Anda di halaman 1dari 21

BAB 6

PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN PESERTA DIDIK


A. Program Kegiatan
Program kegiatan pembinaan karakter peserta didik, dapat menjadi sebab atau akibat dari
penciptaan suasana sekolah yang kondusif. Pembiasaan berkarakter luhur, misalnya saling
bertegur sapa antarwarga sekolah, menyebabkan adanya suasana sekolah yang menyenangkan
sehingga berakibat terciptanya suasana sekolah yang kondusif bagi pengembangan kegiatan
pembiasaan akhlak mulia.
Program pengembangan kegiatan pembinaan suasana sekolah yang kondusif dan kegiatan
pendidikan karakter perlu direncanakan, dikoordinasikan dan dilaksanakan secara serentak oleh
semua warga sekolah tanpa kecuali. Program kegiatan sekolah yang dilakukan bagi
pengembangan suasana sekolah yang kondusif dan pembinaan karakter peserta didik antara lain
menata lingkungan sekolah secara baik dan teratur seperti taman dan kebun sekolah, halaman
tempat bermain, tempat istirahat, pepohonan serta bangunan fisik sekolah. Program harus
dilakukan dan memberikan tanggung jawab kepada peserta didik secara kelompok dan diatur
secara bergantian.
1. Membiasakan untuk bersikap dan berperilaku yang sesuai dengan ajaran karakter luhur
seperti mendoakan orang lain yang sedang mendapat musibah sakit agar segera sembuh,
bersikap sopan dan santun serta rendah hati, saling menghormati dan sebagainya. Hal ini
dilakukan sejak anak masuk sekolah di kelas satu, sehingga karakter luhur ini menjadi
karakter di sekolah.
2. Melaksanakan ibadah keagamaan seperti sholat wajib berjamaah, sholat Jumat bagi peserta
didik yang beragama Islam dan kebaktian. Atau sembahyang bagi pemeluk agama lain untuk
meningkatkan disiplin. Beribadah.
3. Melaksanakan kegiatan untuk memperingati hari-hari besar keagamaan untuk meningkatkan
wawasan peserta didik tentang sejarah, nilai dan norma agama yang dianutnya, yang
berkembang di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
4. Melaksanakan lomba kesenian seperti drama, lomba karya tulis di lingkungan sekolah atau
antar sekolah tentang pentingnya karakter luhur. Hal ini untuk memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk berpikir, berprestasi dan memberikan gagasan-gagasan baru
tentang pentingnya aspek karakter dalam pembangunan bangsa dan negara.
5. Menumbuhkembangkan sikap percaya diri demi berkembangnyaKemandirian, kreativitas
peserta didik dalam belajar di rumah, di sekolah atau dalam masyarakat.
6. Membina para guru dan tenaga kependidikan lainnya tentang program pengembangan
pembiasaan karakter oleh kepala sekolah atauPengawas.
7. Mengundang nara sumber, tokoh agama, pakar PPKn, pakar karakter untuk memberikan
materi tentang karakter luhur yang dapat memberi- kan wawasan kepada peserta didik dan
warga sekolah lainnya.
Semua program kegiatan hendaknya peserta didik sebagai pusat dan pemeran utama.
Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan agar diorganisir oleh peserta didik dengan bimbingan
kepala sekolah, guru agama, guru PPKn, dan guru mata pelajaran lainnya. Apabila peserta didik
yang mengorganisir kegiatan, maka peserta didik akan mendapat pengalaman langsung, sehingga
kegiatan tersebut melatih peserta didik untuk memahami, menghayati dan bertanggung jawab
sepenuhnya terhadap apa yang dilakukan.
B. Koordinasi Pelaksanaan
Upaya penciptaan suasana sekolah yang kondusif bagi pembinaan karakter peserta didik,
bukan otomatis berhasil meskipun faktor utama dan faktor penunjang dipenuhi. Upaya ini
merupakan proses bertahap yang dilakukan secara berkelanjutan melalui program pembinaan dan
pengembangan Dalam program ini yang perlu mendapatkan perhatian adalah koordinasi
pelaksanaan, pemantauan, dan pengawasan serta evaluasi pelaksanaan. Untuk mewujudkan
suasana sekolah yang kondusif bagi proses pembinaan karakter peserta didik perlu diadakan
kegiatan koordinasi, antara lain:
1. Koordinasi antara kepala sekolah, guru Agama, guru PPKn, guru Bahasa Indonesia dan guru
mata pelajaran lainnya, dan tenaga kependidikan lainnya untuk memantapkan penyusunan
dan pelaksanaan program kegiatan. Semua unsur pembina sekolah harus dipadukan dan
mema- hami serta berupaya mencapai hasil yang telah ditetapkan.
2. Koordinasi antara pembina ekstrakurikuler (PMR, OSIS, Pramuka, UKS) dengan peserta
didik agar mempunyai rasa memiliki pada diri peserta didik sebagai pemeran utama dalam
menciptakan suasana sekolah yang kondusif.
3. Koordinasi antara sekolah dengan Komite Sekolah atau orang tua adalah memotivasi anak-
anaknya untuk secara aktif berperan serta dalam pro- gram kegiatan sekolah dengan harapan
dapat menerapkan di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitarnya.
4. Koordinasi antara sekolah dengan tokoh dan warga masyarakat di sekitar sekolah untuk
berperan serta dalam menciptakan suasana sekolah yang kondusif yaitu sekolah yang bebas
dari peredaran narkoba, tindak kejahatan dan bentuk kriminal lainnya.
C. Pemantauan dan Penilaian
Untuk mengetahui perkembangan program penciptaan suasana sekolah yang kondusif bagi
pembinaan karakter peserta didik, perlu dilakukan pemantauan dan pengawasan yang dilakukan
secara teratur dan berkala. Hal-hal yang perlu dipantau dan dinilai antara lain peraturan sekolah,
ketenagaan, sarana dan prasarana. Sedang program kegiatannya yang dinilai sebagai berikut.
Tingkat kepatuhan dan ketaatan terhadap tata tertib sekolah yang telah dibuat dan
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah sebagai penunjang terciptanya suasana
sekolah yang kondusif. Peraturan sekolah tersebut diteliti atau diidentifikasi peraturan mana yang
dapat dilaksanakan, dan mana yang tidak dapat dilaksanakan.
Keterlibatan semua warga sekolah baik kepala sekolah, para guru, tenaga kependidikan dan
peserta didik dalam pelaksanaan program dan seberapa besar kontribusi masing-masing warga
sekolah untuk mensukseskan program kegiatan sekolah. Bagaimana peran serta Komite Sekolah
atau orangtua dan masyarakat lainnya juga perlu mendapat perhatian.
Kesesuaian fungsi dan efektivitas sarana dan prasarana yang digunakan untuk mencapai
tujuan. Sarana dan prasarana mana yang perlu ditingkatkan fungsinya, sarana dan prasarana
mana yang paling efektif dan mana yang kurang efektif untuk digunakan.
Kesesuaian program dengan pelaksanaannya. Apabila kurang sesuai, maka dicari faktor-
faktor apa yang mempengaruhi terhadap kinerja program yang direncanakan dan mencari solusi
yang harus dilakukan agar program sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, kemudian mencari
langkah apa untuk mengembangkan program tersebut untuk masa yang akan datang.
Dengan diadakan pemantauan dan penilaian, maka sekolah akan mengetahui apa yang harus
dilakukan untuk meperbaiki program dan pelaksanaan serta pengembangan lebih lanjut.
