Anda di halaman 1dari 31

#PERCUMASPEAKUP: MAHASISWA UNRI YANG MENCARI KEADILAN

DIBALIK TEKANAN

KARYA TULIS ILMIAH

Disusun Guna Memenuhi Syarat Penilaian Akhir Semester Genap

Mata Kuliah Pendidikan Pancasila

Program Studi Teknologi Kontruksi Bangunan Gedung

Politeknik Pekerjaan Umum

DISUSUN OLEH:

ANTHONY ERBA PRAKOSA


NIM 213005

MATA KULIAH:

PENDIDIKAN PANCASILA

DOSEN PENGAMPU:

INDIRA LAKSMI WIDURI, S.H., LL.M.


NIP.197912012005022002

PRODI TEKNOLOGI KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG


POLITEKNIK PEKERJAAN UMUM SEMARANG
TAHUN 2022
i
#PERCUMASPEAKUP: MAHASISWA UNRI YANG MENCARI KEADILAN
DIBALIK TEKANAN

Oleh

Anthony Erba Prakosa

Abstrak

Pelecehan seksual sering kali muncul di sekitar kita, terutama sering merugikan pihak
perempuan. Pelecehan seksual diartikan sebagai suatu keadaan yang tidak dapat diterima, baik secara
lisan, fisik atau isyarat seksual dan pernyataan-pernyataan yang bersifat menghina atau keterangan
seksual yang bersifat membedakan. Tidak hanya di lingkungan masyarakat, pelecehan seksual juga
kerap ditemui di lingkungan pendidikan. Lingkungan yang identik dengan ilmu pengetahuan dan
pengembangan diri oleh karena oknum menjadi sebuah tempat yang mengerikan bagi orang-orang yang
menjadi korban para oknum yang tak bertanggung jawab. Seperti halnya kasus yang menimpa
mahasiswi Universitas Riau (UNRI) jurusan Hubungan Internasional Angkatan 2018 dengan berkedok
bimbingan skripsi, dosen dengan mudah melecehkan mahasiswinya sendiri. Alih-alih mendapatkan
keadilan, pelaku pelecehan seksual terhadap mahasiswi UNRI malah divonis bebas oleh Pengadilan
Negeri Pekanbaru. Dengan dalih bukti tidak cukup dan korban diancam dengan tuntutan pencemaran
nama baik dan UU ITE selain itu korban juga di tuntut ganti rugi sebesar Rp 10 miliar.

Penelitian ini berargumen bahwa setiap mahasiswa Indonesia berhak mendapatkan


perlindungan terhadap tindak kekerasan seksual yang berada di lingkungan kampus. Sebagai negara
hukum, Indonesia seharusnya bertindak untuk mewujudkan sebuah instrumen hukum dalam rangka
memajukan keadilan terutama pada korban pelecehan seksual. Equality before the law (EBL) sendiri
menegaskan bahwa asas penting dari suatu negara hukum ialah asas persamaan di hadapan hukum dan
dalam asas tersebut menegaskan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan
hukum dengan tidak ada pengecualian. Artinya, dalam penegakan hukum semua warga negara
mempunyai kedudukan yang sama. Jika semua orang sama di mata hukum bukankah tidak ada bedanya
antara dosen dan mahasiswi dalam mencari keadilan? Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk
menegaskan bahwa baik dosen atau mahasiswa/i memiliki kedudukan yang sama di depan hukum
sehingga diharapkan lewat penelitian ini dapat membuka wawasan baru tentang pentingnya peran pihak
penegak hukum dan pihak kampus sebagai penyelesai masalah pelecehan seksual di lingkungan
perguruan tinggi.

Kata kunci : Pelecehan seksual, hukum, mahasiswi, keadilan

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................................. iii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................. 1


1.2 Rumusan masalah ........................................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................................... 2
1.4 Manfaat penelitihan ..................................................................................................... 2
1.5 Metode Penelitian ........................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 4

2.1 Pelecehan seksual ........................................................................................................ 4


2.2 Hubungan antara pelecehan seksual dengan kekerasan seksual .................................. 7
2.3 Latar belakang terjadinya pelecehan seksual ............................................................... 8
2.4 Latar belakang terjadinya pelecehan seksual di lingkungan perguruan tinggi ............ 9
2.5 Permasalahan yang dialami mahasiswa UNRI .......................................................... 11
2.6 Upaya penyelesaian pihak kampus terkait dengan masalah yang telah dialami
mahasiswi UNRI yang mengalami pelecehan seksual .............................................. 12
2.7 Upaya penyelesaian pihak pengadilan dan penegak hukum terkait dengan masalah
yang dialami mahasiswi UNRI yang mengalami pelecehan seksual ......................... 13
2.8 Peran hukum dalam mengupayakan keadilan bagi mahasiswi yang mengalami
pelecehan seksual....................................................................................................... 15
2.9 Upaya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia (Kemendikbudristek RI) dalam mewujudkan lingkungan perguruan tinggi
yang aman dari kekerasan seksual ............................................................................. 18
BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 22

3.1 Kesimpulan .................................................................................................................... 22


DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 24

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Teori kebutuhan Maslow.................................................................................................. 12

iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelecehan seksual merupakan salah satu dari 15 bentuk kekerasan seksual menurut
Komnas Perempuan. Sedangkan kekerasan seksual sendiri menurut World Health
Organization (WHO) adalah setiap tindakan seksual, usaha melakukan tindakan seksual,
komentar atau menyarankan untuk berperilaku seksual yang tidak disengaja at aupun
sebaliknya, tindakan pelanggaran untuk melakukan hubungan seksual dengan paksaan
kepada seseorang. Pelecehan seksual dan kekerasan seksual di Indonesia merupakan suatu
isu hangat yang sering dibicarakan akhir akhir ini, bahkan hingga saat ini isu pelecehan
seksual menjadi sebuah polemik yang tidak pernah selesai sejak lama. Dikutip dari Simfoni
PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) data terakhir pada 1
Januari 2022 kasus kekerasan seksual mencampai angka 10.833 kasus yang terdiri dari
1.683 korban laki-laki dan 10.046 merupakan korban perempuan.

Pelecehan seksual yang menimpa perempuan bukan hanya ditemukan pada


lingkungan sosial, pelecehan seksual sudah mulai menggerogoti lingkungan pendidikan
yang hakikatnya sebagai tempat orang menuntut ilmu. Karena keterbatasan kuasa, korban
hanya dapat menyimpan dalam-dalam hal yang telah terjadi kepadanya. Yang menjadi
persoalan adalah bagaimana mungkin sebuah lingkungan Pendidikan yang terkenal sebagai
tempat menuntut ilmu dan tempat pembentuk karakter seseorang dapat menjelma sebagai
tempat yang menyeramkan bagi korban pelecehan seksual.

