Anda di halaman 1dari 25

Beberapa Sistem Filasafat Moral

Penjelasan mengenai makna kehidupan dan bagaimana seharusnya kita menjalaninya


merupakan masalah yang klasik, yang hingga sekarang susah untuk ditetapkan filsafat
mana yang paling benar yang seharusnya kita anut. Para filsuf tersebut menggunakan
sudut pandang yang berbeda sehingga menghasilkan filsafat yang berbeda pula. Dari
beberapa banyak aliran filsafat, kami hanya membahas aliran filsafat hedonisme,
eudemonisme, utilitarisme dan deontologi. Antara aliran atau paham yang satu dan yang
lainnya ada yang saling bertentangan dan ada pula yang memiliki konsep dasar sama. Akan
tetapi meskipun bertentangan, bukanlah untuk saling dipertentangkan. Justru dengan
banyaknya aliran atau paham yang sudah diperkenalkan oleh tokoh-tokoh filsafat, kita
dapat memilih cara yang pas dengan persoalan yang sedang kita hadapi.

Tokoh utama lain dari Hedonisme adalah Epikuros. Ia lahir di Samos, Yunani, padatahun 342
SM dan meninggal di Athena tahun 270 SM. Ajaran Epikuros menitikberatkan

tentang “apa yang baik adalah segala sesuatu yang mendatangkan kenikmatan, dan apa
yang buruk adalah segala sesuatu yang menghasilkan ketidaknikmatan”. Namun demikian,

kenikmatan yang dimaksud disini bukanlah kenikmatan bebas tanpa aturan,


melainkankenikmatan yang mendalam. Kenikmatan cenderung didapatkan karena keingin
kitaterpenuhi, dengan ini, kaum Epikurean membagi keinginan menjadi 3 jenis, yaitu :1.

1.Keinginan alami yang harus dipenuhi (makan agar terus hidup)

2.Keinginan alami yang tidak perlu (makanan yang enak)

3.Keinginan alami yang sia-sia (harta yang berlebihan

Epikuros mengajarkan bahwa penting untuk membatasi pemuasan keinginan agardapat mencapai
kenikmatan tertinggi, oleh karena itu ia menyarankan untuk hidup sederhana.Tujuannya adalah
demi

mencapai “Ataraxia”, yaitu ke

tentraman jiwa, batan, terbebas


dari perasaan resah gelisah, dan berada dalam keadaan seimbang. Kebahagian yang dituju olehkaum
epikurean ini adalah kebahagian pribadi, walaupun demikian mereka sadar
bahwa berteman dan bergaul dapat membantu mencapai kenikmatan sejati (Ataraxia). Nahsayangny
a, dalam perkembangannya, paham ini menjadi paham yang memandangkesenangan, kenikmatan
dan kebahagian hanya sebatas materi, baik berupa uang atau hartalainnya

Adapun Beberapa Sistem filasafat Moral Yaitu;

1.Hedonisme
Atas pertanyaan “apa yang menjadi hal yang terbaik bagi manusia”, para hedonis menjawab:
kesenangan (hêdonê dalam bahasa Yunani). Adalah baik apa yang memuaskan keinginan kita, apa
yang meningkatkan kuantitas kesenangan atau kenikmatan dalam diri kita. Dalam hedonisme
terkandung kebenaran yang mendalam ; manusia menurut kodratnya mencari kesenangan &
berupaya menghindari ketidaksenangan  Sebagai ukuran tindakan baik adalah hedone ; kenikmatan
& kepuasan rasa  “Tingkah laku atau perbuatan yang melahirkan kebahagiaan dan
kenikmatan/kelezatan”.

Ada tiga sudut pandang dari faham ini yaitu;

v    hedonisme individualistik/egostik hedonism yang menilai bahwa jika suatu keputusan baik bagi
pribadinya maka disebut baik, sedangkan jika keputusan tersebut tidak baik maka itulah yang buruk;

v    hedonism rasional/rationalistic hedonism yang berpendapat bahwa kebahagian atau kelezatan


individu itu haruslah berdasarkan pertimbangan akal sehat; dan

v    universalistic hedonism yang menyatakan bahwa yang menjadi tolok ukur apakah suatu
perbuatan itu baik atau buruk adalah mengacu kepada akibat perbuatan itu melahirkan kesenangan
atau kebahagiaan kepada seluruh makhluk.

Hedonisme adalah sebuah aliran filsafat Yunani – dicetuskan oleh Aristipos dan Epikuros – yang
bertujuan menghindari kesengsaraan dan penderitaan dengan menikmati kebahagiaan hidup
duniawi sebanyak mungkin. Ketika kekaisaran Romawi menguasai Eropa dan Afrika, muncullah
semboyan baru hedonisme, yaitu carpe direm, yang berarti ‘raihlah kenikmatan sebanyak mungkin
selagi engkau hidup’. Sejak itu dalam hedonisme kebahagiaan dimaknai sebagai kenikmatan duniawi
semata-mata.

Seiring perkembangan zaman dan teknologi, maka kebutuhan manusia pun semakin bertambah dan
beragam. Dan ketika tumbuh juga kebutuhan untuk dipandang sebagai manusia eksklusif, yang
kemudian dianggap sebagai harga mati maka yang terjadi adalah serangan virus hedonis yang
meluas, hingga ke kalangan remaja sekalipun. Mereka – sering tanpa mempedulikan kemampuan
orang tua – terseret, atau dengan sengaja menenggelamkan diri, dalam arus hedonisme. Terutama
kalangan remaja perkotaan.

Tengok saja, betapa banyaknya remaja yang lalu lalang di mall atau pusat-pusat keramaian dengan
telepon genggam model mutakhir di tangan, dengan pakaian dan aksesoris serba mahal, dengan
gestur yang membahasakan eksklusifitas diri, berbelanja barang-barang mewah yang mahal dan
bermerk. Sudah nyaris menjadi suatu hal yang dimahfumi memang, tapi bukan berarti tidak perlu
dicermati dan disikapi dengan benar – agar remaja kita tidak menjadi hedonis-hedonis yang
mendewakan segala jenis kenikmatan duniawi. Perlu diingat bahwa hedonisme sangat dekat dengan
narkoba dan perilaku seks bebas.

Sebenarnya hedonisme memiliki aspek negatif dan positif, namun orang lebih banyak melihat aspek
negatifnya, karena gaya hidup hedonis nampaknya hanya sebuah hal yang berkutat seputar sensasi
saja. Ada dua level hedonisme, yaitu level individual dan level sosial. Jika berada dalam level
individual, maka masih dapat dikatakan positif, karena bagaimanapun setiap orang berhak untuk
mendapatkan kebahagiaan. Terutama jika didahului dengan sebuah usaha dan kerja keras.
Hedonisme akan menjadi masalah jika sudah memasuki level sosial, ketika lingkungan sekitar
mengalami krisis dan sekian banyak kesulitan hidup, tapi ada sebagian orang sibuk berfoya-foya
dengan gaya yang super ‘wah‘ – berkesan tidak berempati pada kondisi sekitar. Dan hedonisme di
kalangan remaja terjadi terutama karena remaja belum memiliki filter diri yang baik, masih belum
memiliki banyak pengalaman, remaja juga berada dalam masa pencarian diri sementara mereka
belum memiliki mekanisme pengendalian diri yang kuat, sehingga lebih rentan terpapar virus
hedonisme. Kondisi ini diperburuk oleh kehidupan perkotaan dengan ruangnya yang besar di mana
orang-orang yang tidak saling mengenal, sehingga keinginan untuk menunjukkan identitas dan posisi
diri semakin besar. Pada remaja, status simbolnya adalah ingin tampil beda, tanpa berpikir apakah
itu pantas atau tidak untuk dirinya.

Wajar saja memang jika remaja ingin mencoba sesuatu yang baru, bergaul, dan sebagainya. Namun
semua itu harus memiliki batasan-batasan, dan batasannya tidak dapat disamakan dengan yang
dimiliki orang dewasa. Jika remaja sudah melampaui batas, maka orang tua wajib menghentikannya.
Dengan menetapkan aturan-aturan baru yang mempersempit geraknya, sebaiknya dilakukan secara
bertahap namun tetap tegas. Misalnya mengurangi uang jajan, menerapkan jam malam, dan
sebagainya.

Remaja berada dalam periode yang sangat labil secara emosional dan dunia mereka tengah bergeser
dari keluarga menjadi lingkungan pergaulan. Maka jika mereka ‘berbeda’ dengan kelompoknya,
mereka akan  merasa tidak nyaman, takut tidak diterima atau disebut ‘aneh’ dan sebagainya. Orang
tua harus dapat mengarahkan pola pikir seperti itu agar mereka tidak terjerumus dan menjadikan
hedonisme sebagai gaya hidup.

