Anda di halaman 1dari 17

TUGAS TAFSIR PB 1

KELOMPOK 1

ABIGAEL DEWI NOVITA.P

CRISTIANI DANAN PULUNGAN

FITRIA RURU

PRAN SISKA SURI

RIMELDA
A. Latar Belakang Kitab Roma
Surat Roma mereupakan surat Paulus yang paling panjang, paling teologis, dan paling
terpengaruh. Paulus menulis surat ini dalam rangka pelayanan rasulinya kepada dunia bukan
Yahudi. Bertentangan dengan tradisi gereja katolik Roma, jemaat di Roma tidak didirikan oleh
petrus atau rasul yang lain.
B. Penulis dan Waktu Penulisan
Kitab Roma ini sudah jelas dalam Roma 1:1 bahwa Rasul Paulus lah yang menulis
kitab Roma ini. Kitab Roma ditulis sekitar tahun 57
C. Tujuan Kitab Roma
Tujuan utama dari kitab ini ialah :
 Berkenalan dengan jemaat, yang tidak didirikan Paulus (1:11)
 Meminta dukungan keuangan dan penyediaan sarana untuk perjalanan kespanyol yang
sedang direncanakan Paulus (15:24)
 Meminta doa Syafaat jemaat Roma berhubungan dengan konfromtasi dengan orang
Yahudi di Yerusalem (15:30-31)
 Meminta doa syafaat Jemaat Roma berhubungan dengan ketidak pastian mengenai
sikap jemaat Kristen di yerusalem terhadap sumbangaan jemaat-jemaat di makedonia
dan akhaya yang dibawah Paulus keyerusalem (15:30-31)
 Agaknya juga meredahkan perselisihan yang sedang berlangsung dalam jemaat Roma
(14:1-15:13)
Pendahuluan Roma 13:1-7

Kepatuhan Kepada Pemerintah

Pembagian peikop ini sebagai berikut;

Rumusan singkat dalam ayat 1a mengandung tesis. Ayat 1b-2 mengajukam dasar (bukti)
pertama tesis, ayat 3-4 yang kedua. Kedua dasar itu digabungkan dalam ayat 5. Ayat 6 memuat dasar
yang ketiga akhirnya nasihat dalam ayat 7 mengikhtisarkan isi ayat-ayat 1-6.

Perihal dari 12:21 ke 13:1 agaknya bersifat mendadak. Kenyataanya itu menyebabkan sebagian
orang berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara bahan pasal 12:9-21 dengan pokok pembahasan
13:1-7. Malah ada yang menyatakan bahwa 13:1-7 menutuskan hubungan yang memang ada antara
12:21 dan 13:8 dyb. Karena itu mereka memandang 13:1-7 sebagai nasihat tersendiri, yang disisipkan
sesudah 12:21 entah oleh Paulus sendiri ataupun oleh salah seorang Tokoh sesudahnya namun, teori
ini pun menimbulkan persoalan. Mengapakah orang memasukkan sisipan itu (apakah dalam jemaat
diroma ada unsur-unsur yang menentang pemerintah? ) dan : mengapa mereka memasukkannya disini
dan bukan ditempat lain?

Jika kita memperhatikan dari kosa kata pasal 12-13 kita dapat menemukan juga titik-titik
kesamaan pertama, munculnya sebuah persaan kata ‘baik jahat’ dalam 12:21 dan 13:3 dyb. Dan
adanya sebuah kata kerja ‘harus/berulang’ (dalam bahasa Yunani sama saja) dalam ayat 7 dan 8,
mengaitkan 13:1-7 dengan bagian sebelumnya dan sesudahnya. Demikian juga pasangan kata
‘pembalasan-murka dalam 12:19 dan 13:4, mungkin juga ‘semua orang’ dalam 12:17 syb dan 13:7.

Kedua muncul pasangan kata ‘baik-jahat’ itu menunjukkan pokok bersama 12:9-21 dan
seluruh pasal 13, yaitu keharusan berbuat biaik. Bagian pertama, yaitu 12:9-13 mengandung nasihat
berkenan dengan kebaikan tehadap semua anggota jemaat, 12:14-21 mengenai kebaikan dalam
hubungan demgan orang luar, khususnya musuh. Lalu 13:1-7 menyangkut sikap terhadap pemerintah
dan peranan para penguasa yang melindungi orang yang berbuat baik dan menghukum mereka yang
berbuat jahat. Pemerintah menjadi alat Tuhan dalam menentukan pembalasan (12:9).

Dalam 13:1-7 terdapat unsur-unsur yang menghubungkannya dengan bagian sebelumnya dan
sesudahnya. Namun, kita mendapat kesan bahwa 13:1-7 merupakan nasihattersendiri, yang
berhubungan agak longgar dengan nasihat-nasihat lain in. Karena itu, alasan yang mendorong Paulus
memuat nasihat mengenai sikap terhadap pemerintahan duniawi ini dalam rangka Roma 12-13 tidak
dapat ditentukan dengan pasti. Sama seperti 12:14-21, begitu juga 13:1-7 bermaksud hendak
menempatkan jemaat di tengah masyarakat, bukan di luarnya, sambil memberi nasihat mengenai
sikapnya erhadap masyarakat itu.

Selain Roma 13:1-7, dalam PB ada beberapa nas lain lagi yang mem- beri nasihat tentang sikap
orang Kristen terhadap pemerintah. Dalam 1 Petrus 2:13-17, 1 Timotius 2:2, dan Titus 3:1 kita
temukan berbagai unsur yang tercantum juga dalam Roma 13:1-7. Unsur-unsur itu ialah ketaatan
kepada pemerintah, bahkan kepada semua penguasa, yang ditem- patkan di atas kita dan yang diberi
tugas menghukum kejahatan dan 'memuji' mereka yang berbuat baik. Namun, hanya dalam Roma
13:1-7 langsung dikatakan bahwa pemerintah ditetapkan oleh Allah. Juga isi ayat 6-7a hanya kita
temukan di tempat ini. Maka dapat disimpulkan bahwa nasihat mengenai sikap terhadap pemerintah
termasuk ajaran umum gereja purba, tetapi diperluas Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma.

