Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PSIKOLOGI SOSIAL II
APLIKASI PSIKOLOGI SOSIAL DALAM BIDANG
PENDIDIKAN DAN PERKEMBANGAN

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Psikologi Sosial II


Dosen Pengampu: Drs. Hardjono, M.Si.

Disusun Oleh:
Kelompok 9 / Kelas C
1. Hanifah Azmi Nur Annisa (P0122101)
2. Jasmine ‘Ummu Aisyah (P0122113)
3. Khanisa Aurelia Puspitasari (P0122126)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Aplikasi
Psikologi Sosial Dalam Bidang Pendidikan dan Perkembangan ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Psikologi Sosial II. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
penerapan teori psikologi sosial, terutama dalam bidang pendidikan dan perkembangan bagi
pembaca dan juga bagi penulis itu sendiri.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Hardjono, M.Si. selaku dosen
pengampu mata kuliah Psikologi Sosial II yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan dan
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami
menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan kami terima dan kami tingkatkan kedepannya demi
kesempurnaan makalah ini.

Surakarta, 25 April 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan 1
BAB II PEMBAHASAN 2
2.1 Aplikasi Psikologi Sosial di Bidang Pendidikan 2
2.1.1 Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Siswa 2
2.1.2 Peningkatan Kinerja Siswa 3
2.1.3 Harapan Guru dan Prestasi Siswa 4
2.1.4 Interaksi Siswa dengan Siswa Lainnya 5
2.2 Aplikasi Psikologi Sosial di Ruang Kelas 5
2.2.1 Ruang Kelas 5
2.2.2 Perbandingan Sosial 6
2.2.3 Teori Kecerdasan dan Citra Diri Akademik Siswa 7
2.2.4 Iklim Ruang Kelas 9
2.3 Psikologi Sosial dalam Perkembangan Individu 9
2.3.1 Kelahiran dan Masa Bayi 10
2.3.2 Attachment 10
2.3.3 Masa Kanak-Kanak Selanjutnya dan Remaja 11
2.3.4 Kematangan 12
BAB III KESIMPULAN 14
DAFTAR PUSTAKA 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Objek pembahasan dari psikologi sosial tidaklah berbeda dengan psikologi secara
umumnya. Hal ini bisa dipahami karena psikologi sosial adalah salah satu cabang ilmu dari
psikologi. Bila objek pembahasan psikologi adalah manusia dan kegiatannya, maka psikologi
sosial adalah kegiatan-kegiatan sosialnya. Masalah yang dikupas dalam psikologi umum adalah
gejala-gejala jiwa seperti perasaan, kemauan, dan berfikir yang terlepas dari alam sekitar.
Sebagaimana ilmu-ilmu sosial, objek pembahasan psikologi sosial adalah terpusat kepada
kehidupan manusia. Penerapan atau aplikasi psikologi sosial dalam bidang pendidikan
dimaksudkan untuk memberikan pengaruh dalam kegiatan pendidikan pelajaran dan proses
belajar mengajar yang lebih efektif dengan memberikan respon kejiwaan dan tingkah laku
peserta didik menjadi lebih baik dan dapat terarah dengan baik. Dalam penelitian di bidang
pendidikan ada hal yang penting harus kita pahami terlebih dahulu seperti dalam ilmu psikologi
sosial.
Perkembangan seseorang dimulai sejak kelahiran, beranjak dewasa, hingga kematiannya.
Dalam tumbuh kembangnya sedikit banyak seseorang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar juga
kehidupan dan keadaan sosialnya, dalam hal ini psikologi sosial mencoba meneliti dan mencari
tahu bagaimana penerapan yang tepat psikologi sosial dalam bidang perkembangan seseorang
sehingga dapat memberikan pengaruh baik dalam proses tumbuh kembang seseorang sehingga
mampu menjadi dasaran referensi yang baik bagi seseorang dan lingkungan sekitarnya selama
proses tumbuh kembang yang baik. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan disajikan
bagaimana psikologi sosial berperan dalam bidang perkembangan hingga pendidikan seseorang
untuk tujuan dijadikan dasar dan referensi yang tepat dalam tumbuh kembang baik fisik dan
kognitifnya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana aplikasi psikologi sosial dalam bidang pendidikan?
2. Bagaimana aplikasi psikologi sosial dalam ruang kelas selama pembelajaran siswa?
3. Bagaimana aplikasi dan peranan psikologi sosial dalam perkembangan individu?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui bagaimana aplikasi psikologi sosial dalam bidang pendidikan
2. Mengetahui bagaimana aplikasi psikologi sosial dalam ruang kelas selama pembelajaran
siswa
3. Mengetahui bagaimana aplikasi dan peranan psikologi sosial dalam perkembangan
individu

