Anda di halaman 1dari 13

RESUME

KAJIAN DAN PRAKTIK PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI


PENDIDIKAN DASAR
Tentang
TINGKATAN APRESIASI SASTRA ANAK

Disusun Oleh :

Indah Fajri Hilmi

Nim :

22124024

Dosen Pengampu:

Dr. Nur Azmi Alwi,S.S,M.Pd

Dra. Elfia Sukma,M.Pd,Ph.D

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2023
Tingkatan Apresiasi Sastra Anak

Dalam melaksanakan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah dan di perguruan tinggi itu kita
dapat melakukan beberapa kegiatan, antara lain, (1) kegiatan apresiasi langsung, (2) kegiatan apresiasi
tidak langsung, (3) pendokumentasian, dan (4) kegiatan kreatif dan inovatif. Semua kegiatan itu
dilakukan untuk meningkatkan apresiasi sastra murid dan mahasiswa dalam berkarya dan beraktivitas
menggauli karya sastra.

3.1 Kegiatan Apresiasi Langsung

Kegiatan apresiasi langsung adalah kegiatan yang dilakukan secara sadar untuk memperoleh
nilai kenikmatan dan kehikmatan dari karya sastra yang diapresiasi. Nilai kenikmatan sastra dapat
memberi sesuatu yang menyenangkan, menghibur, dan memberi kepuasan. Nilai kehikmatan sastra
dapat memberi pembelajaran, amanat, dan nasihat tentang kehidupan. Kegiatan apresiasi langsung
meliputi kegiatan sebagai berikut.

1) Membaca Karya Sastra

2) Mendengarkan Karya Sastra

3) Menonton Pertunjukan Pentas Sastra

Membaca, mendengarkan, dan menonton adalah cara paling utama dalam kegiatan apresiasi
sastra. Ketiga kegiatan itu dilakukan dengan sadar untuk memperoleh nilai-nilai yang terkandung
dalam karya sastra. Keterlibatan seseorang secara langsung dapat dilakukan dengan cara membaca
sendiri karya sastra yang diapresiasinya, mendengar dengan telinganya sendiri karya sastra yang
dilisankan, dan menyaksikan sendiri karya sastra yang dipentaskan.

3.1.1 Kegiatan Membaca Karya Sastra

Dalam kegiatan membaca karya sastra ini dilakukan secara sungguh-sungguh untuk
memperoleh sesuatu yang ada dalam karya sastra yang dibacanya. Sesuatu itu berupa nilai-nilai yang
dapat diambil manfaatnya bagi kehidupan. Nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan itu
memberikan arahan tentang perilaku, pandangan hidup, dan cara menyikapi sesuatu dalam
menghadapi kehidupan di dunia dan di akhirat nantinya.

Membaca karya sastra untuk jenjang pendidikan sekolah dasar tentu berbeda dengan
membaca karya sastra untuk jenjang pendidikan sekolah lanjutan pertama, sekolah lanjutan atas, dan
juga perguruan tinggi. Bahan atau materi bacaan karya sastra dipilih dari yang sangat sederhana dan
terbatas hingga karya sastra yang kompleks dan canggih tentu disesuaikan dengan usia dan
lingkungan sosial budayanya. Membaca dari yang sedikit, misalnya hanya satu alinea dalam satu hari
hingga satu buku dalam satu harinya, tentu disesuaikan dengan kondisi dan situasi siswa atau
mahasiswanya. Mereka yang gemar membaca tentu memiliki kelebihan wawasan dari mereka yang
enggan membaca karya sastra. Kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual, hingga kecerdasan
spiritualnya akan terus meningkat bagi mereka yang suka membaca karya sastra.

3.1.2 Kegiatan Mendengar Karya Sastra

Kegiatan mendengar karya sastra itu dapat berupa mendengarkan pembacaan puisi,
mendengarkan deklamasi, mendengarkan pembacaan cerpen, mendengarkan pembacaan novel, dan
atau mendengarkan naskah lakon dibacakan. Kegiatan mendengar karya sastra dengan sungguh-
sungguh itu perlu adanya ketajaman pikiran dan perasaan untuk menyimak karya sastra yang
didengarkan. Artinya, seseorang yang melakukan apresiasi terhadap karya sastra itu perlu adanya
konsentrasi diri untuk mendengarkan karya sastra yang didengarkan tersebut. Mendengarkan dapat
secara langsung dari seorang yang membacakan atau dapat juga melalui radio, televisi, tipe recorder,
ataupun komputer yang dilantangkan sound sistemnya. Kemudian simaklah ilustrasi sederhana berikut
ini.