D. Indikator Keberhasilan
Pada tingkat sekolah, indikator keberhasilan pelaksanaan penciptaan suasana sekolah yang
kondusif melalui penanaman nilai-nilai karakter luhur bagi peserta didik, berhasil-tidaknya dapat
dilihat berdasarkan indikator- indikator sebagai berikut:
1. Tingkat pengamalan ibadah keagamaan misalnya bagi mereka yang beragama Islam dapat
dilihat dari pengamalan ibadah wajib dan sunat seperti sholat, puasa dan peran serta dalam
zakat, infak, shadaqah olehpeserta didik, kepala sekolah, guru dan warga sekolah lainnya.
2. Tingkat keimanan, kebersihan, ketertiban, dan keindahan lingkungan sekolah yang diukur
dari persepsi peserta didik, orangtua dan masya- rakat sekitar.
3. Tingkat penurunan frekuensi dan intensitas kenakalan peserta didik baik di sekolah maupun
di luar sekolah.
4. Tingkat peran serta peserta didik, pembina sekolah dan masyarakat sekitar dalam program
kegiatan sekolah.
5. Tingkat pengetahuan, pemahaman dan pengalaman peserta didik terhadap nilai-nilai dan
norma ajaran karakter yang dapat diukur melaluinilai pendidikan agama, PPKn dan mata
pelajaran lainnya.

Di samping itu, keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui terutama melalui
pencapaian butir-butir Standar Kompetensi Lulusan oleh peserta didik yang meliputi sebagai
berikut:
1. Mengamalkan ajaran agama yang dianutnya serta sesuai dengan tahap perkembangan bagi
(anak dan remaja);
2. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri
3. Menunjukkan sikap percaya diri:
4. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yanglebih luas
5. Menghargai keberagaman agama, karakter, suku, ras, dan golongansosial ekonomi dalam
lingkup nasional;
6. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber- sumber lain secara
logis, kritis, dan kreatif;
7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
8. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensiyang dimilikinya,
9. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-
hari;
10. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial
11. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab,
12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara demi terwujudnya persatuan dalam NegaraKesatuan Republik Indonesia;
13. Menghargai karya seni dan karakter nasional;
14. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya:
15. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktuJuang dengan baik;
16. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun:
17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan dimasyarakat: Menghargai
adanya perbedaan pendapat
18. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
19. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, danmenulis dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris sederhana:
20. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah
21. Memiliki jiwa kewirausahaan.
BAB 7
INTEGRASI PELAKSANAAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN
KARAKTER DALAM PROSES PEMBELAJARAN
A. Perancangan
Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam tahap penyusunan rancangan antara lain:
1) Mengidentifikasi jenis-jenis kegiatan di sekolah yang dapat mereali- sasikan pendidikan
karakter, yaitu nilai-nilai/perilaku yang perlu dikuasai, dan direalisasikan peserta didik
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, program pendidikan karakter peserta didik
direalisasikan dalam tiga kelompok kegiatan, yaitu (a) terpadu dengan pembelajaran pada
mata pelajaran; (b) terpadu dengan manajemen sekolah; dan (c) terpadu melalui kegiatan
pembinaan kepesertadidikan.
2) Mengembangkan materi pendidikan karakter untuk setiap jenis kegiatan di sekolah.
3) Mengembangkan rancangan pelaksanaan setiap kegiatan di sekolah (tujuan, materi,
fasilitas, jadwal, pengajar/fasilitator, pendekatan pelaksanaan, evaluasi).
4) Menyiapkan fasilitas pendukung pelaksanaan program pendidikan karakter di sekolah.
Perencanaan kegiatan program pendidikan karakter di sekolah mengacu pada jenis-jenis
kegiatan, yang setidaknya memuat unsur-unsur: Tujuan, Sasaran kegiatan, Substansi
kegiatan, Pelaksana kegiatan dan pihak- pihak yang terkait, Mekanisme Pelaksanaan,
Keorganisasian, Waktu dan Tempat, serta fasilitas pendukung.
B. Implementasi
1. Pembentukan karakter yang terpadu dengan pembelajaran pada semua mata pelajaran.
Berbagai hal yang terkait dengan karakter (nilai-nilai, norma, iman dan ketakwaan, dan
lain-lain) diimplementasikan dalam pembelajaran mata pelajaran-mata pelajaran yang
terkait, seperti Agama, PKn, IPS, IPA, Penjas Orkes, dan lain-lainnya. Hal ini dimulai
dengan pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, akhirnya ke
pengamalan nilai secara nyata oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
2. Pembentukan Karakter yang terpadu dengan manajemen sekolah.
Berbagai hal yang terkait dengan karakter (nilai-nilai, norma, iman dan ketakwaan, dan
lain-lain) diimplementasikan dalam aktivitas mana- jemen sekolah, seperti pengelolaan:
peserta didik, regulasi/peraturan sekolah, sumber daya manusia, sarana dan prasarana,
keuangan, perpustakaan, pembelajaran, penilaian, dan informasi, serta pengelolaan
lainnya.
3. Pembentukan karakter yang terpadu dengan Kegiatan pembinaan kepesertadidikan.
Beberapa kegiatan pembinaan kepesertadidikan yang memuat pemben. tukan karakter
antara lain:
a. Olah raga (sepak bola, bola voli, bulu tangkis, tenis meja, dll,
b. Keagamaan (baca tulis Al Qur'an, kajian hadis, ibadah, dll),
c. Seni Karakter (menari, menyanyi, melukis, teater),
d. KIR,
e. Kepramukaan,
f. Latihan Dasar Kepemimpinan Peserta didik (LDKS),
g. Palang Merah Remaja (PMR),
h. Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (PASKIBRAKA),
i. Pameran, Lokakarya,
j. Kesehatan, dan lain-lainnya.
C. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring merupakan serangkaian kegiatan untuk memantau proses pelaksanaan program
pembinaan pendidikan karakter. Fokus kegiatan monitoring adalah pada kesesuaian proses
pelaksanaan program pendidikan karakter berdasarkan tahapan atau prosedur yang telah
ditetapkan. Evaluasi cenderung untuk mengetahui sejauhmana efektivitas program pendidikan
karakter berdasarkan pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Hasil monitoring digunakan
sebagai umpan balik untuk menyempurnakan proses pelaksanaan program pendidikan karakter.
Monitoring dan Evaluasi secara umum bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan
kualitas program pembinaan pendidikan karakter sesuai dengan perencanaan yang telah
ditetapkan. Lebih lanjut secara rinci tujuan monitoring dan evaluasi pembentukan karakter adalah
sebagai berikut:
1. Melakukan pengamatan dan pembimbingan secara langsung keterlaksanaan program
pendidikan karakter di sekolah.
2. Memperoleh gambaran mutu pendidikan karakter di sekolah secara umum.
3. Melihat kendala-kendala yang terjadi dalam pelaksanaan program dan mengidentifikasi
masalah yang ada, dan selanjutnya mencari solusi yang komprehensif agar program
pendidikan karakter dapat tercapai.
4. Mengumpulkan dan menganalisis data yang ditemukan di lapangan untuk menyusun
rekomendasi terkait perbaikan pelaksanaan program pendidikan karakter ke depan,
5. Memberikan masukan kepada pihak yang memerlukan untuk bahan pembinaan dan
peningkatan kualitas program pembentukan karakter.
6. Mengetahui tingkat keberhasilan implementasi program pembinaan. pendidikan karakter
di sekolah.