 (la) Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya,

Tiap-tiap orang, Yunani pasa psukhé, ‘setiap jiwa’, bandingkan Ibrani kol-nefesy (bnd. Kej.
9:10, dan Rm. 2:9). Exousia terjemahan istilah Latin potestas, ‘kekuasaan’, ‘penguasa’; jamak ‘para
penguasa’. Huper- ekhontes, yang oleh KB digabungkan dengan exousiais menjadi ‘pemerin- tah’,
berarti: ‘yang melebihi’, ‘yang berada di atas’, ‘atasan’. Terjemahan KB ‘taat kurang tepat (lihat
penjelasan di bawah).

Dengan memakai kata-kata ‘setiap orang’ Paulus beralih dari pemakaian orang kedua (12:9-
21) ke orang ketiga (13:1-3). Peralihan ini menandakan awal nasihat yang baru, yaitu mengenai
pemerintahan duniawi dan menge- nai sikap orang Kristen terhadapnya. Sebagaimana telah dikatakan
di atas, nasihat baru ini dapat kita anggap menyambung nasihat 12:14-21 mengenai sikap orang
Kristen terhadap orang di luar jemaat.

Seluruh isi ayat 1-7 tercantum dalam kata-kata pertama: Setiap orang harus takluk kepada
pemerintah yang di atasnya. Kalau dikatakan ‘setiap orang”, artinya bahwa demikianlah kehendak
Tuhan terhadap semua orang, baik yang Kristen maupun yang bukan Kristen. Namun, dalam
hubungan surat ini Paulus tentu menyapa orang Kristen. Janganlah mereka beranggapan bahwa
kedudukan mereka sebagai orang Kristen membebaskan mereka dari kewajiban mereka terhadap
negara. ‘Setiap orang’, harfiah ‘setiap jiwa’. Ungkapan itu tidak merupakan bahasa Yunani yang baik
dan benar, tetapi berasal dari bahasa Ibrani, artinya dari PL.. Pemakaian ungkapan dari PL itu
meningkatkan sifat khidmat nasihat Paulus, sehingga nasihat itu menuntut perhatian lebih besar lagi.

Yang dalam terjemahan LAI disebut ‘pemerintah’ dalam bahasa asli memakai bentuk jamak.
Jadi, kita dapat memakai terjemahan ‘penguasa penguasa. Dengan demikian nasihat ini menjadi lebih
konkret, “Pemerintah merupakan tempat nun jauh, pengertian abstrak, Presiden dan menteri yang
wajahnya kita lihat dalam koran atau majalah, tapi yang tidak pernah kita jumpai. Tetapi ‘penguasa
adalah jajaran orang yang berwenang, para pejabat sipil, petugas kepolisian, komandan- komandan
distrik militer. Tiap orang di antara kita harus berurusan dengan mereka. Tentang mereka dikatakan
bahwa mereka ‘berada di atas (kita)’. Karena itu kita harus ‘takluk kepada mereka.

Menurut beberapa ahli, ‘penguasa-penguasa di sini mempunyai arti ganda. Sebab di belakang
insan-insan penguasa bersembunyi ‘kuasa-kuasa, yaitu malaikat-malaikat. Mereka inilah yang
memerintah dunia, dan para pe nguasa duniawi hanya alat di tangan mereka. Karena itu orang Kristen
harus lebih taat lagi kepada penguasa duniawi. Dalam hubungan dengan teori ini dapat dicatat, bahwa
dalam PB istilah exousiai memang dipakai sebagai sebutan malaikat-malaikat (mis. 1 Kor. 15:24; Ef.
1:21; 3:10; 6:12; Kol. 1:16 dan 2:10, 15). Tetapi tidak pernah orang Kristen disuruh takluk kepada
kuasa-kuasa itu; sebaliknya, kuasa-kuasa itu ditaklukkan oleh Kristus (1 Kor. 15:24; Kol. 2:15). Maka
di sini dan dalam 1 Korintus 2:8 serta Titus 3:1 yang dimaksud ialah insan-insan penguasa semata-
mata.

Nasihat Paulus ini menyangkut bidang kehidupan yang penting, yaitu bidang politis. Karena
itu, perkataan ‘takluk itu layak kita bicarakan tersendiri.

Kata kerja Yunani hupotassesthai muncul tiga puluh kali dalam PB. Arti harfiahnya:
menempatkan diri di bawah’. Yang diungkapkannya ialah sikap yang seharusnya diambil seorang
Kristen terhadap Allah (Yak. 4:7) dan hukum Allah (Rm. 8:7), terhadap Kristus (Ef. 5:24), tetapi juga
terhadap para pelayan gereja (1 Kor. 16:16). Menurut Efesus 5:22, seorang istri Kristen harus ‘takluk
kepada suaminya, dan menurut 1 Petrus 2:18 seorang budak Kristen kepada tuannya. Tetapi Efesus
5:21 menyatakan bahwa anggota jemaat harus ‘takluk’ (LAI: merendahkan diri) yang seorang kepada
yang lain.
Nas terakhir itu seharusnya membuat kita menyadari apa sebenarnya sifat ‘ketaklukan’ yang
dianjurkan kepada kita orang Kristen. Menurut pola dunia ini (bnd. Tafsiran 12:2), orang takluk
kepada penguasa atau kepada orang lain sebab takut, atau karena mengharapkan sesuatu. Tentu
seorang penguasa takkan menganggap dirinya takluk kepada kaum hawahannya. Tetapi menurut
kehendak Allah orang Kristen takluk karena alasan lain. Alasan itu diungkapkan Calvin dalam tafsiran
Efesus 5:21. Katanya, “Allah telah mengikat kita yang seorang kepada yang lain begitu rupa, sehingga
tak seorang pun boleh menganggap dirinya dibebaskan dari kewajiban takluk. Di mana pun kasih
berkuasa, di situ orang saling melayani. Aku malah tidak mengecualikan kaum raja dan penguasa
lainnya, sebab yang merupakan makna pemerintahannya ialah pelayanan. Sebab itu sepatutnya rasul
menasihati semua orang agar mereka takluk yang seorang kepada yang lain. Jadi, sikap seorang
Kristen terhadap pemerintah tidak ditentukan oleh rasa takut, tetapi berdasarkan asas kasih (12:9;
13:8). Dasarnya, yang sekaligus mengandung pembatasannya, akan dikemukakan dalam bagian kedua
ayat ini.

