Kel-11 - Pemaparan Mengenai Konsep Tarjih
Kel-11 - Pemaparan Mengenai Konsep Tarjih
DAN TAKLID
Dosen Pembimbing :
Disusun oleh :
SURAKARTA
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran sebagai way of life bagi umat manusia secara garis besar mengandung
dasar-dasar tentang akidah, syari’ah dan akhlak bagi keberlangsungan kehidupan
makhluk di jagad raya ini. Penjelasan tentang isi kandungan Alquran dijabarkan oleh
Rasulullah saw. sebagai penafsir awal atas firman Allah swt. Ketika Rasulullah masih
hidup, setiap kasus yang timbul dapat segera diketahui jawabannya berdasarkan nash
Alquran serta penjelasan dan interpretasi Rasul yang kemudian dikenal menjadi
Sunahnya. Akan tetapi pada masa-masa berikutnya, kehidupan masyarakat mengalami
dinamika yang sangat pesat seiring berkembangnya Islam ke seluruh penjuru dunia.
Kontak antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain di luar Arab dengan beragam
corak adat dan budaya, menimbulkan berbagai permasalahan baru yang menuntut untuk
segera dicari solusi dan alternatif jawabannya. Di sinilah letak urgensi ijtihad untuk
kontekstualisasi nash Alquran dan Sunah sebagai sumber pedoman dan panduan hukum
bagi umat manusia dan alam semesta ini.
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
Sebelum membahas mengenai konsepsi Tarjih dalam hukum Islam, yang perlu
dipahami terlebih dahulu adalah perkara Ta’arudh Al-Adillah dimana didalamnya
terdapat kondisi ketika menemukan suatu pertentangan diantara nash-nash yang
digunakan dalam penentuan hukum Islam. Perlu diingat bahwa pertentangan disini
bukanlah dari lafadz mutlak Allah SWT dalam Al-Qur’an maupun perkataan Nabi
SAW dalam hadits, sebab Allah terbebas dari segala konflik batin seperti manusia.
Pertentangannya disini lebih menitikberatkan pada pertentangan antar pemahaman
manusia dalam melihat dan memandang berbagai firman Allah SWT maupun perkataan
Nabi SAW, keterbatasan manusia lah yang digaris bawahi dalam pengertian Ta’arudh
Al-Adillah disini. Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana cara menyelesaikan
nash-nash yang saling bertentangan tersebut maka salah satunya dengan menggunakan
Tarjih. Namun, perlu dipaparkan terlebih dahulu mengenai Ta’arudh Al-Adillah yakni
sebagai berikut:
Dari penelaahan terkait definisi secara bahasa diatas, dapat dikatakan bahwa
Ta’arudh al-adillah merupakan masalah yang sering diperdebatkan, karena para
pengkaji Islam di zaman sekarang kadang-kadang mempermasalahkan suatu dalil
dengan mengatakan bahwa dalil tersebut bertentangan sehingga pengamalan kedua
Dzhanni al-dalalah adalah istilah dalam ilmu ushul fiqh yang merujuk
pada kemungkinan adanya keraguan atau ketidakpastian dalam menafsirkan
suatu dalil (bukti atau argumen) hukum Islam. Dalam hal ini, dzhanni mengacu
pada "kemungkinan" atau "ragu-ragu", sementara "al-dalalah" merujuk pada
makna atau implikasi yang terkandung dalam dalil tersebut. Jadi, dzhanni al-
dalalah dapat diartikan sebagai "ragu-ragu terhadap makna dalil".
b) Nabi Muhammad SAW diberikan hak oleh Allah SWT untuk menetapkan
hukum suatu masalah dalam satu peristiwa, dan menetapkan hukum yang
berbeda untuk sifat masalah yang lain dalam peristiwa lain. Jika ada suatu hal
yang diriwayatkan oleh beberapa perawi tentang suatu hukum, sedangkan
perawi yang lain meriwayatkan hukum yang berbeda, maka hal tersebut
dianggap sebagai pertentangan.
c) Terkadang ta'arudh (pertentangan) antara dua hadis bisa terjadi karena salah
satu hadis menghapuskan atau meniadakan hukum yang terdapat dalam hadis
yang lain. Namun, jika para ulama tidak mengetahui bahwa salah satu hadis
tersebut merupakan nasakh dari hadis lainnya, maka meskipun sebenarnya tidak
ada ta'arudh, namun dapat dianggap ada pertentangan dalam hukum tersebut.
