Anda di halaman 1dari 22

JOURNAL READING

“Dry Eye Disease after Cataract Surgery: Study of its Determinants and
Risk Factors”

Oleh :

Ni Komang Dessy Kumarayanti

H1A 016063

Pembimbing :

dr. Isna Kusuma Nintyastuti, Sp.M, M.Sc

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

DI BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmat dan petunjuk dari-Nya penyusunan tugas journal reading dengan judul Dry Eye
Disease after Cataract Surgery: Study of its Determinants and Risk Factors dapat
diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penyusunan journal
reading ini ialah untuk memenuhi tugas dalam proses kepaniteraan klinik di bagian SMF
Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Mataram di Rumah Sakit Umum
Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Saya menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini
masih terdapat banyak kekurangan dan belum sempurna. Oleh karenaya, kritik dan saran
yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan kedepannya.

Mataram, 24 Februari 2020

Penulis


IDENTITAS JURNAL

Judul jurnal : Dry Eye Disease after Cataract Surgery: Study of its Determinants
and Risk Factors

Penulis : Garg P, Gupta A, Tandon N, Raj P

Tahun : 2020

Jurnal : Turk J Ophthalmol


ABSTRAK

Tujuan: Untuk mempelajari insidensi mata kering dan faktor penyebabnya pada pasien yang
menjalani operasi katarak
Metode: Seratus dua puluh pasien dengan katarak senilis yang menjalani tes Schirmer, tes
tear break up time (TBUT), pewarnaan lissamine green (LG) pada kornea dan konjungtiva,
serta Ocular Surface Disease Index (OSDI) untuk evaluasi mata kering sebelum operasi,
kemudian pada follow up pertama dan kedua pada 1 minggu dan 1 bulan setelah operasi
katarak
Hasil: Usia rata-rata pasien adalah 59.25 + 9.77 tahun dan 73 (60.8%) diantaranya adalah
laki-laki. Tidak ada pasien yang mengalami mata kering saat pendaftaran sebagai kriteria
dalam penelitian ini. Pasca operasi, nilai tes Schirmer berkisar antara 12-35 mm dan 8-24 mm
pada follow up pertama dan kedua. Rata-rata TBUT adalah 13.16 ± 2.45 dan 9.64 ± 2.20
detik, sedangkan skor pewarnaan dengan lissamine green didapatkan 3 dari 67 (55.8%) dan 1
dari 67 (55.8%) subyek saat follow up pertama dan kedua. Saat follow up pertama, 89.1% dari
56 pasien yang menjalani operasi small incision cataract surgery (SICS) mengalami mata
kering derajat 2 (p<0.001). Pada follow up kedua, mata kering derajat 0 dialami pada 92.2%
pasien yang menjalani fakoemulsifikasi dan 82.1% pada pasien yang menjalani SICS
(p<0.001)
Kesimpulan: Insidensi mata kering setelah operasi katarak ditemukan tinggi dan sebagian
besar tidak bergantung pada profil demografi dan antropometri, tipe prosedur operasi, waktu
paparan mikroskop, dan jumlah energi yang digunakan. Kekeringan pada mata bersifat
sementara dan cenderung untuk normal kembali dalam 1 bulan

Kata kunci: Katarak, penyakit mata kering, tes Schirmer, Ocular Surface Disease Index,
fakoemulsifikasi
Pendahuluan

Penyakit mata kering adalah kelainan lapisan air mata yang disebabkan oleh
penurunan produksi air mata atau penguapan air mata secara berlebihan yang menyebabkan
kerusakan pada permukaan okular intra palpebra dan berkaitan dengan gejala
ketidaknyamanan okular dan atau gejala gangguan penglihatan. Penyakit mata kering juga
dapat didefinisikan sebagai penyakit multifaktorial pada lapisan air mata dan permukaan
okular yang menyebabkan rasa tidak nyaman, gangguan penglihatan, dan ketidakstabilan
lapisan air mata yang berpotensi menyebabkan kerusakan pada permukaan okular. Hal ini
diikuti dengan peningkatan osmolaritas lapisan air mata dan inflamasi permukaan okular.

Etiologi sindrom mata kering dapat dikaitkan dengan sejumlah penyebab dan faktor
antara lain usia tua, jenis kelamin, kelainan yang mempengaruhi jaringan ikat, gangguan
metabolik seperti diabetes melitus dan hipertensi, pemakaian lensa kontak, pemakaian obat-
obatan seperti antihistamin, antikolinergik, antidepresan, kontrasepsi oral dan obat tetes mata
yang mengandung pengawet, serta penyakit okular seperti blefaritis, konjungtivitis kronik,
meibomitis, dan pterigium.