Banyak orang ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi terbaik di


Indonesia. Salah satu mahasiswi tersebut memilih melanjutkan pendidikan di UNRI alih-
alih mendapatkan bimbingan skripsi mahasiswi malah mendapatkan pelecehan seksual
yang seharusnya tidak terjadi di dalam dunia pendidikan. Keadilanpun tidak berpihak pada
korban namun sebaliknya korban dituntut pelaku dengan tuntutan pencemaran nama baik
dan UU ITE selain itu korban juga di tuntut ganti rugi sebesar Rp 10 miliar. Karena
ketidakadilan tersebut yang menjadi daya tarik penulis untuk meneliti dan menuangkan
dalam sebuah karya tulis yang berjudul “#PERCUMASPEAKUP: MAHASISWA UNRI
YANG MENCARI KEADILAN DIBALIK TEKANAN”

1
1.2 Rumusan masalah

1. Apa itu pelecehan seksual?


2. Apa hubungan antara pelecehan seksual dengan kekerasan seksual?
3. Bagaimana latar belakang terjadinya pelecehan seksual dapat terjadi?
4. Bagaimana latar belakang terjadinya pelecehan seksual di lingkungan perguruan
tinggi?
5. Apa yang dialami mahasiswa UNRI?
6. Bagaimana upaya penyelesaian pihak kampus terkait dengan masalah yang telah
dialami mahasiswi UNRI yang mengalami pelecehan seksual?
7. Bagaimana upaya penyelesaian pihak pengadilan dan penegak hukum terkait dengan
masalah yang dialami mahasiswi UNRI yang mengalami pelecehan seksual?
8. Bagaimana peran hukum dalam mengupayakan keadilan bagi mahasiswi yang
mengalami pelecehan seksual?
9. Bagaimana upaya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Republik Indonesia (Kemendikbudristek RI) dalam mewujudkan lingkungan
perguruan tinggi yang aman dari kekerasan seksual?

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian bertujuan untuk memenuhi syarat penilaian akhir semester genap mata
kuliah Pendidikan Pancasila dan memengetahui upaya-upaya pihak terkait dalam
menyelesaikan permasalahan yang terjadi.

1.4 Manfaat penelitihan

1. Untuk mengetahui apa itu pelecehan seksual


2. Untuk mengetahui hubungan antara pelecehan dan kekerasan seksual
3. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya pelecehan seksual
4. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya pelecehan seksual di lingkungan
perguruan tinggi
5. Untuk mengetahui permasalahan yang dialami mahasiswa UNRI
6. Untuk mengetahui upaya penyelesaian pihak kampus terkait dengan masalah yang
telah dialami mahasiswi UNRI yang mengalami pelecehan seksual
7. Untuk mengetahui upaya penyelesaian pihak pengadilan terkait dengan masalah yang
dialami mahasiswi UNRI yang mengalami pelecehan seksual
8. Untuk mengetahui peran hukum dalam mengupayakan keadilan bagi mahasiswi yang
mengalami pelecehan seksual.

2
9. Untuk mengetahui upaya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Republik Indonesia (Kemendikbudristek RI) dalam mewujudkan lingkungan
perguruan tinggi yang aman dari kekerasan seksual.

1.5 Metode Penelitian


Penulisan karya tulis menggunakan metode penelitian studi literatur dengan
mengumpulkan informasi yang bersumber dari berbagai jurnal, Undang-Undang,
berita dan artikel.

3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pelecehan seksual
Pelecehan seksual memiliki rentang yang sangat luas, mulai dari
ungkapan verbal (komentar, gurauan dan sebagainya) yang jorok, perilaku tidak
senonoh (mencolek, meraba, mengelus, memeluk dan sebagainya),
memperlihatkan gambar porno, atau bahkanmemberikan serangan atau paksaan
yang seharusnya tak patut dilakukan, memaksa untuk mencium atau memeluk,
mengancam akan menyulitkan si perempuan perempuan bila menolak untuk
memberikan pelayanan seksual, hingga pemerkosaan.1 Istilah pelecehan seksual
juga dapat mengacu pada sebuah perbuatan tercela yang merugikan suatu individu
dengan melakukan suatu kegiatan yang bertentangan dengan norma kesusilaan.
Sehingga pelecehan seksual

Meyer dkk. (1987) menyatakan secara umum ada tiga aspek penting
dalam mendefinisikan pelecehan seksual yaitu aspek perilaku (apakah hal itu
merupakan proposisi seksual), aspek situasional (apakah ada perbedaan di
mana atau kapan perilaku tersebut muncul) dan aspek legalitas (dalam
keadaan bagaimana perilaku tersebut dinyatakan ilegal).2

a. Aspek perilaku
Pelecehan seksual sebagai sebuah rayuan yang tidak diterima
penerimanya dan rayuan yang muncul dapat berupa bentuk
fisik,verbal ataupun searah. Pada masyarakat pelecehan seksual
memiliki bentuk umum seperti verbal atau godaan secara fisik. Bentuk
verbal dapat berupa bujukan seksual yang tidak diharapkan, guraunan
yang berbau sex, pesan yang merendahkan, pesan untuk melakukan
tindakan sex, berkomentar yang berbau sexist dan sebagainya.
Pelecehan seksual dalam bentuk godaan fisik termasuk
pandangan yang menunjukkan bagian tubuh (menatap payudara,
pinggul atau bagian tubuh lainnya), pandangan menggoda dan mata
yang berkedip, palpasi; termasuk mencubit, meremas, menggelitik,

1
Andi Suci Syifawaru, Mulyati Pawennei, and Ahmad Fadil, ‘Tinjauan Kriminolgi Terhadap
Residivis Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pelecehan Seksual’, Journal of Lex Generalis
(JLS), 3.2 (2022).
2
Buletin Psikologi and X I Tahun, Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan Di Tempat Kerja,
2003.