D. Tindak Lanjut
Hasil monitoring dan evaluasi dari implementasi program pembinaan pendidikan karakter
digunakan sebagai acuan untuk menyempurnakan pro- gram, mencakup penyempurnaan
rancangan, mekanisme pelaksanaan, dukungan fasilitas, sumber daya manusia, dan manajemen
sekolah yang terkait dengan implementasi program.
E. Tahapan Pengembangan Program Pelaksanaan
1. Integrasi Pendidikan Karakter dalam Proses Pembelajaran
Yang dimaksud dengan pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam proses pembelajaran
adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai,
dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui
proses pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata
pelajaran. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadi kan peserta didik
menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang dan dilakukan untuk
menjadikan peserta didik mengenal, menya- dari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai dan
menjadikannya perilaku.
Dalam struktur kurikulum kita, ada dua mata pelajaran yang terkait langsung dengan
pengembanngan karakter dan akhlak mulia, yaitu pendidikan Agama dan PKn. Kedua mata
pelajaran tersebut merupakan mata pelajaran yang secara langsung (eksplisiti mengenalkan
nilai-nilai, dan sampai taraf tertentu menjadikan peserta didik peduli dan menginternalisasi
nilai-nilai. Pada panduan ini, integrasi pendidikan karakter pada mata-mata pelajaran selain
pendidikan Agama dan PKn yang dimaksud lebih pada fasilitasi internalisasi nilai-nilai di
dalam tingkah laku sehari-hari melalui proses pembelajaran dari tahapan perencanaan,
pelaksanaan, dan penilaian. Pengenalan nilai-nilai sebagai pengetahuan melalui bahan-bahan
ajar dapat dilakukan, tetapi bukan merupakan penekanan. Yang ditekankan atau diutamakan
adalah penginternalisasian nilai-nilai melalui kegiatan-kegiatan di dalam proses pembelajaran.
2. Nilai-nilai Karakter untuk Peserta Didik
Pada Bagian I telah disebutkan bahwa telah teridentifikasi 80 butir karakter yang terbagi
menjadi lima kategori. Walaupun idealnya semua nilai tersebut diinternalisasikan pada
peserta didik melalui proses pembelajaran, karena jumlahnya besar, memfasilitasi
internalisasi semua nilai tersebut secara for- mal/eksplisit menjadi sangat berat. Oleh karena
itu, sekolah dapat mengiden- tifikasi nilai-nilai utama sebagai fokus internalisasi. Nilai-nilai
utama sebagai fokus tersebut dapat berupa nilai-nilai yang secara nasional dan/atau universal
(lintas agama/keyakinan dan lintas bangsa/ras/etnis) dianut. Nilai-nilai lainnya dapat
terinternalisasikan secara otomatis sebagai akibat iringan/ikutan dari proses internalisasi
nilai-nilai utama tersebut.
Penekanan internalisasi nilai-nilai utama tertentu pada pendidikan karakter telah
dianut oleh sejumlah negara. Australia, misalnya, melalui Values Education (Pendidikan
Nilai) yang dikembangkannya menekankan pada diperkenalkan, disadari, dan
diinternalisasinya sembilan karakter utama, yaitu:
1. Care and compassion
2. Doing your best
3. Fair go
4. Freedom
5. Honesty and trustworthiness
6. Integrity
7. Respect
8. Responsibility
9. Understanding, tolerance, and inclusion

Berikut merupakan nilai-nilai karakter yang dapat dijadikan sekolah sebagai nilai-nilai
utama yang diambil/disarikan dari butir-butir SKL dan mata pelajaran-mata pelajaran yang
ditargetkan untuk diinternalisasi oleh peserta didik:
1. Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan: Religius.
2. Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri:
a. Jujur
b. Bertanggung jawab
c. Bergaya hidup sehat
d. Disiplin
e. Kerja keras
f. Percaya diri
g. Berjiwa wirausaha
h. Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif
i. Mandiri
j. Ingin tahu
k. Cinta ilmu
3. Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama
a. Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
b. Patuh pada aturan-aturan sosial
c. Menghargai karya dan prestasi orang lain
d. Santun
e. Demokratis
4. Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan: Peduli sosial dan lingkungan.
5. Nilai kebangsaan:
a. Nasionalis
b. Menghargai keberagaman
F. Distribusi Butir-butir Karakter Utama ke dalam Mata Pelajaran
Pada Bagian I disebutkan bahwa ada banyak nilai yang perlu ditanamkan pada peserta didik.
Apabila semua nilai tersebut harus ditanamkan dengan intensitas yang sama pada semua mata
pelajaran, penanaman nilai menjadi sangat berat. Oleh karena itu perlu dipilih sejumlah nilai
utama sebagai pangkal tolak bagi penanaman nilai-nilai lainnya. Selain itu, untuk membantu
fokus penanaman nilai-nilai utama tersebut, nilai-nilai tersebut perlu dipilah- pilah atau
dikelompokkan untuk kemudian diintegrasikan pada matal pelajaran-mata pelajaran yang
paling cocok. Dengan kata lain, tidak setiap mata pelajaran diberi integrasi semua butir nilai
tetapi beberapa nilai utama saja walaupun tidak berarti bahwa nilai-nilai yang lain tersebut
tidak diperkenankan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran tersebut. Dengan demikian,
setiap mata pelajaran memfokuskan pada penanaman nilai-nilai utama tertentu yang paling
dekat dengan karakteristik mata pelajaran yang bersangkutan. Integrasi pendidikan karakter di
dalam proses pembelajaran dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Pada tahap ini silabus, RPP, dan bahan
ajar disusun. Baik silabus, RPP, dan bahan ajar dirancang agar muatan maupun kegiatan
pembelajarannya memfasilitasi/berwawasan pendidikan karakter. Cara yang mudah untuk
membuat silabus, RPP, dan bahan ajar yang berwawasan pendidikan karakter adalah dengan
mengadaptasi silabus, RPP, dan bahan ajar yang telah dibuat/ada dengan
menambahkan/meng- adaptasi kegiatan pembelajaran yang bersifat memfasilitasi dikenalnya
nilai- nilai, disadarinya pentingnya nilai-nilai, dan diinternalisasinya nilai-nilai. Berikut
adalah contoh model silabus, RPP, dan bahan ajar yang telah mengintegrasikan pendidikan
karakter ke dalamnya.
1. Silabus
Silabus dikembangkan dengan rujukan utama Standar Isi (Permen Diknas Nomor 22
Tahun 2006). Silabus memuat SK, KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran,
indikator pencapaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar. Materi pembelajaran,
kegiatan pembelajaran, indikator
pencapaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar yang dirumuskan di dalam
silabus pada dasarnya ditujukan untuk memfasilitasi peserta didik menguasai SK/KD.
Agar juga memfasilitasi terjadinya pembelajaran yang membantu peserta didik
mengembangkan karakter, setidak-tidaknya perlu dilakukan perubahan pada tiga
komponen silabus berikut:
1) Penambahan dan/atau modifikasi kegiatan pembelajaran sehingga ada kegiatan
pembelajaran yang mengembangkan karakter.
2) Penambahan dan/atau modifikasi indikator pencapaian sehingga ada indikator
yang terkait dengan pencapaian peserta didik dalam hal karakter.
3) Penambahan dan/atau modifikasi teknik penilaian sehingga ada teknik penilaian
yang dapat mengembangkan dan/atau mengukur perkembangan karakter.
Penambahan dan/atau adaptasi kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian, dan
teknik penilaian harus memperhatikan kesesuaiannya dengan SK dan KD yang harus dicapai
peserta didik. Kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian, dan teknik penilaian yang
ditambahkan dan/atau hasil modifikasi tersebut harus bersifat lebih memperkuat pencapaian
SK dan KD tetapi sekaligus mengembangkan karakter.
2. RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)
RPP disusun berdasarkan silabus yang telah dikembangkan oleh sekolah. RPP secara
umum tersusun atas SK, KD, tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode
pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian. Seperti yang
terumuskan pada silabus, tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode
pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian yang
dikembangkan di dalam RPP pada dasarnya dipilih untuk menciptakan proses
pembelajaran untuk mencapai SK dan KD. Oleh karena itu, agar RPP memberi petunjuk
pada guru dalam menciptakan pembelajaran yang berwawasan pada pengem- bangan
karakter, RPP tersebut perlu diadaptasi. Seperti pada adaptasi terhadap silabus, adaptasi
yang dimaksud antara lain meliputi:
1) Penambahan dan/atau modifikasi kegiatan pembelajaran sehingga ada kegiatan
pembelajaran yang mengembangkan karakter.
2) Penambahan dan/atau modifikasi indikator pencapaian sehingga ada indikator yang
terkait dengan pencapaian peserta didik dalam hal karakter.
3) Penambahan dan/atau modifikasi teknik penilaian sehingga ada teknik penilaian yang
dapat mengembangkan dan/atau mengukur perkem bangan karakter.
3. Bahan/Buku Ajar
Bahan buku ajar merupakan komponen pembelajaran yang paling berpenga ruh terhadap
apa yang sesungguhnya terjadi pada proses pembelajaran. Banyak guru yang mengajar
dengan semata-mata mengikuti urutan penya- jian dan kegiatan-kegiatan pembelajaran
(task) yang telah dirancang oleh penulis buku ajar, tanpa melakukan adaptasi yang berarti.
Melalui program Buku Sekolah Elektronik atau buku murah, dewasa ini pemerintah telah
membeli hak cipta sejumlah buku ajar dari hampir semua mata pelajaran yang telah
memenuhi kelayakan pemakaian berdasarkan penilaian BSNP dari para penulis/penerbit.
Guru wajib menggunakan buku-buku tersebut dalam proses pembelajaran. Untuk
membantu sekolah mengadakan buku- buku tersebut, pemerintah telah memberikan dana
buku teks kepada sekolah melalui dana BOS.
Walaupun buku-buku tersebut telah memenuhi sejumlah kriteria kelayakan yaitu
kelayakan isi, penyajian, bahasa, dan grafika-bahan- bahan ajar tersebut masih belum
secara memadai mengintegrasikan pendidikan karakter di dalamnya (bahkan isinya
banyak yang kontra produktif). Apabila guru sekedar mengikuti atau melaksanakan
pembelajaran dengan berpatokan pada kegiatan-kegiatan pembelajaran pada buku-buku
tersebut, pendidikan karakter secara memadai belum berjalan. Oleh karena itu, sejalan
dengan apa yang telah dirancang pada silabus dan RPP yang berwawasan pendidikan
karakter, bahan ajar perlu diadaptasi antara işi kandungan kitab suci dan materi ajar.
Adaptasi yang paling mungkin dilaksanakan oleh guru adalah dengan cara menambah
kegiatan pembelajaran yang sekaligus dapat mengembangkan karakter. Cara lainnya
adalah dengan mengadaptasi atau mengubah kegiatan belajar pada buku ajar yang
dipakai.
Sebuah kegiatan belajar (task), baik secara eksplisit atau implisit terbentuk atas enam
komponen. Komponen-komponen yang dimaksud adalah:
1) Tujuan,
2) Input.
3) Aktivitas,
4) Pengaturan (setting),
5) Peran guru,
6) Peran peserta didik.
Dengan demikian, perubahan/adaptasi kegiatan belajar yang dimaksud menyangkut
perubahan pada komponen-komponen tersebut. Implementasi praktis dalam kegiatan
belajar yang potensial dapat mengembangkan karakter peserta didik memenuhi prinsip-
prinsip atau kriteria berikut:
1. Tujuan
Dalam hal tujuan, kegiatan belajar yang menanamkan nilai adalah apabila tujuan
kegiatan tersebut tidak hanya berorientasi pada penge tahuan, tetapi juga sikap. Oleh
karenanya, guru perlu menambah orientasi tujuan setiap atau sejumlah kegiatan belajar
dengan pencapaian sikap atau nilai tertentu, misalnya kejujuran, rasa percaya diri,
kerja keras, saling menghargai, dan sebagainya.
2. Input
Input apat didefinisikan sebagai bahan/rujukan sebagai titik tolak dilaksanakannya
aktivitas belajar oleh peserta didik. Input tersebut dapat berupa teks lisan maupun
tertulis, grafik, diagram, gambar, model, charta, benda sesungguhnya, film, dan
sebagainya. Input yang dapat memperkenalkan nilai-nilai adalah yang tidak hanya
menyajikan materi/ pengetahuan, tetapi yang juga menguraikan nilai-nilai yang terkait
dengan materi/pengetahuan tersebut.
3. Aktivitas
Aktivitas belajar adalah apa yang dilakukan oleh peserta didik dengan input belajar
untuk mencapai tujuan belajar. Aktivitas belajar yang dapat membantu peserta didik
menginternalisasi nilai-nilai adalah aktivitas- aktivitas yang antara lain mendorong
terjadinya autonomous learning dan bersifat learner-centered. Pembelajaran yang
memfasilitasi autono- mous learning dan berpusat pada peserta didik secara otomatis
akan membantu peserta didik memperoleh banyak nilai. Contoh-contoh aktivitas
belajar yang memiliki sifat-sifat demikian antara lain diskusi, eksperimen,
pengamatan/observasi, debat, presentasi oleh peserta didik, dan mengerjakan proyek
4. Pengaturan (Setting)
Pengaturan (setting) pembelajaran berkaitan dengan kapan dan di mana kegiatan
dilaksanakan, berapa lama, apakah secara individu, berpa- sangan, atau dalam
kelompok. Masing-masing setting berimplikasi terhadap nilai-nilai yang terdidik.
Setting waktu penyelesaian tugas yang pendek (sedikit), misalnya akan menjadikan
peserta didik terbiasa kerja dengan cepat sehingga menghargai waktu dengan baik.
Sementara itu kerja kelompok dapat menjadikan peserta didik memperoleh
kemampuan bekerjasama, saling menghargai, dan lain-lain.
5. Peran guru
Peran guru dalam kegiatan belajar pada buku ajar biasanya tidak dinyatakan secara
eksplisit. Pernyataan eksplisit peran guru pada umumnya ditulis pada buku petunjuk
guru. Karena cenderung dinyatakan secara implisit, guru perlu melakukan inferensi
terhadap peran guru pada kebanyakan kegiatan pembelajaran apabila buku guru tidak
tersedia. Peran guru yang memfasilitasi diinternalisasinya nilai-nilai oleh peserta didik
antara lain guru sebagai fasilitator, motivator, partisipan, dan pemberi umpan balik.
Mengutip ajaran Ki Hajar Dewantara, guru yang dengan efektif dan efisien
mengembangkan karakter peserta didik adalah mereka yang ing ngarsa sung tuladha
(di depan guru berperan sebagai teladan/memberi contoh), ing madya mangun karsa
(di tengah- tengah peserta didik guru membangun prakarsa dan bekerjasama dengan
mereka), tut wuri handayani (di belakang, guru memberi daya semangat dan dorongan
bagi peserta didik).
6. Peran peserta didik Seperti halnya dengan peran guru dalam kegiatan belajar pada
buku ajar, peran peserta didik biasanya tidak dinyatakan secara eksplisit juga.
