Anda di halaman 1dari 6

Makalah

RASULULLAH MENDIDIK SESUAI DENGAN KADAR TINGKATAN SESEORANG


1. Rahman 2. Fadli Afriansyah
Universitas Islam Negeri Fatmawati Soekarno Bengkulu

Berikut disampaikan hadits hadits pendidikan yang berkaitan dengan pendidikan


multicultural :

1. TINDAKAN NABI TERHADAP SEORANG BADUI YANG MELAKUKAN SESUATU


YANG TIDAK WAJAR.

Rasulullah SAW bersabda :

Artinya: Dari Abu Hurairah r a, ia berkata, "(Suatu hari) ada seorang dari suku Badui
kencing di dalam masjid, para sahabat pun seketika naik pitam dan akan
menghentikannya (mengusirnya). Lalu Rasulullah SAW pun bersabda, 'Biarkanlah ia
dan siramkanlah di atas air kencingnya satu timba air atau seember air, karena
sungguh kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk kesulitan'"
(HR. Bukhari).

Hadits tersebut menjelaskan tentang sikap dan tindakan yang dilakukan Rasulullah

dalam menghadapi seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan yang diluar batas

kewajaran. Berdasarkan kisah tersebut terdapat beberapa hikmah yang bisa dipetik

antara lain:

1. Nabi SAW tidak tergesa-gesa untuk memarahi dan mengusir orang tersebut. Tetapi 

justru memilih untuk mencari solusi daripada menambah persoalan. Rasulullah

SAW sengaja membiarkan orang Badui itu menyelesaikan kencingnya agar

berpusat pada satu titik saja sehingga najis tidak menyebar ke mana-mana. Begitu

pula Nabi SAW mempertimbangkan kesehatan orang Badui itu apabila dia diminta

untuk menahan kencingnya.

1
2. Dari kisah tersebut juga menjadi bukti bahwa Rasulullah saw begitu toleran dan

santun dalam menghadapi umat yang belum tahu. Dengan sikap yang tidak

memarahi orang Badui itu, serta melarang para sahabat memarahinya, maka

menunjukkan bahwa dakwah Nabi SAW penuh dengan kasih sayang.

3. Hikmah selanjutnya adalah mengenai cara menyucikan najis. Dalam keadaan seperti

itu, Nabi menyuruh membersihkan najis cukup dengan menyiramkan air. Hal ini

dilakukan karena pada zaman dahulu lantai masjid masih berupa tanah.

4. Kisah tersebut juga mengajarkan pada umatnya agar dalam setiap kejadian supaya

tidak mempersulit diri tetapi mencari solusi yang bijak.

2. RASULULLAH BERSABDA : "KHATIBIN NAS 'ALA QADRI'UQULIHIM",


BERBICARALAH KEPADA MANUSIA SESUAI DENGAN KEMAMPUAN AKAL
MEREKA.

Hadis Rasulullah tersebut menjelaskan tentang tata cara berkomunikasi

menyampaikan pelajaran dan dakwah antar sesama. Memandang diantara wasilah

syar’iyyah dalam berdakwah adalah mengajak manusia sesuai dengan tingkat

pemahaman mereka dan sesuai dengan kedudukan mereka. Allah subhanahu wa

ta’ala berfirman:

‫ك هُ َو َأ ْعلَ ُم بِ َمن‬
َ َّ‫ك بِ ْال ِح ْك َم ِة َو ْال َموْ ِعظَ ِة ْال َح َسنَ ِة ۖ َو َجا ِد ْلهُم بِالَّتِي ِه َي َأحْ َس ُن ۚ ِإ َّن َرب‬ ِ ِ‫ع ِإلَ ٰى َسب‬
َ ِّ‫يل َرب‬ ُ ‫ا ْد‬
١٢٥﴿ َ‫ض َّل عَن َسبِيلِ ِه ۖ َوهُ َو َأ ْعلَ ُم بِ ْال ُم ْهتَ ِدين‬ َ ﴾
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl[16]: 125)

2
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:

‫ُول َوِإلَ ٰى ُأولِي اَأْل ْم ِر ِم ْنهُ ْم‬


ِ ‫ف َأ َذا ُعوا بِ ِه ۖ َولَوْ َر ُّدوهُ ِإلَى ال َّرس‬ ِ ْ‫َوِإ َذا َجا َءهُ ْم َأ ْم ٌر ِّمنَ اَأْل ْم ِن َأ ِو ْال َخو‬
﴾٨٣﴿ ‫لَ َعلِ َمهُ الَّ ِذينَ يَ ْستَنبِطُونَهُ ِم ْنهُ ْم ۗ َولَوْ اَل فَضْ ُل اللَّـ ِه َعلَ ْي ُك ْم َو َرحْ َمتُهُ اَل تَّبَ ْعتُ ُم ال َّش ْيطَانَ ِإاَّل قَلِياًل‬
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun
ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada
Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau
tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut
syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (QS. An-Nisa[4]: 83)

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “berikanlah kabar kepada

manusia sesuai dengan tingkat pemahaman mereka”. Maksudnya adalah jika kita

berbicara kepada manusia dengan pembicaraan yang tidak dipahami oleh akal-akal

mereka dan belum sampai pemahaman mereka, maka tentunya bukannya diterima,

justru mereka akan menolak perkataan kita.