1
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Aplikasi Psikologi Sosial di Bidang Pendidikan
2.1.1 Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Siswa
A. Sikap dan Perilaku Akademik
Dalam penelitian klasiknya, Wicker menunjukkan bahwa sikap dan perilaku
seseorang tidak selalu konsisten, misalnya seseorang merasakan khawatir dan cemas
ketika akan menempuh ujian mata pelajaran yang tidak dikuasainya, bukannya belajar
dan berusaha memahami materi yang diujikan dia malah pergi bermain dengan
teman-temannya, dalam upaya mengatasi inkonsisten ini Ajzen kemudian merumuskan
teori perilaku terencana, teori ini akan memperhitungkan faktor penentu perilaku yang
akan memprediksi niat seseorang untuk berperilaku dengan cara tertentu. Niat untuk
berperilaku dan keyakinan akan suatu tindakan akan menghasilkan sesuatu dan evaluasi
dari hasil keduanya terbentuk dari adanya sikap juga perilaku. Misalnya, ketika seseorang
percaya bahwa bekerja keras di perguruan tinggi akan menghasilkan kesuksesan
akademik, dan kesuksesan akademik itu penting, maka kedua keyakinan ini akan
membentuk sikap positif seseorang. Sikap dan perilaku akademik seseorang juga
dipengaruhi oleh norma subyektif atau harapan orang lain, norma subjektif ini dapat
membentuk semangat dan motivasi bagi seseorang untuk bersikap dan berperilaku positif
selama belajar, tetapi ketika hal ini tidak didukung oleh kurangnya kemampuan belajar,
ketidakmampuan memahami materi, dan lingkungan belajar yang tidak mendukung,
maka sikap dan perilaku positif akademik serta motivasi yang sudah dibentuk di awal
akan berkurang, artinya niat seseorang untuk bekerja keras akan berkurang karena
kurangnya kendali seseorang.
B. Konsep Diri Akademik dan Kinerja Siswa
Pengalaman siswa di sekolah akan mempengaruhi cara mereka melihat diri
mereka sendiri. Konsep diri akademik adalah perasaan, sikap, dan persepsi yang dimiliki
siswa akan kemampuan akademiknya, terutama ketika kemampuannya dibandingkan
dengan kemampuan orang lain, konsep ini mempengaruhi motivasi dan kinerja siswa
dilingkungan sekolah, prestasi yang baik akan mengarah pada konsep diri akademik
positif dan sebaliknya. Konsep diri akademik dan prestasi akademik memiliki hubungan
timbal balik, dimana konsep diri akademik menjadi sebab dan akibat dari prestasi
akademik yang dihasilkan oleh siswa.
Konsep diri akademik siswa juga terbukti berbeda berdasarkan usia, jenis kelamin, atau
asal etnis dari siswa tersebut, seiring bertambahnya usia anak, siswa yang memiliki
konsep diri akademik yang tinggi cenderung akan menggunakan strategi pembelajaran
yang mempromosikan pemahaman materi yang lebih mendalam, integrasi konsep, dan
pendekatan yang lebih kritis terhadap konten-konten khusus dan

2
pembelajarannya.Lingkungan pendidikan memberikan efek penting dalam pembentukan
konsep diri akademik siswa, akankah positif atau negatif.
C. Self-handicapping
Sikap negatif dan meremehkan pentingnya keberhasilan akademik dapat
membentuk perilaku siswa dalam melindungi konsep diri atau meningkatkan citra diri
mereka. Hal ini mengacu pada bagaimana seorang siswa menciptakan hambatan untuk
kinerja yang sukses sebelum melakukan usaha untuk mencapai kesuksesannya,
self-handicapping dilakukan siswa untuk mencoba mengalihkan kesalahan atau
kegagalannya tetapi juga meningkatan nilai kesuksesannya, karena kesuksesan dapat
terjadi meskipun ada hambatan. Self-handicapping akan lebih tinggi pada siswa yang
berada dalam kelas dengan persaingan akan kemampuan tinggi dan cenderung ditekan.
2.1.2 Peningkatan Kinerja Siswa
A. Motivasi Intrinsik dan Penghargaan Eksternal
Seorang individu akan terlibat pada sebuah kegiatan atau perilaku karena mereka
merasa senang ketika terlibat dalam aktivitas tersebut, sedangkan berdasarkan sebuah
penelitian diketahui bahwa memberikan penghargaan eksternal yang nyata dapat merusak
motivasi intrinsik seseorang untuk melakukan suatu kegiatan, penghargaan eksternal
yang diberikan pada seorang individu atau siswa dapat menyebabkan pergeseran
maladaptif dalam tujuannya.
Teori persepsi diri: penghargaan eksternal atau hadiah dapat menjadi isyarat
menonjol yang menjelaskan perilaku seseorang bergeser dari faktor internal (kesenangan,
minat) ke faktor eksternal (hadiah), sehingga faktor intrinsik tidak lagi memberikan
alasan cukup untuk terlibat dalam perilaku/kegiatan tersebut, ini disebut juga efek over
justifikasi yang mengacu pada hilangnya motivasi dan minat sebagai alat dari menerima
hadiah eksternal yang berlebihan.
Teori penentuan nasib: individu melihat dirinya sebagai seorang otonom dan
menentukan perilaku dan tindakannya tanpa paksaan pihak luar. Tiga tingkat perantara
motivasi ekstrinsik, yaitu regulasi terpadu (bentuk motivasi ekstrinsik paling ditentukan
oleh diri sendiri dimana individu mengintegrasikan informasi internal dan eksternal
dalam perangkat nilai, tujuan, dan prioritas yang koheren), regulasi teridentifikasi
(individu terlibat dalam aktivitas untuk membantu mereka mencapai tujuan yang penting
bagi mereka), regulasi injeksi (individu diatur oleh perasaan “haus” dan “harus”,
pilihan-pilihan yang diambilnya masih sangat dikontrol dari luar individu). Mengurangi
efek over justifikasi dapat dilakukan dengan pelatihan motivasi intrinsik, karena
anak-anak yang menerima pelatihan motivasi intrinsik menampilkan kinerja akademik
yang lebih baik dan lebih mumpuni dibandingkan dengan siswa yang menerima
penghargaan eksternal.
B. Siswa Membandingkan Dirinya Dengan Teman Lain.
Perbandingan biasanya dilakukan dengan orang lain yang mirip atau dekat dalam
beberapa hal dan karakteristik, perbandingan dapat dibuat siswa dengan membandingkan

