Anda di halaman 1dari 4

AKUISISI HOLCIM OLEH SEMEN INDONESIA

Latar Belakang

Semen Indonesia, perusahaan produsen semen terbesar di Indonesia, melalui Visi Misi
Perseroan 2019 menargetkan perseroan mampu menjadi penyedia bahan bangunan terbesar di
tingkat regional. Untuk mencapai target tersebut, diperlukan pertumbuhan kapasitas produksi semen
dan kendali pangsa pasar yang dominan di tanah air. Hal ini dapat dicapai melalui pertumbuhan secara
organik, ekspansi menggunakan saldo laba ditahan perusahaan, dan juga dapat dicapai secara
inorganik yang instan, melalui akuisisi dengan menggunakan hutang.

Di akhir 2018, PT SIG telah mencapai kesepakatan dengan PT Holcim Indonesia Tbk. untuk
mengakusisi perusahaan tersebut. Akusisi Holcim terealisasi pada 31 Januari 2019, ketika PT SIG
membeli 80,64% saham Holcim Indonesia dari Holdervin B.V., dengan jumlah saham yang diakuisisi
sebanyak 6,179 miliar lembar dan harga Rp 2097 per lembar, sehingga total nilai akuisisi Rp 13,47
Triliun. SIG juga melakukan penawaran Tender Wajib, sehingga kepemilikan SIG terhadap Holcim
meningkat menjadi 98,31%. PT SIG juga mewarisi hutang dari PT Holcim Indonesia, sehingga true cost
akuisisi ditambah hutang yang diwarisi adalah Rp 25,78 Triliun.

Apa tujuan dibalik strategi akuisisi Holcim oleh PT SIG?

Pertama, SIG berencana untuk memperkuat market share di tingkat nasional, terutama di area
Jabodetabek. Hal ini bisa dilihat dari perbandingan market share sebelum dan sesudah akuisisi, di
mana sebelum akuisisi market share SIG pada 2018 mencapai 39,4%, meningkat menjadi 53,4% pasca
akuisisi di 2019. Pangsa pasar yang dominan ini didorong dengan tingginya kapasitas produksi
terpasang setelah akusisi Holcim, mencapai 53 juta ton per tahun, menjadikan SIG sebagai produsen
semen terbesar di Asia Tenggara.

Dengan demikian, di samping kehadiran merk-merk semen lokal yang dimiliki SIG seperti
Semen Gresik, Semen Andalas, Semen Tonasa, dan Semen Padang, akuisisi Holcim akan memberikan
pijakan pangsa pasar yang lebih kuat di area Jabodetabek, Jawa Barat, dan Banten (kontribusi
permintaan semen di wilayah ini mencapai 27,5% permintaan nasional). Berdasarkan Laporan
Tahunan 2019, pangsa pasar SIG di area ini hanya mencapai 35,56%, sehingga pertumbuhan pangsa
pasar di wilayah regional ini dapat memberikan growth bagi profitability perusahaan.

Tujuan lain SIG dalam mengakuisisi Holcim adalah untuk melakukan diversifikasi produk,
efisiensi biaya bahan baku dan distribusi, memperkuat posisi bisnis ready mix, dan memanfaatkan
teknologi bahan bakar dari limbah yang dimiliki Holcim, untuk disinergikan secara luas di lingkup SIG.

Pasca akuisisi, SIG melakukan rebranding dengan mengubah nama Holcim Indonesia menjadi
Solusi Bangun Indonesia, dan merk dagang Holcim menjadi Dynamax.

Lantas, apakah akuisisi ini mampu memberikan keuntungan bagi perseroan, dan tujuan-
tujuan akuisisi tersebut tercapai? Murah atau mahalkah akuisisi ini?

Holcim Indonesia, diakuisisi dalam keadaan rugi, di mana pada tahun 2017 dan 2018,
perusahaan mengalami kerugian berturut-turut Rp 828 M dan Rp 758 M, terhadap pendapatan Rp 9,3
T dan Rp 10,3 T.
Salah satu komponen biaya terbesar di Holcim adalah biaya royalti atas merk, yang mencapai
5% dari pendapatan. Bila biaya royalti ini tidak ada, Holcim tetap mengalami kerugian Rp 359 M di
2017 dan Rp 240 M di 2018.

