Anda di halaman 1dari 63

Laporan Kasus

Skizofrenia

Pembimbing

dr. Meiliana Lindawaty Rambakila, Sp.KJ

Disusun oleh

Elisabeth Elida Elyus Mandalahi

112020031

KEPANITERAAN KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA

1
I. Identitas Pasien
Nama : Tn. P

Tempat & Tanggal Lahir : Jakarta, 16 September


1978

Jenis Kelamin : Laki- laki


Suku Bangsa : Jawa

Agama : Kristen

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Wirausaha

Status Perkawinan : Cerai hidup

Alamat : Jatinegara, Jakarta Timur

II. Riwayat Psikiatrik

Autoanamnesis & alloanamnesis, 18 April 2023 pukul 12.00 WIB di


RSUD Tarakan

A. Keluhan Utama

Pasien sering mendengar bisikan sejak 2 tahun lalu.

B. Riwayat Gangguan Sekarang


Dari autoanamnesa dan alloanamnesa pada tanggal 18 april
2023 Pasien dibawa untuk kontrol oleh keluarga ke poliklinik jiwa
RSUD Tarakan.
Pasien merupakan rujukan dari poliklinik saraf RSUD Tarakan.

2
Saat ini keluhan marah- marah pasien sudah mulai berkurang. Pasien
juga merasa bahwa dirinya sudah mulai mau untuk bersosialisasi dan
mulai mengikuti kegiatan keagamaan. Dirinya mengatakan sudah
tidak pernah kejang lagi, tetapi terkadang pasien bisa melakukan
gerakan diluar kendalinya seperti menyentak. Terkadang pasien masih
merasakan sulit untuk tidur jika tidak diberi obat, akibat dari sering
mendengar bisikan di telinga nya yang menurutnya mengajak dirinya
untuk berbincang.
Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien sering mudah marah
dan menyerang keluarganya tanpa sebab yang jelas, dan terjadi sejak
kecil serta memberat sejak 2 tahun terakhir. Pasien mengatakan saat
SMP pernah mengalami trauma kepala yaitu jatuh mengenai kepala
saat bertengkar dengan temannya sampai pasien pingsan. Menurut
ayah pasien, dirinya tidak ingat apakah pasien sejak kecil sering
kejang atau tidak. Sejak SMP juga pasien sering mengkonsumsi
alkohol dan merokok, Pasien juga diceraikan oleh istrinya karna
pasien mudah marah dan kasar. Sehingga sampai saat ini terkadang
pasien merasa sedih dan murung karena ditinggalkan oleh istrinya.
Pasien juga mengalami masalah ekonomi karena tidak memiliki
pekerjaan yang menetap.
Orang tua pasien mengatakan sekitar 2 tahun lalu pasien pernah
kejang secara tiba- tiba dan dirawat dirumah sakit. Dokter
mengatakan bahwa pasien menderita epilepsi. Namun setelah kejang
itu terjadi, pasien merasa menjadi sering mendengar bisikan yang
hanya dapat di dengar oleh dirinya, serta saat dirinya dirawat dirumah
sakit pasien sering melihat sesuatu seperti manusia tetapi orang lain
tidak bisa melihatnya. Sejak saat itu, keluhan ini berlangsung sampai
sekarang, tetapi berkurang jika pasien meminum obat dari dokter
jiwa. Saat ini pasien juga merasa bahwa terkadang dirinya sering

3
dibicarakan oleh teman- teman gereja nya dan tetangganya tanpa
dapat dibuktikan kebenarannya, sehingga pasien mengasingkan
dirinya dari teman temannya.
C. Riwayat Gangguan Sebelumnya

1. Gangguan Psikiatrik

Sejak SMP pasien mulai merasa menjadi seseorang yang mudah


marah. Pasien sebelumnya tidak pernah berobat mengenai
gangguan jiwa.
2. Riwayat Gangguan Medik
Pasien memiliki riwayat kejang sejak 2 tahun lalu, dan saat SMP
pasien pernah mengalami trauma kepala, yaitu jatuh mengenai
kepala saat bertengkar dengan temannya sampai pasien pingsan.
Pasien pernah dirawat di Rumah Sakit saat pasien kejang 2 tahun
lalu.

3. Riwayat Penggunaan Zat Psikoaktif dan Alkohol

Pasien merokok sejak SMP, ± 1 bungkus sehari, pasien juga


pernah 12021
kali mengkonsumsi alcohol.
2022
4. Riwayat Gangguan Sebelumnya

2023

 Pasien bercerai dengan istri nya


 Pasien tiba tiba mengalami kejang
dan dibawa ke poliklinik saraf
 Keluhan pasien semakin
RSUD Tarakan  Pasien sudah mulai
berkurang
 Dokter mengatakan bahwa pasien aktif mengikuti
 Pasien masih sering
menderita epilepsy kegiatan gereja
merasa curiga dan
 Keluhan pasien semakin mudah marah  Keluhan pasien masih
memburuk seperti mudah marah, dirasakan tetapi sudah
 Keluhan mendengar
mendengar bisikan dan melihat berkurang
bisikan sudah berkurang
sesuatu yang tidak ada
 Dokter saraf menyarankan pasien
agar berobat ke poliklinik jiwa

4
D. Riwayat Kehidupan Pribadi

1. Riwayat Perkembangan Fisik

Pasien lahir secara normal, cukup bulan dalam kondisi


baik ditolong oleh dokter. Saat kecil nutrisi pasien baik, ASI
eksklusif selama 2 tahun. Saat kecil pasien melakukan imunisasi
lengkap. Pertumbuhan sesuai dengan anak seusianya.

2. Riwayat Perkembangan Kepribadian

1. Masa kanak awal (0-3 tahun)


Pasien tinggal di Jakarta bersama kedua orang tua. Pasien
merupakan anak pertama dari 2 bersaudara.
2. Masa kanak pertengahan (3-11 tahun)
Pasien menjelaskan bahwa pada umur ini pasien tumbuh
seperti anak seusianya.
3. Masa kanak akhir (12-18 tahun)
Pasien mulai merasa bahwa dirinya menjadi mudah marah
dan sering melakukan hal yang tidak sewajarnya saat tidur,
seperti loncat dari loteng atau memukul ayahnya secara
tiba- tiba.
4. Masa dewasa
Pasien sekolah sampai lulus SMA, kemudian melanjutkan
pendidikan nya di salah satu universitas di Jakarta. Namun
kuliah nya tidak sampai tamat, karena pasien mempunyai
masalah dengan dekan dan akhirnya pasien dikeluarkan dari
universitas. Pasien juga sering bermasalah dengan teman

5
sebaya nya karena sikap nya yang mudah marah tanpa
sebab.

3. Riwayat Pendidikan
Pasien mulai bersekolah dari TK hingga tamat SMA dan
melanjutkan ke perguruan tinggi namun tidak tamat. Selama
pendidikan berlangsung pasien tidak pernah juara kelas ataupun
mengikuti lomba. Namun pasien tidak berhasil menyelesaikan
pendidikannya dengan baik sampai kuliah.

4. Riwayat Pekerjaan
Pasien bekerja dengan membantu orang tua nya berjualan lauk-
pauk dan kerajinan tangan.

5. Kehidupan Beragama
Pasien beragama Kristen. Pasien menyebutkan bahwa kini
dirinya aktif mengikuti kegiatan gereja.

6. Kehidupan Sosial dan Perkawinan


Pasien sudah menikah, namun bercerai dengan alasan karena
istrinya tidak sanggup menghadapi sikap pasien yang mudah
marah. Pasien menyebutkan bahwa dirinya tidak memiliki
teman dekat dan jarang berkomunikasi dengan tetangga sekitar.
Saat ini ruang lingkup pertemanan pasien hanya di gereja.
Pasien juga merasa bahwa dirinya sering dibicarakan oleh teman
gerejanya, sehingga pasien terkadang menarik diri.

6
E. Riwayat Keluarga
Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pasien
memiliki satu anak perempuan bersama istri nya terdahulu. Saat ini
pasien sudah bercerai dengan istrinya. Pasien tinggal bersama
dengan ayah dan ibu, serta satu anaknya. Adik pasien sudah tidak
tinggal di rumah orangtua karena sudah menikah. Dalam keluarga
pasien tidak ada yang memiliki keluhan sama seperti yang pasien
alami. Ayah pasien merupakan seorang buruh serabutan, dan ibunya
seorang penjual lauk pauk dan kerajinan tangan di pasar. Dikeluarga
pasien tidak ada yang mengalami hal serupa dengan pasien seperti
mudah marah ataupun berperilaku kasar. Di keluarga pasien tidak
ada yang menderita penyakit kejiwaan.

Keterangan:

: Perempuan : Laki- laki

7
: Meninggal : Bercerai

: Pasien

F. Situasi Kehidupan Sosial Sekarang


Pasien sekarang tinggal di rumah kedua orang tuanya
sedangkan adik pasien sudah menikah sehingga sudah tidak tinggal
di rumah. Pasien bekerja serabutan dan pendapatannya tidak
menentu. Pasien bergaul hanya dengan teman- teman di gereja saja.
Pendapatan pasien dirasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
keluarga.

III. Status Mental


A. Deskripsi Umum
1. Penampilan : Saat dilakukan anamnesis,
pasien laki- laki usia 44 tahun
tampak berpakaian rapih dan
duduk di kursi. Hygiene
pasien tampak terawat dan
pasien juga tampak sesuai
usia.
2. Kesadaran
a. Kesadaran sensorium/neurologi : Compos mentis ketika
dilakukan wawancara
b. Kesadaran psikiatri : Terganggu
3. Perilaku dan aktivitas psikomotor
a. Sebelum wawancara : Tenang
b. Saat wawancara : Pasien tampak tenang serta

8
menunjukan sedikit murung
dan ketika menceritakan
mengenai kisahnya, pasien
tampak bersemangat.
c. Sesudah wawancara : Tenang
4. Sikap terhadap pemeriksa : Kooperatif
5. Pembicaraan
a. Cara berbicara : Pasien berbicara dengan
menggunakan Bahasa
Indonesia. Menjawab secara
spontan, bicara tampak
semangat dan volume
pembicaraan juga cukup.
Artikulasi jelas dan tidak
ditemukan adanya hendaya
atau gangguan bicara
b. Gangguan berbicara : Tidak ada

B. Alam Perasaan (Emosi)


1. Suasana perasaan (mood) : Disforik
2. Afek ekspresi afektif : Datar
3. Keserasian : Mood dan afek tampak serasi

C. Gangguan Persepsi
a. Halusinasi : Ada, Halusinasi Auditorik &
visual
(Pasien mendengar ada suara
orang yang suka mengajaknya
berbicara, saat dirinya sedang

9
lelah, dan sering melihat
seseorang yang tidak dilihat
orang lain sejak 2 tahun lalu)
b. Ilusi : Tidak ada
c. Depersonalisasi : Tidak ada
d. Derealisasi : Tidak ada

D. Sensorium dan Kognitif (Fungsi Intelektual)


1. Taraf Pendidikan : Lulusan SMA
2. Pengetahuan umum : Baik
3. Kecerdasan : Cukup
4. Konsentrasi : Cukup
5. Orientasi
a. Waktu : Baik
b. Tempat : Baik
c. Orang : Baik
d. Situasi : Baik
6. Daya ingat
a. Tingkat:
● Jangka panjang : Baik
● Jangka pendek : Baik
● Segera : Baik
b.Gangguan Bahasa : Tidak ada
7. Pikiran abstraktif : Tidak ada
8. Visuospatial : Baik
9. Bakat kreatif : Tidak ada
10. Kemampuan menolong diri sendiri : Mandiri

E. Proses Pikir

10
1. Arus pikir
● Produktivitas : Spontan
● Kontinuitas : Koheren
● Hendaya bahasa : Tidak ada
2. Isi Pikir
● Preokupasi : Tidak ada
● Waham : Tidak ada
● Obsesi : Tidak ada
● Fobia : Tidak ada
● Gagasan rujukan : Tidak ada
● Gagasan pengaruh : Tidak ada