3
dirinya dengan kelompok siswa yang lebih sedikit dari kelompoknya, atau dengan siswa
yang keadaannya lebih buruk, sehingga dapat dijadikan alasan perlindungan diri oleh
siswa, atau membandingkan dirinya dengan siswa yang lebih sukses untuk dijadikan
motivasinya dalam peningkatan prestasi akademiknya. Pilihan perbandingan siswa tidak
statis, dapat berubah tergantung pada keadaan tertentu, konteks kelas, atau harapan dan
tujuan siswa, jenis dan tingkatan perbandingan yang dibuat siswa sering dikaitkan dengan
kebutuhan siswa untuk mempertahankan harga diri dan konsep diri akademiknya.
Perbandingan sosial dapat memberikan efek positif dan negatif bagi siswa, bagaimana
guru dan orangtua siswa menanggapi dan menghadapinya menjadi kunci penting dalam
penentuan hasilnya.
2.1.3 Harapan Guru dan Prestasi Siswa
Penelitian Rosenthal dan Jacobson tampak jelas bahwa ekspektasi guru dapat
mempengaruhi prestasi siswa, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa harapan
dapat mempengaruhi bagaimana seseorang berperilaku saat berinteraksi dengan orang
lain. Dalam pembahasan dalam ruang kelas atau bidang pendidikan, seorang siswa
menanggapi ekspektasi tinggi seorang guru dengan menjadi lebih tertarik dan giat belajar
serta mengerjakan tugas sekolah, yang semuanya menghasilkan prestasi akademik yang
lebih baik, seorang guru mengubah konsep diri akademik siswa agar sesuai dengan
harapan dan keyakinannya sendiri tentang siswa tersebut, hal ini menunjukkan implikasi
serius, tidak hanya untuk konsep diri dan prestasi akademik siswa, namun juga untuk
pilihan dan keputusan yang mungkin diambil oleh siswa di kemudian hari. Persepsi dan
harapan guru memprediksi pencapain yang lebih kuat untuk seseorang yang berprestasi
rendah daripada yang berprestasi tinggi, orang yang berprestasi rendah rentan terhadap
apa yang guru mereka pikirkan tentang mereka daripada orang berprestasi tinggi. Jika
harapan guru jatuh pada garis ras dan gender dan menghasilkan ekspektasi negatif pada
siswanya maka akan tercipta ketakutan ancaman stereotip dalam diri siswa, dan ketakutan
mereka akan mempengaruhi motivasi akademik, konsep diri, dan prestasi akademik
siswa. Maka untuk mengurangi efek harapan negatif guru salah satu pendekatan yang
dilakukan adalah dengan memberikan pelatihan kepada guru untuk membantu mereka
mengenali perbedaan harapan mereka pada siswa berprestasi tinggi ataupun rendah dan
untuk menginstruksikan mereka tentang cara terlibat dalam perilaku mengurangi
perbedaan dalam prestasi siswa.
2.1.4 Interaksi Siswa dengan Siswa Lainnya
● Efek Akademik dari Interaksi Teman Sebaya
Anak-anak yang memiliki hubungan teman sebaya yang buruk akan gagal dalam
mengembangkan kompetensi dirinya, termasuk prestasi akademik, dan sebaliknya.
Bermain dengan orang lain akan sangat membantu seorang anak untuk menjadi kompeten
secara sosial, lebih percaya diri, dan berprestasi naik di sekolah, interaksi teman sebaya
positif sejak usia prasekolah dapat memiliki efek yang signifikan pada penyesuaian
keseluruhan anak pada selanjutnya. Pembelajaran dengan bantuan teman sebaya telah

4
dilakukan secara luas untuk meningkatkan kompetensi akademik dan sosial siswa.
Metode ini dapat mengurangi persaingan dan konflik,meningkatkan rasa memiliki siswa,
meningkatkan motivasi siswa, dan menekankan pentingnya belajar,salah satu metode
yang digunakan dalam pembelajaran teman sebaya, yaitu teknik kelas jigsaw yang telah
diterapkan secara efektif untuk mengatasi masalah agresi di sekolah. Psikolog sosial
meneliti bagaimana kekerasan di sekolah dapat diperkuat secara tidak sengaja melalui
pembelajaran sosial dan proses normatif yang ada di lingkungan sekolah.
Program-program yang sukses berupaya mengatasi berbagai tingkat faktor yang mungkin
berkontribusi terhadap agresi di sekolah. Upaya ditujukan pada individu, keluarga,
sekolah, dan masyarakat yang lebih luas.