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pemahaman dan pengetahuan yang
mendalam terhadap ilmu hadis dan nasakh dalam menentukan hukum dalam
Islam.
d) Nabi Muhammad SAW telah menyebutkan dua cara atau metode yang dapat
digunakan untuk menangani beberapa masalah dan menentukan hukum
Syariah. Dalam hal ini, diperbolehkan untuk memilih salah satu dari dua metode
tersebut. Beberapa perawi hadis menggunakan salah satu dari metode tersebut,
sedangkan perawi lainnya menggunakan metode yang berbeda. Namun, bagi
mereka yang tidak menyadari keberadaan kedua metode tersebut, mungkin
menganggap bahwa dua riwayat tersebut saling bertentangan, padahal
Kata tarjih, berasal dari akar kata r-j-h yang kemudian diikutkan wazan
fa’aal, sehingga menjadi rajjaha-yurajjihu-tarjih yang berarti menguatkan. Di
dalam literatur uşul fikih, para ahli memberikan defenisi yang beragam. Asy-
Syaukani mengatakan, tarjih adalah mengukuh satu di antara dua dalil yang
dianggap bertentangan. Sedangkan Al-Amidi mendefenisikan tarjih, dengan
terdapat dua dalil yang bertentangan, di mana satu dalil menuntut untuk dilakukan
sedangkan dalil lainnya tidak. Dengan redaksi yang berbeda, Ali Hasballah
mengatakan tarjih adalah menjadikan sesuatu paling kuat, artinya menjadikan suatu
dalil menjadi lebih utama dari dalil-dalil lainnya karena ada kelebihan yang
ditunjukkan dalil tersebut (Kholidah, 2021).
Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli diatas, dapat dikatakan bahwa
Tarjih merupakan suatu metode yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan
kontradiksi antara dua dalil. Tarjih tidak dapat terjadi jika tidak terdapat dua dalil
yang kontradiksi. Penyelesaian kedua dalil yang kontradiksi dengan cara tarjih
dapat dilakukan jika keduanya tidak dapat dikompromikan. Oleh karena itu terdapat
beberapa hal yang perlu di pahami dalam menerapkan metode tarjih pada dalil yang
kontradiksi. Tarjih hanya berlaku pada dalil zanni, karena itu tarjih tidak berlaku
pada dalil qath’i dan tarjih tidak berlaku antara dalil qath’i dengan dalil zanni
penyelesaian dengan cara tarjih dapat dilakukan dengan melihat empat aspek yaitu:
tarjih dari segi sanad, tarjih dari segi matan, tarjih dari segi petunjuk hukumnya
dan tarjih dari adanya ungkapan luar yang mendukungnya (Dahliah, 2013). Adapun
penjelasan secara rinci terkait keempat aspek tersebut yakni sebagai berikut:
Tarjih dari segi sanad adalah pemilihan atau penentuan kekuatan dan
kevalidan suatu hadis berdasarkan kekuatan dan kevalidan sanad atau rantai
periwayatan hadis tersebut. Dalam praktiknya, para ahli hadis akan
membandingkan berbagai sanad atau rantai periwayatan yang berbeda untuk
menentukan sanad yang paling kuat dan paling dapat dipercaya sebagai dasar
penentuan keabsahan hadis tersebut. Tarjih dari segi sanad dilakukan untuk
memastikan bahwa hadis yang dijadikan sebagai dasar dalam pemahaman dan
pengamalan agama Islam benar-benar berasal dari sumber yang sahih dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Contoh tarjih dari segi sanad adalah ketika para ahli hadis melakukan
pemilihan antara beberapa sanad yang berbeda dalam riwayat suatu hadis, lalu
menetapkan sanad yang paling kuat dan paling dapat dipercaya sebagai dasar
penentuan keabsahan hadis tersebut. Berikut adalah contoh tarjih dari segi
sanad:
Dalam hal ini, para ahli hadis cenderung memilih sanad Imam Bukhari
sebagai dasar keabsahan hadis tersebut. Meskipun keduanya sama-sama
Salah satu contoh tarjih dari segi matan adalah terkait dengan riwayat
hadis yang berbeda mengenai perintah shalat pada saat perjalanan. Dalam
riwayat yang satu, Rasulullah SAW. memerintahkan umat Islam untuk
memperpendek shalat ketika dalam perjalanan, sedangkan dalam riwayat yang
lain, Rasulullah SAW. memerintahkan umat Islam untuk tetap melaksanakan
shalat secara penuh meskipun sedang dalam perjalanan yang jauh.
