Anda di halaman 1dari 22

PEMBIAYAAN APBN DALAM RANGKA MEMBIAYAI DEFISIT

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Keuangan Negara

Dosen Pengampu: Raynal Yasni

Oleh Kelompok 5:
Daniel Bestri (2)
Mochammad Isvan Alif Vian (11)
Shofia Rossya Millah (19)
Zetha Flandira Martan (22)

Kelas 5-04

Program Studi Diploma III Akuntansi Alih Program

Politeknik Keuangan Negara STAN

Semester V Tahun 2022


TUGAS KELOMPOK MATA KULIAH HUKUM KEUANGAN
NEGARA

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 5 KELAS 5-04
PRODI D-III AKUNTANSI ALIH PROGRAM
TA 2022/2023

No. Nama Mahasiswa Foto setengah badan No. Urut Daftar Paraf
Hadir
1 Daniel Bestri 2

2 Mochammad Isvan Alif 11


Vian

3 Shofia Rossya Millah 19


4 Zetha Flandira Martan 22
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Reformasi di bidang pengelolaan keuangan negara telah dimulai sejak tahun 2003,
dengan diberlakukannya satu paket perundang-undangan bidang keuangan negara, yang
salah satunya adalah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang
menetapkan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara sebagai dasar pelaksanaan
reformasi manajemen keuangan pemerintah. Diberlakukannya undang-undang tersebut,
memiliki konsekuensi diberlakukannya perubahan-perubahan mendasar dalam pengelolaan
keuangan negara, termasuk didalamnya proses penyusunan APBN.
Penyusunan APBN merupakan amanat dari Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945) sebagai wujud pengelolaan keuangan negara. Selain itu APBN juga merupakan
perwujudan dari kedaulatan rakyat, karena penetapan APBN dilakukan setiap tahun dengan
undang-undang melalui proses pembahasan yang cukup seksama dan mendalam bersama-
sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
APBN memiliki peran yang penting dan strategis dalam mendukung jalannya
ekonomi nasional terutama dalam upaya mencapai target-target pembangunan nasional.
APBN yang baik juga merupakan salah satu indikator baiknya pengelolaan negara. Salah
satu peran tersebut adalah menyediakan dana untuk melaksanakan tiga fungsi ekonomi
pemerintah yang tidak dapat dilaksanakan oleh sektor swasta secara optimal, yaitu fungsi
alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Oleh karena itu APBN harus didesain sesuai
dengan fungsi tersebut, dalam upaya mendukung penciptaan akselerasi pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan berkualitas.
Beberapa tahun kebelakang sistem APBN Indonesia disusun dengan konsep
anggaran defisit (Kusumaningrum, 2014). Konsekuensi dari penerapan kebijakan fiskal
ekspansif adalah meningkatnya pengeluaran pemerintah. Peningkatan pengeluaran
pemerintah yang tidak diikuti meningkatnya sumber pajak sebagai sumber utama
keuangan pemerintah akan mengakibatkan defisit anggaran (Anderson, 2015). Untuk
menutup defisit APBN tersebut diperlukan pembiayaan anggaran. Pembiayaan anggaran
adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan
diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun
anggaran berikutnya.
Kebijakan fiskal ekspansif dilakukan ketika perekonomian sedang mengalami
resesi/depresi dan jumlah pengangguran yang tinggi. Pandemi Covid-19 membuat
pertumbuhan ekonomi menurun tajam. Hal tersebut dikarenakan efek bola salju dari
kebijakan pembatasan fisik (physical distancing). Kebijakan pembatasan fisik membuat
produktivitas perekonomian menurun yang berdampak pada tingginya angka Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK). Pemerintah perlu membuat langkah untuk mengatasi hal tersebut
diantaranya dengan melakukan pelebaran defisit menjadi diatas 3% untuk periode Tahun
Anggaran 2020 sampai dengan 2023. Hal tersebut tentunya membawa konsekuensi yaitu
angka pembiayaan APBN yang semakin besar.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), defisit, dan
pembiayaan?
2. Apa urgensi dari pembiayaan anggaran?
3. Bagaimana cara pemerintah melakukan pembiayaan anggaran dalam rangka
menutup defisit dan bagaimana postur APBN bagian pembiayan untuk Tahun
Anggaran 2023?
4. Apa kendala yang dihadapi pemerintah terkait pembiayaan APBN?

C. Landasan Teori

1. Keuangan Negara
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
khususnya pasal 1 dan 2 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Keuangan
Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Keuangan
negara tersebut meliputi:
1. Hak Negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan
melakukan pinjaman.
2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum, Pemerintahan
Negara, dan melakukan pinjaman.
3. Penerimaan dan pengeluaran Negara
4. Penerimaan dan pengeluaran daerah
5. Kekayaan Negara dan kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain
berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat
dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
Negara/daerah.
6. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum
7. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah.

