By admin / Artikel
WordPress database error: [Table './purbalingga_v2/v2_post_views' is marked as crashed
and should be repaired]
SELECT SUM(count) AS views FROM v2_post_views WHERE id IN (1711) AND type
= 4
Membaca Al-Quran jelas memiliki faedah dan keistimewaan yang sangat luar biasa. Setiap
hurufnya, kita tahu, diganjar dengan sepuluh kebajikan. Setiap seseorang membaca Al-
Quran, hal itu telah dinilai sebagai ibadah. Di masyarakat kita pun rupanya ada yang
membaca perlahan-lahan, atau dengan cara cepat. Di kalangan ulama ahli qiraat Al-Quran,
cara membaca Al-Quran memiliki empat metode yang biasa diamalkan oleh pembaca Al-
Quran.
Sebagaimana dijelaskan dalam buku Ilmu Tajwid sebuah panduan membaca Al-Quran
secara Murattal dan Mujawwad, yang diterbitkan oleh Tim Penyusun LPTQ Propinsi Jawa
Tengah). Dalam buku ini menjelaskan, ada empat tingkatan bentuk bacaan Al-Quran, yaitu:
1. الترتيل : Tartil ialah membaca Al-Quran dengan lamban, sehingga terlihat semua
Makhroj dan Sifat setiap huruf, sambil merenungkan arti lafadz yang dibaca. Metode ini
berdasarkan Firman Allah Swt.:
Dalam kitab Khozinatul asror, karya Syekh Sayyid Muhammad haqqi Annazily dijelaskan,
bahwa yang dimaksud tartil adalah:
التستعجل فى قراءتك
2. التحقيق: Tahqiq adalah bentuk bacaan yang sama dengan tartil, dengan sedikit
diperlamban. Bentuk qiroat ini biasanya digunakan pada Majlis-majlis Ta’lim. (sumber: Ilmu
Tajwid sebuah panduan membaca Al-Quran secara Murattal dan Mujawwad, Tim Penyusun
LPTQ Propinsi Jawa Tengah).
3. الحدر : Hadr ialah membaca Al-Quran dengan cepat, dan tetap memperhatikan
hukum-hukum bacaannya.
التدوير : Tadwir ialah bentuk bacaan antara Tartil dan Hadr. Cara ini merupakan pertengahan
antara cara tahqiq yang begitu pelan dan mantap dan hadr yang begitu ringkas dan cepat.
Untuk metode tadwir ini, hal yang terpenting adalah bacaan-bacaan mad yang tidak
dipenuhkan, seperti pada mad ja’iz munfashil, tidak sampai panjang enam ketukan. Tidak
terlalu pelan, tetapi juga tidak disempurnakan betul.
Dari keempat metode tersebut, hal yang terpenting adalah bagaimana seseorang yang
membaca Al-Quran memahami ilmu tajwid dan tanda baca seperti waqaf. Setiap Qari tentu
memiliki kebiasaan yang berbeda ketika membaca Al-Quran, ada yang terbiasa membaca
Al-Quran dengan cara cepat, ada pula yang membaca dengan cara pelan.
Sebaiknya ketika membacaan Al-Quran disesuaikan dengan kebutuhan dan target yang
ingin dicapai. Semisal pada even khataman, tentu para hafizh Al-Quran memiliki cara
membaca yang berbeda-beda sesuai dengan kebiasaan demi untuk mengkhatamkan lebih
cepat.
Dari empat tingkatan bentuk bacaan Al-Quran, Tartil adalah bentuk bacaan Al-Quran yang
terbaik di antara keempat bentuk bacaan tersebut. Sebab Al-Quran diturunkan dengan
bentuk Tartil
2. Harus sesuai dengan aturan bacaan bahasa Arab (Ilmu Nahwu), walaupun Do’if.
3. Al-Quran yang dibaca harus tertulis sesuai dengan aturan-aturan Khot Usmany, dan
atau yang mirip dengan Khot Usmany.
Apabila salah satu dari tiga syarat tersebut tidak terpenuhi maka Qiroatnya digolongkan
dalam Qiroat Syaddzah (شاذة )
Catatan: Syarat yang pertama : صحة السند (Shihhatus Sanad) dapat pula diartikan bahwa
orang diperbolehkan membaca-apalagi mengajar Al-Quran harus pernah atau sudah
berguru terlebih dahulu dan sesuai dengan bacaan gurunya.
Pentingnya Musyafahah dalam belajar sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Khaldun dalam al-
Muqaddimah mengatakan:
ولقاء المشيخة مزيد كمال في التعليم والسبب في ذلك أن البشر يأخذون معارفهم وأخالقهم وما ينتحلونه به
إال أن حصول الملكات عن. وتارة محاكاة وتلقين ًا بالمباشرة،ً تارة علم ًا وتعليم ًا وإلقاء:من المذاهب والفضائل
وأقوى رسوخ ًاZالمباشرة والتلقين أشد استحكام ًا
قالوا وال يأخذ العلم إال ممن كملت أهليته وظهرت ديانته وتحققت معرفته واشتهرت صيانته وسيادته فقد قال
هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم:ابن سيرين ومالك وخالئق من السلف
“Ulama mengatakan, tidak boleh mengambil ilmu kecuali dari sosok yang sempurna
keahliannya, jelas agamanya, valid pengetahuannya, dan masyhur keterjagaan dan
kemuliannya. Berkata Ibnu Sirin, Malik dan beberapa ulama salaf; ilmu ini agama, maka
lihatlah dari mana engkau mengambil agama kalian”. (al-Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh
al-Muhadzab, juz 1, hal. 66).
Rasm berasal dari kata Rasama Yarsamu yang berarti menggambar atau melukis. Rasm Al-
Quran berarti adalah tulisan Al-Quran, baik dalam penulisan lafadznya maupun dalam
penulisan bentuk hurufnya. Pada umumnya, penulisan arab sesuai dengan pengucapannya,
tanpa ada penambahan, pengurangan, penggantian, dan perubahan. Namun, tidaklah
demikian dengan Rasm Al-Quran yang sebagiannya tidak selalu sesuai dengan
pengucapannya.
Kedua Rasm Qiyasi, yang disebut juga dengan Rasm Istilahi atau Imlai sebagai Khat (tulisan)
yang Mukhtara’ (diciptakan), yang huruf-hurufnya ditulis sesuai dengan bunyi lafadznya dan
selaras dengan kaidah-kaidah Imla’ (penulisan) yang ditetapkan para pakar bahasa setelah
penulisan mushaf-mushaf Usmany, sesuai dengan perkembangan kebahasaan. Rasm Al-
Mushaf atau Rasm Al-Usmany sebagai Khat (tulisan) yang muttaba’ (diikuti), sebahagian
pola tulisannya berbeda dengan Rasm Qiyasi atau Rasm istilahi.