gelisah,
menangis, iritabilitas, dan letargi. Walaupun demikian, demam yang
merupakan tanda inflamasi dan infeksi sering tidak muncul pada neonatus dan
bayi muda, sehingga bayi tersebut sering dianggap tidak mengalami OMA.
Pada anak yang lebih tua, demam juga sering tidak muncul, namun anak
menjadi gelisah atau lemah disertai manifestasi gangguan pencernaan, seperti
anoreksia, mual, muntah, dan diare. Beberapa keluhan tambahan lain yang
dialami seorang anak yang mengalami OMA juga dilaporkan muncul,
walaupun lebih sering pada anak yang lebih besar, seperti otalgia, sakit
kepala, hipoaktif atau inatentif, batuk, rhinitis, gangguan pencernaan, dan
kongesti sinus.

Diagnosis

Diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut:

1. Penyakitnya muncul mendadak (akut)

2. Ditemukannya tanda efusi di telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan


adanya salah satu di antara tanda berikut: menggembungnya gendang
telinga, terbatas / tidak adanya gerakan gendang telinga, adanya bayangan
cairan di belakang gendang telinga, cairan yang keluar dari telinga

3. Adanya tanda / gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan


adanya salah satu di antara tanda berikut: kemerahan pada gendang telinga,
nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas normal.

Diagnosis OMA dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan


fisik yang cermat. Gejala yang timbul bervariasi bergantung pada stadium dan
usia pasien. Pada anak – anak umumnya keluhan berupa rasa nyeri di telinga
dan demam. Biasanya ada riwayat infeksi saluran pernafasan atas sebelumnya.
Pada remaja atau orang dewasa biasanya selain nyeri terdapat gangguan
pendengaran dan telinga terasa penuh. Pada bayi gejala khas adalah panas
yang tinggi, anak gelisah dan sukar tidur, diare, kejang-kejang dan sering
memegang telinga yang sakit.
Beberapa teknik pemeriksaan dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis OMA, seperti otoskop, otoskop pneumatik, timpanometri, dan
timpanosintesis. Dengan otoskop dapat dilihat adanya gendang telinga yang
menggembung, perubahan warna gendang telinga menjadi kemerahan atau
agak kuning dan suram, serta cairan di liang telinga. Jika konfirmasi
diperlukan, umumnya dilakukan dengan otoskopi pneumatik. Gerakan
gendang telinga yang berkurang atau tidak ada sama sekali dapat dilihat
dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan ini meningkatkan sensitivitas diagnosis
OMA. Namun umumnya diagnosis OMA dapat ditegakkan dengan otoskop
biasa.
Untuk mengkonfirmasi penemuan otoskopi pneumatik dilakukan
timpanometri. Timpanometri dapat memeriksa secara objektif mobilitas
membran timpani dan rantai tulang pendengaran. Timpanometri merupakan
konfirmasi penting terdapatnya cairan di telinga tengah. Timpanometri juga
dapat mengukur tekanan telinga tengah dan dengan mudah menilai patensi
tabung miringotomi dengan mengukur peningkatan volume liang telinga luar.
Timpanometri punya sensitivitas dan spesifisitas 70-90% untuk deteksi cairan
telinga tengah, tetapi tergantung kerjasama pasien.
Timpanosintesis, diikuti aspirasi dan kultur cairan dari telinga tengah,
bermanfaat pada anak yang gagal diterapi dengan berbagai antibiotika, atau
pada imunodefisiensi. Timpanosintesis merupakan standar emas untuk
menunjukkan adanya cairan di telinga tengah dan untuk mengidentifikasi
patogen yang spesifik. Menurut beratnya gejala, OMA dapat diklasifikasi
menjadi OMA berat dan tidak berat. OMA berat apabila terdapat otalgia
sedang sampai berat, atau demam dengan suhu lebih atau sama dengan 39 oC
oral atau 39,5oC rektal, atau keduanya. Sedangkan OMA tidak berat apabila
terdapat otalgia ringan dan demam dengan suhu kurang dari 39 oC oral atau
39,5oC rektal, atau tidak demam.
Tatalaksana