2. Landasan Hukum Pengelolaan Keuangan Negara


Penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara
menimbulkan hak dan kewajiban negara yang perlu dikelola dalam suatu sistem
pengelolaan keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
perlu dilaksanakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yang diwujudkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD). Sebagai landasan hukum pengelolaan keuangan negara tersebut,
pada tanggal 5 April 2003 telah diundangkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 ini menjabarkan
lebih lanjut aturan-aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke dalam asas-asas umum pengelolaan
keuangan negara. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dalam rangka pengelolaan dan
pertanggungjawaban Keuangan Negara yang ditetapkan dalam APBN dan APBD,
perlu ditetapkan kaidah-kaidah hukum administrasi keuangan negara. Beberapa
Ketentuan lain di bidang pengelolaan keuangan Negara yang perlu diketahui adalah
sebagai berikut:
1. UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara
2. UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara
3. UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Pengelolaan
Keuangan Negara
4. UU APBN
5. Keppres 80/2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah,
Peraturan Pemerintah No. 8/2006 tentang Revisi Keppres 80/2003, terakhir
Perpres No. 54 th 2010
6. PP 20/2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah
7. PP 21/2004 tentang RKA-KL

3. Landasan Hukum APBN


Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar hukum yang paling tinggi
dalam struktur perundang-undangan di Indonesia. Oleh karena itu pengaturan
mengenai keuangan negara selalu didasarkan pada undang-undang ini, khususnya
dalam bab VIII Undang Undang Dasar 1945 Amandemen IV. Dalam bab tersebut
khususnya pasal 23 mengatur tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN).
Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi.
Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mendorong
terwujudnya pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan
pendapatan. Untuk mewujudkan tujuan dan fungsi anggaran tersebut dilakukan
pengaturan secara jelas peran DPR dan Pemerintah dalam proses penyusunan dan
penetapan anggaran sebagai penjabaran Undang-Undang Dasar 1945. Pengaturan
peran DPR dalam proses dan penetapan APBN diatur dalam Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU
MD3). Sementara itu peran pemerintah dalam proses penyusunan APBN diatur
dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Sesuai
amanah Undang-undang nomor 17 tahun 2003, dalam rangka penyusunan APBN
telah diterbitkan Peraturan Pemerintah nomor 90 tahun 2010 tentang Penyusunan
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga sebagai pengganti PP
nomor 21 tahun 2004 tentang hal yang sama.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Defisit, dan Pembiayaan


Anggaran

1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)


Anggaran atau yang biasa kita kenal dengan sebutan budget merupakan
suatu daftar pernyataan terperinci tentang penerimaan dan pengeluaran negara yang
diharapkan dalam jangka waktu tertentu. Ada kalanya budget dibuat pada waktu
tertentu misalnya satu tahun. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat. APBN, perubahan APBN dan pertanggungjawaban APBN setiap
tahun ditetapkan dengan undang-undang. Berdasarkan pasal 23 Undang-Undang
Dasar 1945 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari
pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, yang dimaksud dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara, selanjutnya disebut APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan
negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Pada prinsipnya APBN merupakan bentuk campur tangan pemerintah
terhadap aktivitas perekonomian dalam rangka menyediakan barang dan jasa
kepada masyarakat. Pemerintah menyusun APBN setiap tahun dalam rangka
penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan bernegara. APBN
tersebut harus dikelola secara tertib dan bertanggung jawab sesuai kaidah umum
praktek penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik. Sesuai 26 Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, setelah APBN ditetapkan
dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan Keputusan
Presiden.

2. Defisit
Idealnya APBN disusun secara berimbang antara penerimaan dan
pengeluaran. Namun, kondisinya tidak selalu seperti itu. Berimbang artinya jumlah
keseluruhan pengeluaran harus sama dengan jumlah keseluruhan penerimaan
(termasuk bantuan dan pinjaman luar negeri). Setiap tahunnya sistem APBN
Indonesia disusun dengan konsep anggaran defisit (Kusumaningrum, 2014).
Konsekuensi dari penerapan kebijakan fiskal ekspansif adalah meningkatnya
pengeluaran pemerintah. Peningkatan pengeluaran pemerintah yang tidak
diikuti meningkatnya sumber pajak sebagai sumber utama keuangan
pemerintah akan mengakibatkan defisit anggaran (Anderson, 2015). Dalam
rangka menutup defisit anggaran (yaitu selisih kurang antara pendapatan
negara dan belanja negara) biasanya setiap negara mencari sumber-sumber
pembiayaan agar pembangunan yang telah direncanakan dapat berjalan
dengan baik. Defisit tersebut didanai dengan pinjaman, baik internal
maupun eksternal, mencetak uang dan sebagainya, yang akhirnya akan
mengakibatkan terjadinya inflasi dan terkadang malah menjurus ke resesi dan
depresi ekonomi (Chaudhry,2016).
3. Pembiayaan anggaran
Pembiayaan Anggaran adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar
kembali, penerimaan kembali atas pengeluaran pembiayaan tahun-tahun anggaran
sebelumnya, pengeluaran kembali atas penerimaan pembiayaan tahun-tahun
anggaran sebelumnya, penggunaan saldo anggaran lebih, dan/atau pengeluaran
yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun
tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan anggaran meliputi:
a. Pembiayaan utang
b. Pembiayaan investasi
c. Pemberian pinjaman
d. Kewajiban penjaminan
e. Pembiayaan lainnya
Kebutuhan pembiayaan anggaran nampak cenderung meningkat seiring
dengan meningkatnya defisit anggaran terutama akibat adanya pandemi Covid-19.
Kebutuhan pembiayaan anggaran tersebut dipenuhi, baik dari sumber pembiayaan
utang maupun pembiayaan lainnya. Pemenuhan pembiayaan defisit anggaran pada
dasarnya merupakan bagian integral dari kebijakan anggaran sebagai bagian dari
kebijakan pengelolaan ekonomi makro keseluruhan. Oleh sebab itu, isu pembiayaan
defisit anggaran sangat tergantung pada mekanisme pembiayaan defisit yang
digunakan.