Terlepas dari faktor risiko konvesional terjadinya sindrom mata kering, telah terlihat
bahwa beberapa prosedur operasi berkaitan yang dengan segmen anterior seperti
photorefractive keratectomy, laser assisted in situ keratomileusis, dan operasi katarak juga
bertanggung jawab menyebabkan sindrom mata kering. Prosedur operasi seperti operasi
katarak dapat menyebabkan denervasi kornea, yang menyebabkan penyembuhan luka pada
epitel menjadi terganggu, meningkatkan permeabilitas epitel, menurunkan aktivitas metabolik
epitel, dan hilangnya struktur sitoskeletal yang berkaitan dengan adesi sel. Insidensi sindrom
mata kering pada pasien yang menjalani operasi katarak bergantung pada faktor host meliputi
tipe prosuder, tipe larutan mata yang digunakan, obat-obatan saat operasi, gangguan sistemik
yang menyertai, paparan lampu mikroskop saat operasi dan cumulative dissipated energy
(CDE) yang digunakan selama prosedur, serta waktu yang dibutuhkan selama operasi.

Telah terbukti bahwa kejadian sindrom mata kering setelah operasi katarak dapat
dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti tipe operasi, paparan saat operasi, dan energi yang
digunakan selama fakoemulsifikasi, sehingga penting untuk dilakukan penilaian risiko pada
prosedur fakoemulsifikasi dan SICS. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan
untuk menilai insidensi sindrom mata kering dan faktor penyebabnya pada pasien yang
menjalani operasi katarak di pusat pelayanan tertier yang terdapat di India Utara.
Metode

Penelitian observasi berbasis rumah sakit ini dilakukan di Clinic of Ophthamology of


Era’s Lucknow Medical College and Hospital, Lucknow, pusat pelayanan tertier di India
Utara selama 18 bulan. Awalnya, terdapat 176 subyek dengan katarak senilis dan tanpa
keluhan sindrom mata kering yang terdaftar. Pada subyek dilakukan anamnesis lengkap dan
pemeriksaan okula. Mereka dengan kondisi mata yang dapat berkontribusi terhadap kejadian
mata kering, seperti kelainan kelopak mata (blefaritis, ektropion, entropion) pemakaian lensa
kontak, konjungtivitis alergi, riwayat operasi mata konjungtivitis kronik, keratitis, dermatitis
kontak, dan Bell’s palsy, mereka yang memiliki kondisi sistemik seperti diabetes melitus,
hipertensi, penyakit tiroid, lupus, artritis reumatoid, skleroderma, sindrom Sjogren’s,
defisiensi vitamin A, dan faktor lainnya seperti merokok, dan mereka dengan penggunaan
jangka panjang obat-obatan mata atau sistemik (antihistamin, antidepresan, dekongestan, beta
bloker, diuretik, dan aspirin) dapat dieksklusi dari penelitian ini. Setelah dilakukan eksklusi
subyek yang tidak memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, subyek yang tidak memberikan
persetujuan, atau subyek yang tidak dapat di follow up, maka tersisa 120 subyek yang
digunakan dalam penelitian ini.

Semua subyek yang termasuk dalam penelitian ini menjalani pemeriksaan ketajaman
penglihatan dengan koreksi terbaik menggunakan Snellen chart dan pemeriksaan tekanan
intraokular dengan Goldman tonometer. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan menggunakan
Slit lamp dan pemeriksaan fundus menggunakan oftalmoskop indirek.

Tes Schirmer, tes tear break-up time (TBUT), pewarnaan dengan lissamine green
(LG) pada kornea dan konjungtiva, dan Ocular Surface Disease Index (OSDI) digunakan
untuk evaluasi mata kering.

Tes Schirmer dilakukan untuk menilai refleks sekresi air mata menggunakan strip
Schirmer khusus yang dibuat dari kertas filter Whatman no. 41 dengan ukuran 40x5 mm,
bertanda 0 – 35 mm. Bergantung pada tingkat kebasahan pada strip, hasil tes Schrimer
dikelompokkan menurut derajatnya menjadi: > 10 mm, normal (derajat 0); 5-10 mm, ringan
(derajat 1); 3-4 mm, sedang (derajat 2); 0-2 mm, berat (derajat 3).

TBUT dilakukan untuk menilai ketidakstabilan lapisan air mata dan kelainan pada
kelenjar meibomian serta derajat berdasarkan waktu antara kedipan terakhir dan munculnya
spot kering. TBUT kurang dari 10 detik menunjukkan abnormal dan dikelompokkan menjadi:
>10 detik, normal (derajat 0); 3.1-6 detik, sedang (derajat 2); 6.1-10 detik, cukup (derajat 1);
<3 detik, kurang (derajat 3).