Bila membela hak pekabaran Injil terhadap penguasa penjajah Belanda, para zendeling sering
berkata ‘orang Kristen adalah warga negara terbaik”. Ucapan ini dapat disalahartikan, dan memang
pernah disalahartikan oleh sementara tokoh zending, seakan-akan orang-orang Kristen tidak
bolehbersikap kritis terhadap para penguasa (penjajah). Namun, ucapan itu Bukan tidak benar. Sebab
ketaatan seorang Kristen (seharusnya) mempu nyai dasar yang jauh lebih kokoh daripada sekadar rasa
takut, yaitu kasih kepada Tuhan dan kepada sesama manusia.

 (1b) sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan Pemerintah-
pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah.

Dalam nas ini dan dalam ayat-ayat berikutnya tersurat apa yang tersirat dalam perkataan
‘takluk’. Pertama-tama dikatakan bahwa tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah. Kalimat
ini mengandung tiga unsur yang patut kita perhatikan. Pertama, bahwa kita harus takluk kepada
penguasa sebab bagi kita ia mewakili Allah. Bila menghadapi penguasa, kita tidak sekadar berurusan
dengan manusia yang sederajat, tetapi secara tidak langsung berurusan dengan Tuhan sendiri. Kedua,
bahwa kuasa apa pun tidak mempunyai dasar selain ketetapan Allah. Dasarnya bukanlah kepercayaan
bahwa orang atau golongan tertentu merupakan keturunan dewa. Bukan juga kepercayaan pada
kesaktian (kasakten) seseorang yang dianggap telah menerima wahyu. Dasarnya bukan juga kekerasan
senjata atau kemauan rakyat semata-mata. Ketiga, kata-kata ini menunjukkan hatas kuasa kaum
penguasa. Mereka harus melaksanakan kehendak Tuhan Tuhan ingin supaya semua orang selamat, dan
pemerintah seharus- nya menjadi sarana dalam menjalankan rencana keselamatan itu. Dia
meninggikan orang yang dengan rendah hati melaksanakan tugas yang diserahkan-Nya kepada
mereka, dan Dia merendahkan mereka yang ber- hati tinggi dan tidak mengakui kuasa-Nya atas diri
mereka. Kalau kekuasaan para penguasa berdasarkan salah satu sifat mereka sendi- ri, mereka tidak
juga terikat pada salah satu hukum di luar diri mereka sendiri. Apa pun yang dilakukan penguasa harus
diterima. Dengan perkata- an lain, kuasanya bersifat total. La dapat dianggap bersalah hanya kalau ia
gagal mencapai tujuannya. Demikianlah ideologi kerajaan ketimuran, antara lain dalam kerajaan-
kerajaan helenistis pada abad-abad terakhir SM. Lain keyakinan yang dinyatakan dalam PL. Di Israel
dan di dunia luar tidak ada raja yang tidak ditetapkan oleh Allah. Karena itu, raja-raja itu terikat pada
hukum Tuhan. Mereka menjadi alat pemerintahan-Nya atas umat manusia dan karena itu wajib
menegakkan keadilan dan mengupaya- kan kemakmuran rakyatnya (bnd. Tafsiran diakonos dalam
ayat 4). Wa wasan ini terdapat dengan sangat jelas dalam firman Nabi Yesaya menge- nai raja diraja
Persia, Koresy (Yes. 45:1-8). ‘Dia memecat raja dan mengangkat raja’, demikian dikatakan Daniel di
hadapan raja Babil mahadewa, dan ditulis pengarang Kitab Daniel di tengah dunia helenistis (Dan.
2:21). Tetapi sama seperti dalam Roma 13:1-7, keyakinan itu tidak menjadi alasan untuk meremehkan
kewajiban menaati raja. Dalam Amsal 24:21 ketaatan kepada raja malah disamakan dengan ketaatan
kepada Tuhan. Ketidaktaatan hanya muncul dan dibenarkan dalam satu hal, yaitu kalau raja
(penguasa) mendudukkan diri di tempat Tuhan, seba- gaimana dilakukan raja Nebukadnezar (Dan. 3).

Selanjutnya ditambahkan lagi: dan pemerintah pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah. Mungkin
kata-kata ini sekadar mengulang dengan nada positif kalimat negatif yang mendahuluinya. Tetapi
kata-kata ini lebih bermakna kalau kita tafsirkan ‘pemerintah yang ada’ sebagai ‘penguasa penguasa
yang kamu hadapi’, yaitu para penguasa Romawi, mulai dari kaisar sampai aparat pemerintahan di
propinsi dan kotapraja. Kita tahu bahwa penguasa-penguasa itu menyembah dewa, dan kadang-
kadang mengambil tindakan yang merugikan orang Kristen. Kendati demikian, mereka harus dianggap
sebagai pemerintah yang ditetapkan oleh Allah.