F. Pengendalian Impuls : Terkendali

G. Daya nilai
a. Daya nilai sosial : Baik
b. Uji daya nilai : Baik
c. Daya nilai reliabilitas : Tidak Baik

H. Tilikan : 4 (sadar bahwa sakitnya


disebabkan oleh sesuatu yang
tidak diketahui dalam dirinya)
I. Reliabilitas : Tidak dapat dipercaya

IV. Pemeriksaan Fisik


A. Status Internus
1. Keadaan umum : Tampak sakit ringan
2. Kesadaran : Compos mentis, GCS 15
3. Tensi : 121/79 mmHg

11
4. Nadi : 71x/menit
5. Suhu Badan : 36℃
6. Frekuensi pernapasan : 20x/menit
7. Bentuk tubuh : Normal
8. Sistem kardiovaskular : Baik
9. Sistem respiratorius : Baik
10. Sistem gastro-intestinal : Baik
11. Sistem musculo-skeletal : Baik
12. Sistem urogenital : Baik

B. Status Neurologik
1. Saraf Kranial (I-XII) : Dalam batas normal
2. Gejala rangsang meningeal : Kaku kuduk (-)
3. Mata : Strabismus (-) / (-)
4. Pupil : Isokor, Refleks cahaya (+)/(+)
5. Ophthalmoscopy : Dalam batas normal
6. Motorik : Dalam batas normal
7. Sensibilitas : Dalam batas normal
8. Sistem saraf vegetatif : Dalam batas normal
9. Fungsi luhur : Baik
10. Gangguan khusus : Tidak ada

V. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada

VI. Ikhtisar Penemuan Bermakna


Pasien sering marah – marah dan merusak barang alat-alat di
rumah dan semakin memburuk sejak 2 tahun SMRS, pasien juga sering
menyerang keluarganyan dan sering melihat orang yang menurutnya ada

12
padahal tidak ada. Pasien sering sekali memarahi anggota keluarga di
rumah tanpa sebab yang jelas. Pasien merasa ada suara orang yang
sedang mengajaknya berbicara di dekat telinganya. Suaranya begitu jelas
sekali, terdengar setiap pasein sedang merasa lelah dan tidak minum
obat. Suara tersebut muncul sejak sekitar 2 tahun lalu. Sangat
mengganggu pasien hingga pasien sulit tidur. Terkadang pasien sering
marah akibat kesal dengan suara tersebut.
Memiliki riwayat kejang sejak 2 tahun yang lalu dan dinyatakan
menderita epilepsy oleh dokter saraf RSUD Tarakan. Pasien juga
memiliki riwayat trauma kepala saat kecil. Pasien sering melihat seperti
ada orang lewat, dan hanya pasien yang dapat melihat. Pasien juga
berhenti kuliah karena memiliki masalah dengan dekan di
universitasnya. Pekerjaan pasien tidak tetap, sehingga ekonomi nya tidak
cukup memenuhi kebutuhan. Pasien juga merasa sedih karena diceraikan
oleh istrinya. Pasien sering merasa bahwa dirinya dibicarakan oleh teman
gerejanya sehingga terkadang pasien menarik diri dari kegiatan sosial.
Saat SMP pasien pernah konsumsi alkohol dan merokok.

 Pada status mental ditemukan:


Kesadaran Psikologis : Terganggu
Penampilan Umum : Pasien seorang laki-laki usia 44
tahun, penampilan sesuai dengan
usia, kulit sawo matang. Tampak
tenang namun sedikit murung, ada
kontak mata dengan pemeriksa, dan
tidak tampak curiga. Pakaian
tampak rapi, rambut pendek
berwarna hitam, kebersihan dan
kerapihan cukup.

13
Perilaku dan Aktivitas Motorik : Selama wawancara, pasien duduk
dengan tenang, kontak mata
adekuat.
Pembicaraan : Lancar, spontan, kadang tidak
nyambung, intonasi cukup baik.
Sikap Terhadap Pemeriksa : Kooperatif
Mood : Disforik
Afek : Datar, afek dan mood serasi.
Halusinasi : Auditorik, visual
Depersonalisasi : Tidak ada
Derealisasi : Tidak ada
Waham : Tidak ada
Penilaian realita : Terganggu
Tilikan : Derajat 4

Pada pemeriksaan fisik ditemukan: dalam batas normal.

VII. Formulasi Diagnostik

Aksis I : Berdasarkan data yang didapat melalui anamnesis psikiatri


dan pemeriksaan status mental, pasien tidak mengalami gangguan
kognitif ataupun penurunan kesadaran, tetapi menurut riwayat
penyakit pasien, pasien memiliki penyakit epilepsi, yang mampu
menyebabkan kelainan pada otaknya. Dengan begitu diagnosa F0
belum dapat disingkirkan.

Pasien tidak memiliki riwayat penggunaan zat psikoaktif, namun dahulu


pasien pernah stu kali konsumsi alkohol dengan kadar rendah, sehingga
diagnosa F1 dapat disingkirkan.

14
Pada saat dilakukan anamnesis, pasien memiliki gangguan persepsi,
yakni adanya halusinasi, tetapi tidak ada gangguan mood sehingga F2
belum dapat disingkirkan.

Pada pasien juga tidak didapatkan gangguan suasana perasaan baik


berupa afek yang meningkat, disertai peningkatan dalam jumlah dan
kecepatan aktivitas fisik dan mental. Selain itu, pasien tidak didapatkan
gejala depresi baik gejala utama maupun gejala tambahan. Hal ini dapat
menjadi dasar untuk menyingkirkan diagnosis gangguan suasana
perasaan F3.

 Berdasarkan ikhtisar penemuan bermakna, maka kasus ini dapat


digolongkan kedalam:
Berdasarkan PPDGJ III, kasus ini dapat digolongkan kedalam
Skizofrenia, karena:
A. Terdapatnya halusinasi yang sesuai dengan skizofrenia.
B. Adanya gejala-gejala tersebut berlangsung selama kurun waktu satu
bulan atau lebih.
Adapun untuk tipe skizofrenia, diklasifikasikan dalam
Skizofrenia YTT, hal ini digolongkan berdasarkan
pedoman penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
(PPDGJ III) menggunakan kriteria dua gejala yaitu
halusinasi auditorik dengan onset lebih dari satu
bulan, gejala yang ada hanya memenuhi kriteria
skizofrenia dan tidak memenuhi kriteria skizofrenia
paranoid, hebefrenik, dan katatonik, maupun
skizofrenia tak terinci. Sehingga pada pasien ini
didiagnosis ke dalam Skizofrenia YTT (F20.9)

15
Aksis II : Pada saat ini Axis II tidak memiliki diagnosis
dikarenakan riwayat tumbuh kembang saat masa kanak-kanak
dan remaja baik, serta pasien mampu menyelesaikan pendidikan
sampai tamat SMA. Hal ini menyingkirkan diagnosis retardasi
mental (F.70). Pasien adalah orang yang mudah emosi
sebelum dan sesudah adanya gangguan jiwa. Maka
dapat didiagnosis kedalam Ciri Kepribadian Ambang
(F60.3)

Aksis III : Epilepsi, akibat kejang 2 tahun lalu


Aksis IV :Pasien memiliki serangkaian masalah, yakni masalah
terkait ekonomi, hubungan dengan sosial, serta pasien merasa sedih
karena ditinggalkan oleh istrinya
Aksis V : GAF saat masuk : 60-51 (gejala sedang (moderate)),
disabilitas sedang)
GAF saat ini: 70-61 (beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas
ringan dalam fungsi, secara umum masih baik)

VIII. Evaluasi Multiaksial


Aksis I : F20.9 Skizofrenia YTT (PPDGJ III)
Aksis II : F60.3 Gangguan Kepribadian Ambang
Aksis III : Epilepsi
Aksis IV : Masalah psikososial dan lingkungan
Aksis V : GAF saat masuk : 60-51
GAF saat ini : 70-61

IX. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam

16
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanasionam : dubia ad bonam

X. Daftar Masalah
Biologi : Tidak ada faktor herediter.
Psikologi : Halusinasi auditorik dan visual.
Sosial : Hendaya dalam fungsi sosial.

XI. Terapi
Farmakoterapi:
 R/ Hexymer tab 2 mg
S 2 dd tab 1
 R/ Risperidon tab 2 mg
S 2 dd tab 1
 R/ Lorazepam tab 0.5 mg o.n
S 1 dd tab 1
 R/ Fluoxetin cap 20 mg
S 1 dd cap 1 @0.25mg
Non-farmakoterapi:
 Psikoterapi suportif

XII. Edukasi
 Psikoterapi
 Psikoterapi suportif dengan memberikan pasien kesempatan
untuk menceritakan masalahnya dan meyakinkan pasien bahawa
ia sanggup menghadapi masalah yang ada.
 Memotivasi pasien untuk rajin minum obat secara teratur dan
memberikan dukungan kepada pasien bahawa ia dapat kembali

17
pulang ke rumah apabila menurut dokter yang merawat keadaan
dirinya sudah membaik.
 Memberikan pengetahuan tentang kehidupan beragama,
berkeluarga, dan sosial yang baik.

 Sosioterapi (terapi keluarga)


 Memberi nasehat kepada keluarga pasien agar mengerti keadaan
pasien dan selalu memberi dukungan kepada pasien.
 Mengikutsertakan pasien dalam beberapa kegiatan agar dapat
berinteraksi dengan baik dan pendalaman agama sesuai dengan
kepercayaannya.
 Memberikan kesempatan untuk ibadah rutin
 Mengingatkan keluarga pasien untuk rajin kontrol ke Poli
Psikiatri dan mengambil obat secara teratur setelah selesai rawat
inap dalam program rawat jalan.
 Mengajarkan keterampilan yang sesuai dengan kemampuan dan
pendidikannya.
 Memberikan informasi pentingnya ADL (Activity Daily Living)
dalam kehidupannya sehari-hari dan menyakinkan pasien agar
mau melaksanakan kegiatan tersebut

18
BAB I
PENDAHULUAN

Skizofrenia merupakan gangguan psikotik dengan karakteristik terjadinya


gangguan dalam proses berpikir, persepsi, emosi, bahasa dan perilaku. Pemikiran
penderita skizofrenia tidak memiliki realitas sehingga pemikiran dan perilakunya
cenderung tidak normal. Orang dengan Skizofrenia (ODS) mempunyai kesulitan
dalam menjalankan peran yang penting dalam hidup. Peran tersebut mencakup
kepuasan, stabilitas, hidup mandiri, memiliki hubungan dengan orang lain, terutama
hubungan yang dekat dengan teman dan keluarga. Gejala yang muncul pada orang
dengan skizofrenia berupa halusinasi, ilusi, waham, gangguan proses pikir,
kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh seperti agresivitas atau katatonik.1,2,3
Skizofrenia merupakan kelainan otak yang berjalan kronis, parah, dan
melumpuhkan yang telah mempengaruhi banyak orang sejak dulu. Penyakit ini
telah menjadi masalah kesehatan yang penting, mempengaruhi hampir 1% dari
populasi, biasanya dengan keterlibatan masalah sosial dan ekonomi karena pasien
yang menderita skizofrenia biasanya tidak memiliki pekerjaan dan rumah.4
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering. World
Health Organization (WHO) menyebutkan 7 dari 1000 populasi penduduk dewasa
yang sebagian besar berada dalam rentang usia 15 sampai 35 tahun merupakan
penderita skizofrenia. Hal ini menunjukkan bahwa 24 juta penduduk dunia adalah
penderita skizofrenia.4 Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018
menunjukkan prevalensi skizofrenia di Indonesia sebesar 6,7 per 1000 rumah
tangga. Dari populasi umum dengan prevalensi paling tinggi di Bali mencapai
11,1 per 1000 rumah tangga dan untuk Sumatera Selatan prevalensinya mencapai
8 per 1000 rumah tangga.5
Berdasarkan manifestasi klinisnya skizofrenia dibagi menjadi beberapa
subtipe bergantung pada acuan, berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders IV, Text Revision (DSM-IV-TR) skizofrenia dibagi menjadi

19
skizofrenia paranoid, disorganize, katatonik, undifferentiated dan residual,
sementara berdasarkan International Statistical Classification of Disease and
Related Helath Problem ke-10 (ICD-10), membagi skizofrenia menjadi sembilan
subtipe yaitu skizofrenia paranoid, hebefrenik, katatonik, undiiferentiated, depresi
postskizofrenik, residual, simpleks, skizofrenia lainnya, dan unspecified. Di
Indonesia sendiri pembagian subtipe skizofrenia berdasarkan pada PPDGJ III juga
dibagi menjadi sembilan subtipe yaitu skizofrenia paranoid, hebefrenik, katatonik,
tak terinci (undifferentiated), residual, simpleks, lainnya, depresi pasca-skizofrenia
dan skizofrenia YTT.
Pembahasan mengenai subtipe skizofrenia sangatlah diperlukan karena
beberapa subtipe erat kaitannya dengan perjalanan penyakit serta prognosis
pasien. Pembagian subtipe ini memungkinkan pendekatan psikiatrik yang berbeda
pada masing-masing jenisnya, sehingga memberikan terapi yang lebih efektif dan
efisien bagi pasien itu sendiri.