4
berpelukan, dan berciuman, pelecehan seksual seperti meraba-raba
atau berciuman yang terjadi karena situasi yang sangat mendukung
seperti di lift, koridor dan tempat-tempat sepi lainnya setelah bekerja,
penawaran janji dengan imbalan promosi atau persuasi perempuan
untuk mencium, dorongan seksual, tekanan halus untuk aktivitas
seksual, percobaan perkosaan dan pemerkosaan diri. Dari sudut
pandang situasional, pelecehan seksual dapat terjadi di mana saja dan
dalam keadaan tertentu.perempuan sebagai korban pelecehan seksual
dapat berasal dari setiap ras,umum, karakteristik, status perkawinan
kelas sosial dan sebagainya.3

b. Aspek situasional
Pelecehan seskual dapat terjadi dimana saja dan kapanpun
saja dengan kondisi tertentu. Dan korban dari sebuah pelecehan
seksual tidak memandang ras, umur, karakteristik, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, bahkan status sosial.

c. Aspek legalitas

Dalam kasus pelecehan seksual yang, sebagian besar korban adalah


perempuan dan pelakunya adalah laki-laki. Dengan demikian, urgensi membahas
pelecehan seksual terhadap perempuan memang didukung fakta yang kuat tanpa
harus menafikan kenyataan yang sebaliknya. Kejahatan kesusilaan atau moral
offences dan pelecehan seksual atau sexual harassment merupakan dua bentuk
pelanggaran atas kesusilaan yang bukan saja merupakan masalah hukum nasional
suatu negara melainkan sudah merupakan masalah hukum semua negara di dunia
atau merupakan masalah global.

Dalam sebuah kasus pelecehan seksual, sebgian korbannya merupakan


kaum perempuan. Karena hanya sebuah pandangan yang menganggap laki laki
sebagai superior dan perempuan dianggap inferior. Dari hal tersebut penyebab

3
Higgins, L.P,& Hawkins,J.W., Human Sexuality Across the Life Span: Implication for Nursing
Practice. California: Woodsworth Health Science Devision, 1986.

5
terjadinya kekerasan pada perempuan berkaitan dengan faktor yang menjadi cara
seorang laki- laki untuk menunjukan kekuasaannya dengan cara:
a. Kekuasaan patriartki (patriarki power)
Sistem patriarki yang mendominasi kebudayaan masyarakat,
sehingga masyarakat akan mengarahkan pada ketidaksetaraan gender
sehingga munculah konstruksi pemikiran dlam diri masyarakat bahwa
laki-lakilah yang memegang kendali dalam kehidupan.
b. Hak istimewa (privilege)
Pandangan masyarakat bahwa anak laki-laki merupakan
segalanya sehingga minimbulkan perspektif bahwa anak laki-laki
harus mendapatkan semua hal yang terbaik. Hal tersebut didukung
dengan banyaknya orang yang rela untuk kawin cerai demi
mendapatkan seorang anak laki-laki sehingga kelahiran suatu anak
laki-laki merupakan sebuah emas yang harus dijaga. Berbanding
terbalik dengan anak perempuan, mereka tidak mendapatkan sebuah
hak istimewa sehingga terjadinya perbedaan kualitas sehingga
munculah sebuah pandangan bahwa laki laki di identikan sebagai
aktor utama yang melanggengkan dominasi atas kaum perempuan
dalam susunan masyarakat patriarki.
c. Sikap pesimis atau memperbolehkan (permission)

Selain karena 3 faktor diatas, perempuan juga dapat menjadi penyebab


tingginya tingkat kekerasan seksual. Hal ini dapat terjadi ketika perempuan yang
menjadi korban justru memilih untuk menutup diri dan tidak melakukan
perlawanan apa pun sebab menganggap bahwa kejadian yang dialaminya sebagai
sesuatu yang memalukan. Dengan adanya pandangan tersebut, akan sulit bagi
pelaku untuk menghentikan perbuatan buruknya karena pelaku akan menganggap
bahwa apa yang dilakukannya selama ini tidak merugikan korban.

6
2.2 Hubungan antara pelecehan seksual dengan kekerasan seksual
Kekerasan terhadap perempuan dapat didefenisikan secara
sederhana sebagai segala bentuk perilaku yang dilakukan kepada
perempuan yang memunculkan akibat psikis berupa perasaan tidak
nyaman dan perasaan takut hingga akibat berupa perlukaan fisik.4

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, kekerasan


seksual didefinisikan sebagai segala perilaku yang dilakukan dengan
menyasar seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa persetujuan,
dengan unsur paksaan atau ancaman, termasuk perdagangan perempuan
dengan tujuan seksual, dan pemaksaan prostitusi.5

Menurut Winarsunu (2008), pelecehan seksual adalah segala


macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara
sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat berupa
ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual.
6
Dilecehkan secara seksual dapat berdampak pada Kesehatan psikologis,
kesejahteraan fisik, dan perkembangan kejuruan. Reaksi psikologis dan
fisik untuk dilecehkan mungkin termasuk:

REAKSI FISIOLOGIS

a. Sakit kepala ,gangguan gastrointestinal


b. Gangguan tidur, mimpi buruk
c. Kelesuan
d. Reaksi dermatologis
e. Fluktuasi berat badan

REAKSI PSIKOLOGIS

a. Depresi, kecemasan, syok, penyangkalan

4
Yonna Beatrix Salamor and Anna Maria Salamor, ‘Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan (
Kajian Perbandingan Tiongkok . Kekerasan Terhadap Perempuan Di India Merujuk Pada
Kekerasan Fisik Atau Diwujudkan Di India . Penegakan Hukum Terhadap Kekerasan Perempuan
Di India’, 2.1 (2022), 7–11.
5
https://nasional.tempo.co/read/1557395/ini-beda-kekerasan-seksual-dengan-pelecehan-
seksual#:~:text=Kekerasan%20seksual%20ini%20dapat%20terjadi,fisik%20maupun%20kontak%
20non%2Dfisik. Diakses pada tanggal 02 Juli 2022 pada pukul 01.39 WIB
6
Susi Wiji Utami, ‘Hubungan Antara Kontrol Diri Dengan Pelecehan Seksual PAda Remaja DI
Unit Kegiatan Mahasiswa Olahraga Universitas Muhammadiyah Purwerkerto’, 2016, 1–57.

7
b. Kebingungan, perasaan tidak berdaya
c. Marah, takut, frustasi, mudah tersinggung
d. Rasa malu, kesadaran diri, harga diri rendah
e. Ketidakamanan, rasa malu, perasaan dikhianati

EFEK TERKAIT KARIR

a. Menurunnya kepuasan kerja


b. Absensi
c. Evaluasi kinerja yang tidak menguntungkan
d. Penarikan diri dari pekerjaan atau sekolah
e. Kehilangan pekerjaan atau promosi

Sehingga dapat ditari kesimpulan bahwa pelecehan termasuk


dalam 15 bentuk kekerasan seksual sehingga dapat di artikan bahwa
pelecehan seksual merupakan lingkup dari kekerasan seksual.