Di kemudian hari penguasa Romawi menganiaya jemaat. Mereka pun mendudukkan diri di
tempat Tuhan dengan menuntut persembahan kurban. Ketika orang Kristen menolak
mempersembahkan kurban dupa kepada ‘roh kaisar’, negara malah berupaya membasmi gereja
Kristen. Namun, Gereja Lama tidak pernah menyimpang dari pendapat Paulus yang terdapat dalam
ayat ini dan yang berikut. Orang Kristen tetap mendoakan kaisar dan semua penguasa dalam ibadah
mereka (bnd. 1 Clemens 60-61). Tidak pernah terpikirkan oleh tokoh-tokoh Kristen pada zaman
Gereja Lama mengangkat senjata melawan kaum penganiaya (bnd. Tafsiran ayat 4).

 2) Sebab itu barang siapa melawan pemerintah, ia melawan ketetap an Allah dan
siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukum- an atas dirinya.

Melawan’ antitassomenos, yang serumpun dengan hupotassesthai (takluk), dengan tetagmenoi


(ditetapkan) dalam ayat 1, dan dengan diatagei (ketetap an) dalam ayat 2. Sebaliknya, ‘melawan’ yang
kedua merupakan terjemah an anthesteken. Anthistêmi di sini mempunyai arti medial, ‘menempatkan
diri berhadapan dengan’, dari situ ‘menentang’, ‘melawan’. Melawan ini berbocara mengenai sebuah
pemberontakan yang telah ditetapkan atau disengaja. Allah telah menyediakan Aturan dalam dunia
yang jatuh ini. Melawan aturan berarti melawan arah, kecuali penguasa sipil melanggar keluar dari
batasan yang telah diberikan Allah.

Ayat 2 menarik kesimpulan dari apa yang dikatakan dalam ayat 1b: barang siapa melawan
pemerintah, ia melawan ketetapan Allah. Orang demikian akan mendatangkan hukuman atas dirinya.
Hukuman siapa? Dari penguasa, tentu. Tetapi, yang lebih parah, hukuman itu juga hukuman Allah,
yang mempertahankan ketetapan-Nya dan menghukum mereka yang melanggar ketetapan itu.

Peringatan dalam ayat 2 ini tidak ada dalam 1 Tim. 2:1; Titus 3:1; 1 Petrus 2:13-17. Maka
timbul pertanyaan. Mengapa Paulus di sini menganggap perlu dengan begitu tegas mengancam
hukuman kepada mereka yang mela- wan pemerintah? Pernah ada penafsir yang menduga bahwa
jemaat Kristen di Roma bersimpati pada gerakan kaum Zelot. Atau bahwa orang Kristen di Roma
terhanyut oleh keyakinan bahwa akhir dunia sudah dekat, sehingga mereka memandang rendah segala
hal duniawi, termasuk negara. Tetapi pandangan-pandangan ini tidak didukung oleh bukti yang nyata.
Ayat 11 malah langsung bertentangan dengan dugaan kedua itu. Ada juga ahli sejarah yang
menerangkan, sekitar tahun 58 penduduk kota Roma melan- carkan aksi protes melawan pajak yang
tinggi, sampai-sampai melakukan unjuk rasa di hadapan kaisar Nero. Kemungkinan nasihat Paulus di
sini (bnd. Juga ayat 6) ada hubungan dengan aksi-aksi itu. Tetapi dugaan ini pun tidak didukung bukti
yang jelas.
 (3) Sebab jika seorang berbuat baik, ia tidak usah takut kepada pemerintah,
hanya jika ia berbuat jahat. Maukah kamu hidup tanpa takut terhadap
pemerintah? Perbuatlah apa yang baik dan kamu akan beroleh pujian dari
padanya.

Dalam 3a LAI dan KB merombak susunan kalimat Yunani (bnd. IKG). Terjemahan harfiah
berbunyi: 'Sebab yang berwajib tidak menjadi alasan untuk takut bagi perbuatan yang baik, tetapi bagi
yang jahat. "Pemerintah di sini terjemahan arkhontes: tokoh-tokoh pemerintahan.

Nas ini diawali kata sebab. Maka kita dapat menafsirkan ayat 3 bersama ayat 4 sebagai
penjelasan ayat 2b. Tetapi istilah 'yang jahat bersifat sangat umum, maka agaknya lebih masuk akal
kalau isi ayat 3-4 kita pandang sebagai alasan kedua penaklukan kepada penguasa yang dianjurkan
dalam ayat 1.

Alasan itu dapat kita simpulkan sebagai berikut: Mereka yang berwajib bukanlah musuhmu,
asalkan kamu melakukan yang baik, bukan yang jabat. Yang tersirat di dalamnya ialah sudah barang
tentu seorang Kristen tidak akan berbuat jahat, maka ia tidak perlu takut akan yang berwajib.
Sebaliknya, ia dapat berharap akan beroleh pujian dari penguasa. Mungkin sekali 'pujian' itu tidak
hanya merupakan kiasan. Para penguasa Romawi di propinsi-propinsi biasa mengajukan warga yang
berjasa kepada kaisar agar mereka diberi surat pujian (bnd. hadiah Kalpataru di negeri kita).

Di sini kita sekadar mencatat bahwa istilah 'yang baik' dapat menim- bulkan salah paham.
Yaitu salah paham seakan-akan menurut anjuran Paulus di sini cukuplah kalau seorang Kristen
menaati hukum negara. Roma 13:1-7 termasuk keseluruhan Roma 12-13. Apa itu 'yang baik" telah
ditentukan sebelumnya, yaitu dalam 12:9-21, bahkan dalam 12:1. Maka 'kebaikan' yang di sini dituntut
dari seorang Kristen bukan (bukan hanya) kebaikan menurut hukum negara atau menurut kaidah
kesopanan yang berlaku dalam masyarakat. Yang dituntut darinya ialah kebaikan menurut kaidah yang
berlaku dalam Khotbah di Bukit (mungkin saja kesopanan menurut Khotbah di Bukit itu berbenturan
dengan kesopanan orang banyak). Maka yang dilakukan orang Kristen bahkan lebih daripada yang
dituntut oleh negara. Negara menuntut keadilan (kebenaran), orang Kristen menambahkan kasih.
Catatan ini perlu, mengingat kenyataan bahwa dalam sejarah gereja negara sering bersikap memusuhi
Kristen (bnd. Tafsiran ayat 1b dan 4).
 4) Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Te- tapi jika
engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak per- Cuma pemerintah
menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan
murka Allah atas mereka yang berbuat jahat.