20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, schizein yang berarti terpisah
atau pecah dan phren yang berarti jiwa. Terjadi pecahnya/ ketidakserasian
antara afek, kognitif, dan perilaku. Dengan demikian, seseorang yang
menderita skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau
keretakkan kepribadian.6
Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan distorsi khas
proses pikir, kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang
dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham yang kadang-kadang
aneh, gangguan persepsi, afek abnormal yang terpadu dengan situasi nyata
atau sebenarnya, dan autisme.6

2.2 Epidemiologi

a. Usia dan Jenis Kelamin

Awitan terjadi lebih dini pada pria dibandingkan wanita.Usia puncak

awitan adalah 10-25 tahun untuk pria dan 25-35 tahun untuk wanita.

Wanita memiliki dua puncak distribusi usia, yaitu kurang lebih 3-

10% wanita mengalami awitan penyakit di usia paruh baya yakni

diatas usia 40 tahun. Pasien yang mengalami pengobatan skizofrenia

hampir 90% berusia antara 15-55 tahun, awitan skizofrenia dibawah

10 tahun dan diatas 60 tahun sangat jarang. Awitan yang terjadi

setelah usia 45 tahun memiliki istilah tersendiri yaitu skizofrenia

21
awitan-lambat. Insidensi pada keduanya seimbang, walaupun pria

cenderung memiliki awitan yang lebih awal daripada wanita dan

derajat penyakit yang lebih parah, (namun ada sebuah systematic

review menunjukkan sebaliknya, yaitu bahwa insidensi pada pria

lebih besar dibandingkan wanita dengan rata-rata rasio pria

dibandingkan wanita 1.4:1. Wanita cenderung memiliki derajat

penyakit yang lebih ringan, gejala negatif yang lebih sedikit dan

hasil akhir yang lebih baik daripada pria, selain itu data juga

menunjukkan bahwa wanita lebih cenderung memiliki kemampuan

fungsi sosial yang lebih baik daripada pria sebelum awitan penyakit.

b. Insidensi

Insidensi adalah perkiraan jumlah kasus awitan-pertama suatu

penyakit dalam populasi tertentu per 1000 orang yang beresiko.

Insidensi skizofrenia diseluruh dunia diperkirakan 0,2 – 0,8% per

tahun. Sedangkan insidensi skizofrenia di Amerika dan Britania

Raya adalah 0,15% per tahun.

c. Prevalensi

Prevalensi adalah perkiraan jumlah kasus per 1000 orang yang

beresiko pada suatu populasi pada waktu tertentu (point prevalence)

atau selama periode tertentu (period prevalence). Prevalensi seumur

hidup pasien skizofrenia sekitar 15-19/1000 penduduk dan

prevalensi pada suatu waktu tertentu berkisar antara 2- 7/1000

22
penduduk. Data Riset kesehatan dasar (2013) menunjukkan bahwa

prevalensi gangguan jiwa berat termasuk Psikosis dan Skizofrenia di

Indonesia adalah 1,7 orang per mil, artinya ada 1-2 penduduk dari

1000 peduduk yang menderita gangguan jiwa berat dan provinsi

D.I.Y merupakan provinsi dengan penderita gangguan jiwa berat

tertinggi di Indonesia dengan angka kejadian 2,7 orang per mil atau

2-3 penduduk per 1000 penduduk.7

d. Komorbiditas Medis

Gangguan medis yang serius lebih umum terjadi pada orang

dengan skizofrenia dan berhubungan dengan peningkatan disabilitas,

berkurangnya kualitas hidup, dan mortalitas dini. Penelitian

menunjukkan hingga 80% dari semua pasien skizofrenia mengamali

penyakit medis yang signifikan pada saat yang bersamaan dan

bahwa hingga 50% kondisi ini mungkin tidak terdiagnosis.

Kondisi medis yang umum terjadi pada pasien skizofrenia

dibandingkan populasi umum meliputi, diabetes, PPOK, HIV/AIDS

dan hepatitis B serta C, selain itu tuberkulosis, epilepsi,

arterioskerosis serta penyakit jantung iskemik juga umum terjadi.

Data prevalensi menunjukkan, orang dengan skizofrenia hampir

75% memiliki kondisi medis penyerta, dan banyak dari mereka

memiliki lebih dari satu gangguan medis.

23
2.3 Etiologi
Skizofrenia didiskusikan sebagai suatu penyakit tunggal namun
dikategorikan diagnostiknya mencakup sekumpulan gangguan, mungkin
dengan kausa yang heterogen, tapi dengan gejala perilaku yang sedikit
banyak serupa. Hingga sekarang belum ditemukan penyebab (etiologi) yang
pasti mengapa seseorang menderita skizofrenia, padahal orang lain tidak.
Ternyata dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan tidak ditemukan
faktor tunggal.
Penyebab skizofrenia pada umumnya sampai sekarang ini belum
diketahui secara pasti. Namun teori telah berkembang seperti model diastesis-
stress dan hipotesis dopamin. Model diastesis-stress merupakan satu model
yang mengintegrasikan faktor biologis, psikososial, dan lingkungan. Model
ini mendalilkan bawa seseorang yang mungkin memiliki kerentanan spesifik
(diastesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang
menimbulkan stress, memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia.
Komponen lingkungan dapat biologis atau psikologis.8
1) Teori Genetik
Genetik menjadi faktor pengaruh yang memiliki angka kemungkinan
yang cukup tinggi. Hasil studi menunjukkan bahwa anak dengan orang
tua penderita skizofrenia memiliki resiko yang lebih tinggi dari pada
anak yang orang tuanya tidak memiliki skizofrenia. Semakin dekat
hubungan biologis maka semakin tinggi pula resiko mengalami
skizofrenia.7
2) Teori Biokimia
Etiologi biokimia skizofrenia belum diketahui secara pasti. Dugaan
paling banyak adalah adanya gangguan neurotransmitter (zat kimia yang
membawa pesan antra sel saraf) dimana aktifitas dopamin sentral
berlebihan. Studi sebelumnya menyebutkan bahwa orang dengan
skizofrenia mengalamiperubahan-perubahan pada reseptor di sel-sel

24
saraf otak (neuro), sistem transmisi sinyal penghantar saraf
(neurotransmitter), interaksi dopamin dan serotonin sehingga
mempengaruhi fungsi kognitif (alam pikir), afektif (alam perasaan) dan
psikomotor (perilaku) yang dapat terlihat dalam bentuk gejala positif dan
negatif.9
3) Teori Perkembangan, teori belajar, teori keluarga.
Teori pengembangan menyebutkan seseorang akan beresiko untuk
mengalami skizofrenia disebabkan oleh kurangnya kasih sayang yang
menyebabkan kurangnya identitas diri, menarik diri dan salah
interpretasi. Teori belajar menunjukkan bahwa seseorang penderita
skizofrenia dimungkinkan disebabkan oleh proses pembelajaran yang
irasional seperti dari emosi kedua orang tua. Sedangkan berdasarkan
teori keluarga ada beberapa aspek yang dapat mempengaruhi diantaranya
yaitu10 :
a) Faktor keluarga
Salah satu faktor keluarga yang berpengaruh adalah pola asuh.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pola asuh keluarga
memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan kepribadian dan
tingkah laku seorang anak. Selain itu tekanan dan stress yang
dialami dalam keluarga juga dapat menyebabkan resiko skizofrenia
b) Faktor emosi yang diekspresikan
Pengekspresian emosi secara berlebih atau kuranglah yang menjadi
risiko dalam keluarga untuk mengalami skizofrenia.

2.4 Patofisologi
Teori tertua yang terkait dengan patofisiologi skizofrenia adalah
hipotesis dopamin, yang mengemukakan bahwa psikosis disebabkan oleh
dopamin berlebihan di otak. Hipotesis ini berasal dari akhir 1950-an setelah
ditemukannya bahwa chlorpromazine, antipsikotik pertama, bertindak

25
sebagai dopaminantagonis postsynaptic. Obat yang menyebabkan
peningkatan dopamin (misalnya, kokain dan amfetamin) meningkatkan gejala
psikotik, dan obat-obatan yang menurunkan dopamin (misalnya, semua
pengobatan antipsikotik saat ini) mengurangi gejala psikotik. Namun, data
selama beberapa dekade terakhir mengungkapkan gambaran yang lebih rumit
dengan daerah otak hiperdopaminergik dan hipodopaminergik pada
skizofrenia. Aktivitas hipodopaminergik yang diamati pada lobus prefrontal
diperkirakan berhubungan dengan gejala negatif utama yang terkait dengan
skizofrenia. Ada juga spekulasi mengenai peran antagonisme reseptor
serotonin dalam khasiat antipsikotik karena banyak antipsikotik generasi
kedua (SGA) aktif pada reseptor serotonin. Pengikatan reseptor serotonin
mungkin penting untuk tindakan obat, boleh jadi dengan memodulasi
aktivitas dopamin di jalur mesokorteks.11
Aktivitas abnormal di situs reseptor dopamin (khusus D2)
diperkirakan terkait dengan gejala skizofrenia. Dopamin adalah modulator
neurotransmiter yang lama dipahami memainkan peran penting dalam
skizofrenia. Empat jalur dopamin utama telah terlibat dalam neurobiologi
skizofrenia dan efek samping obat antipsikotik: (1) mesolimbik, (2)
mesokorteks, (3) nigrostriatal, dan (4) tuberoinfundibular.7

26
Gambar 1. Patofisiologi skizofrenia

1. Jalur mesolimbic
Jalur mesolimbik, yang memanjang dari daerah tegmental ventral
(VTA) ke daerah limbik, dapat berperan dalam gejala positif skizofrenia
dengan adanya kelebihan dopamine (Patel et al, 2014). Jalur mesolimbik
memproyeksikan neuron penghasil dopamin di batang otak ke daerah
limbik otak, terutama pada nucleus accumbens yang memiliki peran
sentral. Hiperaktif jalur dopamin meslimbik dapat mendasari beberapa
gejala positif skizofrenia, dan konsekuensi patofisiologi ini bisa menjadi
arti penting dari kejadian skizofrenia.7
2. Jalur mesokorteks
Jalur mesokorteks memanjang dari VTA ke korteks. Gejala negatif
dan defisit kognitif pada skizofrenia diperkirakan disebabkan oleh kadar
dopamin mesokortikal yang rendah. Jalur mesokorteks juga muncul dari
batang otak namun diproyeksikan ke daerah korteks/ prefrontal korteks.
Gejala negatif dan kognitif skizofrenia mungkin terkait dengan
penurunan aktivitas di jalur mesokorteks, yang dapat menyebabkan
penurunan neurotransmisi dopamin di daerah korteks seperti korteks
prefrontal.7
3. Jalur nigrostriatal
Jalur nigrostriatal berasal dari nigra substantia dan berakhir di inti
kaudatus. Tingkat dopamin rendah dalam jalur ini diperkirakan
mempengaruhi sistem ekstrapiramidal, yang menyebabkan gejala
motoric. Jalur nigrostriatal diproyeksikan dari substantia nigra ke ganglia
basal, dengan efek samping yang dapat mencakup kekakuan dan tardive
dyskinesia.7
4. Jalur tuberoinfundibular

