Anda di halaman 1dari 23

PEMAPARAN MENGENAI KONSEP TARJIH, IITIBA’, TALFIQ,

DAN TAKLID

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih di MA

Dosen Pembimbing :

Ainun Yudhistira, MHI.

Disusun oleh :

1. Prasetyo Agung Wibowo 203111099


2. Aisyah Nur Afifah 203111084
3. Syafataain Lailiyah 203111070

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYYAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID

SURAKARTA

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Quran sebagai way of life bagi umat manusia secara garis besar mengandung
dasar-dasar tentang akidah, syari’ah dan akhlak bagi keberlangsungan kehidupan
makhluk di jagad raya ini. Penjelasan tentang isi kandungan Alquran dijabarkan oleh
Rasulullah saw. sebagai penafsir awal atas firman Allah swt. Ketika Rasulullah masih
hidup, setiap kasus yang timbul dapat segera diketahui jawabannya berdasarkan nash
Alquran serta penjelasan dan interpretasi Rasul yang kemudian dikenal menjadi
Sunahnya. Akan tetapi pada masa-masa berikutnya, kehidupan masyarakat mengalami
dinamika yang sangat pesat seiring berkembangnya Islam ke seluruh penjuru dunia.
Kontak antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain di luar Arab dengan beragam
corak adat dan budaya, menimbulkan berbagai permasalahan baru yang menuntut untuk
segera dicari solusi dan alternatif jawabannya. Di sinilah letak urgensi ijtihad untuk
kontekstualisasi nash Alquran dan Sunah sebagai sumber pedoman dan panduan hukum
bagi umat manusia dan alam semesta ini.

Namun setelah kurun keempat hijriyah, aktivitas ijtihad mulai menunjukkan


gejala terkooptasi oleh politik dan kekuasaan, diposisikan sebagai justifikasi atas
kebijakan dan sikap politis para penguasa maupun para lawan politiknya. Akibatnya
ijtihad hanya sekedar perantara untuk bersembunyi dibalik kedok legalitas syari’at.
Bermula dari kondisi inilah, sekelompok ulama’ mendeklarasikan tertutupnya pintu
ijtihad, untuk membuntu pintu masuk sejumlah oknum yang ingin
menyalahgunakannya. Dari sini pulalah timbul konsep stratifikasi mujtahid dalam
beberapa tingkatan; mujtahid mutlak, mujtahid madzhab, mujtahid masa’il, dan
kemudian datang generasi muqallid (orang yang bertaqlid). Dalam tulisan ini akan
dijelaskan lebih lanjut mengenai Tarjih, I’tiba, Taqlid, dan Talfiq yang erat kaitannya
dengan penafsiran terkait nash-nash di dalam Al-Qur’an maupun hadits.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, dapat dirumuskan


permasalahannya yakni sebagai berikut:

TIM-11 (TARJIH, ITTIBA’, TALQID, TALFIQ) 2


1. Bagaimana pemaparan mengenai konsep Tarjih terkait dalil-dalil yang kontradiksi?
2. Bagaimana pemaparan mengenai I’tiba, Taqlid, dan Talfiq dalam konsepsi hukum
Islam?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep Tarjih terkait dalil-dalil yang kontradiksi.
2. Untuk mengetahui I’tiba, Taqlid, dan Talfiq dalam konsepsi hukum Islam.

TIM-11 (TARJIH, ITTIBA’, TALQID, TALFIQ) 3


BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsepsi Mengenai Tarjih dalam Hukum Islam

Sebelum membahas mengenai konsepsi Tarjih dalam hukum Islam, yang perlu
dipahami terlebih dahulu adalah perkara Ta’arudh Al-Adillah dimana didalamnya
terdapat kondisi ketika menemukan suatu pertentangan diantara nash-nash yang
digunakan dalam penentuan hukum Islam. Perlu diingat bahwa pertentangan disini
bukanlah dari lafadz mutlak Allah SWT dalam Al-Qur’an maupun perkataan Nabi
SAW dalam hadits, sebab Allah terbebas dari segala konflik batin seperti manusia.
Pertentangannya disini lebih menitikberatkan pada pertentangan antar pemahaman
manusia dalam melihat dan memandang berbagai firman Allah SWT maupun perkataan
Nabi SAW, keterbatasan manusia lah yang digaris bawahi dalam pengertian Ta’arudh
Al-Adillah disini. Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana cara menyelesaikan
nash-nash yang saling bertentangan tersebut maka salah satunya dengan menggunakan
Tarjih. Namun, perlu dipaparkan terlebih dahulu mengenai Ta’arudh Al-Adillah yakni
sebagai berikut:

1. Pemahaman Makna Ta’arudh Al-Adillah


Secara bahasa, kata Ta’arudh berarti sesuatu yang bertentangan atau
berlawanan (Rosyadi, 2017). Sedangkan menurut istilah usul terdapat beberapa
pengertian di antaranya, ta’arudh adalah saling berlawanan antara dua hujjah yang
sama kedudukannya, di antara keduanya terdapat kewajiban yang berbeda dengan
lainnya, seperti halal dan haram, me-nafi-kan (meniadakan) sesuatu atau
menetapkannya. Jadi, yang dimaksud kontradiksi dalil-dalil hukum adalah saling
berlawanannya dua dalil hukum yang sama derajatnya, salah satu di antara dua dalil
itu mewajibkan suatu hukum yang berbeda dengan dalil lainnya, atau menafikan
hukum yang ditunjuk oleh dalil lainnya (Ramadhani, 2022).

Dari penelaahan terkait definisi secara bahasa diatas, dapat dikatakan bahwa
Ta’arudh al-adillah merupakan masalah yang sering diperdebatkan, karena para
pengkaji Islam di zaman sekarang kadang-kadang mempermasalahkan suatu dalil
dengan mengatakan bahwa dalil tersebut bertentangan sehingga pengamalan kedua

TIM-11 (TARJIH, ITTIBA’, TALQID, TALFIQ) 4


dalil tersebut terjadi perbedaan. Memahami kontradiksi antara satu dalil dengan
dalil lainnya dapat menjadi solusi bagi permasalahan umat yang kompleks dan
permasalahan baru yang tidak terdapat hukumnya di dalam nas atau dalil.

