Terjemahan Chapter 1: Perspective and Themes

Section 1: History; A Science or An Art

No Text Translate Conclusion
1 Why bother? Why study Mengapa repot-repot? Mengapa This passage
history? Why does history belajar sejarah? Mengapa describes why history
matter? For professionals who sejarah penting? Bagi para matters in our life,
teach and research history it profesional yang mengajarkan history matters
provides, let it be said, a dan meriset sejarah yang because history has
source of income and diberikannya, katakanlah, special meaning in
occasionally a very pleasing sumber pendapatan dan explaining human life
one at that. But it is much terkadang yang sangat today and history is
more than that. Most menyenangkan pada saat itu. part of us as human
historians are deeply engaged Tapi lebih dari itu. Kebanyakan beings just like
in trying to uncover the past, sejarawan sangat sibuk Stephen Fry wrote.
not only because there are mencoba mengungkap masa Which is the main
fascinating stories to be told, lalu, bukan hanya karena ada idea is in third
but also because the telling of cerita-cerita menarik untuk sentences.
the past has enormous diceritakan, tetapi juga karena
contemporary importance. kisah-kisah masa lalu memiliki
Our understanding of the makna kontemporer yang amat
present relies in large part besar. Pemahaman kita tentang
upon how we view the past, masa kini sebagian besar
and this vital issue is of bergantung pada cara kita
concern to us all, whether or memandang masa lalu, dan
not we are trained historians. masalah penting ini menjadi
This recognition lies at the perhatian kita semua, entah kita
very heart of what we would sejarawan yang terlatih atau
describe as historical tidak. Pengakuan ini terletak di
imagination – an imagination jantung dari apa yang akan kita
possessed by all those who gambarkan sebagai imajinasi
look to the past as a means of historis - imajinasi yang
understanding their place in dimiliki oleh semua orang yang
the contemporary world. melihat ke masa lalu sebagai
Something of this spirit is sarana untuk memahami tempat
captured by the comic writer mereka di dunia kontemporer.
and raconteur, Stephen Fry: Sesuatu dari roh ini ditangkap
oleh penulis komik dan
Great and good men and raconteur, Stephen Fry:
women stirred sugar into their
coffees knowing that it had Pria dan wanita yang hebat dan
been picked by slaves. Kind baik mengaduk gula ke dalam
good ancestors of all of us in kopi mereka mengetahui bahwa
this room never questioned itu telah dipilih oleh para
hangings, burnings, tortures, budak. Leluhur yang baik dari
inequality, suffering and kita semua di ruangan ini tidak
injustice that today revolts us. pernah mempertanyakan hiasan,
If we dare to presume to damn
them with our fleeting ideas
of morality then we risk
damnation from our
descendants for whatever it is
that we are doing that future
history will judge as
intolerable and wicked: eating
meat, driving cars, appearing
on TV, visiting zoos, who
knows? We haven’t arrived at
our own moral and ethical
imperatives by each of us
working them out from first
principles, we have inherited
them and they were born out
of blood and suffering – as all
human things, and human
beings are. This does not stop
us from admiring and praising
the progressive heroes who
got there early and risked
their lives to advance causes
we now take for granted. In
the end, I suppose my point is
that history is all about
imagination rather than facts.
If you cannot imagine
yourself wanting to riot
against catholic emancipation
say, or becoming an early
Tory and signing up to fight
with the Old Pretender, or
cheering on Prynne as the
theatres are closed and
Puritanism holds sway . . .
knowing is not enough – if
you cannot feel what our
ancestors felt when they cried
‘Wilkes and Liberty!’ or
indeed cried ‘Death to
Wilkes!’ if you cannot feel
with them, then all you can do
is judge them and condemn
them, or praise them and
overadulate them. History is
pembakaran, penyiksaan,
ketidaksetaraan, penderitaan
dan ketidakadilan yang saat ini
memberontak terhadap kita.
Jika kita berani untuk
menganggap untuk sialan
mereka dengan ide-ide singkat
kita moralitas kemudian kita
risiko kutukan dari keturunan
kita untuk apa pun yang kita
lakukan bahwa sejarah masa
depan akan menilai sebagai tak
layak dan jahat: makan daging,
mengendarai mobil, muncul di
TV, mengunjungi kebun
binatang, siapa yang tahu?
Kami belum sampai pada
kewajiban moral dan etis kami
masing-masing bekerja mereka
keluar dari prinsip-prinsip
pertama, kami telah mewarisi
mereka dan mereka lahir dari
darah dan penderitaan - sebagai
semua hal manusia, dan
manusia. Hal ini tidak
menghentikan kita dari
mengagumi dan memuji para
pahlawan progresif yang tiba
lebih awal dan mempertaruhkan
kehidupan mereka untuk tujuan
yang kita anggap sudah pasti.
Pada akhirnya, saya kira
maksud saya adalah bahwa
sejarah adalah semua tentang
imajinasi daripada fakta. Jika
anda tidak dapat
membayangkan diri anda ingin
kerusuhan melawan emanasi
katolik katakan, atau menjadi
sebuah partai konservatif masa
awal dan mendaftar untuk
bertarung dengan para
Pretender tua, atau bersorak
pada Prynne ketika bioskop
ditutup dan dikuasai para
puritanisme... Mengetahui tidak
 not the story of strangers,
aliens from another realm, it
is the story of us had we been
born a little earlier. History is
memory, we have to
remember what it is like to be
a Roman, or a Jacobite or a
Chartist or even – if we dare,
and we should dare – a Nazi.
History is not an abstraction,
it is the enemy of abstraction.
2 Although this raises a series
of important points about the
nature of history to which we
return in the course of this
book, it does not address the
question of precisely what
history is. Here we encounter
the first difficulty, for as you
make your way through this
chapter, indeed this book, you
will realize that this
seemingly simple matter
masks some complex issues.
Note, for example, that there
is a profound ambiguity in the
term ‘history’. When we talk
of ‘history’, do we mean what
happened in the past? Or do
we mean what is written and
cukup - jika anda tidak bisa
merasakan apa nenek moyang
kita merasa ketika mereka
menangis' Wilkes dan
kebebasan! 'atau memang
menangis' kematian ke Wilkes!
'jika anda tidak dapat
merasakan bersama mereka,
maka yang dapat anda lakukan
hanyalah menghakimi mereka
dan menghukum mereka, atau
memuji mereka dan kelewat
batas terhadap mereka. Sejarah
bukan cerita tentang orang
asing, alien dari dunia lain, itu
adalah cerita tentang kita
seandainya kita dilahirkan
sedikit lebih awal. Sejarah
adalah kenangan, kita harus
ingat bagaimana rasanya
menjadi orang romawi, atau
Jacobite atau pemain belakang
atau bahkan - jika kita berani,
dan kita harus berani - seorang
Nazi. Sejarah bukan suatu
abstraksi, itu adalah musuh dari
abstraksi.
Meskipun hal ini menimbulkan This passage explains
serangkaian pokok penting that the sense of
tentang asal mula sejarah yang history has some
kembali kita tempuh dalam ambiguity but in this
buku ini, hal itu tidak menjawab chapter will be used a
pertanyaan tentang persisnya term by Stephen fry
sejarah itu. Di sini kita in the preceding
menghadapi kesulitan pertama, paragraph that history
karena sewaktu anda berjalan is writing about the
melalui bab ini, sesungguhnya past.
buku ini, anda akan menyadari
bahwa hal yang tampaknya
sederhana ini menutupi
beberapa masalah yang rumit.
Perhatikan, misalnya, bahwa
ada ambiguitas mendalam
dalam istilah 'sejarah'. Ketika
kita berbicara tentang 'sejarah',
apakah kita berarti apa yang
 taught about the past, that is,
historiography? It is usually
clear from the context which
meaning we are using, but the
very fact that we have the
same term to describe both
meanings says something
rather important. Studying
history at a more advanced
level should make us a little
more circumspect about the
nature of the relationship
between the past and what is
written and taught about the
past. Fry uses the term history
as writing about the past; that
too will be the approach of
this chapter. In particular, we
shall examine the extent to
which history as a discipline
can be seen, crudely put, as
either a science or an art and
the consequences of taking
one view over the other.
3 The former Regius Professor
of Modern History at the
University of Cambridge, Sir
Geoffrey Elton (1921–94), put
it succinctly: history is at once
interesting and exciting,
amusing and instructive, but
above all it encompasses a
quest for the past. Yet Elton
opposed the idea that
historians should have an
empathy for the past, for such
an emotional engagement
displaces what should be the
object of the historian,
namely, rational enquiry into
past events. As a traditional
terjadi di masa lalu? Atau,
apakah yang kita maksudkan
adalah apa yang ditulis dan
diajarkan tentang masa lalu,
yaitu historiografi? Itu biasanya
jelas dari konteks yang berarti
yang kita gunakan, tetapi fakta
bahwa kita memiliki istilah
yang sama untuk
menggambarkan kedua arti
mengatakan sesuatu yang agak
penting. Menelaah sejarah pada
tingkat yang lebih maju
hendaknya membuat kita
sedikit lebih berhati-hati
mengenai sifat hubungan antara
masa lalu dan apa yang tertulis
dan diajarkan mengenai masa
lalu. Fry menggunakan istilah
sejarah sebagai menulis tentang
masa lalu; Itu juga akan
menjadi pendekatan bab ini.
Khususnya, kita akan
memeriksa sejauh mana sejarah
sebagai disiplin dapat dilihat,
secara sederhana, sebagai sains
atau seni dan konsekuensi dari
mengambil pandangan yang
satu atas yang lain.