Sementara itu, PT SIG berhasil meraih net profit margin 10% di 2018 dan 6% di 2017.sehingga
rata-rata net profit margin sebesar 8%. SIG mampu mendongkrak kinerja Holcim pasca akuisisi
sehingga SBI (Holcim) mampu meraih NPM 6%, dengan laba Rp 651 M pada 2020. Selanjutnya, bila
kita bandingkan, estimasi perbandingan laba SBI terhadap cost akuisisi, maka didapat Return on
Investment (ROI) sebesar 2,52%. Nilai aset SIG pada 2018 sebesar Rp 50,7 T, sementara pada 2019
meningkat Rp 29,1 T menjadi Rp 79,8 T. Peningkatan ini hampir sama dengan true cost akuisisi sebesar
Rp 25,7 T.

Lalu dari mana SIG membiayai akuisisi Holcim? Bagaimana perbandingan Cost of Capital
dengan Return on Investmentnya?

Berdasarkan Catatan Kaki 14 Laporan Keuangan 2019, SIG menarik pinjaman jangka panjang
dari BNI Syndicate sebesar Rp 15,7 T (jatuh tempo 2025 – 2026, dengan bunga minimum 8%), dan
penerbitan obligasi Rp 4 T dengan bunga kisaran 9%.

Bila Cost of Capital diasumsikan sama dengan Cost of Debt di kisaran 8 – 9%, sementara ROI
yang diperoleh SIG dari akuisisi Holcim senilai 2,52% sejauh ini, maka dapat dikatakan akuisisi ini
mengalami kerugian. Bunga pinjaman bank dan obligasi yang harus dibayarkan oleh SIG pada 2020
mencapai Rp 2 T, sementara laba SBI yang dapat diatribusikan kepada entitas induk sebesar Rp 651
M.

Arus kas bebas (free cash flow), atau owner earnings yang dicetak oleh SBI setelah akuisisi
adalah Rp – 330 M pada 2018, dan Rp 610 M pada 2019. Bila diasumsikan SMGR mampu meraup free
cash flow SBI 2019 secara konstan untuk sepuluh tahun ke depan, maka setelah dihitung dengan
Discounted Cash Flow (discount rate 5%), didapat Present Value Rp 4,9 T, cukup jauh dibanding cost
akuisisinya. Break even point (BEP) berdasarkan free cash flow dapat tercapai di tahun ke 42.

Untuk mengukur mahal atau murahnya proses akuisisi, dapat digunakan rasio pembanding
harga beli terhadap nilai buku perusahaan yang dibeli. Nilai buku Holcim pada 2018 sebesar Rp 6,135
T. Dengan demikian, cost akuisisi Holcim ini setara dengan 4,2 kali nilai buku, nilai yang cukup mahal
bila dibanding ROI yang diterima.

Setelah mengetahui bagaimana pembiayaan akuisisi dan penilaian terhadap rugi, adakah
akuisisi Holcim oleh SIG mampu mendongkrak kinerja SIG secara keseluruhan?

1) Profitabilitas

Keterangan 2018 2019 2020


Produksi Semen 30,56 juta ton 39,71 juta ton 33,93 juta ton
Pendapatan Rp 30,69 T Rp 40,37 T Rp 35,17 T
Laba Bersih Rp 3,09 T Rp 2,37 T Rp 2,67 T
Net Profit Margin
10,06% 5,87% 7,60%
(NPM)

Meskipun produksi semen dan pendapatan menunjukkan peningkatan sekitar 30% di tahun 2019,
namun secara bottom line tidak memberi kontribusi positif terhadap laba bersih di tahun 2019. Di
tahun 2020, laba bersih tertekan Rp 2,67 T, masih lebih rendah dibanding 2018 Rp 3,09 T. Hal ini
lumrah ditemui di perusahaan yang baru saja melaksanakan akuisisi dengan hutang, di mana beban
keuangan (bunga hutang) dan biaya amortisasi menggerus laba yang dihasilkan perusahaan.