Pemisahan ayat 4 dari ayat 3 dalam LAI menyesatkan, karena ayat 4 jelas meneruskan
argumentasi ayat 3 (bnd. KB). ‘Hamba’ (IKG penja. Bat’), Yunani diakonos. “Untuk kebaikanmu’,
Yunani soi eis to agathon, harfiah ‘bagi engkau untuk kebaikan/yang baik. Kita dapat menerjemah
kannya sesuai dengan 16:19 (‘supaya engkau berbuat baik’) atau juga sesuai dengan 8:28 (‘demi
kebaikanmu’). Dalam tafsiran, kami bertolak dari terjemahan yang kedua.

Dalam bagian kedua ayat ini LAI dan KB mengabaikan gar (karena) yang kedua (bnd. IKG).
Ekdikos, ‘pembalas’ (demikian LAI, IKG), dapat juga berarti ‘wakil dalam melaksanakan urusan
hukum (pokrol”), atau wakil penguasa tinggi dalam melaksanakan tindakan’ (demikian dasar
terjemahan KB).

Ayat 4 terdiri dari tiga kalimat. Kalimat pertama menunjukkan alasan pernyataan dalam ayat
3b. Orang Kristen boleh percaya kepada pemerintah karena pemerintah adalah hamba Allah. Dalam
bahasa Yunani istilah yang dipakai di sini ialah diakonos, ‘diaken’. Istilah itu bertentangan dengan
pandangan orang Yunani dan Romawi tentang negara. Kaum abdi negara memang ‘hamba’ (lihat di
depan), tetapi negara sendiri tidak berhamba kepada siapa pun juga. Sebaliknya, negara merupakan
penguasa tertinggi yang menuntut loyalitas (kesetiaan) mutlak dari pihak rakyat. Pada zaman Paulus
tuntutan itu sudah mulai berwujud dalam kultus kaisar (persembahan kurban kepada roh kaisar sebagai
perwujudan negara) Di sini Paulus tidak langsung mempersoalkan loyalitas kepada negara, bahkan ia
menyuruh orang Kristen taat kepada negara. Namun, ketaatan itu ditempatkannya dalam kerangka
yang sama sekali baru dengan menyebut negara ‘hamba Allah. Tatanan yang sedang berlaku tidak
diserang langsung. Namun, tatanan itu ditempatkan dalam kerangka yang baru, misalnya dalam hal
perbudakan. Dengan demikian dimulai upaya perubahan tatanan lama in yang berangsur-angsur,
namun radikal.

Arti dasar istilah diakonos ialah hamba yang melayani di meja makan, yang atas perintah
tuannya membagi-bagi makanan. Fungsi penguasa sebagai ‘hamba Allah’ serupa: atas perintah Tuhan
negara membagi- bagikan pemberian-Nya. Kepada orang yang berbuat baik, penguasa membagikan
kebaikan. Arti ‘kebaikan’ itu dapat kita simpulkan dari 1 Timotius 2:2. Di sana tertulis: ‘agar kita
dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan’. Dalam Institutio Calvin
berkata,... supaya ketenteraman umum tidak terganggu; supaya milik setiap orang tetap utuh tanpa
dirongrong, supaya orang dapat berurusan satu sama lain tanpa saling merugikan; supaya keikhlasan
dan sopan santun tetap dijunjung tinggi di antara mereka’. Fungsi pemerintahan itu memang paling
bermanfaat bagi mereka yang berbuat baik, sebab justru merekalah yang perlu dilindungi dari orang
jahat. Agaknya tidak kebetulan kalau di sini muncul ungkapan yang sama seperti dalam 8:28. Sebab
akhirnya dengan melindungi orang baik (orang Kristen!) pemerintah dengan cara tidak langsung
membantu mereka memperoleh keselamatan kekal.

Membaca pernyataan ini, kita dapat bertanya: apakah Paulus tidak tahu mengenai banyak
kasus penyelewengan dan pemerasan yang terjadi dalam administrasi negara Romawi? Bukankah
Paulus sendiri dan orang-orang Kristen lainnya mengalami penganiayaan dari pihak penguasa
Romawi? Bukankah Paulus sadar bahwa Yesus Kristus dihukum mati oleh seorang gubernur Romawi
(1 Tim. 6:13)? Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tadi, kita mencatat bahwa dalam abad pertama dan
kedua M. Pemerintahan Romawi pada umumnya adil dan berupaya memajukan kesejahteraan rakyat.
Di ibukota beberapa kaisar membunuh sejumlah besar orang terkemuka dengan kejam (Tiberius.
Caligula, Nero sesudah tahun 60). Namun, keadaan di propinsi-propinsi cukup mantap. Paulus sendiri
berkali-kali dibebaskan oleh penguasa Romawi dari tuduhan musuhnya atau diberi perlindungan
terhadap musuh- musuh itu (Kis. 18:14 dyb.: 19:35-40; 22:29; 23:25-30). Pada masa Surat Roma
ditulis, orang Kristen belum diganggu oleh negara karena agamanya. Lagi pula, yang oleh Paulus
dipersalahkan atas kematian Kristus terutama para pemimpin Yahudi di Yerusalem, bukan pemerintah
Romawi (1 Tes. 2:14 dyb.).

