Anda di halaman 1dari 6

RESUME

Nama : Adinda Violita Ludya

Nim : 2262211102

Kelas : Akuntansi CD

Matkul : AIKA

Dosen : Riduanullah
BAB I Pengantar Ibadah

A. Pengertian dan Kedudukan Ibadah


Secara etimologis, ibadah berarti menyembah, taat, tanduk, patuh, hina, menyesal
dan mengabdi (Ahmad Warson Munawwir, 1984: 951-952).
Dalam Pandangan ahli hukum islam, hakikat ibadah adalah mengabdi kepada allah
yang dimanifestiasikan dalam bentuk kepatuhan, ketaatan dan penyerahan diri secara total
balik secara lahir dan batin oleh seseorang hamba kepadanya.
B. Pembagian Ibadah
Jika mengacu kepada definisi diatas, maka secara garis besar ibadah dapat
diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu:
1. Ibadah Umum (‘Ammah)
Ibadah umum adalah ibadah dalam pengartian yang luas, yaitu ibadah yang
tidak di tentukan tata cara atau aturannya secara baku sebagaimana halnya
ibadah khusus (madhah).
Ibadah umum mencakup semua aktifitas hidup yang baik dan mengandung
manfaat baik bagi diri sendiri, orang lain, bangsa, agama atau negara dan
diniatkan ibadah (dalam rangka taat) kepada allah. Dalam ibadah umum, Allah
dan Rasulullah hanya memberikan pedoman-pedoman umum dan tidak
menjelaskan teknik pelaksanaannya. Contoh ibadah umum antara lain tata cara
jual beli, bernegara, bermasyarakat, bergaul dan lainnya. Dalam khazanah ilmu
fiqih islam, ibadah umum ini juga disebut ibadah ghairu madhah.
2. Ibadah Khusus (Khashshah)
Ibadah khusus berarti ibadah yang sudah ditetapkan tata cara, aturan,
ketentuan dan mekanismenya secara rinci dan detail. Hanya Allah dan Rasulullah
SAW yang memiliki otoritas untuk mengatur dan membuat ketentuan ibadah
khusus. Dalam masalah ini, manusia tidak memiliki otoritas atau kewenangan
melalui potensi fisik, perasaan dan akalnya untuk berkreasi. Manusia hanya
menerima, mengikuti dan mengamalkan apa yang diperintahkan oleh Allah dan
Rasulullah Saw (sam’an wa tha’atan/sami’na wa atha’na) tanpa melakukan
modifikasi sedikitpun dengan menambahakn atau menguranginya.
Secara metodoligis, pemahaman terhadap nas-nas Al-Qur’an dan Hadis yang
terkait dengan ibadah mahdah (ibadah khusus)harus dipahami secara orisinil,
tekstual, literal dengan pendekatan bayani. Tidak boleh ada kreasi ataupun
modifikasi manusia. Jika ada kreasi dan modifikasi, maka disinilah terjadi bid’ah.
C. Bid’ah dalam Ibadah
Secara etimologis, bid’ah artinya menciptakan, memulai, mendirikan dan gemuk
(Ahmad Warson Munawwir, 1984: 70).
Menurut As-syatibi ada beberapa contoh bid’ah yang dapat terjadi pada ibadah
khusus, antara lain:
1. Membuat ketentuan sendiri, seperti orang yang bernazar puasa dengan berdiri,
tidak duduk, berpanas-panasan, tidak mau berteduh.
2. Membuat cara dan gerak tertentu, seperti berdzikir kepada Allah dengan cara
berkumpul dengan satu suara (bersama-sama).
3. Mengadakan ibadah ibadah tertentu, pada waktu tertentu, yang tidak ada
ketentuan dalam agama seperti ibadah puasa nisfu sya’ban dan beribadah pada
malamnya (As-Syatibi, Tt:1:26).
D. Filsafah Ibadah
Secara Teologis, seluruh manusia dan makhluk lain yang ada di alam semesta ini
adalah ciptaan Allah. Makhluk-makhluk ini di ciptakan, dipelihara, dan dikelola
(rububiyyatullah), dimiliki dan dikuasai secara mutlak oleh allah swt (mulkiyyatullah).
E. Prinsip-prinsip Ibadah
1. Hanya menyembah (beribadah) kepada allah semata
Ibadah di persembahkan totalitas hanyab kepada allah. Jika ibadah tidak
dpersembahkan kepada allah, maka ibadah tersebut tergolong mengandung
unsur syirik (menyekutukan allah).
2. Ikhlas
Secara etimologis, ikhlas artinya bersih, jernih, murni dan tidak bercampur.
Sedangkan secara terminologis, ikhlas adalah beramal semata-mata
mengharpkan ridho allah swt (Yunahar Ilyas, 2012: 29).
3. Tidak menggunkan perantara
Dalam islam beribadah langsung ditujukan kepada allah, tidak melalui perantara
apapun dan siapapun, kecuali yang diizinkan oleh agama, karena allah sangat
dekat dengan hambanya.
4. Ibadah harus sesuai dengan tuntutan Al-Quran dan hadis
5. Seimbang antara unsur jasmani dengan rohani
Ibadah tidak boleh menyebabkan lupa kepada kehidupan dunia, demikian juga
sebaliknya.
6. Mudah dan meringankan
Dalam ketentuan agama ibadah jika tidak dapat dilakukan secara sempurna
sesuai ketentuan karena alasan-alasan yang dibenarkan (uzur), maka ibadah
tersebut dikerjakan sesuai kemapuan.
7. Tidak boleh menggunakan perasaan dan akal
F. Hubungan antar iman, ibadah dan akhlak
Sebagiian ahli agama islam membagi pokok-pokok ajaran agama islam menjadi 3
bagian yaitu iman, islam dan ihsan. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh
(unity) yang tidak dapat di pisah-pisah.
BAB II Thaharah