Para ahli hadis melakukan tarjih dari segi matan untuk menentukan
riwayat hadis mana yang lebih kuat dan lebih dapat dipercaya. Mereka
memperhatikan berbagai aspek seperti kesesuaian dengan Al-Qur'an,
kecocokan dengan riwayat hadis yang lain, konsistensi dengan prinsip-prinsip
ajaran Islam, dan kesesuaian dengan akal sehat dan logika. Dalam hal ini,
mayoritas ahli hadis menyatakan bahwa riwayat yang memperbolehkan
memperpendek shalat ketika dalam perjalanan lebih kuat dan lebih dapat
dipercaya, karena hadis tersebut lebih konsisten dengan prinsip-prinsip ajaran
Islam dan lebih sesuai dengan akal sehat dan logika. Oleh karena itu, para ulama
memutuskan untuk menganut pandangan tersebut dan mengambil tindakan
sesuai dengan perintah dalam hadis tersebut.
Contoh tarjih dari segi adanya ungkapan luar yang mendukungnya dapat
ditemukan dalam interpretasi dan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Quran atau
Hadis yang terkadang memiliki beberapa kemungkinan makna yang dapat
diartikan. Misalnya, terdapat hadis riwayat Bukhari yang berbunyi:
Tarjih dapat dilakukan jika terdiri dari dua dalil yang sederajat baik subut-nya,
kandungan hukumnya, waktu dan kedudukannya. Tarjih mengharuskan
pengamalan salah satu dalil yang dianggap kuat berdasarkan penelitian dari
beberapa aspek.
Tarjih adalah untuk memperkuat salah satu dari dua argumen yang saling
bertentangan berdasarkan beberapa qarinah yang mendukung ketentuan tersebut.
Jika dua argumen yang saling bertentangan sulit dilacak sejarahnya bagi seorang
mujtahid, maka mujtahid harus memperhalus salah satu argumen yang
memungkinkan. Pen-tarjih-an dapat menggunakan beberapa metode tarjih.
Misalnya, memperkuat teks muhkam dari teks mufassir, memperkuat argumen yang
mengandung hukum haram dari argumen yang mengandung hukum halal, dan dari
segi 'is, dhabit, faqih, dan sebagainya, seorang perawi hadits (Achmadin &
Muttaqin, 2022).
Secara kebahasaan, kata ittiba’ adalah bentuk mashdar dari kata ittaba’a-
yattabi’u-ittiba’, yang berarti “menuruti atau mengikuti.” Orangnya disebut dengan
muttabi’, (orang yang mengikuti). Sedangkan menurut istilah para ulama
dirumuskan secara berbeda. Sebagian mengatakan, bahwa ittiba’ itu adalah
mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi saw dan para sahabatnya dengan mengetahui
dalil-dalilnya.” Sehubungan dengan ini, Imam Abu Dawud berkata: “Saya
mendengar Ahmad berkata, bahwa ittiba’ itu adalah seseorang telah mengikuti apa
yang dibawa oleh Nabi saw dan para sahabatnya.” Pendapat tersebut sejalan degan
pandangan Imam asy-Syafi’i yang mengatakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti
pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad SAW. dan para sahabatnya,
atau para tabi’in yang mendatangkan kebaikan (Ibrahim, 2019).
Selain beberapa ayat diatas, masih banyak ayat-ayat lain didalam Al-Qur’an
yang menyebut istilah ittiba’. Adapun berikut salah satu ayat yang menyebut
ittiba’ tersebut:
Artinya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti
apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah
mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah
(2):170)
1) Ittiba' kepada Rasulullah SAW. adalah salah satu syarat diterima amal.