Namun, catatan ini tidak memadai. Sebab di zaman kemudian, ketika orang Kristen mengalami
penganiayaan yang hampir tak tertahankan dari pihak negara, Gereja Lama tidak pernah menyimpang
dari garis Roma 13. Sepanjang sejarah gereja tokoh-tokoh Kristen tetap menganjurkan supaya anggota
jemaat taat kepada pemerintah. Hanya, orang Kristen dapat menolak perintah penguasa yang langsung
menentang hukum Allah, misalnya perintah mempersembahkan kurban kepada kaisar. Tetapi pem-
berontakan terhadap pemerintah yang menindas gereja haram hukumnya. Juga hak perlawanan
terhadap pemerintah yang tidak adil dan kejam pada umumnya, tidak diakui atau sangat dibatasi.
Alasannya terletak pada perka- taan Paulus Roma 12:17-19, dan pada pengakuan bahwa
bagaimanapun juga pemerintah adalah hamba Allah. Pemerintah itu mungkin tidak melak- sanakan
tugasnya dengan baik, tetapi kejahatan itu tidak dapat dikalahkan dengan kejahatan, melainkan dengan
kebaikan (12:21). Maka perlu kita perhatikan bahwa ‘yang baik’ dalam 13:1-4 tidak lain dari kebaikan
yang dianjurkan dalam 12:9-21. Jadi, bukan kebaikan sipil semata-mata, me- lainkan kebaikan yang
dianjurkan dalam Khotbah di Bukit (bnd. Tafsiran ayat 3).

Sebaliknya, jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah
menyandang pedang. Demikianlah kalimat kedua dalam ayat ini. Pemerintah tidak hanya bertugas
melindungi orang baik. La harus juga mengekang orang jahat. Dalam hubungan ini Paulus memakai
semacam kiasan: penguasa ‘menyandang pedang’. Kita tahu bahwa pada zaman itu, bila mengenakan
pakaian kebesaran, kaisar menyandang pe- dang pendek sebagai tanda kuasanya menentukan hidup
atau mati para bawahannya. Begitu pula sebagian petugas kepolisian, dan sudah tentu prajurit-prajurit
dalam tentara bersenjatakan pedang. Dengan demikian kiasan Paulus di sini menunjukkan kemampuan
dan wewenang penguasa menghukum orang-orang jahat. Sebagaimana bila melindungi orang baik,
demikian juga bila mengh kum orang jahat penguasa adalah hamba Allah. Dalam hubungan ini t
Paulus memakai istilah dari tata hukum Romawi (lihat penjelasan di atas). Di sini istilah itu dapat
diterjemahkan: ‘wakil untuk melaksanakan tindakan penguasa tertinggi, Sebagaimana kaum penguasa
adalah abdi negara, begitu negara sendiri dan dengan demikian semua orang yang puny memegang
kekuasaan adalah hamba Allah, dan menjadi wakil-Nya dalam melaksanakan hukuman-Nya. Ternyata
di sini juga berlaku hubungan yang tadi kita temukan antara ‘kebaikan’ dan ‘keselamatan kekal.
Hukuman pemerintah merupakan perwujudan sementara, yang masih terbatas, dari hukuman Allah
yang akan ditimpakan-Nya pada hari kiamat.

Kalau pemerintah melaksanakan hukuman Allah, maka agaknya bukan pemerintah sendirilah
yang berhak menentukan apa yang baik dan apa yang jahat. Sebaliknya, yang menjadi kaidah dalam
hal itu ialah hukum Allah. Gerejalah yang kalau perlu harus menasihati penguasa yang menyimpang
dari hukum itu, sebagaimana pernah dilakukan Nabi Natan di hadapan raja Daud. (Dalam hubungan
ini kita mencatat bahwa teguran Natan tidak menyangkut perintah pertama, tetapi yang keenam dan
ketujuh dari Dasa- titah.) Namun, segi ini tidak sampai diungkapkan dengan jelas dalam Roma 13.
Kita diberi tahu bahwa pemerintah memuji orang yang berbuat baik dan menghukum orang yang
berbuat jahat. Tetapi kita tidak mende- ngar, dari mana pemerintah tahu, apa yang baik dan apa yang
jahat. Soalnya, di sini Paulus tidak merumuskan ajaran mengenai hubungan antara gereja dengan
negara, tetapi menasihati dan menghibur orang-orang Kristen yang sedang mengalami kesulitan dalam
urusan mereka dengan negara.

 (5) Sebab itu perlu kita menaklukkan diri, bukan saja oleh karena kemurkaan
Allah, tetapi juga oleh karena suara hati kita.

“Menaklukkan diri’ dalam bahasa Yunani memakai kata kerja yang sama seperti ‘takluk’
dalam ayat 1, bandingkan KB. ‘Perlu’, Yunani anangké, yang berarti juga ‘nasib’, jadi lebih kuat
daripada sekadar ‘perlu’ (bnd. 1 Kor. 7:37, ‘terpaksa”). Ou monon... alla kai dapat diterjemahkan
‘tidak hanya bahkan... (bad. 5:3; 9:10). ‘Allah’ merupakan tambahan LAI. Dingkan IKG dan KB.