2.3 Latar belakang terjadinya pelecehan seksual


Tangri, Burt dan Johns (1982) mengemukakan model
sosiokultural mengenai pelecehan seksual. Menurut model ini, pelecehan
seksual merupakan sebuah menifestasi dari besarnya sistem patriarki
dimana laki-laki merupakan pengatur kepercayaan sosial. Dan model ini
menyatakan, dominasi laki-laki diperlukan oleh pola budaya yang
mengatur interaksi laki-laki dan perempuan sebaik peraturan ekonomi dn
politik. Masyarakat menhajar laki-laki untuk berperilaku agresif dan
mendominasi secara seksual (maskulin) dan perempuan untuk kepasifan
dan penerimaan (feminism). Anggota setiap jenis kelamin diasosiasikan
untuk memainkan peranny masing-masing. Perempuan dilatih untuk
menjadi menarik secara seksual, untuk tidak mempercayai penilaian
mereka sendiri terhadap apa yang terjadi pada diri mereka, dan merasa
bertanggung jawab terhadap pengorbanan diri mereka, yang menyebabkan
mereka mudah terserang pelecehan seksual.7

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa karena ketidak


sadaran kolektif laki-laki pelecehan dapat terjadi itu semua juga akibat dari
akar struktur gender yang telah tertanam lama didalam pemikiran

7
Tangri, S.S., Burt, M.R., & Johnson, L.B. 1982. Sexual Harassment at Work: Three Explanatory
Model. Journal of Social Issues, 35, 33-54.

8
masyarakat yang sebenarnya merugikan kaum perempuan. Hal tersebut
juga didukung dengan penanaman sifat feminim dalam diri perempuan dan
sifat maskulin dalam diri lakilaki sjak kecil. Makadari itu sebuah
pelecehan seksual terjadi akibat pengondisian sosial dalam masyarakat
yang masih memegang budaya patriarki dimana lelaki selalu dominan dan
kekuasaan selalu dipegang oleh laki laki sehingga perempuan hanya
dipandang sebagai sebuah subordinat yang boleh di remehkan.

2.4 Latar belakang terjadinya pelecehan seksual di lingkungan


perguruan tinggi
Latar belakang terjadinya pelecehan seksual di individu karena
adanya beberapa faktor antara lain:

a. Adanya rekasi kuasa antara korban dan pelaku pelecehan


seksual

Pada beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di


lingkungan perguruan tinggi di Indonesia. Ketimpangan
kekuasaan antara korban dan pelaku menjadi salahsatu faktur
yang melatar belakangi terjadinya kasus pelecehan seksual.
Sebagai contohnya pada kasus kekerasan seksual yang
menimpa mahasiswi UNRI. Pelaku memiliki posisi yang lebih
tinggi daripada korban, pada kasus mahasiswi UNRI, pelaku
merupakan dosen pembimbing tugas akhir yang memiliki
pengaruh besar terhadap korban, yang posisinya sebagai
mahasiswi. Pada kasus ini memperlihatkan adanya kuasa yang
tidak imbang di antara pelaku dan korban. Dalam kasus
tersebut korban pelecehan seksual dibuat seakan berada
dibawah kekuasaan pelaku karena ada pembatas antara pelaku
dan korban berupa jabatan sehingga korban tidak berani
melakukan hal-hal yang seharusnya dapat dilakukan korban.

9
b. Masih berkembangya budaya patriarki di lingkungan
Pendidikan
Tidak bisa dipungkiri bahwa pelecehan seksual terjadi
karena adanya sebuah relasi kuasa yang membuat korban pada
umumnya perempuan terjebak dalam sebuah hubungan yang
intimidatif. Pada lingkungan perguruan tinggi yang
didominasi oleh laki-laki tercipta karena adanya pengaruh
budaya patriarki di lingkungan pendidikan sehingga
partisipasi perempuan dalam lingkungan akademik kurang.
Karena terlpeliharanya budaya petriarti, mengakibatkan
kurangnya Tindakan, kebijakan dan keputusan oleh para
petinggi kampus yang didominasi oleh laki laki apabila terjadi
pelecehan seksual.

c. Adanya konstruksi sosial yang keliru dalam masyarakat

Konstruksi sosial yang keliru dalam masyarakat


membuat para pelaku pelecehan seksual menganggap bahwa
pelecehan seksual merupakan hal yang tidak akan dibahas
dalam masyarakat. Masyarakat cenderung menyalahkan
korban atas kejadian yang terjadi atau victim blaming
sehingga hal tersebut akan membuat korban leluasa
melancarkan aksinya karena mereka berlindung dibalik
stigma yang telah dibangun oleh masyarakat itu sendiri.
Masyarakat juga cenderung memaklumi pelaku pemerkosaan
8
serta memperkuat perbedaan kuasaan berbasis gender.
Karena stigma itulah maka pelecehan seksual menjadi isu
yang tabu untuk dibicarakan dan membuat kejadian pelecehan
seksual di lingkungan pendidikan terus terjadi. Perguruan
tinggi tidak mengungkapkan isu mungkin karena takut jika
akreditasi akan turun. Karena hal-hal tersebut para pelaku
lebih bebas melakukannya dilingkungan pendidikan.

8
Richmond-Abbott, M. (1992). Masculine and Feminine. New York: McGraw-Hill.
Ryan, W. (1976). Blaming the Victim. New York: Vintage Books.

10
d. Perspektif feminisme dalam kasus perempuan sebagai korban
pelecehan seksual
Masyarakat memandang bahwa perempuan memiliki
kedudukan yang lebih rendah. Sehingga oknum tak
bertanggungjawab yang berada di lingkungan perguruan
tinggi cecara mentah tanpa menlaah menjadikan stigma
tersebut sebagai acuan untuk menjadikan perempuan
sebagi korban pelecehan seksual. Selain itu, korban yang
telah dilecehkan dalam lingkungan masyarakat dijadikan
sebuah objek terpojok untuk disalahkan karena dianggap
telah mengundang pelaku untuk berbuat pelecehan.

2.5 Permasalahan yang dialami mahasiswa UNRI


Permasalah yang dialami oleh mahasiswi UNRI merupakan
permasalahan pelecehan seksual yang melibatkan Dekan nonaktif
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNRI, Syafri Harto dan mahasiswa
bimbingannya berinisial L. Dikutip dari situs Tempo, pelecehan seksual
ini bermula ketika korban selesai bimbingan, korban menyatakan Syafri
Harto menggenggam bahu korban dan mendekatkan badannya. Lalu
pelaku memegangi kepala korban dan mencium pipi kiri serta kening
korban. "Dia juga mencoba mendongakkan kepala dan berkata 'Mana
bibir? Mana bibir?" tuturnya. Korban akhirnya mendorong pelaku
9
kemudian berlari meninggalkan kampus dengan perasaan takut. Jika
ditinjau pada UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual pada Bab 2 pada pasal 6 menyebutkan bahwa “Setiap
Orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau
perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau
memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan
seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan
cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).” Namun, pada kenyataannya

9
https://nasional.tempo.co/read/1577206/kronologis-lengkap-vonis-bebas-kasus-pelecehan-
seksual-syafri-harto-dekan-unri Diakses pada tanggal 02 Juli 2022 pada pukul 14.47 WIB

11
korban malah diancam pelaku dengan tuntutan pencemaran nama baik dan
UU ITE. Tidak hanya itu korban juga dituntut oleh korban untuk
mengganti rugi sebanyak 10 milyar rupiah. Selain itu, korban juga harus
menerima pil pahit dikala hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru
memutuskan Syafri Harto tak terbukti secara sah bersalah melakukan
tindak pidana sebagaimana dakwaan JPU. Karena itu, hakim menyatakan
Syafri Harto dibebaskan dari segala dakwaan dan terdakwa harus
dibebaskan. Hakim menilai unsur dakwaan baik primer dan subsider tidak
terpenuhi.