B. Urgensi Pembiayaan Anggaran


Negara bertanggung jawab untuk menyediakan fasilitas sarana dan prasarana
untuk masyarakat. Hal itu diwujudkan melalui pembangunan yang merata agar dapat
mencakup seluruh wilayah dan dinikmati oleh masyarakatnya. Negara tentu
membutuhkan anggaran dengan nominal yang besar untuk mewujudkan hal tersebut.
Oleh karena itu, negara perlu memaksimalkan pendapatannya untuk merealisasikan
pembangunan tersebut. Sumber penerimaan negara yang didapat melalui pajak dan
retribusi digenjot agar dapat memperbesar penerimaan negara. Akan tetapi, bukan tidak
mungkin semua modal kapital yang didapat melalui pajak dan non pajak tidak cukup
untuk melakukan pembangunan. Negara perlu memikirkan hal lain untuk mendapatkan
sumber modal guna melakukan pembangunan. Untuk itu, negara merasa perlu untuk
melakukan pembiayaan anggaran berbentuk utang kepada pihak lain.

Utang adalah kewajiban yang timbul dari peristiwa masa lalu yang
penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi pemerintah,
dimana utang pemerintah mencakup Pinjaman Luar Negeri (PLN) dan Surat Berharga
Negara (SBN). Dilansir melalui laman Kementerian Keuangan RI, utang diperlukan
karena adanya kebutuhan belanja negara yang penting seperti penyediaan fasilitas
kesehatan dan ketahahan pangan, pembiayaan pembangunan untuk penyediaan
infrastruktur dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia.
Peningkatan IPM ini juga harus didasari dengan peningkatan sektor pendidikan,
kesehatan, dan perlindungan sosial. Untuk memenuhi kebutuhan di berbagai sektor
tersebut, sedangkan pendapatan negara/modal operasional tidak mencukupi untuk
pembiayaannya maka perlu suatu solusi. Salah satunya dapat ditempuh dengan cara
memangkas belanja negara tersebut, yang mana akan mengakibatkan beberapa tujuan
negara tidak tercapai dan rakyat yang akan terkena dampaknya. Sedangkan cara
lainnya dapat dilakukan oleh negara yakni dengan melakukan pinjaman, tentu diiringi
dengan beberapa konsekuensi. Negara Indonesia sejak dahulu memilih solusi yang
kedua dengan melakukan utang.

Berikut beberapa alasan mengapa pemerintah Indonesia melakukan utang :


1. Utang menjaga kestabilan ekonomi
Perlu dipahami bahwa utang bukan merupakan tujuan. Utang merupakan
alat yang digunakan untuk menjaga kestabilan perekonomian sehingga pemerintah
dapat menjalankan fungsi penting yang lebih mendesak dengan cepat. Sebagai
contoh, di masa pandemi Covid-19, pembiayaan APBN menjadi sangat penting
lantaran meluasnya defisit fiskal akibat menurunnya pendapatan. Adapun pemulihan
ekonomi nasional juga membutuhkan dana yang cukup besar. Untuk menjaga
kestabilan ekonomi tersebut, sebuah negara perlu untuk berutang lantaran APBN
yang dimilikinya tidak cukup untuk menutupi seluruh biaya kebutuhan.Dalam rangka
mempercepat pemulihan ekonomi nasional, utang juga digunakan untuk
memberikan subsidi kebutuhan masyarakat, misalnya bantuan sosial (bansos),
subsidi minyak, hingga infrastruktur fisik dan nonfisik.

2. Utang untuk menghindari opportunity loss


Salah satu alasan Indonesia perlu berutang adalah untuk menjaga
momentum dan menghindari opportunity loss. Menteri keuangan sempat
menyatakan bahwa adanya kebutuhan belanja yang tidak bisa ditunda, misalnya
penyediaan fasilitas kesehatan dan ketahahan pangan. Penundaan pembiayaan
justru akan mengakibatkan biaya/kerugian yang lebih besar di masa mendatang.
Karena itu, kesempatan pembiayaan pembangunan saat ini dioptimalkan untuk
menutup gap penyediaan infrastruktur dan meningkatkan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) Indonesia yang masih relative tertinggal dibanding negara lain.
Peningkatan IPM dapat dipenuhi antara lain melalui peningkatan sektor pendidikan,
kesehatan, dan perlindungan sosial.

3. Penerimaan negara yang belum optimal


Faktanya adalah saat ini belanja pemerintah belum tercukupi hanya dari
penerimaan negara melalui sektor perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP), dan hibah. Sementara konsekuensi dari selisih kurang antara pendapatan
dan belanja negara adalah defisit APBN. Maka dari itu butuhnya utang negara untuk
menstimulus perekonomian rakyat. Dengan begitu kebijakan belanja yang ekspansif
dapat diprioritaskan agar lebih produktif.