Bapak atau ibu guru/dosen membacakan cerita pendek “Si Kabayan Menangkap Rusa” karya
Achdiat K. Mihardja. Murid-murid atau mahasiswanya menyimak pembacaan cerita pendek yang
dilakukan oleh bapak atau ibu guru/dosen. Murid-murid/mahasiswa dengan serius dan sungguh-
sungguh mendengarkan pembacaan cerpen tersebut.

SI KABAYAN MENANGKAP RUSA

Achdiat K. Mihardja

Si Kabayan dan mertuanya berjanji akan membikin sebuah perangkap untuk menangkap rusa.

“Pak Mertua,” kata Si Kabayan. “Mari kita ke hutan. Gali perangkap di sana. Mudah-
mudahan ada seekor rusa yang kesasar, masuk terperosok ke dalamnya. Kita tangkap, kita sembelih,
kita suruh Si Iteung dan Mak Mertua bikin gule, opor, sate. Dan kita rame-rame makan enak.”

“Ah tidak, Kabayan. Kamu saja yang gali perangkap itu. Bapak mau pasang jerat saja.
Mudah-mudahan ada burung yang kesasar kena jerat.”

“Baiklah, Pak Mertua,” jawab Si Kabayan. “Tiada masalah. Tapi kalau saya dapat rusa,
Bapak jangan harap akan dapat dagingnya.”

“O, Bapak pun tiada masalah, Kabayan. Kalau Bapak dapat burung, kamu pun tak kan dapat
apa-apa.”

Hari itu juga, sang menantu dan sang mertua sudah pada pergi ke hutan. Si Kabayan
mencangkul-cangkul bikin lobang. Mertuanya berengsot-engsot naik pohon pasang jerat.

Esoknya, pagi-pagi benar, dengan diam-diam bapak mertua sudah keluar rumah masuk hutan.
Dilihatnya jeratnya masih kosong. Tiada satu pun burung yang kesasar ke sana. Buru-buru dia pergi
melihat perangkap menantunya. Ada seekor rusa yang kena perangkap. Buru-buru dia ikat leher
binatang itu. Buru-buru pula dia gantung makhluk bertanduk itu pada jeratnya. Lalu setelah itu dia
buru-buru pulang. Si Kabayan masih ngorok, tidur nyenyak, lagi mimpi dapat rusa sebesar kuda.

Dari halaman mertuanya sudah berseru-seru: “Kabayan! Kabayan! Bangun! Bangun! Mari ke
hutan! Kita lihat jerat dan perangkap kita!”

Si Kabayan gisik-gisik mata. Menggeliat. Menguap. Bangun. Lalu mengikuti mertuanya


masuk hutan. Sampai di tempat pemasangan jerat, mertuanya segara berteriak dengan gembiara:
“Duillah, Kabayan! Lihat tuh! Lihat! Jeratku sudah berhasil. Menangkap rusa. Lihat! Badannya
gemuk seperti kerbau! Rezeki datang dari langit, lewat jeratku.”

Si Kabayan kaget, melihat rusa bergantung pada jerat di pohon. Geleng-geleng kepala. Tidak
percaya rezeki datang dari langit seperti itu. Dia segera sadar bahwa mertuanya telah ngibulin dia.

Waktu sarapan pagi Si Kabayan absen.

“Ke mana Kang Kabayan? Ke mana suamiku?” Si Iteung gelisah. Takut. Kuatir kalau-kalau
Si Kabayan jatuh terperosok ke dalam perangkap. Atau dimakan macan.

“Ke mana Kang Kabayan, Bapak?” Dia tanya ayahnya. “Dia tidak sarapan pagi ini. Saya
takut, dia diculik setan untuk dikirim ke tanah seberang, jadi kuli kontrak perkebunan di Deli.”

Melihat anaknya menangis melolong-lolong, mertua Si Kabayan cepat-cepat menghabiskan


sarapannya. Cepat-cepat ia lari masuk ke hutan. Dijelajahinya seluruh hutan, dicarinya sang menantu.
Segera bertemu. Si Kabayan lagi duduk merenung-renung di tepi sungai. Segera ditegur: “hey,
Kabayan! Kenapa kamu tidak sarapan? Lagi apa kamu di sana?”