Pewarnaan dengan lissamine green (LG) pada permukaan okular dilakukan untuk
menilai sel yang hancur dan mati pada permukaan okular. Hasilnya dikelompokkan menjadi:
0, tidak ada mata kering; 1, mata kering ringan; 2, mata kering sedang; dan 3, mata kering
berat. OSDI terdiri dari 12 item untuk menilai mata kering menggunakan skala 0-100, dengan
skor lebih tinggi menunjukkan disabilitas yang lebih luas. Indeks menunjukkan sensitivitas
dan spesifiisitas yang membedakan antara subyek normal dan pasien dengan sindrom mata
kering. Kriteria yang digunakan untuk pengelompokkannya adalah: 0-12, normal; 13-22,
ringan; 23-32, sedang; 33-100, berat.

Faktor risiko seperti pengobatan yang diberikan sebelum dilakukan anastesi, bentuk
insisi, tipe operasi katarak (fakoemulsifikasi/SICS), paparan sinar mikroskop, manipulasi
CDE pada jaringan permukaan okular, serta pengobatan saat dan setelah operasi dapat
dijadikan pertimbangan. Pada penelitian ini, semua kasus mendapatkan pengobatan yang
sema sebelum dilakukan anastesi, bentuk insisi yang sama, pengobatan yang sama diberikan
saat dan setelah operasi (kombinasi antibiotik dan steroid, NSAID, serta tetes mata untuk
menurunkan tekanan intraokular yang berasal dari merk obat yang sama). Pasien di lakukan
follow up dalam 1 minggu dan 1 bulan setelah operasi. Evaluasi pada semua parameter mata
kering diulangi pada dua kesempatan.

Penelitian ini dilakukan setelah mendapatkan persetujuan etik dari lembaga komite
etik yang sesuai dengan perjanjian internasional dan Delcaration of Helsinki, serta
persetujuan tertulis dari semua subyek yang termasuk dalam penelitian ini.

Analisis Statistik

Analisis statistik menggunakan Statistical Package for Social Sciences version 21.0
statistical software. Nilai disajikan dalam bentuk angka (%) dengan rata-rata ± standar
deviasi. Nilai P <0.05 menunjukkan signifikan dan <0.01 menunjukkan sangat signifikan

Hasil

Dari 120 subyek yang dievaluasi, kelompok terbanyak adalah usia 61-70 tahun (n=43,
35.83%), kemudian usia 51-60 tahun (n=40, 33.33%), <50 tahun (n=30, 25%), dan >70 tahun
(n=7, 5.83%). Rata-rata usia pasien adalah 59.25 + 9.77 tahun dan sebagian besar adalah laki-
laki (n=73, 60.83%). Rasio laki-laki berbanding perempuan adalah 1.55 : 1.
Sebagian besar pasien berasal dari daerah pedesaan (n=103, 85.83%), subyek yang
berasal dari daerah kota hanya sebanyak 14.17% (n=17) dari populasi penelitian.
Berdasarkaan pekerjaan, kelompok terbanyak adalah ibu rumah tangga (n=42, 35%),
kemudian petani (n=33, 27.5%), pekerja terampil (n=17, 14.17%), guru (n=16, 13.33%), dan
penjaga toko (n=12, 10%). Menggunakan kriteria indeks masa tubuh (IMT), status nutrisi
dari 114 pasien (95%) adalah normal (18.5-25.0 kg/m2) dan 6 lainnya (5%) masuk ke dalam
kategori berat badan lebih (25.1-30 kg/m2). Tidak ada pasien dengan status nutrisi berat
badan kurang (18.5 kg/m2) ataupun obesistas (>30 kg/m2).

Sebagian besar keluhan okular pada pasien adalah fotofobia (55.83%), gatal
(50.83%), berair (45.83%), sensasi terbakar (45%), nyeri (41.67%), mata merah (39.17%),
kelopak mata terasa berat (36.67%), sensasi benda asing (28.33%), dan keluar kotoran
(27.50%)

Pada penilian mata kering sebelum operasi, nilai tes Schirmer didapatkan berkisar
antara 15-35 mm dengan rata-rata 27.23 ± 4.38 mm. Rata-rata TBUT adalah 13.50 ± 1.89
(rentang 10-18 detik). Skor pewarnaan dengan lissamine green (LG) adalah 1 dari 79 (65.8%)
dan 2 dari 41 (34.2%) kasus.

Nilai OSDI berkisar antara 1 sampai 12 dengan rata-rata 6.48 + 2.61. Tidak ada
pasien yang mengalami sindrom mata kering pada saat pendaftaran sebagai kriteria inklusi
pada penelitian ini.