2. Penyebab Adanya Ta’arud Al-Adillah

Hal ini sesuai dengan pemahamannya bahwa penyebab utamanya adalah


pertentangan atau kontradiksi yang terjadi pada dua postulat atau antara beberapa
postulat hanya secara lahiriah. Pandangan atau pemahaman fuqaha tentang postulat
yang dianggap bertentangan, adalah pandangan yang dipengaruhi oleh beberapa
alasan termasuk:

a) Adanya teks atau argumentasi yang merupakan argumentasi dzhanni al-


dalalah.

Dzhanni al-dalalah adalah istilah dalam ilmu ushul fiqh yang merujuk
pada kemungkinan adanya keraguan atau ketidakpastian dalam menafsirkan
suatu dalil (bukti atau argumen) hukum Islam. Dalam hal ini, dzhanni mengacu
pada "kemungkinan" atau "ragu-ragu", sementara "al-dalalah" merujuk pada
makna atau implikasi yang terkandung dalam dalil tersebut. Jadi, dzhanni al-
dalalah dapat diartikan sebagai "ragu-ragu terhadap makna dalil".

Beberapa teks atau argumentasi dalam hukum Islam dapat memiliki


tingkat kepastian atau kejelasan yang tinggi, sehingga disebut sebagai qath'i al-
dalalah. Artinya, argumentasi atau dalil tersebut memiliki kejelasan dan
kepastian yang memadai sehingga dapat dijadikan dasar untuk menetapkan
hukum dengan pasti. Namun, ada pula teks atau argumentasi dalam hukum
Islam yang memiliki tingkat kepastian atau kejelasan yang lebih rendah,
sehingga disebut sebagai zhanni al-dalalah. Artinya, argumentasi atau dalil
tersebut memiliki keraguan atau ketidakpastian dalam interpretasi atau
penerapannya sehingga tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum
dengan pasti. Adapun contoh dari argumentasi yang dzhanni al-dalalah adalah
seperti firman Allah dalam Surah Al-Baqarah (2): 228 sebagai berikut:

TIM-11 (TARJIH, ITTIBA’, TALQID, TALFIQ) 5


Artinya: “Para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu)
tiga kali qurū’ (suci atau haid). Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa
yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah
dan hari Akhir. Suami-suami mereka lebih berhak untuk kembali kepada
mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan. Mereka (para
perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang patut. Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan atas mereka. Allah
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Al-Baqarah/2:228).

b) Nabi Muhammad SAW diberikan hak oleh Allah SWT untuk menetapkan
hukum suatu masalah dalam satu peristiwa, dan menetapkan hukum yang
berbeda untuk sifat masalah yang lain dalam peristiwa lain. Jika ada suatu hal
yang diriwayatkan oleh beberapa perawi tentang suatu hukum, sedangkan
perawi yang lain meriwayatkan hukum yang berbeda, maka hal tersebut
dianggap sebagai pertentangan.
c) Terkadang ta'arudh (pertentangan) antara dua hadis bisa terjadi karena salah
satu hadis menghapuskan atau meniadakan hukum yang terdapat dalam hadis
yang lain. Namun, jika para ulama tidak mengetahui bahwa salah satu hadis
tersebut merupakan nasakh dari hadis lainnya, maka meskipun sebenarnya tidak
ada ta'arudh, namun dapat dianggap ada pertentangan dalam hukum tersebut.
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pemahaman dan pengetahuan yang
mendalam terhadap ilmu hadis dan nasakh dalam menentukan hukum dalam
Islam.
d) Nabi Muhammad SAW telah menyebutkan dua cara atau metode yang dapat
digunakan untuk menangani beberapa masalah dan menentukan hukum
Syariah. Dalam hal ini, diperbolehkan untuk memilih salah satu dari dua metode
tersebut. Beberapa perawi hadis menggunakan salah satu dari metode tersebut,
sedangkan perawi lainnya menggunakan metode yang berbeda. Namun, bagi
mereka yang tidak menyadari keberadaan kedua metode tersebut, mungkin
menganggap bahwa dua riwayat tersebut saling bertentangan, padahal

TIM-11 (TARJIH, ITTIBA’, TALQID, TALFIQ) 6


sebenarnya tidak. Oleh karena itu, praktik dari setiap argumen atau metode
tersebut diperbolehkan, dan tidak perlu dianggap bertentangan karena setiap
metode dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang dihadapi.
e) Adanya ayat-ayat dalam Al-Quran dan Hadis yang bersifat umum dan kadang-
kadang harus tetap umum dan yang lain bersifat khusus. Hal ini menimbulkan
perbedaan-perbedaan yang tampak, namun bukan perbedaan yang esensial, dan
kadang-kadang dianggap sebagai ta'arudh (Achmadin & Muttaqin, 2022).

Selain beberapa faktor atau penyebab diatas, ada beberapa penyebab


terjadinya ta'arudh dalam hukum Islam yang lainnya, di antaranya adalah
perbedaan dalam membaca dan memahami postulat hukum, ketiadaan pengetahuan
sejarah tentang postulat tersebut, adanya beberapa kombinasi makna bacaan, dan
adanya berita tentang beberapa hal dan masalah yang berbeda. Perbedaan dalam
membaca dan memahami postulat hukum dapat menyebabkan perbedaan dalam
makna, sedangkan ketiadaan pengetahuan sejarah tentang kedatangan suatu
postulat dapat memunculkan kesalahpahaman tentang postulat tersebut. Selain itu,
ta'arudh dapat terjadi karena perbedaan pemahaman para ahli hukum Islam
terhadap postulat hukum. Makna yang berbeda-beda dapat muncul karena
keterbatasan pengetahuan dan pemahaman para ahli hukum terhadap postulat
hukum Islam.