Orang tua adalah tokoh utama dalam  pembentukan kepribadian seorang remaja. Orang tua harus
menanamkan nilai-nilai positif sejak dini pada anak. Orang tua harus terbuka dan tidak memandang
remeh kemampuan remaja-remaja mereka dalam merespon keterbukaan tersebut. Dukungan yang
kuat dari keluarga akan membentuk pribadi yang kuat pula, sehingga menjadi tameng dari hal-hal
negatif di luar rumah. Dukungan dapat membuat anak merasa nyaman dan memiliki self-
esteem yang kuat.

Namun bila remaja kita terlanjur konsumtif, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh para
orang tua:

Berdialog. Komunikasi adalah kunci utama dalam terciptanya hubungan yang harmonis antara
anak dengan orang tua. Namun, masih banyak sekali orang tua yang merasa tidak harus
mendiskusikan segala seuatu dengan anaknya. Sehingga yang terjadi adalah komunikasi satu arah, di
mana tugas tinggal mematuhi saja. Padahal larangan tanpa didasari alasan yang jelas dan logis hanya
akan memicu pemberontakkan dari si anak. Dengan berdiskusi orang tua menjadi tahu apa yang
dirasakan, diinginkan, dan dipikirkan oleh anak. Dengan berbicara, anak juga menjadi tahu,
mengerti, dan memahami kondisi-kondisi yang tengah dialami orang tuanya.

Pembatasan uang saku. Hedonisme identik dengan materi, oleh karena itu orang tua harus
dapat menetapkan batasan dengan cermat dan cerdas. Pembatasan ini dimaksudkan agar anak tidak
menjadi pribadi yang instan.

Melakukan kegiatan positif. Orang tua perlu mendorong anak melakukan kegiatan-kegiatan
positif yang dapat mengembangkan bakat dan potensi anak. Dengan demikian anak lebih fokus
untuk berprestasi.

Karena anak banyak menghabiskan waktunya di sekolah, maka pihak sekolah – dalam hal ini para
guru dan pendidik – juga memiliki peranan yang besar. Diharapkan sekolah dapat menetapkan
peraturan yang membuat anak-anak berpenampilan sederhana dan sesuai dengan usia mereka.
Misalnya seragam sekolah untuk siswi tidak boleh pendek,  sepatu dan tas tidak boleh bermerk,
tidak boleh membawa kendaraan bermotor dan barang-barang elektronik yang mahal ke sekolah.
Selain itu juga memberikan pelajaran budi pekerti dan mewajibkan semua siswanya menabung di
koperasi. Agar mereka selalu diingatkan bahwa masa depan yang cerah tidak dapat diraih dengan
berfoya-foya, bahwa kebahagiaan sama sekali tidak identik dengan hedonisme.
Dalam filsafat Yunani hedonisme sudah ditemukan pada Aristippos dari Kyrene
(sekitar 433-355 s.M.), seorang murid Sokrates. Sokrates telah bertanya tentang tujuan
terakhir bagi kehidupan manusia atau apa yang sungguh-sungguh baik bagi manusia.
Aristippos menjawab: yang baik bagi manusia adalah kesenangan. Bagi Aristippos
kesenangan itu bersifat badani belaka, karena hakikatnya tidak lain daripada gerak dalam
badan. Mengenai gerak itu ia membedakan tiga kemungkinan: gerak yang kasar dan itulah
ketidaksenangan, misalnya, rasa sakit; gerak yang halus dan itulah kesenangan; sedangkan
tiadanya gerak merupakan suatu keadaan netral, misalnya, jika kita tidur. Aristippos
menekankan lagi bahwa kesenangan harus dimengerti sebagai kesenangan aktual, bukan
kesenangan dari masa lampau dan kesenangan di masa mendatang. Dapat disimpulkan dari
pandangan Aristippos bahwa ia mengerti kesenangan sebagai badani, aktual dan
individual. Aristippos pun mengakui perlunya pengendalian diri, sebagaimana sudah
diajarkan oleh gurunya, Sokrates.

Filsuf Yunani lain yang melanjutkan hedonisme adalah Epikuros (341-270 s.M.),
yang memimpin sebuah sekolah filsafat di Athena. Epikuros pun melihat kesenangan
(hêdonê) sebagai tujuan kehidupan manusia. Epikuros mengakui adanya kesenangan yang
melebihi tahap badani. Dalam sepucuk surat ia menulis: “Bila kami mempertahankan
bahwa kesenangan adalah tujuannya, kami tidak maksudkan kesenangan inderawi, tapi
kebebasan dari nyeri dalam tubuh kita dan kebebasan dari keresahan dalam jiwa” (Surat
kepada Menoikeus). Menurut Epikuros kita harus memandang kehidupan sebagai
keseluruhan termasuk juga masa lampau dan masa depan.

Biarpun pada dasarnya setiap kesenangan bisa dinilai baik, namun itu tidak berarti
bahwa setiap kesenangan harus dimanfaatkan juga. Dalam hal ini pentinglah pembedaan
yang diajukan Epikuros antara tiga macam keinginan: keinginan alamiah yang perlu
(seperti makanan), keinginan alamiah yang tidak perlu (seperti makanan yang enak), dan
keinginan yang sia-sia (seperti kekayaan).

Manusia akan mencapai ataraxia, ketenangan jiwa atau keadaan jiwa seimbang
yang tidak membiarkan diri terganggu oleh hal-hal yang lain. Ataraxia begitu penting bagi
Epikuros, sehingga ia menyebutnya juga tujuan kehidupan manusia (di samping
kesenangan). Ataraxia berperanan bagi jiwa, seperti kesehatan bagi badan. Orang
bijaksana yang memperoleh ketenangan jiwa itu akan berhasil mengusir segala macam
ketakutan (untuk kematian, dewa-dewa dan suratan nasib), menjauhkan diri dari
kehidupan politik dan menikmati pergaulan dengan sahabat-sahabat.

Kelebihan dan Kekurangan Hedonisme yaitu :

A.Kelebihan Hedonisme :

Motivasi akan tinggi dalam meraih yang menjadi keinginannya.


Pantang menyerah dan bekerja keras

Menghargai waktu dan kesempatan, sebab waktu yang terlewati dankesempatan bisa digunakan
untuk mewujudkan apa yang diinginkan.

B.Kekurangan Hedonisme :

Melakukan semua cara agar bisa mencapai keinginan menjadikancenderung menggunakan cara yang
negatif (cara jahat)

Egois dan tidak mempunyai kepekaan sosial

Mengganggu orang lain karena dalam merain keinginan mereka tidakpeduli dengan orang
disekitarnya.

Penyebab Hedonisme

Pandangan atau gaya hidup hedonisme ini tentu tidak lahir begitu saja. Ada
faktor-faktor yang menjadi penyebab seseorang memutuskan untuk
menganut ideologi hedonisme ini. Faktor-faktor tersebut bisa muncul dari
dalam diri sendiri (internal), ataupun dari luar (eksternal).

1. Faktor Internal

Faktor internal atau dari dalam diri sendiri, merupakan penyebab hedonisme
yang paling utama. Setiap manusia sudah pasti memiliki sifat dasar yang ingin
memiliki banyak kesenangan dan kebahagiaan. Ditambah lagi dengan sifat
lain dari manusia, yaitu rasa tidak pernah puas yang mereka miliki. Sifat-sifat
inilah yang pada akhirnya mengantarkan seseorang pada perilaku dan gaya
hidup yang hedonisme.

2. Faktor Eksternal

Penyebab lain seseorang memilih paham hedonisme adalah faktor eksternal


atau faktor dari luar. Faktor eksternal ini bisa berasal dari informasi atau juga
globalisasi. Apalagi saat ini internet dan media sosial membuat kita bisa
melihat bagaimana kehidupan orang lain. Kebiasaan-kebiasaan serta paham
yang di dapat di dunia maya atau di lingkungannya, dianggap menjadi
penyebab orang-orang tertarik untuk mengadaptasi gaya hidup hedonisme.

Gaya hidup hedonis adalah suatu dorongan individu untuk


berperilaku dengan memegang prinsip kesenangan (Benthem
dalam Faqih, 2003)

Pengertian Gaya Hidup Hedonisme


Kata hedonisme berasal dari bahasa Yunani yaitu hedone yang berarti
kesenangan. Hedonisme sendiri dapat diartikan sebagai pandangan hidup
seseorang atau merupakan ideologi yang kemudian diwujudkan dalam
bentuk gaya hidup dan memiliki tujuan utama untuk menikmati serta
merasakan kebahagiaan pribadi ketika menjalani hidup.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hedonisme merupakan


pandangan yang menganggap bahwa setiap kesenangan dan kenikmatan
dalam bentuk materi merupakan tujuan utama dalam hidup seseorang.

Hedonisme juga dapat diartikan pula sebagai pandangan hidup yang


menganggap bahwa seseorang akan merasakan bahagia dengan cara
mencari kebahagiaan sebanyak mungkin serta dengan cara bagaimana
pun harus menghindar dari perasaan yang dapat membuatnya merasakan
sakit.