Nilai tes Schirmer setelah operasi berkisar antara 12 sampai 35 mm pada 1 minggu
dan 8 sampai 24 mm pada 1 bulan. Rata-rata TBUT didapatkan 13.16 ± 2.45 dan 9.64 ± 2.20
detik, sedangkan skor pewarnaan dengan lissamine green adalah 3 dari 67 (55.8%) dan 1 dari
67 (55.8%) subyek pada 1 minggu dan 1 bulan follow up. Nilai OSDI berkisar dari 1 sampai
30 (rata-rata 25.97 ± 5.34) pada 1 minggu dan 10 sampai 35 (rata-rata 11.96 ± 7.47) pada 1
bulan.

Operasi katarak menggunakan teknik fakoemulsifikasi pada 53.33% pasien sedangkan


46.67% pasien menjalani SICS. Insidensi mata kering didapatkan 89.1% dan 15.6% pada
kelompok fakoemulsifikasi pada 1 minggu dan 1 bulan, dibandingkan dengan 92.9% dan
26.8% pada kelompok SICS. Walaupun insidensi pada SICS lebih tinggi dibandingkan
dengan fakoemulsifikasi pada dua waktu, perbedaan yang didapatkan tidak signifikan secara
statistik (p>0.05).

Kami membandingkan derajat OSDI pada subyek sebelum dan setelah operasi. Pada
evaluasi semua subyek secara bersamaan, terlepas dari teknik operasi katarak yang dilakukan,
semua subyek (100%) dikategorikan ke dalam derajat 0 sebelum operasi, sedangkan 1
minggu setelah operasi didapatkan hanya 8 pasien (6.7%) yang mengalami mata kering
derajat 0, 3 pasien (2.5%) didapatkan dengan mata kering derajat 1, dan 109 (90.8%)
mengalami mata kering derajat 2. Hasil follow up 1 bulan setelah operasi terdapat 105 pasien
(87.5%) mengalami derajat 0, 14 pasien (11.7%) dengan derajat 1, dan hanya 1 pasien (0.8%)
mengalami mata kering derajat 2 berdasarkan skala OSDI.

Ketika dibandingkan dengan derajat OSDI pada pasien berdasarkan teknik operasi
katarak yang dijalani didapatkan 64 (100%) pasien yang menjalani fakoemulsifikasi dan 56
(100%) pasien yang menjalani SICS mengalami mata kering derajat 0 sebelum operasi.
Pada1 minggu setelah operasi, 89.1% dari kelompok fakoemulsifikasi mengalami mata
kering derajat 2 (p<0.001) dan 92.9% dari kelompok SICS mengalami mata kering derajat 2
(p<0.001). Setelah dilakukan follow up 1 bulan, 92.2% dari kelompok fakoemulsifikasi
mengalami derajat 0 dan lainnya 7.8% mengalami mata kering derajat 1. Tidak ada pasien
yang mengalami mata kering derajat 3 pada 1 bulan setelah operasi dengan hasil yang
signifikan secara statistik (p<0.001). Dari 56 pasien yang menjalani SICS, 82.1% mengalami
derajat 0, 16.1% dengan derajat 1, dan hanya 1.8% mengalami mata kering derajat 2 pada1
bulan setelah operasi dengan hasil yang signifikan secara statistik (p<0.001)
Pada evaluasi secara keseluruhan, sebagian besar pasien (n=65, 54.2%) memiliki
waktu paparan mikroskop dalam minum 10-15, kemudian16-20 (n=34, 28.3%), 21-25 (n=11,
9.2%) dan 26-30 (n=10, 8.3%). Pada kelompok fakoemulsifikasi, sebagian besar pasien
(n=53, 82.8%) memiliki waktu paparan mikroskop minimal 10-15, kemudian 16-20 (n=10,
15.6%), dan 21-25 (n=1, 1.6%). Namun, pada kelompok SICS, waktu paparan mikroskop
paling banyak adalah 16-20 (n=24, 42.9%), kemudian 10-15 (n=12, 21.4%), serta 21-25 dan
26-30 (n=10, masing-masing 17.9%).

Secara keseluruhan, evaluasi pada pasien yang menjalani SICS menunjukkan bahwa
waktu paparan mikroskop tidak signifikan berhubungan dengan insidensi mata kering pada 1
minggu atau 1 bulan setelah operasi. Namun, pada kelompok yang menjalani
fakoemulsifikasi, waktu paparan > 15 ditemukan signifikan berhubungan dengan peningkatan
risiko terjadinya mata kering pada 1 minggu setelah operasi (p=0.009).