Sebagaimana para ulama telah sepakat bahwa syarat diterimanya ibadah ada
dua yakni mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Allah swt semata dan
harus mengikuti dan serupa dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah
SAW.
2. Taqlid
Menurut bahasa, taqlid adalah bentuk masdar dari kata qallada berarti
kalung yang dipakai/dikalungkan ke leher orang lain, atau seperti binatang yang
akan dijadikan dan, dimana lehernya diberi kalung sebagai tanda, atau seperti
kambing yang lehernya telah diikat dengan tali atau tambang yang dapat ditarik ke
mana saja, tanpa disadari oleh kambing yang bersangkutan (Farizi, 2014).
Sesuai dengan pengertian taqlid di atas maka beberapa hal seperti di bawah
ini tidaklah termasuk kategori taqlid. Beberapa hal itu ialah:
a) Yang Dilarang
(1) Taqlid dalam akidah, yakni taqlid terhadap hal-hal yang terkait erat
dengan keyakinan terhadap hal-hal yang termasuk dalam
pengetahuan dasar dan fundamental dalam agama Islam. Dalam hal
ini ulama berbeda pendapat, mayoritas ulama berpendapat bahwa
taqlid dalam akidah termasuk dalam hal yang diharamkan, bahkan
bagi seorang mukallaf diwajibkan untuk menggunakan nalar dan
pemikiran yang mapan (Khasanah et al., 2019).
(2) Dari sisi subjeknya, yang dilarang untuk taklid adalah orang yang
sudah sampai pada martabat mujtahid. Menurut al-Sulami, tidak
diperbolehkan seorang mujtahid untuk taklid secara mutlak. Dan ini
menurut al-Sulami adalah pendapat jumhur ulama. Beliau
menyatakan:
“Banyak kalangan dari para ahli ushul telah meriwayatkan
tentang kesepakatan bahwa sesungguhnya seorang
mujtahid tatkala melihat suatu peristiwa hukum, dan
kemudian ia (melakukan pembahasan) sehingga sampai
pada satu kesimpulan hukum bersifat dhanni yang kuat
3. Talfiq
Secara etimologi, talfiq memiliki beberapa makna, kata talfiq berasal dari
kata laffaqa-yulaffiqu. Di antara maknanya. Pertama, talfiq bermakna menyatukan,
seperti dalam sebuah kalimat laffaqta ats-tsauba lafqan menyatukan dua sisi baju
untuk dijahit. Kedua, bermakna tidak ada perpecahan atau bersatu, makna ini
hampir semakna dengan makna yang pertama. Dua makna ini yang kemudian akan
ada kaitan erat dengan talfiq secara istilah (Muyassir, 2022). Menurut ulama Ushul,
talfiq yaitu menetapkan suatu perkara yang tidak dikatakan oleh seorang mujtahid.
Maksudnya adalah melakukan suatu perbuatan dengan mengikuti suatu madzhab,
dan mengambil satu masalah dengan dua pendapat atau lebih untuk sampai kepada
suatu perbuatan yang tidak ditetapkan oleh kedua mujtahid tersebut, baik pada
imam yang diikuti dalam madzhabnya maupun menurut pendapat imam yang baru
ia ikuti. Pada akhirnya setiap dari masing-masing mazhab tersebut menyatakan
pembatalan perbuatan yang tercampur aduk tadi.
Ada juga ulama yang mendefinisikan talfiq sebagai mengikuti atau bertaklid
kepada dua imam mujtahid atau lebih dalam melaksanakan suatu amal ibadah,
sedangkan kedua imam yang bersangkutan tidak mengakui sahnya amal ibadah
tersebut karena tidak sesuai dengan pendapat mereka masing-masing. Ada juga
yang mendefinisikan dengan beramal dalam suatu masalah menurut hukum yang
a) Hukum Talfiq
Tentang hukum talfiq ini, ulama fiqh dan ulama usul berbeda pendapat
berasal dari boleh tidaknya sesorang berpindah madhhab baik secara
keseluruhan maupun sebagian. Ada tiga perbedaan pendapat ulama yang perlu
diangkat pada persoalan ini, yaitu:
(1) Tidak boleh pindah madzhab, baik secara keseluruhan maupun sebagian.
b) Contoh Talfiq
(1) Dalam persoalan ibadah, misalnya seseorang berwudlu mengikuti tata
cara Syafi'i, kemudian ia bershalat dengan menghadap kiblat dengan
posisi sebagaimana ditentukan oleh madzhab Hanafi.