Sederhananya, hedonisme mengacu pada paham mengenai kesenangan


terhadap kenikmatan. Jadi, orang yang menganut pandangan hidup
hedonisme berpendapat bahwa kebahagiaan serta kesenangan dapat
diraih dengan cara melakukan banyak kesenangan serta menghindari hal-
hal yang menyakitkan di dunia.

Collins Gem pun turut mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian


gaya hidup hedonisme. Menurut Gem, hedonisme merupakan sebuah
doktrin yang menyampaikan bahwa kesenangan adalah hal yang paling
penting di dalam hidup. Menurut Gem, hedonisme merupakan suatu
ideologi atau paham yang dianut oleh seseorang yang mencari
kesenangan hidup saja.
Burhanuddin berpendapat pula bahwa hedonisme merupakan suatu hal
yang dianggap baik sesuai dengan kesenangan yang turut
didatangkannya. Maka menurut Burhanuddin orang yang memiliki
pandangan hidup hedonisme beranggapan bahwa hal yang dapat
mendatangkan kesusahan, penderitaan, dan tidak menyenangkan
merupakan suatu hal yang tidak baik.

Hedonisme dapat berakhir positif tetapi juga dapat berakhir negatif pada
kehidupan orang-orang yang menganut pandangan hedonisme maupun
kepada lingkungan sekitar. Hedonisme sendiri tidak datang karena inisiatif
orang tersebut, tetapi karena ada faktor-faktor yang memengaruhi orang
tersebut hingga akhirnya memiliki gaya hidup hedonisme.

Lalu apakah Grameds mengetahui ciri-ciri ketika seseorang memiliki


pandangan hidup hedonisme? Dengan mengetahui ciri-ciri hedon, maka
Grameds dan orang sekitar dapat menghindar agar tidak terjebak pada
gaya hidup hedonisme.

Ciri-Ciri Gaya Hidup Hedonisme


Gaya hidup hedonisme memang mudah ditemukan di masyarakat, namun
tidak sedikit pula yang tidak menyadari bahwa dirinya telah terjebak dalam
gaya hidup hedonisme. Untuk dapat menghindari gaya hidup hedonisme,
maka Grameds perlu mengetahui ciri-cirinya terlebih dahulu.

1. Orang yang memiliki gaya hidup hedon, maka ia memiliki pandangan


bahwa tujuan utama dalam hidupnya adalah untuk kenikmatan serta
kesenangan pribadinya saja.
2. Orang dengan gaya hidup hedonisme, tidak memedulikan
kepentingan serta kebahagiaan orang lain sehingga orang tersebut
menjadi pribadi yang egois.
3. Orang dengan gaya hidup hedon tidak pernah merasa puas dengan
apa yang telah ia miliki baik harta maupun keluarga.
4. Orang dengan gaya hidup memiliki sifat konsumtif dan lebih
mengutamakan untuk membeli barang-barang atau suatu hal karena
kesenangan dianggap lebih utama dibandingkan dengan kebutuhan.
5. Orang dengan gaya hidup hedonisme cenderung memiliki sifat yang
diskriminatif serta sombong.
6. Orang dengan gaya hidup hedonisme selalu melihat orang lain
berdasarkan harta kekayaan dan merasa dirinya lebih baik dari orang
lain.
Itulah enam ciri-ciri yang dimiliki oleh orang yang memiliki gaya hidup
hedonisme. Apabila Grameds mulai merasakan salah satu dari enam ciri
tersebut, maka segeralah memperbaiki diri dan jangan menutup diri.
Apabila Grameds merasakan orang terdekat memiliki salah satu dari
keenam ciri tersebut, maka peringatkanlah orang terdekat Grameds agar
tidak berlarut-larut dan jatuh lebih dalam pada gaya hidup hedonisme.

Lalu agar lebih jelasnya, Grameds dapat membaca contoh dari gaya hidup
hedonisme di tengah masyarakat ini.

Contoh Gaya Hidup Hedonisme


Berikut adalah beberapa contoh gaya hidup hedonisme yang ada dalam
kehidupan bermasyarakat.

1. Memiliki Mobil Mewah

Mobil merupakan kendaraan pribadi yang tidak selalu dibutuhkan untuk


setiap orang, namun ada beberapa orang yang memang membutuhkan
mobil sebagai alat transportasi yang dapat menunjang kebutuhannya.

Contohnya orang tersebut harus bepergian setiap hari ke luar kota dengan
jarak yang cukup jauh. Orang tersebut tidak merasa nyaman apabila setiap
hari harus mengendarai motor maupun kendaraan umum, karena
terkadang cuaca hujan maupun terlalu panas dapat membuatnya
kelelahan. Oleh karena itu, ia merasa membutuhkan mobil sebagai alat
penunjang kebutuhannya tadi.
2.Memiliki Sifat Gemar Belanja

Sebelumnya, ciri-ciri orang yang


memiliki gaya hidup hedonisme adalah membeli barang yang sebenarnya
tidak terlalu ia butuhkan, karena ia memiliki pandangan bahwa kesenangan
lebih penting dibandingkan kebutuhan.

Oleh karena itu, memiliki sifat gemar belanja merupakan salah satu contoh
dari gaya hidup hedonisme. Orang yang memiliki sifat gemar belanja
biasanya tidak terlalu memikirkan kegunaan dari barang tersebut ataupun
memikirkan apakah ia membutuhkan barang tersebut ataupun tidak,
karena ia hanya ingin membeli barang tersebut.

Beberapa orang yang memiliki sifat gemar belanja pun akhirnya hanya
membuang-buang uang untuk barang yang tidak terlalu penting dan telah
ia beli itu.

Tinjauan Kritis

a.   Dalam hedonisme terkandung kebenaran yang mendalam: manusia menurut kodratnya


mencari kesenangan dan  berupaya menghindari ketidaksenangan. Sigmund Freud
memperlihatkan bahwa kecenderungan manusia itu bahkan terdapat pada taraf tak sadar.
Tidak bisa disangkal, keinginan akan kesenangan merupakan suatu dorongan yang sangat
mendasar dalam hidup manusia. Tapi disini perlu dikemukakan sebuah catatan kritis yang
pertama. Apakah manusia selalu mencari kesenangan? Apakah manusia menurut kodratnya
mencari kesenangan dalam arti bahwa ia tidak lagi manusia (tapi malaikat atau apa...),
jika ia tidak mencari kesenangan? Apakah tidak mungkin juga manusia yang membaktikan
seluruh hidupnya demi kebaikan orang lain, dengan niat murni dan tanpa pamrih? Tentu
saja para hedonis selalu  bisa mengatakan bahwa mencari kesenangan adalah motivasi
terakhir. Para hedonis bisa menegaskan bahwa membantu orang lain selalu juga
menyenangkan, karena “lebih baik memberi daripada menerima”.
b.   Kritik lebih berat lagi adalah bahwa dalam argumentasi hedonisme terdapat loncatan yang
tidak dipertanggungjawabkan. Dari anggapan bahwa kodrat manusia adalah mencari
kesenangan (yang menurut hemat kami dapat dipertanyakan lagi), ia sampai pada
menyetarafkan kesenangan dengan moralitas yang baik. Secara logis hedonisme harus
membatasi diri pada suatu etika deskriptif saja (pada kenyataannya kebanyakan manusia
membiarkan tingkah lakunya dituntun oleh kesenangan), dan tidak boleh merumuskan
suatu etika normatif (yang baik secara moral adalah mencari kesenangan). ada yang
memperoleh kesenangan dengan menyiksa atau malah membunuh orang lain, yaitu mereka
yang disebut kaum sadis. Para hedonis tidak bisa menyingkirkan kenyataan itu dengan
menandaskan: tapi perbuatan seperti itu akan dihukum dan karena itu akan disertai
ketidaksenangan. Sebab, banyak perbuatan jahat tidak diketahui dan akibatnya tidak
dihukum. Karena itu kesenangan saja tidak cukup untuk menjamin sifat etis suatu
perbuatan.

c.   Para hedonis mempunyai konsepsi yang salah tentang kesenangan. Mereka berpikir bahwa
sesuatu adalah baik, karena disenangi. Sebenarnya kesenangan adalah pantulan subyektif
dari sesuatu yang obyektif. Sesuatu tidak menjadi baik karena disenangi, tapi sebaliknya
kita merasa senang karena memperoleh atau memiliki sesuatu yang baik.

d.   Hedonisme mengandung suatu egoisme, karena hanya memperhatikan kepentingan dirinya


saja. Yang dimaksudkan dengan egoisme disini adalah egoisme etis atau egoisme yang
mengatakan bahwa saya tidak mempunyai kewajiban moral membuat sesuatu yang lain
daripada yang terbaik bagi diri saya sendiri. Egoisme etis mempunyai prinsip: saya duluan,
orang lain belakangan saja. Egoisme etis harus ditolak karena bertentangan dengan prinsip
persamaan: semua manusia harus diperlakukan dengan cara sama, selama tidak ada alasan
untuk perlakuan yang berbeda.

