Anda di halaman 1dari 25

TUGAS KELOMPOK

KOMUNIKASI, KONSELING, DAN SWAMEDIKASI


“IMPLEMENTASI PROSEDUR KONSELING OBAT SESUAI PEMAHAMAN PENERIMA
PELAYANAN KEFARMASIAN”

OLEH :

KELOMPOK 4
ANDI ARJUN PRATAMA (O1B1 22 087)
ANDI FINAYA AZZAHRAH (O1B1 22 088)

DOSEN : YUSI LISTIANI, S.Si., M.Sc., Apt.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warhmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penyusunan makalah kami yang berjudul “Implementasi Prosedur
Konseling Obat Sesuai Pemahaman Penerima Pelayanan Kefarmasian” dapat terselesaikan.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah
Komunikasi, Konseling dan Swamedikasi di Program Studi Pendidikan Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo.

Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan-penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu,
kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan, khusunya Ibu Yusi Listiani, S.Si.,
M.Sc., Apt., selaku dosen pengampu mata kuliah Komunikasi, Konseling dan Swamedikasi, hal
tersebut dibutuhkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya
kepada Ibu Yusi Listiani, S.Si., M.Si., Apt., selaku dosen pengampu mata kuliah Komunikasi,
Konseling dan Swamedikasi yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.

Kendari, 20 April 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER.......................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang..................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.............................................................................................................2
1.3. Tujuan Penulisan...............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................4
2. 1. Definisi Konseling............................................................................................................4
2. 2. Tujuan dan Manfaat Konseling.........................................................................................4
2. 3. Prinsip Dasar Konseling....................................................................................................6
2.4. Hal yang Harus Diperhatikan dalam Konseling...............................................................7
2.5. Sasaran Konseling.............................................................................................................8
2.6. Aspek yang Harus Disampaikan.......................................................................................9
2.7. Masalah dalam Konseling...............................................................................................10
2.8. Sarana Penunjang............................................................................................................11
2.9. Tahapan Konseling.........................................................................................................13
2.10. Contoh Kasus..................................................................................................................16
BAB III PENUTUP.......................................................................................................................19
3.1. Kesimpulan.....................................................................................................................19
3.2. Saran................................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pelayanan kesehatan merupakan usaha-usaha dalam pemeliharaan dan peningkatan status
kesehatan yang dilakukan secara profesional oleh tenaga kesehatan melalui pencegahan penyakit
(preventif), peningkatan kesehatan (promotif), pengobatan penyakit (kuratif) dan pemulihan
kesehatan (rehabilitatif). Pelayanan kesehatan difasilitasi oleh pemerintah melalui penyediaan
berbagai fasilitas kesehatan yang menjadi tempat dilaksanakannya upaya kesehatan untuk
memenuhi hak dan kebutuhan kesehatan individu dan masyarakat. Salah satu jenis pelayanan
kesehatan yang tersedia di berbagai fasilitas kesehatan adalah pelayanan kefarmasian. Pelayanan
kefarmasian berorientasi langsung dalam proses penggunaan obat yang bertujuan untuk
menjamin keamanan, efektifitas, dan kerasionalan penggunaan obat. Pelayanan ini perlu terus
diupayakan dan ditingkatkan, sehingga dapat menyediakan pelayanan yang cepat, tepat dan
berkualitas (Jayanti, 2022).
Kegiatan pelayanan kefarmasian saat ini merupakan pelayanan terpadu dari semua tenaga
profesional kesehatan yang bertujuan mengidentifikasi, menyelesaikan masalah terkait obat atau
masalah kesehatan lainnya, serta mencegah hal-hal yang berpotensi menimbulkan permasalahan
tersebut. Oleh karena itu, tenaga farmasi dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang
bertanggung jawab terhadap terapi obat, sehingga dapat memperoleh hasil yang optimal dalam
rangka meningkatkan kualitas hidup pasien. Dengan demikian. konsep pharmaceutical care akan
berjalan lebih haik jika didukung dengan sumber daya manusia yang mempunyai kemampuan
berkomunikasi dengan jelas dan efektif (Jayanti, 2022).
Terapi yang rasional dan efektif tidak hanya bergantung pada diagnosis dan resep yang
tepat. Namun, sikap kooperatif pasien terhadap terapi yang diberikan juga menjadi faktor penting
untuk mewujudkan terapi yang rasional dan efektif. Kebutuhan pasien untuk memiliki
pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit dan terapi mereka, kemampuan untuk
menggunakan obat-obatan dan/atau peralatan kesehatan mereka dengan benar, serta motivasi
untuk mengikuti program terapi membutuhkan keterlibatan dari profesional kesehatan. Oleh
karena itu, untuk menyediakan kebutuhan pasien tersebut diperlukan keterampilan, keahlian dan

1
investasi waktu dari pihak profesional yang terlibat dan perhatian penuh serta keterlibatan pasien
(Jayanti, 2022).
Salah satu hal yang dapat dilakukan yaitu dengan pemberian konseling yang merupakan
komponen dari Pharmaceutical Care dan harus ditunjukkan untuk meningkatkan hasil terapi,
dengan memaksimalkan penggunaan obat yang tepat. Penggunaan dan jadwal penggunaan obat
merupakan bagian dari standar pelayanan kefarmasian yang menunjang peningkatan penggunaan
obat pada pasien, sehingga perlu diterangkan rute, bentuk sediaan dan jadwal pemberian,
petunjuk penyiapan dan pemberian, jika perlu petunjuk khusus untuk penyiapan dan konsumsi
obat tertentu kepada pasien selama konseling. Oleh karena itu, seluruh pemberi pelayanan
kefarmasian harus mampu memberikan konseling kepada pasien dengan menggunakan
komunikasi yang jelas dan efektif agar dapat memenuhi unsur penting dalam peningkatan
pelayanan kefarmasian yang terdiri dari tingkat kepuasan pasien sebagai pengguna jasa dan
pemenuhan standar pelayanan yang telah di tetapkan (Rikomah, 2018).