Mantan profesor sejarah The passage explains
Modern di University of professor Elton's
Cambridge, Sir Geoffrey Elton view of history as
(1921-94), dengan tepat objective and
menyatakan: sejarah memang opposing the idea of
menarik dan menarik, lucu dan emotional
instruktif, tetapi yang terutama engagement because
mencakup pencarian akan masa historians must do
lalu. Namun, Elton menentang rational enquiry.
gagasan bahwa sejarawan harus
berempati terhadap masa lalu,
karena keterlibatan emosi
semacam itu menggantikan apa
yang seharusnya menjadi objek
sejarawan, yaitu penyelidikan
rasional terhadap peristiwa-
peristiwa masa lalu. Sebagai
 historian, he believed very
much in the possibilities of
history as an exercise in
empirical or factbased truth,
and the ability of the historian
to analyze objectively the
results of research with a high
degree of precision
4 These ideas were expressed in
Elton’s The Practice of
History (1967), which
remains a useful elaboration
of how history is
conventionally viewed. It is a
book, however, which was
written consciously as a
rejoinder to E.H. Carr (1892–
1982) and his What is
History? (1961), which had
argued for a rather more
sensitive approach to
historical evidence. For Carr,
history is subjective because
historians are recognized as
part of the process of doing
history, unable to separate
prejudices and
presuppositions from
conclusions drawn solely
from evidence. It is this factor
above all others that has
secured Carr’s reputation as a
radical historian, while Elton
is seen as a defender of the
conservative approach to
history. If both views are
caricatures – arch
conservative and radical –
each historian has left us with
a legacy upon which we can
build.
5 This spat between Elton and
Carr on the status of historical
knowledge is by common
consent the defining debate
sejarawan tradisional, dia
sangat percaya pada
kemungkinan sejarah sebagai
latihan dalam kebenaran
empiris atau fakta, dan
kemampuan sejarawan untuk
menganalisis secara objektif
hasil penelitian dengan tingkat
ketepatan yang tinggi
Gagasan-gagasan ini dinyatakan If the previous
dalam Elton's The Practice of paragraph expresses
History (1967), yang masih Elton's view, then it
merupakan suatu uraian yang tell about rejoinder
berguna tentang bagaimana Elton's views by
sejarah secara konvensional Carr. According to
dipandang. Ini adalah sebuah carr, history is
buku, bagaimanapun, yang subjective because
ditulis secara sadar sebagai historians are human
balasan ke e.H Carr (1892- beings and
1982) dan apa sejarah itu? inseparable from bias
(1961), yang berpendapat and prejudice.
bahwa pendekatan ini lebih Because of that, the
sensitif terhadap bukti sejarah. public compares Carr
Bagi Carr, sejarah adalah to Elton.
subjektif karena sejarawan
diakui sebagai bagian dari
proses melakukan sejarah, tidak
dapat memisahkan prasangka
dan presupposisi dari
kesimpulan yang hanya ditarik
dari bukti. Ini adalah faktor atas
semua orang lain yang telah
mengamankan reputasi Carr
sebagai sejarawan radikal,
sementara Elton dilihat sebagai
pembela pendekatan konservatif
sejarah. Jika kedua pandangan
adalah karikatur - arch
konservatif dan radikal - setiap
sejarawan telah meninggalkan
kita dengan warisan yang dapat
kita bangun.
Perbedaan antara Elton dan The comparison
Carr pada status ilmu sejarah between carr and
adalah berdasarkan persetujuan Elton was based on
umum tentang bagaimana studi dissent in historical
 about how the study of the
past should be approached.
While Elton was
unquestionably suspicious of
history’s ability to predict the
future, he nonetheless
understood the role of the
historian and saw history as
‘scientific’, that is, a method
based upon rational inquiry.
By approaching evidence
critically, he argued, historical
truth can be revealed. ‘Hard
work’ and ‘clear thinking’
would promote a healthy
scepticism as the historian
investigates the primary
sources or considers the views
of other historians.
6 According to Elton, the
successful resolution of all
historical problems depends
upon the appropriate use of
evidence. To this end three
main stages of reading
evidence are required: a
review of the available
evidence (what sources
exist?), the informed criticism
of that evidence (what does it
testify to?), and from that
process the framing of
answers (what actually
happened in the past?).
Historical research must
therefore ‘arise from the
evidence not from the mind of
the enquirer’, thereby
avoiding the ‘preconceived
notions’ of the historian. By
following these guidelines,
the historian ‘well trained in
the principles of scholarship’
can reveal the truth, or ‘as
near to the truth of the past as
he has any hope of getting’
tentang masa lalu harus exposure. However,
dihamparkan. Meskipun Elton Elton says history
jelas mencurigai kesanggupan must be scientific and
sejarah untuk meramalkan masa objective
depan, ia tetap memahami
peranan sejarawan dan
memandang sejarah sebagai
'ilmiah', yaitu metode yang
didasarkan atas penyelidikan
yang rasional. Dengan
mendekati bukti kritis, dia
berpendapat, kebenaran sejarah
dapat diungkapkan. 'kerja keras'
dan' pemikiran yang jernih
'akan menimbulkan skeptisisme
yang sehat seraya sejarawan
menyelidiki sumber-sumber
utama atau mempertimbangkan
pandangan sejarawan lainnya.
Menurut Elton, resolusi yang According to Elton,
sukses dari semua masalah history depends on
sejarah bergantung pada the proper use of
penggunaan bukti yang tepat. evidence, there are
Untuk tujuan ini diperlukan tiga three ways to test
tahap utama dari membaca evidence. Evidence
bukti yang ada: tinjauan testing was done to
terhadap bukti yang tersedia avoid mistake like the
(sumber mana yang ada?), mongers theory that
kritik informasi terhadap bukti he rejected.
itu (apa buktinya?), dan dari
proses itu pemedelan jawaban
(apa yang sebenarnya terjadi di
masa lalu?). Oleh karena itu,
riset sejarah harus' muncul dari
bukti bukan dari pikiran si
enquirer ', sehingga
menghindari 'konsep yang
sudah dianut sebelumnya' oleh
sejarawan. Dengan mengikuti
pedoman ini, sejarawan yang
'terlatih dengan baik dalam
prinsip-prinsip ilmu
pengetahuan' dapat
menyingkapkan kebenaran, atau
'sudah dekat dengan kebenaran
masa lalu seperti yang ia
 (Elton, 2002, pp. 46, 80). In
his Return to Essentials: Some
Reflections on the Present
State of Historical Study
(1991), Elton develops these
arguments by rejecting theory,
‘theory mongers’ and the
abstraction of history because
theory imposes ideas upon the
evidence in ways which
compromise its objectivity or
distort its use. Elton was thus
adamant that the involvement
of the historian as a subjective
individual, the ‘infiltration of
historiographical methods’
and the ‘problem of historical
reconstruction’ should be
‘reduced to a minimum’. The
historian must act only as a
conduit through which the
experiences of the past travel;
indeed, a relationship with the
dead provides the thrill and
challenge of history. If
nothing else, for the ‘honest
historian’, as Elton put it, just
doing history allows ‘the
enormous enlargement of
one’s acquaintances’, a list
that is renewed and refreshed
with every visit to the archive
7 Yet historians are social and
cultural animals, prompting
the suggestion that history is
less a science and more an art:
it is constructed through the
imagination of a particular
moment rather than
discovered through
harapkan' (Elton, 2002, HLM.
46, 80). Kembali ke hal yang
penting: beberapa renungan
tentang keadaan penelitian
sejarah yang ada sekarang
(1991), Elton mengembangkan
argugi-argumen ini dengan
menolak teori, 'teori mongers'
dan abstraknya sejarah karena
teori memaksakan gagasan atas
bukti yang ada dengan cara-cara
yang mengkompromikan
objektivitasnya atau
menyimpangkan
penggunaannya. Dengan
demikian, Elton berkeras bahwa
keterlibatan sejarawan sebagai
pribadi yang subjektif,
'penyusupan metomen-metode
historio' dan' problem
pembangunan kembali sejarah
'harus' minimum'. Sejarawan
harus bertindak hanya sebagai
saluran yang melaluinya
pengalaman perjalanan masa
lalu; Memang, hubungan
dengan orang mati memberikan
sensasi dan tantangan dalam
sejarah. Jika tidak ada yang
lain, untuk 'sejarawan jujur',
seperti yang dikatakan Elton,
sekadar melakukan sejarah
memungkinkan 'pembesaran
besar kenalan-kenalan
seseorang', suatu daftar yang
diperbarui dan disegarkan
dengan setiap kunjungan ke
arsip
Namun sejarawan adalah hewan This passage explains
sosial dan budaya, mendorong the statement that
saran bahwa sejarah kurang history is more like
ilmu dan lebih seni: itu an art. Than the art
dibangun melalui imajinasi displayed by the
pada saat tertentu daripada historical
ditemukan melalui percobaan imagination, a person
atau obyektif metodologi. Masa can view differently
experiment or objective
methodology. The past can
reveal truths which are part of
our personal and collective
lives. If, for example, we
consider a landscape
beautiful, it is because we
have absorbed historical
assumptions that influence
how we understand that
landscape. Mountains were
seen only as obstacles to easy
travel before the eighteenth
century, and then
subsequently regarded as
glorious monuments to
nature; these changing views
were not based on objective
approaches to the evidence
but in sensibilities that
emerged from the
Enlightenment; that is,
notions of the sublime
majesty of nature that quite
simply changed dramatically
with the influence of
Romanticism that emerged
from or against the
Enlightenment (see Chapter
5). In this context, for
example, we may have an
idea of the English village
that is bucolic, charming and
seemingly unchanging, the
very epitome of Englishness.