A. Arti dan Kedudukan Thaharah


Dalam khazanah hukum islam (fiqih), bersuci seroing disebut dengan istilah
thaharah. Secara umum, pembahasan ibadah selalu dimulai dengan pembahasan
thaharah. Karena thaharah memiliki posisi sentral dan strategis sebagai salah satu
syarat diterimanya ibadah.
Secara etimologis, thaharah berarti suci, bersih dan menjauh (Ahman Warson
Munawwir, 1984: 931), baik dari kotoran lahir (zati atau ‘aini) maupun batin
(rohani), berupa sifat maupun tercela.
B. Alat Thaharah
1. Air
Air adalah media utama untuk bersuci menghilangkan najis, sekaligus juga
menghilangkan hadas. Air merupakan alat thaharah yang palingf utama, namun
tidak semua air dapat digunakan untuk thaharah. Dalam ilmu fiqih, air dibagi
menjadi beberapa jenis. Yaitu:
a. Air mutlak
Air mutlak adalah air murni yang belum mengalami proses apapun. Air mtlak itu
masih asli, dalam arti belum digunakan untuk bersuci, tidak tercampur benda
suci, ataupun benda najis.
b. Air suci tapi tidak mensucikan
Air ini adalah air yang dilihat dari zatnya sendiri adalah suci, misalnya air kelapa,
air gula, air kopi, air teh dan sebagainya. Air ini sekalipun suci tetapi ia tidak
dapat digunakan untuk menghilagkan najis dan hadas.
c. Air musta’mal
Air musta’mal adalah air yang telah dipakai untuk bersuci. Air ini sah dapat
dipakai untuk bersuci, baik untuk mandi ataupun berwudhu, seperti halnya air
mutlak.
d. Air mutanajjis
Air mutanajjis ialah air yang tercampur dengan barang najis sehingga merubah
salah satu diantara rasa, warna dan baunya.
e. Air yang tercampur dengan benda suci
Air yang tercampur dengan benda suci boleh digunakan untuk bersuci.
C. Najis
Secara etimologis najis artinya kotor (Ahmad Warson Munawwir, 1984: 1487). Sedangkan
secara termologis najis adalah sesuatu yang dianggap kotor oleh agama yang harus
dibersihkan dari badan, pakaian, dan tempat sholat oleh manusia saat akan melaksanakan
sholat. Karna berbentuk benda. Dalam termonolgi fiqih disebut sebagai najis hakiki.
D. Hadas
Selain najis hakiki terdsapoat juga najis hykmi, yaitu sesuatu yang diperbuat oleh anggota
badan yg menyebabkan ia terhalang untuk melakukan shalat dan ibadah lainnya. Najis
hiukmi disebut juga hadas, yg dibagi menjadi dua, yaitu hadas besar dan hadas kecil.
E. Mandi
Yang dimaksid mandi disini adalah mandi besar atau mandi junub untuk mensucikan diri dari
hadas besar.
F. Wudhu
G. Mengusap Khuf (Mashul Khuffain)
Meskipun membasuh kaki merupakan salah satu rukun wudhu namun agama memberikan
keringanan untuk tidak membasuhnya dengan cara mengusap punggung khuf. Khuf artinya
sepatu panjang yang menutupi seluruh bagviasn kaki yang wajib dibasuh saat berwudhu.
Khuf bisa dipakai oleh misalnya mandor bangunan, pekerja tambang dan lainnya.
H. Tayamum
1. Pengertian dan Dasar Hukum
Tayamum secara etinmologis artionya sengaja (Ahmad Warson Munawwir, 1984: 1699).
Sedangkan secara termonologis. Sedangkan secara termonologis tayammum adalah
sengaja menggunakan tanah atau debu sebagai alat bersuci sebagai penggati wudhu dan
mandi jika berhalangan.
2. Alasan dibolehkan Tayammum
Dalam khazanah fiqih iskam disebutkan bahwa sebab-sebab dibolehkan bertayaammum
adalah:
a. Ketika tidak menemukan air atau menemukan air tetapi tidak cukup
untuk bersuci.
b. Ketika sakit atau ada luka yang menurut keterangan ahli medis
c. Ketika air sangat dingin yang dapat membahayakan kesehatsn dsn tidsk
mungkin untuk memanaskannya.
d. Ketika air ada dan cukup.
I. Istinja
Secara etimologis istinja artiya selamat, bebas dan terlepas (Ahmad Warson Munawwir,
1984: 1490). Sedangkan secara termologis istinja adalah membesarkab atau mensucikan
qubul (kemaluan) dan atau dubur (anus) setelah selesai buang air dengan menggukan air
atau batu.

Anda mungkin juga menyukai