Anda di halaman 1dari 8

Laporan Praktikum Tanggal Praktikum : Kamis, 2 Maret 2023

Fisiologi Veteriner II Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Drh. Agik Suprayogi, M.Sc
Minggu ke- : 6 Kelompok Praktikum : P2.2
Asisten : Syifa Noor Badriyyah (B040190082)

RESPIRASI II

Disusun oleh :

1. Pintan Nur Fallah B0401211066


2. Achmad Satrianur Eryannauvansyach B0401211072
3. Deri Renaldi B0401211075
4. Raindra Ravi Malik Nugraha B0401211080
5. Charlotte Fatima Haque Ramdhan B0401211088

DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SEMESTER GENAP 2022/2023
PENDAHULUAN
Dasar Teori
Sikap badan, kerja fisik, dan macam-macam rangsangan dapat mempengaruhi gerakan-
gerakan pernapasan. Gerakan pernapasan harus disesuaikan dengan kebutuhan tubuh dalam
keadaan dan suasana tertentu, sehingga kebutuhan akan zat-zat makanan, O2, panas, dapat
terpenuhi dan zat yang tidak diperlukan oleh tubuh dapat dibuang.
Faktor utama yang mempengaruhi kapasitas vital paru adalah bentuk anatomi tubuh,
posisi selama pengukuran kapasitas vital paru, kekuatan otot pernapasan, pengembangan paru,
dan rangka dada. semakin banyak aktivitas yang dilakukan maka akan semakin besar kapasitas
vital paru. Posisi tubuh juga mempengaruhi volume dan kapasitas paru, biasanya menurun bila
berbaring dan meningkat bila berdiri. Perubahan pada posisi ini disebabkan oleh dua faktor
yaitu kecenderungan isi abdomen menekan ke atas melawan diafragma pada posisi berbaring
dan peningkatan volume darah paru pada posisi berbaring, yang berhubungan dengan
pengecilan ruang yang tersedia untuk udara dalam paru (Guyton dan Hall 2007).

Tujuan
Mempelajari gerakan-gerakan napas dan perubahan-perubahanya yang disebabkan oleh
beberapa faktor seperti pengaruh-pengaruh dari sikap badan, menelan dan berbicara, kerja
fisik, kadar CO2, rangsangan sensorik yang kuat. Juga akan mempelajari berbagai macam
volume pernapasan.

Bahan dan Alat


Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu stetograf dengan pipa karet/plastik,
kimograf lengkap, pencatat waktu, tambur marey dengan penulisnya. Bahan yang digunakan
dalam praktikum ini yaitu orang pencoba sebagai subjek pengamatan.

Tata Kerja
A. Pengaruh sikap badan, menelan dan berbicara terhadap gerakan-gerakan napas abdominal
dan torakal
Subyek tidur telentang selama 5 menit, lalu membuat rekaman. Meminta subyek duduk,
membiarkan ia duduk tenang selama 5 menit lalu membuat rekaman. Membuat rekaman
sewaktu berdiri (biarkan juga berdiri tenang dahulu selama 5 menit). Saat subyek berdiri,
memasang stetograf satu lagi, tetapi melingkari abdomen bagian atas. Merekam gerakan-
gerakan napas abdomen dan dada bersama-sama. Melepaskan stetograf yang melingkari perut.
Subyek mengisi mulutnya dengan air minum (satu teguk). Merekam gerakan-gerakan napas
biasa, kemudian meminta subyek menelan air itu sewaktu ia melakukan inspirasi. Mengulang
percobaan ini, tetapi air ditelan saat melakukan ekspirasi. Setelah mendapatkan rekaman
normal, subyek membaca dengan bersuara perlahan-lahan, kemudian membuat rekaman.
Membandingkan rekamannya dengan suara-suara yang diucapkannya. Membuat rekaman
waktu, dibawah masing-masing rekaman diatas dan mempelajari kurva gerakan-gerakan napas,
frekuensi, amplitudo, fase-fase, inspirasi dan ekspirasi dan mencatat hasil-hasil anda.
B. Pengaruh kerja fisik, akibat hiperpnea
Melepaskan hubungan antara stetograf dengan sistem perekaman dan meminta subyek
berlari di tempat untuk 2 menit. Menghubungkan kembali stetograf dengan perekaman dan
membuat perekaman sampai kurva pernapasan normal kembali. Merekam gerakan pernapasan
biasa dan sementara masih direkam, meminta subyek menghentikan napasnya selama mugkin.
Mencatat berapa lama dapat menghentikan napas. Merekam gerakan pernapasan biasa,
melepaskan penulis dari tromol dan meminta subyek bernapas dalam-dalam dan cepat selama
3 menit. Merekam beberapa gerakan napas dalam-dalam terakhir lalu meminta subyek
menghentikan pernapasannya selama mungkin. Mencatat berapa lama dapat berhenti bernapas.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
Tabel 1 Nilai amplitudo dan frekuensi berdasarkan perlakuan serta alat ukurnya
Perlakuan Alat ukur Amplitudo (cm) Frekuensi (Hz)
A. Pengaruh sikap badan, menelan dan berbicara terhadap gerakan-gerakan
napas abdominal dan torakal
Kimograf 0,2 11/30 = 0,37
Tidur terlentang
Respiration belt 0,24 12/30 = 0.4
Kimograf 0,3 6/30 = 0,2
Duduk
Respiration belt 0,3 7/30 = 0,233
Kimograf 0,4 8/30 = 0,26
Berdiri
Respiration belt 1,9 10/30 = 0,3
Kimograf Tidak menentu Tidak menentu
Minum
Respiration belt Tidak menentu Tidak menentu
B. Pengaruh kerja fisik, akibat hiperpnea
Kimograf Tidak menentu Tidak menentu
Lari di tempat
Respiration belt Tidak menentu Tidak menentu
Terdapat rekaman mendatar, kemudian ketika melakukan
Kimograf ekspirasi dan inspirasi kembali terdapat grafik yang
sangat curam naik dan turun
Hiperpnea
Terdapat rekaman mendatar, kemudian ketika melakukan
Respiration belt ekspirasi dan inspirasi kembali terdapat grafik yang
sangat curam naik dan turun
Keterangan:
• Amplitudo: Panjang gelombang ke titik tengah
• Frekuensi: f = n/t (banyak gelombang/waktu dalam detik)