3. Penyelesaian Ta’arudh Al-Adillah

Terdapat beberapa pendapat dari para fuqaha mengenai cara dalam


menyelesaikan Ta’arudh Al-Adillah ini, seperti menurut Ulama Hanafiyah
mengatakan bahwa ta’arud bisa terjadi antara nash-nash syara’ ataupun ta’arud
antara dalil-dalil selain nash. Ta’arud yang terjadi pada dalil-dalil selain nash,
semisal ta’arud antara dua qiyas, maka waijb bagi seorang mujtahid untuk
mentarjih kedua qiyas tersebut dengan mengutamakan salah satunya. Apabila
pertentangan terjadi antara dua nash, para ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
metode-metode yang digunakan dalam menyelesaikannya secara sistematis adalah
Nasakh, Tarjih, Al-Jam wa al-Taufiq, dan Tasaqut al-Dalilain.

Sedangkan menurut Syafi’iyah, apabila terjadi pertentangan antara dua


qiyas maka yang dilakukan seorang mujtahid adalah men-tarjih salah satu qiyas.
Kemudian apabila terjadi pertentangan atau ta’arud antara dua nash dalam

TIM-11 (TARJIH, ITTIBA’, TALQID, TALFIQ) 7


pandangan seorang mujtahid menurut madzhab Syafi’iyah, Malikiyah, dan
Hanabilah wajib bagi mujtahid untuk melakukan pembahasan dan berijtihad sesuai
dengan tahapan-tahapan yakni Al-Jam’u wa al-Taufiq, Tarjih, Nasakh, dan
Tatsaqut al-Dalilain. Berdasarkan pendapat dari para fuqaha tersebut, dapat
dikatakan bawasannya Tarjih merupakan salah satu bentuh tahapan dalam
menyelesaikan perkara Ta’arud al-Adillah itu sendiri (Fathoni, 2020).

4. Hakekat Tarjih dalam Hukum Islam

Kata tarjih, berasal dari akar kata r-j-h yang kemudian diikutkan wazan
fa’aal, sehingga menjadi rajjaha-yurajjihu-tarjih yang berarti menguatkan. Di
dalam literatur uşul fikih, para ahli memberikan defenisi yang beragam. Asy-
Syaukani mengatakan, tarjih adalah mengukuh satu di antara dua dalil yang
dianggap bertentangan. Sedangkan Al-Amidi mendefenisikan tarjih, dengan
terdapat dua dalil yang bertentangan, di mana satu dalil menuntut untuk dilakukan
sedangkan dalil lainnya tidak. Dengan redaksi yang berbeda, Ali Hasballah
mengatakan tarjih adalah menjadikan sesuatu paling kuat, artinya menjadikan suatu
dalil menjadi lebih utama dari dalil-dalil lainnya karena ada kelebihan yang
ditunjukkan dalil tersebut (Kholidah, 2021).

Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli diatas, dapat dikatakan bahwa
Tarjih merupakan suatu metode yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan
kontradiksi antara dua dalil. Tarjih tidak dapat terjadi jika tidak terdapat dua dalil
yang kontradiksi. Penyelesaian kedua dalil yang kontradiksi dengan cara tarjih
dapat dilakukan jika keduanya tidak dapat dikompromikan. Oleh karena itu terdapat
beberapa hal yang perlu di pahami dalam menerapkan metode tarjih pada dalil yang
kontradiksi. Tarjih hanya berlaku pada dalil zanni, karena itu tarjih tidak berlaku
pada dalil qath’i dan tarjih tidak berlaku antara dalil qath’i dengan dalil zanni
penyelesaian dengan cara tarjih dapat dilakukan dengan melihat empat aspek yaitu:
tarjih dari segi sanad, tarjih dari segi matan, tarjih dari segi petunjuk hukumnya
dan tarjih dari adanya ungkapan luar yang mendukungnya (Dahliah, 2013). Adapun
penjelasan secara rinci terkait keempat aspek tersebut yakni sebagai berikut:

TIM-11 (TARJIH, ITTIBA’, TALQID, TALFIQ) 8


a) Tarjih dari Segi Sanad

Tarjih dari segi sanad adalah pemilihan atau penentuan kekuatan dan
kevalidan suatu hadis berdasarkan kekuatan dan kevalidan sanad atau rantai
periwayatan hadis tersebut. Dalam praktiknya, para ahli hadis akan
membandingkan berbagai sanad atau rantai periwayatan yang berbeda untuk
menentukan sanad yang paling kuat dan paling dapat dipercaya sebagai dasar
penentuan keabsahan hadis tersebut. Tarjih dari segi sanad dilakukan untuk
memastikan bahwa hadis yang dijadikan sebagai dasar dalam pemahaman dan
pengamalan agama Islam benar-benar berasal dari sumber yang sahih dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Contoh tarjih dari segi sanad adalah ketika para ahli hadis melakukan
pemilihan antara beberapa sanad yang berbeda dalam riwayat suatu hadis, lalu
menetapkan sanad yang paling kuat dan paling dapat dipercaya sebagai dasar
penentuan keabsahan hadis tersebut. Berikut adalah contoh tarjih dari segi
sanad:

“Suatu ketika, Imam Bukhari dan Imam Muslim, dua


ahli hadis terkenal, sama-sama meriwayatkan sebuah hadis
dari Abdullah bin Mas'ud yang berbunyi: "Tidaklah kalian
menjadikan Al-Qur'an sebagai pemimpin bagi kalian?" Namun,
keduanya memiliki perbedaan dalam sanad atau rantai
periwayatan hadis tersebut. Sanad Imam Bukhari berakhir
pada Ibnu Luhai'ah, sedangkan sanad Imam Muslim berakhir
pada Zuhair bin Harb. Karena perbedaan sanad ini, para ahli
hadis melakukan tarjih atau pemilihan terhadap salah satu
sanad yang lebih kuat. Setelah diteliti, sanad Imam Bukhari
dinilai lebih kuat daripada sanad Imam Muslim, karena Ibnu
Luhai'ah adalah seorang perawi yang lebih terpercaya dan
memiliki reputasi yang baik dalam menyampaikan hadis,
sementara Zuhair bin Harb dianggap memiliki kelemahan
dalam sanadnya.”