Filsuf Inggris, John Locke (1632-1704), menandaskan: “kita sebut baik apa yang
menyebabkan atau meningkatkan kesenangan; sebaliknya, kita namakan jahat apa yang
dapat mengakibatkan ketidaksenangan apa saja atau mengurangi kesenangan apa saja
dalam diri kita”. Tapi dalam bentuk modernnya sifat individualistis dan egoistis dari
hedonisme Yunani kuno telah ditinggalkan. Hedonisme yang menjiwai pemikiran modern
itu mengakui dimensi sosial sebagai faktor yang tidak bisa disingkirkan.

Dalam dunia modern sekarang ini rupanya hedonisme masih hadir dalam bentuk
yang lain. Hedonisme merupakan “etika implisit” yang—mungkin tanpa disadari—dianut
oleh banyak individu dewasa ini.
2.Eudemonisme

Eudemonisme merupakan salah satu filsafat moral selain hedonisme dan yang
lainnya. Eudemonisme berasal dari kata “ Eudaimonia” yang berarti kebahagiaan.
Pandangan ini berasal dari filsuf Yunani besar, Aristoteles (384-322 s.M). Dalam bukunya,
Ethika Nikomakheia, ia mulai dengan menegaskan bahwa dalam setiap kegiatannya
manusia mengejar suatu tujuan. Bisa dikatakan juga, dalam setiap perbuatan kita ingin
mencapai sesuatu yang baik bagi kita. Sering kali mencari suatu tujuan untuk mencapai
suatu tujuan lain lagi. Misalnya, kita minum obat untuk bisa tidur dan kita tidur untuk
dapat memulihkan kesehatan. Menurut Aristoteles, semua orang akan menyetujui bahwa
tujuan tertinggi dalam terminologi modern kita bisa mengatakan: makna terakhir hidup
manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia).

Menurut Aristoteles, seseorang mencapai tujuan terakhir dengan menjalankan


fungsinya dengan baik. Tujuan terakhir pemain suling adalah main dengan baik. Tujuan
terakhir tukang sepatu adalah membikin sepatu yang baik. Nah, jika manusia menjalankan
fungsinya sebagai manusia dengan baik, ia juga mencapai tujuan terakhirnya atau
kebahagiaan. Keunggulan dan kekhasan manusia  ada pada akalnya (rasio). Karena itu,
untuk mencapai kebahagiaannya, seseorang harus menjalankan fungsi-fungsi rasio dengan
melakukan kegiatan rasional. Kegiatan-kegiatan rasional itu disertai keutamaaan. Bagi
Aristoteles ada dua macam keutamaan : keutamaan intelektual dan keutamaan moral.
Keutamaan intelektual menyempurnakan langsung rasio itu sendiri. Dengan keutamaan-
keutamaan moral ini dibahas Aristoteles dengan panjang lebar. Keutamaan seperti
keberanian dan kemurahan hati merupakan pilihan yang dilaksanakan oleh rasio. Dalam
hal ini rasio menentukan jalan tengah antara dua ekstrem yang berlawanan. Atau dengan
kata lain, keutamaan adalah keseimbangan antara “kurang “ dan “terlalu banyak”.
Misalnya, keberanian adalah keutamaan yang memilih jalan tengah antara sikap gegabah
dan sikap pengecut; kemurahan hati adalah keutamaan yang mencari jalan tengah antara
kekikiran dan pemborosan. Keutamaan yang menentukan jalan tengah itu oleh Aristoteles
di sebut phronesis (kebijaksanaan praktis). Phronesis menentukan apa yang bisa dianggap
sebagai keutamaan dalam suatu situasi konkret. Karena itu keutamaan ini merupakan inti
seluruh kehidupan moral.

Sekali lagi perlu ditekankan bahwa tidaklah cukup kita kebetulan atau satu kali
saja mengadakan pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan kita sehari-hari. Baru ada
keutamaan jika kita bisa menentukan jalan tengah di antara ekstrem-ekstrem itu dengan
suatu sikap tetap. Menurut Aristoteles, manusia adalah baik dalam arti moral, jika selalu
mengadakan pilihan-pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan-perbuatan moralnya dan
mencapai keunggulan dalam penalaran intelektual. Orang seperti itu adalah bahagia.
Kebahagiaan itu akan disertai kesenangan juga, walaupun kesenangan tidak merupakan
inti yang sebenarnya dari kebahagiaan.
Keutamaan-keutamaan

a. Keutamaan Intelektual
Ada dua fungsi dari rasio menusia menurut Aristoteles, yakni untuk mengenal kebenaran (bersifat
universal) dan untuk mengetahui tindakan mana yang tepat untuk dilakukan pada saat-saat tertentu
(parsial). Dalam fungsinya yang pertama itu, manusia akan mendapatkan kebijaksanaan teoretis
yang disebut Aristoteles sebagais o p h i a. Dengan

sophia ini manusia akan mampu mendapatkan pengetahuan mengenai kebenaran-

kebenaran yang bersifat universal dan tetap, seperti halnya hukum-hukum alam dan Allah. Pada titik
inilah keutamaan intelektual itu memiliki porsi besarnya. Sementara dalam fungsinya yang
disebutkan terakhir, manusia akan mendapatkan suatup h r o n ẻ s i s (kebijaksanaan praktis) yang
berfungsi menuntun tindakannya ke arah yang tepat.

b. Keutamaan Moral

Manusia memiliki tidak hanya akal-budi saja (khas manusia), melainkan juga di dalam dirinya
terdapat nafsu, keinginan, kebutuhan, dan lain sebagainya yang turut berperan penting dalam
mempengaruhi tindakannya. Dalam melakukan tindakan- tindakannya, manusia tak jarang terjebak
pada posisi yang ekstrem. Misalkan saja kita memiliki sejumlah harta, kita dapat saja terlalu sayang
terhadap harta itu sehingga mengakibatkan kita kikir; atau sebaliknya, kita dapat juga terlalu boros
karena menganggap diri kita telah memiliki sejumlah harta yang cukup atau bahkan lebih dari
banyak. Dua sikap ekstrem inilah yang harus dielakkan dari tindakan keseharian kita agar kita dapat
mencapai kehidupan yang baik. Sebagai jalan tengah dari tamsil mengenai dua sikap ekstrem itu
adalah kedermawanan. Kedermawanan bukan berarti pemborosan, sekaligus tentu bukan kekikiran.
Inilah yang dapat dicapai oleh manusia dengan keutamaan moralnya berlandaskanp hronẻsis tadi.

Namun bagaimana seseorang dapat mengembangkan keutamaan moralnya? Sebagaimana etika


yang menurut Aristoteles tak mungkin diajarkan, demikian pula keutamaan moral juga tidak.
Keutamaan akan didapatkan seseorang dari pengalaman kesehariannya dalam bertindak yang sesuai
dan berdasar kepada keutamaan itu sendiri.

Sekilas kita mendapati suatu “lingkaran setan” dari pernyataan ini. Namun yang

dimaksudkan oleh Aristoteles di sini adalah bahwa seseorang, pada awalnya, untuk

mencapai keutamaan itu dalam dirinya sendiri haruslah mula-mula mengacu pada

keutamaan “objektif” (semacam aturan, norma) yang dianggap baik oleh orang banyak.

Dari sini lambat laun ia akan mencapai keutamaan-keutamaan itu sebagai suatu sikap watak yang
melekat dalam dirinya sendiri, dengan tidak perlu lagi mengacu terhadap aturan-aturan yang ada.
keyakinan akan Ide-ide abadi yang diusung oleh Plato. Menurut Plato, ketika manusia harus berbuat
baik dan benar, maka kebaikan dan kebenaran itu sebenarnya didapatkan sesuai dengan ide-ide
abadi yang kembali diingatnya melalui tahapan-tahapan pengalaman yang dilaluinya (baca toeri
pengenalan Plato). Dengan demikian, kebenaran (termasuk dalam perkara tindakan manusia dalam
pembahasan etika) telah memiliki suatu gambaran objektifnya di alam Ide sana yang bernilai sebagai
dirinya sendiri tanpa dipengaruhi oleh otoritas rasio manusia yang–meminjam Heidegger- “being
there”, sangat bergantung terhadap konteks.

Aristoteles menyanggah pendirian itu. Menurutnya, hal-hal yang empiris mampu diabstraksikan oleh
manusia menjadi konsep-konsep universal tentang substansi sesuatu tanpa harus adanya Ide-ide
tentang hal itu sebelumnya. Di sinilah peran aretai dianoeti kai (keutamaan intelektual) manusia
memainkan perannya. Berangkat dari alasan itulah kemudian Aristoteles memberikan garis tegas
yang memotong sama sekali hubungan antarat h e o r i a denganp r a x i s. Maka ditinjau dari sisi
ini, dalam batasan tertentu kiranya kita bisa mempertemukan Aristoteles dengan eksistensialisme.

