Secara etimologis, ibadah berarti menyembah, taat, tanduk, patuh, hina, menyesal dan mengabdi (Ahmad Warson Munawwir, 1984: 951-952). Dalam Pandangan ahli hukum islam, hakikat ibadah adalah mengabdi kepada allah yang dimanifestiasikan dalam bentuk kepatuhan, ketaatan dan penyerahan diri secara total balik secara lahir dan batin oleh seseorang hamba kepadanya. B. Pembagian Ibadah Jika mengacu kepada definisi diatas, maka secara garis besar ibadah dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu: 1. Ibadah Umum (‘Ammah) Ibadah umum adalah ibadah dalam pengartian yang luas, yaitu ibadah yang tidak di tentukan tata cara atau aturannya secara baku sebagaimana halnya ibadah khusus (madhah). Ibadah umum mencakup semua aktifitas hidup yang baik dan mengandung manfaat baik bagi diri sendiri, orang lain, bangsa, agama atau negara dan diniatkan ibadah (dalam rangka taat) kepada allah. Dalam ibadah umum, Allah dan Rasulullah hanya memberikan pedoman-pedoman umum dan tidak menjelaskan teknik pelaksanaannya. Contoh ibadah umum antara lain tata cara jual beli, bernegara, bermasyarakat, bergaul dan lainnya. Dalam khazanah ilmu fiqih islam, ibadah umum ini juga disebut ibadah ghairu madhah. 2. Ibadah Khusus (Khashshah) Ibadah khusus berarti ibadah yang sudah ditetapkan tata cara, aturan, ketentuan dan mekanismenya secara rinci dan detail. Hanya Allah dan Rasulullah SAW yang memiliki otoritas untuk mengatur dan membuat ketentuan ibadah khusus. Dalam masalah ini, manusia tidak memiliki otoritas atau kewenangan melalui potensi fisik, perasaan dan akalnya untuk berkreasi. Manusia hanya menerima, mengikuti dan mengamalkan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah Saw (sam’an wa tha’atan/sami’na wa atha’na) tanpa melakukan modifikasi sedikitpun dengan menambahakn atau menguranginya. Secara metodoligis, pemahaman terhadap nas-nas Al-Qur’an dan Hadis yang terkait dengan ibadah mahdah (ibadah khusus)harus dipahami secara orisinil, tekstual, literal dengan pendekatan bayani. Tidak boleh ada kreasi ataupun modifikasi manusia. Jika ada kreasi dan modifikasi, maka disinilah terjadi bid’ah. C. Bid’ah dalam Ibadah Secara etimologis, bid’ah artinya menciptakan, memulai, mendirikan dan gemuk (Ahmad Warson Munawwir, 1984: 70). Menurut As-syatibi ada beberapa contoh bid’ah yang dapat terjadi pada ibadah khusus, antara lain: 1. Membuat ketentuan sendiri, seperti orang yang bernazar puasa dengan berdiri, tidak duduk, berpanas-panasan, tidak mau berteduh. 2. Membuat cara dan gerak tertentu, seperti berdzikir kepada Allah dengan cara berkumpul dengan satu suara (bersama-sama). 3. Mengadakan ibadah ibadah tertentu, pada waktu tertentu, yang tidak ada ketentuan dalam agama seperti ibadah puasa nisfu sya’ban dan beribadah pada malamnya (As-Syatibi, Tt:1:26). D. Filsafah Ibadah Secara Teologis, seluruh manusia dan makhluk lain yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan Allah. Makhluk-makhluk ini di ciptakan, dipelihara, dan dikelola (rububiyyatullah), dimiliki dan dikuasai secara mutlak oleh allah swt (mulkiyyatullah). E. Prinsip-prinsip Ibadah 1. Hanya menyembah (beribadah) kepada allah semata Ibadah di persembahkan totalitas hanyab kepada allah. Jika ibadah tidak dpersembahkan kepada allah, maka ibadah tersebut tergolong mengandung unsur syirik (menyekutukan allah). 2. Ikhlas Secara etimologis, ikhlas artinya bersih, jernih, murni dan tidak bercampur. Sedangkan secara terminologis, ikhlas adalah beramal semata-mata mengharpkan ridho allah swt (Yunahar Ilyas, 2012: 29). 3. Tidak menggunkan perantara Dalam islam beribadah langsung ditujukan kepada allah, tidak melalui perantara apapun dan siapapun, kecuali yang diizinkan oleh agama, karena allah sangat dekat dengan hambanya. 4. Ibadah harus sesuai dengan tuntutan Al-Quran dan hadis 5. Seimbang antara unsur jasmani dengan rohani Ibadah tidak boleh menyebabkan lupa kepada kehidupan dunia, demikian juga sebaliknya. 6. Mudah dan meringankan Dalam ketentuan agama ibadah jika tidak dapat dilakukan secara sempurna sesuai ketentuan karena alasan-alasan yang dibenarkan (uzur), maka ibadah tersebut dikerjakan sesuai kemapuan. 7. Tidak boleh menggunakan perasaan dan akal F. Hubungan antar iman, ibadah dan akhlak Sebagiian ahli agama islam membagi pokok-pokok ajaran agama islam menjadi 3 bagian yaitu iman, islam dan ihsan. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh (unity) yang tidak dapat di pisah-pisah. BAB II Thaharah