Pada kasus yang menjalani fakoemulsifikasi, sebagian besar (n=33, 51.6%) menjalani
prosedur dengan 8.00-11.5% CDE, kemudian dengan 11.6-15.5% (37.5%) dan 15.6-19.0%
CDE (10.9%). Pada evaluasi hubungan antara CDE dengan insidensi mata kering dalam 1
minggu dan 1 bulan setelah operasi, hasilnya tidak ditemukan adanya hubungan yang
signifikan.

Melihat dari pola perubahan nilai pada parameter mata kering yang berbeda-beda,
kami mengamati adanya penurunan signifikansi pada rata-rata nilai tes Schirmer dan TUBT
pada 1 minggu dibandingkan dengan nilai dasar. Namun, pada 1 bulan setelah operasi,
perubahan terhadap nilai dasar tidak signifikan secara statistik. Pada pewarnaan lissamine
green, proporsi mereka yang memiliki skor 3 dan 4 meningkat secara signifikan pada 1
minggu tetapi kembali ke nilai dasar pada 1 bulan.

Rata-rata nilai OSDI adalah 6.48 ± 2.61 pada nilai dasar dan mencapai 25.98 ± 5.34
pada 1 minggu dan 10.53 ± 4.99 pada 1 bulan setelah operasi. Perubahan dari nilai dasar
didapatkan signifikan secara statistik pada kedua waktu follow up. Dibandingkan dengan nilai
dasar, ketika semua pasien dengan OSDI derajat 0, proporsi pasien dengan OSDI derat 2 dan
3 meningkat secara signifikan pada 1 minggu setelah operasi dan proporsi dengan OSDI
derajat 1 dan 2 meningkat secara signifikan pada 1 bulan setelah operasi.
Diskusi
Operasi katarak merupakan salah satu prosedur ophatlmic yang paling sering
dilakukan. Namun, sama seperti prosedur operasi yang lain, prosedur ini tidak terbebas dari
komplikasi pasca operasi. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah reaksi inflamasi pasca
operasi, peningkatan tekanan intra okular, edema makula sistoid, dan astigmatisma pasca
operasi. Sejalan dengan komplikasi, pasien juga mengeluhkan sindrom mata kering seperti
sensasi benda asing, sensai terbakar yang sering diabaikan.
Insidensi mata kering pada pasien yang menjalani operasi katarak telah menunjukkan
adanya keterkaitan dengan faktor host seperti tipe prosedur operasi (SICS/fakoemulsifikasi),
tipe larutan mata yang digunakan, pengobatan yang diberikan saat dan setelah operasi,
gangguan sistemik yang menyertai, waktu paparan mikroskop, CDE selama fakoemulsifikasi,
dan waktu sejak dilakukannya operasi. Tetapi tidak satupun yang dapat dipastikan
bertanggungjawab menyebabkan mata kering.

Dalam rangka mempelajari insidensi mata kering dan faktor penyebabnya pada pasien
yang menjalani operasi katarak, kami mendaftarkan 120 pasien yang dijadwalkan untuk
menjalani operasi katarak unilateral. Rata-rata usia pasien adalah 59.25 ± 9.77 tahun, hasil ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dodia et al, yang mana rata-rata usia pasien
adalah 60.35 tahun. Namun, sebagian besar pasien pada penelitian kami adalah laki-laki
(60.83%), berlawanan dengan hasil penelitian sebelumnya yang mana sebagian besar pasien
adalah perempuan. Hal ini mungkin terjadi karena perubahan hormone estrogen berkaitan
dengan kejadian menopause yang akan menyebabkan peningkatan risiko terjadinya katarak
yang berkaitan dengan usia lebih tinggi terjadi pada perempuan dibandingkan dengan laki-
laki. Berdasarkan profil domisili dan pekerjaan pasien, sebagian besar penelitian tidak
melaporkan aspek ini. Pada penelitian kami, ibu rumah tangga (35%) dan petani (27.5%)
adalah kelompok pekerjaan yang paling banyak pada pasien. Kami mempertimbangkan
perbedaan kondisi sanitasi dan lingkungan, tempat tinggal dan pekerjaan mungkin memiliki
peranan dalam mempengaruhi prevalensi mata kering pada saat dilakukan follow up setelah 1
bulan dilakukan operasi, ketika pasien telah beraktivitas seperti biasanya.