2.6 Upaya penyelesaian pihak kampus terkait dengan masalah yang


telah dialami mahasiswi UNRI yang mengalami pelecehan seksual
Perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan sangat diharapkan
untuk dapat mencetak mahasiswa/i yang memiliki sebuah karakter yang
luhur dan berintelektual dengan cara menerapkan memenuhi kebutuhan
dengan mengacu pada sebuah teori psikogi yang dikenal dengan Hierarki
kebutuhan Maslow. Abraham Maslow beranggapan bahwa kebutuhan-
kebutuhan di tingkat yang lebih rendah harus terpenuhi atau paling tidak
cukup terpenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan-kebutuhan di tingkat
yang lebih tinggi menjadi hal yang memotivasi.10

Gambar 2. 1 Teori kebutuhan Maslow

10
Feist, Jess (2010). Teori Kepribadian : Theories of Personality. Salemba Humanika. hlm. 331.
ISBN 978-602-85555-18-0.

12
Dikutip dari detiknews, korban mengaku ditekan dan diancam
agar tidak melaporkan kasus itu pada saat akan menemui ketua jurusan
untuk melaporkan kasus yang dialami korban dengan alasan kasus tersebut
dapat menceraikan Syafri Harto dengan istrinya. Dari alasan tersebut
terlihat pihak kampus menggunakan asas praduga tak bersalah dalam
kasus pelecehan seksual yang dialami mahasiswi sebagai senjata untuk
menyalahkan pihak pelapor atau korban. Sehingga di indikasi bahwa pihak
kampus justru menyalahkan korban atas hal yang sudah terjadi seolah-olah
korbanlah yang menjadi biang kerok kasus pelecehan seksual yang
melibatkan Syafri Harto dan mahasiswi tersebut. Dari hal tersebut terlihat
juga seakan petinggi kampus ingin berusaha untuk menjaga reputasi
kampus terkait.

Ditinjau dari kasus yang di alami oleh mahasiswi UNRI, karena


adanya tekanan dari pihak luar dan dalam kampus melalui demo-demo
yang dilakukan mahasiswa, kampus akhirnya terbuka dan mengupayakan
keamanan kapada mahasiswi yang telah menjadi korban pelecehan
seksual. Upaya yang telah dilakukan pihak perguruan tinggi adalah
pertama-tama dengan menonaktifkan sementara Syafri Harto sebagai
tenaga pendidik dan dekan FISIP, meminta Kemendikbudrikstek bentuk
tim pendamping rector guna menindaklanjuti kasus dugaan pelecehan
seksual yang dilakukan oleh Syafri Harto. UNRI juga akhirnya melakukan
terobosan baru dengan membahas rancangan Peraturan Rektor terkait
pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan
kampus guna menindak lanjuti dugaan kasus pelecehan seksual yang
dilakukan Syafri Harto. Dengan adanya upaya tersebut, perguruan tinggi
ingin mewujudkan rasa nyaman dan aman kepada mahasiswa/i. namun
seharusnya pihak kampus dari awal harus melakukan hal tersebut dengan
kesadaran hati nurani bukan karena adanya protes dan demo baru ada
pergerakan dari pihak kampus.

2.7 Upaya penyelesaian pihak pengadilan dan penegak hukum terkait


dengan masalah yang dialami mahasiswi UNRI yang mengalami
pelecehan seksual
Pengertian peradilan menurut Sjachran Basah, adalah segala
sesuatu yang berkaitan dengan tugas dalam memutus perkara dengan

13
menerapkan hukum, menemukan hukum in concreto dalam
mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materil, dengan
menggunakan cara procedural yang ditetapkan oleh hukum formal.11

Jalur hukum telah yang ditempuh oleh korban pertama tama


dengan melaporkan kasus pelecehan seksual yang alami ke Polresta
Pekanbaru. Polresta Pekanbaru menindaklanjuti aduan melalui Direktorat
Reserse Kriminal Umum (Diteskrimum) Polda Riau menetapkan Syafri
Harto sebagai tersangka. Buntut dari penetapan tersangka bagi Syafri
Harto, Kejaksaan Negeri Pekanbaru menahan Syafri Harto karena
Kejaksaan Tinggi Riau mengkhawatirkan yang bersangkutan dapat
menghilangkan barang bukti, mempersulit atau bahkan mengulangi
perbuatannya. Dikutip dari artikel Tempo, Dalam sidang itu kuasa hukum
Syafri Harto, Dodi Fernando menilai dalam surat dakwaan tersebut ada
beberapa yang perkara yang tidak teruraikan secara jelas.Salah satunya
pasal pencabulan menjerat terdakwa ada unsur kekerasan atau ancaman
kekerasan, namun dalam uraian peristiwa tidak terurai. Dodi juga menilai
bahwa kasus ini terlalu dipaksakan sebab hanya keterangan korban yang
12
menjadi dasar penegakan hukum perkara ini. Dalam persidangan
selanjutnya JPU menghadirkan tiga ahli aksi. Saksi ahli pidana Prof Dr
Ismansyah menyebutkan, dalam kasus pelecehan seksual pada umumnya
tidak ada saksi lain kecuali korban dan terdakwa. Sehingga tidak adanya
saksi tidak dapat dipastikan tidak ada unsur pidana. JPU mendakwa Syafri
Harto dengan pasal 289 KUHP tentang pencabulan dan pihaknya
mengajukan Syafri Harto dengan hukuman tahanan selama tiga tahun
penjara. Tuntutan untuk mengganti uang yang dikeluarkan korban untuk
kasus ini sebesar Rp 10.700.000 juga diajukan JPU kepada pelaku. Namun
dalam Pengadilan Negeri Pekanbaru, hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru
memutuskan Syafri Harto tak terbukti secara sah bersalah melakukan
tindak pidana sebagaimana dakwaan JPU. Karena itu, hakim menyatakan
Syafri Harto dibebaskan dari segala dakwaan dan terdakwa harus

11
Sjachran Basah, Mengenal Peradilan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 9
12
https://nasional.tempo.co/read/1577206/kronologis-lengkap-vonis-bebas-kasus-pelecehan-
seksual-syafri-harto-dekan-unri?page_num=2 Diakses pada tanggal 02 Juli 2022 pada pukul 22.28
WIB

14
dibebaskan. Hakim menilai unsur dakwaan baik primer dan subsider tidak
terpenuhi.