“Ini Pak! Lihat air sungai! Aneh, Pak! Aneh sekali! Lihat!”

“Aneh bagaimana, Kabayan?” Mertuanya menghampiri.

“Kan aneh sekali. Mengalirnya kok dari hilir ke hulu.”

“Hah?! Itu kan mustahil, Kabayan. Mana mungkin air mengalir dari hilir ke hulu?!”

“Memang aneh, Pak. Ajaib,” jawab Si Kabayan pendek. “Mana mungkin ada rusa yang bisa
kena jerat di atas pohon.”

Mertuanya malu. Kelemas-kelemis seperti monyet sakit gigi. Lalu bergegas ke rumah
mengembalikan rusanya kepada menantunya.

Dan ketika Si Iteung mau bikin gule rusa, dia berseru-seru dari dapur: “Kang Kabayan, ini
Bapak minta bagian dagingnya. Katanya, dia telah ikut menangkap rusa ini dengan jeratnya.”

“O, kasih ayahmu tulang-talengnya saja, Iteung. Bilang kepadanya, rusa yang ini tidak
bersayap. Yang bersayap sudah terbang ke bulan.”

(Dikutip dengan perubahan dari Achdiat K. Mihardja. 1997. Si Kabayan Manusia Lucu.
Jakarta: Grasindo, halaman 1–3)

Setelah bapak atau ibu guru/dosen membacakan cerpen tersebut di depan kelas, si
murid/mahasiswa memberi pendapatnya setelah mendapat pertanyaan dari bapak atau ibu guru/dosen.
Tanya jawab antara guru dengan murid tersebut sebagai berikut.

Guru : Apa judul cerpen yang saya bacakan tadi?

Murid : (Salah seorang murid cepat menjawab) “Si Kabayan Menangkap Rusa”

Guru : Sebenarnya yang menangkap rusa itu Si Kabayan atau Mertuanya?

Murid : (Mereka berpikir sejenak, lalu ada seorang murid yang menjawab). Mertuanya.

Guru : Mengapa begitu?

Murid : Si Kabayan yang mempunyai ide menangkap rusa di hutan dengan memasang
perangkap. Si Kabayan pula yang mencangkul membuat lubang perangkap. Si Mertua
lebih senang membuat jerat burung di pohon-pohon. Pagi-pagi si Mertua pergi ke
hutan melihat hasil kerjanya. Ternyata, jerat yang dipasang kosong, tak seekor burung
pun yang masuk ke dalam jeratnya. Setelah melihat perangkap milik si Kabayan ada
seekor rusa, maka si Mertua segera menangkap rusa itu. Kemudian si Rusa ditali dan
digantung di jeratnya. Baru kemudian memberitahu kepada si Kabayan bahwa ia
telah berhasil menjerat seekor rusa.

Guru : Mengapa akhirnya rusa itu dikembalikan kepada si Kabayan?

Murid : (Seorang murid yang cerdik segera menjawab) Si Mertua itu malu atas kejujuran si
Kabayan. Dengan kreatif si Kabayan menganalogikan keanehan aliran sungai yang
datang dari hilir ke hulu. Padahal, biasanya sungai itu mengalir dari hulu ke hilir.
Demikian pula, aneh bila seekor rusa yang tidak bersayap dapat terjerat oleh jaring-
jaring di atas pohon.

Guru : Ketika si Iteung mau bikin gule rusa, dia berseru dari dapur bahwa ayahnya juga
minta bagian dagingnya. Sementara itu, si Kabayan menyuruh istrinya untuk
memberi tulang-talengnya saja kepada ayahnya. Mengapa si Kabayan tega
melakukan itu?

Murid : (Beberapa murid mendesah, tampak kebingungan. Namun, ada salah seorang murid
yang cerdik segara menjawab) Sesuai dengan perjanjian. Jika si Kabayan
mendapatkan rusa, mertuanya tidak dapat daging rusa. Demikian pula, jika mertunya
mendapatkan burung hasil jeratannya, si Kabayan pun tidak akan mendapatkan
daging burung tersebut. Perjanjian merupakan hukum yang harus ditegakkan.

Dari ilustrasi sederhana tersebut dapat dikatakan bahwa antara Guru dan Murid bersama-sama
melakukan apresiasi terhadap karya sastra. Guru melontarkan pertanyaan untuk menjajaki tingkat
apresiasi murid. Murid pun melakukan apresiasi secara baik.