Dalam hal ini, para ahli hadis cenderung memilih sanad Imam Bukhari
sebagai dasar keabsahan hadis tersebut. Meskipun keduanya sama-sama

TIM-11 (TARJIH, ITTIBA’, TALQID, TALFIQ) 9


dianggap kuat dalam memeriksa dan memilah hadis, tetapi dalam kasus ini,
sanad Imam Bukhari dinilai lebih kuat dan lebih dapat dipercaya dari segi sanad.
Sebagai hasilnya, hadis ini kemudian dianggap sebagai hadis yang sahih dan
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

b) Tarjih dari Segi Matan

Salah satu contoh tarjih dari segi matan adalah terkait dengan riwayat
hadis yang berbeda mengenai perintah shalat pada saat perjalanan. Dalam
riwayat yang satu, Rasulullah SAW. memerintahkan umat Islam untuk
memperpendek shalat ketika dalam perjalanan, sedangkan dalam riwayat yang
lain, Rasulullah SAW. memerintahkan umat Islam untuk tetap melaksanakan
shalat secara penuh meskipun sedang dalam perjalanan yang jauh.

Para ahli hadis melakukan tarjih dari segi matan untuk menentukan
riwayat hadis mana yang lebih kuat dan lebih dapat dipercaya. Mereka
memperhatikan berbagai aspek seperti kesesuaian dengan Al-Qur'an,
kecocokan dengan riwayat hadis yang lain, konsistensi dengan prinsip-prinsip
ajaran Islam, dan kesesuaian dengan akal sehat dan logika. Dalam hal ini,
mayoritas ahli hadis menyatakan bahwa riwayat yang memperbolehkan
memperpendek shalat ketika dalam perjalanan lebih kuat dan lebih dapat
dipercaya, karena hadis tersebut lebih konsisten dengan prinsip-prinsip ajaran
Islam dan lebih sesuai dengan akal sehat dan logika. Oleh karena itu, para ulama
memutuskan untuk menganut pandangan tersebut dan mengambil tindakan
sesuai dengan perintah dalam hadis tersebut.

c) Tarjih dari Segi Petunjuk Hukumnya

Contoh tarjih dari segi petunjuk hukumnya dapat dilihat pada


pemahaman mengenai penggunaan riba dalam sistem keuangan modern.
Beberapa ahli fikih berpendapat bahwa penggunaan riba dalam bentuk apapun
dilarang dalam Islam, sementara yang lain berpendapat bahwa penggunaan riba
dapat diterima dalam kondisi tertentu seperti dalam keadaan darurat atau untuk
memenuhi kebutuhan yang mendesak.

Dalam proses tarjih, para ahli fikih akan mempertimbangkan berbagai


sudut pandang dan argumen yang ada, serta menggunakan metode istinbat,

TIM-11 (TARJIH, ITTIBA’, TALQID, TALFIQ) 10


istikhraj, qiyas, dan analogi untuk menentukan keputusan yang paling tepat.
Mereka juga akan merujuk pada sumber-sumber hukum Islam seperti Al-Quran,
Hadis, Ijma', dan Qiyas.

d) Tarjih dari Segi Adanya Ungkapan Luar yang Mendukungnya

Contoh tarjih dari segi adanya ungkapan luar yang mendukungnya dapat
ditemukan dalam interpretasi dan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Quran atau
Hadis yang terkadang memiliki beberapa kemungkinan makna yang dapat
diartikan. Misalnya, terdapat hadis riwayat Bukhari yang berbunyi:

"Barang siapa yang menzalimi seseorang dari ahlul-dzimmi atau


membebankan kepadanya beban yang melebihi kemampuannya, aku akan
menjadi pengacaranya pada hari kiamat nanti."

Dalam hadis ini, terdapat istilah "pengacara" (syafi'i), yang


kemungkinan memiliki beberapa makna. Beberapa ulama menyatakan bahwa
syafi'i dalam konteks ini merujuk pada peran Nabi Muhammad sebagai
perantara di hari kiamat. Namun, ada juga yang mengartikan syafi'i sebagai
"penolong" atau "pendukung", yang berarti bahwa Nabi Muhammad akan
membela orang yang dizalimi pada hari kiamat.

Dalam hal ini, tarjih dapat dilakukan dengan mempertimbangkan


ungkapan luar dari hadis tersebut. Beberapa ulama menganggap bahwa makna
"penolong" atau "pendukung" lebih sesuai dengan konteks ayat dan hadis
lainnya yang menjelaskan bahwa Islam mengajarkan keadilan dan tidak
memperbolehkan penindasan atau penganiayaan terhadap orang lain. Oleh
karena itu, mereka mengambil tarjih pada pemahaman bahwa Nabi Muhammad
akan menjadi "penolong" atau "pendukung" bagi orang yang dizalimi.

Tarjih dapat dilakukan jika terdiri dari dua dalil yang sederajat baik subut-nya,
kandungan hukumnya, waktu dan kedudukannya. Tarjih mengharuskan
pengamalan salah satu dalil yang dianggap kuat berdasarkan penelitian dari
beberapa aspek.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika ingin menggunakan metode


tarjih terhadap nash-nash yang kontradiktif adalah sebagai berikut:

TIM-11 (TARJIH, ITTIBA’, TALQID, TALFIQ) 11


a) Dalil-dalil itu sama dalam ketetapan (śubût) nya sehingga karena itu tidak ada
pertentangan yang mengharuskan tarjîḥ antara al-Quran dengan hadis ahad.
b) Dalil-dalil yang bertentangan itu sama-sama memiliki kekuatan dari sisi
hukumnya.
c) Hukum permasalahan harus sama serta bersamaan pula waktu, objek dan
seginya. Oleh karena itu, tidak bisa dianggap ada pertentangan sehingga harus
dilakukan tarjîḥ, misalnya, antara larangan berjual beli waktu ażân dengan
kebolehan berjual beli di luar waktu ażân.

Tarjih adalah untuk memperkuat salah satu dari dua argumen yang saling
bertentangan berdasarkan beberapa qarinah yang mendukung ketentuan tersebut.
Jika dua argumen yang saling bertentangan sulit dilacak sejarahnya bagi seorang
mujtahid, maka mujtahid harus memperhalus salah satu argumen yang
memungkinkan. Pen-tarjih-an dapat menggunakan beberapa metode tarjih.
Misalnya, memperkuat teks muhkam dari teks mufassir, memperkuat argumen yang
mengandung hukum haram dari argumen yang mengandung hukum halal, dan dari
segi 'is, dhabit, faqih, dan sebagainya, seorang perawi hadits (Achmadin &
Muttaqin, 2022).