Hal tersebut sangat disayangkan, bukankah setiap manusia


Indonesia berhak mendapatkan sebuah keadilan dibalik kasus yang telah
dialami? Bukakah sudah ada dasar hukum yang jelas seperti Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili
Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum salah satunya pasal 3
menyebutkan bahwa “Pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan
dengan hukum bertujuan agar hakim menjamin hak perempuan terhadap
akses yang setara dalam memperoleh keadilan”.Selain Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017, UU No. 12 Tahun 2022 tentang
Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga memiliki tujuan yang samauntuk
memastikan proses peradilan kekerasan seksual lebih adil bagi perempuan.

Namun demikian, majelsi hakim yang memutuskan perkara pada


kenyataanya mengabaikan peraturan ini. Sehingga hal ini menunjukan
bahwa bias gender yang terjadi di dunia peradilan tidak cukjup
diselesaikan dengan menciptakan sebuah undang-undang ataupun
peraturan. Karena percuma saja diciptakan sebuah undang-undang baru
ataupun peraturan baru namun tidak ada pengawas yang mengawasi
pelaksanaan undang-undang yang dibuat.

2.8 Peran hukum dalam mengupayakan keadilan bagi mahasiswi yang


mengalami pelecehan seksual
Pelecehan seksual termasuk tindakan kekerasan terhadap kaum
perempuan sebagai suatu hal yang perlu digugat karena hal tersebut
merupakan sebuah manifestasi ketidakadilan yang berhubungan dengan
peran dan perbedaan gender, disamping manifestasi lainnya seperti
marginalisasi, sub-ordinasi,pelabelan negatif/stereotype terhadap kaum
perempuan.13

13
Fakih, Mansour. 1996, November. “Gender Sebagai Analisis Sosial”. Jurnal Analisis Sosial.
Edisi 4: 7-20.

15
Sebuah perilaku pelecehan seksual sebagai sebuah perbuatan
tercela yang diukur dengan adanya pelanggaran terhadap norma-norma
atau kaedah yang sudah berakar pada nilai-nilai social-budaya sebagai
sebuah sistem tata kelakuan dan pedoman terhadap tindakan masyarakat,
yang menyangkut norma keagamaan, kesusilaan dan hukum. Sedangkan
kaedah hukum tersebut terhimpun pada suatu sistem hukum yang pada
hakekatnya merupakan konkretisasi dari nilai-nilai social budaya yang
terwujud dan terbentuk dari sebuah kebudayaan dalam masyarakat atau
kebudayaan khusus dari bagian masyarakat. 14

Jadi dapat disimpulkan bahwa pelecehan merupakan suatu


kejahatan yang merugikan kaum perempuan. Sehingga diperlukan sebuah
sistem dimana untuk melindungi kaum perempuan dan mengupayakan
keadilan bagi perempuan yang menjadi korban dari pelecehan seksual.
Sistem tersebut disebut hukum yang dimana pada pada dasarnya sebuah
hukum diciptakan untuk mengatur seseorang untuk berbuat sesuatu yang
dianggap benar dimata hukum. Pada kasus ini hukum memiliki peran yang
sangat penting dalam memperjuangkan sebuah keadilan dan kebenaran
dalam sebuah tatanan sosial.

Hukum memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan


keadilan pada kasus pelecehan seksual, hal tersebut dibuktikan dengan
dibuatnya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi
Manusia (HAM) khususnya pada pasal 45 yang menyebutkan bahwa “Hak
asasi perempuan adalah hak asasi manusia”. Karena hak asasi perempuan
termasuk hak asasi manusia, maka hak asasi perempuan wajib untuk
dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi,
atau bahkan dirampas oleh siapapun. Suatu tindak kekerasan terhadap
perempuan menjadi sebuah perhatian khusus sehingga ditetapkan sebuah
isntrumen hukum internasional sebagai berikut:

a. Vienna Declaration and Prograame of Action (1993);


b. Covention on The Elimination of All forms of
Dicrimanation Against Women (1979);

14
Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: CV.
Rajawali.

16
c. Declaration on The Elimination of Violence Against
Women (1993);
d. Beijing Declaration and Platform for Action.15
Jikalau ditinjau dari perannya, hukum seharusnya dapat
memberikan sebuah keadilan bagi korban pelecehan seksual yang pada
kasus ini menimpa mahasiswi. Namun pada eksekusinya dilapangan,
sering terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, yang
disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan sebuah rumusan yang
bersifat abstrak dan tidak dipahami secara sungguh-sungguh batas
kewenangan karena kurang dilakukan pembinaan terhadap perilaku
penegak hukum.Sedangkan jika dilihat, kepastian hukum merupakan
sebuah prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Hal tersebut yang
menjadi salah satu faktor yang menjadi kurang maksimalnya peranan
hukum untuk mengupayakan keadilan bagi korban pelecehan seksual.

Peran hukum dalam mengupayakan keadilan bagi mahasiswi yang


mengalami pelecehan seksual dapat diupayakan dengan cara menerapkan
sebuah keadilan restoratif terhadap penyelesaian tindak pidana pelecehan
seksual. Keadilan resorfatif dapat diartikan bahwa dalam proses
pengadilan melibatkan semua pihak terkait,memperhatikan kebutuhan
korban, adanya pengakuan tentang kerugian dan kekerasan, reintergrasi
dari pihak-pihak terkait kedalam masyarakat, serta memotivasi para pelaku
untuk mengambil tanggung jawab atas hal yang telah diperbuatnya. 16
Sehingga diharapkan dengan penerapan prinsip keadilan restoratif maka
hakim dapat mempertimbangkan kesetaraan gender dan non-diskriminasi
sehingga korban pelecehan seksual dapat mendapatkan keadilan baik
berupa pemenuhan hak Restitusi, hak reintegrasi sosial, rehabilitas mental
dan sosial, dan sebagainya sesuai yang telah di atur oleh undang-undang.

15
Harkristuti Harkrisnowo, (2017) Hukum Pidana Dan Kekerasan Terhadap Perempuan,
Bandung : Alumni, hal.79.
16
http://www.lemhannas.go.id/index.php/berita/berita-utama/1230-agus-widjojo-keadilan-
restoratif-dan-pendekatan-humanis-tidak-untuk-menggantikan-keadilan-retributif Diakses pada
tanggal 3 Juni 2022 pada pukul 2.31 WIB.