Satu hal lagi yang sangat perlu ditekankan adalah pemaparan Aristoteles mengenai Allah. Dalam hal
ini jangan sekali-kali menjumbuhkan pemaknaan Allah ala Aristoteles dengan apa yang dipahami
oleh agama-agama “langit”, meski pada kenyataannya

Aristoteles juga seorang “monoteis” dalam arti yang agak aneh, sebab dalam beberapa

kesempatan ia masih menyebut “dewa-dewa” (jamak). Monoteisme Aristoteles ini dapat

dilihat dari gagasan-gagasannya yang masyhur, seperti tentang Penggerak Pertama yang

tak digerakkan (Causa Prima).

Gagasan tentang Causa Prima itu tadi kiranya sekaligus memberikan penjelasan kepada kita bahwa
dalam keyakinannya terhadap Yang Ada-Absolut (ilahi) itu bersifat deistis. Dalam hal ini, jika kita
mencoba memandangnya dari kacamata Islam (tentu saja

ini tidak dilakukan atas dasar keinginan untuk menghakimi Aristoteles) jelas tidak akan menemukan
kesesuaiannya, mengingat doktrin Islam menyatakan bahwa Allah adalah Pencipta, dan dengan
demikian maka apa yang diciptakan-Nya tentulah memiliki permulaan dan penghabisan. Aristoteles
tidak demikian. Dalam metafisikanya ia menjelaskan bahwa alam raya ini abadi, seperti abadinya
Penggerak Pertama yang tak digerakkan itu.

Namun terlepas dari perdebatan metafisika itu, sebenarnya kita dapat menggali

banyak hal dari Aristoteles yang spiritnya senada dengan apa yang dimiliki oleh agama-

agama “langit” yang ada, khususnya Islam. Cara Aristoteles memaknai kebahagiaan

dengan sedemikian rupa; bahwa kebahagiaan adalah bentuk akltualisasi diri dengan mendasarkan
tindakan-tindakan keseharian kepada keutamaan-keutamaan seperti yang telah dijelaskan, kiranya
dapat dilihat sebagai suatu nilai yang tidak berlebihan untuk disebut luar biasa dari pencapaian
filosofisnya.

Perlu diingat kembali, kebahagiaan ala Aristoteles sama sekali berbeda dengan kesenangan dalam
terminologi hedonisme. Aristoteles tidak melihat kebahagiaan sebagai sesuatu yang harus dicapai
oleh manusiah a n y a sebagai individu (egois), melainkan kebahagiaan yang dicapai seseorang
harus pula bernilai bagi pencapaian kehidupan bersama yang baik. Artinya, tidak utuh kebahagiaan
seseorang selama ia tidak dapat mengaktualisasikan diri dalam kehidupan sosial bersama
lingkungan-masyarakatnya .

Macam Eudaemonisme
Terdapat lima (5) versi eudaimonisme yang berbeda, antara lain ialah
sebagai berikut;

- Pemikiran Sokrates
Konsep eudaimonia: Kebajikan penting dan juga memadai bagi
kehidupan eudaimonik. Kurangnya kebajikan tetntu membuat orang
tersebut benar-benar sakit di jiwanya.
-Pemikiran Platonis (“Akademik”)
Konsep eudaimonia: Kebajikan ini diperlukan walaupun tidak
mencukupi untuk kehidupan eudaimonik: seseorang juga perlu
memenuhi sejumlah keinginan manusia lainnya (“selera” jiwa), tetapi
kebahagiaan itu tidak dapat dicapai tanpa alasan serta kebajikan,
sebab jiwa tidak akan seimbang tanpa itu.

-Pemikiran Aristotelian (“Peripatetic”)


Konsep eudaimonia: Kebajikan ini diperlukan walaupun tidak cukup
untuk kehidupan eudaimonik: hanya orang-orang yang cukup
beruntung untuk dididik, agak kaya, sehat, serta bahkan cukup
tampan dapat mengejar eudaimonia. Esensi menjadi manusia ialah
kemampuan dalam berpikir, serta  kehidupan eudaimonik ialah
mengejar keunggulan dalam akal (yang mengarah pada kebajikan).

-Pemikiran Epicurean
Konsep eudaimonia: Kebajikan bukanlah komponen intrinsik dari
eudaimonia, tetapi hanya berperan untuk dapat mencapainya. Tujuan
hidup ialah untuk memaksimalkan kesenangan (di dalam jangka
panjang) serta meminimalkan rasa sakit (juga dalam jangka panjang).
Mengejar kebajikan ini membawa kesenangan serta mengurangi rasa
sakit, jadi itu ialah salah satu alat untuk menjadi eudaimon.

-Pemikiran Stoic
Konsep eudaimonia: Etika Stoic ialah  versi eudaimonisme yang
sangat kuat. Kaum Stoa ini membuat klaim radikal bahwa kehidupan
eudaimon merupakan suatu kehidupan yang bermoral baik. Kebajikan
moral itu baik, serta kejahatan moral buruk, serta segala hal lainnya,
seperti kesehatan, kehormatan, dan juga kekayaan.
Oleh sebab itu, para Stoa berkomitmen untuk dapat mengatakan
bahwa barang-barang eksternal yakni seperti kekayaan serta
kecantikan fisik tidak seluruhnya baik. Kebaikan moral itu diperlukan
serta cukup untuk eudaimonia.
Ciri Eudaemonisme
Dibawah ini merupakan beberapa konsep paling penting dari Nicomachean Ethics atau juga
Etika Nicomachean yang ditulis oleh Aristoteles (384-322) Aristoteles ini mengatakan bahwa
segala aktivitas/kegiatan hidup manusia terarah kepada kebajikan. Kebaikan yang dikejar
itulah yang disebut kebahagiaan.

Eudaimonia serta Kebajikan:

1. Eudaimonia bukan hanya kesenangan


2. Kehormatan dan keunggulan bukanlah tujuan mereka
3. Eudaimonia adalah tujuan akhir
4. Untuk menjadi baik, seseorang harus terus melakukan tindakan
keunggulan dan kebajikan
5. Jika seseorang itu mulia, ia akan mendapat kesenangan dari
hal-hal yang mulia
6. Kesenangan adalah bagian dari eudaimonia
7. Orang eudaimonik bertindak dengan anggun dalam menghadapi
kemalangan
8. Seseorang tidak dapat memiliki kehidupan eudaimonik jika
kehidupan itu berakhir dengan memalukan atau tidak bahagia
9. Kebajikan moral terbentuk melalui kebiasaan, dan harus
dipraktikkan
Seseorang harus mengendalikan diri sehubungan dengan
kesenangan dan keberanian dalam menghadapi rasa sakit

10.Kebajikan dan sifat buruk adalah karakteristik sukarela, bukan


emosi

11. Lebih sulit menjadi baik daripada buruk; baik adalah target yang
lebih sempit.

12.Kita masing-masing harus menemukan makna diri kita secara


individu.

13. bersifat sukarela, dan melibatkan pertimbangan

14.pilihan bersifat sukarela, dan melibatkan pertimbangan

Kebajikan ada di dalam hak pilihan kita

Dampak Eudaemonisme
Kebahagiaan yang dikemukakan oleh Aristoteles tidak terletak pada
pengertian menikmati hasil atau prestasi, tapi pada karakter
kontemplasi rasional sebagai suatu aktivitas manusia untuk
mengalami pencerahan. Kebajikan yang dikejar itulah yang disebut
kebahagiaan.
Dengan kata lain, manusia selalu menginginkan kebahagiaan dalam
hidupnya. Meskipun ada manusia yang menginginkan penderitaan
dalam hidupnya, hal tersebut disebabkan karena situasi hidup yang
dia hadapi. Artinya ialah manusia itu ingin menghindari penderitaan
itu sendiri.
Kenyataan atau juga realitas inilah yang kini terjadi pada bangsa kita,
bahwa rakyat hidup dalam realitas ketidakbahagiaan akibat dari
kelaparan, kemiskinan, kekurangan perhatian pemerintah atas
penderitaan rakyat. Sehingga, hal tersebut bisa disimpulkan bahwa
aliran “eudaemonisme ini lebih mengedepankan kepentingan
individual (pribadi) atau juga kelompok tertentu daripada kepentingan
Bersama”