B. Ittiba’, Taqlid, dan Talfiq dalam Konsepsi Hukum Islam


1. Ittiba’

Secara kebahasaan, kata ittiba’ adalah bentuk mashdar dari kata ittaba’a-
yattabi’u-ittiba’, yang berarti “menuruti atau mengikuti.” Orangnya disebut dengan
muttabi’, (orang yang mengikuti). Sedangkan menurut istilah para ulama
dirumuskan secara berbeda. Sebagian mengatakan, bahwa ittiba’ itu adalah
mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi saw dan para sahabatnya dengan mengetahui
dalil-dalilnya.” Sehubungan dengan ini, Imam Abu Dawud berkata: “Saya
mendengar Ahmad berkata, bahwa ittiba’ itu adalah seseorang telah mengikuti apa
yang dibawa oleh Nabi saw dan para sahabatnya.” Pendapat tersebut sejalan degan
pandangan Imam asy-Syafi’i yang mengatakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti
pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad SAW. dan para sahabatnya,
atau para tabi’in yang mendatangkan kebaikan (Ibrahim, 2019).

Ringkasnya, yang disebut ittiba’ adalah mengikuti atau menerima perkataan


orang lain, dan engkau mengetahui sumber pengambilannya. Menurut ulama ushul,

TIM-11 (TARJIH, ITTIBA’, TALQID, TALFIQ) 12


ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang,
dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaran-
ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW (Fauzi,
2012).

a. Ayat-Ayat Al-Qur’an Yang Memuat Kata Ittiba’

Berdasarkan penulusuran dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh


al-Qur’an al-Karīm, karya Muhammad Fu’ad Abdul Baqi ditemukan bahwa
pengungkapan kata ittiba’ dalam al-Qur‟an sebanyak 124 kali yang tersebar
dalam 40 surah dan 111 ayat. Untuk lebih memperjelas pengungkapan kata
ittiba’ dalam al-Qur‟an dapat dilihat sebagai berikut:

1) Dalam Q.S. Al-Baqarah kata ittiba’ diungkapkan sebanyak 15 kali yaitu


pada ayat 38, ayat 102, ayat 120, ayat 143, ayat 145 2 kali, ayat 166 2 kali,
ayat 167, ayat 168, ayat 170 2 kali, ayat 178, ayat 208 dan ayat 262.
2) Kata ittiba’ dalam surah Ali-Imran diungkapkan sebanyak 7 kali yakni pada
ayat 7, ayat 20, ayat 31, ayat 53, ayat 55, ayat 95, dan ayat 174.
3) Kata ittiba’ dalam surah Al-Māidah diungkapkan sebanyak 4 kali yakni ayat
16, ayat 48, ayat 49, dan ayat 77.
4) Kata ittiba’ dalam surah An-Nisā‟ diungkapkan sebanyak 5 kali yakni ayat
27, ayat 59 2 kali, ayat 125, ayat dan135.
5) Kata ittiba’ dalam surah Al-An‟am diungkapkan sebanyak 10 kali yakni
pad ayat 50, ayat 106, ayat 116 2 kali, ayat 142, ayat 148, ayat 150, ayat 153
2 kali dan ayat 155.
6) Kata ittiba’ dalam surah Al-A‟rāf diungkapkan sebanyak 10 kali yakni ayat
3 dua kali, ayat 18, ayat 90, ayat 142, ayat 157 2 kali, ayat 158, ayat 193,
dan ayat 203.
7) Kata ittiba’ dalam surah Al-Anfāl diungkapkan sebanyak 1 kali yakni pada
ayat 64.
8) Kata ittiba’ dalam surah At-Taubah diungkapkan sebanyak 3 kali yakni ayat
42, ayat 100, dan ayat 117.
9) Kata ittiba’ dalam surah Yunus diungkapkan sebanyak 6 kali yakni pada
ayat 15, ayat 35, ayat 36, ayat 66 2 kali, dan ayat 90.

TIM-11 (TARJIH, ITTIBA’, TALQID, TALFIQ) 13


10) Kata ittiba’ dalam surah Hūd diungkapkan sebanyak 5 kali yakni pada ayat
27, ayat 60, ayat 97, ayat 99, dan ayat 116.

Selain beberapa ayat diatas, masih banyak ayat-ayat lain didalam Al-Qur’an
yang menyebut istilah ittiba’. Adapun berikut salah satu ayat yang menyebut
ittiba’ tersebut:

Artinya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti
apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah
mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah
(2):170)

Ibnu Ishak meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari


ikrimah atau Sa’id ibn Jubair, dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini diturunkan
berkenang dengan segolongan orang-orang yahudi yang diajak Rasulullah
SAW. untuk memeluk Islam. lalu mereka menjawab bahwa mereka hanya mau
mengikuti apa yang mereka dapati dari nenek moyang mereka melakukannya.
Lalu Allah menurunkan ayat ini.

b. Kedudukan Ittiba’ Dalam Islam

Ittiba' kepada Rasulullah SAW. mempunyai kedudukan yang sangat


tinggi dalam Islam, bahkan merupakan salah satu pintu seseorang dapat masuk
Islam. Berikut ini akan disebutkan beberapa kedudukan penting yang ditempati
oleh ittiba', di antaranya adalah:

1) Ittiba' kepada Rasulullah SAW. adalah salah satu syarat diterima amal.
Sebagaimana para ulama telah sepakat bahwa syarat diterimanya ibadah ada
dua yakni mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Allah swt semata dan
harus mengikuti dan serupa dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah
SAW.

TIM-11 (TARJIH, ITTIBA’, TALQID, TALFIQ) 14


2) Ittiba' merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah SWT dan
Rasul-Nya
3) Ittiba' adalah sifat yang utama wali-wali Allah SWT.