Inilah dasar yang membuat kita semakin tahu bahwa kita berdakwah dan

menyampaikan ilmu kepada orang, maka kita harus melihat tingkat pemahaman

mereka. Kemudian ketika kita berbicara juga harus melihat kedudukan orang tersebut.

Tidak bisa disamakan. Jika kita menyamakan pembicaraan kepada seluruh manusia

tanpa melihat perbedaan yang ada pada mereka, maka ini sesuatu kekeliruan dalam

kehidupan social multicultural.

2. KAFARAT ORANG YANG BERHUBUNGAN SUAMI ISTRI DI SIANG


RAMADHAN

Rasulullah menjelaskan dalam Hadist yang Artinya :


”Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, ketika kami duduk-duduk
bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seseorang sambil
berkata: “Wahai, Rasulullah, celaka !” Beliau menjawab,”Ada apa denganmu?” Dia
berkata,”Aku berhubungan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.” (Dalam

3
riwayat lain berbunyi : aku berhubungan dengan istriku di bulan Ramadhan). Maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Apakah kamu mempunyai budak untuk
dimerdekakan?” Dia menjawab,”Tidak!” Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata lagi,”Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Dia
menjawab,”Ttidak.” Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi : “Mampukah
kamu memberi makan enam puluh orang miskin?” Dia menjawab,”Tidak.” Lalu
Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
diberi satu ‘irq berisi kurma –Al irq adalah alat takaran- (maka) Beliau berkata: “Mana
orang yang bertanya tadi?” Dia menjawab,”Saya orangnya.” Beliau berkata lagi:
“Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!” Kemudian orang tersebut berkata:
“Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada
di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku”. Maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa sampai tampak gigi taringnya,
kemudian (Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata: “Berilah makan keluargamu!”

Ketika menjelaskan makna hadits ini, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah

mengatakan: “Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menceritakan, dahulu mereka duduk-

duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana kebiasaan

mereka untuk belajar dan bergaul dengan Beliau. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba

datang seseorang yang mengaku telah celaka dengan sebab dosa yang dilakukannya

disertai keinginan untuk terbebas dari dosa tersebut, sembari berkata “Wahai

Rasulullah, aku telah celaka”. Ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

bertanya tentang sebabnya. Orang itupun menjawab, bahwa ia telah menggauli istrinya

di siang bulan Ramadhan dalam keadaan puasa.

Mendengar ini, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memarahinya karena ia

datang untuk bertaubat, ingin lepas dari perbuatan dosanya. Kemudian Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan bimbingan dengan bertanya kepadanya,

4
apakah ia bisa mendapatkan budak untuk dimerdekakan sebagai kafarat?. Laki-laki itu

menjawab, tidak bisa. Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi,

apakah ia mampu berpuasa dua bulan penuh berturut-turut? Ia menjawab, tidak bisa

juga. Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pindah ke marhalah (tingkatan)

ketiga yang akhir dengan menyatakan, dapatkah ia memberi makan 60 orang miskin?

Orang itupun menjawab, tidak bisa juga.

Kemudian ia duduk dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiam diri, hingga

datang seorang Anshar membawa sekeranjang berisi kurma. Lalu Nabi Shallallahu

‘alaihi wa sallam menyatakan kepada orang tersebut, ambillah dan bershadaqahlah

dengannya, sebagai kafarat (tebusan) yang wajib ia keluarkan. Namun, karena

kefakiran orang ini dan pengetahuannya tentang kedermawanan dan kecintaan Nabi

Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada umatnya, orang tersebut malah menginginkannya

sambil berkata: Adakah orang yang lebih fakir dariku? Dan ia bersumpah, bahwa di

antara dua ujung Madinah, tidak ada keluarga yang lebih fakir dari keluarganya.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa karena ta’ajub (heran)

dengan keadaan orang ini yang datang dalam keadaan takut ingin lepas dari dosanya,

lalu ketika mendapatkannya berbalik menginginkan harta tersebut. Lalu Beliau

Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkankanya untuk memberi makan keluarganya,

karena memenuhi kebutuhan tersebut didahulukan dari kafarat.

Faidah Hadits Kewajiban bertanya tentang amalan yang menyelisihi syariat yang

dilakukan seseorang dan takut terhadap akibat buruknya. Besarnya dosa orang

berpuasa yang melakukan hubungan suami istri di siang Ramadhan. Bergaul dengan

istri di siang Ramadhan secara sengaja membatalkan puasa.

5
Referensi :
https://almanhaj.or.id/11558-kafarat-orang-yang-berhubungan-suami-istri-di-siang-
ramadhan-2.html
Syaikh Abdullah bin Shalih Al-‘Ubailan “Al-Ishbah fi Bayani Manhajis Salaf fi Tarbiyah wal
Ishlah”. Kajian ini disampaikan pada 22 Jumadil awal 1439 H / 08 Februari 2018 M.

Anda mungkin juga menyukai