3.1.3 Kegiatan Menonton Pertunjukan

Kegiatan menonton pertunjukan atau pentas sastra termasuk kegiatan apresiasi sastra secara
langsung. Kegiatan menonton pertunjukan dapat berupa menonton pembacaan puisi, menonton
deklamasi, menonton pembacaan cerpen, menonton pertunjukan drama, atau menonton musikalisasi
puisi. Menonton pertunjukan ini tidak terbatas pada pementasan panggung saja, tetapi juga termasuk
menonton lewat televisi, video, pemutaran cakram padat (CD), dan film di bioskop, serta film di
internet.

Kegiatan apresiasi sastra dari sisi pertunjukan ini mengajak apresiator menyaksikan
pertunjukan dengan pandangan mata kepalanya sendiri. Setiap gerak, tutur kata, perubahan wajah,
perpindahan tempat, bahkan pakaian pemaian, tata panggung, dan tata lampu pun dapat diamati oleh
apresiator. Memang seni pertunjukan sudah bukan karya sastra murni, melainkan melibatkan berbagai
seni yang lain. Meskipun demikian, unsur sastranya masih tetap menonjol karena bahan utama yang
dijadikan seni pertunjukan adalah karya sastra, teks yang tertulis dengan menggunakan media bahasa
yang kemudian dilisankan.

Berikut ada sebuah buah puisi yang berjudul “Menyesal” karya Ali Hasjmy. Puisi ini dapat
dideklamasikan oleh siswa sebagai seni pertunjukan. Juga puisi ini dapat dibuat musikalisasi, yaitu
dipadukan dengan seni musik sebagai lagu, kemudian baru dipentaskan. Dalam melakukan apresiasi
melalui pertunjukan ini prosesnya dapat menerapkan kegiatan mendengarkan karya sastra dibacakan.
Memang dalam pertunjukan ini lebih diperluas dengan indera penglihatan, yakni dari sisi gerak dan
sesuatu yang tampak dalam pandangan mata. Oleh karena itu, apresiasi dari jalur pertunjukan ini tidak
perlu diterangkan panjang lebar, asalkan setelah diadakan pertunjukan siswa dapat dimintai
komentarnya setelah mendapat pertanyaan dari guru.

MENYESAL

Pagiku hilang sudah melayang

Hari mudaku sudah pergi

Sekarang petang datang membayang

Batang usiaku sudah tinggi

Aku lalai di hari pagi

Beta lengah di masa muda

Kini hidup meracun hati


Miskin ilmu, miskin harta

Akh, apa guna kusesalkan

Menyesal tua tiada berguna

Hanya menambah luka sukma

Kepada yang muda kuharapkan

Atur barisan di hari pagi

Menuju ke abah padang bakti!

(Ali Hasjmy dalam Suyono Suyatno 2002)

3.2 Kegiatan Apresiasi Tak Langsung

Kegiatan apresiasi tak langsung adalah suatu kegiatan apresiasi yang menunjang pemahaman
terhadap karya sastra. Cara tidak langsung ini meliputi tiga kegiatan pokok, yaitu 1) mempelajari teori
sastra, 2) mempelajari kritik dan esai sastra, dan 3) mempelajari sejarah sastra.

Kegiatan mempelajari teori sastra termasuk apresiasi tidak langsung karena yang dipelajari
adalah konsep-konsep, kriteria, batasan-batasan, fungsi, dan teori-teori penelaahan karya sastra.
Mempelajari teori sastra hanya bersifat membantu memahami, menghayati, dan memberi
penghargaan terhadap karya sastra. Sifat dari mempelajari teori sastra ini hanya memberi bantuan
pemahaman terhadap karya sastra. Teori sastra sebenarnya layak dipelajari oleh para mahasiswa dan
guru untuk menambah wawasan atau pengetahuan tentang sastra. Sebaliknya, untuk siswa atau murid
di sekolah, dari sekolah dasar hingga sekolah menengah, lebih baik diberi apresiasi sastra secara
langsung. Para murid atau siswa lebih baik langsung membaca karya sastra, langsung mendengar
karya sastra dibacakan, dan langsung menonton pertunjukan karya sastra dipentaskan.