2) Arus Kas

Keterangan 2018 2019 2020


Arus Kas Operasi 4,46 T 5,61 T 7,22 T
Arus Kas Investasi - 1,79 T - 17,16 T - 2,25 T
Arus Kas Pendanaan - 1,07 T + 10,29 T - 6,00 T
Arus Kas Total + 3,64 T + 5,25 T + 3,95 T
Arus Kas Bebas + 2,67 T + 3,97 T + 5,94 T

Pasca akuisisi Holcim, arus kas operasi menunjukkan pertumbuhan hingga menjadi 7,22 T di 2020,
dengan pertumbuhan rata-rata 27,23%. Arus kas bebas (free cash flow) menunjukkan pertumbuhan
rata-rata 49,15%, dari Rp 2,67 T di 2018 menjadi Rp 5,94 T di 2020. Di sini terlihat bahwa akuisisi
mampu meningkatkan arus kas operasi perusahaan dan arus kas bebasnya. Namun, karena
pendanaan akuisisi berasal dari hutang, arus kas total tidak menunjukkan adanya perubahan yang
signifikan.

3) Solvabilitas

Keterangan 2018 2019 2020


Hutang Jangka Pendek 1,724 B 3,292 B 2,110 B
Hutang Jangka Panjang 8,348 B 25,336 B 22,511 B
Total Hutang 10,072 B 28,628 B 24,621 B
Current Ratio 1.95 1.36 1.35
Debt to Equity Ratio 0.32 0.89 0.72
Interest Coverage
5.09 1.93 2.43
Ratio

Kemampuan solvabilitas perusahaan menurun pasca akuisisi, ditunjukkan oleh kenaikan DER dari 32%
menjadi 89% di 2019 dan 72% di 2020, penurunan ICR dari 5.09x menjadi 1.93x dan 2.43x berturut-
turut di 2019 dan 2020. Rasio lancar perusahaan juga menunjukkan penurunan dari 1.95x dari 2018,
menjadi di kisaran 1.3x di 2019 dan 2020. Meskipun ada penurunan solvabilitas, namun perusahaan
masih mampu melunasi bunga hutang berkat lancarnya arus kas perusahaan.

POTENSI PASCA AKUISISI

Industri semen merupakan industri dengan branded commodity, di mana loyalitas konsumen
terhadap merk tertentu minim, sehingga perusahaan tidak memiliki pricing power yang kuat terhadap
produknya. Namun, didukung dengan pangsa pasar yang dominan (53,4%), SIG mampu meraih
keunggulan kompetitif terhadap kompetitor bisnisnya di dalam negeri dengan menciptakan
economies of scale, di mana perusahaan mampu meningkatkan efisiensi dan menambah margin laba
dengan meningkatkan volume penjualannya. Beban fixed costs industri semen yang tinggi dibanding
variable costsnya, akan tersebar di semakin banyaknya produk yang dijual, sehingga porsi fixed costs
di setiap produk dapat diminimalisir.
KESIMPULAN

SIG melancarkan aksi korporasi akuisisi terhadap Holcim pada 31 Januari 2019 dengan nilai Rp 13,47
Triliun, atau dengan true cost Rp 25,78 Triliun. Sumber dana akuisisi berasal dari hutang bank dan
obligasi. Akuisisi ini bertujuan untuk meningkatkan pangsa pasar SIG di tingkat nasional. Pasca akuisisi,
SIG menjadi produsen semen dengan kapasitas produksi 53 juta ton per tahun, terbesar di Asia
Tenggara. Secara valuasi terhadap nilai buku yang diperoleh berikut arus kas yang dihasilkan Holcim,
akuisisi ini terbilang mahal, dengan estimasi BEP 42 tahun berdasarkan pendapatan saat ini.

Pengaruh akuisisi terhadap kinerja SIG dapat dilihat dari sisi profitabilitas, arus kas, dan
solvabilitasnya. Ditinjau dari sisi profitabilitas, SIG mampu mendongkrak pendapatan, namun laba
yang dihasilkan belum menunjukkan kenaikan yang berarti dibanding sebelum akuisisi. Sementara itu,
efek akuisisi terasa positif di arus kas operasi perusahaan dan arus kas bebasnya, walau arus kas total
yang dihasilkan tidak mengalami perubahan signifikan. Sisi solvabilitas menunjukkan kemampuan
solvabilitas yang menurun, ditandai dengan kenaikan DER dan penurunan ICR, namun secara umum
perusahaan memiliki kemampuan yang cukup untuk membayar hutang.

Potensi pasca akuisisi ke depannya, diharapkan dengan adanya pangsa pasar yang dominan di dalam
negeri pasca akuisisi Holcim, SIG mampu menciptakan economies of scale, sehingga SIG mampu
meraih keunggulan kompetitif dibanding kompetitor bisnisnya di dalam negeri.

Anda mungkin juga menyukai