Demikianlah beberapa kedudukan ittiba' yang tinggi dalam syari'at Islam


dan masih banyak lagi kedudukan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa
ittiba' kepada Rasulullah SAW. merupakan suatu amal yang teramat besar dan
banyak mendapat rintangan. Mudah-mudahan Allah SWT. menjadikan kita
termasuk orang-orang yang ittiba' kepada Nabi-Nya dalam segala aspek
kehidupan manusia.

2. Taqlid

Menurut bahasa, taqlid adalah bentuk masdar dari kata qallada berarti
kalung yang dipakai/dikalungkan ke leher orang lain, atau seperti binatang yang
akan dijadikan dan, dimana lehernya diberi kalung sebagai tanda, atau seperti
kambing yang lehernya telah diikat dengan tali atau tambang yang dapat ditarik ke
mana saja, tanpa disadari oleh kambing yang bersangkutan (Farizi, 2014).

a. Rumusan Pengertian Menurut Istilah Taqlid

Taqlid menurut istilah ada beberapa rumusan, antara lain:

1) Suatu ungkapan yang mencerminkan sikap seseorang yang mengikuti orang


lain, baik dalam pendapatnya maupun perbuatannya dengan meyakini
realitasnya tanpa melakukan penyelidikan dan pemikiran terhadap dalilnya.
2) Menerima pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil-dalilnya serta tanpa
mengetahui kekuatan dari dalil-dalil tersebut.
3) Beramal berdasarkan pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil-dalilnya.

Sesuai dengan pengertian taqlid di atas maka beberapa hal seperti di bawah
ini tidaklah termasuk kategori taqlid. Beberapa hal itu ialah:

1) Beramal berdasarkan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi.


2) Beramal berdasarkan ijma'
3) Seorang hakim yang memutuskan perkara berdasarkan kesaksian saksi yang
adil.

TIM-11 (TARJIH, ITTIBA’, TALQID, TALFIQ) 15


b. Hukum Taklid

Dalam kaitanya dengan hukum taklid, para ulama berbeda pendapat,


yaitu ada ulama yang merelatifkan hukum taklid dan ada ulama uang tidak
memperbolehkan taklid sama sekali.

1) Relativitas Hukum Taklid

Imam al-Sulami, salah seorang yang berpendapat bahwa hukum


taklid adalah sangat bergantung pada beberapa keadaan; tidak bisa
dihukumi secara tunggal, yaitu dilarang atau diperbolehkan. Dalam
perspektif al-Sulami, bahwa hukum taklid itu dapat dipisahkan dalam dua
kategori, yaitu ada yang dilarang dan ada yang diperbolehkan (Miswanto,
2019).

a) Yang Dilarang

Berikut beberapa topik atau pembahasan mengenai taqlid yang


diharamkan atau dilarang:

(1) Taqlid dalam akidah, yakni taqlid terhadap hal-hal yang terkait erat
dengan keyakinan terhadap hal-hal yang termasuk dalam
pengetahuan dasar dan fundamental dalam agama Islam. Dalam hal
ini ulama berbeda pendapat, mayoritas ulama berpendapat bahwa
taqlid dalam akidah termasuk dalam hal yang diharamkan, bahkan
bagi seorang mukallaf diwajibkan untuk menggunakan nalar dan
pemikiran yang mapan (Khasanah et al., 2019).
(2) Dari sisi subjeknya, yang dilarang untuk taklid adalah orang yang
sudah sampai pada martabat mujtahid. Menurut al-Sulami, tidak
diperbolehkan seorang mujtahid untuk taklid secara mutlak. Dan ini
menurut al-Sulami adalah pendapat jumhur ulama. Beliau
menyatakan:
“Banyak kalangan dari para ahli ushul telah meriwayatkan
tentang kesepakatan bahwa sesungguhnya seorang
mujtahid tatkala melihat suatu peristiwa hukum, dan
kemudian ia (melakukan pembahasan) sehingga sampai
pada satu kesimpulan hukum bersifat dhanni yang kuat

TIM-11 (TARJIH, ITTIBA’, TALQID, TALFIQ) 16


dengan hukum Allah SWT; maka ia tidak diperbolehkan
untuk meninggalkan hukum bersifat dhanni itu, dan
mengamalkan hukum dhani dari ulama lainnya.”
b) Yang Diperbolehkan

Menurut perspektif al-Sulami, bahwa persoalan yang


diperbolehkan untuk taklid adalah persolan-persoalan furu’iyyah. Yang
dimaksudkan dengan persoalan furu’iyyah adalah segala sesuatu yang
tidak masuk dalam masalah ushul, yaitu yang tidak menjadikan
seseorang itu bisa dianggap masuk atau keluar dari agama ini. Menurut
al-Sulami, bahwa jumhur memperbolehkan orang awam untuk
melakukan taklid. Hal ini menurut al-Sulami, didasarkan pada
argumentasi ijmak sahabat, yaitu para sahabat memberikan fatwa
kepada orang-orang awam ketika mereka bertanya. Dan hal ini
didasarkan pada ketentuan bahwa seorang yang bodoh wajib untuk
bertanya kepada seorang ulama.

Para ulama yang memperbolehkan taklid berdasarkan argument


pada realitas umat islam yang tidak semuanya memahami tentang
hukum-hukum agama. Ketidakmampuan orang awam untuk belajar
agama mengharuskan mereka untuk ikut dalam pengamalan agama yang
dilakukan oleh para ulama. Umat awam bahkan diharuskan untuk taklid
kepada para ulama yang memahami dan mengerti tentang agama,
dengan cara bertanya kepada orang yang lebih tahu (ulama).

2) Dilarang Secara Mutlak

Salah seorang ulama yang sangat keras terhadap praktek taklid


adalah Ibn Hazm al-Andalusi, Imam al-Syaukani, dan Imam al-Jashash.
Sementara Imam al-Syaukani juga salah seorang yang sangat kristis terkait
dengan praktek taklid. Kemudian, Imam al-Syaukani menegaskan
pendapatnya bahwa bertaklid kepada pendapat seseorang yang tidak disertai
dalil, maka sesungguhnya orang yang taklid itu telah terjebak kepada
menjadikan orang yang ditaklidi itu seperti Nabi, pembuat syariat. Dan
inilah bahaya agama baru yang tidak disyariatkan oleh Allah SWT.