27
Jalur tuberoinfundibular memproyeksikan hipotalamus ke kelenjar
pituitari. Penurunan atau blokade dopamin tuberoinfundibular
menghasilkan tingkat prolaktin yang meningkat dan, akibatnya,
galaktorea, ammenore, dan libido berkurang.7
2.5 Gambaran Klinis

Gambaran klinis skizofrenia terdiri atas 3 gejala, yaitu gejala positif, gejala
negatif, dan gejala kognitif.12
1. Gejala positif merujuk pada gejala yang muncul pada proses mental
abnormal yang dapat berupa tambahan gejala atau penyimpangan dari
fungsi-fungsi normal. Gejala positif terdiri dari fenomena yang tidak
muncul pada individu sehat antara lain yang paling penting, halusinasi
(persepsi yang salah dari berbagai indra) dan delusi/waham
(kepercayaan yang diyakini dengan pasti, memenuhi pikiran pasien,
yang tidak sesuai sosiokultural).
2. Gejala negatif merujuk pada hilang atau berkurangnya fungsi mental
normal. Gejala negatif juga dapat diartikan sebagai hilang atau
berkurangnya beberapa fungsi yang ada pada individu sehat antara lain
penurunan ketertarikan sosial atau personal, anhedonia, penumpulan
atau ketidaksesuaian emosi, dan penurunan aktivitas. Orang dengan
skizofrenia sering memperlihatkan gejala negatif jauh sebelum gejala
positif muncul.
3. Gejala kognitif merujuk kepada minat, perhatian, dan memori
(memori, perhatian, pemecahan maslaah, dan social).

2.6 Penegakan Diagnosis7,12


Pedoman Diagnostik Skizofrenia menurut PPDGJ-III, adalah sebagai berikut:

28
- Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. “thought echo”, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda atau “thought
insertion or withdrawal” yang merupakan isi yang asing dan luar
masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan “thought
broadcasting”, yaitu isi pikiranya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umum mengetahuinya; 
b. “delusion of control”, adalah waham tentang dirinya dikendalikan
oleh suatu kekuatan tertentu dari luar atau “delusion of passivitiy”
merupaka waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap
suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” diartikan secara jelas
merujuk kepergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan,
atau penginderaan khusus), atau “delusional perception”yang
merupakan pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna
sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
c. Halusinasi auditorik yang didefinisikan dalam 3 kondisi dibawah ini:
 Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien, atau
 Mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri
(diantara berbagai suara yang berbicara), atau
 Jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian
tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya
setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya
perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan

29
kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan
cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan dunia lain).
e. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara
jelas:
 Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai
baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk
tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide
berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap
hari selama berminggu minggu atau berbulan-bulan terus menerus;
 Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidak relevan, atau neologisme;
 Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement),
posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea,
negativisme, mutisme, dan stupor;
 Gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang
jarang, dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar,
biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial
dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua
hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi
neuroleptika;
f. Adanya gejala-gejala khas di atas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
(prodromal)
g. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan,
tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude),
dan penarikan diri secara sosial.9

30
Kondisi-kondisi yang memenuhi persyaratan gejala tersebut yang harus ada
secara jelas selama kurun waktu satu bulan atau lebih.

Adapun kriteria diagnosis skizofrenia menurut DSM V adalah :


Diagnosis gangguan skizofrenia ditegakkan saat pasien mengalami 2 gejala
dari gejala 1 sampai 5 dari kriteria A pada tabel (e.g. bicara kacau), kriteria B
mensyaratkan adanya gangguan fungsi, gejala harus bertahan selama minimal
6 bulan, dan diagnosis dari gangguan skizoafektif atau gangguan mood harus
ditepis. Berikut Kriteria Diagnostik Skizofrenia yang lengkap dalam DSM-
V:

1. Karakteristik Gejala

Terdapat 2 atau lebih dari kriteria dibawah ini, masing-masing terjadi


dalam kurun waktu yang signifikan selama 1 bulan (atau kurang bila
telah berhasil diobati). Paling tidak salah satunya harus (1), (2), atau
(3):

a)  Delusi/Waham
b)  Halusinasi
c)  Bicara Kacau (contoh: sering melantur atau inkoherensi)
d)  Perilaku yang sangat kacau atau katatonik
e)  Gejala negatif, (yaitu: ekspresi emosi yang berkurang atau
kehilangan
minat)

2. Disfungsi Sosial/Pekerjaan
Selama kurun waktu yang signifikan sejak awitan gangguan, terdapat
satu atau lebih disfungsi pada area fungsi utama; seperti pekerjaan,
hubungan interpersonal, atau perawatan diri, yang berada jauh di bawah
tingkat yang dicapai sebelum awitan (atau jika awitan pada masa anak-

31
anak atau remaja, ada kegagalan untuk mencapai beberapa tingkat
pencapaian hubungan interpersonal, akademik, atau pekerjaan yang
diharapkan).

3. Durasi
Tanda kontinu gangguan berlangsung selama setidaknya 6 bulan.
Periode 6 bulan ini harus mencakup setidaknya 1 bulan gejala (atau
kurang bila telah berhasil diobati) yang memenuhi kriteria A (gejala
fase aktif) dan dapat mencakup periode gejala prodromal atau residual.
Selama periode gejala prodromal atau residual ini, tanda gangguan
dapat bermanifestasi sebagai gejala negatif saja atau 2 atau lebih gejala
yang terdaftar dalam kriteria A yang muncul dalam bentuk yang lebih
lemah (cth., keyakinan aneh, pengalaan perseptual yang tidak lazim).

4. Eksklusi gangguan mood dan skizoafektif


Gangguan skizoafektif dan gangguan depresif atau bipolar dengan ciri
psikotik telah disingkirkan baik karena
a) Tidak ada episode depresif manik, atau campuran mayor yang
terjadi bersamaan dengan gejala fase aktif, maupun
b) Jika episode mood terjadi selama gejala fase aktif durasi totalnya
relatif singkat dibandingkan durasi periode aktif dan residual.
5. Eksklusi kondisi medis umum/zat
Gangguan tersebut tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat
(contoh: obat yang disalahgunaan, obat medis) atau kondisi medis
umum.
6. Hubungan dengan keterlambatan perkembangan global Jika terdapat
riwayat gangguan autistik atau keterlambatan perkembangan global
lainnya, diagnosis tambahan skizofrenia hanya dibuat bila waham atau
halusinasi yang prominen juga terdapat selama setidaknya satu bulan
(atau kurang bila telah berhasil diobati).10

32
2.7 Perjalanan Penyakit
Skizofrenia biasanya muncul dalam 3 fase yaitu fase prodromal, fase
aktif dan fase residual.

1. Fase Prodromal
DSM-IV-TR mengkarakteristikan fase prodromal sebagai fase
dengan gangguan fungsi yang jelas sebelum fase aktif, yang tidak
diakibatkan gangguan mood atau substansi psikoaktif dan paling
tidak melibatkan 2 tanda dan gejala, antara lain :
1. Isolasi atau penarikan diri dari sosial yang jelas
2. Gangguan dalam fungsi peran sebagai pencari nafkah, pelajar, atau
ibu rumah tangga
3. Kebiasaan aneh yang jelas
4. Gangguan higiene dan rawat diri
5. Afek tumpul atau tidak semestinya
6. Miskin bicara, miskin konten bicara, digresif, vague, overelaborate
atau bicara circumstantial
7. Kepercayaan aneh atau pikiran magis yang mempengaruhi
8. Pengalaman perseptual yang tidak biasa
9. Kurangnya inisatif, keinginan atau energi

Anggota keluarga atau teman pasien mungkin melaporkan


adanya perubahan personalitas. Secara tipikal tersembunyi, fase
ini mungkin dapat bertahan beberapa bulan atau tahun.

2. Fase Aktif
Pasien menunjukkan gejala psikotik yang jelas selama fase
aktif. Evaluasi psikiatrik mungkin akan menemukan delusi,
halusinasi, hilangnya asosiasi, inkoherensi, dan tingkah laku

33
katatonik. Riwayat psikosial pasien mungkin memberitahukan
adanya stressor khusus sebelum onset fase ini.
3. Fase residual
Fase residual mengikuti fase aktif dan muncul ketika paling
tidak 2 gejala disebutkan pada fase prodromal menetap berdasarkan
DSM-IV-TR,. Gejala tersebut bukan merupakan hasil dari gangguan
mood ataupun akibat substansi psikoaktif.
Fase residual menyerupai fase prodromal, kecuali gangguan

yang mempengaruhi dalam afek dan peran fungsional biasanya lebih

parah. Delusi dan halusinasi mungkin tetap ada.

2.8 Jenis-Jenis Skizofrenia


Kraepelin membagi skizofrenia menjadi beberapa jenis. Penderita
digolongkan ke dalam salah satu jenis menurut gejala utama yang terdapat
padanya. Akan tetapi batas-batas golongan-golongan ini tidak jelas, gejala-
gejala dapat berganti-ganti atau mungkin seorang penderita tidak dapat
digolongkan ke dalam salah satu jenis. Pembagiannya sebagai berikut. Gejala
klinis skizofrenia secara umum dan menyeluruh telah diuraikan di muka,
dalam PPDGJ III skizofrenia dibagi lagi dalam 9 tipe atau kelompok yang
mempunyai spesifikasi masing-masing, yang kriterianya di dominasi dengan
hal-hal sebagai berikut :

2.8.1 Skizofrenia Paranoid9


Ini adalah jenis skizofrenia yang paling sering dijumpai di negara
manapun. Gambaran klinis didominasi oleh waham-waham yang secara
relative stabil, seringkali bersifat paranoid, biasanya disertai oleh
halusinasi-halusinasi, terutama halusinasi pendengaran, dan gangguan
gangguan persepsi. Gangguan afektif, dorongan kehendak (volition) dan

34
pembicaraan serta gejala gejala katatonik tidak menonjol.
Beberapa contoh dari gejala-gejala paranoid yang paling umum:
a. waham-waham kejaran, rujukan, merasa dirinya tinggi atau
istimewa, waham waham kejaran, rujukan, merasa dirinya tinggi
atau istimewa, misi khusus, perubahan tubuh atau kecemburuan.
Misi khusus, perubahan tubuh atau kecemburuan.
b. Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa
bunyi pluit (whistling), mendenngung (humming), atau bunyi tawa
(laughing).
c. halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual,
atau lain lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi
jarang menonjol.
Gangguan pikiran mungkin jelas dalam keadaan-keadaan yang
akut, tetapi sekalipun demikian kelainan itu tidak menghambat
diberikan deskripsi secara jelas mengenai waham ada halusinasi
yang bersifat khas. Keadaan efektif biasanya kurang menumpul
dibandingkan jenis jenis schizophrenia lain, tetapi suatu derajat
yang mengenai ketidakserasian (incongruity) umum dijumpai
seperti juga gangguan suasana perasaan (mood) seperti Iritabilitas,
kemarahan yang tiba-tiba, ketakutan dan kecurigaan. Gejala
“negative” seperti pendataran afektif, dan hendaya dalam dorongan
benda sering dijumpai tetapi tidak mendominasi gambar klinisnya.
Jalanan penyakit schizophrenia paranoid dapat terjadi secara
episodik, dengan remisi sebagian atau sempurna, atau bersifat
kronis. Pada kasus kasus yang kronis, gejala yang nyata menetap
selama bertahun-tahun dan sukar untuk membedakan episode-
episode yang terpisah. Konsep cenderung terjadi pada usia yang
lebih tua daripada bentuk bentuk hebefrenik dan katatonik.