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Apa yang Dimaksud dengan Konseling?
1.2.2. Apa Saja Tujuan dan Manfaat Konseling?
1.2.3. Bagaimana Prinsip Dasar dari Konseling?
1.2.4. Apa Saja Hal yang Harus Diperhatikan dalam Melakukan Konseling?
1.2.5. Siapa Saja yang Menjadi Sasaran dari Kegiatan Konseling?
1.2.6. Apa Saja Aspek yang Harus Disampaikan dalam Melakukan Konseling?
1.2.7. Bagaimana Masalah dalam Melakukan Konseling?
1.2.8. Apa Saja yang menjadi Sarana Penunjang dalam Kegiatan Konseling?
1.2.9. Apa Saja Tahapan dalam Melakukan Kegiatan Konseling?
1.2.10. Bagaimana contoh penelitian terhadap pengaruh pemberian konseling pada pasien?

1.3. Tujuan Penulisan


1.3.1. Untuk Mengetahui Definisi Konseling
1.3.2. Untuk Mengetahui Tujuan dan Manfaat Konseling
1.3.3. Untuk Mengetahui Prinsip Dasar dari Konseling

2
1.3.4. Untuk Mengetahui Hal yang Harus Diperhatikan dalam Melakukan Konseling
1.3.5. Untuk Mengetahui Sasaran dari Kegiatan Konseling
1.3.6. Untuk Mengetahui Aspek yang Harus Disampaikan dalam Melakukan Konseling
1.3.7. Untuk Mengetahui Masalah dalam Melakukan Konseling
1.3.8. Untuk Mengetahui Sarana Penunjang dalam Kegiatan Konseling
1.3.9. Untuk Mengetahui Tahapan dalam Melakukan Kegiatan Konseling
1.3.10. Untuk Mengetahui Bagaimana Pengaruh Pemberian Konseling berdasarkan Contoh
Kasus

3
BAB II

PEMBAHASAN

2. 1. Definisi Konseling
Konseling merupakan profesi yang hadir sebagai respon terhadap kebutuhan individu
untuk memahami diri, lingkungan, serta hal lain yang terkait dengan kehidupannya. Konseling
merupakan sebuah pekerjaan profesional yang dalam pelayanan ahlinya tidak hanya sekadar
menerapkan seperangkat prosedur tetap, melainkan selalu berpikir dengan mengerahkan
kemampuan akademik yang dikuasainya untuk melakukan layanan konseling (Hariko, 2017).
Konseling adalah diskusi, nasehat, edukasi tentang penyakit dan pengobatan sehingga pasien
memperoleh keuntungan yang optimal dalam meningkatkan kualitas hidup dan perawatannya.
Konseling bukan sekedar pemberian informasi, konseling secara psikologi membantu
memecahkan masalah kesehatan pasien, ikut mengusahakan kualitas hidup pasien. Konseling
memberikan empati, dukungan, membesarkan hati, arahan dan saran kepada pasien (Rikomah,
2018).
Konseling pasien dapat didefinisikan sebagai penyedia informasi, saran atau nasehat
tentang obat baik dalam bentuk lisan atau tertulis kepada pasien atau yang mewakili mengenai
efek samping, penyimpanan, dan informasi lainnya. Konseling tidak hanya meningkatkan
kepatuhan, tetapi juga mengurangi komplikasi sebagai hasil dari ketidaktaatan terhadap
pengobatan. Kepatuhan tidak hanya di pengaruhi dari faktor pasien saja, melainkan juga
dipengaruhi oleh tenaga kesehatan yang tersedia, pemberian pengobatan yang komplek, sistem
akses dan pelayanan kesehatan. Konseling farmasis dapat berpengaruh secara positif terhadap
kepatuhan pasien dalam minum obat, dan terdapat hubungan yang signifikan antara kepatuhan
pasien dengan hasil terapi pada pasien (Rikomah, 2018).

2. 2. Tujuan dan Manfaat Konseling


2.2.1. Tujuan Umum (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007):
a. Meningkatkan keberhasilan terapi
b. Memaksimalkan efek terapi
c. Meminimalkan resiko efek samping

4
d. Meningkatkan cost effectiveness
e. Menghormati pilihan pasien dalam menjalankan terapi
2.2.2. Tujuan Khusus (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007):
a. Meningkatkan hubungan kepercayaan antara apoteker dengan pasien
b. Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien
c. Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obatnya
d. Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan dengan penyakitnya
e. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan
f. Mencegah atau meminimalkan Drug Related Problem
g. Meningkatkan kemampuan pasien untuk memecahkan masalahnya sendiri dalam hal
terapi
h. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan
i. Membimbing dan mendidik pasien dalam menggunakan obat sehingga dapat mencapai
tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan pasien.
2.2.3. Manfaat Bagi Pasien (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007):
a. Menjamin keamanan dan efektifitas pengobatan
b. Mendapatkan penjelasan tambahan mengenai penyakitnya
c. Membantu dalam merawat atau perawatan kesehatan sendiri
d. Membantu pemecahan masalah terapi dalam situasi tertentu
e. Menurunkan kesalahan penggunaan obat
f. Meningkatkan kepatuhan dalam menjalankan terapi
g. Menghindari reaksi obat yang tidak diinginkan
h. Meningkatkan efektivitas & efisiensi biaya kesehatan
2.2.4. Manfaat Bagi Apoteker (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007):
a. Menjaga citra profesi sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan.
b. Mewujudkan bentuk pelayanan asuhan kefarmasian sebagai tanggung jawab profesi
apoteker.
c. Menghindarkan apoteker dari tuntutan karena kesalahan penggunaan obat (Medication
error)
d. Suatu pelayanan tambahan untuk menarik pelanggan sehingga menjadi upaya dalam
memasarkan jasa pelayanan.