TIM-11 (TARJIH, ITTIBA’, TALQID, TALFIQ) 17


Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Imam al-Syaukani,
seorang ulama mazhab hanafi, Ahmad Bin Ali Abu Bakar Al-Raziy yang
dikenal dengan Imam Al-Jashas, dalam kitabnya Al-Fushul Fi Al-Ushul,
menyatakan sebagai berikut:

“Dan sunnguh Allah SWT telah mencela perbuatan taklid


tidak hanya di satu tempat di dalam kitab-Nya, dan para Nabi
diutus dalam rangka untk menyeru meninggalkan taklid, dan
beralih menggunakan akal fikiran di dalam berargumentasi
dan berdalil.”

Lebih lanjut, Imam al-Jashas menyampaikan bahwa orang


berhujjah tetang taklid sesungguhnya telah menyalahi karunia yang besar
berupa akal fikiran (Miswanto, 2019).

3. Talfiq

Secara etimologi, talfiq memiliki beberapa makna, kata talfiq berasal dari
kata laffaqa-yulaffiqu. Di antara maknanya. Pertama, talfiq bermakna menyatukan,
seperti dalam sebuah kalimat laffaqta ats-tsauba lafqan menyatukan dua sisi baju
untuk dijahit. Kedua, bermakna tidak ada perpecahan atau bersatu, makna ini
hampir semakna dengan makna yang pertama. Dua makna ini yang kemudian akan
ada kaitan erat dengan talfiq secara istilah (Muyassir, 2022). Menurut ulama Ushul,
talfiq yaitu menetapkan suatu perkara yang tidak dikatakan oleh seorang mujtahid.
Maksudnya adalah melakukan suatu perbuatan dengan mengikuti suatu madzhab,
dan mengambil satu masalah dengan dua pendapat atau lebih untuk sampai kepada
suatu perbuatan yang tidak ditetapkan oleh kedua mujtahid tersebut, baik pada
imam yang diikuti dalam madzhabnya maupun menurut pendapat imam yang baru
ia ikuti. Pada akhirnya setiap dari masing-masing mazhab tersebut menyatakan
pembatalan perbuatan yang tercampur aduk tadi.

Ada juga ulama yang mendefinisikan talfiq sebagai mengikuti atau bertaklid
kepada dua imam mujtahid atau lebih dalam melaksanakan suatu amal ibadah,
sedangkan kedua imam yang bersangkutan tidak mengakui sahnya amal ibadah
tersebut karena tidak sesuai dengan pendapat mereka masing-masing. Ada juga
yang mendefinisikan dengan beramal dalam suatu masalah menurut hukum yang

TIM-11 (TARJIH, ITTIBA’, TALQID, TALFIQ) 18


merupakan gabungan dari dua madhhab atau lebih; atau menentukan hukum suatu
peristiwa berdasarkan pendapat berbagai madhhab.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dikatakan talfiq apabila seseorang


meniru dan ikut dalam permasalahan atau perkara dengan dua perkataan secara
bersama-sama, atau kepada salah satunya saja. Yang akhirnya akan menimbulkan
suatu perkara yang baru, yang tidak dikatakan oleh kedua mazhab tersebut.

a) Hukum Talfiq

Tentang hukum talfiq ini, ulama fiqh dan ulama usul berbeda pendapat
berasal dari boleh tidaknya sesorang berpindah madhhab baik secara
keseluruhan maupun sebagian. Ada tiga perbedaan pendapat ulama yang perlu
diangkat pada persoalan ini, yaitu:

(1) Tidak boleh pindah madzhab, baik secara keseluruhan maupun sebagian.

Ketika seorang mujtahid memilih salah satu dalil maka ia harus


tetap berpegang pada dalil itu, karena dalil yang telah dipilih dipandang
kuat (rajih) dan yang tidak dipilihnya dianggap lemah. Pertimbangan rasio
dalam kondisi seperti itu tentu menghendaki untuk mangamalkan dalil
yang dipandang kuat dan secara rasional pula apa yang telah dipilihnya itu
harus dipertahankan. Atas dasar inilah, maka hukum talfiq adalah haram.
Golongan ini dipelopori oleh sebagian besar ulama Shafi’iyah terutama
Imam al-Qaffal Shafi’i (291-365 H), Ibn Hajar al-'Asqalani dan sebagian
ulama madhhab Hanafi.

(2) Boleh pindah madzhab

Menurut pendapat ini, seseorang boleh-boleh saja pindah


madzhab meskipun dengan alasan mencari keringanan, asalkan tidak
terjadi dalam satu kasus yang menurut masing-masing madzhab adalah
saling membatalkan. Pendapat ini didasarkan pada kenyataan bahwa, dari
madzhab yang empat tidak pernah ditemukan perkataan imamnya yang
mengharuskan untuk memilih madzhabnya sendiri.

TIM-11 (TARJIH, ITTIBA’, TALQID, TALFIQ) 19


(3) Boleh secara mutlak

Pendapat ini membolehkan talfiq secara mutlak, karena memang


tidak ada larangan dalam agama untuk memilih salah satu madzhab.
Walaupun didorong ingin mencari keringan dan mengambil yang mudah-
mudah.

Berdasarkan ketentuan hukum dari talfiq tersebut, pada dasarnya


mayoritas ulama mengambil pendapat tentang bolehnya talfiq. Pendapat ini
dianut oleh sebagian besar ulama-ulama modern sekarang dari ahli-ahli hukum
Islam seperti Dr. Muhammad Sallam Madhkur, Shekh Hasanen Makhluf Mufti
Mesir, Muhammad Sa’id al-Bani, dan lain-lain. Kaitannya dengan persoalan
talfiq Hasanen Makhluf berpendapat bahwa, “Sesungguhnya talfiq merupakan
pengamalan sesuatu perbuatan menurut pendapat satu mazhab dan mengikuti
pendapat madhhab lain dalam satu hal yang lain karena darurat atau tanpa
darurat baik dalam urusan ibadah maupun mu’amalah adalah boleh sebab hal
itu merupakan satu keringanan dan rahmat bagi ummat.” Hanya saja mayoritas
umat Islam Indonesia selalu terjebak pada persoalan fanatisme terhadap satu
mazhab saja.

b) Contoh Talfiq
(1) Dalam persoalan ibadah, misalnya seseorang berwudlu mengikuti tata
cara Syafi'i, kemudian ia bershalat dengan menghadap kiblat dengan
posisi sebagaimana ditentukan oleh madzhab Hanafi.
(2) Dalam persoalan kemasyarakatan, misalnya Membuat undang-undang
perkawinan dimana akad nikahnya harus dengan wali dan saksi karena
mengikuti madzhab Syafi'i; mengenai sah jatuhnya thalaq raj'i
mengikuti madzhab Hanafi yang memandang sah ruju' bi al-fi'li
(langsung bersetubuh) (Farizi, 2014).