It may consist of a church, a
duck pond, a war memorial, a
cricket pitch or village green
and a public house or ‘pub’, a
sense of England as a pastoral
idyll symbolized by the
thatched roofed house or,
perhaps, the ‘babbling brook’
or haystack, even if this
particular feature of the
countryside actually
lalu dapat mengungkapkan according to the
kebenaran yang merupakan historical experience
bagian dari kehidupan pribadi he is known.
dan kolektif kita. Misalnya, jika
kita mempertimbangkan
keindahan pemandangan, itu
karena kita telah menyerap
asumsi sejarah yang
mempengaruhi bagaimana kita
memahami lanskap itu. Gunung
dipandang sebagai penghalang
perjalanan yang mudah sebelum
abad kedelapan belas, dan
kemudian dianggap sebagai
monumen yang mulia bagi
alam; Perubahan pandangan ini
tidak didasarkan pada
pendekatan objektif terhadap
bukti tetapi pada kepekaan yang
muncul dari pencerahan; Yaitu,
pengertian tentang keagungan
alam yang luhur yang secara
sederhana berubah secara
dramatis dengan pengaruh
romantisme yang muncul dari
atau menentang pencerahan
(lihat bab 5). Misalnya, dalam
konteks ini, kita mungkin
memiliki gagasan tentang desa
inggris yang padat, menarik dan
tampaknya tidak berubah,
perwujudan yang sama sekali
dari bahasa inggris. Mungkin
terdiri dari gereja, kolam bebek,
peringatan perang, lapangan
kriket atau rumah umum atau
'pub', rasa inggris sebagai idyll
yang disimbolkan oleh rumah
beratap lalang atau, mungkin,
'sungai kecil yang sudah rusak'
atau tumpukan jerami, bahkan
jika ciri khas daerah pedesaan
ini benar-benar hilang dari
ladang inggris hampir setengah
abad yang lalu (Samuel, 1994,
HLM. 107). Ini adalah gambar
 disappeared from English
fields almost half a century
ago (Samuel, 1994, p. 107). It
is an image that contrasts with
landscapes of smoking
chimneys or rows of terraced
houses that make up the ‘pit’
village of the former mining
communities, the ‘dark
satanic mills’ demonized by
writers such as William
Blake, Charles Dickens and
Arnold Bennett. These images
and narratives of
industrialization were evoked
when Victorian artists and
writers described
industrialization or the
‘condition of England’.
8 Outside a European
sensibility, this aesthetic may
never be known, and instead
the thatched roof in an
English village could be seen
as a sign of poverty. People of
earlier periods might have
read the picture differently not
because they lacked
humanity, sensibilities, taste,
or should somehow be
considered inferior to those
who lived in Western
cultures, but because the
historical milieux in which
they lived were simply
different. William Cobbett
(1763–1835), pamphleteer
and social commentator,
recalled in his Rural Rides,
sometime in the 1820s,
travelling through the rolling
hills of the Cotswolds in
England, not far from the city
of Oxford. He hated the
picturesque scenery: to him
the livestock that populated its
yang kontras dengan
pemandangan alam dari
cerobong asap yang berasap
atau deretan rumah berteras
yang membentuk desa 'lubang'
dari komunen-komunitas
pertambangan sebelumnya,
'lingkungan gelap setan mills'
yang didukung oleh para
penulis seperti William Blake,
Charles Dickens dan Arnold
Bennett. Gambar-gambar dan
narasi industrialisasi ini
dimunculkan ketika para
seniman dan penulis victoria
menggambarkan industrialisasi
atau 'kondisi inggris'.
Di luar kepekaan eropa, Another part of art as
keindahan ini mungkin tidak history is we realize
pernah diketahui, dan the beauty of the age.
sebaliknya atap jerami di Human’s views were
sebuah desa inggris bisa dilihat shaped by the ages of
sebagai tanda kemiskinan. man's life like the
Orang-orang dari masa awal parts of William
mungkin telah membaca cobtler's story
gambar secara berbeda bukan
karena mereka tidak memiliki
rasa kemanusiaan, rasa, atau
harus dengan satu atau lain cara
dianggap lebih rendah daripada
orang-orang yang hidup di
kebudayaan barat, tetapi karena
milieux sejarah di mana mereka
hidup benar-benar berbeda.
William cobtler (1763 —
1835), pamflet dan komentator
sosial, mengenang perjalanan
berbaginya di pedesaan, kira-
kira pada tahun 1820-an, dalam
perjalanan menyusuri
perbukitan Cotswolds di
inggris, tidak jauh dari kota
Oxford. Ia membenci
pemandangan yang indah:
 gentle hills and slopes would
feed the ‘Great Wen’ or large
drain; the teeming multitudes
of London. Before Cobbett, or
certainly in the century before
he was born, the argument
that the Cotswolds was a
storehouse for the industrial
masses could not have been
made or would have been
made in a quite different way.
9 It could be argued then that
whatever period or era of
history we live in is steeped
with sensibilities and
aesthetics that colour our lives
and shade how we learn or
write history, thereby
challenging our efforts to be
dispassionate in the way we
read evidence. This may give
us pause to consider whether
our consciousness of eras and
epochs can ever be identified
in an objective manner. Did
the middle classes feel
themselves to be continually
‘rising’ or could the ancients
have known that they were
ancient any more than we can
know precisely that we are
somehow ‘postmodern’.
Johan Huizinga’s highly
speculative but extremely
stimulating The Waning of
the Middle Ages (2001), first
published in 1924, looked at
the culture of fourteenth- and
fifteenthcentury France and
the Low Countries and
concluded that artists, as well
as theologians, poets,
chroniclers, princes and
statesmen should be treated
baginya ternak yang mendiami
bukit - bukit dan lereng -
lerengnya yang landai akan
memenuhi 'Wen yang agung'
atau saluran air yang luas;
Ribuan orang di London.
Sebelum pembuatan batu, atau
tentu saja pada abad sebelum
dia lahir, argumen bahwa
Cotswolds adalah gudang untuk
massa industri tidak mungkin
dibuat atau akan dibuat dengan
cara yang sangat berbeda.
Maka dapat dikatakan bahwa The passage explains
periode atau era sejarah apa pun that each time has its
yang kita jalani dipenuhi oleh unique characteristics
kepekaan dan estetika yang and human behavior
mewarnai kehidupan dan depends on what was
bayangan kita bagaimana kita happening at the time
belajar atau menulis sejarah,
dengan demikian menantang
upaya kita untuk menjadi tidak
bersemangat dalam cara kita
membaca bukti. Hal ini dapat
memberi kita jeda untuk
memikirkan apakah kesadaran
kita akan era dan era kita
pernah dapat diidentifikasi
dengan cara yang objektif.
Apakah golongan menengah
merasa diri mereka terus' naik
'atau mungkinkah orang-orang
dahulu mengetahui bahwa
mereka sudah tua lebih daripada
yang dapat kita ketahui dengan
tepat bahwa kita entah
bagaimana adalah' modern '.
Johan Huizinga yang sangat
spektratif namun sangat
menggugah memundurinya
abad pertengahan (2001), yang
pertama kali diterbitkan pada
tahun 1924, melihat
kebudayaan prancis abad
keempat belas dan kelima belas
dan negara-negara rendah dan
 ‘not as the harbingers of a menyimpulkan bahwa para
coming culture, but as seniman, juga para teolog,
perfecting and concluding the penyair, penulis sejarah,
old’ (Huizinga, 2001, p. x). pangeran dan negarawan harus
Chivalry, hierarchy, gothic dipandang 'bukan sebagai
forms and symbolism that pertanda kebudayaan yang akan
were so important to medieval datang, melainkan sebagai
architecture, art and life were penyempurnaaan dan
not the rotten remains of a kesimpulan yang lama'
stagnant, ‘dark’ or ‘middle’ (Huizinga, 2001, HLM. X).
age in history whose only real Bentuk-bentuk dan simbolisme
purpose was to stand in gotik yang begitu penting bagi
contrast to the bright, arsitektur abad pertengahan,
humanist ‘Renaissance seni dan kehidupan bukanlah
period’ that was about to be sisa-sisa membusuk dari
born. If we were alive then, stagnan, 'gelap' atau
unknowingly on the cusp of 'pertengahan' sejarah yang satu-
the medieval and early- satunya tujuan utamanya adalah
modern eras, we would surely untuk berdiri kontras dengan
have been subject to a terang, periode renaisans' yang
maelstrom of influences that akan segera lahir bagi para
dictated our attitudes to what humanis. Jika kita hidup saat
might be uniquely considered itu, tanpa sadar di puncak dari
at that moment to be pleasing era pertengahan dan awal
in appearance. zaman modern, kita pasti telah
tunduk pada pusaran pengaruh
yang menentukan sikap kita
terhadap apa yang mungkin
secara unik dipertimbangkan
pada saat itu untuk
menyenangkan penampilan.
10 If the contemporary observer Oleh karena itu jika pengamat This passage explains
can therefore differentiate kontemporer dapat the rally point
between the beauty and membedakan antara keindahan between carr and
ugliness of the rolling hills of dan keburukan dari perbukitan Elton's opinion that
the Cotswolds, and make Cotswolds, dan membuat history has its own
historical judgements about penilaian sejarah tentang apa way to finding a deal
what a landscape represents or yang diwakili oleh lanskap atau between subjective
how it has changed, it is bagaimana telah berubah, itu and objective
because our experiences in the karena pengalaman kita di masa
present are altogether more kini sama sekali lebih
encompassing than attempts menyeluruh daripada upaya
to recapture the past through untuk merebut kembali masa
the acquisition of analytical lalu melalui perolehan
skills or training for historians keterampilan analitis atau
proposed by Elton. Examples pelatihan untuk sejarawan yang
 from the history of landscape,
aesthetics or the competing
ideas of the English village,
serve to illustrate the message
at the heart of this section:
that history does indeed
matter in a way that would
find agreement between both
Carr and Elton, yet in
differing ways.