5
2. 3. Prinsip Dasar Konseling
Prinsip dasar konseling adalah terjadinya kemitraan atau korelasi antara pasien dengan
apoteker sehingga terjadi perubahan perilaku pasien secara sukarela. Pendekatan Apoteker dalam
pelayanan konseling mengalami perubahan model pendekatan dari pendekatan “Medical Model”
menjadi Pendekatan “Helping model”. Adapun Perbedaannya dapat dilihat pada tabel berikut
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007):

Medical Model Helping Model


1. Pasien terlibat secara aktif
1. Pasien passive
2. Kepercayaan didasarkan dari
2. Dasar dari kepercayaan ditunjukkan
hubungan Pribadi yang berkembang
Berdasarkan citra profesi
setiap saat
3. Mengidentifikasi masalah dan
3. Menggali semua masalah dan memilih
menetapkan solusi.
cara pemecahan masalah
4. Pasien bergantung pada petugas
4. Pasien mengembangkan rasa percaya
kesehatan
dirinya untuk memecahkan masalah
5. Hubungan seperti ayah-anak
5. Hubungan setara (seperti teman)
“Mengerti kebutuhan, keinginan, dan pilihan dari pasien”
2.3.1. Menentukan Kebutuhan
Konseling tidak terjadi bila pasien datang tanpa ia sadari apa yang dibutuhkannya.
Seringkali pasien datang tanpa dapat mengungkapkan kebutuhannya, walaupun sebetulnya
ada sesuatu yang dibutuhkan. Oleh karena itu dilakukan pendekatan awal dengan
mengemukakan pertanyaan terbuka dan mendengar dengan baik dan hati-hati (Direktorat
Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007).
2.3.2. Perasaan
Apoteker harus dapat mengerti dan menerima perasaan pasien (berempati). Apoteker
harus mengetahui dan mengerti perasaan pasien (bagaimana perasaan menjadi orang sakit)
sehingga dapat berinteraksi dan menolong dengan lebih efektif (Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, 2007).

6
2.4. Hal yang Harus Diperhatikan dalam Konseling
Seorang farmasis saat melakukan kegiatan konseling harus memperhatikan beberapa cara
untuk meningkatkan kualitas konseling yang diberikan, antara lain (Rikomah, 2018):
2.4.1. Menggunakan Pesan Secara Non Verbal
Konseling yang dilakukan dengan cara non-verbal dapat berupa perhatian farmasis
dalam bentuk gerakan, cara penampilan, mimik wajah pasien, tingkah laku pasien, kebersihan
diri pasien. Konseling dengan cara ini dapat terjadi ketika farmasis akan memulai konseling
secara verbal dengan pasien, melihat terlebih dahulu kondisi pasien, apakah pasien dalam
keadaan baik, dan bisa meluangkan waktunya untuk diajak berkomunikasi mengenai
pengobatan yang telah di terima pasien (Rikomah, 2018).
2.4.2. Percaya Diri
Seorang farmasis dalam melakukan konseling tentang riwayat pengobatan pasien
hendaknya harus tampil percaya diri, baik percaya diri dalam hal penampilan, dan tidak kalah
pentingnya yaitu percaya diri dalam hal memberikan edukasi kepada pasien, dengan
menggunakan bahasa yang disesuaikan dengan keadaan pasien, sehingga pasien dapat dengan
mudah memahami penjelasan yang telah diberikan farmasis (Rikomah, 2018).
2.4.3. Belajar Terus Menerus
Pengetahuan mengenai obat semakin berkembang pesat dan muncul obat-obat baru,
sehingga diharuskan seorang farmasis untuk belajar terus, demi untuk meningkatkan
pengetahuannya mengenai obat dan agar tidak ketinggalan informasi baru mengenai obat-baru
(Rikomah, 2018).
2.4.4. Dapat Meyakinkan
Kepedulian farmasis dalam melakukan kegiatannya hendaknya harus dapat meyakinkan
ke pasien dan tenaga kesehatan yang lain, bahwa apa yang telah disampaikan benar adanya,
dan kebenaranya dapat dipertanggung-jawabkan, sehingga seorang farmasis dituntut untuk
mengetahui banyak hal mengenai obat sehingga dapat tampil percaya diri dan dapat
meyakinkan orang lain dari informasi diberikan (Rikomah, 2018).
2.4.5. Dapat Membujuk

7
Dalam kegiatan pelayanan kefarmasian di bangsal, seorang farmasis harus dapat
membujuk pasien dalam hal minum obat, ketika di bangsal karakter pasien beraneka ragam,
sehingga farmasis dituntut untuk dapat memahami kondisi seperti ini. Misal ada pasien lansia
yang tidak mau minum obat, dengan adanya farmasi yang datang ke tempat tidur pasien,
dengan nada bicara yang lembut, memberikan perhatian yang tulus ke pasien, membujuk
dengan cara yang lembut, kemungkinan pasien akan mau minum obat (Rikomah, 2018).
2.4.6. Tegas
Seorang farmasi klinik selain dapat membujuk pasien agar mau minum obat, juga
hendaknya harus bersikap tegas terhadap pasien yang mungkin ada di rumah sakit akibat dari
kasus kriminal, sehingga kemungkinan sikap dan tingkah pasien akan berbeda dengan pasien
yang lain, disini seorang farmasis dituntut untuk tegas dalam hal pelayanan kefarmasian yaitu
memberikan arahan pengobatan yang baik (Rikomah, 2018).
2.4.7. Mengikuti Teknologi Baru
Dunia semakin maju, teknologi semakin maju, sehingga seorang farmasis dituntut untuk
mengikuti perkembangan zaman dengan adanya teknologi-teknologi baru terkait dengan obat.
Baik itu pembuatan obat atau pelayanan kefarmasian dengan menggunakan teknologi baru
(Rikomah, 2018).