Hampir semua pasien pada penelitian kami memiliki indeks masa tubuh (IMT) dalam
rentang normal (18.5-24.9 kg/m2) (95%) dan 5% lainnya termasuk kategori berat badan lebih
(IMT 25.29.9 kg/m2). Meskipun tidak terdapat hubungan yang signifikan dilaporkan
sebelumnya antara DED dengan IMT, karakteristik pasien ini masuk ke dalam penilaian kami
sebagaimana IMT diketahui memiliki keterkaitan dengan bermacam-macam penyakit
sistemik yang mungkin berperan dalam pembentukan mata kering setelah operasi katarak.

Sebelum operasi, sebagian besar pasien mengeluhkan fotofobia (55.83%) dan gatal
(50.83%). Secara rata-rata, masing-masing pasien mengeluhkan seperti adanya sensasi benda
asing, sensasi terbakar, kotoran mata, gatal, kelopak mata terasa berat, mata merah, fotofobia,
mata berair, dan nyeri, Tidak ada laporan mengenai penilaian keluhan sebelum operasi pada
penelitian sebelumnya. Keluhan-keluhan ini kemudian direkam dan dianalisis menggunakan
derajat OSDI. Hasilnya menunjukkan semua pasien masih dalam batas normal pada
peniliaian tingkat keparahan mata kering sebelum operasi. Hal ini didukung dengan
pemeriksaan menggunakan parameter mata kering (tes Schirmer, TBUT, pewarnaan
lissamine green, dan OSDI) didapatkan dalam rentang normal ketika penilitian ini dilakukan.

Pada 1 minggu setelah operasi, tes Schirmer, TUBT, dan OSDI ditemukan mengarah
kepada mata kering pada 87.5%, 69.2%, dan 91.7% pasien. Dalam penelitian ini, kami
menggunakan evaluasi yang menggunakan OSDI untuk mata kering. Prevalensi mata kering
didapatkan 91.7% pada penelitian ini. Prevalensi mata kering dilaporkan berbeda-beda
berdasarkan beberapa penelitian yang dapat bergantung pada bermacam-macam faktor
penyebab salah satunya adalah metode evaluasi mata kering.

Insidensi mata kering dapat berbeda-beda pada beberapa penelitian. Kasersuwan et al


melakukan follow up pasien pada hari ke 0,7,30, 90 dan melaporkan tingkat keparahan mata
kering mencapai puncak pada hari ke 7 setelah operasi. Venugopal et al melakukan evaluasi
data pada pasien dari 2 hingga 6 minggu setelah operasi didapatkan 58.8 % dari populasi
penelitian mereka, dan 6 minggu sampai 2 tahun didapatkan 41.2% dari pasien mereka.
Dodia et al mengevaluasi insidensi mata kering pada hari ke 1,7,45 setelah operasi dan
melaporkan insidensi puncak terjadi pada hari ke 1. Sebagian besar penelitian tidak
mencantumkan pemeriksaan mata kering sebelum operasi, sehingga sulit untuk menilai
insidensi yang dilaporkan merupakan kelanjutan dari sindrom mata kering yang sudah
diderita pasien sebelum operasi atau merupakan respon terhadap operasi katarak. Pada
penelitian yang melakukan follow up pasien hingga 2 tahun setelah operasi katarak,
Venugopal et al tidak melaporkan faktor risiko lingkungan dan pekerjaan dan mengevaluasi
insidensi mata kering sebagai luaran dari operasi katarak tanpa mencantumkan data nilai
dasar. Pada penelitian yang dilakukan oleh Cetinkaya et al, melaporkan penilaian yang
dilakukan selama 2 tahun tanpa mencantumkan data sebelum operasi maupun data yang
berkaitan dengan faktor risiko lingkungan dan pekerjaan. Sebagian besar penelitian
sebelumnya juga tidak melakukan penilaian terhadap faktor risiko simptomatik pada mata
kering. Angka kejadian mata kering yang relatif lebih tinggi pada panelitian kami dapat
disebabkan oleh fakta bahwa populasi dalam penelitian kami memiliki lebih dari 3 faktor
risiko simptomatik bahkan sebelum operasi katarak dan dapat mempengaruhi insidensi mata
kering karena merupakan salah satu kondisi komorbid yang paling sering berkaitan dengan
katarak.

Pada penelitian ini, kami juga melakukan penilaian secara rinci terhadap faktor risiko
dan mengevaluasi dampaknya terhadap insidensi mata kering, tetapi kami gagal menemukan
hubungan antara usia, jenis kelamin, tempat tinggal, pekerjaan, IMT, atau tipe pembedahan
(SICS/fakoemulsifikasi), dengan insidensi mata kering 1 minggu dan 1 bulan setelah operasi.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Venugopal et al.