Tujuan penatalaksanaan OMA adalah mengurangi gejala dan


rekurensi. Pada fase inisial penatalaksanaan ditujukan pada penyembuhan
gejala yang berhubungan dengan nyeri dan demam dan mencegah komplikasi
supuratif seperti mastoiditis atau meningitis. Penatalaksanaan medis OMA
menjadi kompleks disebabkan perubahan patogen penyebab. Diagnosis yang
tidak tepat dapat menyebabkan pilihan terapi yang tidak tepat. Pada anak di
bawah dua tahun, hal ini bisa menimbulkan komplikasi yang serius. Diagnosis
yang tidak tepat dapat menyebabkan pasien diterapi dengan antibotik yang
sebenarnya kurang tepat atau tidak perlu. Hal ini dapat menyebabkan
meningkatnya resistensi antibiotik, sehingga infeksi menjadi lebih sulit
diatasi. Penatalaksanaan OMA di bagian THT-KL RSUP Dr.M.Djamil
Padang tergantung pada stadium penyakit yaitu:
1. Stadium Oklusi : diberikan obat tetes hidung HCL efedrin 0,5%, dan
pemberian antibiotik.
2. Stadium Presupurasi : analgetika, antibiotika (biasanya golongan
ampicillin atau penisilin) dan obat tetes hidung.
3. Stadium Supurasi : diberikan antibiotika dan obat-obat simptomatik.
Dapat juga dilakukan miringotomi bila membran timpani menonjol
dan masih utuh untuk mencegah perforasi.
4. Stadium Perforasi : Diberikan H2O2 3% selama 3-5 hari dan diberikan
antibiotika yang adekuat.
Pada tahun 2004, American Academy of Pediatrics dan the American
Academy of Family Physicians mengeluarkan rekomendasi penatalaksanaan
OMA. Petunjuk rekomendasi ini ditujukan pada anak usia 6 bulan sampai 12
tahun. Pada petunjuk ini di rekomendasikan bayi berumur kurang dari 6 bulan
mendapat antibiotika, dan pada anak usia 6-23 bulan observasi merupakan
pilihan pertama pada penyakit yang tidak berat atau diagnosis tidak pasti,
antibiotika diberikan bila diagnosis pasti atau penyakit berat. Pada anak diatas
2 tahun mendapat antibiotika jika penyakit berat. Jika diagnosis tidak pasti,
atau penyakit tidak berat dengan diagnosis pasti observasi dipertimbangkan
sebagai pilihan terapi.
1. Penatalaksanaan OMA meliputi observasi, terapi simtomatis,
antibiotik, timpanosintesis, miringotomi, dan pencegahan dengan
vaksin pneumokokus konjugat.
2. Observasi merupakan pilihan terapi pada anak usia di atas 6 bulan
pada penyakit yang tidak berat atau diagnosis tidak pasti.
3. Terapi simtomatis terutama untuk penanganan nyeri telinga.
4. Penggunaan antihistamin, dekongestan dan kortikosteroid sebagai
terapi tambahan pada OMA belum ada bukti yang meyakinkan.
5. Antibiotik diberikan pada anak di bawah 6 bulan, 6 bulan – 2 tahun
jika diagnosis pasti, dan untuk semua anak besar dari dua tahun dengan
infeksi berat.
6. Timpanosintesis direkomendasi kan pada anak bila tanda dan gejala
OMA menetap setelah 2 paket terapi antibiotic
7. Miringotomi hanya dilakukan pada kasus-kasus terpilih dan dilakukan
oleh ahlinya.
8. Vaksin pneumokokus konjugat dapat diberikan untuk mencegah anak
menderita OMA.

