Anda di halaman 1dari 2

Catatan Kasenat Sespimmen 63

Selasa, 28 Maret 2023.

Elena Antonacopoulou (2008) pernah mengutarakan, jika “belajar” adalah bagian penting yang tidak
terpisahkan dari kehidupan, apabila kehidupan bekerja membutuhkan “belajar” sebagai suatu
syarat untuk bertahan hidup, apabila “belajar adalah kondisi manusia yang paling hakiki/terpenting,
maka mengapa kita mengalami kesulitan untuk terlibat dalam proses belajar itu?

Belajar adalah proses yang selalu berkembang, tidak pernah berhenti, bahkan sejak lahirnya kita ke
dunia, mempelajari seisi dunia, untuk mencapai titik kehidupan yang diinginkan. Proses belajar selalu
melibatkan naluri “insting hidup” manusia untuk bertahan dan melampaui berbagai tantangan
kehidupan dan pekerjaan. Konteks belajar juga dapat dilihat dari pola hidup, pola bekerja, dan
kompleksitas belajar menghadapi berbagai tantangan bekerja maupun kehidupan sekarang.

Apalagi kehidupan sekarang belum tentu menjadi pengalaman yang linier untuk menghadapi bebagai
kemungkinan di masa depan, yang penuh dengan kompleksitas, perubahan yang cepat dan tidak
terduga, penuh ketidakpastian, dan bahkan memunculkan berbagai tafsir yang tidak sama dan tidak
serupa baik anta individu, antar organisasi, antar elemen bangsa, bahkan pada perspektif yang lebih
luas lagi – yaitu: antar negara sebagai state actor dalam percaturan hubungan dunia.

Sebagai contoh, perspektif makro (level negara) – bahwa setiap elemen bangsa saat ini fokus berjuang
memulihkan ekonomi nasional, sebagai pendongkrak kesejahteraan rakyat, lalu pada perpsektif mikro
(level organisasi atau level individu) – kita semua belajar dari pengalaman bertahan hidup selama
periode pandemi Covid-19, bukan hanya itu, polisi juga menjalankan misi untuk memperjuangkan dan
menyelamatkan kehidupan masyarakat dengan berbagai pelaksanaan tugas yang belum pernah
dilakukan sebelumnya. Hingga kini di masa pandemi yang dapat dikatakan dipenghujungnya, kita
semua melalui perjalanan itu sebagai pegalaman hidup, lalu kita belajar untuk ke depan, mengambil
semua peluang yang ada untuk memperbaiki kehidupan kita, keluarga, maupun organisasi dimana kita
bekerja dan berkarya.

Terkait hal tersebut, Saya yang juga penuh semangat ingin belajar, – membaca Buku “Demokratisasi
Pemolisian dan Strategi Keluar dari Zona Nyaman” Cetakan Pertama (2016), karya IJP. Prof. Dr.
Chrysnanda Dwilaksana, M.Si., dan Saya mendapatkan pembelajaran yang sangat penting bahwa
kompleksitas juga hadir dalam kehidupan dan pekerjaan sebagai polisi. Bukan hanya melaksanakan
tugas pokoknya pada bidang operasional maupun pembinaan, polisi juga harus menghadapi
bagaimana reaksi dan respon masyarakat di dunia nyata dan dunia maya, – menerima segala caci maki,
kritik, saran ataupun masukan yang tersebar luas di medsos maupun berbagai platform media. Patut
disadari bahwa, reformasi Polri di era demokratisasi berjalan pada periode yang masih belum selesai.
Dinamika demokratisasi kian berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat di
Indonesia yang memiliki kultur majemuk adat-istiadatnya, memiliki generasi yang beragam
karkaternya, juga memiliki karakter maupun jenjang pendidikan yang juga belum tentu sama satu
dengan lainnya. Pemolisian seakan berjalan pada ruang dan pendulum waktu yang tidak lagi sama
seperti dahulu kala, polisi adalah bagian dari demokrasi itu sediri, dan polisi jugalah yang menjadi salah
satu penjaga kehidupan dan pengawal peradaban demokrasi di Indonesia. Namun secara pasti, polisi
adalah bagian dari pemerintah yang diberikan tugas pokok untuk menjalankan kekuasaan negara di
bidang keamanan, tidak dipungkiri pula polisi adalah bagian dari masyarakat yang memberikan
mandatnya kepada negara untuk menjalankan segala urusan pemerintahan. Polisi-pun harus berada
di tengah-tengah, menjalankan apa yang ditugskan oleh negara, serta memenuhi apa harapan dan
tuntutan dari masyarakat. Hakekat inilah, yang pada akhirnya, menguatkan pemahaman Saya tentang
buku ini, bahwa polisi dan pemolisiannya harus sejalan dengan demokrasi (Chrysnanda, 2016).