Ayat ini menarik kesimpulan dari ayat 1-4. Sebab itu, yakni sebab segala sesuatu yang
dikatakan dalam ayat-ayat terdahulu, perlu kita menaklukkan diri. ‘Perlu sebetulnya belum cukup
keras. Bahasa Yunani memakai istilah anangké nasib. Mutlak perlu, terpaksa kita takluk kepada
penguasa Alasannya disebut dalam bagian kedua nas ini. Malah ada dua alasan:

Bukan saja oleh karena kemurkaan Allah, tetapi juga oleh karena suara hati kita. Kita mencatat
dulu bahwa kedua alasan tersebut tidak seimbang. Yang kedua lebih berat daripada yang pertama
(bnd. 5:3: 9:10). Keduanya berkaitan dengan nasihat dalam kedua ayat terdahulu: ‘jika seorang
berbuat baik... tetapi jika engkau berbuat jahat. Kalau kita cenderung melanggar peraturan, kita
sepatutnya takut akan hukuman, dan rasa takut itu dapat mendorong kita meninggalkan kejahatan kita.
Tetapi kalau kita hidup dalam Roh’ (8:9) dan ‘mematikan perbuatan-perbuatan tubuh’ (8:13), maka
kita telah menjadi sadar akan kehendak Tuhan. Sama seperti dalam 2:15 ‘suara hati adalah kesaksian
dalam batin kita mengenai kehendak Tuhan. Hukum Tuhan menjadi pokok kesenangan bagi seorang
percaya (Mzm. 119). Maka yang dikatakan di sini ialah seorang percaya takluk kepada penguasa, tidak
hanya karena hukuman yang ia takuti, tetapi terutama karena hukum yang ia senangi. Sebab ia tahu
bahwa Tuhan telah memberi para penguasa tugas mempertahankan dan menjalankan hukum itu.

Dengan demikian jelaslah juga bahwa ‘paksaan’ yang disebut dalam bagian pertama nas ini
tidak sama bagi kedua belah pihak. Bagi orang yang taat karena takut akan hukuman, paksaan itu
datang dari luar, dan layak mendapat nama itu. Sebaliknya, bagi orang yang takluk karena menyukai
hukum Tuhan ‘paksaan’ itu lebih pantas disebut ‘dorongan batin’. Berkat dorongan itu, ia dengan
senang hati melaksanakan hukum Tuhan dan dengan demikian memenuhi tuntutan agar ia taat kepada
pemerintahan duniawi, yang telah diberi tugas mempertahankan hukum itu.

 (6) Itulah sebabnya juga maka kamu membayar pajak. Karena mereka yang
mengurus hal itu adalah pelayan-pelayan Allah.

Dia touto, itulah sebabnya”, di sini mengacu ke belakang (bnd. 1:26). Bukan ke depan (bnd.
4:16). LAI dan KB mengabaikan gar yang pertama. Yang menghubungkan 6a dengan ayat-ayat
terdahulu (IKG: ‘bukankah”). Telein (LAI: membayar) serumpun dengan telónés, ‘pemungut cukai”.
Bentuk teleite dapat berarti “kamu bayar atau “kamu harus bayar (imperatif). Karena didahului gar
maka di sini agaknya yang pertama yang tepat. “Pelayan’ (KB ‘pegawai’, IKB ‘penjabat”) Yunani
leitourgoi, bandingkan istilah ‘liturgi. Kata kerja proskarteroun muncul pula dalam 12:12. Dalam
kalimat 6b ‘pelayan-pelayan Allah berada di depan, sehingga mendapat tekanan.

Dalam ayat 5 Paulus telah menarik kesimpulan dari ayat 3-4. Yaitu bahwa orang Kristen wajib
taat kepada pemerintah, karena pemerintah adalah hamba Allah. Kini, dalam bagian pertama ayat 6,
Paulus menyebut kenyataan bahwa orang Kristen di Roma membayar pajak. Kenyataan itu
membuktikan bahwa keyakinan yang telah ia ungkapkan dalam ayat 3-4 bukan omong kosong belaka,
dan bahwa desakannya dalam ayat 5. Agar orang Kristen menaati pemerintah, memang wajar. Sebab
dengan membayar pajak, yang mungkin justru pada tahun-tahun itu sangat berat, orang Kristen
memperlihatkan bahwa mereka rela takluk kepada pemerin tah (ayat 1, 5). Pembayaran pajak itu
merupakan pengakuan mereka terhadap pemerintah sebagai hamba Allah (ayat 3-4).

Bagian kedua ayat 6 dapat kita baca dengan dua cara. Yang pertama ialah cara LAI dan IKG.
Cara kedua mendasari terjemahan KB ‘sebab pemerintah adalah pegawai Allah yang menjalankan
tugas yang khusus ini’. Dalam hal ini adalah mengacu pada penguasa (pemimpin) dalam ayat 1 dan 3,
bukan ke depan, pada ‘mereka yang mengurus’. Kami memilih cara KB. Namun, terjemahan KB pun
masih menimbulkan persoalan, yaitu mengenai tafsiran auto touto, ‘justru itu. Apakah ‘itu’
pemungutan pajak? Atau pelaksanaan tugas sebagai ‘pegawai Allah”? Atau pemunaian tugas sebagai
hamba Allah menurut ayat 3-4? Kita tidak dapat menentukan pilihan dengan pasti; mungkin yang
pertama yang paling mudah untuk diterima.jst
Dalam bagian kedua ayat 6 Paulus menyebut pemerintah dengan memakai elar yang lebih
terhormat daripada ‘hamba”. Dalam bahasa Yunani istilah leitourgos dipakai bagi orang yang
menyelenggarakan pelayanan umum. Pelayanan itu bisa di bidang keagamaan (demikian biasanya
dalam Alkitab). Tetapi dalam bahasa Yunani umum leitourgos biasanya berarti orang yang melayani
negara, apakah sebagai pegawai, atau sebagai orang swasta. Itulah juga artinya di sini. Para penguasa
dan pegawai negeri memang mengabdi kepada negara. Tetapi ternyata mereka adalah abdi instansi
yang lebih tinggi lagi, yaitu Tuhan sendiri. Karena itu, mereka berusaha dengan tekun (bnd. 12:12,
lihat penjelasan di atas) mengumpulkan dana yang diperlukan untuk menyelenggarakan tugas yang
oleh Tuhan dibebankan kepada mereka.