17
2.9 Upaya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Republik Indonesia (Kemendikbudristek RI) dalam mewujudkan
lingkungan perguruan tinggi yang aman dari kekerasan seksual
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Republik Indonesia (Kemendikbudristek RI) untuk mewujudkan
lingkungan perguruan tinggi yang aman dari kekerasan seksual telah
menetapkan sebuah Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan
Tinggi.

Pelecehan seksual dan kekerasan seksual merupakan sebuah


pandemi tersendiri yang menggerogoti dunia pendidikan.
Kemendikbudristek RI pernah melakukan survei pada tahun 2020, dan
hasil survey menunjukan 77% dosen menyatakan bahwa kekerasan seksual
pernah terjadi di lingkungan kampus. Yang menjadi permasalahnya
mengapa 63% tidak melaporkan kasus tersebut? karena seluruh stigma
yang diasosiasikan dengan pelecehan seksual dan kekerasan seksual,
korban telah menjadi korban dan korban sangat beresiko saat melaporkan
bahkan pada saat melaporkan, korban malah menerima hukuman dalam
masyarakat bahkkan korban mendapatkan victim blaming di masyarakat.
Hal terebut yang mendasari pemerintah melalui Kemendikbudristek
mengeluarkan Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan
Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Karena pada perguruan tinggi belum memiliki sebuah kerangka


hukum untuk mengatasi kasus kekerasan seksual dan pelecehan seksual.
Berbeda dengan anak dibawah 18 tahun yang memiliki sebuah kerangka
hukum tentang perlindungan anak. Maka dari itu, Kemendikbudristek
mengeluarkan sebuah Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan
Tinggi untuk mengatasi kekosongan hukum tersebut.

Namun pada pengesahannya, terdapat sebuah pertentangan dan


menimbulkan sebuah polemik dalam masyarakat. Dr. Ahmad Kusyairi
Suhail, selaku dosen di fakultas dirasat islamiyyah dengan konsentrasi
bidang ilmu tafsir menyebutkan bahwa ada beberapa pasal pada
Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan

18
Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang bermasalah,
seperti pada pasal 1 ayat 1 tentang definisi pelecehan seksual. Pasal 3 pada
pencegahan dan prinsip pencegahan terlihat mengabaikan norma agama.
Karena tidak disebut secara exsplisit, norma agama perlu dimasukkan
dalam permendikbud. Dan yang terakhir disorot pada pasal 5 terlihat ada
kesan menimbulkan legalisasi terhadap kegiatan asusila dan sex bebas
berbasis persetujuan. Hal ini menimbulkan masalah karena adanya
penggunaan kata persetujuan di dalam pasal tersebut. Sehingga
menimbulkan masalah seakan-akan jika kegiatan tersebut tanpa ada
pemaksaan, penyimpangan tersebut seakan seperti sesuatu hal yang benar
dan dibenarkan.17

Selain Dr. Ahmad Kusyairi Suhail, menurut Ibu Alai’i Nadjib


Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi mengandung unsur
multitafsir. Alai’i Nadjib mengharapkan sebuah regulasi harus bersifat
realistis, implementatif dan agar sampai pada tujuan maka tidak boleh ada
yang multitafsir. Karena untuk melindungai korban pelecehan seksual
ataupun kekerasan seksual, maka permendikbud harus implementatif,
realistis dan tidak boleh multitafsir.

Terlepas dari pro dan kontra terkait dengan Permendikbud No. 30


Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di
Lingkungan Perguruan Tinggi, Permendikbud No. 30 Tahun 2021
memiliki 3 esensi :

a. Satgas
Permendikbud No. 30 Tahun 2021 memiliki satgas yang
bertanggung jawa melakukan semua
pelaporan,pemuulihan,perlindungan, dan monitoring
rekomendasi sanksi
b. Penjabaran

17
https://www.youtube.com/watch?v=rhWxoA-32Lg&ab_channel=NarasiNewsroom diakses pada
tanggal 3 Juli 2022 pada pukul 11.40

19
Permendikbud No. 30 Tahun 2021 menjabarkan definisi yang
sangat spesifik yaitu 20 perilaku yang dimasukkan dalam
kategori kekerasan seksual. Bukan hanya fisik melainkan juga
verbal bahkan secara digital. Itu merupakan sebuah inovasi
sehingga tidak ada kasus abu—abu
c. Partisipasi daripada seluruh civitas akademika di dalam
prosesnya

Permendikbud No. 30 Tahun 2021 diadobsi pada asas dari tujuan


merdeka belajar. Tujuan merdeka belajar sendiri adalah profil pelajar
Pancasila. Profil pelajar Pancasila antar lain:

a. Berimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak


mulia,
b. Kebinekaan global,
c. bergotong royong,
d. mandiri,
e. bernalar kritis,
f. krearif.18

Karena keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan akhlak mulia
sehingga permendikbud dapat dilihat sebagai hasil dari asas pertama dari
merdeka belajar yaitu akhlak mulia. Sehingga negara melalui
Kemendikbudristek harus melindungi anak anak di setiap institusi
Pendidikan.

Sehingga dengan adanya Permendikbud No. 30 Tahun 2021


tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan
Perguruan Tinggi, Menteri Nadiem Makarim berharap Permendikbud No.
30 Tahun 2021 dapat menjadi sebuah gerakan. Karena Permendikbud No.
30 Tahun 2021 tak cukup hanya menjadi sebuah kebijakan namuh harus
menjadi sebuah Gerakan. Nadiem juga berharap dengan adanya
Permendikbud No. 30 Tahun 2021 para pelaku akan berpikir dua kali untuk
melakukan pelecehan seksual. Sehingga dengan melihat aturan dan dan
sanksi, yang pada awalnya merasa tidak apa-apa karena adanya relasi

18
http://ditpsd.kemdikbud.go.id/hal/profil-pelajar-pancasila diakses pada tanggal 3 Juli 2022 pada
pukul 14.26 WIB

20
kuasa ataupun yang lain, pelaku dapat menyadari bahwa hal yang
dilakukan dapat berdampak buruk bagi masa depan pelaku. Pada akhirnya
Permendikbud No. 30 Tahun 2021 diharapkan menjadi sebuah solusi yang
dapat memutuskan rantai kasus pelecehan seksual yang selama ini terus
menerus menggerogoti dunia pendidikan khususnya di perguruan tinggi.