Contoh Eudaemonisme
Jika Anda adalah orang tua, Anda harus unggul dalam membesarkan
anak-anak Anda; jika Anda seorang dokter, Anda harus unggul dalam
menyembuhkan orang; dan jika Anda seorang filsuf, Anda harus
unggul dalam memperoleh pengetahuan dan kebijaksanaan, dan
memberikan pengajaran. Tentu saja, setiap orang memainkan banyak
peran dalam kehidupan, dan dengan unggul dalam semua peran
itulah seseorang mencapai Eudaimonia.
Aristoteles berpendapat bahwa, selain peran spesifik kita (orang tua,
dokter, filsuf), semua manusia berbagi tujuan – satu hal yang kita
semua lakukan yang membuat kita menjadi manusia. Untuk mencapai
Eudaimonia sejati, Anda harus unggul dalam hal ini – menjadi orang
yang bermoral, mengendalikan emosi Anda. Karena, Aristoteles
berpendapat bahwa ini adalah kemampuan manusia yang paling maju
dan unik.
Jadi, alih-alih kebahagiaan, Eudaimonia dapat diterjemahkan sebagai:
pemenuhan, menjalani kehidupan (moral) yang baik, pertumbuhan
manusia, dan keberhasilan moral atau spiritua

Tinjauan kritis

a.       Memang benar, pemikiran tentang keutamaan adalah bagian paling menarik dalam
etikanya. Tapi ajarannya mempunyai kelemahan juga. Salah satu kelemahan adalah bahwa
daftar keutamaan yang disebut olehnya tidak merupakan hasil pemikiran Aristoteles saja
tapi mencerminkan pandangan etis dari masyarakat Yunani pada waktu itu dan lebih
khusus lagi mencerminkan golongan atas dalam masyarakat Athena tempat Aristoteles
hidup. Dan ternyata tidak bisa diharapkan juga ia akan menyajikan daftar keutamaan yang
berlaku selalu dan dimana-mana. Pasti ada sejumlah keutamaan yang berlaku agak umum.
Tapi di samping itu setiap kebudayaan dan setiap periode sejarah akan memiliki
keutamaan-keutamaan sendiri, yang belum tentu sama dalam kebudayaan atau periode
sejarah lain. Kerendahan hati, misalnya, merupakan keutamaan yang berasal dari tradisi
lain dan belum bisa diharapkan dalam pembahasan Aristoteles. Suka bekerja keras
merupakan contoh lain tentang keutamaan yang tidak mungkin ditemukan pada
Aristoteles. Malah ia memandang rendah pekerjaan fisik, sesuai dengan pandangan Yunani
pada waktu itu.

b.      Keberatan lain menyangkut pemikiran Aristoteles tentang keutamaan sebagai jalan tengah
antara dua ekstrem. Aristoteles menjelaskan hal itu dengan sebuah analisis bagus dan
tajam tentang keberanian, misalnya. Tapi soalnya adalah apakah keutamaan selalu
merupakan jalan tengah antara “kurang’ dan “terlalu banyak”. Aristoteles sendiri
mengalami kesulitan dengan keutamaan seperti pengendalian diri. Perbuatan seperti
makan terlalu banyak, jelas bertentangan dengan keutamaan pengendalian diri. Tapi jika
orang makan kurang daripada apa yang dianggap perlu , apakah perbuatannya melanggar
keutamaan itu juga ? rupanya sulit mengatakan demikian. Perbuatan seperti berpuasa
justru dianggap suatu perbuatan terpuji dan pelaksanaan keutamaan pengendalian diri.
Aristoteles sendiri mengakui bahwa praktis tidak ada manusia yang tak acuh terhadap
makanan, sehingga segi “kurang” di sini sulit ditunjukkan.

c.       Tadi sudah dijelaskan bahwa pemikiran Aristoteles diwarnai suasana eliter karena
terutama mencerminkan golongan atas dalam mesyarakat Yunani waktu itu. Bisa ditambah
lagi bahwa pada Aristoteles kita sama sekali belum melihat paham hak manusia, apalagi
persamaan hak semua manusia. Malah ia membenarkan secara rasional lembaga
perbudakan, karena ia berpendapat bahwa beberapa manusia menurut kodratnya adalah
budak. Suatu pandangan menurut orang modern justru tidak etis. Tapi keberatan ini tidak
perlu terlalu ditekankan, karena kita tidak bisa mengeritik seseorang karena dia anak dari
zamannya. Kita tidak bisa menghukum filsuf Yunani kuno ini, karena belum termasuk
zaman modern.

d.      Etika Aristoteles dan khususnya ajarannya tentang keutamaan tidak begitu berguna untuk
memecahkan dilema-dilema moral besar yang kita hadapi sekarang ini. Pemikirannya tidak
membantu banyak dalam mencari jalan keluar bagi masalah-masalah moral penting di
zaman kita, seperti misalnya risiko penggunaan tenaga nuklir, reproduksi artificial,
percobaan medis dengan embrio dan sebagainya. Disini kita membutuhkan pertimbangan–
pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pandangan Aristoteles tentang
keutamaan lebih cocok untuk menilai kadar moral seseorang berdasarkan perbuatan-
perbuatannya, termasuk juga hidup moralnya sebagai keseluruhan.

3.Utilitarisme
Prinsip utilitarisme adalah jelas &  suatuèrasional  tindakan dikatakan baik jika bermanfaat atau
berguna bagi orang lain  Aliran ini banyak yang tidak menerima karena apa yang bermanfaat bagi
seseorang mungkin tidak bermanfaat bagi orang lain.

Ajarannya : yang baik adalah yang membawa manfaat bagi orang banyak

Keunggulannya : tidak bersifat egois, melainkan universal

Kelemahannya : tidak menjamin keadilan dan hak-hak manusia

Anggapan bahwa klasifikasi kejahatan harus didasarkan atas kesusahan atau penderitaan yang
diakibatkannya terhadap terhadap para korban dan masyarakat.

Menurut kodratnya manusia menghindari ketidaksenangan dan mencari kesenangan. Kebahagiaan


tercapai jika manusia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan.

 Karena menurut kodratnya tingkah laku manusia terarah pada kebahagiaan, maka suatu perbuatan
dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan semua
orang

 Moralitas suatu tindakanharus ditentukan dengan menimbang kegunaannya untuk mencapau


kebahagiaan umat manusia. (The greatest happiness of the greatest number)

Sifat Utilitarianisme

Utilitarianisme adalah upaya untuk memberikan jawaban atas pertanyaan praktis


“Apa yang harus dilakukan seseorang?” Jawabannya adalah bahwa seseorang harus
bertindak untuk memaksimalkan kebahagiaan atau kesenangan dan meminimalkan
ketidakbahagiaan atau rasa sakit.

Konsep dasar

Dalam pengertian konsekuensi utilitarian mencakup semua yang baik dan buruk
yang dihasilkan oleh tindakan, baik yang timbul setelah tindakan telah dilakukan
atau selama kinerjanya. Jika perbedaan konsekuensi tindakan alternatif tidak besar,
beberapa utilitarian tidak akan menganggap pilihan di antara mereka sebagai
masalah moral . Menurut Mill, tindakan harus diklasifikasikan sebagai benar atau
salah secara moral hanya jika konsekuensinya sedemikian signifikan sehingga
seseorang ingin melihat agen dipaksa, tidak hanya dibujuk dan didesak, untuk
bertindak dengan cara yang disukai.

Dalam menilai konsekuensi tindakan, utilitarianisme bergantung pada beberapateori


nilai intrinsik : sesuatu dianggap baik dalam dirinya sendiri, terlepas dari
konsekuensi lebih lanjut, dan semua nilai lain diyakini memperoleh nilainya dari
hubungannya dengan kebaikan intrinsik ini sebagai sarana untuk mencapai
tujuan. Bentham dan Mill adalahhedonis ; yaitu, mereka menganalisis kebahagiaan
sebagai keseimbangankesenangan berakhirrasa sakit dan percaya bahwa perasaan
ini sendiri adalah nilai intrinsik dan disvalue. Utilitarian juga berasumsi bahwa
adalah mungkin untuk membandingkan nilai-nilai intrinsik yang dihasilkan oleh dua
tindakan alternatif dan untuk memperkirakan mana yang akan memiliki
konsekuensi yang lebih baik. Bentham percaya bahwakalkulus hedonis secara
teoritis mungkin. Seorang moralis, menurutnya, dapat merangkum unit kesenangan
dan unit rasa sakit untuk semua orang yang mungkin terpengaruh, segera dan di
masa depan, dan dapat mengambil keseimbangan sebagai ukuran dari keseluruhan
kecenderungan baik atau jahat dari suatu tindakan. Pengukuran yang tepat seperti
yang dibayangkan Bentham mungkin tidak esensial, tetapi tetap perlu bagi kaum
utilitarian untuk membuat beberapa perbandingan antarpribadi tentang nilai-nilai
efek dari tindakan-tindakan alternatif.