2.5. Sasaran Konseling


Pemberian konseling ditujukan baik untuk pasien rawat jalan maupun pasien rawat inap.
Konseling dapat diberikan kepada pasien langsung atau melalui perantara. Perantara yang
dimaksud disini adalah keluarga pasien, pendamping pasien, perawat pasien, atau siapa saja yang
bertanggung jawab dalam perawatan pasien. Pemberian konseling melalui perantara diberikan
jika pasien tidak mampu mengenali obat-obatan dan terapinya, pasien pediatrik, serta pasien
geriatric (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007).
2.5.1. Konseling Pasien Rawat Jalan
Pemberian konseling untuk pasien rawat jalan dapat diberikan pada saat pasien
mengambil obat di apotik, puskesmas dan di sarana kesehatan lain. Kegiatan ini bisa
dilakukan di counter pada saat penyerahan obat tetapi lebih efektif bila dilakukan di ruang
khusus yang disediakan untuk konseling. Pemilihan tempat konseling tergantung dari
kebutuhan dan tingkat kerahasian / kerumitan akan hal-hal yang perlu dikonselingkan ke

8
pasien. Konseling pasien rawat jalan diutamakan pada pasien yang (Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, 2007):
a. Menjalani terapi untuk penyakit kronis, dan pengobatan jangka panjang. (Diabetes, TBC,
epilepsi, HIV/AIDS, dll )
b. Mendapatkan obat dengan bentuk sediaan tertentu dan dengan cara pemakaian yang
khusus Misal : suppositoria, enema, inhaler, injeksi insulin dll.
c. Mendapatkan obat dengan cara penyimpanan yg khusus. Misal : insulin dll
d. Mendapatkan obat-obatan dengan aturan pakai yang rumit, misalnya : pemakaian
kortikosteroid dengan tapering down.
e. Golongan pasien yang tingkat kepatuhannya rendah, misalnya : geriatrik, pediatri.
f. Mendapatkan obat dengan indeks terapi sempit ( digoxin, phenytoin, dll )
g. Mendapatkan terapi obat-obatan dengan kombinasi yang banyak (polifarmasi )
2.5.2. Konseling Pasien Rawat Inap
Konseling pada pasien rawat inap, diberikan pada saat pasien akan melanjutkan terapi
dirumah. Pemberian konseling harus lengkap seperti pemberian konseling pada rawat jalan,
karena setelah pulang dari rumah sakit pasien harus mengelola sendiri terapi obat dirumah.
Selain pemberian konseling pada saat akan pulang, konseling pada pasien rawat inap juga
diberikan pada kondisi sebagai berikut (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik,
2007):
a. Pasien dengan tingkat kepatuhan dalam minum obat rendah. Kadang-kadang dijumpai
pasien yang masih dalam perawatan tidak meminum obat yang disiapkan pada waktu
yang sesuai atau bahkan tidak diminum sama sekali.
b. Adanya perubahan terapi yang berupa penambahan terapi, perubahan regimen terapi,
maupun perubahan rute pemberian.

2.6. Aspek yang Harus Disampaikan


2.6.1. Deskripsi dan Kekuatan Obat
Apoteker harus memberikan informasi kepada pasien mengenai (Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007):
a. Bentuk Sediaan dan Cara Pemakaiannya
b. Nama dan Zat Aktif yang Terkandung di dalamnya

9
c. Kekuatan Obat (mg/g)

2.6.2. Jadwal dan Cara Penggunaan


Penekanan dilakukan untuk obat dengan instruksi khusus seperti ”minum obat sebelum
makan”, ”jangan diminum bersama susu” dan lain sebagainya. Kepatuhan pasien tergantung
pada pemahaman dan perilaku sosial ekomoninya (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik, 2007).
2.6.3. Mekanisme Kerja Obat
Apoteker harus mengetahui indikasi obat, penyakit/gejala yang sedang diobati sehingga
Apoteker dapat memilih mekanisme mana yang harus dijelaskan, ini disebabkan karena
banyak obat yang multi-indikasi. Penjelasan harus sederhana dan ringkas agar mudah
dipahami oleh pasien (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007).
2.6.4. Dampak Gaya Hidup
Banyak regimen obat yang memaksa pasien untuk mengubah gaya hidup. Apoteker
harus dapat menanamkan kepercayaan pada pasien mengenai manfaat perubahan gaya hidup
untuk meningkatkan kepatuhan pasien (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik,
2007).
2.6.5. Penyimpanan
Pasien harus diberitahukan tentang cara penyimpanan obat terutama obat-obat yang
harus disimpan pada temperatur kamar, adanya cahaya dan lain sebagainya. Tempat
penyimpanan sebaiknya jauh dari jangkauan anak-anak (Direktorat Bina Farmasi Komunitas
dan Klinik, 2007).
2.6.6. Efek Potensial yang Tidak Diinginkan
Apoteker sebaiknya menjelaskan mekanisme atau alasan terjadinya toksisitas secara
sederhana. Penekanan penjelasan dilakukan terutama untuk obat yang menyebabkan
perubahan warna urin, yang menyebabkan kekeringan pada mukosa mulut, dan lain
sebagainya. Pasien juga diberitahukan tentang tanda dan gejala keracunan (Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007).