Pada penelitian ini, kami juga mengevaluasi dampak waktu paparan mikroskop
terhadap insidensi mata kering. Kami menentukan bahwa secara keseluruhan pada pasien
yang menjalani SICS, waktu paparan mikroskop tidak signifikan berkaitan dengan
peningkatan risiko terjadinya mata kering pada follow up pertama. Waktu paparan lampu
mikroskop yang lebih lama menujukkan adanya korelasi terhadap penurunan TBUT dan
memperburuk keluhan. Pada penelitian ini, kami tidak menemukan hubungan yang signifikan
antara CDE dengan insidensi mata kering pada 1 minggu atau 1 bulan setelah pasien
dilakukan fakoemulsifikasi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sahu et al,
Rizvi et al, dan Sengupta et al, yang juga melaporkan tidak ada perbedaan yang signifikan
antara kelompok fakoemulsifikasi dan SICS. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Yu et al yang juga melaporkan tipe pembedahan tidak memiliki dampak
terhadap insidensi mata kering.

Pada 1 bulan setelah operasi, insidensi mata kering dengan tes Schirmer, TBUT, dan
OSDI adalah 16,7%, 19,2%, dan 20,8%. Dibandingkan dengan 1 minggu setelah operasi,
terdapat perubahan yang signifikan pada 1 bulan. Sejauh pola perubahan parameter mata
kering yang berbeda, kami mengamati nilai rata-rata tes Schirmer adalah 27.22 ± 4.40
sebelum operasi dan 12.91 ± 2.95 dan 24.61 ± 6.31 mm pada 1 minggu dan 1 bulan setelah
operasi. Pada waktu yang sama, rata-rata TBUT adalah 13.50 ± 1.89, 9.64 ± 2.20, dan 13.16
± 2.45 detik, dan proporsi pasien dengan pewarnaan lissamine green skor 2 atau lebih adalah
34.2%, 97.5%, dan 44.2%. Secara umum, dibandingkan dengan penilaian sebelum operasi,
semua nilai mencapai puncak pada 1 minggu dan mulai menurun hingga akhir 1 bulan.
Namun, tidak ada satupun parameter yang kembali ke nilai dasar hingga follow up 1 bulan.
Temuan ini mengindikasikan dampak puncak dari operasi katarak terhadap mata kering
terjadi pada minggu pertama dan menurun setelahnya.

Serupa dengan penelitian kami, Kasetsuwan et al juga mengamati tingkat keparahan


mata kering mencapai puncak pada 7 hari setelah operasi katarak yang diukur menggunakan
kuisioner OSDI dan tes klinis yang menunjukkan perubahan yang cepat dan bertahap dalam 1
dan 3 bulan setelah operasi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sahu et al
yang menemukan adanya penurunan pada tes Schrimer, TBUT, dan pewarnaan lissamine
green pada kornea dan konjungtiva setelah operasi katarak yang membaik setelah 1 bulan.
Mereka melaporkan meskipun terdapat perbaikan dalam 1 bulan, sama seperti pada penelitian
ini, nilai sebelum operasi tetap tidak dapat tercapai hingga 2 bulan setelah operasi. Sebagian
besar penelitian mengamati dampak operasi katarak bersifat sementara dan akan membaik
dalam 3 sampai 6 bulan.

Temuan pada penelitian ini mengindikasikan adanya insidensi mata kering yang
tinggi setelah operasi katarak. Hal ini bisa karena transeksi nervus korneal, yang
menyebabkan terganggunya penyembuhan luka epitel, peningkatan permeabilitas, penurunan
aktivitas metabolik epitel, dan hilangnya struktur sitoskeletal menyebabkan penurunan
sensitivitas kornea dengan penurunan sekresi air mata selanjutnya, seperti yang dilaporkan
Sutu et al. Peningkatan respon inflamasi menyebabkan perekrutan neutrofil dan makrofag
dan produksi radikal bebas, enzim proteolitik, dan siklooksigenase juga dipertimbangkan
menjadi faktor utama pembentukan mata kering. Anastesi topikal dan tetes mata yang
mengandung pengawet yang diberikan sebelum dan setelah operasi juga berkontribusi
menyebaban reaksi inflamasi.

Kesimpulan

Temuan pada penelitian ini menunjukkan insidensi mata kering setelah operasi
katarak sedikit tinggi dan tidak bergantung pada variabel seperti profil demografi dan
antropometri, tipe prosedur operasi, waktu paparan mikroskop, dan jumlah energi yang
digunakan. Mata kering cenderung bersifat sementara dan normal kembali dalam 1 bulan.
Oleh karena terbatasnya waktu follow up pada penelitian ini, kami tidak dapat mengetahui
waktu ketika semua pasien telah kembali normal. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat
memperpanjang durasi target follow up dalam menilai waktu yang dibutuhkan untuk status
normal yang direkomendasikan.