Pembahasan
Sistem pernapasan dapat terjadi secara sadar (voluntary), atau pernapasan secara tidak
sadar (involuntary) melalui pernapasan costoabdominal yang melibatkan otot-otot thoracal, os
costae, otot-otot abdominal, dan diafragma (Simarmata 2016). Pergerakan otot-otot thoracal
dan abdominal pada pernapasan involuntary tersebut akan menimbulkan gerakan pernapasan.
Gerakan pernapasan tersebut dapat direkam menggunakan stetograf yang dihubungkan dengan
tambur marey dan kimograf sebagai alat penulis. Kurva yang bergerak turun menggambarkan
gerakan inspirasi sedangkan kurva bergerak naik menggambarkan gerakan ekspirasi.
Gelombang gerakan pernapasan yang terekam menunjukan frekuensi napas yang
berbeda sesuai dengan keadaan subjek. Perekaman gerakan-gerakan pernapasan dari percobaan
yang dilakukan akan menunjukan hasil berupa kurva gelombang yang terdapat frekuensi dan
amplitudo. Hubungan antara frekuensi dan amplitudo adalah berbanding terbalik. Frekuensi
respirasi dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya ialah perubahan sikap tubuh. Posisi dan
aktivitas tubuh menjadi perhatian karena memberi pengaruh yang besar terhadap perubahan
frekuensi respirasi.
Berdasarkan data tabel 1 pada bagian A dapat dilihat bahwa pengaruh sikap badan
terhadap gerakan nafas abdominal dan torakal. Ketika sikap badan tidur terlentang dengan
menggunakan kimograf diperoleh data amplitudo sebesar 0,2 cm dengan frekuensi sebesar
0,37 Hz, kemudian dengan menggunakan respiration belt diperoleh data amplitudo sebesar
0,24 cm dengan frekuensi sebesar 0,4 Hz. Hasil dari kedua alat tersebut tidak jauh berbeda,
karena keduanya masih termasuk alat yang sama. Ketika saat posisi terlentang, OP mengalami
peningkatan volume darah pada rongga toraks dan kompresi dada. Hal ini menyebabkan proses
pertukaran udara tidak berlangsung secara maksimal (Annisa et al. 2018).
Ketika sikap badan duduk menggunakan alat kimograf diperoleh data amplitudo
sebesar 0,3 cm dengan frekuensi sebesar 0,2 Hz, kemudian dengan menggunakan alat
respiration belt diperoleh data amplitudo sebesar 0,3 cm dengan frekuensi sebesar 0,2333 Hz.
Hasil dari kedua alat tersebut tidak jauh berbeda, karena keduanya masih termasuk alat yang
sama. Jika dibandingkan dengan posisi tidur terlentang, posisi duduk sedikit mengalami
peningkatan amplitudo akan tetapi frekuensinya mengalami penurunan. Hal ini karena ketika
posisi badan duduk dapat memungkinkan paru-paru untuk berkembang maksimal sehingga
dapat meningkatkan pertukaran gas (Ritianingsih 2008).
Ketika sikap badan berdiri menggunakan alat kimograf diperoleh data amplitudo
sebesar 0,4 cm dengan frekuensi sebesar 0,26 Hz, kemudian dengan menggunakan respiration
belt diperoleh data amplitudo sebesar 1,9 cm dengan frekuensi sebesar 0,3 Hz. Hasil keduanya
sedikit berbeda, karena terdapat faktor yang mempengaruhinya, misalnya OP mengalami
gerakan yang refleks atau tidak disengaja. Sehingga hasil yang diperoleh dari kedua alat
tersebut sedikit berbeda. Jika dibandingkan dengan posisi tidur terlentang dan posisi duduk,
untuk posisi berdiri memperoleh hasil data yang lebih tinggi. Hal ini karena ketika posisi
berdiri, diafragma turun sehingga kapasitas rongga toraks meningkat (Imtiyazi 2018).
Sedangkan ketika posisi badan saat minum tidak dapat ditentukan datanya.
Hiperpnea adalah bernapas dengan cepat dan dalam yang akan menurunkan kadar CO2
dan menyebabkan subjek mampu menahan napas lebih lama. Semakin banyak kadar CO2
dalam tubuh, semakin lama pula kemampuan untuk menahan nafas. Saat menahan nafas, kadar