Komplikasi

Komplikasi dari OMA dapat terjadi melalui beberapa mekanisme,


yaitu melalui erosi tulang, invasi langsung dan tromboflebitis. Komplikasi ini
dibagi menjadi komplikasi intratemporal dan intrakranial. Komplikasi
intratemporal terdiri dari: mastoiditis akut, petrositis, labirintitis, perforasi
pars tensa, atelektasis telinga tengah, paresis fasialis, dan gangguan
pendengaran. Komplikasi intrakranial yang dapat terjadi antara lain yaitu
meningitis, encefalitis, hidrosefalus otikus, abses otak, abses epidural,
empiema subdural, dan trombosis sinus lateralis. Komplikasi tersebut
umumnya sering ditemukan sewaktu belum adanya antibiotik, tetapi pada era
antibiotik semua jenis komplikasi itu biasanya didapatkan sebagai komplikasi
dari otitis media supuratif kronik (OMSK). Penatalaksanaan OMA dengan
komplikasi ini yaitu dengan menggunakan antibiotik spektrum luas, dan
pembedahan seperti mastoidektomi.

Referensi:

Munilson, Jacky, Yan Edward, Yolazenia. Penatalaksanaan Otitis Media


Akut. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL).
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang.

Yuniarti, D, Asman,ST , Fitriyasti, B. 2019. Prevalensi Otitis Media Akut di


RS Islam Siti Rahmah Padang Tahun 2017. Health and Medical Journal Vol 1
No 1 2019. Bagian Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan dan Kepala
Leher, Fakultas Kedokteran Univeristas Baiturrahmah.

B. Otitis Eksterna Difuse


Definisi
Otitis eksterna merupakan radang telinga luar yang mengenai kulit
liang telinga bersifat akut maupun kronis yang disebabkan oleh infeksi
bakteri, jamur dan virus.

Etiologi
a. Otitis eksterna difusa merupakan tipe infeksi bakteri patogen yang
paling umum disebabkan oleh Pseudomonas, Staphylococus, Proteus
atau jamur.
b. Perubahan pH di liang telinga, yang biasanya normal atau bersifat
asam. Bila pH menjadi basa, proteksi terhadap infeksi menurun
c. Trauma dari membersihkan telinga dengan kuku jari atau cotton bud,
berenang, penyakit kulit seperti eksim dan dermatitis seboroik,
penggunaan alat bantu dengar ataupun headset, dan sumbatan
serumen.

Epidemiologi

Di Amerika Utara (2012) kasus otitis eksterna akut ditemukan sekitar


98% disebabkan oleh adanya bakteri. Tersering adalah Pseudomonas
aeruginosa dan Staphylococcus aureus. Poliklinik THT-KL RS H.Adam
Malik Medan (2000), dilaporkan dari 10746 kunjungan baru ditemukan 867
kasus (8,07%) otitis eksterna, 282 kasus (2,62%) otitis eksterna difus dan 585
kasus (5,44%) otitis eksterna sirkumskripta. Di poliklinik THT-KL BLU RSUP Prof.
Dr. R. D. Kandou Manado Juni – Juli 2010 menunjukkan dari 20 sampel pasien otitis
eksterna terbanyak dari kelompok umur 31-45 tahun berjumlah 10 orang (50%).
Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa pasien dengan
jenis kelamin perempuan merupakan kelompok terbanyak dengan jumlah 15 orang
(68,2%) dibanding dengan jenis kelamin laki-laki yang berjumlah 7 orang (31,8%).