11 ‘The past is a foreign country’
is the opening line to the
novel by L. P. Hartley called
The GoBetween, and is a
place where ‘they do things
differently’. This articulates
how from the perspective of
Elton and others, the present
is indeed separated from the
past: ‘they’ are separated from
‘us’. And yet as David
Lowenthal noted in his 1985
book The Past Is a Foreign
Country:
During most of history men
scarcely differentiated past
from present, referring even
to remote events, if at all, as
though they were then
occurring. Up to the
nineteenth century those that
gave any thought to the
historical past supposed it
much like the present. To be
sure, the drama of history
recorded major changes of life
and landscape, but human
nature supposedly remained
constant, events always
actuated by the same passions
and prejudices. Even when
ennobled by nostalgia or
depreciated by partisans of
progress, the past seemed not
a foreign country but a part of
diajukan oleh Elton. Contoh
dari sejarah lansekap, estetika,
atau ide saingan dari desa
inggris, menggambarkan pesan
di jantung bagian ini: sejarah
memang penting dengan cara
yang akan menemukan
kesepakatan antara Carr dan
Elton, namun dengan cara yang
berbeda.
'masa lalu adalah negara asing' The passage explains
adalah baris pembuka untuk that history is always
novel oleh L. P. Hartley disebut different from the
The GoBetween, dan adalah present so history
tempat di mana 'mereka called as a foreign
melakukan hal-hal dengan country but history
berbeda'. Hal ini menjelaskan also part of the
bagaimana pandangan Elton country like David
dan yang lain-lain, yang Lowenthal said.
sekarang memang terpisah dari
masa lalu: 'mereka' terpisah dari
'kita'. Namun seperti yang
David Lowenthal perhatikan
dalam bukunya 1985 The Past
Is a Foreign Country:
Selama sebagian besar sejarah
manusia hampir berbeda dengan
masa lalu yang sekarang,
bahkan merujuk pada peristiwa-
peristiwa yang jauh, jika sama
sekali, seolah-olah hal-hal itu
kemudian terjadi. Sampai abad
kesembilan belas mereka yang
memberikan pemikiran apa pun
terhadap masa lalu dianggap
sangat mirip dengan masa
sekarang. Tentu saja, drama
sejarah mencatat perubahan
besar kehidupan dan lanskap,
tetapi sifat manusia seharusnya
tetap konstan, peristiwa selalu
digerakkan oleh nafsu dan
prasangka yang sama. Bahkan
ketika dibebani oleh nostalgia
atau depreciasi oleh para
 their own. And chroniclers pendukung kemajuan, masa lalu
portrayed bygone times with tampak bukan negara asing
an immediacy and intimacy melainkan bagian dari negara
that reflected the supposed mereka sendiri. Dan, para
likeness. pencatat menggambarkan masa
lalu dengan suatu kedekatan
dan keakraban yang
mencerminkan apa yang
seharusnya mirip.
12 Only with the rise of Hanya dengan meningkatnya The passage explains
scientific-type methodology metodologi jenis ilmiah ketika that the scientific
when importance came to be kepentingan mulai ditempatkan method will make
placed on ways of gathering pada cara-cara mengumpulkan history more
evidence objectively, could bukti secara obyektif, objectively bring up
distinctions in time be made perbedaan dapat terjadi antara new themes in history
between ‘then’ and ‘now’. 'dulu' dan 'sekarang'. Ini adalah
This is a theme that we shall tema yang akan kita bahas di
return to in the next chapter. bab berikutnya. Beberapa
Some commentators komentator tertarik pada
interested in questions that pertanyaan-pertanyaan yang
arise from the quest for timbul dari pencarian akan
historical objectivity and objektivitas sejarah dan narasi
coherent narratives, such as koheren, seperti sejarawan
the historian Gertrude Gertrude Himmelfarb, telah
Himmelfarb, have articulated mengartikannya kebutuhan
an overwhelming need to yang luar biasa untuk
revive histories that promote memulihkan sejarah yang
synthesized or unified themes mempromosikan tema-tema
concerned with class, nation, disintasi atau terpadu yang
ideas and so forth. However berhubungan dengan kelas,
universal or ‘whole’ bangsa, gagasan, dan
narratives such as the story of sebagainya. Bagaimanapun
nation or class have been, narasi universal atau
efforts to foster and promote a 'keseluruhan' seperti kisah
single, coherent and bangsa atau kelas telah, upaya
integrated history have untuk mendorong dan
become increasingly difficult, mempromosikan sejarah
precisely because of renewed tunggal, koheren dan terpadu
efforts to write histories of telah menjadi semakin sulit,
gender, race and so on that tepat karena upaya baru untuk
speak to our lives in the here menulis sejarah gender, ras dan
and now. seterusnya yang berbicara
dalam kehidupan kita di sini
dan sekarang.
13 Like Elton, Himmelfarb has Seperti Elton, Himmelfarb telah Himmelfarb has the
argued that a downplaying of berpendapat bahwa same view as Elton
 political history over a
number of years has
encouraged historical
knowledge to be treated in
isolation, with each topic
treated like a piece of a jigsaw
but where seldom a complete
picture comes into view. The
real distinction that
Himmelfarb makes, however,
is between an ‘old’ history
that attempts to understand
contemporaries in their own
terms, and the ‘new’ history
which, while laudable in
taking notice of, say, the
historical role of women or
black people, tends to
interpret the past solely
through the optic of the
present (Himmelfarb, 2004).
This fragmentation of
historical narratives into
stories about ‘identities’ has
happened under the influence
of literary theory which, she
argues, deconstructs the
language used in historical
sources to the point where the
voice of the author is given no
authority and the meaning of
which can never be truly
known. The text and the
language of the text, from this
perspective, have no context
besides the preoccupations
and concerns of the historian
in the present day (see
Chapter 9).
14 We are presented then with a
serious choice about how
history as a discipline works,
what it can reasonably do and
how it is approached. Taking
our cue from historians such
as Elton or Himmelfarb, is
meremehkan sejarah politik where political
selama beberapa tahun telah history is separate
mendorong pengetahuan sejarah from other history as
untuk diperlakukan secara he treats old history
terpisah, dengan setiap topik differently from new
diperlakukan seperti sepotong history.
jigsaw tetapi di mana jarang
gambar lengkap muncul.
Bagaimanapun, perbedaan
sebenarnya yang Himmelfarb
buat, adalah antara sejarah
'lama' yang berusaha untuk
memahami orang sezaman
dengan istilah mereka sendiri,
dan sejarah 'baru' yang,
sementara dipuji dalam
memperhatikan, mengatakan,
peran sejarah wanita atau orang
kulit hitam, cenderung
menafsirkan masa lalu hanya
melalui optik saat ini
(Himmelfarb, 2004).
Fragmentasi ini dari narasi
sejarah ke dalam cerita tentang
'identitas' telah terjadi di bawah
pengaruh teori sastra yang,
menurut dia, merusak bahasa
yang digunakan dalam sumber-
sumber sejarah sampai pada
titik di mana suara penulis tidak
diberikan otoritas dan arti yang
tidak pernah benar-benar
dikenal. Teks dan bahasa teks,
dari perspektif ini, tidak
memiliki konteks selain
kesibukan dan kekhawatiran
sejarawan di zaman sekarang
(lihat bab 9).
Kita kemudian dihadapkan pada The passage is the
pilihan serius mengenai closure part that
bagaimana sejarah sebagai historians still have
disiplin bekerja, apa yang many questions to
secara masuk akal dapat know the truth of the
dilakukan dan bagaimana itu past
dihamparkan. Menerima
objectivity something we
should strive for? Or is the
subjectivity and (to an extent)
present-mindedness of Carr
and others more convincing?
What are the pressures and
influences bearing down on us
as we ‘do’ history, and can we
resist these pressures to the
extent that we can really
know things about the past?
To address these questions,
and to introduce others, we
shall need to take a trip to
India and the British Raj.
petunjuk kita dari sejarawan
seperti Elton atau Himmelfarb,
apakah kita harus berupaya
keras untuk bersikap objektif?
Atau apakah subjektivitas dan
(sampai batas) pembela Carr
dan lainnya lebih meyakinkan?
Apa tekanan dan pengaruh yang
menekan kita sewaktu kita
'melakukannya' sejarah, dan
dapatkah kita melawan tekanan-
tekanan ini sehingga kita dapat
benar-benar mengetahui hal-hal
tentang masa lalu? Untuk
mengatasi pertanyaan ini, dan
untuk memperkenalkan orang
lain, kita harus melakukan
perjalanan ke India dan inggris
Raj.