10
2.7. Masalah dalam Konseling
Ketidakpatuhan dalam minum obat merupakan masalah utama dalam kegiatan konseling,
dimana pasien yang telah diberikan pengobatan tidak patuh terhadap aturan minum obat yang
telah diberikan. Adapun penyebab dari ketidakpatuhan tersebut dapat diakibatkan oleh beberapa
factor, antara lain (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007):
2.7.1. Faktor Penyakit
a. Keparahan atau stadium penyakit, kadang orang yang merasa sudah lebih baik kondisinya
tidak mau meneruskan pengobatan.
b. Lamanya terapi berlangsung, semakin lama waktu yang diberikan untuk terapi, tingkat
kepatuhan semakin rendah.
2.7.2. Faktor Terapi
a. Regimen pengobatan yang kompleks baik jumlah obat maupun jadwal penggunaan obat.
b. Kesulitan dalam penggunaan obat, misalnya kesulitan menelan obat karena ukuran tablet
yang besar.
c. Efek samping yang ditimbulkan, misalnya : mual, konstipasi, dll.
d. Rutinitas sehari-hari yang tidak sesuai dengan jadwal penggunaan obat
2.7.3. Faktor Pasien
a. Merasa kurang pemahaman mengenai keseriusan dari penyakit dan hasil yang didapat
jika tidak diobati.
b. Menganggap pengobatan yang dilakukan tidak begitu efektif
c. Motivasi ingin sembuh
d. Kepribadian / perilaku, misalnya orang yang terbiasa hidup teratur dan disiplin akan lebih
patuh menjalani terapi
e. Dukungan lingkungan sekitar / keluarga.
f. Sosio-demografi pasien : umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, dll
2.7.4. Faktor Komunikasi
a. Pengetahuan yang kurang tentang obat dan kesehatan
b. Kurang mendapat instruksi yang jelas tentang pengobatannya.
c. Kurang mendapatkan cara atau solusi untuk mengubah gaya hidupnya.
d. Ketidakpuasan dalam berinteraksi dengan tenaga ahli kesehatan.
e. Apoteker tidak melibatkan pasien dalam pengambilan keputusan.

11
2.8. Sarana Penunjang
Dalam melaksanakan kegiatan konseling dibutuhkan beberapa sarana untuk menunjang
kegiatan. Sarana yang dibutuhkan tergantung dari jumlah pelayanan, kapasitas kegiatan, dan
target yang ingin dicapai. Adapun sarana penunjang kegiatan konseling terdiri dari (Direktorat
Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007):
2.8.1. Ruang atau Tempat Konseling
Untuk melaksanakan kegiatan konseling yang efektif sebaiknya konseling tidak
dilakukan hanya di counter pada saat penyerahan obat, tetapi diruang khusus untuk konseling.
Ruang yang disediakan untuk konseling sebaiknya memenuhi kriteria sebagai berikut
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007):
a. Tertutup dan tidak banyak orang keluar masuk, sehingga privacy pasien terjaga dan
pasien lebih leluasa menanyakan segala sesuatu tentang pengobatan.
b. Tersedia meja dan kursi yang cukup untuk konselor maupun klien (pasien)
c. Mempunyai penerangan yang cukup dan sirkulasi udara yang bagus
d. Letak ruang konseling tidak terlalu jauh dari tempat pengambilan obat (apotik)
e. Jika jumlah pasien banyak dan mempunyai beberapa tenaga Apoteker sebagai konselor,
sebaiknya ruang konseling lebih dari satu.
2.8.2. Alat Bantu Konseling
Agar konseling menjadi lebih efektif ada beberapa alat bantu yang dapat digunakan.
Alat bantu yang digunakan terdiri dari perlengkapan yang diperlukan oleh apoteker sebagai
konselor dalam melakukan konseling maupun alat bantu yang diberikan kepada pasien.
Perlengkapan Apoteker dalam melaksanakan konseling antara lain (Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, 2007):
a. Panduan konseling, berisi daftar (check list) untuk mengingatkan Apoteker point-point
konseling yang penting.
b. Kartu Pasien, berisi identitas pasien dan catatan kunjungan pasien
c. Literatur pendukung
d. Brosur tentang obat-obat tertentu, memberikan kesempatan kepada pasien untuk
membaca lagi jika lupa.

12
e. Alat peraga, dapat menggunakan audiovisual, gambar-gambar, poster, maupun sediaan
yang berisi placebo.
f. Alat komunikasi untuk mengingatkan pasien untuk mendapatkan lanjutan pengobatan.
Selain perlengkapan, sarana penunjang konseling juga dapat berupa Alat bantu pengingat
pasien minum obat. Alat tersebut biasanya diperlukan pada pengobatan penyakit kronis atau
penyakit-penyakit lain yang membutuhkan terapi jangka panjang dan dan memerlukan
kepatuhan dalam penggunaannya. Misalnya : penggunaan analgesik untuk nyeri kanker,
penggunaan obat anti TBC, penggunaan obat anti retroviral, terapi stroke, diabetes, dll.
Adapun Alat bantu yang diberikan dapat berupa (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik, 2007):
a. Kartu pengingat pengobatan, kartu ini diberikan Apoteker kepada pasien untuk memantau
penggunaan obat pasien. Pasien dapat memberikan tanda pada kartu tersebut setiap
harinya sesuai dengan dosis yang diterimanya. Kartu tersebut memuat nama pasien, nama
obat, jam minum obat, tanggal pasien harus mengambil (refill) obat kembali.
b. Pemberian Label, sebagian pasien membutuhkan bantuan untuk membaca label instruksi
pengobatan yang terdapat pada obatnya.
c. Medication chart, berupa bagan waktu minum obat. Biasanya dibuat untuk pasien dengan
regimen pengobatan yang kompleks atau pasien yang sulit memahami regimen
pengobatan.
d. Pil dispenser, akan membantu pasien untuk mengingat jadwal minum obat dan
menghindari kelupaan jika pasien melakukan perjalanan jauh dari rumah. Wadah pil
dispenser bisa untuk persediaan harian maupun mingguan.
e. Kemasan penggunaan obat per dosis unit, pengemasan obat per unit dosis membutuhkan
peralatan yang mahal. Dapat dilaksanakan jika regimen pengobatan terstandar dan
merupakan program pemerintah.