Patomekanisme

Sel-sel kulit yang mati, termasuk serumen, akan dibersihkan dan


dikeluarkan dari gendang telinga melalui liang telinga. Cotton bud (pembersih
kapas telinga) dapat mengganggu mekanisme pembersihan tersebut, sehingga
sel-sel kulit mati menumpuk. Auditoris eksternal memiliki beberapa
pertahanan khusus, serumen membentuk lapisan asam yang mengandung
lisozim dan zat lain yang menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur.
Jaringan yang rusak mengakibatkan dikeluarkannya mediator kimia
(histamine, kinin, dan prostaglandin) yang mengakibatkan vasodilatasi
pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya hiperemia lokal (meningkatnya
aliran darah ke area tersebut) sehingga area tersebut tampak hiperemis dan
suhunya lebih tinggi daripada area sekitar. Selain itu pembentukan mediator
kimia dapat meningkatkan permeabilitas kapiler yang menyebabkan
kebocoran cairan kapiler sehingga terjadi kebocoran protein dalam jumlah
banyak di rongga jaringan yang dapat mengakibatkan edema dan rasa sakit
pada area tersebut. Selain itu, proses infeksi akan mengeluarkan cairan / nanah
yang bisa menumpuk dalam liang telinga (meatus akustikus eksterna)
sehingga hantaran suara akan terhalang dan terjadilah penurunan
pendengaran.
Gejala Klinis
Gejala klinisnya ialah nyeri tekan tragus, edema liang telinga, kadang
kelenjar getah bening regional membesar disertai nyeri tekan. Kadang
ditemukan sekret yang berbau. Derajat keparahannya:
a. Fase akut ditandai dengan sensasi panas terbakar dalam liang telinga,
diikuti nyeri saat menggerakkan mandibula. Telinga biasanya
mengeluarkan sekret serous yang kemudian menjadi kental dan
purulen. Dinding liang telinga mengalami inflamasi. Penumpukan
debris dan sekret yang disertai pembengkakan liang telinga
menimbulkan gangguan dengar konduktif. Pada kasus berat, dapat
terjadi pembengkakan kelenjar getah bening regional, nyeri tekan
dengan selulitis jaringan sekitarnya.
b. Fase kronis memiliki karakteristik iritasi dan sangat gatal. Ini adalah
responsibel untuk eksaserbasi akut dan reinfeksi. Sekret hanya sedikit
bahkan kadang-kadang kering hingga membentuk krusta. Kulit liang
telinga menebal dan bengkak sehingga membentuk celah. Jarang sekali
terjadi hipertrofi kulit yang menimbulkan stenosis (otitis eksterna
stenosis kronis).

Diagnosis

a. Anamnesis
Ditemukan keluhan berupa rasa gatal pada telinga, sekret serous
dan/atau purulen, tinnitus, nyeri tekan pada daun telinga, rasa nyeri
pada telinga saat mengunyah, dan rasa penuh.
b. Pemeriksaan Fisik
 Ada secret kental mukoid sampai dengan pus di liang telinga luar
 Mukosa hiperemi dan oedem sehingga liang telinga luar sempit
sampai dengan terbentuk jaringan granulasi.
 Bisa timbul pembesaran kelenjar getah bening di daerah pre dan
post aurikuler.
 Membran timpani biasanya normal.

Penatalaksanaan

a. Non medikamentosa
Edukasi untuk menjaga higienitas pribadi dan keluarga dan
mengurangi kebiasaan seringnya mengorek-korek telinga.
b. Medikanetosa
 Cuci liang telinga dengan cairan hydrogen peroksida (H2O2) 3%
atau larutan NaCl fisiologis.
 Antibiotik tetes telinga yang mengandung kortikosteroid atau
tampon yang diberi salep antibiotika. Bila terdapat perforasi pada
membrane timpani jangan diberi obat tetes telinga atau salep
yang bersifat ototoksik seperti golongan Khloramfenikol dan
gentamisin.
 Bila terdapat granulasi yang tidak hilang dengan cara konservatif
maka perlu dilakukan tindakan kuretase atau ekstirpasi

Prognosis

Kebanyakan insidens sembuh tanpa kesulitan. Sebagian besar pasien


membaik dalam 48-72 jam pemberian antibiotik. Infeksi yang berat bisa
menyebabkan lymphadenitis atau sellulitis pada wajah dan leher. Bila tidak di
terapi infeksi tersebut dapat menjadi otitis eksterna malignan.
Referensi: Kennedy, Fatrianda Putri Cyninthia. Volume 2 Nomor 1 2015. Otitis
Externa In 23 Years Old Woman. Fakultas Kedokteran. Universitas Lampung.
Hal: 43

Imanto,Mukhlis. Volume VI, Nomor 2, Oktober 2015. Radang Telinga Luar.