35
2.8.2 Skizofrenia Hebefrenik9
Itu bentuk skizofrenia dengan perubahan afektif yang tampak jelas,
dan secara umum juga dijumpai waham dan halusinasi yang bersifat
mengambang serta terputus-putus, perilaku yang tak bertanggung jawab
dan tak dapat di ramalkan, serta umumnya mannerism. Suasana perasaan
(mood) pasien dangkal dan tidak wajar (inappropriate), sering disertai
oleh cekikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied), senyum
sendiri (self-absorbed smiling), atau oleh sikap yang angkuh/agung (lofty
manner); ketawa menyeringai (grimaces), Mannerisme, mengibuli secara
bersendagurau (pranks), keluhan yang hipokondrik, dan ungkapan kata
yang diulang-ulang (reiterated phrases). Proses piker mengalami
disorganisasi dan pembicaraan tak menentu (rambling) serta inkoheren.
Ada kecenderungan untuk tetap menyendiri, dan perilaku tampak hampa
tujuan dan hampa perasaan.
Bentuk skizofrenia ini mulai antara umur 15 dan 25 tahun,
cenderung mempunyai prognosis yang buruk akibat berkembangnya
secara cepat gejala “negatif”, terutama mendatarnya afek dan semakin
berkurangnya dorongan kehendak. Sebagai tambahan gangguan afektif
dan dorongan kehendak, serta gangguan proses berpikir umumnya
menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tapi biasanya tidak
menonjol. Dorongan gairah dan ketegasan hilang serta tujuan
ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas,
yaitu perilaku tanpa tujuan dan tanpa maksud (empty of purpose).
Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap
agama, filsafat dan tema abstrak lainnya makinmempersukar pemahaman
mengenai arus pikiran pasien.

2.8.3 Skizofrenia Katatonik7,12

36
Gangguan psikomotor yang menonjol merupakan gambaran yang
esensial dan dominandan dapat bervariasi antara kondisi ekstrem seperti
hyperkinesis dan stupor, atau antara sifat penurut yang otomatis dan
negativism. Sikap dan posisi tubuh yang dipaksakan dapat dipertahankan
untuk jangka waktu yang lama. Episode kegelihasahan disertai kekerasan
(violent) mungkin merupakan gambaran keadaan ini yang mencolok.
Karena alasana yang kurang dipahami, skizofrenia katatonik
sekarang jarang dijumpai dinegara-negara industry, walaupun dimana-
mana tetap lazim dijumpai. Fenomena katatonik ini dapat berkombinasi
dengan suatu keadaan seperti bermimpi (oneiroid) dengan halusinasi
pemandangan yang jelas. Timbulnya pertama kali antara umur 15-30
tahun, dan biasanya akut serta sering didahului oleh stres emosional.
Mungkin terjadi gaduh-gelisah katatonik atau stupor katatonik. Stupor
katatonik yaitu penderita tidak menunjukkan perhatian sama sekali
terhadap lingkungannya. Gejala paling penting adalah gejala psikomotor
seperti:
1. Mutisme, kadang-kadang dengan mata tertutup
2. Muka tanpa mimik, seperti topeng
3. Stupor, penderita tidak bergerak sama sekali untuk waktu yang
lama, beberapa hari, bahkan kadang sampai beberapa bulan.
4. Bila diganti posisinya penderita menentang: negativisme
5. Makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga berkumpul
dalam mulut dan meleleh keluar, air seni dan feses ditahan
6. Terdapat grimas dan katalepsi Secara tiba-tiba atau pelan-pelan
penderita keluar dari keadaan stupor ini dan mulai berbicara dan
bergerak. Gaduh gelisah katatonik adalah terdapat hiperaktivitas
motorik, tetapi tidak disertai dengan emosi yang semestinya dan
tidak dipengaruhi rangsangan dari luar. Penderita terus berbicara
atau bergerak saja, menunjukan stereotipi, manerisme, grimas dan

37
neologisme, tidak dapat tidur, tidak makan dan minum sehingga
mungkin terjadi dehidrasi atau kolaps dan kadang-kadang kematian
(karena kehabisan tenaga dan terlebih bila terdapat juga penyakit
lain seperti jantung, paru, dan sebagainya)

Menurut PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan


Jiwa III), berikut satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus
mendominasi gambaran klinis skizofrenia katatonik:
a) Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan
dan dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak
berbicara);
b) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan,
yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
c) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil
dan mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau
aneh);
d) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif
terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau
pergerakan kearah yang berlawanan);
e) Rigiditas (mempertahankan posisi tertentu tubuh yang kaku untuk
melawan upaya menggerakkan dirinya);
f) Fleksibilitas cerea/”waxy flexibility” (mempertahankan anggota
gerak dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
g) Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan
secara otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata
serta kalimat-kalimat.

Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manisfestasi perihal

38
gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai
diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain. Penting
untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan bersifat suatu
petunjuk diagnostik untuk skizofrenia. Suatu gejala atau gejala katatonik
dapat juga diprovokasi oleh penyakit otak, gangguan metabolic, atau
alcohol dan obat-obatan serta dapat juga terjadi pada gangguan suasana
perasaan (mood). Termasuk; stupor katatonik, katalepsi skizofrenik,
katatonia skizofrenik, fleksibilitas serea skizofrenik.

Gambar 2. Pasien skizofrenik kronik berdiri dalam posisi kataleptik selama


berjam-jam.8

2.8.4. Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated)


Sering kali pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah
dimasukkan kedalam salah satu tipe. PPDGJ mengklasifikasikan pasien
tersebut sebagai tipe tidak terinci. Kriteria diagnostic menurut PPDGJ III
yaitu:
 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
 Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid,
hebefrenik, atau katatonik.

39
 Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca
skizofrenia.

2.8.5. Depresi Pasca-skizofrenia9,10


Suatu episode depresif yang mungkin berlangsung lama dan timbul
sesudah suatu serangan penyakit skizofrenia. Beberapa gejala skizofrenik
harus tetap ada tetapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya. Gejala-
gejala yang menetap ini dapat “positif” atau “negatif”, walau biasanya yang
terakhir itu lebih sering adalah tidak pasti dan tidak penting untuk diagnosis,
sejauh manakah gejala-gejala depresif itu ditampilkan dengan menghilangnya
gejala-gejala psikotik sebelumnya (lebih mungkin daripada sebagai gejala
yang baru timbul), atau merupakan suatu bagian intrinsik penyakit
skizofrenia, daripada merupakan suatu reaksi psikologis terhadap skizofrenia.

Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :


 Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis
umum skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
 Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya); dan
 Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling
sedikit kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun
waktu paling sedikit 2 minggu.
 Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis
menjadi episode depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas
dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia
yang sesuai.

2.8.6. Skizofrenia Residual


Skizofrenia tipe residual ditandai dengan bukti kontinu adanya

40
gangguan skizofrenia tanpa serangkaian gejala aktif atau gejala yang
memadai untuk memenuhi diagnosis skizofrenia tipe lain. Emosi
menumpul, penarikan sosial, perilaku eksentrik, pemikiran tidak logis,
dan asosiasi longgar ringan, seringkali tampak pada tipe ini. Jika terjadi
waham atau halusinasi, biasanya tidak prominen atau tidak disertai afek
yang kuat.
DSM-V memberikan berbagai perubahan dalam klasifikasi
skizofrenia, salah satunya adalah dihilangkannya subtipe skizofrenia
sebelumnya, hal ini dikarenakan pengklasifikasian subtipe skizofrenia
dalam DSM-IV menunjukkan gambaran buruk dari heterogenitas
skizofrenia, memiliki stabilitas diagnostik yang rendah, tidak
menunjukkan pola yang khas dari respon pengobatan ataupun perjalanan
penyakit secara longitudinal, dan polanya tidak diwariskan, selain itu
subtipe tersebut juga diketahui memiliki reliabilitas yang buruk serta
nilai prognostik yang tidak berarti. Peneliti dan klinisi banyak yang
merasa bahwa kategorisasi tersebut gagal menangkap aspek yang
esensial yang mendasari perbedaan simtom individu, selain itu mereka
juga memperhatikan fakta bahwa kategorisasi subtipe tersebut tidak valid
di dunia nyata seperti yang seharusnya.

2.8.7. Skizofrenia Simpleks


Suatu kelainan yang tidak lazim di mana ada perkembangan yang
bersifat perlahan tetapi progresif mengenai keanehan tingkah laku,
ketidakmampuanuntuk memenuhi tuntunan masyarakat dan penurunan
kinerja secara menyeluruh. Tidak terdapat waham dan halusinasi, serta
gangguan ini bersifat kurang nyata psikotik jika dibandingkan dengan
skizofrenia subtype hebefrenik, paranoid, dan katatonik.
Sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada jenis
simplex adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan

41
proses berpikir biasanya sulit ditemukan. Permulaan gejala mungkin
penderita mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri
dari pergaulan.14,15

Berdasarkan PPDGJ III, maka skizofrenia katatonik dapat didiganosis apabila


terdapat butir-butir berikut :
 Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena
tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan
progresif dari :
o Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului
riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode
psikotik, dandisertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi
yang bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang
mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan
diri secara sosial.
o Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe
skizofrenia lainnya.

2.8.8. Skizofrenia Lainnya 8


 Bouffe Delirante (acute delusional psychosis)
Konsep diagnosis skizofrenia dengan gejala akut yang kurang dari 3
bulan, kriteria diagnosisnya sama dengan DSM-IV-TR. 40% dari
pasien yang didiagnosa dengan bouffe delirante akan progresif dan
akhirnya diklasifikasikan sebagai pasien skizofren
 Oneiroid
Pasien dengan keadaan terperangkap dalam dunia mimpi, biasanya
mengalami disorientasi waktu dan tempat.Istilah oneiroid digunakan
pada pasien yang terperangkap dalam pengalaman halusinasinya dan

42
mengesampingkan keterlibatan dunia nyata.
 Early onset schizophrenia
Skizofrenia yang gejalanya muncul pada usia anak-anak. Perlu
dibedakan dengan retardasi mental dan autisme
 Late onset schizophrenia
Skizofrenia yang terjadi pada usia lanjut (>45 tahun). Lebih sering
terjadi pada wanita dan pasien-pasien dengan gejala paranoid.

2.9 Pemeriksaan Penunjang


Selain wawancara psikiatri yang adekuat, diagnosis skizofrenia juga dapat
dilakukan beberapa pengujian, seperti: 8
1. Uji Neuropsikologis
Pasien skizofrenia biasnaya menunjukkan kinerja buruk pada
serangkaian luas uji neuropsikologis. Pengukuran uji neuropsikolofis,
seperti rangkaian Halsteas-Reitan dan rangkaian Luria-Nebraska, sering
menunjukkan temuan abnormal, seperti disfungsi lobus temporal dan
frontal bilateral, serta asimetri otak.
2. Uji Intelegensi
Pasien skizofrenia cenderung menghasilkan skor uji intelegensi yang
lebih rendah dibandingan pasien nonpsikotik lainnya. Intelegensi
rendah sering terdapat awitan dan intelegensi dapat terus memburuk
seiring perjalanan gangguan.
3. Uji Proyektif dan Kepribadian
Uji proyektif seperti Uji Rorschach dan Uji Apersepsi Tematik dapat
mengindikasi adanya ide bizzare. Untuk uji kepribadian seperti
Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) menunjukkan
hasil abnormal pada skizofrenia.