 Section 4: Causes in History
No Text Translate Conclusion
1 We wish to end this chapter Kami ingin mengakhiri bab ini This passage explains
by focusing on the most dengan berfokus pada that the transmission
important – and intractable – pertanyaan yang paling penting of history was not so
question faced by historians dan sulit dijawab yang dihadapi much considered by
today, namely, can historians oleh para sejarawan dewasa ini, historians to the
ever explain what happened in yaitu, dapatkah sejarawan enlightened and
the past? The question may menjelaskan apa yang terjadi di historians of the
seem an obvious one, but it is masa lalu? Pertanyaan itu previous century to
perhaps surprising how little mungkin tampak jelas, tetapi simply write the past
attention it has commanded mungkin mengejutkan betapa and not to explain
among historians in the long sedikitnya perhatian yang telah past events.
term. As we shall see when diberikan oleh para sejarawan
we come, in Chapter 5, to dalam jangka panjang. Seperti
review how the discipline yang akan kita lihat ketika kita
developed, the question of datang, di bab 5, untuk
interpretation was not taken meninjau bagaimana disiplin
seriously until the berkembang, pertanyaan
Enlightenment. Previous interpretasi tidak ditanggapi
historians had tended to work secara serius sampai
in order to chronicle events as pencerahan. Para sejarawan
a means of celebrating past sebelumnya cenderung
achievements, or of bolstering berupaya mencatat kejadian-
the claims of particular rulers. kejadian sebagai cara untuk
In this respect, history rarely merayakan pencapaiannya di
rose above the level of masa lalu, atau untuk
propaganda. Furthermore, if memperlengahkan pernyataan
ever they articulated a sense para penguasa tertentu. Dalam
of historical process by hal ini, sejarah jarang
 describing, say, how a meningkat di atas tingkat
particular society progressed, propaganda. Selain itu, jika
this was almost invariably mereka mengartikulasikan rasa
seen as the result of divine proses sejarah dengan
providence or accident. menjelaskan, katakanlah,
bagaimana kemajuan suatu
masyarakat, ini hampir selalu
dipandang sebagai hasil dari
pemeliharaan ilahi atau
kecelakaan.
2 The other barrier which Penghalang lain yang perlu It conveys the notion
modern historians needed to diatasi para sejarawan modern that positivism is an
overcome was that of adalah penghalang positivisme, obstacle to historians
positivism, a system of suatu sistem pemikiran yang but is so widely used
thought that had dominated telah mendominasi by historians that
historical inquiry since the penyelidikan sejarah sejak abad historians retain
nineteenth century. We have kesembilan belas. Kita telah much evidence and
already touched on this in the membahas hal ini dalam facts
earlier discussion of Geoffrey pembahasan awal tentang
Elton, a twentieth-century Geoffrey Elton, seorang
historian who continued to sejarawan abad kedua puluh
adhere to this philosophy, but yang terus berpegang pada
now it is necessary to flesh filsafat ini, tetapi sekarang kita
out the arguments a little. perlu mengubah sedikit
Positivism was a philosophy argumen-argumen tersebut.
of knowledge that had its Positivism adalah filsafat
roots in, and came to define pengetahuan yang sudah
the methodology of the berasal-usul, dan kemudian
natural sciences in the early menemukan metodologi ilmu
modern period. It held that pengetahuan alam pada masa
priority be given to the awal zaman modern. Hukum itu
compilation and organization menetapkan bahwa prioritas
of facts on the basis of which diberikan kepada penyusunan
general (scientific) laws could dan pengorganisasian fakta-
then be induced. Historians fakta berdasarkan hukum-
were seduced by this hukum umum (ilmiah) yang
approach, and so set about kemudian dapat dibentuk. Para
gathering all the facts they sejarawan terbujuk oleh
could lay their hands on. Not pendekatan ini, dan dengan
only that, they recognized that demikian berupaya
the facts – or historical mengumpulkan semua fakta
evidence as they preferred to yang dapat mereka peroleh.
call this material – needed to Bukan hanya itu, mereka
be as reliable and authentic as mengakui bahwa fakta — atau
possible. Much time was bukti sejarah yang mereka lebih
therefore devoted to a critical suka menyebutnya bahan ini —
 examination of the gathered
evidence before it could be
given their seal of approval.
The result was a vast increase
in the store of evidence,
almost all of which derived
from documentary sources
such as commentaries, state
papers, court records and
correspondence. (It was to be
many years before other
sources including
archaeological, literary and
photographic were taken
seriously.)
3 The transition from facts to
general laws, however, which
seemed to be accomplished
with great success in the
natural sciences, worked less
well in history. The main
problem was in the evidence
itself. Scientific evidence
tended to be much more
secure, reliable and
controllable. Facts were
gathered by scientists under
strictly monitored conditions.
They derived from first-hand
observation which, if
necessary, could be repeated
time and again. No historian
enjoyed such privileges. The
inevitable outcome was that
history remained rooted in the
compilation of facts which
came to be seen as its sole
raison d’être. Thus it was that
nineteenth-century historians
such as von Ranke could
claim that the task of the
historian was to report things
as they actually happened.
harus sehandal dan seautentik
mungkin. Oleh karena itu,
banyak waktu dibaktikan untuk
memeriksa secara kritis bukti
yang dikumpulkan itu sebelum
meterai persetujuan mereka
diberikan. Hasilnya adalah
peningkatan besar dalam
penyimpanan bukti, hampir
semua yang berasal dari
sumber-sumber dokumenter
seperti ulasan, surat kabar
negara, catatan pengadilan, dan
korespondensi. (butuh waktu
bertahun-tahun sebelum
sumber-sumber lain termasuk
arkeologi, kesastraan dan
fotografi dianggap serius.)
Namun, transisi dari fakta ke They are
hukum umum, yang tampaknya incompatible with
dicapai dengan keberhasilan history because
besar dalam ilmu alam, kurang historians have only
berhasil dalam sejarah. Masalah evidence, unlike
utama adalah bukti itu sendiri. those not historians
Bukti ilmiah cenderung jauh who can repeat
lebih aman, dapat diandalkan, research to achieve
dan terkendali. Fakta valid results so von
dikumpulkan oleh para ranke says that the
ilmuwan dalam kondisi yang historian's duty is to
diawasi dengan ketat. Mereka report things that
berasal dari pengamatan tangan actually happen.
pertama yang, jika perlu, dapat
diulang berkali-kali. Tidak ada
sejarawan yang menikmati hak
istimewa seperti itu. Hasil yang
tak terelakkan adalah bahwa
sejarah tetap berakar dalam
kumpulan fakta yang kemudian
dilihat sebagai satu-satunya
raison d 'etre. Oleh karena itu,
para sejarawan abad kesembilan
belas seperti von Ranke dapat
mengklaim bahwa tugas
sejarawan adalah untuk
melaporkan hal-hal yang
sebenarnya terjadi.
4 Alternative currents of
thought emerged in the course
of the century which
challenged this comforting
orthodoxy. Sociological
thinking gained momentum.
Led by Auguste Comte
(1798–1857), sociologists
began to argue that historical
evidence offered something
more important and
interesting than the mere
recording of events
(Collingwood, 1961, pp. 128–
31). If historians could not
follow the example of natural
scientists, then he proposed a
new social science of
sociology, which would use
historical and contemporary
evidence as the platform to
launch into an investigation of
the causal connections among
the facts, on the basis of
which sociologists could
explain patterns of human
behaviour and derive laws of
societal change. Thus,
according to Comte, the
sociologist was a super-
historian because he or she
elevated history to the rank of
a science, and historians to
scientists instead of mere
collectors and recorders of
evidence.
5 The second impulse for
change came from the work
of Charles Darwin. The idea
of a static natural world had
long been discarded before
The Origin of Species first
appeared in 1859, but that of
evolution through natural
selection was truly original
and seismic in its impact.
Arus pemikiran alternatif This passage gives
muncul pada abad ini yang another view than
menantang ortodoksi yang von ranke's
menghibur ini. Pemikiran statement: the view
sosiologis meningkat drastis. of sociologists who
Dipimpin oleh Auguste Comte claim that historians
(1798-1857), para sosiolog can find causality
mulai berpendapat bahwa bukti through the available
sejarah menawarkan sesuatu evidence and fing the
yang lebih penting dan menarik patterns of human
daripada sekadar mencatat behavior
peristiwa (Collingwood, 1961,
HLM. 128-31). Jika sejarawan
tidak bisa mengikuti contoh
para ilmuwan alami, maka ia
mengusulkan ilmu sosial baru
sosiologi, yang akan
menggunakan bukti sejarah dan
kontemporer sebagai platform
untuk memulai penyelidikan
hubungan kausal antara fakta-
fakta, berdasarkan yang
sosiolog bisa menjelaskan pola
perilaku manusia dan
memperoleh hukum perubahan
sosial. Oleh karena itu, menurut
Comte, sosiolog adalah
sejarawan super karena ia
mengangkat sejarah hingga ke
tingkat sains, dan sejarawan
menjadi ilmuwan dan bukan
sekadar kolektor dan perekam
bukti.
Dorongan kedua untuk A second opinion
perubahan datang dari karya based of Charles
Charles Darwin. Gagasan Darwin's discovery of
tentang suatu dunia alam statis human evolution is
telah lama dibuang sebelum viewed as an idea of
asal mula spesies pertama kali progress and can be
muncul pada tahun 1859, tetapi applied by historians
evolusi melalui seleksi alam
benar-benar asli dan seismik
dampaknya. Meski ada banyak
 Despite its many detractors, yang menentang, evolusi
evolution conquered science, menaklukkan sains, dan mulai
and began increasingly to menarik perhatian para
appeal to historians. sejarawan. Lagi pula, evolusi
Evolution, after all, was diprediksikan tentang gagasan
predicated on the notion of kemajuan seraya waktu berlalu,
progress over time, and so it sehingga teori ini kemudian
came to be viewed as a theory dianggap sebagai teori yang
that could be applied as much dapat diterapkan untuk sejarah
to historical as natural change. sebagai perubahan alam. Teori-
Grand theories about the teori besar tentang kemajuan
steady progress of peradaban yang tetap,
civilization, particularly in the khususnya pada era modern
modern era when the ketika pencerahan telah
Enlightenment had banished menyingkirkan era kefanatikan,
the age of bigotry, darkness kegelapan dan takhayul, dan
and superstition, and industrialisasi serta liberalisasi
industrialization and menyediakan harapan besar
liberalization provided great bagi masa depan umat manusia
hope for the future of a free yang bebas dan makmur banyak
and prosperous human race bergantung pada pemikiran
owed much to this current of terkini ini.
thought.