Mempelajari kritik dan esai sastra merupakan kegiatan yang hanya bersifat membantu
pemahaman terhadap karya sastra. Dalam mempelajari kritik dan esai sastra siswa dibawa menuju
kegiatan penelahaan, pengkajian, penelitian, atau analisis karya sastra yang membicarakan segi-segi
tertentu. Pembicaraan karya sastra dapat berupa arikel yang termuat dalam surat kabar, majalah, buku
antologi esai, bahkan ada satu buku utuh yang membicarakan satu karya sastra. Mempelajari kritik
dan esai sastra juga menambah wawasan dan melihat bagaimana cara orang lain memberi
pertimbangan baik dan buruk terhadap karya sastra. Kritikus sastra di Indonesia yang paling terkenal
adalah H.B. Jassin dengan buku-buku kritik dan esai sastra yang telah dihasilkannya.

Demikian halnya dengan mempelajari sejarah sastra. Kegiatan ini juga bersifat apresiasi tidak
langsung, yaitu sekadar membantu pemahaman terhadap karya sastra dari sisi perkembangan dari satu
dekade ke dekade berikutnya, dari satu angkatan ke angkatan berikutnya, dan dari satu aliran ke aliran
lainnya. Dalam mempelajari sejarah sastra mahasiswa diajak memahami konsep-konsep dasar
angkatan, sejarah aliran sastra, perkembangan jenis-jenis sastra dari berbagai segi, bahkan ciri-ciri
struktur dan isi karya sastra setiap angkatan. Penulisan sejarah sastra tidak terbatas yang berbentuk
buku, tetapi juga karya sastra yang dimuat dalam majalah, surat kabar, bahkan manuskrip yang hanya
berbentuk naskah stensilan. Dengan mempelajari sejarah sastra calon apresiator akan dibimbing
mengenal ciri-ciri, kategori, dan konsep-konsep dasar karya sastra yang diapresiasi, termasuk sistem
pengarang, sistem penerbitan, sistem kritikus sastra, sistem formal, sistem pengayom, dan sistem
penyebar-luasan karya sastra.

3.3 Pendokumentasian Karya Sastra

Usaha pendokumentasian karya sastra termasuk bentuk apresiasi sastra yang secara nyata ikut
melestarikan keberadaan karya sastra. Bentuk apresiasi atau penghargaan terhadap karya sastra
dengan cara mendokumentasikan karya sastra ini dilihat dari segi fisiknya ikut memelihara karya
sastra, menyediakan data bagi mereka yang membutuhkan, dan menyelamatkan karya sastra dari
kepunahan. Kegiatan dokumentasi dapat meliputi pengumpulan dan penyusunan semua data karya
sastra, baik yang berupa artikel-artikel atau karangan-karangan dalam surat kabar, majalah, makalah-
makalah, skripsi, tesis, disertasi, maupun buku-buku sastra. Di Indonesia yang paling terkenal
dokumentasi sastranya adalah Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, di Taman Ismail Marzuki, Jalan
Cikini Raya 73 Jakarta Pusat. Selain itu, ada juga dokumentasi sastra DS Moeljanto (Jakrta),
dokumentasi sastra Korrie Layun Rampan (Bekasi dan Kutai), dan dokumentasi sastra Suripan Sadi
Hutomo (Surabaya). Untuk latihan kegiatan dokumentasi bagi siswa-siswa atau mahasiswa dapat
diminta membuat kliping, berupa guntingan-guntingan dari koran atau majalah, dengan topik tertentu,
misalnya khusus puisi, khusus cerpen, khusus esai sastra, atau khusus cerita anak/dongeng.

3.4 Kegiatan Kreatif dan Inovarif

Kegiatan kreatif dan inovatif termasuk salah satu kegiatan apresiasi sastra. Dalam kegiatan ini
dapat dilakukan adalah belajar menciptakan karya sastra, misalnya menulis puisi, membuat cerita
pendek, menulis naskah drama, dan menulis sebuah apresiasi atau kritik sastra. Hasil cipta siswa atau
mahasiswa dapat dikirimkan dan dimuatkan dalam majalah dinding, buletin OSIS, majalah sekolah,
surat kabar, ataupun majalah sastra seperrti Horison. Selain itu, juga dapat dilakukan kegiatan
rekreatif, yaitu menceritakan kembali karya sastra yang dibaca, yang didengar, atau yang ditontonnya.
Kegiatan kreatif, inovarif, dan rekreatif jelas menunjang pemahaman dan penghargaan terhadap karya
sastra, yaitu mengajak mereka yang berminat untuk bergaul dan mencintai karya sastra.