Pernyataan eksplisit peran peserta didik pada umumnya ditulis pada buku petunjuk
guru. Karena cenderung dinyatakan secara implisit, guru perlu melakukan inferensi
terhadap peran peserta didik pada kebanyakan kegiatan pembelajaran.
Agar peserta didik terfasilitasi dalam mengenal, menjadi peduli, dan menginternalisasi
karakter, peserta didik harus diberi peran aktif dalam pembelajaran. Peran-peran tersebut
antara lain sebagai partisipan diskusi, pelaku eksperimen, penyaji hasil-hasil diskusi dan
eksperimen, dan sebagainya.
Bab 8
Kepemimpinan pendidikan dan karakter personal
Ada kecenderungan bahwa dalam pengangkatan atau rotasi kepala sekolah masih bersifat subjektif,
tidak didasarkan pada standar kualitas prestasi yang jelas seperti tingkat pendidikan kepala sekolah,
lamanya menduduki jabatan kepala sekolah atau kemampuan menyelesaikan program kerja (kinerja)
sekolah.
Dengan demikian dapat dimengerti apabila kemampuan kepala sekolah negeri untuk
meningkatkan kualitas kinerja sekolah masih belum optimal. Demikian pula derajat otonomi kepala
sekolah yang pelaksanakan tugas dan fungsinya bersifat perpanjangan tangan tingkat atas. Di
beberapa sekolah negeri kecenderungan tersebut disertai oleh lemahnya pengawasan vertikal terhadap
kualitas kinerja sekolah dan kinerja guru dalam pembelajaran. Kelemahan pengawasan tersebut terkait
dengan ketidak jelasan tolok ukur, dalam arti sekadar memenuhi formalitas sistem pengawasan.
Sejauh ini ini efektivitas kinerja guru dalam pembelajaran masih rendah. Hal ini ditunjukan
antara lain oleh keterlibatan guru yang terlalu intens dalam proses-proses penentuan kebijakan
sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, rapat-rapat dinas, dan kesibukan nonkurikuler lainnya. Dalam
kondisi demikian, guru-guru tidak intensif melaksanakan pembelajaran di kelas tetapi hanya
memberikan tugas-tugas kepada peserta didik tanpa dijelaskan terlebih dahulu. Akibatnya, kualitas
kinerja sekolah tidak memuaskan sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat.
Untuk mengefektifkan kinerja guru dalam pembelajaran dan memper. baiki kualitas kinerja
sekolah, diperlukan gaya kepemimpinan manajerial kepala sekolah yang mampu mengubah perilaku
bawahan dan mengem- bangkan karakter organisasi sekolah yang mendukung efektivitas penca- paian
tujuan pendidikan. Sebagaimana diungkapkan oleh Satori (1999):
"Keberhasilan atau kegagalan suatu sekolah dalam menampilkan kinerjanya secara
memuaskan banyak tergantung pada kualitas karakter kepemimpinan kepala sekolahnya.
Sejauh mana kepala sekolah mampu menampilkan gaya kepemimpinanya yang baik,
berpengaruh langsung terhadap kinerja sekolah. Kinerja sekolah. ditunjukkan oleh iklim
kehidupan sekolah, karakter organisasi sekolah, etos kerja, semangat kerja guru, prestasi
belajar peserta didik, disiplin warga sekolah secara keseluruhan."

Persoalan yang muncul dalam kepemimpinan kepala sekolah saat ini adalah belum adanya
peningkatan profesionalisme kepemimpinan secara dinamis dan terfokus pada kebutuhan
(kemampuan dan keterampilan yang diperoleh masih bersifat alamiah melalui proses pengalaman
manajerial rutin), kurangnya pelatihan-pelatihan khusus tentang pengelolaan sekolah. Padahal
tuntunan dunia pendidikan modern adalah kepemimpinan berwa- wasan manajemen strategik yang
memperhatikan kepuasan pelanggan melalui optimalisasi efektivitas kinerja guru dan manajemen
mulu sesuai perkembangan iptek. Jangan sampai terjadi moralitas/karakter personal Kepala Sekolah
tidak mementingkan kepentingan pengembangan sekolah tetapi cenderung bagaimana mencari
keuntungan pribadi semata.
Sehubungan dengan berbagai kecenderungan sebagaimana dipaparkan di atas, observasi awal
yang penulis lakukan di beberapa propinsi dan kabu- paten; Para Kepala Sekolah tersebut pada
umumnya sedang menghadapi beberapa hal yang penting:
Pertama, mereka harus melakukan perubahan secara fleksibel dalam aspek-aspek: (1) konsep
pengelolaan sekolah yang sentralistik menjadi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS); (2) Kurikulum
1994 menjadi Kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK); (3) perubahan
paradigma pengelolaan pendidikan yang mengharuskan keterlibatan warga sekolah- terutama guru
dalam perencanaan dan pengambilan keputusan di sekolah.
Kedua, dituntut untuk meningkatkan mutu pelayanan pendidikan melalui perbaikan
efektivitas kinerja guru, peningkatan kualitas kinerja sekolah, dan mengotimalkan pemanfaatan
segenap sumber daya pendidikan di sekolah.
Tututan ini tidak lepas dari meningkatnya standar minimal kelulusan Ujan Nasional. Pada tahun
2004/2005 nilai minimal kelulusan adalah 4,26, meningkat menjadi 4,51 pada tahun ajaran
2005/2006. Hal ini memerlukan kerja keras Kepala Sekolah dalam menginspirasi dan memotivasi
guru sebagai ujung tombak proses pembelajaran.
Ketiga, melaksanakan tugas tambahan sebagai ketua komite pem bangunan sarana fisik
sekolah yang dibiyai dari APBN dan APBD I. Pembangunan sarana fisik sekolah tersebut meliputi:
(1) RKB yang dibiayai APBD 1, 31 sekolah Negeri dan Swasta; (2) RKB dari APBN, 17 sekolah
Negeri; (3) USB, 4 sekolah Negeri; (4) rehab berat ringan, 42 sekolah Negeri/ Swasta. (Dinas
Pendidikan Kota Tasikmalaya, Dikmen, 2006).
Latar belakang masalah di atas menjelaskan adanya persoalan yang dihadapi oleh Dinas
Pendidikan sebagai instansi penyelenggara/penentu kebijakan pendidikan dan sekolah sebagai ujung
tombak pelaksanaan kebijakan. Pada saat ini dan yang akan datang, baik penentu maupun pelaksana
kebijakan pendidikan harus berkemampuan merespon perubahan tuntutan masyarakat yang gerah
akan pendidikan yang bermutu tinggi. Salah satu implikasinya adalah peningkatan efektivitas kinerja
kepala sekolah dan kualitas kinerja sekolah.
Dari hasil observasi awal oleh penulis, didapatkan informasi yang mengindikasikan bahwa
kualitas kinerja SD dan SMPN Negeri di beberapa lingkungan Dinas Pendidikan Kota/kabupaten
sejumlah propinsi belum optimal. Dalam dugaan peneliti, hal ini disebabkan antara lain oleh faktor
karakter kepemimpinan kepala sekolah yang tidak kontributif terhadap kualitas manajemen sekolah.
Gaya kepemimpinan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor visi, misi dan strategi kepala sekolah,
kecermatan dan ketepatan pengambilan keputusan, kesiapan melakukan perubahan, motivasi berpres
tasi, kemampuan berkomunikasi, kecerdasan, dan idealisme serta moralitas atau karakter personal.