1.      Utilitarisme klasik

Aliran ini berasal dari tradisi pemikiran moral di Unuted Kingdom dan kemudian
berpengaruh keseluruh kawasan yang berbahasa inggris. Filsuf Skotlandia, david Hume
(1711-1776), sudah memberi sumbangan penting ke arah perkembangan aliran ini, tapi
utilitarisme menurut lebih matang berasal dari filsuf inggris jeremy Bentham (1748-1832),
dengan bukunya introduction to the principles of morals and legislation (1789).
Ultilistarisme dimaksudnya sebagai dasar etis untuk memperbarui hkum inggris. Khususnya
hukum pidana. Jadi, ia tidak ingin menciptakan suatu teori moral abstark, tetapi
mempunyai maksud sangat konkrit. Ia nerpendapat bahwa tujuan hukum adalah
memajukan kepentingan warga negara bukan melaksanakan perintah-perintah ilahi atau
melindungi yang disebut hak-hak kodrati. Karna itu ia beranggapan bahwa klasifikasi
kejahatan, umpamanya dalam sistem hukum inggris sudah ketinggalan zaman dan harus di
ganti.

Betham mulai menekankan bahwa umat manusia menurut kodratnya ditempatkan


dibawah pemerintahan dua penguasa yang berdaulat (ketidaksenagan dan kesenangan).
Kebahagian tercapai, jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Dalam hal ini
betham sebenarnya melanjutkan begitu saja hedonisme klasik.

Karena menurut kodratnya tingkah laku manusia terarah pada kebahagian, maka
suatu perbutan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi
kebahagian sebanyak mungkin orang. Dalam hal ini betham meninggalkan hedonisme
individualistis dan egoistis dengan menekankan bahwa kebahagian itu menyangkut seluruh
umat manusia. Menureut Betham, prinsip kegunaan itu harus diterapkan secara
kuantitatif. Karena kualitas kesenagan selalu sama, satu-satunya aspeknya yang bisa
berbeda adalah kulitasnya.

Ultilitarisme diperluas dan diperkukuh lagi oleh filsufi inggris, Jhon Stuart Milln
(1806-18730). Dalam bukunya ia mengeritik pandangan Betham bahwa kesenangan dan
kebahagian harus diukur secara kuantitatif. Ia berpendapat bahwa kualitasnya perlu
ditimbangkan juga, karena ada kesengan yang lebih tinggi mutunya dan ada yang lebih
rendah.

Pikran Mill yang kedua adalah bahwa kebahagian yang menjadi norma etis adalah
kebahagian semua orang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagian satu orang saja.

Tinjauan kritis

Salah satu kekuatan utilitarisme adalah bahwa mereka menggunakan sebuah prinsip
jelas dan rasional. Akan tetapi, utilitarisme juga mempunyai beberapa kelemahan yaitu:

a.       Prinsip kegunaan bahwa suatu perbuatan adalah baik jika menghasilkan kebahagiaan
terbesar untuk jumlah orang terbesar, tidak selamanya benar.

b.      Kebahagiaan lain lagi adalah bahwa prinsip kegunaan tidak memberi jaminan apa pun
bahwa kebahagiaan dibagi juga dengan adil.

2.Utilitarisme Aturan

Suatu percobaan yang menarik untuk mengatasi kritikan berat yang dikemukakan
terhadap ultilitarisme adalah membedakan antara dua macam ultilitarisme. Ultilitarisme
perbuatan dan ultilitarisme aturan. Hal itu dikemukakan oleh filsuf inggris-amerika
Stephen Toulmin, menegaskan bahwa prinsip kegunaan tidak harus diterapkan atas salah
satu perbuatan, melainkan atas aturan-aturan moral yang mengatur perbuatan-perbuatan
kita.

Filsuf Richard B. Brandt melangkah lebih jauh lagi dengan mengusulkan agar bukan
aturan moral satu demi satu, melainkan sistem aturan moral sebagai keseluruhan diuji
dengan prinsip kegunaan.

Utilitarisme aturan ini merupakan sebuah varian yang menarik dari utilitarisme.
Perlu diakui bahwa dengan demikian kita bisa lolos dari banyak kesulitan yang melekat
pada utilitarisme perbuatan. Utilitarisme  aturan ini timbul jika terjadi konflik antara dua
aturan moral.

D.    Deontologi

Deontologi berasal dari bahasa Yunani deon yang berarti apa yang harus dilakukan;
kewajiban)
merupakan suatu teori atau studi tentang kewajiban moral Moralitas dari suatu keputusan etis yg
sepenuhnya terpisah dari konsekuensinya Ex. Seorang perawat yg berkeyakinan bahwa
menyampaikan suatu kebanaran merupakan hal yg sangat penting & tetap harus disampaikan, tanpa
peduli apakah hal tersebut mengakibatkan orang lain tersinggung atau bahkan syok . Ajarannya :
baik buruknya suatu tindakan tidak tergantung akibatnya, melainkan ada cara bertindak yang begitu
saja wajib atau dilarang.

Kelemahannya :

deontologi memiliki tiga kelemahan sebagai berikut.

 Tidak ada peluang untuk dilema moral dan jalan keluar ketika sedang
menghadapi konflik prinsip moral. Dilema moral adalah situasi ketika suatu pelaku wajib
melakukan A dan B. Jika melakukan A, maka ia tidak dapat melakukan B. Hal ini bisa
mengikis keterbatasannya sebagai manusia dalam rangka melakukan dua tindakan secara
bersama.
 Norma yanh dilakukan tanpa pengecualian dengan mengindahkan akibat tindakan yang sulit
diterima. Misalnya, orang wajib untuk berkata benar.
 Imperatif kategoris termasuk kepada bidang yang formal dan tidak secara konkret mengikat
pelaku moral. Hal ini menunjukkan bahwa imperatif kategoris hanya menegaskan hal yang
tidak boleh dilaksanakan. Misalnya, bunuh diri, stress, dan berbohong. Moralitas hanya
menetapkan batas ruang lingkup manusia sekigus tidak memberi arahan yang tepat dan
berjenjang. Imperatif kategoris hanya memberi tolok ukur benar atau tindaknya kaidah.
Namun, tidak membantu mengetahui pelaku moral memeroleh kaidah yang mau diuji.
Simpulannya, moralitas dalam etika deontologis mengandaikan adanya praktik moral yang
sudah berlaku.

Kekuatan/kelebihan;

Kekuatan atau kelebihan dari etika deontologi adalah sebagai berikut.

Fokus deontologi adalah nilai-nilai kemanusiaan. Deontologi memberi perhatian pada martabat
manusia. Hal ini rerlihat dengan jelas dalam pandangan Immanuel Kant yang menyatakan bahwa
manusia tidak bisa diperalat. Manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri. Implikasinya, setiap orang
mempunyai kewajiban untuk menghormati martabat manusia”. Semua elemen mendasar
kemanusiaan adalah otonomi. Bagi Kant, otonomi moral merupakan hukum moral tertinggi, karena
otonomi menghadirkan kemampuan seseorang menentukan pilihan berdasarkan suara hatinya.
Deontologi memberikan dasar yang kokoh bagi rasionalitas dan objektivitas kesadaran moral. Suatu
perbuatan dinilai baik atau buruk didasarkan pada kesadaran setiap orang dalam menjalankan apa
yang menjadi kewajiban moralnya. Jadi, kualitas perbuatan tidak dilihat dari motif tertentu, tetapi hal
yang mendasarinya. Dasar pada rasionalitas dan objektivitas untuk mendasari sebuah perbuatan.
Dengan kedua dasar ini, suatu perbuatan dapat dipertanggungjawabkan secara etis pula.
Deontologi memberikan tolak ukur untuk menilai perbuatan seseorang, yakni universalitas. Dengan
penegasan bahwa bertindaklah semata-mata menurut prinsip (maksim) yang dapat sekaligus menjadi
hukum umum karena menitikberatkan pada dasar prinsip humanisme yang universal. Bahkan hal ini
mendasari penghargaan pada humanitas sekaligus menjadi dasar untuk menuntut setiap orang
menjunjung tinggi martabat setiap individu.

Deontologis peraturan

Ajarannya : norma moral berlaku begitu saja (menurut Immanuel kant, berlaku imperatif katagoris)

Kesulitan :
 Tentang nilai suatu tindakan yang berasal dari suatu kecenderungan spontan dan motif
berbuat baik
 Tentang tanggung jawab manusia terhadap akibat dari suatu tindakan

Jalan keluar :

Immanul Kant : bertindaklah sedemikian rupa sehingga orang lainpun dapat bertindak demikian

Willian D Ross :  harus dibedakan kewajiban yang berlaku prima facie dan kewajiban yang
sebenarnya

Deontologis tindakan (disebut juga etika situasi)

Ajarannya : setiap situasi adalah unik

 Yang baik adalah yang baik dalam situasi tertentu


 Membedakan norma moral umum dan norma moral konkret

Kritik : tindakan sesuai dengan rasionalitas kesadaran moral

Kesimpulan : dari semua teori penting yang dibahas tidak terdapat satu sistem pun sama sekali
memuaskan, yang bisa menjadi jawaban satu-satunya atas pertanyaan dasar kita.