4. Memberikan aset bagi generasi selanjutnya


Alasan lain negara meminjam uang ialah untuk memberikan legacy atau
warisan aset yang baik untuk generasi selanjutnya. Selain itu, terdapat istilah
peraturan yang bernama golden rule. Dalam hal ini, dimaksudkan bahwa utang
negara dapat menjadi investasi yang akan memenuhi keadilan antar generasinya
dengan mewariskan beberapa aset. Lalu legacy yang baik juga muncul apabila utang
digunakan untuk membiayai berbagai hal yang produktif. Adapun beberapa belanja
negara yang saat ini akan dirasakan dan diperlukan di kemudian hari, seperti belanja
pendidikan dan infrastruktur.
5. Mengembangkan pasar uang
Alasan lain pemerintah berutang ialah untuk mengembangkan pasar uang.
Perlu diketahui bahwa instrumen utang pemerintah yang diperdagangkan di pasar
keuangan digunakan untuk benchmark bagi industri keuangan.Selain itu dari segi
manfaat bagi masyarakat, utang pemerintah akan menjadi alternatif investasi jangka
panjang. Sementara bagi Bank Indonesia, utang pemerintah dipakai untuk
menjalankan kegiatan operasi moneter.

C. Cara Pemerintah Menutup Defisit APBN

Pemerintah menutup defisit APBN menggunakan berbagai instrumen


pembiayaan. Secara garis besar instrumen pembiayaan dibedakan menjadi pinjaman
dan Surat Berharga Nasional (SBN). Pinjaman adalah setiap pembiayaan melalui utang
yang diperoleh pemerintah dari pemberi pinjaman (dalam atau luar negeri) yang diikat
oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk surat berharga negara, yang harus
dibayar kembali dengan persyaratan tertentu. Surat Utang Negara adalah surat
berharga yang merupakan surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun
valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik
Indonesia, sesuai masa berlakunya.
1. Jenis-jenis pembiayaan APBN
a. Pembiayaan Dalam Negeri meliputi :
1) Pembiayaan perbankan dalam negeri
2) Pembiayaan nonperbankan dalam negeri
a) Hasil pengelolaan aset
(1) Surat berharga negara neto
(a) Surat Utang Negara (SUN)

Surat Utang Negara (SUN) atau obligasi pemerintah adalah


surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang
Rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan
pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa
berlakunya. Surat Utang Negara dibagi menjadi 2, yakni SUN
Domestik dan SUN Internasional.

 Surat Utang Negara Domestik

Surat Utang Negara Domestik merupakan obligasi


pemerintah yang diterbitkan di pasar domestik dalam mata
uang Rupiah maupun mata uang asing. Contohnya, seperti
Fixed Rate (FR), Variable Rate (VR), Surat Perbendaharaan
Negara (SPN), Obligasi Negara Ritel (ORI), dan Savings Bond
Ritel (SBR).

 Surat Utang Negara Internasional

Surat Utang Negara Internasional adalah obligasi


pemerintah yang juga diterbitkan untuk memenuhi kebutuhan
pembiayaan defisit APBN, yang ditransaksikan dalam valuta
asing di pasar perdana internasional dan pasar perdana
Jepang.

(b) Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)

Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau disebut juga


Sukuk Negara adalah Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan
berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan
terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun mata
uang asing. Sukuk didefinisikan sebagai sertifikat yang bernilai sama
yang merepresentasikan bagian kepemilikan yang tak terbagi atas
suatu aset berwujud, nilai manfaat aset (usufruct), dan jasa (services),
atau atas kepemilikan aset dari suatu proyek atau kegiatan investasi
tertentu (AAOIFI Sharia Standards Nomor 17 tentang Investment
Sukuk).SBSN dapat terbagi menjadi SBSN jangka pendek (Islamic T-
Bills) dan SBSN Ritail (Sukri) serta SBSN jangka panjang (IFR/Ijarah
Fixed Rate, Global Sukuk, dan SDHI/Sukuk Dana Haji Indonesia).
Berdasarkan pasarnya, SBSN terbagi menjadi :

● SBSN Domestik

Surat Berharga Syariah Negara Domestik merupakan


SBSN yang diterbitkan di pasar domestik dalam mata uang
Rupiah. Contohnya, seperti Islamic Fixed Rate (IFR), Surat
Perbendaharaan Negara-Syariah (SPN-S), Project Based
Sukuh (PBS), Sukuk Negara Ritel (SR), Sukuk Tabungan (ST),
dan Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI).

● SBSN Internasional
Pemerintah mengembangkan dan menerbitkan
instrumen Sukuk Negara untuk pasar internasional, yaitu
Sukuk Negara Indonesia (SNI) atau yang dikenal dengan
Sukuk Global/Valas. SNI adalah Sukuk Negara yang
diterbitkan dalam denominasi valuta asing di pasar perdana
internasional, memberikan tingkat imbalan tetap (fixed coupon),
serta dapat diperdagangkan (tradable).

Jika kita telisik lebih dalam, berdasarkan data yang dihimpun dari
laman resmi Bank Indonesia melalui publikasi SULN (Statistik Utang Luar
Negeri) Indonesia, utang luar negeri yang dimiliki oleh Indonesia pada bulan
April tahun 2022 bernilai sebesar 409,464 miliar US$ atau sekitar 6.030,995
triliun rupiah (Kurs US$1 = Rp. 14.729 per 14 Juni 2022). Dari angka
tersebut, utang luar negeri dapat diposisikan menjadi beberapa cakupan,
antara lain menurut sektor ekonomi dan kreditor (negara pemberi pinjaman).