6 This exciting opening up of Akan tetapi, dibukanya This section explains
historical inquiry, however, penyelidikan sejarah yang that historical
presented a whole new range menarik ini menyajikan methodology is still
of philosophical and berbagai pertanyaan baru pursued by historians,
methodological questions tentang filsafat dan metodologis but historians tend to
with which historians still yang masih diupayakan oleh use narrations to
grapple. Many historians para sejarawan. Banyak present historical
employed narrative as a sejarawan menggunakan narasi research despite bias
vehicle to identify causal sebagai sarana untuk in determining
links. Story telling was an mengidentifikasi keterkaitan individual motives
integral part of positivist kausal. Bercerita merupakan
approaches to the past, bagian integral dari pendekatan
especially in biographical positif ke masa lalu, terutama
accounts where the motives of dalam kisah biografi di mana
individual actors could readily motif masing-masing aktor
be unearthed, and so it was a dapat mudah digali, dan
matter of framing their sehingga adalah masalah
narratives with a greater membingkai narasi mereka
rigour. Diplomatic and dengan kejenaka yang lebih
political histories have been, besar. Sejarah diplomatik dan
and continue to be prone to politik telah, dan terus rentan
approaches relying on the terhadap pendekatan bersandar
stated intent and tactics of the pada maksud dan taktik yang
 main players (Tosh, 2002, pp.
142–50). Individual motive,
however, has proved an
uncertain and unreliable guide
to historical causation. There
is often a real discrepancy
between what historical actors
say about their motives,
understandings and policies,
and how they actually choose
to act in particular situations.
The stated aims of the Court
of Directors of the East India
Company, for example, are
poor guides to measures taken
by company officials on the
ground in eighteenth-century
India. Equally importantly,
individuals rarely display an
awareness of structural
changes such as
modernization, demography
or popular sensibilities within
which they worked and which
necessarily underpinned the
historical changes they
witnessed.
7 Ultimately, because human
behaviour is extraordinarily
complex, as are its causes,
onedimensional explanations
are unreliable and inaccurate.
Stephen Kern has recently
highlighted some of these
issues by exploring the
changing interpretations of
murder in western culture and
the bodies of knowledge upon
which they have drawn (Kern,
2004). His emphasis is chiefly
on literary forms but the same
motifs operate in works of
history. Concomitant with the
rise of sociology in the early
dinyatakan dari pemain utama
(Tosh, 2002, HLM. 142-50).
Namun, motif perorangan telah
terbukti sebagai pedoman
sejarah yang tidak pasti dan
tidak dapat diandalkan. Sering
kali ada ketidaksesuaian nyata
antara apa yang dikatakan para
aktor sejarah tentang motif,
pemahaman dan kebijakan
mereka, dan bagaimana mereka
benar-benar memilih untuk
bertindak dalam situasi tertentu.
Misalnya, tujuan yang
dinyatakan oleh pengadilan
direksi perusahaan India timur
adalah pedoman yang buruk
untuk diambil oleh para pejabat
perusahaan di India pada abad
kedelapan belas. Yang sama
pentingnya, orang-orang jarang
memperlihatkan kesadaran akan
perubahan struktural seperti
modernisasi, demografi atau
kepekaan populer yang di
dalamnya mereka bekerja dan
yang tentu saja mendukung
perubahan sejarah yang mereka
saksikan.
Pada akhirnya, karena perilaku Complex human
manusia luar biasa kompleks, behavior led Stephen
seperti penyebabnya, penjelasan kern to investigate
satu dimensi tidak dapat changes in the
diandalkan dan tidak akurat. interpretation of
Stephen Kern baru-baru ini murder in western
menyoroti beberapa culture. It refers to
permasalahan ini dengan literature but is used
menyelidiki perubahan also in history. That
penafsiran atas pembunuhan literature is a filter for
dalam kebudayaan barat dan scientific
kumpulan pengetahuan yang explanations.
telah mereka gambar (Kern,
2004). Penekanannya terutama
pada bentuk kesusastraan tetapi
motif yang sama bekerja dalam
karya sejarah. Sesuai dengan
 decades of the nineteenth
century, Kern argues, western
thinkers transformed
understanding of human
behaviour and its causes.
Advances in disciplines
including genetics,
economics, biology,
criminology and philosophy
provided the impetus, but they
were most popularly evident
in the novel which came to act
as a filter for ‘scientific’
explanations. Crime fiction is
a particularly good example.
Early novels of this genre
displayed strongly determinist
causal factors such as
monomania in Moby Dick
and poverty in Oliver Twist,
but as the century wore on
these factors became
increasing layered and
multifaceted. With this, the
search for unambiguous
causality found in many
Victorian novels was
abandoned as writers more
willingly accepted open-
ended plots with no definite
closure
8 The pleasing irony here is that
this move to complexity and
uncertainty reflected broader
structural changes in society,
notably the increasing
interdependence and
remoteness of social and
economic relationships which
resulted from the expansion of
industrial capitalism and
urbanization. History, in other
words, caused shifts in the
ways in which causality itself
was viewed. And these
changes were manifest in the
kebangkitan sosiologi pada
dekade-dekade awal abad
kesembilan belas, Kern
berpendapat, para pemikir barat
mengubah pemahaman tentang
perilaku manusia dan
penyebabnya. Kemajuan dalam
ilmu ilmu termasuk genetika,
ekonomi, biologi, kriminologi
dan filsafat memberikan
dorongan, tetapi hal itu paling
populer terbukti dalam novel
yang kemudian bertindak
sebagai filter untuk penjelasan
'ilmiah'. Fiksi kriminal adalah
contoh yang sangat baik.
Novel-novel awal dari genre ini
menunjukkan faktor penyebab
yang kuat seperti monomania di
Moby Dick dan kemiskinan di
Oliver Twist, tapi ketika abad
mengenakan pada faktor-faktor
tersebut menjadi meningkat
lapisan dan multisisi. Dengan
ini, pencarian kausalitas jelas
ditemukan dalam banyak novel
victoria ditinggalkan karena
penulis lebih rela menerima plot
terbuka tanpa penutupan pasti
Ironi yang menyenangkan di The passage states
sini adalah bahwa langkah that history can
menuju kompleksitas dan explain the relation of
ketidakpastian ini causality between
mencerminkan perubahan historical events and
struktur yang lebih luas dalam human behavior.
masyarakat, terutama Kern gives examples
meningkatnya ketergantungan of this causality
antar dunia dan keterpencilan through some
hubungan sosial dan ekonomi fictional characters
yang dihasilkan dari ekspansi
kapitalisme industri dan
urbanisasi. Sejarah, dengan kata
lain, menyebabkan pergeseran
dalam cara di mana kausalitas
broad causal themes identified
by Kern, namely, ancestry,
childhood, language,
sexuality, emotion, mind,
society and ideas, all of which
featured strongly both in
scientific research and crime
fiction. A few examples from
Kern must suffice. In Dracula
(1897), Bram Stoker skilfully
combines ancestry and
criminality. The count is heir
to predatory impulses passed
down through the bloodline
from one generation to
another. But Stoker also drew
freely upon the work of the
influential Italian
criminologist Cesare
Lombroso who had done
much to popularize the notion
that ‘criminal types’ had
clearly recognizable features.
Thus, the count was identified
as a criminal type with an
imperfectly formed mind,
evidence of which could be
detected in his aquiline nose,
bushy eyebrows and pointed
ears. Aldous Huxley’s Brave
New World (1932) depicts the
use of hormones to activate
and quell aggressive impulses.
In his dystopian vision,
female embryos are injected
with male sex hormones, the
urges of adult females are
placated with mammary gland
extracts, and adults chew sex-
hormone gum. When
necessary to discharge
aggression, hormones are
even used to simulate murder.
And when in John Steinbeck’s
The Grapes of Wrath (1939)
the house of a poor farmer is
itu sendiri dilihat. Dan,
perubahan ini nyata dalam
tema-tema kausal yang luas
yang diidentifikasi oleh Kern,
yaitu leluhur, masa kecil,
bahasa, seksualitas, emosi,
pikiran, masyarakat dan
gagasan, yang semuanya sangat
menonjol baik dalam penelitian
ilmiah maupun fiksi kejahatan.
Beberapa contoh dari Kern
sudah memadai. Di Dracula
(1897), Bram Stoker dengan
keterampilan menggabungkan
nenek moyang dan kriminalitas.
Count adalah pewaris impuls
predator diturunkan melalui
garis keturunan dari satu
generasi ke generasi lainnya.
Tetapi, Stoker juga dengan
bebas mendukung karya
kriminolog italia yang
berpengaruh, Cesare Lombroso,
yang banyak berperan dalam
menyebarluaskan gagasan
bahwa 'jenis-jenis kriminal'
jelas terlihat. Jadi, tuduhan itu
dianggap sebagai kejahatan
dengan cara berpikir yang tidak
sempurna, yang bukti -
buktinya dapat dideteksi di
hidungnya yang berair, alis
yang lebat, dan telinga yang
lancip. Aldous Huxley Brave
New World (1932)
menggambarkan penggunaan
hormon untuk mengaktifkan
dan meredam dorongan agresif.