2.2 Aplikasi Psikologi Sosial di Ruang Kelas


2.2.1 Ruang Kelas
Ruang kelas adalah unit inti dari sistem pendidikan yang juga mengilustrasikan
konsep dan fenomena sosial-psikologis yang umum. Ketika sekelompok orang disatukan
untuk tujuan belajar, terdapat kesempatan untuk menerapkan prinsip-prinsip
sosial-psikologis yang akan memajukan pendidikan. Menerapkan prinsip-prinsip ini ke
dalam kelas dapat membantu meningkatkan komitmen belajar, membuat sikap siswa
terhadap sekolah lebih positif, mengurangi perasaan gagal dan pengaruh negatif atau
emosi terkait, meningkatkan tingkat aspirasi, nilai siswa, dan lain-lain.
Dalam tiga dekade terakhir, semakin banyak peneliti berkontribusi untuk
menjembatani kesenjangan antara psikologi sosial dan pendidikan, mengakibatkan
munculnya bidang ilmiah baru, yang disebut 'psikologi sosial pendidikan', 'pendidikan
psikologi sosial' atau kadang-kadang bahkan ‘psikologi pendidikan sosial'. Feldman
(1986) mengemukakan bahwa penggabungan dua bidang ini bukan hanya psikologi sosial
yang diterapkan di bidang pendidikan dan bukan sekedar subdisiplin bidang pendidikan
yang dilihat dari sudut pandang psikologi sosial. Apa pun sebutannya akan mewakili dua
bidang yang telah menghasilkan berbagai teori, penelitian, dan data yang berguna untuk
kepentingan pendidik dan psikolog.
Salah satu komponen di kelas yang dapat diterapkan dari psikologi sosial adalah
evaluasi. Suka atau tidak, evaluasi adalah bagian dari pendidikan seperti belajar. Ruang
kelas, khususnya, merupakan tempat untuk berbagai evaluasi, baik positif maupun
negatif. Banyak evaluasi diberikan oleh guru, tetapi siswa juga dapat melakukan
‘self-evaluations’ berdasarkan perbandingan interpersonal.
2.2.2 Perbandingan Sosial
Perbandingan sosial adalah ‘proses berpikir tentang informasi mengenai satu atau
lebih orang lain dalam hubungannya dengan diri sendiri’ (Wood, 1996, hlm. 520–521).
Teori tersebut dirumuskan oleh Festinger di tahun 1954. Menurut Festinger, kebanyakan
orang ingin mengevaluasi kemampuan dan pendapat mereka, terutama bila tidak ada
‘realitas objektif’ (yaitu, ketika kemampuan atau pendapat yang diberikan tidak dapat
diukur atau dievaluasi melalui sarana objektif). Dalam hal ini, individu mengandalkan

5
'realitas sosial', dengan membandingkan kemampuan dan pendapatnya sendiri dengan
orang lain. Dalam ruang kelas perbandingan sosial ini terjadi ketika guru membacakan
nilai dengan lantang sehingga setiap siswa mengetahui persis di mana 'tingkatan' nilai
mereka.
Siswa dapat mengalami kelas sebagai tempat yang menyenangkan atau
menakutkan. Memang ada sedikit keraguan hari ini bahwa proses perbandingan sosial
yang terjadi di dalam kelas dapat memicu keduanya secara positif dan negatif (misalnya,
kebanggaan vs kecemburuan). Levine (1983) memberikan bukti bahwa potensi kerusakan
harga diri anak-anak adalah tinggi di ruang kelas, seperti potensi anak-anak untuk
mengadopsi secara artifisial konsepsi yang rendah dari kemampuan mereka sendiri. Ada
banyak kasus di mana siswa bahkan mungkin ingin menghindari perbandingan sosial. Di
kelas, bagaimanapun, norma-norma sering membutuhkan pengungkapan prestasi sendiri
dalam pola timbal balik pengungkapan dengan orang lain (seperti di banyak pengaturan
grup lainnya). Untungnya, pencapaian orang lain yang melebihi pencapaian individu
belum tentu menyakitkan atau negatif. Hal tersebut juga memiliki dampak yang
menguntungkan pada kinerja seseorang. Mengamati orang lain yang menguasai
kemampuan tertentu dapat mengungkapkan informasi yang berguna tentang cara
meningkatkan kemampuan diri, atau disebut sebagai 'belajar dengan observasi' atau
‘observational learning’. Melihat orang lain berhasil juga dapat meningkatkan motivasi
untuk meningkatkan kemampuan diri. Seperti dicatat oleh Blanton, Buunk, Gibbons dan
Kuyper (1999). Pertama, individu dapat mengidentifikasi perbandingan mereka kepada
individu lebih berhasil yang mengarah ke peniruan tindakan sukses. Kedua, melihat
orang lain berhasil dapat menyebabkan individu untuk menetapkan standar pribadi yang
lebih tinggi untuk mengevaluasi kesuksesan sendiri, yang dapat memotivasi usaha untuk
tujuan yang baru dan lebih menantang. Akhirnya, mengamati orang lain yang lebih
sukses dapat membuat individu mengetahui potensi diri, meningkatkan kepercayaan diri,
dan self-efficacy (yaitu, penilaian siswa atas kemampuan mereka sendiri sehubungan
dengan tugas tertentu). Schunk dan rekannya, untuk menemukan bahwa perasaan
self-efficacy membuat kontribusi unik untuk peningkatan pencapaian akademik di atas
berbagai instruksi tugas.
Festinger (1954) menyatakan bahwa ada preferensi perbandingan dengan
kesamaan. Seseorang harus mempertimbangkan kesamaan pada 'atribut terkait', yaitu
atribut yang terkait dengan kinerja tugas. Preferensi untuk membandingkan diri sendiri
dengan orang lain yang memiliki kesamaan dalam atribut terkait merupakan inti dari
prinsip kesamaan. Dalam hal kemampuan fisik maupun intelektual, Festinger
menyarankan bahwa perbandingan sosial mengikuti drive searah ke atas. Pengaplikasian
di ruang kelas dalam dua studi lapangan Blanton dan rekan-rekannya, menunjukkan
bahwa sebagian besar siswa lebih suka membandingkan nilai mereka dengan teman
sebaya yang umumnya sedikit lebih baik dari diri mereka sendiri (relatif mirip pada
atribut terkait).