21
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pelecehan seksual merupakan sebuaah permasalahan yang sering terjadi di
lingkungan pendidikan khususunya pada lingkungan perguruan tinggi. Hal tersebut sangat
disayangkan karena perguruan tinggi yang pada dasarnya menjadi mercusuar pemuda-
pemudi bangsa untuk menjadi sosok-sosok yang berpengaruh di bangsa berubah menjadi
tempat berkembangnya pelaku pelecehan seksual. Ditinjau dari kasus mahasiswi UNRI
mencari keadilan karena kasus yang dialaminya saat melakukan bimbingan skripsi,
mhasiswi belum mendapatkan sebuah keadilan yang yang diharapkan. Dari pihak kampus
sendiri baru melakukan penyelidikan dan tindakan karena adanya sebuah demo dari
mahasiswa dan mahasiswi UNRI. Pada pengadilan, hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru
menyatakan Syafri Harto dibebaskan dari segala dakwaan dan terdakwa harus
dibebaskan.Hakim menilai unsur dakwaan baik primer dan subsider tidak terpenuhi. Dari
hal tersebut masih terlihat bahwa budaya patriarki dan relasi kuasa masih bermain di
lingkup keadilan bagi perempuan.

Pemerintah juga telah berupaya dengan membuat dan memperbaharui hukum-


hukum yang berhubungan tentang kekerasan seksual guna mencegah dan menekan angka
kasus kekerasan dan pelecehan seksual di Indonesia terutama di lingkungan perguruan
tinggi. Baik dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, UU No. 12 Tahun 2022
tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, hingga Permendikbud No. 30 Tahun 2021
tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi
namun belum sepenuhnya dapat menekan angka kekerasan dan pelecehan seksual di
Indonesia.

Untuk menggapai keadilan pada kasus pelecehan seksual diperlukannya sebuah hati
nurani yang menjunjung tinggi rasa kemanusiaan tanpa melupakan prinsip-prinsip atau
prosedur hukum yang telah di buat pemerintah. Selain itu, untuk mencapai sebuah keadilan
pada kasus pelecehan seksual, perlunya penghapusan mindset mengenai pandangan bahwa
laki laki sebagai makhluk superior dan perempuan sebagai makhluk inferior. Dengan
adanya peleburan mindset bahwa manusia memiliki hak dan kesempatan yang sama maka
sebuah keadilan dapat tercapai dengan sendirinya. Dominasi laki-laki pada segala
instrumen pendidikan juga harus dihapus, karena korban dari pelecehan seksual itu sendiri
adalah perempuan sehingga dalam membuat sebuah keputusan ataupun kebijakan
diperlukannya peran akademisi perempuan disitu. Keterbukaan kempus dan dukungan

22
kampus juga berperan besar bagi korban pelecehan seksual khususnya bagi mahasiswi
UNRI yang mengalami pelecehan seksual. Jika suatu instansi hanya mementingkan nama
baik ataupun akreditasi dimana mahasiswi dapat memperoleh keadilan jikalau dari pihak
kampus sendiri mencekal korban agar tidak melaporkan kasus yang dialaminya kepada
pihak berwenang. Keadilan pada kasus pelecehan seksual mahasiswi UNRI bersifat mutlak
yang layak dan wajib diperjuangkan. Bukan hanya mahasiswi UNRI yang berhak mendapat
keadilan namun semua orang yang mengalami kasus serupa berhak mendapatkan keadilan
dan penjaminan hak-haknya baik sebagai korban ataupun sebagai warga negara.

23
DAFTAR PUSTAKA

Andi Suci Syifawaru, Mulyati Pawennei, and Ahmad Fadil, ‘Tinjauan Kriminolgi
Terhadap Residivis Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pelecehan Seksual’,
Journal of Lex Generalis (JLS), 3.2 (2022).
Buletin Psikologi and X I Tahun, Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan Di Tempat
Kerja, 2003.
Fakih, Mansour. 1996, November. “Gender Sebagai Analisis Sosial”. Jurnal Analisis
Sosial. Edisi 4: 7-20.
Harkristuti Harkrisnowo, (2017) Hukum Pidana Dan Kekerasan Terhadap Perempuan,
Bandung : Alumni, hal.79.
Susi Wiji Utami, ‘Hubungan Antara Kontrol Diri Dengan Pelecehan Seksual PAda Remaja
DI Unit Kegiatan Mahasiswa Olahraga Universitas Muhammadiyah Purwerkerto’,
2016, 1–57.
Tangri, S.S., Burt, M.R., & Johnson, L.B. 1982. Sexual Harassment at Work: Three
Explanatory Model. Journal of Social Issues, 35, 33-54.
Yonna Beatrix Salamor and Anna Maria Salamor, ‘Kekerasan Seksual Terhadap
Perempuan ( Kajian Perbandingan Tiongkok . Kekerasan Terhadap Perempuan Di
India Merujuk Pada Kekerasan Fisik Atau Diwujudkan Di India . Penegakan Hukum
Terhadap Kekerasan Perempuan Di India’, 2.1 (2022), 7–11.
Feist, Jess (2010). Teori Kepribadian : Theories of Personality. Salemba Humanika. hlm.
331. ISBN 978-602-85555-18-0.
Higgins, L.P,& Hawkins,J.W., Human Sexuality Across the Life Span: Implication for
Nursing Practice. California: Woodsworth Health Science Devision, 1986.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2021 tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi
Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1000)

Richmond-Abbott, M. (1992). Masculine and Feminine. New York: McGraw-Hill.


Ryan, W. (1976). Blaming the Victim. New York: Vintage Books.
Sjachran Basah, Mengenal Peradilan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995,
hlm. 9
Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta:
CV. Rajawali.

24
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 120, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6792)

http://ditpsd.kemdikbud.go.id/hal/profil-pelajar-pancasila diakses pada tanggal 3


Juli 2022 pada pukul 14.26 WIB
http://www.lemhannas.go.id/index.php/berita/berita-utama/1230-agus-widjojo-keadilan-
restoratif-dan-pendekatan-humanis-tidak-untuk-menggantikan-keadilan-retributif
Diakses pada tanggal 3 Juni 2022 pada pukul 2.31 WIB.
https://nasional.tempo.co/read/1557395/ini-beda-kekerasan-seksual-dengan-pelecehan-
seksual#:~:text=Kekerasan%20seksual%20ini%20dapat%20terjadi,fisik%20maupu
n%20kontak%20non%2Dfisik. Diakses pada tanggal 02 Juli 2022 pada pukul 01.39
WIB
https://nasional.tempo.co/read/1577206/kronologis-lengkap-vonis-bebas-kasus-
pelecehan-seksual-syafri-harto-dekan-unri Diakses pada tanggal 02 Juli 2022 pada
pukul 14.47 WIB
https://www.youtube.com/watch?v=rhWxoA-32Lg&ab_channel=NarasiNewsroom
diakses pada tanggal 3 Juli 2022 pada pukul 11.40

25
i

Anda mungkin juga menyukai