TIM-11 (TARJIH, ITTIBA’, TALQID, TALFIQ) 20


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan mengenai tarjih, ittiba’, taqlid, dan talfiq diatas, dapat
disimpulkan bahwa tarjih sebagai metode dalam memutuskan suatu masalah/ kasus
adalah memilih atau menguatkan salah satu dalil atau pemikiran dari berbagai dalil atau
pemikiran yang saling bertentangan (taʻâruḍ al-adillah). Dalam studi ilmu ushul fiqh,
tarjih ini merupakan solusi ketiga setelah metode al-jam’u wa taufîq dan nâsikh wa al-
mansûkh. Sedangkan ittiba’ sendiri ialah pengambilan hukum dengan mengetahui dalil
dan alasan-alasannya dan ia diketahui dengan jalan yang ditunjuki oleh mujtahid. Ittiba’
ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba’ adalah lawan taqlid. Adapun taqlid
adalah mengikuti orang yang tidak didasarkan pada hujjah (alasan) dalam
mengikutinya, dan tidak disandarkan pada pengetahuan. Kemudian Talfiq merupakan
tindakan mengambil atau mengikuti suatu hukum tentang suatu peristiwa dengan
mengambilnya dari berbagai madhhab. Talfiq juga sebutan bagi seseorang yang dalam
beribadah mengikuti salah satu pendapat dari madhhab yang empat atau madzhab lain
yang populer, tetapi ia mengikuti pula madhhab yang lain dalam hal yang pokok atau
salah satu bagian tertentu.

Pada dasarnya Ijtihad dapat kita jadikan alat untuk menjawab perlu dan tidaknya
reaktualisasi hukum Islam dan hal itu hanya memenuhi persyaratan ijtihad. Marilah kita
menjadi mujtahid yang benar atau muqallid yang baik yang mempunyai komitmen yang
utuh terhadap ajaran agama Islam.

B. Saran

Penulis menyadari bawasannya tulisan ini masih memiliki berbagai


kekurangan, baik dari isi maupun tata bahasannya. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan bagi penulis selanjutnya dapat melengkapi kekurangan yang terdapat
dalam tulisan ini sehingga pemahaman mengenai materi tersebut dapat diterima dengan
baik.

TIM-11 (TARJIH, ITTIBA’, TALQID, TALFIQ) 21


DAFTAR PUSTAKA

Achmadin, B. Z., & Muttaqin, M. I. (2022). Ta’arudh Al-Adillah: Problem Solving Methods
Of Islamic Law. Ummul Qura : Jurnal Institut Pesantren Sunan Drajat (INSUD)
Lamongan, 17(1), 1–18. https://doi.org/10.55352/uq.v17i2.635

Dahliah. (2013). Metode Penyelesaian Ta‘arud Al-Adillah dan Implikasinya Terhadap


Penetapan Hukum Islam. In UIN Alauddin Makassar (pp. 47–50). Program Pascasarjana,
UIN Alaudin Makasar.

Farizi, M. Al. (2014). Ijtihad, Taqlid, dan Talfiq. Al-Mabsut: Jurnal Studi Islam Dan Sosial,
8(2), 313–325.

Fathoni, K. (2020). Metode Penyelesaian Ta’arudh al-Adillah dalam Metodologi Hukum


Islam. AL-MANHAJ: Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam, 2(1), 45–64.
https://doi.org/10.37680/almanhaj.v2i1.309

Fauzi, A. F. (2012). Ittiba’ Dalam Persfektif Al-Qur‟An ( Suatu Kajian Tafsir Maudhu’i ) (p.
15). Fakultas Ushuluddin dan Filsafat: UIN Alauidn Makasar.

Ibrahim, D. (2019). Ushul Al-Fiqh (Dasar-Dasar Hukum Islam) (A. Sandi (ed.); I). CV.
Amanah.

Khasanah, N., Hamzani, A. I., & Aravik, H. (2019). Taqlid and Talfiq in the Conception of
Islamic Law. MIZAN: Journal of Islamic Law, 3(2), 155–168.
https://doi.org/10.32507/mizan.v3i2.489

Kholidah. (2021). Dinamika Tarjih Muhammadiyah Dan Kontribusinya Terhadap


Perkembangan Hukum Islam Di Indonesia. In Disertasi (pp. 1–251). Program Pasca
Sarjana: UIN Sumatera Barat.

Miswanto, A. (2019). Ushul Fiqh (H. N. Usman (ed.); I). UNIMMA PRESS.

Muyassir, A. (2022). Kedudukan Talfiq Dalam Konsep Hukum Islam. Jurnal Studi Keislaman,
7(4), 12–20.

Ramadhani, P. E. (2022). Ta’Arudh Al-Adillah: Metode Memahami Dalil Dalam Penyelesaian


Persoalan Hukum. Ta’Arudh Al-Adillah: Metode Memahami Dalil Dalam Penyelesaian
Persoalan Hukum, 01(2), 313–331. file:///C:/Users/asusa/Downloads/9513-Article Text-

TIM-11 (TARJIH, ITTIBA’, TALQID, TALFIQ) 22


33452-1-10-20220830.pdf

Rosyadi, I. (2017). Tarjih Sebagai Metode: Perspektif Usul Fiqh. Ishraqi, 1(1), 52–61.
https://doi.org/10.23917/ishraqi.v1i1.3431

TIM-11 (TARJIH, ITTIBA’, TALQID, TALFIQ) 23

Anda mungkin juga menyukai