Prinsip
deontologi memiliki prinsip sebagai berikut.

 Upaya suatu tindakan punya nilai moral, tindakan itu harus dijalankan berdasarkan kewajiban.
 Nilai moral dari tindakan itu tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk
melakukan tindakan itu.
 Kewajiban yang dilaksanakan berdasarkan sikap hormat kepada hukum.[8] Terutama hal ini
sangat melekat pada pola hidup masyarakat adat. Konsepsi hukum sebagai penjaga
keharmonisan dalam kepntingan-kepentingan hidup masyarakat yang sejalan dengan kearifan
lokal masyarakat adat. Hal ini sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal yang pada umumnya
dilaksanakan oleh sebagian besar anggota masyarakat. Salah satunya yaitu dalam tradisi yang
wajib dilaksanakan oleh masyarakat adat. Berlabel wajib karena menyangkut keselamatan dan
menghargai apa yang telah dirintis oleh leluhurnya sejak dahulu.

Teori Deontologi, adalah teori yang dijelaskan secara logis oleh filsuf Jerman yaitu Immanuel Kant.
Kata deon berasal dari Yunani yang berarti kewajiban, sehingga dapat dikatakan bahwa teori ini
menekankan pada pelaksanaan kewajiban. Suatu perbuatan akan baik apabila didasari atas
pelaksanaan kewajiban, jadi selama melakukan kewajiban sudah melakukan kebaikan, tanpa
memikirkan akibat atau konsekuensinya, atau dengan kata lain suara terbanyak bukanlah ukuran
untuk menentukan kebaikan.

Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelas¬kan tentang pembahasan Etika,
sebagai berikut: Terminius Techicus, bahwa etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang
mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. Dan Manner dan Custom, Membahas etika
yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent
in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau
perbuatan manusia. Etika dapat dijadikan sumber nilai dan agama (bukan agamanya, tapi aksesoris
dari implementasi agama tersebut)
Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara
lain:
1. Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat dari hak (The
principles of morality, including the science of good and the nature of the right)
2. Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian utama dari kegiatan
manusia. (The rules of conduct, recognize in respect to a particular class of human actions)
3. Ilmu watak manusia yang ideal, dan prinsip-prinsip moral seba¬gai individual. (The science of
human character in its ideal state, and moral principles as of an individual)
4. Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban (The science of duty)

1. Deontologi Menurut I. Kant

Yang menciptakan system moral ini adalah filsuf besar dari Jerman, Immanuel Kant
(1724-1804). Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah
kehendak yang baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat.
Kesehatan, kekayaan, atau intelegensi, misalnya, adalah baik jika digunakan dengan baik
oleh kehendak manusia. Tapi jika dipakai oleh kehendak yang jahat semua hal itu bisa
menjadi jelek sekali. Bahkan keutamaan-keutamaan bisa disalahgunakan oleh kehendak
yang jahat.

Menurut Kant kehendak menjadi baik, jika bertindak karena kewajiban. Kalau
perbuatan dilakukan dengan suatu maksud atau motif lain, perbuatan itu tidak bisa
disebut baik, betapapun luhur atau terpuji motif itu. Misalnya, kalau perbuatan dilakukan
karena kecenderungan atau watak, perbuatan itu secara moral tidak baik. Mungkin sifat
watak saya demikian, sehingga saya selalu senang membantu orang lain. Bagi Kant,
perbuatan-perbuatan yang berasal dari kecenderungan macam itu tidak bisa disebut baik,
tapi dari sudut moral bersifat netral saja. Atau mungkin saya member derma kepada
pengemis, karena hati saya tergerak oleh keadaannya yang menyedihkan. Atau mungkin
saya mengembalikan buku yang saya pinjam dari perpustakaan,karena takut akan terkena
denda, bila terlambat dikembalikan. Semua perbuatan itu tidak patu disebut baik.
Perbuatan adalah baik jika hanya dilakukan karena wajib dilakukan. Jadi, belum cukup
jika suatu perbuatan sesuai dengan kewajiban. Seharusnya perbuatan dilakukan
berdasarkan kewajiban. Bertindak sesuai dengan kewajiban oleh Kant disebut legalitas.
Dengan legalitas kita memenuhi norma hukum. Misalnya, tidak penting dengan motif apa
saya membayar pajak, asal saja saya bayar jumlah uang yang sesuai dengan kewajiban
saya. Tetapi dengan itu saya belum memenuhi norma moral. Saya baru baru memasuki
taraf moralitas, jika saya melakukan perbuatan semata-semata karena kewajiban. Kata
Kant, suatu perbuatan bersifat moral, jika dilakukan semata-mata “karena hormat untuk
hukumnmoral”. Dengan hukum moral dimaksudkannya kewajiban.

Terkenal juga pembedaan yang diajukan Kant antara imperatif kategoris dan
imperatif hipotetis. Kewajiban moral mengandung suatu imperatif kategoris, artinya
imperative (perintah) yang mewajibkan begitu saja tanpa syarat. Sebaliknya, imperatif
hipotetis selalu diikutsertakan sebuah syarat. Bentuknya adalah: “kalau engkau ingin
mencapai suatu tujuan, maka engkau harus menghendaki juga sarana-sarana yang menuju
ke tujuan tersebut”. Jika kita ingin lulus untuk ujian misalnya kita harus belajar dengan
tekun. Tapi sarana iyu (belajar) hanya mewajibkan kita sejauh kita ingin mencapai tujuan
(lulus). Belum tentu kita semua mempunyai tujuab itu. Bisa saja, saya hanya terdaftar
sebagai mahasiswa untuk mengisi waktu, untuk dapat menikmati berbagai fasilitas, atau
untuk bisa ikut dalam pertandingan olah raga mahasiswa sedunia, bukan untuk
menyelesailan studi di suatu fakultas. Kalau saya tidak mempunyai tujuan itu (lulus), saya
juga tidak wajib menghendaki sarananya (belajar). Di sini kewajibannya hanya hipotesis
( kalau…, maka), bertentangan dengan imperatif kategoris yang mmengikat kita tanpa
syarat apa pun. Bentuk imperatif terakhir ini adalah: “Engkau harus begitu saja?” ( Du
sollst). Imperatif kategoris ini menjiwai semua peraturan etis. Misalnya, janji harus
ditepati (senang atau tidak senang) barang yang dipinjam harus dikembalikan (juga bila
pemiliknya sudah lupa). Di bidang moral, tingkah laku manusia hanya dibimbing oleh
norma yang mewajibkan begtu saja, bukan oleh pertimbangan lain.

Langkah berikut dalam pemikiran moral Kant ini adalah menyimpulkan otonomi
kehendak. Kalau hukum moral harus dipahami sebagai imperatif kategoris, maka dalam
bartindak secara moral kehendak harus otonom dan bukan heteronom. Kehendak bersifat
otonom bila menentukan dirinya sendiri, sedangkan kehendak heteronom membiarkan diri
ditentukan oleh faktor dari luar dirinya seperti kecenderungan atau emosi. Menurut Kant,
kehendak itu otonom dengan memberikan hukum moral kepada dirinya sendiri.

Tinjauan kritis

Kita memang sering merasa terikat dengan kewajiban dalam prilaku moral kita,
sehingga tidak bisa disangkal bahwa kewajiban merupakan aspek penting dalam hidup
moral kita. Tapi ada juga kritik untuk teorinya yaitu:

a.       Sistem moral Kant merupakan suatu etika yang suram dan kaku.

b.      Sulit juga untuk diterima bahwa konsekuensi bisa diabaikan saja dalam menilai moralitas
perbuatan kita.

2.      Pandangan W.D. Ross

Ross mengatakan bahwa kewajiban untuk mengatakan kebenaran merupakan


kewajiban prima facie (pada pandangan pertama) yang berlaku sampai ada kewajiban
yang lebih panting. Ross menyusun sebuah daftar kewajiban yang semuanya merupakan
kewajiban prima facie:

1)      Kewajiban kesetiaan: kita harus menepati janji yang diadakan dengan bebas.

2)      Kewajiban ganti rugi: kita harus melunasi utang moril dan materiil.
3)      Kewajiban terima kasih: kita harus berterima kasih kepada orang yang berbuat baik
terhadap kita.

4)      Kewajiban keadilan: kita harus membagikan hal-hal yang menyenangkan sesuai dengan
jasa orang-orang bersangkutan.

5)      Kewajiban berbuat baik: kita harus membantu orang lain yang membutuhkan kita.

6)      Kewajiban mengembangkan dirinya: kita harus mengembangkan dan meningkatkan bakat


kita di bidang keutamaan, inteligensi, dan sebagainya.

7)      Kewajiban untuk tidak merugikan: kita tidak boleh melakukan sesuatu yang merugikan
orang lain (satu-satunya kewajiban yang dirumuskan Ross dalam bentuk negatif)

Anda mungkin juga menyukai