6
● Perbandingan Sosial ke Atas di Ruang Kelas
Blanton dkk. (1999) melaporkan bukti tidak langsung bahwa individu
dinominasikan sebagai target perbandingan yang penting dalam kehidupan siswa.
Konsisten dengan ini, Huguet et al. (2001b) menemukan bahwa siswa terlibat
dalam perbandingan ke atas dengan orang lain yang dekat secara psikologis
(yaitu, sahabat mereka). Menurut Buunk dan Ybema (1997), individu pada
umumnya menghindari identifikasi dengan orang lain yang lebih buruk (dengan
siapa mereka membandingkan diri mereka sendiri—terutama ketika harga diri
mereka terancam) dan mencoba mengidentifikasi diri dengan orang lain yang
lebih baik (dan melihat orang lain ini serupa dengan diri mereka sendiri).
Sependapat dengan ini, dan dengan hipotesis bahwa perbandingan ke atas
termotivasi oleh keinginan untuk perbaikan diri (Wood, 1996). Penelitian Hugget
dkk. (2001b) menemukan bahwa sebagian besar siswa melaporkan bahwa kinerja
mereka di hampir semua kursus mungkin menjadi lebih dekat dengan target
perbandingan mereka yang sedikit lebih sukses di masa depan.
2.2.3 Teori Kecerdasan dan Citra Diri Akademik Siswa
Mempertahankan perbandingan ke atas adalah nasihat berharga bagi para guru.
Agar perbandingan ke atas menjadi sumber daya untuk perubahan, bagaimanapun, siswa
yang melakukan perbandingan perlu percaya bahwa mereka mampu berubah. Tanpa citra
diri yang bisa berubah, siswa merespons perbandingan ke atas dengan merasa rendah diri
(Stapel & Koomen, 2000), atau dengan mengabaikan domain atau target perbandingan
sosial secara defensif.
A. Entitas Versus Teori Inkremental Kecerdasan
Menurut Dweck (1999), 'ahli entitas' adalah orang-orang yang percaya
bahwa kecerdasan adalah bawaan dan properti stabil seseorang. Ini biasanya
mengarah pada teori entitas harapan bahwa kinerja umum pada berbagai tugas
dibatasi oleh atribut bawaan. Sebaliknya, 'ahli inkremental' biasanya percaya
bahwa kinerja biasanya dapat ditingkatkan dengan usaha.
Di antara siswa dengan teori entitas, mereka yang berprestasi buruk di
kelas tujuh terus berprestasi buruk di kelas delapan, dan banyak dari mereka yang
berprestasi di kelas tujuh sekarang termasuk di antara yang berprestasi rendah.
Penurunan prestasi akademik dari tinggi ke rendah ini terutama disebabkan oleh
siswa yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi terhadap kecerdasannya, hal ini
menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap kecerdasan sebenarnya bermasalah
dalam teori entitas. Sebaliknya, siswa dengan teori inkremental menunjukkan
peningkatan yang jelas dalam kedudukan kelas mereka. Secara umum, siswa yang
berhasil dengan baik di kelas tujuh terus semakin baik. Siswa yang pernah
berprestasi rendah di kelas tujuh sekarang sering masuk jajaran orang berprestasi
tinggi.

7
Aplikasi yang dapat diterapkan mengenai teori ini adalah dengan
mendorong siswa yang kurang mampu untuk belajar dari orang lain yang lebih
sukses untuk melihat kemampuan mereka dapat ditingkatkan bukannya tidak
dapat diubah. Guru di kelas sebaiknya menghindari pujian kemampuan (misalnya,
'Kamu sangat pintar!'), yang menunjukkan atribut bawaan, dan mengganti pujian
mengenai usaha (misalnya, 'Kamu sudah bekerja sangat keras!').
B. Citra Diri Akademik
a. Kegagalan dan Kinerja
Dalam studi Huguet, Brunot dan Monteil (2001a), siswa kelas
tujuh dan tahun delapan orang yang berhasil atau gagal dalam matematika
diberi waktu 50 detik untuk mempelajari sosok geometris yang kompleks
dan agak abstrak. Mereka kemudian harus menggambar ulang pada
selembar kertas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan
bahwa kinerja siswa berkaitan dengan representasi diri mereka dalam
disiplin tertentu.
Studi ini menunjukkan dampak yang kuat dari representasi diri
pada output kognitif bergantung pada lebih dari sekadar kemampuan
individu. Semakin sering mahasiswa gagal, semakin banyak konteks
kegagalan itu (tidak hanya materi pelajaran tetapi juga orang yang
mengajarkannya) memperoleh makna otobiografi bagi siswa itu yang
mengganggu pencapaian, menyebabkan hilangnya minat dari waktu ke
waktu yang tidak dapat dengan mudah dianggap berasal dari kurangnya
motivasi dalam arti istilah yang biasa.
b. Sukses dan Efek BFLPE
Prestasi akademik, aspirasi, dan pencapaian biasanya lebih tinggi
di sekolah-sekolah yang berkualitas. Namun, menurut Marsh dan Hau
(2003) siswa sekolah berkualitas memiliki konsep diri akademis yang
lebih rendah daripada sekolah biasa. Efek ini, disebut ‘big-fish-little-pond
effect’ (BFLPE). Konsep citra diri akademik siswa dipengaruhi secara
positif oleh prestasi akademik mereka sendiri, sedangkan tingkat
kemampuan orang lain mempengaruhi secara negatif.
BFLPE mewakili penyeimbang dari dua proses yang berlawanan,
berdasarkan kontras antara diri sendiri dan orang lain serta asimilasi.
Kontras dikatakan terjadi ketika penilaian evaluatif diri bergeser dari latar
belakang atau konteks. Jika siswa memang menggunakan siswa lain dalam
kegiatan akademik mereka, sekolah atau kelas yang sangat selektif (yaitu,
sekolah atau kelas di mana rata-rata tingkat kemampuan siswa khususnya
tinggi) sebagai dasar pembanding, kemudian partisipasi dalam kelas
selektif akademik menghasilkan penurunan konsep diri akademik.