2.10 Differential Diagnosis 7

43
1. Gangguan psikotik sekunder
Serangkaian besar kondisi medis nonpsiaktrik kita berbagai zat
dapat menginduksi gejala psikosis dan catatonia. Diagnosis yang paling
tepat untuk psikosis atau katanya semacam itu adalah gangguan
psikotik akibat kondisi medis umum, gangguan katatonik akibat kondisi
medis umum atau gangguan psikotik terinduksi zat. Manifestasi
pskiatrik berbagai kondisi medis nonpskiatrik empat muncul pada awal
perjalanan penyakit, seringkali sebelum berkembang nya gejala ini.
Oleh sebab itu, klinis harus mempertimbangkan serangkaian luas
kondisi medis non pskiatrik diagnosis banding psikosis, bahkan pada
keadaan tidak adanya gejala fisik yang nyata. Pasien dengan gangguan
neurologis umumnya lebih memiliki tilikan terhadap penyakit nya dan
lebih menderita akibat gejala pskiatrikdari pada pasien skizofrenia. Ini
dapat membantu klinis membedakan kedua kelompok pasien tersebut.
Saat mengevaluasi pasien yang gejala psikotik, klinis
seyogianya mengikuti pedoman umum untuk mengkaji kondisi non
pskiatrik. Klinis sebaiknya secara agresif mencari suatu kondisi medis
nonpskiatrik yang belum terdiagnosis ketika pasien menjukkan adanya
gejala yang tak lazim atau jarang maupun setiap variasi tingkat
kesadaran. Kedua, klinisi sebaiknya mencoba memperoleh riwayat
keluarga yang lengkap, termasuk riwayat gangguan medis, neuorlogis,
dan pskiatrik. Ketiga, klinisi sebaiknya mempertimbangkan
kemungkinan kondisi medis nonpskiatrik, bahkan pada pasien yang
sebelumnya didiagnosis skizofrenia. Pasien schizophrenia memiliki
kemungkinan yang sama seperti pasien non schizophrenic untuk
mengalami tumorr otak yang menimbulkan gejala psikotik.

2. Berpura-pura (Malingering) dan gangguan buatan


Pada pasien yang meniru gejala schizophrenia namun

44
sebenarnya tidak mengidap gangguan tersebut, berpura-pura atau
gangguan buatan mungkin merupakan diagnosis yang sesuai. Orang
dapat memasukkan gejala skizofrenik dan dimasukkan serta dirawat di
rumah sakit pskiatrik. Kondisi pasien yang sepenuhnya dapat
mengendalikan produksi gejala mereka mungkin memenuhi syarat
untuk didiagnosis berpura-pura; pasien semacam ini biasanya
mempunyai suatu alasan hukum atau finansial yang jelas untuk dapat
dianggap menderita sakit jiwa. Kondisi pasien yang tidak terlalu dapat
mengendalikan pemalsuan mereka akan gejala psikotiknya mungkin
sesuai untuk didiagnosis gangguan buatan. Meski demikian, sejumlah
pasien schizophrenia dapat memasukkan keluhan eksaserbasi gejala
psikotik untuk memperoleh peningkatan keuntungan pendampingan
atau untuk dapat kembali dirawat inap.
3. Gangguan psikotik lain
Gejala psikotik pada skizofrenia dapat identik dengan gangguan
skizofreniform gangguan psikotik singkat, gangguan schizoafektif, dan
gangguan waham. Gangguan skizofreniform berbeda dari schizophrenia
berupa gejala yang berdurasi setidaknya 1 bulan tapi kurang dari 6
bulan. Gangguan psikotik singkat merupakan diagnosis yang sesuai bila
gejala berlangsung setidaknya 1 hari tapi kurang dari 1 bulan dan bila
pasien tidak kembali keadaan fungsi pramorbidnya dalam waktu
tersebut. Suatu sindrom manik atau depresif terjadi bersamaan dengan
gejala utama schizophrenia gangguan schizoafektif adalah diagnosis
yang tepat. Paham non bizzare yang timbul selama sekurangnya 1
bulan tanpa gejala Vania lain atau gangguan mood patut didiagnosis
sebagai gangguan waham.16
4. Gangguan Mood
Diagnosis banding antara skizofrenia dan gangguan mood
mungkin sudah dilakukan namun harus dibuat karena tersedianya

45
pengobatan spesifik dan efektif untuk mania dan depresi. Dibandingkan
durasi gejala primer, gejala efektif atau mood pada schizophrenia
semestinya singkat. Sebelum membuat diagnosis skizofrenia yang
terlalu dini, dan tanpa informasi tambahan selain yang diperoleh dari
satu pemeriksaan status mental saja, tulisi Seyogianya menunda dia
menulis akhir atau sebaiknya mengasumsikan adanya gangguan mood.
Setelah remisi dari suatu episode skizofrenik, beberapa pasien
mengalami depresi sekunder atau pascapsikotik. Pengobatan dengan
inhibitor selektif ambilan kembali serotonin (selective serotonin
reuptake inhibitor, SSRI) atau Antidepresan trisiklik diindikasikan pada
situasi tersebut.
5. Gangguan kepribadian
Berbagai gangguan kepribadian mungkin memiliki sebagian
gambaran sama dengan skizofrenia. Dengan kepribadian skizotipal,
skizoid, dan ambang adalah gangguan kepribadian dengan gejala yang
paling mirip. Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif yang parah
dapat menyamarkan suatu proses skizoprenik yang mendasari.
Tak seperti skizofrenia, gangguan kepribadian memiliki gejala ringan
dan riwayat terjadi seumur hidup pasien; gangguan ini juga tidak
memiliki tanggal awitan yang dapat diidentifikasi.

2.11 Penatalaksanaan

46
Ada berbagai macam terapi yang bisa kita berikan pada skizofrenia.
Hal ini diberikan dengan kombinasi satu sama lain dan dengan jangka waktu
yang relatif cukup lama. Terapi skizofrenia terdiri dari pemberian obat-
obatan, psikoterapi, dan rehabilitasi. Terapi psikososial pada skizofrenia
meliputi: terapi individu, terapi kelompok, terapi keluarga, rehabilitasi
psikiatri, latihan ketrampilan sosial dan manajemen kasus. 14
WHO merekomendasikan sistem 4 level untuk penanganan masalah
gangguan jiwa, baik berbasis masyarakat maupun pada tatanan kebijakan
seperti puskesmas dan rumah sakit.
1) Level keempat adalah penanganan kesehatan jiwa di keluarga
2) Level ketiga adalah dukungan dan penanganan kesehatan jiwa di
masyarakat
3) Level kedua adalah penanganan kesehatan jiwa melalui puskesmas
4) Level pertama adalah pelayanan kesehatan jiwa komunitas

1. Terapi Farmakologi
a. Antipsikotik Generasi I (APG-1)
Biasa disebut dengan antipsikotik tipikal. Antipsikotik ini
merupakan antipsikotik yang bekerja memblok reseptor dopamin
D2. Antipsikotik ini memblokir sekitar 65% hingga 80% reseptor
D2 di striatum dan saluran dopamin lain di otak. 12
Antipsikotik
generasi pertama efektif dalam menangani gejala positif dan
mengurangi kejadian relaps. Namun antipsikotik ini memiliki efek
yang rendah terhadap gejala negatif. 13
 Jenis-jenis obat APG-1 dan rentang dosisnya: 14
Antipsikotik generasi pertama menimbulkan berbagai efek
samping, termasuk ekstrapiramidal akut, hiperprolaktinemia,
serta tardive dyskinesia. Efek samping tersebut disebabkan
oleh blokade pada jalur nigrostrial dopamine dalam jangka

47
waktu lama.15 Antipsikotik ini memiliki afinitas yang rendah
terhadap reseptor muskarinik M1 Ach, histaminergik H1 dan
norepinefrin a1 yang memicu timbulnya efek samping berupa
penurunan fungsi kognitif dan sedasi secara bersamaan. 16

b. Antipsikotik Generasi II (APG-2)


Biasa disebut dengan antipsikotik atipikal. Antipsikotik
generasi II ini bermanfaat untuk mengontrol gejala positif dan
negatif, karena memiliki afinitas terhadap reseptor serotonin dan
reseptor dopamin.12 Sebagian besar efek samping antipsikotik
generasi kedua ini berupa kenaikan berat badan dan metabolisme
lemak .12
Jenis-jenis obat APG-2 dan rentang dosisnya: 14

c. LAI (Long-acting Injectable)


Selain antipsikotik oral, LAI merupakan treatment utama
dalam terapi skizofrenia. LAI disarankan untuk pasien yang
memiliki tingkat kepatuhan rendah dan menawarkan efek
terapeutik jangka panjang dengan memaksimalkan penghantaran
obat, kontak obat dan jadwal pengobatan. 17 LAI menyebabkan

48
kejadian relaps yang lebih lambat dibandingkan dengan kombinasi
antipsikotik dan kejadian relaps yang lebih cepat jika dibandingkan
dengan psikotik oral. 18
2. Terapi Psikososial
- Pelatihan keterampilan sosial
Pelatihan keterampilan sosial kadang-kadang disebut sebagai
terapi keterampilan perilaku. Terapi ini secara langsung dapat
mendukung dan berguna untuk pasien bersama dengan terapi
farmakologis. Selain gejala yang biasa tampak pada pasien
skizofrenia, beberapa gejala yang paling jelas terlihat melibatkan
hubungan orang tersebut dengan orang lain, termasuk kontak mata
yang buruk, keterlambatan respons yang tidak lazim, ekspresi
wajah yang aneh, kurangnya spontanitas dalam situasi sosial, serta
persepsi yang tidak akurat atau kurangnya persepsi emosi pada
orang lain. Pelatihan keterampilan perilaku diarahkan ke perilaku
ini melalui penggunaan video tape berisi orang lain dan si pasien,
bermain drama dalam terapi, dan tugas pekerjaan rumah untuk
keterampilan khusus yang dipraktekkan. 17
- Terapi kelompok
Terapi kelompok untuk oragn dengan skizofrenia umumnya
berfokus pada rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan
nyata. Kelompok dapat berorientasi perilaku, psikodinamis atau
berorientasi tilikan, atau suportif.
- Terapi perilaku kognitif
Terapi perilaku kognitif telah digunakan pada pasien
skizofrenia untuk memperbaiki distorsi kognitif, mengurangi
distraktibilitas, serta mengoreksi kesalahan daya nilai. Terdapat
laporan adanya waham dan halusinasi yang membaik pada
sejumlah pasien yang menggunakan metode ini. Pasien yang

49
mungkin memperoleh manfaat dari terapi ini umumnya aalah yang
memiliki tilikan terhadap penyakitnya.18
- Psikoterapi individual
Pada psikoterapi pada pasien skizofrenia, amat penting untuk
membangun hubungan terapeutik sehingga pasien merasa aman.
Reliabilitas terapis, jarak emosional antaraterapis dengan pasien,
serta ketulusan terapis sebagaimana yang diartikan oleh pasien,
semuanya mempengaruhi pengalaman terapeutik. Psikoterapi
untuk pasien skizofrenia sebaiknya dipertimbangkan untuk
dilakukan dalamm jangka waktu dekade, dan bukannya beberapa
sesi, bulan, atau bahakan tahun. Beberapa klinisi dan peneliti
menekankan bahwa kemampuan pasien skizofrenia utnuk
membentuk aliansi terapeutik dengan terapis dapat meramalkan
hasil akhir. Pasien skizofrenia yang mampu membentuk aliansi
terapeutik yang baik cenderung bertahan dalam psikoterapi, terapi
patuh pada pengobatan, serta memiliki hasil akhir yang baik pada
evaluasi tindak lanjut 2 tahun. Tipe psikoterapi fleksibel yang
disebut terapi personal merupakan bentuk penanganan individual
untuk pasien skizofrenia yang baru-baru ini terbentuk. Tujuannya
adalah meningkatkan penyesuaian personal dan sosial serta
mencegah terjadinya relaps. Terapi ini merupakan metode pilihan
menggunakan keterampilan sosial dan latihan relaksasi,
psikoedukasi, refleksi diri, kesadaran diri, serta eksplorasi
kerentanan individu terhadap stress. 8,19