3) Pinjaman dalam negeri neto


Pinjaman Dalam Negeri (PDN) merupakan jenis pinjaman yang
dilakukan oleh Pemerintah yang diperoleh dari Lender Dalam Negeri, dalam
hal ini yaitu BUMN atau Pemerintah Daerah (Pemda), yang harus dibayar
kembali dengan persyaratan tertentu, sesuai dengan masa berlakunya.
Biasanya Pinjaman Dalam Negeri dilakukan sebagai alternatif untuk menutup
gap defisit biaya jangka pendek APBN. Sendangkan Pinjaman Luar Negeri
biasanya digunakan untuk pembiayaan likuiditas jangka pendek, pembiayaan
permodalan, pembangunan dan pengadaan barang maupun kegiatan
capacity building.

4) Dana investasi pemerintah


5) Kewajiban penjaminan
b. Pembiayaan Luar Negeri
1) Penarikan Pinjaman Luar Negeri, terdiri atas Pinjaman Program dan
Pinjaman Proyek.

Pinjaman luar negeri adalah setiap penerimaan negara baik melalui


devisa rupiah, devisa yang dirupiahkan maupun dalam bentuk barang atau
jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang harus dibayar
kembali dengan persyaratan tertentu. Pinjaman tersebut dapat berasal dari
World Bank, Asian Development Bank, Islamic Development Bank dan
kreditor bilateral (Jepang, Jerman, Perancis dll), serta Kredit Ekspor. 

a) Pinjaman Program:
Pinjaman program digunakan ntuk budget support dan pencairannya
dikaitkan dengan pemenuhan Policy Matrix di bidang kegiatan untuk
mencapai MDGs (pengentasan kemiskinan, pendidikan, pemberantasan
korupsi), pemberdayaan masyarakat, policy terkait dengan climate change
dan infrastruktur. change.

b) Pinjaman Proyek

Pinjaman proyek digunakan untuk pembiayaan proyek infrastruktur di


berbagai sektor (perhubungan, energi, dll); proyek-proyek dalam rangka
pengentasan kemiskinan (PNPM).