8
Contohnya, ada banyak siswa lebih baik dari saya, jadi saya tidak harus
sebaik yang saya pikir.
Asimilasi dikatakan terjadi ketika penilaian evaluatif diri bergeser
ke arah konteks sosial. Misalnya, kebanggaan dalam seleksi untuk
berpartisipasi dalam bidang akademik dapat meningkatkan konsep diri
akademik siswa (misalnya, 'jika saya cukup baik untuk dipilih
berpartisipasi dalam program bergengsi ini dengan semua murid-murid
lain yang sangat pandai ini, maka saya pasti sangat pandai’).
2.2.4 Iklim Ruang Kelas
Iklim kelas salah satu penentu yang signifikan lainnya terhadap perilaku dan
kemampuan siswa, adalah kualitas kelas yang dirasakan, juga disebut sebagai 'atmosfer'
atau 'suasana'. Iklim kelas berasal dari kombinasi berbagai faktor (faktor fisik, material,
organisasi, ekonomi, sosial dan budaya, dll). Iklim kelas ini bisa keadaan dari
bermusuhan dan toxic hingga ramah dan mendukung, dan bisa berfluktuasi setiap hari
dan sepanjang tahun ajaran.

2.3 Psikologi Sosial dalam Perkembangan Individu


Perkembangan manusia dapat dilihat dari berbagai sudut pandang dan ada banyak
informasi yang tersedia. Terkadang dimotivasi oleh penelitian murni dan di lain waktu didorong
oleh masalah dunia nyata. Misalnya, apa dampak pola makan ibu hamil terhadap pertumbuhan
anaknya? Apakah anak-anak menjadi peka terhadap kekerasan di televisi? Bagaimana ikatan
seorang anak dengan ibunya mempengaruhi masa depan anak itu? Apapun yang terjadi selama
masa perkembangan adalah hasil interaksi antara apa yang kita warisi secara genetis (walaupun
mungkin baru muncul nanti dalam perkembangan melalui proses pematangan) dan apa yang kita
pelajari.
2.3.1 Kelahiran dan Masa Bayi
Istilah "masa bayi" biasanya mengacu pada 18 bulan pertama kehidupan.
Berbagai tonggak perkembangan yang signifikan dicapai selama periode ini. Ini dimulai
dengan sangat sederhana dengan anak dapat mengenali bau ASI ibu dan diakhiri dengan
keberhasilan untuk dapat berjalan menaiki tangga, sesuatu yang dapat dilakukan
kebanyakan anak pada usia sekitar 18 bulan.
Tonggak apa pun yang dicapai dan dilalui, sebagian besar bayi (kecuali ada yang
salah dengan mereka) dapat dihitung sebagai keinginan mereka untuk belajar. Tentu saja,
ada variasi yang sangat besar dalam hal ini, tetapi keinginan tersebut secara umum tetap
ada. Namun, karena alasan lingkungan atau sosial, kegagalan terus-menerus dalam
bentuk dukungan apa pun untuk pembelajaran mungkin terjadi. Akibat dari hal ini adalah
anak belajar menjadi untuk menjadi tidak berdaya, mungkin karena dia memang tidak
berdaya. Ini adalah akibatnya jika seorang anak menghabiskan satu atau dua tahun
pertama kehidupannya di lingkungan yang buruk dan tidak merangsang. Hasil dari
pengalaman ketidakberdayaan yang dipelajari adalah kecemasan sosial yang akhirnya
bisa terjadi pada anak. Jika ini berlangsung cukup lama, akibatnya bisa menjadi