Mata kering merupakan keluhan pasca operasi yang paling sering ditemui dan secara
signifikan mempengaruhi tingkat kepuasan pasien sehingga perlu ditangani. Mengingat
tingginya insidensi mata kering setelah operasi katarak, kami merekomendasikan penggunaan
agen pelumas selama pemulihan pasca operasi dalam 2 sampai 3 bulan setelah operasi
katarak untuk mencegah komplikasi mata kering.
ANALISIS JURNAL

Topik No Keterangan Halaman dan


penjelasan
Judul dan abstrak 1 a. Menjelaskan tujuan, a. Ya, pada abstrak telah
metode, dan hasil penelitian dijelaskan tujuan,
metode, dan hasil
penelitian, bahkan
disertakan juga
kesimpulan penelitian.

b. Memberikan ringkasan
yang informatif dan b. Ya, abstrak telah
seimbang atas apa yang meringkas dengan
dilakukan dan apa yang cukup memadai dalam
ditemukan memberi gambaran
besar penelitian
beserta temuan
penelitian.

Pendahuluan
Latar belakang 2 Menjelaskan latar belakang Ya, pada latar belakang
yang ilmiah dan rasional
mengapa penelitian perlu dijelaskan secara rinci
dilakukan mengapa penelitian
perlu dilakukan

Tujuan 3 Menentukan tujuan spesifik, Ya, tujuan penelitian


termasuk hipotesis yang disebutkan dengan
diajukan spesifik, namun tidak
disebutkan mengenai
hipotesis yang diajukan.
Metodologi penelitian

Populasi 4 Menjelaskan bagaimana Ya, dijelaskan mengenai


populasi ditentukan
cara menentukan
populasi

Subyek penelitian 5 Kriteria subjek penelitian Ya, dijelaskan mengenai


kriteria inklusi dan
kriteria eksklusi dalam
penelitian ini

Besar sampel 6 Menjelaskan kriteria Tidak ada penjelasan


penentuan sampel minimal mengenai kriteria
yang diperlukan untuk penentuan sampel
menghasilkan kekuatan minimal yang
penelitian diperlukan untuk
menghasilkan kekuatan
penelitian

Prosedur penelitian 7 Menjelaskan secara rinci dan Ya, prosedur penelitian


sistematik prosedur penelitian terlah dijelaskan secara
(teknik pengambilan data) rinci dan sistemasik

Teknik analisa data 8 Teknik analisa data yang Ya, telah dijelaskan
digunakan untuk teknik analisis statistik
membandingkan hasil yang digunakan
penelitian meskipun tidak secara
rinci
Hasil
Alur penelitian 9 Menjelaskan waktu penelitian Ya, telah dipaparkan
terkait waktu penelitian

Outcame dan 10 Untuk outcome hasil Hasil penelitian


estimasi penelitian penelitian dijabarkan secara detail
dalam bentuk tabel

Pembahasan
Intepretasi 11 Interpretasi hasil Hasil yang dijelaskan
pada penelitian ini sudah
baik dan interpretasi dari
hasil penelitian maupun
analisis dari hasil
tersebut juga sudah
dijelaskan

Overall evidence 12 Interpretasi umum terhadap Penelitian ini


hasil dalam konteks menggunakan data
penelitian penelitian sebelumnya
sebagai bukti untuk
mendukung hasil
penelitian ini

Kelebihan Jurnal
a. Judul dan abstrak memberikan gambaran informatif secara ringkas mengenai apa
yang akan diteliti, bagaimana penelitian dilakukan, serta apa temuan pada penelitan
ini.
b. Jurnal ini menjelaskan prosedur penelitian secara rinci
c. Jurnal ini memaparkan hasil analisis secara rinci menggunakan tabel sehingga lebih
mudah dipahami oleh pembaca
d. Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk melakukan penelitian lanjutan
e. Bahasa yang digunakan dalam jurnal ini mudah dipahami

Kekurangan Jurnal

a. Peneliti tidak menetapkan besar sampel minimal sehingga tidak dapat ditentukan
kekuatan hasil penelitian

b. Durasi penelitian masih terlalu singkat sehingga tidak dapat memberikan informasi
mengenai waktu yang dibutuhkan oleh penderita sindrom mata kering untuk dapat
kembali normal setelah menjalani operasi katarak
DAFTAR PUSTAKA

Garg P, Gupta A, Tandon N, Raj P. Dry Eye Disease after Cataract Surgery: Study of its
Determinants and Risk Factors. Turk J Ophthalmol. 2020;50:133-142

Anda mungkin juga menyukai