Bagian Ilmu Penyakit THT-KL. Fakultas Kedokteran. Universitas Lampung.
Hal: 205

Dewi, Yussy Afriani. 2020. West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck
Surgery Update on Daily and Emergency Setting. PERHATI-KL. Hal: 47

Rahman , Andi Nurkamila Putri. 2017. Insiden Otitis Eksterna di Rumah Sakit
Mitra Husada Makassar Periode Juni 2015-Juni 2016. Fakultas Kedokteran.
Universitas Hasanuddin

Sedjati, Monica Lie. Dkk. Pola Kuman Penyabab Otitis Eksterna dan Uji
kepekaan Antibiotik di Poliklinik THT-KL BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado Periode November-Desember 2013. bagian THT-BKL. Fakultas
Kedokteran. universitas Sam Ratulangi

Waitzman, Ariel A. 2020. Otitis Externa. Wayne State University School of


Medicine
C. Otitis Eksterna Sirkumskripta
Definisi:

Yaitu infeksi folikel rambut yang menimbulkanfurunkel atau biasa


disebut bisul di liang telinga luar. Oleh karena kulit di sepertigaluar liang
telinga mengandung adneksa kulit, seperti folikel rambut, kelenjarsebasea,
dan kelenjar serumen, maka di tempat itu dapat terjadi infeksi
padapilosebaseus, sehingga membentuk furunkel.

Epidemiologi :

Insiden lebih tinggi di daerah tropis dari pada di daerah beriklim


sedang karena suhu dan kelembaban yang lebih tinggi. Prevalensi seumur
hidupnya diperkirakan 10% . Ini paling sering mempengaruhi orang dewasa,
dan anak-anak (umumnya berusia 7 sampai 12).

Etiologi :

Kuman penyebab biasanya Staphylococcus aureus, Corynebacterium ,


Pseudomonas aeruginosa, dan S.pyogenes

Patofisiologi :

Saluran pendengaran eksternal ditutupi oleh folikel rambut dan


kelenjar penghasil serumen. Cerumen memberikan penghalang pelindung dan
lingkungan asam yang menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur.  Respon
inflamasi pada otitis eksterna diyakini disebabkan oleh gangguan pH normal
dan faktor pelindung di dalam saluran pendengaran.  Ini termasuk proses
berurutan dari kerusakan epitel, hilangnya lilin pelindung, dan akumulasi
kelembapan yang mengarah ke pH yang lebih tinggi dan pertumbuhan bakteri.

Gejala :

Gejalanya adalah rasa nyeri yang hebat, tidak sesuai dengan besar
bisul. Hal ini disebabkan karena kulit liang telinga tidak mengandung jaringan
longgar dibawahnya, sehingga rasa nyeri timbul pada penekanan
perikondrium. Rasa nyeridapat juga timbul spontan pada waktu membuka
mulut (sendi temporomandibula).Selain itu terdapat juga gangguan
pendengaran, bila furunkel besar dan menyumbatliang telinga.

Diagnosis :

Pengujian laboratorium rutin dan / atau kultur saluran telinga tidak


diperlukan atau diindikasikan untuk kasus yang tidak rumit. Namun, biakan
direkomendasikan untuk kasus otitis eksterna yang berulang atau resisten,
terutama pada pasien dengan gangguan sistem imun.

Terapi :

Terapi tergantung pada keadaan furunkel. Bila sudah menjadi abses,


diaspirasisecara steril untuk mengeluarkan nanahnya. Lokal diberikan
antibiotik dalam bentuk salep, seperti polymixin B, atau bacitracin, atau bisa
juga antiseptik (asam asetat 2-5% dalam alkohol)Kalau dinding furunkel
tebal, dilakukan insisi, kemudian dipasang salir (drain) untuk mengalirkan
nanahnya. Biasanya tidak perlu diberikan obat simtomatik seperti analgetik.

Komplikasi :

Mengganggu aktivitas kehidupan sehari-hari pada sekitar 25% pasien


yang terkena,dapat berkembang menjadi otitis eksterna kronis, dan dapat
menyebabkan stenosis kanal dan gangguan pendengaran.

Referensi: Medina-Blasini Y, Sharman T. Otitis Externa. [Updated 2020 Aug


10]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2020 Jan-.

J, W. (2019). Otitis externa. - PubMed - NCBI. [online] Ncbi.nlm.nih.gov.


Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24439876

7. Upaya preventif terkait skenario


a. Melindungi telinga dari suara keras, dengan menggunakan penutup
telinga, seperti headphone atau earphone, earplug atau penyumbat
telinga berukuran kecil, dan earmuff atau penutup telinga yang
berbentuk seperti headphone
b. Mengikuti tes pendengaran setiap tahun jika memungkinkan, atau
setidaknya melakukan tes pendengaran setiap 10 tahun sekali jika
berusia di bawah 50 tahun, atau setiap 3 tahun sekali bila berusia di atas
50 tahun
c. Mendengarkan musik atau menonton TV dengan volume suara yang
tidak terlalu keras
d. Mengeringkan telinga setelah mandi atau berenang
e. Menanyakan kepada dokter mengenai pengaruh obat yang digunakan
terhadap pendengaran
f. Mengikuti anjuran dan penanganan yang diberikan oleh dokter saat
mengalami infeksi telinga atau menderita penyakit lain
g. Mendapatkan vaksin dan mengimunisasi anak dengan vaksin, seperti
vaksin meningitis dan vaksin MR atau MMR
h. Tidak merokok dan memasukkan jari, cotton bud, atau tisu ke dalam
telinga
i. Melakukan pemeriksaan kehamilan secara rutin, sehingga kesehatan ibu
hamil dan janin dapat terpantau
j. Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari masuknya udara ke
dalam liang telinga , misalnya menggunakan earplug saat berenang
atau mandi. Bila terasa udara masuk ke liang telinga, miringkan kepala
agar udara dapat keluar. Penggunaan tetes telinga asam asetat 2%
setelah telinga terpapar air juga dapat digunakan untuk menjaga agar
telinga telinga tetap dalam pH yang agak asam. Kebiasaan mengorek
telinga, baik dengan atau tanpa menggunakan benda asing.
k. Pendengaran yang sehat dari telinga telinga sehat. Pendengaran yang
sehat akan meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas untuk
mencapai kebahagiaan.
Mulai dari diri kita, keluarga dan masyarakat mari jaga pendengaran
dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat, gangguan pendengaran, serta
melakukan pemeriksaan / deteksi dini adanya gangguan pendengaran.

Referensi: Olusanya, B.O., Davis, A.C., Hoffman, H.J. (2020). Hearing loss:
Rising Prevalence and Impact. Bull World Health Organ, 98(2), pp. 148.

Löhler, et al. (2019). Hearing Impairment in Old Age. Dtsch Arztebl Int.,
116(17), pp. 301–310.

American Speech-Language-Hearing Association. Hearing Loss.

8. Perspektif islam terkait skenario


Al-A’raf ayat 179
a. Arab-Latin: Wa laqad żara`nā lijahannama kaṡīram minal-jinni wal-insi
lahum qulụbul lā yafqahụna bihā wa lahum a'yunul lā yubṣirụna bihā wa
lahum āżānul lā yasma'ụna bihā, ulā`ika kal-an'āmi bal hum aḍall,
ulā`ika humul-gāfilụn

b. Terjemah Arti: Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka


Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati,
tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan
mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai.

c. Tafsir Quran Surat Al-A’raf Ayat 179. Dan sungguh Kami telah
menciptakan banyak manusia dan jin untuk mengisi Neraka Jahanam.
Karena Kami mengetahui bahwa mereka akan melakukan apa yang
dilakukan oleh para penghuni Neraka. Mereka mempunyai hati tetapi
tidak mau menggunakannya untuk memahami apa yang bermanfaat dan
apa yang berbahaya bagi mereka. Mereka mempunyai mata tetapi
mereka tidak mau menggunakannya untuk melihat tanda-tanda
kekuasaan Allah yang ada di di dalam diri mereka dan yang ada di alam
semesta untuk dijadikan sebagai pelajaran. Dan mereka mempunyai
telinga tetapi mereka tidak mau menggunakannya untuk mendengar
ayat-ayat Allah kemudian merenungkan apa yang terkandung di
dalamnya. Mereka itu seperti binatang ternak yang tidak mempunyai
akal, bahkan mereka lebih sesat dari binatang ternak. Mereka itu adalah
orang-orang yang tidak mau beriman kepada Allah dan hari akhir.
Referensi:https://tafsirweb.com/2633-quran-surat-al-araf-ayat-179.html

Anda mungkin juga menyukai