2.9. Tahapan Konseling


2.9.1. Pembukaan
Pembukaan konseling yang baik antara apoteker dan pasien dapat menciptakan
hubungan yang baik, sehingga pasien akan merasa percaya untuk memberikan informasi
kepada Apoteker. Apoteker harus memperkenalkan diri terlebih dahulu sebelum memulai sesi

13
konseling. Selain itu apoteker harus mengetahui identitas pasien (terutama nama) sehingga
pasien merasa lebih dihargai. Hubungan yang baik antara apoteker dan pasien dapat
menghasilkan pembicaraan yang menyenangkan dan tidak kaku (Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, 2007).
Apoteker dapat memberikan pendapat tentang cuaca hari ini maupun bertanya tentang
keluarga pasien. Apoteker harus menjelaskan kepada pasien tentang tujuan konseling serta
memberitahukan pasien berapa lama sesi konseling itu akan berlangsung. Jika pasien terlihat
keberatan dengan lamanya waktu pembicaraan, maka apoteker dapat bertanya apakah
konseling boleh dilakukan melalui telepon atau dapat bertanya alternatif waktu/hari lain untuk
melakukan konseling yang efektif (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007).
2.9.2. Diskusi untuk mengumpulkan informasi dan identifikasi masalah
Pada sesi ini Apoteker dapat mengetahui berbagai informasi dari pasien tentang masalah
potensial yang mungkin terjadi selama pengobatan. Pasien bisa merupakan pasien baru
ataupun pasien yang meneruskan pengobatan (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik,
2007).
a. Diskusi dengan pasien baru
Jika pasien masih baru maka Apoteker harus mengumpulkan informasi dasar tentang
pasien dan tentang sejarah pengobatan yang pernah diterima oleh pasien tersebut
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007).
b. Diskusi dengan pasien yang meneruskan pengobatan
Pasien yang sudah pernah mendapatkan konseling sebelumnya, sehingga Apoteker hanya
bertugas untuk memastikan bahwa tidak ada perubahan kondisi maupun pengobatan baru
yang diterima oleh pasien baik yang diresepkan maupun yang tidak diresepkan
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007).
c. Mendiskusikan Resep yang baru diterima
- Apoteker harus bertanya apakah pasien pernah menerima pengobatan sebelumnya.
Apoteker harus bertanya pengobatan tersebut diterima pasien dari mana, apakah dari
Apoteker juga, atau dari psikiater dan lain sebagainya. Jika pasien pernah menerima
pengobatan sebelumnya maka dapat di tanyakan tentang isi topik konseling yang
pernah diterima oleh pasien tersebut (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik,
2007).

14
- Apoteker sebaiknya bertanya terlebih dahulu tentang penjelasan apa yang telah
diterima oleh pasien. Ini penting untuk mempersingkat waktu konseling dan untuk
menghindari pasien mendapatkan informasi yang sama yang bisa membuatnya
merasa bosan atau bahkan informasi yang berlawanan yang membuat pasien bingung.
Diskusi ini juga harus dilakukan dengan katakata yang mudah diterima oleh pasien
sesuai denga tingkat sosial - ekonomi pasien (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik, 2007).
- Regimen pengobatan, pasien harus diberitahu tentang guna obat dan berapa lama
pengobatan ini akan diterimanya. Pada tahap ini Apoteker juga harus melihat
kecocokan dosis yang diterima oleh pasien sehingga pengobatan menjadi lebih
optimal. Kesuksesan pengobatan, pasien sebaiknya diberitahukan tentang keadaan
yang akan diterimanya jika pengobatan ini berhasil dilalui dengan baik kecocokan
dosis yang diterima oleh pasien sehingga pengobatan menjadi lebih optimal
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007).
- Kesuksesan pengobatan, pasien sebaiknya diberitahukan tentang keadaan yang akan
diterimanya jika pengobatan ini berhasil dilalui dengan baik (Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, 2007).
d. Mendiskusikan pengulangan resep dan pengobatan
- Kegunaan pengobatan, Apoteker diharapkan memberikan penjelasan tentang guna
pengobatan yang diterima oleh pasien serta bertanya tentang kesulitan-kesulitan apa
yang dihadapi oleh pasien selama menerima pengobatan (Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, 2007).
- Efektifitas pengobatan, Apoteker harus mengetahui efektifitas dari pengobatan yang
diterima oleh pasien. Apoteker harus bertanya pada pasien apakah pengobatan yang
diterima telah membantu keadaan pasien menjadi lebih baik (Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, 2007).
- Efek samping pengobatan, Apoteker harus mengetahui dengan pasti efek samping
pengobatan dan kemungkinan terjadinya efek samping kepada pasien tersebut. Pasien
sebaiknya diberitahukan kemungkinan tanda-tanda efek samping sehingga pasien
dapat melakukan tindakan preventif terhadap keadaan tersebut (Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007).