Ada pun tipologi kepemimpinan manajerial yang secara luas dikenal dewasa ini meliputi: (1)
otokratik; (2) paternalistik; (3) kharismatik; (4) laissez faire, dan (5) demokratik (Siagian, 2003).
Masing-masing tipe pemimpin tersebut memiliki karakteristik tertentu yang membedakan antara satu
dengan (11 persepsi seorang pemimpin tentang peranannya selaku pemimpin; (2) yang lain.
Identifikasi masing-masing tipe pemimpin tersebut berdasarkan: nilai-nilai yang dianut/keimanan
akan keyakinan agamanya: (3) sikap dalam mengemudikan jalannya organisasi; (4) perilaku dalam
memimpin dan (S) gaya kepemimpinan yang dominan.
Pertama, persepsi adalah suatu proses penataan dan penerjemahaan kesan-kesan seseorang
tentang lingkungan di mana ia berada. Persepsi merupakan cara pandang seseorang terhadap
lingkungannya. Kedua, nilai- nilai adalah keyakinan dasar yang terdapat dalam diri seseorang tentang
hal-hal yang sangat mempengaruhi cara bertindak dan perilaku orang yang bersangkutan, nilai
berkaitan dengan pandangan seseorang tentang yang "baik dan yang "buruk", yang "benar dan yang
"salah". Seseorang menganut nilai-nilai tertentu karena apa yang didengar, dilihat dan dipraktikan
oleh berbagai pihak dengan siapa yang bersangkutan berinteraksi sejak kecil, orangtua, guru, dan
teman-temannya.
Ketiga, sikap adalah suatu bentuk pernyataan evaluatif oleh seseorang yang dapat
menyangkut suatu objek, seorang atau sekelompok orang atau suatu peristiwa. Keempat, perilaku
adalah cara seseorang beriteraksi dengan orang lain, dalam hal ini dalam kehidupan organisasional.
Tidak perlu sukar untuk mengetahui apa yang dipandangnya penting dalam kehidupannya dan dari
situ dapat diperkirakan perilakunya dalam memimpin organisasi.
Kelima, gaya kepemimpinan yangberkenaan dengan modalitas kepe- mimpinan. Modalitas
berarti mendalami cara-cara yang disenangi dan digunakan oleh seseorang sebagai wahana untuk
menjalankan kepemim- pinannya. Berikut ini dikemukakan penjelasan mengenai tipe-tipe
kepemimpinan yang dimaksud:
1. Tipe Otokratik
Seorang pemimpin otokratik cenderung menganut nilai organisasional yang berkisar pada
pembenaran segala cara yang ditempuh untuk pencapaian tujuannya. Berdasarkan nilai-nilai
demikian, seorang pemimpin otoriter akan menunjukkan berbagai sikap yang menonjolkan
"keakuannya" antara lain dalam bentuk:
a. Kecenderungan memperlakukan para bawahan sama dengan alat-alat lain dalam organisasi,
seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan martabat mereka.
b. Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelasaian tugas tanpa mengaitkan
pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahan.
c. Pengabaian peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan dengan cara
memberitahukan kepada para bawahan tersebut bahwa ia telah mengambil keputusan tertentu
dan para bawahan itu diharapkan dan bahkan dituntut untuk melaksanakannya saja
Dengan persepsi, nilai-nilai, sikap dan perilaku demikian seorang pemimpin otokratik dalam
praktik akan menggunakan gaya kepe- mimpinan yang: (a) menuntut kataatan penuh dari para
bawahannya; (b) dalam menegakkan disiplin menunjukkan kekakuan; (c) bernada keras dalam
pemberian perintah atau intruksi; (d) menggunakan pendekatan punitif dalam hal terjadinya
penyimpangan oleh bawahan.. Artinya, efektivitas kepemimpinan yang otolratik sangat dikaitkan
dengan kekuasaan untuk mengambil tindakan yang punitif tadi.
2. Tipe Paternalistik
Tipe pemimpin paternalistik banyak terdapat di lingkungan masyarakat yang masih bersifat
tradisional, umumnya di masyarakat yang agraris Popularitas pemimpin paternalistik dicirikan
oleh faktor-faktor seperti: (a) kuatnya ikatan primordial; (b) extended family system; (c)
kehidupan masyarakat yang komunalistik; (d) peranan adat istiadat yang sangat kuat dalam
kehidupan bermasyarakat; dan (e) masih dimungkinkannya hubungan pribadi yang intim antara
seorang anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya
Karakteristik pemimpin paternalistik dapat pula dipahami dengan aspek- aspek persepsi, nilai-
nilai yang dianut, sikap dalam berinteraksi, perilaku dan gaya kepemimpinan yang digunakan.
Persepsi seorang pemimpin peternalistik tentang peranannya dalam kehidupan organisasional
dapat diwarnai oleh harapan para pengikutnya kepadanya.
Bawahan biasanya mengharapkan seorang pemimpin paternalistik mempunyai sifat tidak
mementingkan dari sendiri melainkan membe- rikan perhatian terhadap kepentingan dan
kesejahteran para bawahan- nya. Legitiminasi kepemimpinannya dipandang sebagai hal yang
wajar dan normal, dengan implikasi organisasionalnya seperti kewenangan memerintah dan
mengambil keputusan tanpa harus berkonsultasi dengan para bawahannya. Legitiminasi
kepemimpinannya berarti penerimaan atas peranannya yang dominan dalam kehidupan
organisasional.
Dari segi nilai-nilai organisasional yang dianut, seorang pemimpin paternalistik mengutamakan
kebersamaan. Nilai demikian biasanya terungkap dalam kata-kata seperti "seluruh anggola
organisasi adalah anggota satu keluarga besar". Ada pandangan yang mengatakan bahwa di mata
seorang pemimpin paternalistik para bawahannya belum dewasa dalam cara bertindak dan
berpikir sehingga memerlukan bimbingan dan tuntunan terus menerus.
Sikap tindak-tanduk yang menggambarkan bahwa hanya pemimpin yang bersangkutanlah yang
mengetahui segala sesuatu mengenai seluk beluk kehidupan organisasional. Organisasi yang
dipimpin oleh seorang pemimpin paternalistik, terjadi pemusatan pengambilan keputusan dalam
diri pemimpin yang bersangkutan sedangkan para bawahan tinggal melaksanakannya saja.
Gaya kepemimpinan seorang pemimpin patemalistik lebih bercorak pelindung, bapak dan guru.
Artinya kebersaman bagi para anggota organisasi sedangkan pemimpin yang bersangkutan berada
di atas para anggota tersebut.
3. Tipe Kharismatik
Seorang pemimpin kharismatik adalah seseorang yang dikagumi oleh banyak pengikut meskipun
para pengikut tersebut tidak selalu dapat menjelaskan secara konkret mengapa orang tertentu itu
dikagumi. Para pengikut seorang pemimpin kharismatik tidak mempersoalkan nilai- nilai yang
dianut, sikap dan perilaku serta gaya yang digunakan oleh pemimpin yang diikutinya itu. Bisa saja
sorang pemimpin kharismatik menggunakan gaya yang otokratik atau diktatorial, para
pengikutnya tetap setia kepadanya. Pula seorang pemimpin kharismatik mengguna- kan gaya
yang paternalistik
4. Tipe Laissez Faire
Seorang pemimpin laissez faire melihat peranannya sebagai "polisi lalu lintas". Dengan anggapan
bahwa para anggota organisasi sudah mengetahui dan cukup dewasa untuk taat kepada peraturan
permainan yang berlaku, seorang pemimpin laissez faire cenderung memilih peranan yang pasif
dan membiarkan organisasi berjalan menurut temponya sendiri tanpa banyak mencampuri
bagaimana organisasi harus dijalankan dan digerakan.
