Artinya: Dari Abu Hurairah r a, ia berkata, "(Suatu hari) ada seorang dari suku Badui
kencing di dalam masjid, para sahabat pun seketika naik pitam dan akan
menghentikannya (mengusirnya). Lalu Rasulullah SAW pun bersabda, 'Biarkanlah ia
dan siramkanlah di atas air kencingnya satu timba air atau seember air, karena
sungguh kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk kesulitan'"
(HR. Bukhari).
Hadits tersebut menjelaskan tentang sikap dan tindakan yang dilakukan Rasulullah
dalam menghadapi seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan yang diluar batas
kewajaran. Berdasarkan kisah tersebut terdapat beberapa hikmah yang bisa dipetik
antara lain:
1. Nabi SAW tidak tergesa-gesa untuk memarahi dan mengusir orang tersebut. Tetapi
berpusat pada satu titik saja sehingga najis tidak menyebar ke mana-mana. Begitu
pula Nabi SAW mempertimbangkan kesehatan orang Badui itu apabila dia diminta
1
2. Dari kisah tersebut juga menjadi bukti bahwa Rasulullah saw begitu toleran dan
santun dalam menghadapi umat yang belum tahu. Dengan sikap yang tidak
memarahi orang Badui itu, serta melarang para sahabat memarahinya, maka
3. Hikmah selanjutnya adalah mengenai cara menyucikan najis. Dalam keadaan seperti
itu, Nabi menyuruh membersihkan najis cukup dengan menyiramkan air. Hal ini
dilakukan karena pada zaman dahulu lantai masjid masih berupa tanah.
4. Kisah tersebut juga mengajarkan pada umatnya agar dalam setiap kejadian supaya
ta’ala berfirman:
ك هُ َو َأ ْعلَ ُم بِ َمن
َ َّك بِ ْال ِح ْك َم ِة َو ْال َموْ ِعظَ ِة ْال َح َسنَ ِة ۖ َو َجا ِد ْلهُم بِالَّتِي ِه َي َأحْ َس ُن ۚ ِإ َّن َرب ِ ِع ِإلَ ٰى َسب
َ ِّيل َرب ُ ا ْد
١٢٥﴿ َض َّل عَن َسبِيلِ ِه ۖ َوهُ َو َأ ْعلَ ُم بِ ْال ُم ْهتَ ِدين َ ﴾
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl[16]: 125)
2
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
berbicara kepada manusia dengan pembicaraan yang tidak dipahami oleh akal-akal
mereka dan belum sampai pemahaman mereka, maka tentunya bukannya diterima,
Inilah dasar yang membuat kita semakin tahu bahwa kita berdakwah dan
menyampaikan ilmu kepada orang, maka kita harus melihat tingkat pemahaman
mereka. Kemudian ketika kita berbicara juga harus melihat kedudukan orang tersebut.
Tidak bisa disamakan. Jika kita menyamakan pembicaraan kepada seluruh manusia
tanpa melihat perbedaan yang ada pada mereka, maka ini sesuatu kekeliruan dalam
3
riwayat lain berbunyi : aku berhubungan dengan istriku di bulan Ramadhan). Maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Apakah kamu mempunyai budak untuk
dimerdekakan?” Dia menjawab,”Tidak!” Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata lagi,”Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Dia
menjawab,”Ttidak.” Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi : “Mampukah
kamu memberi makan enam puluh orang miskin?” Dia menjawab,”Tidak.” Lalu
Rasulullah diam sebentar. Dalam keadaan seperti ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
diberi satu ‘irq berisi kurma –Al irq adalah alat takaran- (maka) Beliau berkata: “Mana
orang yang bertanya tadi?” Dia menjawab,”Saya orangnya.” Beliau berkata lagi:
“Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya!” Kemudian orang tersebut berkata:
“Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada
di dua ujung kota Madinah satu keluarga yang lebih fakir dari keluargaku”. Maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa sampai tampak gigi taringnya,
kemudian (Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata: “Berilah makan keluargamu!”
mereka untuk belajar dan bergaul dengan Beliau. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba
datang seseorang yang mengaku telah celaka dengan sebab dosa yang dilakukannya
disertai keinginan untuk terbebas dari dosa tersebut, sembari berkata “Wahai
Rasulullah, aku telah celaka”. Ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya tentang sebabnya. Orang itupun menjawab, bahwa ia telah menggauli istrinya
datang untuk bertaubat, ingin lepas dari perbuatan dosanya. Kemudian Rasulullah
4
apakah ia bisa mendapatkan budak untuk dimerdekakan sebagai kafarat?. Laki-laki itu
menjawab, tidak bisa. Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi,
apakah ia mampu berpuasa dua bulan penuh berturut-turut? Ia menjawab, tidak bisa
ketiga yang akhir dengan menyatakan, dapatkah ia memberi makan 60 orang miskin?
Kemudian ia duduk dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiam diri, hingga
datang seorang Anshar membawa sekeranjang berisi kurma. Lalu Nabi Shallallahu
kefakiran orang ini dan pengetahuannya tentang kedermawanan dan kecintaan Nabi
sambil berkata: Adakah orang yang lebih fakir dariku? Dan ia bersumpah, bahwa di
antara dua ujung Madinah, tidak ada keluarga yang lebih fakir dari keluarganya.
dengan keadaan orang ini yang datang dalam keadaan takut ingin lepas dari dosanya,
Faidah Hadits Kewajiban bertanya tentang amalan yang menyelisihi syariat yang
dilakukan seseorang dan takut terhadap akibat buruknya. Besarnya dosa orang
berpuasa yang melakukan hubungan suami istri di siang Ramadhan. Bergaul dengan
5
Referensi :
https://almanhaj.or.id/11558-kafarat-orang-yang-berhubungan-suami-istri-di-siang-
ramadhan-2.html
Syaikh Abdullah bin Shalih Al-‘Ubailan “Al-Ishbah fi Bayani Manhajis Salaf fi Tarbiyah wal
Ishlah”. Kajian ini disampaikan pada 22 Jumadil awal 1439 H / 08 Februari 2018 M.