2) Penerusan pinjaman
3) Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri.
c. Pembiayaan KBPU
Infrastruktur merupakan pondasi dasar dalam pertumbuhan ekonomi.
Penyediaan infrastruktur demi pemenuhan kebutuhan publik memiliki banyak
tantangan, utamanya adalah keterbatasan anggaran pembangunan yang dapat
dirinci diantaranya menjadi biaya persiapan, biaya pembangunan, pemeliharaan, dan
mekanisme operasionalnya. Tantangan ini pada dasarnya memastikan infrastruktur
yang dibutuhkan dapat dipersiapkan, dibangun, dipelihara, dan dapat dikelola untuk
memenuhi kebutuhan publik semaksimal mungkin. Menjawab tantangan tersebut,
diperkenalkan alternatif pengadaan proyek infrastruktur yaitu melalui mekanisme
Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau Public Private Partnership
(PPP).
Definisi KPBU adalah kerjasama antara Pemerintah dan Badan Usaha dalam
penyediaan infrastruktur dan/atau layanannya untuk kepentingan umum mengacu
pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pemerintah, yang sebagian
atau seluruhnya menggunakan sumber daya badan usaha dengan memperhatikan
pembagian risiko di antara para pihak. Terkait hal tersebut, Pemerintah Indonesia
memperkenalkan skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU)
dalam penyediaan infrastruktur untuk memberikan ruang bagi pemerintah untuk
bekerjasama dengan swasta berdasarkan prinsip alokasi risiko yang proporsional.
Implementasi skema ini, diatur dalam Perpres Nomor 38 Tahun 2015.
Untuk mendukung penerapan KPBU di Indonesia, Kementerian Keuangan
melakukan inovasi pembiayaan infrastruktur dengan menyediakan berbagai fasilitas
dan dukungan pemerintah, yaitu fasilitas penyiapan proyek, dukungan kelayakan,
dan penjaminan infrastruktur. Kementerian Keuangan juga memperkenalkan skema
pengembalian investasi proyek KPBU yakni skema Pembayaran Berdasarkan
Ketersediaan Layanan atau yang biasa dikenal dengan Availability Payment atau AP.
Beberapa kelebihan skema AP ini antara lain, tidak adanya risiko permintaan atau
demand risk bagi Badan Usaha dan kepastian pengembalian investasi bagi Badan
Usaha.
Untuk mendukung penerapan KPBU di Indonesia, Menteri/Kepala Lembaga/Kepala
Daerah dapat memberikan Dukungan Pemerintah terhadap KPBU sesuai dengan
lingkup kegiatan KPBU, dalam bentuk Dukungan Kelayakan dan/atau insentif
perpajakan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan berdasarkan usulan
PJPK. Lebih lanjut, Dukungan Kelayakan dapat diberikan setelah tidak terdapat lagi
alternatif lain untuk membuat Proyek Kerja Sama layak secara finansial.
Contoh proyek KPBU dengan menggunakan VGF adalah Proyek SPAM (Sistem
Penyediaan Air Minum) Umbulan. Proyek SPAM Umbulan bertujuan untuk
mengalirkan air curah dengan kapasitas produksi 4.000 liter air per detik dengan
jaringan sistem transmisi dari mata air Umbulan ke lima perusahaan daerah air
minum (PDAM) di Provinsi Jawa Timur (Kab. Pasuruan, Kota Pasuruan, Kab. Gresik,
Kab. Sidoarjo, Kota Surabaya. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan cakupan
pelayanan kepada masyarakat sehingga dapat mencapai target 100%. SPAM
Umbulan akan mengoperasikan jaringan pipa transmisi sepanjang 92,3 kilometer
melewati 16 titik pasokan. Proyek ini ditargetkan beroperasi pada pertengahan 2019
dan menelan biaya Rp 2,3 triliun. PT Meta Adhya Tirta Umbulan adalah badan usaha
pemenang lelang menerima dana dukungan Pemerintah Pusat melalui dukungan
kelayakan proyek sebesar Rp 818 miliar dan memperoleh penjaminan dari PT
Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII).
D. Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA)
PINA adalah Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah yang menggalang
sumber- sumber pembiayaan alternatif agar dapat digunakan untuk berkontribusi
dalam pembiayaan proyek-proyek infrastruktur strategis nasional yang emmpunyai
nilai komersial dan berdampak untuk meningkatkan perekonomian Indonesia.
PINA penting untuk dilaksanakan sebab ruang fiskal anggaran pemerintah sangat
terbatas akibat adanya pembatasan lebar defisit anggaran. Kebutuhan investasi
infrastruktur sangatlah besar sehingga anggaran pemerintah difokuskan untuk
infrastruktur yang tidak dapat dikelola secara komersial (filling the gap).
Dengan skema PINA, pembangunan infrastruktur dan non infrastruktur yang
membawa manfaat bagi masyarakat Indonesia dapat dilaksanakan tanpa
menggunakan anggaran pemerintah. Skema PINA melengkapi skema Kerjasama
Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) sebagai alternatif pembiayaan infrastruktur.
Sumber pembiayaan PINA tidak menggunakan anggaran pemerintah, melainkan
dilaksanakan dengan memanfaatkan sumber pembiayaan yang berasal dari:
• Penanaman Modal, merupakan segala bentuk kegiatan menanam modal, baik
oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk
melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
• Dana Kelolaan, merupakan dana yang dikelola oleh sebuah perusahaan investasi
untuk sejumlah investor.
• Perbankan, merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak.
• Pasar Modal, merupakan kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum
dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang
diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek.
• Asuransi, merupakan suatu perjanjian di mana seorang penanggung mengikatkan
diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk
memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena
suatu peristiwa yang tak tertentu.
• Lembaga Pembiayaan, merupakan badan usaha yang melakukan kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal.
• Lembaga Jasa Keuangan lain, termasuk pegadaian, lembaga penjaminan,
lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder
perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat
yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan
kesejahteraan.
2. Postur pembiayaan APBN Tahun Anggaran 2023
Grafik 1
Perkembangan Defisit APBN Tahun Anggaran 2019-2023

Sumber: Kementerian Keuangan

Pandemi Covid-19 mengakibatkan lesunya perekonomian secara global tidak


terkecuali Indonesia. Produktivitas sektor publik maupun sektor privat menurun tajam
dikarenakan adanya kebijakan pembatasan fisik (physical distancing) sehingga sisi
penawaran menjadi terganggu. Banyak perusahaan manufaktur yang terpaksa
membatasi kegiatan operasional yang berdampak pada penurunan pendapatan
(revenue). Penurunan pendapatan selain memberikan ancaman berupa
kebangkrutan sebuah perusahaan juga memberikan ancaman berupa Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) secara masal yang mengakibatkan pengangguran meningkat
tajam sehingga sisi permintaan menjadi terganggu. Lesunya perekonomian membuat
pemerintah mengambil kebijakan fiskal ekspansif dan mengambil langkah berupa
pelebaran defisit diatas 3% untuk Tahun Anggaran 2020-2022. Hal tersebut
dilakukan pemerintah

Grafik 2
Perkembangan Pembiayaan Anggaran 2019-2023
Sumber: Kementerian Keuangan

Pelebaran defisit diatas 3% tentunya membawa konsekuensi terhadap besaran


pembiayaan yang dibutuhkan untuk menutup defisit tersebut. Dapat dilihat dari Grafik 2
pembiayaan anggaran mengalami peningkatan yang signifikan pada Tahun Anggaran 2020
yaitu sebesar 196,8%. Dari Tahun Anggaran 2020 sampai dengan 2023 pemerintah
mengupayakan untuk menekan angka defisit. Proyeksi defisit pada Tahun Anggaran 2023
berdasarkan Rancangan Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2023 adalah sebesar
2,85%. Sehingga, pembiayaan anggaran yang diperlukan dari Tahun Anggaran 2020
sampai dengan 2023 semakin menurun.
Tabel 1
Perkembangan Utang Tahun Anggaran 2018-2023

Jika dilihat lebih rinci terkait utang, porsi utang terbesar adalah berasal dari Surat
Berharga Negara (SBN). Pinjaman luar negeri mengalami penurunan yang signifikan dari
outlook 2022 ke RAPBN 2023. Penarikan pinjaman luar negeri pada outlook 2022 sebesar
Rp128,1 triliun menjadi Rp62,1 triliun pada RAPBN 2023. Pinjaman luar negeri secara neto
pada RAPBN 2023 minus Rp17,4 triliun. Angka minus tersebut menandakan bahwa
pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri yang dilakukan pemerintah lebih besar
dibandingkan penarikan pinjaman luar negeri.