(2) Dalam persoalan kemasyarakatan, misalnya Membuat undang-undang
perkawinan dimana akad nikahnya harus dengan wali dan saksi karena
mengikuti madzhab Syafi'i; mengenai sah jatuhnya thalaq raj'i
mengikuti madzhab Hanafi yang memandang sah ruju' bi al-fi'li
(langsung bersetubuh) (Farizi, 2014).
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan mengenai tarjih, ittiba’, taqlid, dan talfiq diatas, dapat
disimpulkan bahwa tarjih sebagai metode dalam memutuskan suatu masalah/ kasus
adalah memilih atau menguatkan salah satu dalil atau pemikiran dari berbagai dalil atau
pemikiran yang saling bertentangan (taʻâruḍ al-adillah). Dalam studi ilmu ushul fiqh,
tarjih ini merupakan solusi ketiga setelah metode al-jam’u wa taufîq dan nâsikh wa al-
mansûkh. Sedangkan ittiba’ sendiri ialah pengambilan hukum dengan mengetahui dalil
dan alasan-alasannya dan ia diketahui dengan jalan yang ditunjuki oleh mujtahid. Ittiba’
ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba’ adalah lawan taqlid. Adapun taqlid
adalah mengikuti orang yang tidak didasarkan pada hujjah (alasan) dalam
mengikutinya, dan tidak disandarkan pada pengetahuan. Kemudian Talfiq merupakan
tindakan mengambil atau mengikuti suatu hukum tentang suatu peristiwa dengan
mengambilnya dari berbagai madhhab. Talfiq juga sebutan bagi seseorang yang dalam
beribadah mengikuti salah satu pendapat dari madhhab yang empat atau madzhab lain
yang populer, tetapi ia mengikuti pula madhhab yang lain dalam hal yang pokok atau
salah satu bagian tertentu.
Pada dasarnya Ijtihad dapat kita jadikan alat untuk menjawab perlu dan tidaknya
reaktualisasi hukum Islam dan hal itu hanya memenuhi persyaratan ijtihad. Marilah kita
menjadi mujtahid yang benar atau muqallid yang baik yang mempunyai komitmen yang
utuh terhadap ajaran agama Islam.
B. Saran
Achmadin, B. Z., & Muttaqin, M. I. (2022). Ta’arudh Al-Adillah: Problem Solving Methods
Of Islamic Law. Ummul Qura : Jurnal Institut Pesantren Sunan Drajat (INSUD)
Lamongan, 17(1), 1–18. https://doi.org/10.55352/uq.v17i2.635
Farizi, M. Al. (2014). Ijtihad, Taqlid, dan Talfiq. Al-Mabsut: Jurnal Studi Islam Dan Sosial,
8(2), 313–325.
Fauzi, A. F. (2012). Ittiba’ Dalam Persfektif Al-Qur‟An ( Suatu Kajian Tafsir Maudhu’i ) (p.
15). Fakultas Ushuluddin dan Filsafat: UIN Alauidn Makasar.
Ibrahim, D. (2019). Ushul Al-Fiqh (Dasar-Dasar Hukum Islam) (A. Sandi (ed.); I). CV.
Amanah.
Khasanah, N., Hamzani, A. I., & Aravik, H. (2019). Taqlid and Talfiq in the Conception of
Islamic Law. MIZAN: Journal of Islamic Law, 3(2), 155–168.
https://doi.org/10.32507/mizan.v3i2.489
Miswanto, A. (2019). Ushul Fiqh (H. N. Usman (ed.); I). UNIMMA PRESS.
Muyassir, A. (2022). Kedudukan Talfiq Dalam Konsep Hukum Islam. Jurnal Studi Keislaman,
7(4), 12–20.
Rosyadi, I. (2017). Tarjih Sebagai Metode: Perspektif Usul Fiqh. Ishraqi, 1(1), 52–61.
https://doi.org/10.23917/ishraqi.v1i1.3431