Dalam penglihatannya, embrio-
embrio betina disuntik dengan
hormon seks laki-laki, dorongan
dari wanita dewasa untuk
ditenangkan dengan ekstrak
kelenjar susu, dan orang dewasa
mengunyah permen karet
hormon seks. Bila diperlukan
 about to be bulldozed, his
murderous intent is defused
by the driver’s assertion that
there is no one to blame and
therefore no one to be shot.
Anonymous, remote corporate
greed is ultimately
responsible for the farmer’s
desperate plight.
9 These are solitary fictional
characters whose experiences
may not translate that readily
into history. Except that there
are abundant examples from
biographies of real historical
actors which employ the same
strategies and narrative
devices in identifying causal
relationships. The all-
toonumerous studies of Hitler,
for example, include the full
range of sociological,
psychological, economic and
sexual motives in attempting
to explain his monstrous
behaviour. Rudolph Binion’s
psycho-history Hitler among
the Germans (1976) is typical.
Binion proposes that traumas
from Hitler’s early life were
largely responsible for his
subsequent genocide of the
Jews. Before his birth,
Hitler’s mother lost three
children to diphtheria, in
response to which she became
over -protective of Adolf,
untuk meredakan serangan,
hormon bahkan digunakan
untuk mensimulasikan
pembunuhan. Dan ketika di
rumah John Steinbeck's The
anggurnya of Wrath (1939)
rumah seorang petani miskin
akan segera diratakan, niatnya
untuk membunuh akan dibasmi
oleh pernyataan sang sopir
bahwa tidak ada yang bisa
dipersalahkan dan oleh karena
itu tidak ada yang akan
ditembak. Anonymous,
keserakahan perusahaan
terpencil akhirnya bertanggung
jawab untuk nasib petani putus
asa.
Ini adalah karakter fiksi soliter This passage
yang pengalamannya mungkin describes the
tidak menerjemahkan yang causality that Hitler
mudah ke dalam sejarah. experiences asa
Kecuali bahwa ada banyak historical person that
contoh dari biografi aktor his hatred of the jews
sejarah nyata yang is due to his past
menggunakan strategi dan experiences.
perangkat naratif yang sama
dalam mengidentifikasi
hubungan kausal. Semua studi
toonumerous Hitler, misalnya,
mencakup semua aspek sosial,
psikologis, ekonomi dan motif
seksual dalam mencoba untuk
menjelaskan perilaku
mengerikan nya. Sejarah psiko-
sejarah Rudolph Binion Hitler
di antara orang-orang jerman
(1976) adalah tipikal. Binion
mengusulkan bahwa trauma
dari kehidupan awal Hitler
sebagian besar bertanggung
jawab atas pembantaian orang-
orang yahudi setelahnya.
Sebelum kelahirannya, ibu
Hitler kehilangan tiga anaknya
karena diphtheria, karena itu ia
 breast feeding him well into
teething but simultaneously
conveying feelings of guilt
and inadequacy. Later she
was diagnosed with breast
cancer and had a double
mastectomy, largely on the
recommendation of a Jewish
doctor. But the cancer
returned, and Hitler insisted
the doctor – against his better
advice – apply daily a
pungent drug Iodoform to the
suppurating scars, but to no
avail for the mother died,
probably from ingesting the
drug. Using notions of oral
trauma and Freudian oedipal
theory, Binion uses these
events to explain Hitler’s
hatred of Jews and the
constant references he makes
to the removal of the poison
and cancer within German
society (Kern, 2006, pp. 79–
85).
10 Most historians, however,
justifiably remain sceptical of
such approaches. The
elevation of largely accidental
events to principal causal
status in explaining
momentous historical
happenings is misleading,
even foolhardy. Quite apart
from Binion’s reliance on
uncertain psychoanalytical
theory, there remains the
whole question of whether
historical change can be
explained by reference to a
over — protektif terhadap
Adolf, memberinya asi dengan
baik menjadi giginya tetapi
sekaligus menyampaikan
perasaan bersalah dan tidak
cakap. Belakangan, ia
didiagnosis mengidap kanker
payudara dan menjalani
mastektomi ganda, umumnya
atas rekomendasi seorang
dokter yahudi. Tetapi, kanker
itu kembali, dan Hitler berkeras
agar sang dokter — yang
menentang saran baiknya —
menerapkan setiap hari obat
yang tajam seperti kehilangan
bekas luka, tetapi tidak ada
gunanya bagi sang ibu yang
meninggal, mungkin karena
meminum obatnya. Dengan
menggunakan gagasan tentang
trauma mulut dan teori Freudian
oedipal, Binion menggunakan
kejadian-kejadian ini untuk
menjelaskan kebencian Hitler
terhadap orang yahudi dan
referensi terus-menerus yang ia
buat untuk menghilangkan
racun dan kanker dalam
masyarakat jerman (Kern, 2006,
HLM. 79-85).
Akan tetapi, kebanyakan Some historians
sejarawan tetap bersikap skeptis doubt single causality
terhadap pendekatan semacam as the motive in
itu. Dibangunnya peristiwa- historical events
peristiwa yang sebagian besar because humans are
terjadi secara kebetulan menjadi complex creatures
status kausal utama dalam and are driven by
menjelaskan kejadian-kejadian several kinds of
bersejarah yang penting adalah factors
menyesatkan, bahkan bodoh.
Terlepas dari ketergantungan
Binion pada teori psikoanalisis
yang tidak pasti, masih ada
pertanyaan tentang apakah
perubahan sejarah dapat
 single factor. Arguably,
Hitler’s hatred of the Jews
had just as much to do with
Germany’s crisis following
defeat in the First World War,
the ancient lineages of anti-
semitism, and an aggressive
nationalism.
11 In order to develop the
critique of monocausal
explanations let us consider
examples of somewhat
limited historical thinking
about other momentous
events. It is widely believed
that the United States was
eventually compelled to enter
the Second World War by the
bombing of Pearl Harbor in
December 1941, but as John
Gaddis shows with admirable
clarity, the reality was rather
different:
It would make no sense . . . to
begin an account of the
Japanese attack on Pearl
Harbour with the launching of
the planes from their carriers:
you’d want to know how the
carriers came to be within
range of Hawaii, which
requires explaining why the
government in Tokyo chose to
risk war with the United
States. But you can’t do that
without discussing the
American oil embargo against
Japan, which in turn was a
response to the Japanese
takeover of French Indochina.
Which of course resulted from
the opportunity provided by
France’s defeat at the hands
of Nazi Germany, together
dijelaskan dengan referensi
pada satu faktor. Bisa dibilang,
kebencian Hitler terhadap orang
yahudi ada kaitannya dengan
krisis jerman setelah kekalahan
dalam perang dunia pertama,
garis keturunan kuno anti-
semitisme, dan nasionalisme
yang agresif.
Untuk mengembangkan kritik This passage contains
dari penjelasan monokausal a continuation of the
mari kita pertimbangkan monocoual criticism
contoh-contoh pemikiran of the United States
historis agak terbatas mengenai case studies that were
peristiwa-peristiwa penting forced to join world
lainnya. Secara luas dipercaya war II because of the
bahwa amerika serikat akhirnya bombing of the Pearl
dipaksa untuk memasuki perang Harbour, which the
dunia kedua dengan pemboman United States was
Pearl Harbor pada bulan supported by an oil
desember 1941, tapi seperti embargo against
yang diperlihatkan oleh John Japan
Gaddis dengan sangat jelas,
kenyataannya agak berbeda:
Itu tidak masuk akal... Untuk
memulai laporan tentang
serangan jepang di Pearl harbor
dengan peluncuran pesawat dari
kapal induknya: anda ingin tahu
bagaimana kapal induknya
berada dalam jangkauan
Hawaii, yang membutuhkan
penjelasan mengapa pemerintah
di Tokyo memilih untuk
mengambil risiko perang
dengan amerika serikat. Tapi
kau tidak bisa melakukan itu
tanpa membahas embargo
minyak amerika terhadap
jepang, yang pada gilirannya
adalah respon terhadap
pengambilalihan jepang
indocina perancis. Yang tentu
saja dihasilkan dari kesempatan
yang disediakan oleh kekalahan
 with frustrations Japan had
encountered in trying to
conquer China. Accounting
for all this, however, would
require some attention to the
rise of authoritarianism and
militarism during the 1930s,
which in turn had something
to do with the Great
Depression as well as the
perceived iniquities of the
post-World War I settlement,
and so on.
12 The oft-quoted claim – to take
another example – that the
First World War was caused
by the assassination of
Archduke Ferdinand is
likewise suspect for it ignores
the deeper structural shifts
brought by imperial and
industrial rivalries, the
struggles over resources, inept
diplomatic manoeuvrings, and
even the destructive impulses
of modernization. And so it is
simply not true (as we have
found in this very chapter)
that the Indian Mutiny was
caused by forcing sepoys to
bite rifle cartridges smeared
with pig fat, or that the
abolition of slavery was
driven solely by humanitarian
desires to free enslaved
Africans and their
descendants.
13 So where does all this leave
the question of historical
causation? If we reject the
idea of a single causal factor,
or of the determining
influence of individual actors
perancis di tangan Nazi jerman,
bersama dengan frustrasi yang
dihadapi jepang dalam mencoba
untuk menaklukkan cina. Akan
tetapi, perhitungan untuk semua
ini membutuhkan perhatian
terhadap munculnya
otoritarianisme dan militerisme
selama tahun 1930-an, yang
pada akhirnya berkaitan dengan
Great Depression serta
kejahatan yang dianggap
berasal dari permukiman pasca-
perang dunia I, dan seterusnya.