15
2.9.3. Diskusi untuk mencegah atau memecahkan masalah dan mempelajarinya.
Setiap alternatif cara pemecahan masalah harus didiskusikan dengan pasien. Apoteker
juga harus mencatat terapi dan rencana untuk monitoring terapi yang diterima oleh pasien.
Baik pasien yang menerima resep yang sama maupun pasien yang menerima resep baru,
keduanya harus diajak terlibat untuk mempelajari keadaan yang memungkinkan tercipta
masalah. Sehingga masalah terhadap pengobatan dapat diminimalisasi (Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007).
2.9.4. Memastikan pasien telah memahami informasi yang diperoleh.
Apoteker harus memastikan apakah informasi yang diberikan selama konseling dapat
dipahami dengan baik oleh pasien dengan cara meminta kembali pasien untuk mengulang
informasi yang sudah diterima. Dengan cara ini pula dapat diidentifikasi adanya penerimaan
informasi yang salah sehingga dapat dilakukan tindakan pembetulan (Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, 2007).
2.9.5. Menutup diskusi
Sebelum menutup diskusi sangat penting untuk Apoteker bertanya kepada pasien
apakah ada hal-hal yang masih ingin ditanyakan maupun yang tidak dimengerti oleh pasien.
Mengulang pernyataan dan mempertegasnya merupakan hal yang sangat penting sebelum
penutupkan sesi diskusi, pesan yang diterima lebih dari satu kali dan diberi penekanan
biasanya akan diingat oleh pasien (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007).
2.9.6. Follow-up diskusi
Fase ini agak sulit dilakukan sebab terkadang pasien mendapatkan Apoteker yang
berbeda pada sesi konseling selanjutnya. Oleh sebab itu dokumentasi kegiatan konseling perlu
dilakukan agar perkembangan pasien dapat terus dipantau (Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, 2007).

2.10. Contoh Kasus


2.10.1. Judul dan Nama Jurnal
Judul jurnal pada contoh kasus yang digunakan yaitu “Pengaruh Pemberian Konseling
Apoteker terhadap Pengetahuan Pasien Geriatri Di Puskesmas Simpang IV Sipin Kecamatan
Telanaipura Kota Jambi” yang diterbitkan pada tahun 2020 dengan nama jurnal “Midwifery
Health Journal”.

16
2.10.2. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian pada jurnal tersebut yaitu untuk mengetahui pengaruh pemberian
konseling terhadap pengetahuan pasien dan pasien geriatri yang berobat di Puskesmas Simpang
IV Sipin.

2.10.3. Metode Penelitian


Metode Penelitian yang digunakan yaitu penelitian pra-eksperimental dengan rancangan
penelitian one group posttest. Pasien di akan diberi konseling oleh Apoteker dilanjutkan dengan
posttest setelah pemberian konseling.
2.10.4. Hasil Penelitian
Berikut merupakan tabel hasil dari penelitian tersebut:

No Pertanyaan Kuesioner Benar Salah

1 Nama obat yang didapatkan 23 (76,6%) 7 (23,4%)


2 Alasan menggunakan obat tersebut 30 (100%) 0 (0%)
3 Fungsi pengobatan 28 (93,3%) 2 (6,7%)
4 Cara menggunakan obat 28 (93,3%) 2 (6,7%)
5 Frekuensi menggunakan obat yang didapatkan 25 (83,3%) 5 (16,7%)
6 Waktu menggunakan obat yang didapatkan 24 (80%) 6 (20%)

7 Lama penggunaan obat 20 (66,7%) 10 (33,3%)


8 Efek samping penggunaan obat 18 (60%) 12 (40%)
9 Pengetahuan penyakit yang diderita 27 (90%) 3 (10%)
10 Sifat penyakit yang diderita 18 (60%) 12 (40%)

Berdasarkan hasil tabel di atas, didapatkan hasil bahwa setelah diberikan konseling oleh
apoteker, pengetahuan responden mengenai penggunaan obat-obatan yang dikonsumsi sangat
meningkat. Faktor yang menjadi penyebab ketidaktahuan responden adalah tidak diketahuinya
nama obat yang didapatkan karena kesulitan pasien untuk menghafalkan nama obat tersebut,
jumlah obat yang didapatkan pasien lebih dari satu obat dan nama dagang obat yang berbeda-
beda meskipun isinya sama.
Diketahui setelah posttest, beberapa responden masih menjawab salah terkait efek
samping penggunaan obat yang dikonsumsi. Faktor yang menyebabkan ketidaktahuan

17
responden setelah diberikan konseling kemungkinan karena fungsi pengobatan tidak
disampaikan oleh apoteker atau bisa jadi fungsi pengobatan yang disampaikan tidak sesuai
dengan yang diketahui pasien selama ini. Komunikasi antara apoteker dengan responden juga
dapat menjadi kendala dalam proses konseling. Setiap individu memiliki nilai-nilai, budaya,
kebutuhan dan status ego yang berbeda. Kendala-kendala tersebut menyebabkan perbedaan
persepsi pada masing-masing individu.

2.10.5. Pembahasan
Pada pasien geriatri dengan pendidikan rendah akan mempengaruhi tingkat pengetahuan
yang terbatas sehingga dapat berdampak pada pengetahuan penggunaan obat yang tidak tepat
dan pola makan yang kurang terkontrol. Maka dengan semakin tingginya pendidikan seseorang,
diharapkan pengetahuan yang dimiliki semakin luas dan memahami informasi yang diberikan
oleh apoteker.
Terdapat banyak pasien geriatri yang berobat ke Puskesmas Simpang IV Sipin
Telanaipura Kota Jambi, namun tidak semua pasien ingin diberikan konseling. Banyaknya
responden dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi karena semakin tinggi pendidikan
seseorang maka minat untuk mendapatkan pengetahuan lebih tinggi, akhirnya pasien berminat
untuk diberikan konseling dan terjaring untuk menjadi responden penelitian ini. Hal ini sesuai
dengan teori bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin baik pula penerimaan
informasi yang diterima tentang gejala dan pengobatan penyakitnya, sehingga akan semakin
tuntas proses pengobatan dan penyembuhannya.
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa informasi tentang nama obat dan fungsi
pengobatan masih perlu ditingkatkan oleh apoteker. Hal ini penting untuk diinformasikan
kepada pasien karena ketika sesorang tidak mengetahui obat yang didapatkan dan fungsi
pengobatannya akan berpengaruh terhadap kepatuhan penggunaan obat, terutama jika obat
yang digunakan tidak dapat memberikan efek secara langsung dan harus digunakan dalam
jangka panjang, akibatnya pasien merasa bahwa obat yang digunakan tidak memberikan efek
apapun. Selain berpengaruh dengan kepatuhan pasien juga akan berpengaruh terhadap
tercapainya tujuan terapi yang diinginkan. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan jika
kebutuhan pasien akan pengobatannya tidak terpenuhi maka dapat menyebabkan timbulnya
drug related problems.