4. Tingkat-Tingkat Apresiasi Sastra

Kegiatan memberi penilaian atau penghargaan terhadap sastra itu hanya dapat dilakukan oleh
seseorang yang mempunyai kemampuan apresiasi, betapun relatif sifatnya. Hanya orang yang
mempunyai apresiasi senilah, khususnya karya sastra, yang dapat memberikan apresiasinya terhadap
karya sastra. Sebagai konsekuensinya, apresiasi seseorang terhadap karya sastra itu berbeda-beda
tingkatannya, ada yang rendah dan ada pula yang tinggi, ada yang sempit atau dangkal, dan ada pula
yang luas dan mendalam. Apabila kita mau mengikuti pola pemeringkatan UKBI (Uji Kemahiran
Berbahasa Indonesia) ada peringkat: Terbatas, Merginal, Semenjana, Madya, Unggul, Sangat Unggul,
dan Istimewa). Dalam apresiasi sastra pun tampaknya juga ada pemeringkatan demikian, tetapi tidak
sedetail itu.

Apresiasi seseorang terhadap karya sastra itu tidak mungkn langsung tinggi, luas, dan
mendalam (istimewa), tetapi berangsur-angsur meningkat dari taraf yang terendah (terbatas),
tersempit, dan terdangkal menuju ke taraf yang lebih tinggi (semenjana, madya, unggul), lebih luas,
dan lebih mendalam. Dengan begitu tingkat apresiasi seseorang itu dapat ditingkatkan, dapat
diperluas, dan dapat diperdalam sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh sang apresiator.

Cara meningkatkan apresiasi seseorang terhadap karya sastra dapat melalui kegiatan
membaca karya sastra yang sebanyak-banyaknya, mendengarkan pembacaan sastra sesering mungkin,
dan juga menonton pertunjukan pentas sastra sebanyak-banyaknya. Kesedian untuk terus-menerus
membaca, mendengar, dan menonton pertunjukan pentas sastra adalah salah satu cara dalam upaya
meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra.

Yus Rusyana (1979:2) menyatakan ada tiga tingkatan dalam apresiasi sastra, yaitu:

1) seseorang mengalami pengalaman yang ada dalam karya sastra, ia terlibat secara emosional,
intelektual, dan imajinatif;

2) setelah mengalami hal seperti itu, kemudian daya intelektual seseorang itu bekerja lebih giat
menjelajahi medan makna karya sastra yang diapresiasinya; dan

3) seseorang itu menyadari hubungan sastra dengan dunia di luarnya sehingga pemahaman dan
penikmatannya dapat dilakukan lebih luas dan mendalam.

Agar lebih jelas tingkat-tingkat apresiasi sastra tersebut, berikut diberi contoh satu puisi
“Paria” karya L.K. Ara untuk diapresisi lebih lanjut.

PARIA

Banyak orang tidak menyukaiku

di lidah mereka aku terasa pahit

buahku pun bentuknya kurang menarik

permukaannya berbintil-bintil.

Tapi tak jarang orang sengaja mencariku

bila dimakan dengan sambel

menambah selera

dan buahku yang lucu tadi

dapat dimasak sebagai sayur

atau dijadikan sambal goreng.

Orang yang kenal diriku

bisa menghilangkan pahitku

caranya?

rebuslah aku dengan daun salam.

Setelah direbus

daunku berguna juga

sebagai penyembuh penyakit encok

boleh dicoba.

Tumbuhku tidak sukar


yang kuperlukan hanya banyak air

dan tempat teduh

jadi bisa ditanam di kebun

atau di halaman rumah.

Ingin tahu sobat-sobatku?

kami ada yang putih

rasanya tidak terlalu pahit

bentuknya besar

yang hijau lebih kecil

dan paria ayam

kecil tapi badannya gemuk.

Sebaiknya tanah tempat tumbuhku

dicampur dengan abu dapur

dan setelah tumbuh

aku ingin dibuatkan para-para

bukan ingin mewah-mewah

tapi berguna untuk menjalar

sulur-sulurku.

Meski tak seberapa

aku punya keindahan juga

lihatlah bungaku yang kuning kecil

elok bukan?

daun mahkotaku ada lima

semua tersusun rapi

serupa bintang bersegi lima.