Klaim yang sering dikutip - The passage explains
untuk mengambil contoh lain - that monocausal is
bahwa perang dunia pertama irrelevant to historical
disebabkan oleh pembunuhan explanation using the
pangeran Ferdinand juga diduga case study leading to
untuk itu mengabaikan world war I and other
pergeseran struktur yang lebih examples
dalam dibawa oleh kerajaan dan
industri persaingan, perjuangan
atas sumber daya, manuver
diplomatik yang tidak
kompeten, dan bahkan
dorongan untuk modernisasi
yang merusak. Jadi sama sekali
tidak benar (seperti yang telah
kami temukan dalam bab ini)
bahwa pemberontakan india
disebabkan oleh memaksa
mereka untuk menggigit
senapan dengan peluru yang
dilumatkan dengan lemak babi,
atau bahwa penghapusan
perbudakan didorong semata-
mata oleh hasrat kemanusiaan
untuk membebaskan budak
afrika dan keturunan mereka.
Jadi di mana semua ini Historical
meninggalkan pertanyaan explanations cannot
penyebab sejarah? Jika kita be explained in
menolak gagasan faktor kausal monocausal but
tunggal, atau pengaruh multivalent ways that
menentukan aktor maka kita it is impossible to
 then are we necessarily forced
to accept the view that
historical causation is
multivalent and multilayered?
Yes, we think it does; and yet
does this get us any further? It
may well be that the sheer
plurality of causation prevents
us from achieving a totally
satisfactory – and satisfying –
explanation of any historical
event. Perhaps the
philosopher of science K.
Codell Carter was right when
he insisted ‘how totally
pointless, hopeless, and
downright silly it is to think
one can ever state precisely
what it is for one thing to
cause another’ (Carter, 2003,
p. 199 cited in Kern, 2006, p.
26).
14 Inspired by the call of Comte
and others, many historians
applied themselves to the task
of uncovering general laws
that could explain the course
of historical change. One of
the most influential was, of
course, Karl Marx (see
Chapter 8). All history is the
history of class struggle, he
declared, and it was this
which acted as a motor force
to drive historical
transformation from primitive
communism through distinct
stages to capitalism and
eventually communism. Such
approaches proved extremely
resilient and versatile as they
gave rise to most of the
subsequent schools of
interpretative history striving
tentu dipaksa untuk menerima provide a satisfactory
pandangan bahwa penyebab historical
historis adalah multivalen dan explanation.
multilayer? Ya, menurut kami
demikian; Namun apakah ini
membawa kita lebih jauh?
Kemungkinan besar,
kemajemukan yang murni
sebagai penyebab menghalangi
kita untuk memperoleh
penjelasan yang benar - benar
memuaskan tentang peristiwa
bersejarah apa pun. Mungkin
filsuf ilmu K. Codell Carter
benar ketika dia bersikeras'
betapa benar-benar tidak
berguna, tanpa harapan, dan
benar-benar konyol untuk
berpikir orang dapat pernah
menyatakan secara tepat apa
untuk satu hal menyebabkan
yang lain '(Carter, 2003, HLM.
199 dikutip di Kern, 2006,
HLM. 26).
Terinspirasi oleh panggilan Inspired by
Comte dan lainnya, banyak generalities applied to
sejarawan mengerahkan diri sociology, historians
mereka untuk tugas uncovering general
mengungkap hukum umum laws about a period
yang dapat menjelaskan arah using the case study
perubahan sejarah. Salah satu theory of class
yang paling berpengaruh struggle.
adalah, tentu saja, Karl Marx
(lihat bab 8). Semua sejarah
adalah sejarah perjuangan kelas,
dia menyatakan, dan inilah yang
bertindak sebagai kekuatan
penggerak untuk mendorong
transformasi historis dari
komunisme primitif melalui
tahapan yang berbeda untuk
kapitalisme dan pada akhirnya
komunisme. Pendekatan seperti
itu terbukti sangat tangguh dan
serbaguna seraya memunculkan
sebagian besar aliran sejarah
 for a narrative of universal
application. Marxism, the
Annales school,
modernization theory and the
histories of imperialism were
all built on nineteenthcentury
precursors. In the past thirty
years, however, these have
come under increasing attack.
Few historians would now
accept Marxist narratives. Not
only do they rely too heavily
upon determinist conceptions
of the relationship between
the economic base and
societal infrastructure, but
they are also wedded to a
teleology of historical change
which when compared with
the detailed record is
unreliable. It goes further, for
now, as part of the
postmodern critique of
historical practice, all such
grand narratives have largely
been abandoned
15 What, then, is left to the
hapless historian in pursuit of
the holy grail of causation? If
we are still interested (as we
should be) in explaining
human behaviour, then it
remains the case that this has
to be seen in the appropriate
historical context in all of its
manifestations. This is easier
said than done. The paucity
and fragility of much
historical evidence, the
distinction of relationships
which are causal rather than
merely linked, and the
ordering of causal hierarchies
according to their relevance
continue to present significant
interpretatif berikutnya yang
berjuang untuk menghasilkan
narasi penerapan universal.
Marxisme, sekolah tahunan,
teori modernisasi dan sejarah
imperialisme semua dibangun
pada abad kesembilan belas
sebelum. Namun, dalam tiga
puluh tahun terakhir, serangan
ini semakin meningkat. Sedikit
sejarawan sekarang akan
menerima narasi marxis.
Mereka tidak hanya bergantung
terlalu banyak pada konsepsi
penentu hubungan antara dasar
ekonomi dan infrastruktur
sosial, tetapi mereka juga terikat
pada sebuah teleologi
perubahan sejarah yang bila
dibandingkan dengan catatan
rinci tidak dapat dipercaya.
Lebih jauh lagi, karena
sekarang, sebagai bagian dari
kritik modern mengenai praktek
sejarah, semua narasi agung
tersebut sebagian besar telah
diabaikan
Kalau begitu, apa yang tersisa This passage suggests
dari sejarawan yang malang that if historians are
dalam mengejar cawan suci irrelevant to
penyebab? Jika kita masih monocausal or
tertarik (sebagaimana multicausal then
seharusnya) dalam menjelaskan historians can choose
perilaku manusia, maka tetap to set boundaries,
dalam kasus bahwa hal ini those limits will help
harus dilihat dalam konteks historians understand
sejarah yang sesuai dalam man even though
semua manifestasinya. Ini lebih man is really infinite
mudah dikatakan daripada as Scott says
dilakukan. Kemiskinan dan
kerapuhan banyak bukti sejarah,
perbedaan hubungan yang
bersifat kausal daripada sekadar
saling terhubung, dan urutan
hierarki kausal menurut
relevansinya terus menyajikan
 challenges; and if we find
monocausal approaches
unattractive, or are
overwhelmed by causal
plurality, then perhaps we
might make progress by
thinking in terms of limits or
boundaries. Thus recourse to
an understanding of broad,
underlying structural
processes may provide the
key also to an understanding
of human actors, not in the
sense of determining their
behaviour but rather of setting
limits to, or defining the
boundaries of the options
which are available to them.
Joan Wallace Scott has nicely
stated the case:
[S]ubjects do have agency.
They are not unified,
autonomous individuals
exercising free will, but rather
subjects whose agency is
created through situations and
statuses conferred on them.
Being a subject means being
‘subject to definite conditions
of existence, conditions of
endowment of agents and
conditions of exercise. These
conditions enable choices,
although they are not
unlimited’
tantangan signifikan; Dan jika
kita menemukan pendekatan
monokausal tidak menarik, atau
terbebani oleh kemajaman
kausal, maka mungkin kita
dapat membuat kemajuan
dengan berpikir dalam hal
batas-batas atau batas-batas.
Dengan demikian, pemahaman
proses struktural yang luas
mungkin juga merupakan kunci
untuk pemahaman aktor
manusia, bukan dalam arti
menentukan perilaku mereka
melainkan menetapkan batas-
batas, atau menentukan batas-
batas pilihan yang tersedia bagi
mereka. Joan WallaceScott
telah dengan baik menyatakan
kasus ini:
Subyek memiliki hak pilihan.
Mereka tidak bersatu, individu
yang otonom menjalankan
kehendak bebas, melainkan
subyek yang hak pilihannya
diciptakan melalui situasi dan
ketetapan yang dianugerahkan
kepada mereka. Menjadi subjek
berarti 'tunduk pada kondisi-
kondisi tertentu eksistensi,
syarat-syarat pemberkahan
berupa wakil dan kondisi
olahraga' Kondisi ini
memungkinkan pilihan,
meskipun mereka tidak terbatas'

16 Precisely what a subject is, or
what conditions we are
interested in takes us into
debates that cannot be
pursued here. Such complex
debates on causation continue
to exercise the more
philosophically minded
historians, and the obscure
detail need not trouble us
Tepat apa subjek adalah, atau
apa kondisi kita tertarik dalam
membawa kita ke dalam
perdebatan yang tidak dapat
dikejar di sini. Debat-debat
yang rumit mengenai penyebab
itu terus menggunakan para
sejarawan yang lebih
berpandangan filsafat, dan
perincian yang tidak jelas tidak
This passage is a
closure and does not
need to concern with
unnecessary matters
but historians need to
retain a critical
perspective
unduly. But it is vital to retain perlu mengganggu kita secara
a critical perspective on berlebihan. Tetapi sangat
historical writing by penting untuk mempertahankan
constantly asking what perspektif kritis pada penulisan
notions of causality obtain, sejarah dengan terus-menerus
with what results? bertanya apa pengertian dari
kausalitas mendapatkan, dengan
hasil apa?