18
2.10.6. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari jurnal tersebut yaitu Dari hasil data kuesioner posttest setelah
dilakukan konseling, didapatkan peningkatan dalam memahami obat yang dikonsumsi, alasan
menggunakan obat tersebut, waktu minum obat dan cara penggunaan obat. Akan tetapi, untuk
nama obat, sifat dari penyakit dan efek samping obat, para responden tidak begitu memahami
dikarenakan istilah dan latar belakang pendidikan bukan sebagai tenaga kesehatan karena itu
lebih susah dipahami oleh pasien khususnya pasien geriatri.

19
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
3.1.1. Konseling pasien dapat didefinisikan sebagai penyedia informasi, saran atau nasehat
tentang obat baik dalam bentuk lisan atau tertulis kepada pasien atau yang mewakili
mengenai efek samping, penyimpanan, dan informasi lainnya. Konseling tidak hanya
meningkatkan kepatuhan, tetapi juga mengurangi komplikasi sebagai hasil dari ketidaktaatan
terhadap pengobatan.
3.1.2. Tujuan dari kegiatan konseling dapat berupa tujuan umum dan tujuan khusus dimana
tujuan umum antara lain untuk meningkatkan keberhasilan terapi serta mengurangi
kemungkin efek yang tidak diharapkan, sedangkan tujuan khusus antara lain Meningkatkan
kepercayaan pasien terhadap apoteker serta Membimbing dan mendidik pasien dalam
menggunakan obat sehingga dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu
pengobatan pasien. Manfaat dari kegiatan konseling dapat berupa manfaat bagi pasien dan
manfaat bagi apoteker dimana manfaat bagi pasien antara lain dapat menjamin efektivitas
dan pengobatan serta mengurangi kesalahan dalam penggunaan obat, sedangkan manfaat
bagi apoteker antara lain Menjaga citra profesi sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan.
3.1.3. Prinsip dasar konseling adalah terjadinya kemitraan atau korelasi antara pasien dengan
apoteker sehingga terjadi perubahan perilaku pasien secara sukarela.
3.1.4. Seorang farmasis saat melakukan kegiatan konseling harus memperhatikan beberapa cara
untuk meningkatkan kualitas konseling yang diberikan, antara lain Menggunakan pesan
secara non verbal, Percaya diri, Belajar terus menerus, Dapat meyakinkan, Dapat membujuk,
Tegas, dan Mengikuti teknologi baru.
3.1.5. Pemberian konseling ditujukan baik untuk pasien rawat jalan maupun pasien rawat inap.
Konseling dapat diberikan kepada pasien langsung atau melalui perantara. Perantara yang
dimaksud disini adalah keluarga pasien, pendamping pasien, perawat pasien, atau siapa saja
yang bertanggung jawab dalam perawatan pasien. Pemberian konseling melalui perantara
diberikan jika pasien tidak mampu mengenali obat-obatan dan terapinya, pasien pediatrik,
serta pasien geriatric.

20
3.1.6. Adapun aspek yang harus disampaikan dalam memberikan konseling, antara lain
Deskripsi dan kekuatan obat, Jadwal dan cara penggunaan obat, Mekanisme kerja obat,
Dampak gaya hidup terhadap pengobatan, Penyimpanan obat, serta Efek potensial obat yang
tidak diinginkan.
3.1.7. Ketidakpatuhan dalam minum obat merupakan masalah utama dalam kegiatan konseling,
dimana pasien yang telah diberikan pengobatan tidak patuh terhadap aturan minum obat yang
telah diberikan. Adapun penyebab dari ketidakpatuhan tersebut dapat diakibatkan oleh
beberapa faktor salah satunya yaitu dimana pasien diharuskan mengonsumsi obat dalam
jangka waktu lama atau bahkan seumur hidup maka besar kemungkinan pasien lama
kelamaan akan tidak patuh terhadap pengobatannya.
3.1.8. Dalam melaksanakan kegiatan konseling dibutuhkan beberapa sarana untuk menunjang
kegiatan. Sarana yang dibutuhkan tergantung dari jumlah pelayanan, kapasitas kegiatan, dan
target yang ingin dicapai. Adapun sarana penunjang kegiatan konseling terdiri dari Ruang
atau tempat konseling, Perlengkapan konseling, dan Alat bantu konseling.
3.1.9. Adapun tahapan utama dalam melakukan konseling kepada pasien yaitu Pembukaan,
Diskusi untuk mengumpulan informasi dan identifikasi masalah, Diskusi untuk mencegah
atau memecahkan masalah dan mempelajarinya, Memastikan pasien telah memahami
informasi yang diperoleh, Menutup diskusi, dan Melakukan follow up diskusi.
3.1.10. Berdasarkan contoh kasus pada jurnal dapat disimpulkan bahwa konseling apoteker
sangat diperlukan untuk pasien khususnya pasien geriatri.

3.2. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari kata
sempurna. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber
yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran
mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan diatas.

21
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. (2007). Pedoman Konseling Pelayanan
Kefarmasian di Sarana Kesehatan. Departemen Kesehatan RI : Jakarta.

Hariko, R. (2017). Landasan Filosofis Keterampilan Komunikasi Konseling. Jurnal Kajian


Bimbingan Dan Konseling, 2(2), 41–49.

Jayanti, M. (2022). Konseling Farmasi. Penerbit Lakeisha : Semarang.

Rikomah, S. E. (2018). Farmasi Klinik. Deepublish : Yogyakarta.

22

Anda mungkin juga menyukai