2.12 Komplikasi
Beberapa individu yang mengalami skizofrenia dapat terkena stroke dan
mengalami kerusakan otak, yang tidak disadarinya. Kurangnya kesadaran tentang
skizofrenia dan penyakit manik-depresi merupakan keadaan biasa dialami penderita
yang tidak memperhatikan pengobatannya. Terdapat pula komplikasi sosial, dimana

50
penderita dikucilkan oleh masyarakat. Setelah itu dapat juga menjadi korban
kekerasan dan melukai diri sendiri. Pada komplikasi depresi, penderita dapat
melakukan tindakan bunuh diri. Disamping bunuh diri karena depresi dan halusinasi,
penderita skizofrenia yang tadinya tidak merokok, banyak menjadi perokok berat ini
diperkirakan karena faktor obat, yang memblok satu reseptor dalam otak (nikotin).
Reseptor nikotin yang menimbulkan rasa senang, pikiran jernih, mudah menangkap
sesuatu. Akibatnya penderita skizofrenia mencari kompensasi dengan mengambil
nikotin dari luar, dari rokok. Dan resiko dari perokok memperpendek usia, karena
adanya penyakit saluran pernapasan, kanker, jantung, dan penyakit fisik lainnya.
Kemudian, dengan penggunaan antipsikotik, ada tekanan terhadap
hormon estrogen, testosteron, dan hormon-hormon tersebut memproteksi
tulang sehingga dapat terjadi osteoporosis.2

2.13 Prognosis
Sejumlah studi menunjukkan bahwa selama periode 5 sampai 10
tahun setelah rawat inap psikiatrik yang pertama untuk skizofrenia, hanya
sekitar 10-20% persen yang dapat dideskripsikan memiliki hasil akhir yang
baik. Lebih dari 50% pasien dapat digambarkan memiliki hasil akhir yang
buruk, dengan rawat inap berulang, eksaserbasi gejala, episode gangguan
mood mayor, dan percobaan bunuh diri. Namun, skizofrenia tidak selalu
memiliki perjalanan penyakit yang memburuk dan sejumlah faktor
dikaitkan dengan prognosis yang baik. Angka pemulihan yang dilaporkan
berkisar dari 10-60%, dan taksiran yang masuk akal adalah bahwa 20-30%
pasien terus mengalami gejala sedang, dan 40-60% pasien tetap mengalami
hendaya secara signifikan akibat gangguan tersebut selama hidup mereka.8

Borderline Personality Disorder


Definisi BPD
Borderline personality disorder (BPD) adalah penyakit mental
serius yang ditandai dengan pola ketidakstabilan mood yang meresap

51
dalam hubungan interpersonal, citra diri dan afek, serta impulsif yang
nyata. Gangguan kepribadian ambang menyebabkan gangguan dan
penderitaan yang signifikan dan dikaitkan dengan berbagai komorbiditas
medis dan psikiatri. Survei memperkirakan prevalensi gangguan
kepribadian ambang menjadi 1,6% pada populasi umum dan 20% dari
populasi rawat inap psikiatri. Pasien dengan gangguan kepribadian
ambang telah terbukti memanfaatkan sumber daya pengobatan yang luas
dan berada pada peningkatan morbiditas dan mortalitas dibandingkan
dengan populasi umum. Mungkin ini salah satu alasan mengapa
gangguan kepribadian ambang telah dipelajari lebih luas daripada
gangguan kepribadian lainnya.9

Epidemiologi
Prevalensi gangguan kepribadian ambang pada awalnya
diperkirakan antara 1% dan 2% dari populasi umum dan ditemukan tiga
kali lebih sering pada wanita daripada pria. Namun, prevalensi satu kali
dari kondisi yang ditemukan dalam penelitian adalah 5,9% dari populasi
umum, dengan 5,6% pria dan 6,2% wanita. Perkiraan yang lebih mungkin,
dibandingkan dengan data temuan yang berasal dari praktik klinis,
diperkirakan bahwa gangguan kepribadian ambang (dalam ciri-cirinya atau
kondisi morbid kronisnya) berkontribusi lebih dari 20% rawat inap
psikiatri, meskipun banyak dari subjek ini tidak menunjukkan diagnosis
konklusif secara resmi.9

Etiologi
Penyebab gangguan kepribadian borderline adalah multifaktorial.
Dapat disebabkan oleh faktor genetik. Penelitian menunjukkan lebih dari
50% heritabilitas. Penelitian yang dilakukan menunjukkan kesesuain yang
lebih tinggi dari tingkat gangguan kepribadian ambang untuk kembar

52
monozigot dengan dizigotik. Faktor lingkungan yang telah diidentifikasi
berkontribusi terhadap perkembangan gangguan kepribadian ambang
meliputi penganiayaan masa kanak-kanak (fisik, seksual, atau
penelantaran), ditemukan pada 70% orang dengan BPD, serta perpisahan
dengan ibu, hubungan yang buruk dengan ibu, ketidaksesuaian batas-batas
keluarga, dan penyalahgunaan zat. Studi neuroimaging telah
mengidenifikasi perbedaan dalam amigdala, hipokampus, dan lobus
temporal medial pada pasien dengan BPD. Studi neuroimaging juga
menunjukkan bahwa pasien dengan gangguan kepribadian ambang (BPD)
salah mengartikan emosi negatif (takut, marah) ke wajah netral lebih
daripada kontrol atau pasien lain, meskipun memiliki persepsi wajah
bahagia dan kesal yang setara dengan kelompok tersebut. Studi
neurobiologis telah menyarankan bahwa gangguan fungsi neuropeptida,
terutama serotonin, dapat terjadi pada pasien dengan gangguan
kepribadian ambang. Pada pengujian neuropsikologis, sebuah meta-
analisis yang diterbitkan pada tahun 2005 menunjukkan bahwa pasien
dengan gangguan kepribadian ambang memiliki kinerja yang lebih rendah
pada pengujian neurokognitif dalam domain berikut: perhatian,
fleksibilitas kognitif, pembelajaran dan memori, perencanaan, pemrosesan
kecepatan, dan kemampuan visuospatial.9

Patofisiologi
Patofisiologi gangguan kepribadian ambang kemungkinan
merupakan kombinasi dari kecenderungan genetik yang dikombinasikan
dengan faktor lingkungan anak usia dini dan disfungsi neurobiologis.
Pemahaman yang lebih besar tentang neurobiologi dan khususnya
disfungsi neurotransmitter dapat mengarah pada pilihan terapi yang lebih
baik untuk mengobati gangguan kepribadian ambang. Sebuah studi baru-
baru ini yang diterbitkan pada tahun 2015 meneliti peran oksitosin dalam

53
regulasi penghargaan sosial dan jaringan empati sebagai penyebab yang
berkontribusi terhadap gangguan kepribadian ambang dan gangguan
kepribadian lainnya. Secara khusus, disregulasi serotonin yang
mengurangi sensitivitas reseptor 5HT-1A dapat berkontribusi pada
gangguan kepribadian ambang. Peningkatan tingkat gangguan belajar,
gangguan attention-deficit/hyperactivity, dan defisit neuro kognitif, serta
temuan elektroensefalografi yang abnormal, juga telah dilaporkan pada
pasien dengan gangguan kepribadian ambang.9

Gejala Klinis
Secara khusus, deteksi BPD selama masa remaja juga terganggu
oleh fakta bahwa gangguan ini menunjukkan gambaran klinis yang
berbeda pada remaja dan orang dewasa. Faktanya, BPD awitan dini lebih
cenderung muncul dengan gejala gangguan yang lebih eksekutif
(misalnya, perilaku melukai diri sendiri dan bunuh diri yang berulang,
perilaku impulsif dan merusak diri lainnya, dan kemarahan yang tidak
pantas), sementara gejala khas yang bertahan lama (misalnya. hubungan
yang tidak stabil dan gangguan identitas) lebih sering didiagnosis pada
orang dewasa. Dengan demikian, presentasi klinis BPD rentan terhadap
variasi dari waktu ke waktu, menunjukkan gejala individu yang berbeda
selama perkembangan kepribadian.10
Orang dengan BPD mengalami perubahan suasana hati yang luas
dan dapat menunjukkan suasana hati yang tidak stabil dan rasa insecure
yang luar biasa. Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders Edisi Ke-5 (DSM-5), gangguan kepribadian ambang
merupakan pola tidak stabil yang menetap dari hubungan interpersonal,
citra diri, afek, dan impulsif yang ditandai, dimulai dari dewasa muda,
dan muncul dalam beberapa konteks, seperti yang diindikasikan oleh 5
(atau lebih) poin berikut: 11

54
1. Upaya untuk menghindari ditinggalkan oleh teman dan keluarga
2. Hubungan pribadi yang tidak stabil yang berganti-ganti antara
idealisasi dan devaluasi. Ini juga biasanya dikenal sebagai splitting.
3. Self-image yang terdistorsi dan tidak stabil, yang mempengaruhi
suasana hati, nilai, pendapat, tujuan dan hubungan
4. Perilaku impulsif yang bisa berakibat berbahaya
5. Perilaku bunuh diri dan melukai diri sendiri
6. Periode suasana hati yang yang sangat tertekan, lekas marah atau cemas
yang berlangsung beberapa jam hingga beberapa hari
7. Perasaan bosan atau hampa yang kronis
8. Kemarahan yang inappropriate, intens, atau tak terkendali– sering kali
diikuti dengan rasa malu dan rasa bersalah
9. Perasaan disosiatif– melepaskan hubungan dari pikiran atau ‘sense of
identity’ atau jenis perasaan ‘out of body’-- dan pikiran paranoid yang
berhubungan dengan stres. Kasus stres berat juga dapat menyebabkan
episode psikotik singkat

Menurut diagnosis DSM V pada pasien ini terdapat upaya untuk


menghindari ditinggalkan oleh teman dan keluarga, self- image yang
terdistorsi dan tidak stabil, yang mempengaruhi suasana hati, nilai,
pendapat, tujuan dan hubungan. Periode suasana hati yang sangat
tertekan, lekas marah, atau cemas yang berlangsung beberapa jam hingga
beberapa hari, serta terdapat kemarahan yang inappropriate, intens, atau
tak terkendali.20

Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan


Jiwa (PPDGJ) III, Gangguan Kepribadian Emosional Tak Stabil Tipe
Ambang (Borderline Personality Disorder) (F60.31) dapat didiagnosis
jika terdapat ciri khas ketidakstabilan emosional, gambaran-diri pasien,

55
tujuan, dan preferensi internalnya (termasuk seksual) sering kali tidak
jelas atau terganggu. Biasanya terdapat perasaan kosong yang kronis.
Kecenderungan terlibat dalam pergaulan yang tidak stabil dan dapat
menyebabkan krisis emosional yang berulang dan mungkin disertai
dengan usaha yang berlebihan untuk menghindarkan dirinya ditinggalkan
dan serangkaian ancaman bunuh diri atau tindakan membahayakan diri
(meskipun hal ini dapat terjadi tanpa pencetus yang nyata).
Menurut diagnosis PPDGJ, pada pasien didapatkan
ketidakstabilan emosional dan Kecenderungan terlibat dalam pergaulan
yang tidak stabil dan dapat menyebabkan krisis emosional yang berulang
dan mungkin disertai dengan usaha yang berlebihan untuk
menghindarkan dirinya ditinggalkan

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Penilaian mungkin memerlukan lebih dari satu sesi dan harus
mencakup tinjauan yang cermat terhadap catatan medis yang tersedia
untuk menghindari diagnosis yang tidak akurat sebelum waktunya.
Instrumen Skrining McLean untuk Gangguan Kepribadian Borderline
(MSI- BPD) adalah sepuluh item, ukuran skrining laporan diri benar/salah
untuk BPD. Setiap item yang didukung diberi skor 1 poin pada skala yang
berkisar dari 0 hingga 10. Skor batas 7 atau lebih pada sepuluh item
ukuran menghasilkan sensitivitas dan spesifisitas yang baik untuk
diagnosis BPD seperti yang didefinisikan oleh DSM-V.12
Sebuah riwayat keluarga gangguan mood dan kontrol impuls
dikaitkan dengan perkembangan BPD. Sifat dan kualitas hubungan
dengan figur keterikatan yang signifikan harus dieksplorasi, mengingat
pentingnya keterikatan aman dalam memfasilitasi pengembangan rasa
diri yang dapat dicintai dan orang lain sebagai suportif dan dapat
diandalkan.12