A. Arti dan Kedudukan Thaharah
Dalam khazanah hukum islam (fiqih), bersuci seroing disebut dengan istilah thaharah. Secara umum, pembahasan ibadah selalu dimulai dengan pembahasan thaharah. Karena thaharah memiliki posisi sentral dan strategis sebagai salah satu syarat diterimanya ibadah. Secara etimologis, thaharah berarti suci, bersih dan menjauh (Ahman Warson Munawwir, 1984: 931), baik dari kotoran lahir (zati atau ‘aini) maupun batin (rohani), berupa sifat maupun tercela. B. Alat Thaharah 1. Air Air adalah media utama untuk bersuci menghilangkan najis, sekaligus juga menghilangkan hadas. Air merupakan alat thaharah yang palingf utama, namun tidak semua air dapat digunakan untuk thaharah. Dalam ilmu fiqih, air dibagi menjadi beberapa jenis. Yaitu: a. Air mutlak Air mutlak adalah air murni yang belum mengalami proses apapun. Air mtlak itu masih asli, dalam arti belum digunakan untuk bersuci, tidak tercampur benda suci, ataupun benda najis. b. Air suci tapi tidak mensucikan Air ini adalah air yang dilihat dari zatnya sendiri adalah suci, misalnya air kelapa, air gula, air kopi, air teh dan sebagainya. Air ini sekalipun suci tetapi ia tidak dapat digunakan untuk menghilagkan najis dan hadas. c. Air musta’mal Air musta’mal adalah air yang telah dipakai untuk bersuci. Air ini sah dapat dipakai untuk bersuci, baik untuk mandi ataupun berwudhu, seperti halnya air mutlak. d. Air mutanajjis Air mutanajjis ialah air yang tercampur dengan barang najis sehingga merubah salah satu diantara rasa, warna dan baunya. e. Air yang tercampur dengan benda suci Air yang tercampur dengan benda suci boleh digunakan untuk bersuci. C. Najis Secara etimologis najis artinya kotor (Ahmad Warson Munawwir, 1984: 1487). Sedangkan secara termologis najis adalah sesuatu yang dianggap kotor oleh agama yang harus dibersihkan dari badan, pakaian, dan tempat sholat oleh manusia saat akan melaksanakan sholat. Karna berbentuk benda. Dalam termonolgi fiqih disebut sebagai najis hakiki. D. Hadas Selain najis hakiki terdsapoat juga najis hykmi, yaitu sesuatu yang diperbuat oleh anggota badan yg menyebabkan ia terhalang untuk melakukan shalat dan ibadah lainnya. Najis hiukmi disebut juga hadas, yg dibagi menjadi dua, yaitu hadas besar dan hadas kecil. E. Mandi Yang dimaksid mandi disini adalah mandi besar atau mandi junub untuk mensucikan diri dari hadas besar. F. Wudhu G. Mengusap Khuf (Mashul Khuffain) Meskipun membasuh kaki merupakan salah satu rukun wudhu namun agama memberikan keringanan untuk tidak membasuhnya dengan cara mengusap punggung khuf. Khuf artinya sepatu panjang yang menutupi seluruh bagviasn kaki yang wajib dibasuh saat berwudhu. Khuf bisa dipakai oleh misalnya mandor bangunan, pekerja tambang dan lainnya. H. Tayamum 1. Pengertian dan Dasar Hukum Tayamum secara etinmologis artionya sengaja (Ahmad Warson Munawwir, 1984: 1699). Sedangkan secara termonologis. Sedangkan secara termonologis tayammum adalah sengaja menggunakan tanah atau debu sebagai alat bersuci sebagai penggati wudhu dan mandi jika berhalangan. 2. Alasan dibolehkan Tayammum Dalam khazanah fiqih iskam disebutkan bahwa sebab-sebab dibolehkan bertayaammum adalah: a. Ketika tidak menemukan air atau menemukan air tetapi tidak cukup untuk bersuci. b. Ketika sakit atau ada luka yang menurut keterangan ahli medis c. Ketika air sangat dingin yang dapat membahayakan kesehatsn dsn tidsk mungkin untuk memanaskannya. d. Ketika air ada dan cukup. I. Istinja Secara etimologis istinja artiya selamat, bebas dan terlepas (Ahmad Warson Munawwir, 1984: 1490). Sedangkan secara termologis istinja adalah membesarkab atau mensucikan qubul (kemaluan) dan atau dubur (anus) setelah selesai buang air dengan menggukan air atau batu.