Dengan sikap yang permisif, perilaku seorang pemimpin laissez faire cenderung mengarah kepada
tindak-tanduk yang memperlakukan. bawahan sebagai rekan sekerja, hanya saja kehadirannya
sebagai pemimpin diperlakukan sebagai akibat dari adanya struktur dan hirarki organisasi.
Dengan telah mencoba mengidentifikasi karakteristik utama seorang pemimpin laissez faire
ditinjau dari kriteria persepsi, nilai, sikap dan perilaku di atas, mudah menduga bahwa gaya
kepemimpinan yang digunakannya adalah sedemikian rupa sehingga:
a. pendelegasian wewenang terjadi secara ekstensif.
b. pengambilan keputusan diserahkan kepada para petugas opera- sional, kecuali dalam hal-hal
tertentu yang nyata-nyata menuntul keterlibatannya secara langsung.
c. status quo organisasional tidak terganggu.
d. penumbuhan dan pengembangan kemampuan berpikir dan bertindak yang inovatif dan kreatif
diserahkan kepada para anggota organisasi yang bersangkutan sendiri.
e. sepanjang dan selama para anggota organisasi menunjukkan perilaku dan prestasi kerja yang
memadai, intervensi pemimpin dalam perjalanan organisasi berada pada tingkat yang
minimum.
5. Tipe Demokratik
Baik di kalangan ilmuwan maupun di kalangan praktisi terdapat kesepakatan bahwa tipe
pemimpin yang paling ideal dan paling didambakan adalah pemimpin demokratik. Tetapi dengan
berbagai kelemahannya, pemimpin demokratik tetap dipandang sebagai pemimpin terbaik karena
kelebihan-kelebihannya mengalahkan kekurangan-kekurangannya.
Pertama ditinjau dari segi persepsinya tentang kehadiran atau kebera- daanya dan peranannya
selaku pemimpin dalam kehidupan organi- sasional. Pemimpin demokratik biasanya memandang
peranannya selaku koordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi
sehingga bergerak sebagai suatu totalitas. Karena itu pendekatannya dalam menjalankan fungsi-
fungsi kepemimpinannya adalah pendekatan yang holistik dan integralistik.
Seorang pemimpin demokratik menyadari benar-benar bahwa akan timbul kecenderungan di
kalangan para pejabat pemimpin yang lebih rendah dan di kalangan para anggota organisasi untuk
melihat peranan satuan kerja mereka berada sebagai peranan yang lebih penting, paling strategik
dan paling menentukan keberhasilan organisasi mencanai berbagai sasaran organisasional.
Tidak kecil peranan yang dimainkan oleh nilai-nilai yang dianut oleh seorang pemimpin
demokratik dalam peningkatan usahanya menjadi pemimpin yang efektif. Keseluruhan nilai-nilai
yang dianut berangkat dari filsafat hidup yang menjunjung tingkat harkat dan martabat manusia.
Pemimpin demokratik memperlakukan manusia dengan cara yang manu stawi. Satu rumus yang
nampaknya sangat sederhana, akan tetapi sesung guhnya merupakan sumber dari semua persepsi,
sikap, perilaku dan gaya kepemimpinan seseorang. Nilai demikian tidak dimiliki oleh pemimpin
otokratik. Uga tidak selalu dimiliki oleh tipe pemimpin paternalistik. Tidak pula oleh seorang
pemimpin tipe yang kharismatik. Mungkin saja tipe yang laissez faire memilikinya hanya saja nilai-
nilai tersebut tidak selalu dibarengi oleh tindakan yang senada.
A. Kepemimpinan Menurut Teori Sifat
Wahjosumidjo (1987:45) merangkum pendapat yang berbeda-beda mengenai kepemimpinan menurut
teori sifat sebagaimana diperinci berikut ini:
1. Ordway Tead; Ada sepuluh macam sifat atau perangai yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin, yaitu: (a) energik; jasmani dan rohani (physical and nervous energy); (b) kepastian
akan maksud dan arah Tujuan (a sense of purpose and dirfection); (c) antusiasme atau perhatian
yang besar (anthusiasm); (d) ramah-tamah, penuh rasa persahabatan dan ketulusan hati
(friendlieness and effectiveness); (e) integritas atau pribadi yang bulat (interity); (f) kecakapan
teknis (technical mastery); (g) mudah mengambil keputusan (decisioness); (h) cerdas
(intelligence); (i) kecakapan mengajar (teaching skill); dan (j) kesetiaan (faith).
2. John D. Millet membagi empat karakter yang perlu dimiliki oleh setiap pemimpin, yaitu: (a)
kemampuan melihat organisasi sebagai satu keseluruhan (the ability to see an enterprise as a
whole); (b) kemampuan mengambil keputusan-keputusan (the ability to make decisions); (c)
kemampuan melimpahkan atau mendelegasikan wewenang (the abil- ity to delegate authority);
(d) kemampuan menanamkan kesetiaan (the ability to command loyality).
3. Keith Davis di dalam bukunya yang berjudul Human Behavior at Work: Human Relations and
Organizational Behavior, Davis mengemukakan enam macam kelebihan sifat-sifat yang perlu
dimiliki oleh pemimpin.
a. Inteligensia (intellegence). Pada umumnya para pemimpin memiliki kecerdasan yang relatif
lebih tinggi daripada bawahannya.
b. Kematangan dan keluasan pandangan sosial (social maturity and breadth). Para pemimpin
harus lebih matang dan lebih luas dalam hal-hal yang bertalian dengan kemasyarakatan.
Sehingga dengan kematangan tersebut diharapkan mengendalikan keadaan, kerja sama sosial,
serta mempunyai keyakinan dan kepercayaan pada diri sendiri.
c. Mempunyai motivasi dan keinginan berprestasi yang datang dari dalam (inner motivation and
achievement desires). Seorang pemimpin diharapkan harus selalu mempunyai dorongan yang
besar untuk dapat menyelesaikan sesuatu.
d. Mempunyai kemampuan mengadakan hubungan antarmanusia (human relation attitudes).
Seorang pemimpin harus selalu lebih mengetahui terhadap bawahannya, sebab dalam
kehidupan organisasi diperlukan adanya kerjasama atau saling ketergantungan antara
anggota-anggota kelompok.
e. Pemimpin perlu berorientasi kepada bawahan.
f. Bersikap adil dan dapat membedakan kepentingan pribadi serta negara/masyarakat. (Tidak
bersikap korupsi terhadap aset/harta negara)
4. Chester I. Barnard - The Function of The Executive. Ada dua sifat utama yang perlu dimiliki oleh
pemimpin:
a. Sifat-sifat pribadi yang meliputi: fisik, kecakapan (skill, teknologi (technoligy), daya tanggap
(perception), pengetahuan (knowledge), daya ingat (memory), imajinasi (imagination); dan
b. Sifat-sifat pribadi yang mempunyai watak yang lebih subjektif, yaitu keunggulan seorang
pemimpin di dalam: keyakinan (determina- tion), ketekunan (persistence), daya tahan
(endurance), keberanian (courage).