56
Evaluasi
Beberapa instrumen diagnostik tersedia untuk membantu diagnosis, seperti:9
1. Instrumen skrining McClean untuk gangguan kepribadian ambang
2. Kuesioner diagnostik kepribadian
3. Wawancara klinis terstruktur untuk gangguan kepribadian DSM-5
4. Skala gangguan kepribadian ambang Minnesota
5. Skala fitur batas inventaris penilaian kepribadian

Alat diagnostik dapat dipisahkan ke dalam kategori umum laporan diri dan
wawancara terstruktur. Pasien dengan gangguan kepribadian ambang telah
terbukti memiliki tingkat gangguan komorbiditas yang tinggi.
Diagnosis banding
● Skizofrenia
Gangguan ini dibedakan dengan skizofrenia berdasarkan bahwa
orang dengan gangguan kepribadian ambang tidak mengalam
episode psikotik yang panjang, gangguan bentuk pikiran, dan
tanda-tanda skizofrenia lainnya.5
● Gangguan Kepribadian Skizotipal
Orang dengan gangguan kepribadian skizotipal menunjukkan
kelainan dalam berpikir, ide yang aneh, dan waham referensi yang
berulang.
● Gangguan Kepribadian Paranoid
Orang dengan gangguan kepribadian paranoid menunjukkan rasa
curiga berlebihan, sedangkan pada orang dengan gangguan
kepribadian ambang menuntut hubungan yang luar biasa.
● Narcissistic Personality Disorder
Narsisme bukan merupakan gejala BPD yang tercantum dalam

57
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5).
Namun, sebanyak 40% orang dengan BPD mungkin juga memiliki
gangguan kepribadian narsistik, sehingga orang dengan BPD juga
dapat menunjukkan tanda-tanda narsisme. Baik gangguan
kepribadian ambang (BPD) dan gangguan kepribadian narsistik
(NPD) adalah gangguan kepribadian cluster B, yang berarti mereka
memiliki beberapa karakteristik. Keduanya melibatkan pemikiran
atau perilaku yang dramatis, terlalu emosional, atau tidak terduga.
Orang dengan kedua jenis gangguan ini mungkin memiliki harga diri
yang sangat rendah. Tapi di NPD, itu mengarah pada perilaku egois
dan kurangnya empati. Pada BPD, kemarahan dapat dialihkan ke
dalam, mengakibatkan perubahan perilaku dan suasana hati yang
sering.14

Menurut DSM V setidaknya ada 5 dari 9 gejala sebagai berikut:

1. Terlalu melebih-lebihkan prestasi dan kemampuannya

2. Membutuhkan perhatian, pengakuan, dan pujian secara terus menerus

3. Memiliki keyakinan bahwa dirinya unik atau istimewa dan hanya


ingin bergaul dengan orang lain yang punya status atau kondisi yang
sama dengannya.
4. Memiliki fantasi yang gigih akan kesuksesan dan kekuatan yang dia
miliki
5. Memanfaatkan orang lain demi kepentingan pribadi
6. Merasa berhak dan ingin mendapatkan perlakuan khusus
7. Terus menerus memperlihatkan kesuksesan yang sebenarnya telah
berlalu
8. Merasa iri pada orang lain, atau percaya bahwa orang lain iri padanya

58
9. Kurangnya empati pada orang lain

Pada pasien tersebut didapatkan, terlalu melebih- lebihkan prestasi


dan kemampuannya, pasien juga terlihat membutuhkan perhatian,
pengakuan, dan pujian secara terus menerus, pasien juga juga memiliki
fantasi yang gigih akan kesuksesan dan kekuatan yang dimilikinya.21

Tatalaksana
Terapi Farmakologi
Sebagian besar obat kesehatan mental digunakan untuk membantu
memulihkan keseimbangan kimiawi di otak. Mereka dapat membantu
mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan gejala. Obat-obatan dibagi
menjadi empat kelompok utama berdasarkan masalah yang dikembangkan
untuk diobati:8
• Antidepresan
Kelas antidepresan yang disebut SSRI (selective serotonin reuptake
inhibitors) paling sering diresepkan untuk BPD. Beberapa contoh obat
ssri yang lebih umum adalah paroxetine (Paxil), fluoxetine (Prozac),
sertraline (Zoloft), citalopram (Celexa) dan escitalopram (Cipralex).
• Mood stabilizer
Penstabil suasana hati tidak menstabilkan suasana hati pada BPD, tetapi
dapat membantu mengatasi ledakan kemarahan. Contoh obatnya adalah
divalproex (Epival), carbamazepine (Tegretol), lamotrigin (Lamictal)
dan topiramate (Topamax).
• Obat anti-kecemasan
• Antipsikotik.

Mengingat kesamaan antara mempengaruhi ketidakstabilan pada gangguan


kepribadian ambang dan perubahan suasana hati yang cepat pada gangguan
bipolar, obat serupa seperti antipsikotik atipikal telah digunakan untuk

59
mengobati kedua kondisi tersebut. Namun, bukti penggunaan obat-
obatan ini untuk gangguan kepribadian ambangmasih terbatas. Klinisi
harus memprioritaskan keamanan pengobatan dengan menghindari
polifarmasi dan membatasi penggunaan zat-zat yang dikendalikan ketika
merawat gangguan kepribadian ambang. Jika obat- obatan diresepkan,
pengobatan harus ditambah dengan terapi psikologis.15

Terapi Non-farmakologis

Pengobatan lini pertama untuk gangguan kepribadian ambang


adalah psikoterapi. Terapi perilaku dialektik dan terapi berbasis mentalitas
ditemukan paling efektif. Terapi perilaku dialektik adalah bentuk terapi
perilaku kognitif yang mengintegrasikan sesi kelompok dan individu untuk
membantu pasien mengelola labilitas emosional dan perilaku impulsif
mereka. Terapi perilaku dialektik telah menunjukkan efek pengobatan
yang positif untuk keparahan gangguan kepribadian ambang, menyakiti
diri sendiri, dan fungsi psikososial. Ini telah secara efektif mengurangi
upaya bunuh diri dan rawat inap psikiatri pada mereka dengan gangguan
kepribadian ambang. Dalam uji coba terkontrol secara acak yang
membandingkan terapi fluoxetine (Prozac) dengan terapi perilaku
dialektis, kelompok yang hanya menggunakan obat diamati memiliki
tingkat upaya bunuh diri yang lebih tinggi secara signifikan. Versi terapi
perilaku dialektis yang disederhanakan terbukti efektif dalam beberapa
bulan.15

Prognosis
Prognosis BPD harus dipertimbangkan secara optimis berdasarkan
bukti penelitian kontemporer – beberapa studi hasil jangka panjang
menunjukkan tingkat remisi yang tinggi. Misalnya, 88% orang dengan BPD

60
mencapai remisi selama studi tindak lanjut 10 tahun. Studi ini juga
mengidentifikasi sejumlah faktor yang ditemukan untuk memprediksi waktu
awal untuk remisi, seperti usia yang lebih muda, tidak adanya pelecehan
seksual masa kanak-kanak, tidak ada riwayat keluarga gangguan
penggunaan narkoba dan karakteristik temperamen neurotisisme rendah dan
keramahan yang tinggi.15

BAB III
KESIMPULAN

Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan distorsi khas


proses pikir, kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang
dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham yang kadang-kadang aneh,
gangguan persepsi, afek abnormal yang terpadu dengan situasi nyata atau
sebenarnya, dan autisme.
Pada Skizofrenia terdapat gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif
mencakup waham dan halusinasi. Gejala negatif meliputi afek mendatar atu
menumpul, miskin bicara (alogia) atau isi bicara, bloking, kurang merawat diri,
kurang motivasi, anhedonia, dan penarikan diri secara sosial.
Di Indonesia sendiri pembagian subtipe skizofrenia berdasarkan pada
PPDGJ III juga dibagi menjadi sembilan subtipe yaitu skizofrenia paranoid,
hebefrenik, katatonik, tak terinci (undifferentiated), residual, simpleks, lainnya,
depresi pasca-skizofrenia dan skizofrenia YTT.
Terapi yang digunakan adalah pemberian obat antipsikotik generasi 1 dan 2,
LAI (Long Acting Injectable), dan psikososial; pelatihan keterampian sosial ,
terapi kelompok, terapi perilaku kognitif, dan psikoterapi induvidual.

61
DAFTAR PUSTAKA

1. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013
2. Maramis WF. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Edisi ke-2. Surabaya: Airlangga
University Press; 2009.h.195-277.
3. Fiona K. Pengaruh Dukungan Sosial Terhadap Kualitas Penderita Skizofrenia.
Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Universitas Airlangga 2(3); 2013. p.
106-113
4. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia (PPDGJ). Edisi III. Dirjen Pelayanan Medis RI. Jakarta;
2004
5. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian RI tahun 2018. Tersedia di
https://www.kemkes.go.id/resources/download/info-terkini/hasil-riskesdas-
2018.pdf
6. World Health Organization. Schizophrenia and Public Health. Geneva:
Division of Mental Health and Prevention of Subtance Abuse World Health
Organization; 2003.
7. Jarut YM, Fatimawali, Wiyono WI. Tinjauan Penggunaan Antipsikotik pada
Pengobatan Skizofrenia di Rumah Sakit Prof.dr.V.I.Ratumbuysang Manado
Periode Januari 2013-Maret 2013. J Ilmiah Farm 2(3); 2013. p. 54-7.
8. Kaplan, B.J., Sadock, V.A. Kaplan & Sadock’s Buku Ajar Psikiatri Klinis
Edisi II. Jakarta: EGC; 2016.h.147-168.
9. Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ III), Direktorat
Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993.
10. Tomb, David A. Buku Saku Psikiatri. Ed 6. Alih Bahasa : dr Martina Wiwie N,
Jakarta : EGC. 2003

62
11. Hawari, Dadang. (2009). Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa
Skizofrenia. FKUI: Jakarta.
12. Chisholms-Burns, M.A. et al. Pharmacotherapy Principles&Practice. Fourth
Edition. New York:McGraw-Hill Education; 2016
13. Fleischhacker WW. New Drugs for The Treatment of Shizophrenic Patients.
Acta Psychiatr Scans (Suppl);1995. p. 24-30
14. Wells, et al. Pharmacotherapy Handbook. 9th Edition. New York:McGraw-
Hill; 2015
15. Miyamoto S, Merril DB, Lieberman JA, et al. Antipshychotic Drugs. In:
Tasman A, Kay J, Lieberman JA, et al. Psychiatry. 3rd Edition. Shichester:
John Wiley&Sons;2008. p. 2161-2201
16. Hill SK, Bishop JR, Palumbo D, et al. Effect of Second-Generation
Antipsychotics on Cognition: Current Issues and Future Challenges. Expert
Rev Neurother; 2010. p. 43-57
17. Hafifah, A., Irma M, Rano K. Farmakoterapi dan Rehabilitasi Psikososial pada
Skizofrenia. Suplemen Journal Pharmacy of Padjajaran University
16(2);2018. p. 210-232
18. Foster et al. Combination Antypsychotic Therapies an Analysis From a
Longitudinal Pragmatic Trial. Journal of Clinical Psychopharmacology
37(5);2017. p. 595-599
19. Amir N. Skizofrenia. Semijurnal farmasi & kedokteran Feb 2006;24:31-40.
20. Kelly, dkk,. Manajemen Kasus Gangguan Jiwa. Jakarta: EGC. 2013
21. Stahl, S. M,. Stahl's Essential Psycopharmacology. 4th ed. New York:
Cambrige University Press. 2013

63

Anda mungkin juga menyukai