 (7) Bayarlah kepada semua orang apa yang harus kamu bayar: pajak kepada
orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima
cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat
kepada orang yang berhak menerima hormat.

Apodidonai berarti: ‘mengembalikan’ atau ‘memberi apa yang wajib diberikan’ (bnd. Mrk.
12:17). LAI ‘yang harus kamu bayar. Yunani tas ofeilas “hutang’, ‘kewajiban’. Foros adalah pajak
langsung: telos pajak = tidak langsung (cukai). Dalam IKG dan KB pasin (kepada semua orang)
diterjemahkan bebas: ‘mereka/pemerintah’. LAI ‘yang berhak menerima melengkapkan ungkapan
singkat yang harfiah berbunyi: “kepada yang pa- jak, pajak’, dst. Terjemahan 7a dalam KB
mengabaikan toi. KB “hargai- lah agaknya kurang memadai, sebab fobos takut, yang sering dipakai
menggambarkan sikap yang seharusnya diambil manusia terhadap Tuhan.

Ayat 7 ini menutup nasihat mengenai hal pemerintahan, sekaligus merupakan peralihan ke
bagian yang berikut. Dalam hubungan ayat- ayat terdahulu semua orang berarti: semua golongan
orang yang menjalankan kekuasaan atas kita atas nama Allah dan demi kebaikan kita. Karena tadi
dipakai contoh pajak maka yang disebut pertama ialah golongan pemungut pajak dan cukai.
Menyusullah dua golongan lain yang agaknya bersifat lebih umum. Orang yang berhak menerima rasa
aka harus dihadapi dengan rasa takut yang wajar. Orang yang berhak menerima hormat harus dihadapi
dengan rasa hormat yang patut. Mungkin ‘takut dan hormat’ sejajar, sehingga harus digabungkan.
Dalam hal itu yang berhak menerima rasa takut’ dan ‘yang berhak menerima hormat merupakan satu
golongan saja, yaitu penguasa pada umumnya.
Hanya, tafsiran itu menimbulkan persoalan. Bagaimana rasul dapat menasihati orang Kristen
supaya ‘takut akan penguasa, padahal dalam ayat 3-4 ia menyatakan bahwa hanya orang jahatlah yang
perlu merasa ukut akan alat-alat negara? Bukankah dalam PB yang patut ‘ditakuti (dalam arti positif)
ialah Allah sendiri? Maka mungkin anjuran ketiga dalam ayat ini harus diartikan sebagai nasihat untuk
merasa takut kepada Allah, sehingga Roma 13:7b sama isinya seperti 1 Petrus 2:17.

Apakah orang yang berhak menerima rasa takut merupakan golongan penguasa yang lebih tinggi
daripada ‘yang berhak menerima hormat”? Atau yang ditakuti ialah penguasa dan yang dihormati
ialah mereka yang berbuat baik (ayat 3)? Tetapi: bagaimana Paulus dapat menasihati orang Kristen
agar merasa takut’ terhadap penguasa, padahal dalam ayat 3-4 ia menganjurkan kepada mereka agar
hidup tanpa takut? Dalam 1 Petrus 2:17 dikatakan: ‘takutlah akan Allah, hormatilah raja (= kaisar)!’
Dalam PB tidak pernah orang percaya dinasihati agar ‘takut’ akan pemerintahan duniawi. Di pihak
lain tidak mungkin Allah tercantum dalam ‘semua orang, bersama pemungut pajak dan penguasa
duniawi lainnya! Namun, pendapat bahwa ‘yang berhak menerima rasa takut ialah Allah itu dapat
dipertahankan melalui acuan pada Amsal 24:21 dan Markus 12:17. Perkataan Amsal 24:21 yang
dikutip Yesus itu agaknya termasuk bahan- bahan yang beredar dalam jemaat-jemaat purba dan
diajarkan kepada orang percaya. Justru karena firman itu lazim dipakai, Paulus teringat waktu
mendiktekan ayat ini dan mengutipnya, meskipun tidak cocok dengan bagian pertama ayatnya (‘semua
orang’).
D. Kesimpulan 13:1-7
Roma 13:1-7 berbicara mengenai sikap orang-orang Kristen terhadap pemerintah. Yang
mendapat tekanan ialah ketaatan, bukan karena rasa akan tetapi karena dorongan batin. Dalam
pada itu, hendaklah kita sadari bahwa perikop ini pun termasuk Surat Roma. Artinya, ayat-ayat
ini ditulis kepada orang-orang tertentu, di tengah keadaan tertentu, dengan alasan tertentu.
Dalam Alkitab Perjanjian Lama dan Baru kita menemukan banyak nas dan kisah lain yang
mengandung petunjuk bagi sikap orang percaya terhadap penguasa. Dengan perkataan lain,
kita tidak dapat merumuskan ajaran Kristen mengenai negara hanya berdasarkan perikop ini
saja. Maka perikop ini tidak mengandung ajaran umum mengenai negara, misalnya mengenai
konstitusi negara yang terbaik, atau mengenai hubungan antara gereja dan negara. Juga kita
tidak menemukan di sini apa-apa mengenai negara yang terang-terangan melanggar hukum
Allah (bukan hanya perintah yang pertama dan kedua dari Dasatitah!) dan menuntut supaya
kaum warga Kristen bertindak bertentangan dengan perintah-perintah Tuhan. Di sini kita
menemukan petunjuk bagi kehidupan kita sehari-hari, pada zaman normal, tentang cara
berurusan dengan petugas, pegawai negeri, penguasa, yang kita hadapi. Juga, tentang sikap kita
kalau kita sendiri kebetulan memegang jabatan pemerintahan, yang rendah maupun yang
tinggi.

1
Dr. Th. Van den End. Tafsiran Alkitab surat Roma. Gunung Mulia 2008

Anda mungkin juga menyukai