5. Ralph Stogdill. Teori sifat berdasarkan penelitian Stogdill sebenarnya ada dua periode, yaitu tahap
1904-1947 dan 1948-1970. Dalam tahap pertama kepemimpinan ditandai dengan berbagai macam
sifat yang meliputi ciri-ciri: fisik (physycal characteristics), latar belakang sosial (social
background, intelligence dan kemampuan lintelligence and ability), kepribadian (personality),
ciri-ciri yang berorientasi kepada tugas (task related characteristic), ciri-ciri yang berorientasi
kepada kepentingan masyarakat (social characteristic). Masing-masing komponen secara
terperinci meliputi butir-butir sebagai berikut:
a. Physical characteristic (ciri-ciri fisik): activity, energy (aktivitas, kekuatan), age (usia),
appearance, grooming (penampilan, kerapihan), height (tinggi badan), weight (berat badan).
b. Social background (latar belakang sosial: education (pendidikan),
c. social status (status sosial), mobility (mobilitas). c. Intellegence and ability (kecerdasan dan
kecakapan): intellegence judgement, decisiveness (kemampuan menilai, pengambilan
keputusan), knowledge.
d. Personality (kepribadian), adaptability (penyesuaian din), adjusment, normality (penyesuaian
diri, biasa) aggressiveness, assertiveness, alertness (ketekunan), ascendance, dominance
(pengaruh, keunggulan), emotional balance, control (penguasaan emosi, pengendalian),
enthusiasm, extroversion, independence, noncon- formity (kebebasan, ketidakserasian),
objectivity, tough-minded- ness, originality, creativity, personal integrity, ethical conduct,
sesourcefulnes (banyak akal budinya), self confidence, strongth of conviction (kuat
pendirian), tolerance of stress.
e. Task related characteristic (ciri-ciri yang berorientasi kepada tugas): achievement drive,
desire to excel (dorongan berprestasi, unggul), drive for responsibility (dorongan bertanggung
jawab), enterprise, initiative (kepelaporan, inisiatif), persistance againt (tangguh menghadapi
halangan), responsible in pursuit of objectives (bertanggung jawab dalam mencapai tujuan),
task orientation (berorientasi pada tugas).
f. Social characteristic (semangat kerja sama): ability to enlist coop- erative (kesanggupan untuk
memperoleh kerja sama), administra- tive ability, attractiveness (daya tarik), cooperativeness,
nurturance (berjiwa mengasuh), popularity, prestige, sociability, interpersonal skills
(kemampuan bekerja sama, kecakapan saling berhubungan), social participation, tact,
diplomacy.
B. Kepemimpinan, Organisasi dan Kinerja
Usaha-usaha manajemen puncak adalah mentranformasikan atau memper- kuat kembali sebuah
organisasi. Konsekuensi dari tuntutan dan dinamika organisasi adalah bagaimana pemimpin
membangun iklim yang selaras dengan tujuannya.
Organisasi akan mengembangkan karakternya sendiri yang unik dan membedakannya dari
organisasi lainnya. Karakter adalah aset yang tidak nyata (intangible asset pada organisasi dan
cenderung tidak langsung, tetapi mempunyai peranan penting sebagai cara berpikir, menerima
keadaaan dan merasakan sesuatu dalam organisasi. Karakter organisasi menurut Schein (1992:12)
berkenaan dengan nilai-nilai, keyakinan, perilaku, asumsi-asumsi yang dianut bersama oleh
anggota organisasi. Fremont Kast (1996:939), dengan persepektif lain menyatakan bahwa:
"Karakter organisasi mempe ngaruhi perilaku dan sebagai sistem nilai serta kepercayaan yang
dianut bersama, berinteraksi (saling mempengaruhi) dengan anggota organisasi, struktur dan
sistem pengawasan untuk menghasilkan norma norma perilaku."
Robbin (1991:203) berpandangan karakter organisasi terbentuk melalui tiga tahapan proses
yaitu: tahap pertama, bermula dari filosofi yang ditetapkan oleh pendiri organisasi sendiri, tradisi,
kepercayaan dan idiologi. Tahap kedua. adalah proses seleksi anggota organisasi untuk mencari
kesesuaian antara nilai-nilai individu dengan filosoli organisasi. Tahap ketiga adalah proses
sosialisasi sistem nilai kelembagaan ini berjalan dengan baik, maka akan terbentuk karakter
organisasi.
Dinamika organisasi sangat unik setiap unsur saling ketergantungan dan saling berpengaruh.
Salah satu indikasi yang diduga meningkatkan produktivitas dipengaruhi oleh karakter yang
berlaku di dalam maupun luar organisasi,
Klimann (1985:135) menjelaskan karakter jelas mempengaruhi kinerja dan perilaku
organisasi. Pengaruh karakter kerja terhadap organisasi dapat dibedakan atas tiga aspek pengaruh,
yaitu mengarahkan, merambatkan dan menguatkan. Pertama, pengaruh mengarahkan (direction),
berarti karakter akan menyebabkan atau menggerakan organisasi mengikuti suatu arah atau tujuan
tertentu. Karakter akan mempengaruhi perilaku dalam pencapaian tujuan organisasi. Kedua,
pengaruh merambat (pervasiveness), adalah derajat di mana karakter sudah merambat atau
meresap dan menjadi wawasan bersama di antara anggota organisasi, Ketiga, pengaruh
menguatkan (strength, adalah derajat di mana karakter sudah mengakar kuat pada setiap anggota
organisasi. Karakter dilaksanakan tanpa adanya paksaan atau arahan.
C. Penutup
Buku ini dimaksudkan sebagai pegangan bagi setiap warga sekolah dan masyarakat umum dengan
harapan untuk mendukung agar pendidikan karakter dapat terealisasi secara optimal di sekolah.
Harapan ini ditujukan kepada semua warga sekolah yakni kepala sekolah, guru, pegawai tata usaha,
Komite Sekolah, organisasi kepesertadidikan, dan para peserta didik untuk menjalankan peran
masing-masing membantu penerapan pendidikan Karakterdi sekolah. Pembinaan karakter di sekolah
tidak cukup hanya dengan pelajaran di dalam kelas, melainkan harus didukung oleh kegiatan dan
pengawasan di luar kelas. Oleh karena itu, dihimbau kepada setiap warga sekolah untuk membantu
dan memperlancar penerapan pendidikan karakter (akhlak mulia) mereka yang terhebat adalah
sebagai berikut:
1. Kepala Sekolah, untuk memberikan pengawasan secara optimal kepada seluruh warga sekolah
sehubungan dengan perilaku warga di lingkungan sekolah.
2. Guru, untuk memberikan keteladanan dan pengawasan kepada para peserta didik.
3. Pegawai tata usaha sekolah, untuk membantu dari segi administrasi dan ketatalaksanaan sekolah
untuk menerapkan sikap berkarakter yang luhur dalam setiap interaksi.
4. Komite Sekolah, untuk mendukung kegiatan pendidikan karakter di sekolah melalui berbagai
peran yang dapat dilakukan oleh orangtua.
5. Organisasi kepesertadidikan, untuk membina kegiatan dalam peman- tapan pendidikan karakter di
lingkungan sekolah dan di luar sekolah.
6. Peserta didik, untuk menerapkan setiap butir karakter dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan
sekolah dan juga di luar sekolah.

Akhirnya sekali lagi dikemukan bahwa masa depan bangsa Indonesia yang berkarakter luhur,
berkarakter mulia dan bermoral tinggi hanya akan dapat terwujud apabila sekolah sebagai salah satu
lembaga pendidikan bangsa berhasil mengantarkan peserta didiknya menjadi manusia yang
berkarakter mulia dan berbudi luhur pula. Upaya untuk mewujudkan diperlukan kerja keras dan
komitmen yang tinggi yang secara operasional terletak di punkak seluruh pendidik, khususnya di
pundak seluruh guru.

Anda mungkin juga menyukai