D. Kendala dalam Pembiayaan Anggaran


1. Tantangan Pembiayaan Utang
● Volatilitas dan pengetatan likuditas pasar keuangan global
● Potensi capital outflow dari emerging market
● Potensi turunnya minat investor
● Tidak ada dukungan dari Bank Indonesia
2. Tantangan Pembiayaan Investasi
● Sinkronisasi dengan Belanja Pemerintah Pusat dan TKD
● Kinerja keuangan BUMN penerima PMN, termasuk hal efisiensi, kurang optimal
● Pembinaan BLU tersebar di berbagai K/L
● Tantangan dalam Pembiayaan Anggaran

Dalam pelaksanaan tahun anggaran 2023, Pemerintah dihadapkan pada


tantangan untuk melaksanakan konsolidasi fiskal kembali ke batasan defisit anggaran
maksimal 3 persen dari PDB sebagaimana amanat Undang- Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara dan sekaligus menjalankan amanat Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan
untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/ atau dalam
rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/ atau
Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang, dimana Undang-Undang
tersebut mengijinkan batasan defisit anggaran dapat direlaksasi melebihi 3 persen dari
PDB untuk paling lama dilakukan sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2022.

Tantangan lain yang juga dihadapi Pemerintah di tahun 2023 adalah adanya
peningkatan risiko ekonomi global yang ditandai lonjakan dan tekanan inflasi tinggi
berupa naiknya harga komoditas dan pangan sebagai akibat ketegangan geopolitik
Rusia-Ukraina. Selain itu pasar keuangan global semakin memperketat kebijakan
moneter berupa kenaikan suku bunga akibatnya akan terjadi peningkatan risiko
volatilitas pasar keuangan global, meningkatnya biaya utang serta munculnya potensi
stagflasi dan meningkatnya ketidakpastian yang ditandai melemahnya momentum
pemulihan dan meningkatnya tekanan inflasi secara global. Peningkatan risiko global
tersebut berdampak pada penurunan daya beli (konsumsi masyarakat), meningkatkan
cost of fund dan berpotensi menghambat tren pemulihan, sehingga APBN didorong
untuk berperan sebagai shock absorber dalam rangka menjaga agar momentum
pemulihan ekonomi semakin menguat dan melindungi daya beli masyarakat, sehingga
kondisi fiskal perlu dijaga tetap sehat dan berkelanjutan.

Untuk menjaga keberlanjutan pembangunan di tengah tantangan yang ada,


Pemerintah akan melanjutkan upaya pemulihan (recovery) sekaligus melakukan
reformasi struktural dan fiskal, sehingga tema kebijakan fiskal tahun 2023 yang diambil
adalah “Peningkatan Produktivitas untuk Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan
Berkelanjutan”. Pada tahun anggaran 2023, Pemerintah akan menempuh kebijakan
countercyclical untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional dan penguatan
reformasi struktural dengan tetap memperhatikan target konsolidasi fiskal. Kebijakan
fiskal ekspansif yang terarah dan terukur tetap dilakukan untuk mempercepat upaya
pemulihan, menstimulasi perekonomian, mengakselerasi pencapaian sasaran
pembangunan, serta menjaga momentum terutama dalam upaya menjaga kesehatan
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Konsekuensi kebijakan ekspansif di
tengah perekonomian yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemi adalah munculnya
pembiayaan investasi dan defisit anggaran. Sejalan dengan kebijakan fiskal yang
ekspansif, Pemerintah menjalankan strategi pembiayaan anggaran melalui
pengelolaan utang secara prudent dan sustainable, mengendalikan tingkat risiko utang
pada level yang aman dan kredibel, mendukung pendalaman pasar (financial
deepening), mendorong efektivitas pembiayaan investasi untuk mendukung
transformasi ekonomi, dan mendorong inovasi pembiayaan yang efisien dan efektif,
baik pembiayaan utang maupun nonutang.

3. Tantangan Kebijakan terkait Pembiayaan Utang

Kebijakan fiskal ekspansif merupakan bagian dari upaya mengejar


ketertinggalan pembangunan, baik fisik maupun SDM. Sejalan dengan kebijakan
ekspansif tersebut, pembiayaan utang telah berkontribusi signifikan utamanya dalam
mengakselerasi pembangunan bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, maupun
penurunan kemiskinan dan kesenjangan. Pembiayaan utang juga berperan besar
dalam mendorong penguatan pasar keuangan domestik sekaligus menjadi alat dalam
menjaga keseimbangan makro.