CO2 didalam darah meningkat sehingga mengantarkan rangsang ke medulla oblongata untuk
menghirup napas dalam-dalam (Djojodibroto 2009). Pusat kontrol yang ada di medulla
oblongata juga membantu mempertahankan homeostasis dengan cara memonitor kadar CO2
dalam darah dan mengatur jumlah CO2 yang dibuang oleh alveoli saat ekspirasi. CO2 akan
bereaksi dengan H2O dan membentuk H2CO2 yang akan menurunkan pH. Medulla oblongata
akan mendeteksi adanya penurunan pH sehingga terjadi peningkatan kedalaman laju
pernapasan.
Berdasarkan pengamatan, ketika OP menelan saat ekspirasi, napas tertahan di ujung
ekspirasi sebelum melakukan inspirasi, sedangkan menelan saat inspirasi, napas tertahan di
ujung inspirasi sebelum melakukan ekspirasi. Dalam hal ini ketika menahan napas atau apnea
dapat terlihat bahwa tahan napas setelah napas normal memiliki tingkat frekuensi napas lebih
tinggi dibandingkan ketika tahan napas setelah napas dalam dan cepat (hiperpnea). Hal tersebut
terjadi secara involuntary yang telah diatur di sistem saraf (Verina 2015). Kondisi tersebut
dikatakan terjadi karena kondisi hiperpnea yaitu terjadi pengeluaran CO2 lebih tinggi
dibandingkan masuknya O2 kedalam tubuh.
Simpulan
Frekuensi pernapasan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor sikap tubuh,
refleks menelan, berbicara dan kadar CO2. Frekuensi pernapasan pada sikap tubuh terlentang
lebih lambat dari pada duduk dan berdiri. Frekuensi pernapasan saat melakukan aktifitas fisik
seperti minum dan menelan lebih lambat dari pada frekuensi pernapasan normal. Kadar CO2
yang meningkat akan meningkatkan frekuensi pernapasan sebagai respon fisiologis tubuh.
Kegiatan fisik juga menghasilkan frekuensi pernapasan yang lebih cepat dibandingkan saat
beristirahat.
DAFTAR PUSTAKA
Annisa R, Utomo W, Utami S. 2018. Pengaruh Perubahan Posisi Terhadap Pola Nafas Pada
Pasien Gangguan Pernapasan. Jurnal Online Mahasiswa Bidang Ilmu Keperawatan.
5(1):292-298.
Djojodibroto D. 2009. Respirologi. Jakarta (ID): Penerbit buku kedokteran EGC.
Guyton, Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi: 11. Jakarta (ID): EGC
Imtiyazi MS. 2018. Perbandingan Parameter Fungsi Paru Atlet Putra Cabang Olahraga
Individu Dan Beregu Di Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Pelajar Jawa Tengah [skripsi].
Semarang(ID): Universitas Diponegoro.
Ritianingsih N. 2008. Pengaruh Posisi Duduk High Fowler dan Orthopneic Terhadap Fungsi
Ventilasi Paru pada Asuhan Keperawatan Pasien PPOK di RS Paru Dr. M. Goenawan
Partowidigdo Bogor [tesis]. Depok(ID): Universitas Indonesia.
Simarmata TF. 2016. Perbandingan frekuensi pernapasan sebelum dan sesudah step exercise
berdasarkan indeks massa tubuh pada siswa/i kelas XII SMAN 5 Medan tahun ajaran
2015-2016. Jurnal Kedokteran Methodist. 9(1): 8-13.
Verina W. 2015. Penerapan metode forward chaining untuk mendeteksi penyakit THT. Jatisi.
1(2): 123-138
LAMPIRAN

Gambar 1. Perlakuan posisi badan tidur Gambar 2. Perlakuan posisi badan tidur
terlentang menggunakan alat kimograf terlentang menggunakan respiration belt

Gambar 3. Perlakuan posisi badan duduk Gambar 4. Perlakuan posisi badan duduk
menggunakan alat kimograf menggunakan alat respiration belt

Gambar 5. Perlakuan posisi badan berdiri Gambar 6. Perlakuan posisi badan berdiri
menggunakan alat kimograf menggunakan respiration belt
Gambar 7. Perlakuan ketika OP minum Gambar 8. Perlakuan ketika OP minum
menggunakan alat kimograf menggunakan respiration belt

Gambar 9. Hasil dari beberapa percobaan

Anda mungkin juga menyukai