Momentum untuk dapat menjalani pedidikan Sespimmen Dikreg-63, sangatlah strategis untuk Saya
posisikan sebagai proses belajar, bukan hanya belajar tentang bagaimana kepemimpinan di level
menengah tetapi adalah tentang bejalar itu sendiri, menjadi polisi yang juga menjadi bagian dari
aparatur negara, dan juga menjadi bagian dari masyarakat. Stuktur sosial baik yang dilembagakan
melalui perangkat Lembaga Negara juga yang tidak dilembagakan sebagai bagian dari struktur di
tengah masyarakat, – mendefinisikan terjadinya interaksi sosial, yang sekaligus juga konteks polisi
dalam menjalankan perannya pada ruang-ruang pengaturan yang berbeda. Di internal kepolisian,
praktik belajar akan tunduk pada transformasi kelembagaan, artinya proses belajar berorientasi pada
transformasi kepolisian saat ini, bagaimana menjalankan proses manajemen operasional dan
pembinaan organisasi kepolisian pada level kepemimpinan menengah. Namun demikian, proses
belajar tidak berhenti di titik itu, tetapi juga berjalan pada struktur sosial, artinya belajar tentang
menjembatani pola-pola pemolisian agar tepat dan sesuai dengan harapan dan tuntutan masyarakat
di era demokratis, karena tindakan kepolisian selalu akan berinteaksi langsung dan dinegosiasikan oleh
beragam kekuatan yang ada di tengah struktur sosial. Inilah dua komponen yang pada akhirnya,
membuat setiap tindakan kepolisian bukan hanya bersifat legal melainkan juga legitime. Belajar dan
terus belajar, adalah sistem di daam diri yang layak bagi setiap individu atau petugas polisi, untuk dapat
terus mengeksplorasi kemampuan, keterampilan, dan pengetahuan, untuk mewujudkan polisi yang
menjadi pejuang kemanusiaan, pembangun peradaban dan penjaga kehidupan.

Pada akhirnya, Saya melihat bahwa proses belajar akan menghadirkan 2 (dua) hal penting, yaitu:
adaptasi yang didalamnya meliputi transformasi, serta stabilitas. Adaptasi yang diliputi transformasi –
mendorong berbagai jalan keluar yang terbarukan terhadap setiap permasalahan dan tantangan yang
dihadapi, sedangkan stabilitas – menghadirkan fokus serta pola rutinitas dan praktik individu maupun
oganisasi untuk tetap berada pada jalur belajar.

Bagi siapapun individu ataupun organisasi untuk bertahan hidup, maka rasio belajar harus seimbang
atau lebih besar dari rasio tantangan atau perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Hal ini
menuntut kita untuk tidak pernah untuk berhenti belajar, semakin bayak ilmu yang kita serap justru
semakin merunduk kita ibarat pepatah padi, belajar bukanlah tentang usia, tetapi belajar adalah
tentang memperbaiki hidup, tentang memperbarui pola-pola bekerja, tentang bertahan hidup, dan
untuk bekerjanya kehidupan.

Semoga dengan meniatkan diri kita untuk belajar di Sespimmen Polri, para perwira dapat menjadi
agen-agen polisi yang cerdas, profesional, bermoral, menjadi tulang punggung ajegnya institusi Polri
di masa depan, serta selalu mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang bermanfaat untuk masyarakat.

Literatur:

Ross Ashby, W. 1958. Requisite variety and its implications for the control of complex systems,
Cybernetica, 1 (2): 83–99.

Elena Antonacopoulou. 2008. Organizational Learning: The Dynamics Flow of Macro and Micro Forces.

Chrysnanda D. 2016. Demokratisasi Pemolisian dan Strategi Keluar dari Zona Nyaman. Yayasan
Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.

Anda mungkin juga menyukai