9
perkembangan depresi masa kanak-kanak. Sangat penting selama 18 bulan pertama
kehidupan untuk menyediakan lingkungan yang merangsang sebanyak mungkin,
termasuk lingkungan sosial.
2.3.2 Attachment
Karena bayi manusia sepenuhnya bergantung pada orang dewasa untuk bertahan
hidup, tidak dapat dihindari bahwa beberapa bentuk keterikatan terjadi melalui hubungan
ketergantungan. Atau, dengan kata lain, mungkin sifat keterikatan mempengaruhi jenis
hubungan ketergantungan yang berkembang. Dimensi dasar keterikatan adalah
keamanan. Apakah bayi bergantung dengan aman atau tidak?
Ukuran keterikatan psikologis utama dikembangkan oleh Ainsworth (1979) pada
1980-an. Ini umumnya dikenal sebagai 'situasi aneh'. Pada dasarnya, ini terdiri dari
serangkaian situasi aneh (aneh bagi anak, yaitu) yang dibakukan yang dialami anak
sedemikian rupa sehingga pengamatan dapat dilakukan tentang bagaimana dia
berinteraksi dengan pengasuh (biasanya ibu) ketika memiliki pengalaman-pengalaman
ini. Semua situasi melibatkan pemisahan dari ibu dan kemudian, reuni. Bagaimana anak
menangani perpisahan ketika dalam situasi yang aneh, dan kemudian, bagaimana dia
menangani reuni? Tak perlu dikatakan bahwa cara pengasuh berurusan dengan anak,
sejak awal, mengarah pada pengembangan salah satu dari tiga gaya keterikatan:
a. Secure. Sang anak protes ketika sang ibu pergi dan kemudian mencarinya
sebentar. Saat reuni, anak itu senang.
b. Insecure-avoidant. Anak tidak kesal dengan situasi yang aneh, tidak
bergantung pada ibunya dan umumnya acuh tak acuh.
c. Anxious-ambivalent. Dalam jenis reaksi ini anak melekat pada ibunya dan
menunjukkan kesulitan yang besar ketika ibunya pergi. Tapi hanya ada sedikit
kegembiraan yang diungkapkan saat dia kembali. Sikap umum anak dalam
situasi yang aneh menunjukkan kecemasan dan disorganisasi.
Keterikatan yang aman merupakan dasar bagi kehidupan. Hal ini mewakili dan
kemudian mengarah lebih jauh ke arah hubungan yang harmonis antara orang tua dan
anak. Ini, pada gilirannya, berarti bahwa anak lebih mudah menerima sosialisasi secara
umum, yaitu mempelajari cara hidup, norma dan aturan budaya umum, masyarakatnya.
Jadi, melalui keterikatan yang aman lah seorang anak paling mudah belajar
mengembangkan pengendalian diri, pengaturan emosi, dan hati nurani.
2.3.3 Masa Kanak-Kanak Selanjutnya dan Remaja
Tidak mungkin kita membaca atau memikirkan perkembangan anak tanpa
mempertimbangkan pengaruh Piaget terhadap pemahaman kita. Antara masa bayi dan
dewasa, Piaget menjelaskan empat tahap perkembangan kognitif yang didasarkan pada
cara berpikir yang secara kualitatif berbeda satu sama lain. Perkembangan dari satu tahap
ke tahap berikutnya didasarkan pada dua proses yang berhubungan erat dengan semua
proses berpikir yang sedang berkembang – asimilasi dan akomodasi.

10
Asimilasi berarti menggabungkan informasi baru ke dalam sesuatu yang sudah
ada. Misalnya, jika seorang anak kecil pada tahap awal berbicara telah mempelajari kata
kucing ketika mengacu pada hewan peliharaan keluarga dan kemudian menunjuk seekor
anjing di jalan dan berkata 'kucing', asimilasi telah terjadi. Akomodasi berarti mengubah
atau memodifikasi cara berpikir yang ada untuk mempertimbangkan informasi atau
masukan baru. Dalam contoh kucing dan anjing, sang anak akan segera mengakomodasi
perbaikan lainnya; tidak hanya perbedaan antara kucing dan anjing, tetapi juga perbedaan
antara kucing dan anak kucing, kucing domestik dan kucing liar, dan sebagainya.
● Perkembangan Sosial
Di awal masa kanak-kanak dan kemudian melalui masa remaja, kelompok
sebaya untuk perkembangan sosial sangatlah penting. Sebagian besar waktu
dengan kelompok sebaya dihabiskan untuk apa yang disebut bermain. Seringkali,
jenis permainan yang terjadi pada masa kanak-kanak sangat melibatkan fantasi.
Hal ini sendiri menarik karena anak-anak yang memiliki secured attachment
cenderung memiliki permainan fantasi yang lebih beragam dan lebih sering yang
juga cenderung terkait dengan kematangan kognitif yang lebih besar.
Popularitas seorang anak adalah salah satu indikator kunci dari perkembangan
sosial mereka. Analisis sosiometrik dapat digunakan untuk melihat hal ini dengan mudah.
Anak-anak dibagi menjadi satu dari empat kategori berdasarkan hasil dari praktik
semacam ini. Anak-anak populer dipilih dengan baik oleh kebanyakan orang dan tidak
disukai oleh sedikit orang. Anak-anak dengan kontroversi memiliki banyak pilihan baik
dan buruk. Anak-anak yang dikucilkan secara sosial memiliki pilihan yang sangat
terbatas, baik dan buruk. Selain itu, anak-anak yang ditolak diberi banyak pilihan negatif
dan relatif sedikit pilihan positif.
Secara umum, tingkat popularitas yang dinikmati anak-anak terkait dengan
keterampilan sosial mereka; semakin mahir mereka secara sosial, maka mereka akan
semakin populer. Jadi, satu hal dibangun di atas yang lain, dengan kesempatan untuk
berhubungan dengan teman sebaya dan saudara kandung menjadi sangat membantu.
Perkembangan sosial berlanjut hingga masa remaja lagi sebagian besar melalui
pengaruh kelompok sebaya. Dalam beberapa kasus, kelompok sebaya dapat terdiri dari
kelompok atau bahkan geng. Biasanya, remaja berubah secara sosial melalui serangkaian
perubahan kelompok sebaya, walaupun tidak semua remaja akan mengalami semua ini.
Tapi urutan yang biasa adalah: kelompok sesama jenis, kelompok heteroseksual dan
keramaian, dan akhirnya pasangan.
2.3.4 Kematangan
Perkembangan sosial berlanjut hingga masa remaja lagi sebagian besar melalui
pengaruh kelompok sebaya. Dalam beberapa kasus, kelompok sebaya dapat terdiri dari
kelompok atau bahkan geng. Biasanya, remaja berubah secara sosial melalui serangkaian
perubahan kelompok sebaya, walaupun tidak semua remaja akan mengalami semua ini.