Dengan berakhirnya kondisi fleksibilitas defisit pada UU Nomor 2 Tahun 2020


pada tahun 2022, maka tahun 2023 menjadi tahun konsolidasi fiskal yaitu tahun
penerapan kembali disiplin fiskal defisit di bawah 3,0 persen terhadap PDB. Di tahun
2023, Pemerintah akan berupaya untuk memulai kembali pengelolaan fiskal yang
normal setelah pandemi Covid-19 melanda. Di tengah tantangan volatilitas dan
pengetatan likuiditas pasar keuangan global, potensi capital outflow dari emerging
markets, turunnya minat investor, dan kenaikan imbal hasil SBN, komitmen
Pemerintah diuji melalui keputusan untuk merealisasikan konsolidasi fiskal termasuk
memastikan implementasi kebijakan pembiayaan utang yang prudent, efisien, dan
sustainable sesuai arah kebijakan fiskal. Adapun risiko yang berpotensi mengiringi
pelaksanaan kebijakan pembiayaan utang berkenaan dengan risiko peningkatan
kebutuhan pembiayaan yang berdampak langsung pada risiko-risiko pengelolaan
utang mencakup risiko tingkat bunga, risiko nilai tukar, risiko refinancing, dan risiko
shortage pembiayaan serta biaya utang.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pembiayaan anggaran diperlukan karena merupakan konsekuensi dari kebijakan
fiskal ekspansif yang diambil oleh pemerintah. Selain itu, urgensi dari dilakukannya
pembiayaan anggaran adalah untuk menjaga kestabilan ekonomi, untuk menghindari
opportunity loss, konsekuensi atas penerimaan negara yang belum optimal, untuk
memberikan aset bagi generasi selanjutnya, dan untuk mengembangkan pasar uang.
Adapun cara pemerintah melakukan pembiayaan anggaran adalah dengan menggunakan
berbagai instrumen pembiayaan. Secara garis besar instrumen pembiayaan dibedakan
menjadi pinjaman dan Surat Berharga Nasional (SBN).

Adanya pandemi Covid-19 membuat pemerintah mengambil kebijakan pelebaran


defisit diatas 3% untuk Tahun Anggaran 2020-2023. Kebijakan tersebut membawa
konsekuensi terhadap angka pembiayaan anggaran yang meningkat signifikan pada Tahun
Anggaran 2020. Dalam RAPBN 2023, porsi pembiayaan yang terbesar adalah berupa Surat
Berharga Nasional (SBN) yaitu sebesar Rp712,9 triliun. Pinjaman luar negeri neto pada
RAPBN 2023 minus Rp17,4 triliun. Angka minus tersebut menandakan bahwa pembayaran
cicilan pokok pinjaman luar negeri yang dilakukan pemerintah lebih besar dibandingkan
penarikan pinjaman luar negeri. Secara bruto pinjaman luar negeri mengalami penurunan
yang signifikan Rp128,1 triliun pada outlook 2022 menjadi Rp62,1 triliun pada RAPBN 2023.

Dalam melakukan pembiayaan anggaran terdapat kendala-kendala diantaranya


adalah tantangan pembiayaan utang, tantangan pembiayaan investasi, dan tantangan
kebijakan. Untuk menjawab tantangan tersebut pemerintah melakukan creative financing.
Salah satu bentuk dari creative financing adalah Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha
(KPBU). KPBU adalah kerjasama antara Pemerintah dan Badan Usaha dalam penyediaan
infrastruktur dan/atau layanannya untuk kepentingan umum mengacu pada spesifikasi yang
telah ditetapkan sebelumnya oleh pemerintah, yang sebagian atau seluruhnya
menggunakan sumber daya badan usaha dengan memperhatikan pembagian risiko di
antara para pihak. Skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) bertujuan
untuk memberikan ruang bagi pemerintah untuk bekerjasama dengan swasta berdasarkan
prinsip alokasi risiko yang proporsional dalam penyediaan infrastruktur. Implementasi skema
ini, diatur dalam Perpres Nomor 38 Tahun 2015.
DAFTAR PUSTAKA

Keuangan, K. (2019). APBN 2019. Jakarta: Sekretariat Negara.


Keuangan, K. (2020). APBN 2020. Jakarta: Sekretariat Negara.
Keuangan, K. (2021). APBN 2021. Jakarta: Sekretariat Negara.
Keuangan, K. (2022). APBN 2022. Jakarta: Sekretariat Negara.
INDONESIA, K. K. R. POSTUR APBN INDONESIA.
Indonesia, P. R. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara.
Afif, M., & Fatturroyhan, F. (2017). Pembiayaan Defisit APBN Menurut Umer Chapra (Studi Analisa
Kritik Terhadap Pembiayaan Defisit APBN Indonesia Periode 2010-2015). Cakrawala: Jurnal
Studi Islam, 12(1), 1-12.
Lestari, E. P. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Kurniasih, D. A. (2016). Pembaharuan pengelolaan penerimaan negara bukan pajak. Jurnal Rechts
Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 5(2), 213-228.
Kementerian Keuangan. (2022). Nota Keuangan RAPBN 2023.
Pusdiklat SDA dan Konstruksi. 2017. Modul 4 : Sumber dan Pola Pembiayaan Infrastruktur. Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia
Senat Mahasiswa Politeknik Statistika STIS. 2022. Serba-serbi Utang Indonesia, diakses
https://sema.stis.ac.id/rilis/kastrat/7, pada tanggal 30 Oktober 2022.

Anda mungkin juga menyukai