(Dikutip dari L.K. Ara. 1981. Namaku Bunga. Jakarta: Balai Pustaka)

Bersamaan dengan membaca atau mendengar puisi “Paria” karya L.K. Ara tersebut seorang
pembaca atau pendengar ikut terlibat di dalamnya. Ia berempati dengan emosi, intelektual, dan
imajinasinya masuk ke dalam suasana puisi tersebut. Pembaca atau pendengar itu membayangkan
seolah-olah dirinyalah yang menjadi paria. Ia lebur menjadi satu dengan tokoh paria itu. Benar-benar
ia menghayati peran tokoh paria yang tulus ikhlas memberikan dirinya untuk disantap orang lain.
Meskipun rasa pahit yang ada dalam diri paria terasa kental, ia mampu menjadi penyeimbang rasa
manis, asin, dan asam dalam kehidupan manusia. Tahap seperti inilah yang disebut sebagai tahap
pertama apresiasi, yaitu meleburkan diri ke dalam karya yang dibaca atau didengarnya.

Setelah selesai membaca atau mendengar puisi “Paria” karya L.K. Ara tersebut, seseorang
kemudian daya intelektualnya bekerja lebih giat lagi menjelajahi kata-kata yang termuat dalam puisi
tersebut. Kata paria sebagai judul sajak ini ternyata artinya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2001:830) bukan merupakan tanaman, melainkan “nama golongan atau kasta yang terpinggirkan
dalam masyarakat India kuno”. Kata yang mendekati lebih cocok dengan judul sajak di atas adalah
peria, yang memiliki padanan kata pepare atau pare, yaitu “tumbuhan menjalar, bunganya kecil-kecil
berwarna kuning serupa dengan bunga mentimun, buahnya seperti mentimun mempunyai permukaan
kulit yang tidak licin, berbintil-bintil kecil atau memanjang, agak pahit rasanya, daunnya berwarna
hijau dan bentuknya bergerigi yang bermanfaat untuk menyembutkan sakit encok” (KBBI, 2001:858).
Nama Latin-nya adalah momordica charantia. Demikian seterusnya dengan mencari arti kata-kata
yang lainnya dalam puisi tersebut. Penjelajahan kata-kata dalam puisi ini untuk memahami arti
denotatif atau arti lugasnya terlebih dahulu. Tahap seperti inilah yang disebut sebagai tahap kedua
apresiasi, yaitu memahami arti kata-kata lugasnya.

Setelah menemukan arti kata-kata lugasnya, semua kata-kata luasnya terpahami, tahap
selanjutnya adalah menafsirkan makna yang ada dibalik kata-kata lugasnya. Mungkin kata itu
mengandung makna kias, simbolik, metafora, ataupun makna konotatif yang lainnya. Penafsiran
inilah yang kita hubungan dengan dunia yang berada di luar sastra, yaitu memperoleh amanat yang
terkandung dalam karya sastra itu bagi pembaca. Amanat inilah yang akan memberi manfaat
pelajaran, ajaran moral, dan wawasan tentang perilaku kehidupan. Tahap mendapatkan amanat dan
manfaat bagi kehidupan seperti inilah yang kita sebut sebagai tahap ketiga apresiasi, yaitu mampu
menyadari hubungan karya sastra dengan dunia lain di luar karya sastra sehingga memperoleh
hikmahnya.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Lukman. 1998. Pekan Selasa. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Ara, L.K. 1981. Namaku Bunga. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Damono, Sapardi Djoko. 2000. “Sastra di Sekolah”. Dalam Sastra Nomor 01 Tahun I, Mei 2000,
halaman 7—10.

Effendi, S. 1982. Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Tangga Mustika Alam.

Endraswara, Suwardi. 2005. Metode dan Teori Pengajaran Sastra: Berwawasan Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Yogyakarta: Buana Pustaka.

Kamisa. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Besar. Surabaya: Kartika.

K. Mihardja, Achdiat. 1997. Si Kabayan, Manusia Lucu. Jakarta: Grasindo.

Mulyati, Yeti, et al. 2002. Pendidikan Bahasa dan Sastra di Kelas Tinggi. Jakarta: Universitas
Terbuka.

Rusyana, Yus. 1974. Penuntun Pengajaran Sastra di Sekolah Dasar. Bandung: CV Diponegoro.

--------- 1979. Meningkatkan Kegiatan Apresiasi Sastra di Sekolah Lanjutan. Bandung: Gunung
Larangan.

Anda mungkin juga menyukai