11
Tapi urutan yang biasa adalah: kelompok sesama jenis, kelompok heteroseksual dan
keramaian, dan akhirnya pasangan.
Model terbaik dari transisi perkembangan sepanjang umur dikemukakan oleh Erik
Erikson pada tahun 1971. Dia melihat keseluruhan perkembangan manusia dicirikan oleh
delapan tahap. Cara lain untuk menggambarkan tahapan ini adalah sebagai krisis
psikologi sosial atau tugas perkembangan.
Krisis kehidupan terakhir yang dikemukakan oleh Erikson dalam jangka waktu
yang lama, kira-kira antara usia sekitar 20 hingga 60 tahun atau lebih. Ini adalah waktu di
mana, selain mengembangkan hubungan dan kemungkinan memiliki keluarga,
orang-orang peduli dengan kehidupan kerja mereka, kemajuan karir mereka. Ada
beberapa cara untuk melihat pengembangan karir, salah satu yang lebih baik dari D.E.
Super, dikemukakan pada tahun 1990. Model ini menarik karena mengaitkan perubahan
psikologis dengan berbagai tahapan dalam karir, mulai dari memasuki karir hingga
pensiun. Model ini menjelaskan mengenai empat tahap perkembangan karir seseorang,
dimulai dari eksplorasi, pembentukan, pemeliharaan, dan pelepasan.
Usia tua tidak mudah didefinisikan. Itu dimulai pada waktu yang berbeda untuk
orang yang berbeda, meskipun apa sebenarnya 'itu' itu, sulit untuk dikatakan. Ini juga
sampai batas tertentu merupakan masalah sikap. Beberapa orang mencapai usia tertentu,
katakanlah 60, dan menganggap diri mereka secara resmi sudah tua pada saat itu dan
mulai berperilaku 'tua'. Reaksi umum terhadap bertambahnya umur adalah apa yang
kemudian disebut selektivitas sosioemosional. Artinya, orang menjadi lebih menikmati
saat ini daripada merencanakan masa depan, karena alasan yang jelas – masa depan
tampak lebih pendek dari sebelumnya.
Aspek dominan dari penuaan adalah kematian. Dengan bertambahnya umur,
pikiran orang pasti beralih ke akhir mereka sendiri lebih dari yang mereka lakukan di
tahun-tahun sebelumnya. Ketakutan akan kematian, jika memang terjadi, cenderung
memuncak pada tahun lima puluhan dan kemudian menurun. Adalah mungkin untuk
mengambil pendekatan yang sepenuhnya positif terhadap usia tua, daripada menerima
apa yang dibawanya dan memainkan peran apa pun yang mungkin diharapkan
masyarakat dari orang tua. Misalnya, banyak hal yang dapat dilakukan dengan diet dan
olahraga untuk mengimbangi penurunan fisik dan psikologis. Jelas, itu tidak dapat
dihentikan atau dibalik, tetapi dapat diperlambat.

12
BAB III

KESIMPULAN
Untuk meringkas seluruh pernyataan dalam makalah ini, psikologi sosial memiliki
aplikasi yang signifikan dalam bidang pendidikan dan perkembangan. Dengan mempelajari
bagaimana individu memahami, menafsirkan, dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya,
pendidik, praktisi perkembangan, juga pengasuh, seperti ibu, dapat menciptakan lingkungan
belajar yang menumbuhkan sikap positif, meningkatkan prestasi akademik, dan mendorong
perkembangan sosial-emosional. Sikap (keyakinan tentang kemampuan seseorang untuk
mencapai hasil yang diinginkan dan anggapan pentingnya hasil tersebut) terhadap sekolah,
keyakinan tentang kemampuan akademik seseorang, dan persepsi tentang menjadi siswa
semuanya merupakan bagian dari konsep diri akademik siswa. Konsep diri akademik yang
positif terkait dengan motivasi yang lebih besar, aspirasi akademik yang lebih tinggi, dan prestasi
akademik yang lebih baik.
Memasukkan prinsip psikologi sosial ke dalam praktik pendidikan dan perkembangan
juga dapat membantu mengidentifikasi dan mengatasi masalah dalam ruang kelas. Karena
masyarakat terus menjadi semakin beragam dan saling berhubungan, psikologi sosial akan terus
memainkan peran penting dalam memfasilitasi hasil pendidikan dan perkembangan yang sukses
bagi individu dari semua latar belakang.

13
DAFTAR PUSTAKA
Rothengatter, T., Buunk, B., & Steg, L. (Eds.). (2008). Applied Social Psychology:
Understanding and Managing Social Problems. Cambridge University Press.
Schneider, F. W., Gruman, J. A., & Coutts, L. M. (Eds.). (2011). Applied Social Psychology:
Understanding and Addressing Social and Practical Problems. SAGE Publications.
Strongman, K. T. (2006). Applying Psychology to Everyday Life: A Beginner's Guide. Wiley.

14

Anda mungkin juga menyukai