Anda di halaman 1dari 2

Nama : Fajrianie Amelia Zahrah

Kelas/Jurusan : X TGG 1

Kisah Pasukan Gajah Serang Kakbah

Kisah pasukan gajah menyerang Kakbah terjadi beberapa


puluh tahun setelah kasus pembantaian penganut ajaran tauhid Nabi
Isa di Najran oleh penguasa Himyar Dzu Nuwas dari Yaman.
Wali negeri atau gubernur Yaman dari Abesinia yang
pertama adalah Aryath. Dialah komandan pasukan yang membantu
orang Najran mengusir Raja Himyar Dzu Nuwas. Aryath kemudian
dibunuh oleh Abraha, wakilnya, yang berambisi berkuasa di
Yaman.
Di zaman Abraha inilah terjadi penyerangan ke Kakbah Mekkah sekitar tahun 571 M. Ada ribuan
tentara yang bergabung. Di antaranya peleton pasukan gajah. Ada orang mempertanyakan darimana gajah-
gajah pasukan ini padahal jazirah Arab tak ada gajah? Abraha adalah penguasa dari Abesinia, Ethiopia.
Tentu saja gajah-gajah yang dilatih berperang ini didatangkan dari Afrika. Menjadi pasukan elite yang gagah
dan megah. Abraha memang menyukai kemegahan.
Tradisi haji di Mekkah ini yang diiri Abraha sehingga kota kecil di pelosok gurun itu menjadi ramai
setiap tahun dikunjungi peziarah. Maka dia membangun baitullah baru di pusat kota Shan’a yang diharapkan
menjadi kota suci yang dikunjungi peziarah.
Namun keinginan Abraha ini tidak selalu didukung masyarakat jazirah Arab. Lebih-lebih orang Mekkah.
Salah satunya yang paling iseng dan nekat seseorang dari Bani Fuqaim bin Adi yang disebut al-Kinani. Dia
orang Mekkah yang saat itu berdagang ke Yaman. Mendengar rencana Abraha, al-Kinani tak suka.
Menjelang kepulangannya, dia menuju gedung kebanggaan Abraha dan buang air besar di situ. Setelah itu
dia bergabung dengan kafilahnya kembali ke Mekkah.
Ketika pejabat negara tahu ada kotoran di gereja langsung melapor ke Abraha. ”Siapa pelakunya?”
tanya Abraha.
”Pelakunya orang Arab warga sekitar Baitullah di Mekkah. Dia mendengar ucapanmu yang akan
mengalihkan haji orang-orang Arab ke gerejamu. Orang itu marah dan berak di situ. Artinya bangunanmu
itu tidak layak dijadikan tempat haji,” jawab pejabat itu.
Abraha marah dan bersumpah akan menyerang Mekkah dan menghancurkan Kakbah. Maka
berangkatlah bala tentaranya termasuk peleton pasukan gajah yang dia pimpin. Kisah pasukan gajah
menyerang Mekkah ini terdengar se antero negeri Yaman dan Arab.
Tidak semua orang Yaman setuju dengan penyerangan ini. Salah satunya kabilah dari Dzu Nafr. Dia
mengajak kaumnya untuk menghadang pasukan gajah Abraha. Terjadilah pertempuran. Tapi Dzu Nafr
kalah. Waktu hendak dihukum mati dia minta pengampunan dan bersedia bergabung menjadi penunjuk
jalan.
Perjalanan sampai di daerah Khats’am, pasukan Abraha dihadang Nufail bin Habib al-Khats’ami dengan
kekuatan kabilah Syahran, Nahis, dan kabilah lainnya. Namun tentara gabungan ini dapat dipukul mundur
pasukan Abraha.
Ketika Nufail hendak dibunuh, dia minta pengampunan. Akhirnya dia bersedia bergabung dan setia
kepada Abraha menjadi penunjuk jalan ketika tahu kisah pasukan gajah menuju Mekkah.
Iringan pasukan yang makin besar ini tiba di Thaif. Di kota ini pasukan Thaif melawan dipimpin Mas’ud bin
Mua’attib bersama kabilah Tsaqif. Tapi perlawanan ini dengan mudah ditaklukkan Abraha. Orang-orang
Thaif akhirnya menyatakan tunduk setia dan bergabung. Kabilah ini mengutus Abu Righal menjadi
pemandu jalan.
Sampai di al-Mughammis lembah Muhassir, Abraha
mengirim pasukan berkuda asli Abesinia pimpinan al-Aswad bin
Maqsud memasuki Mekkah lebih dulu memeriksa kondisinya.
Tiba di kota itu pasukan al-Aswad merampas harta orang
Mekkah termasuk 200 ekor unta milik Abdul Muththalib, penjaga
Kakbah.
Lembah Muhassir tempat peristiwa pasukan gajah Abraha
diserang rombongan burung. Sekelompok kecil orang Quraisy
ingin melawan pasukan berkuda ini. Karena kalah jumlah
akhirnya mereka mundur. Kemudian Abraha mengutus juru bicara Hanathah al-Himyari untuk bertemu
pemimpin Quraisy, Abdul Muttthalib.
Hanathah menjelaskan, kenapa pasukan gajah datang untuk menghancurkan Kakbah. Jika penduduk
Mekkah tidak menghalangi maka selamat mereka. Abdul Muththalib mengatakan, penduduk Mekkah tak
ada kekuatan melawan. Dia pasrahkan Kakbah kepada perlindungan Allah.
Abdul Mutthalib kemudian dibawa menemui Abraha di posko tendanya di al-Mughammis
didampingi anaknya dan pemimpin kabilah lainnya. Abraha menemuinya dengan penghormatan sebagai
pemimpin kota Mekkah. Abdul Muththalib lalu berkata, ”Kepentinganku terhadap tuan adalah agar
mengembalikan 200 ekor untaku yang telah dirampas pasukan tuan,” kata Abdul Muththalib.
Abraha kaget mendengar permintaan ini. Lewat penerjemahnya dia berkata,”Sebenarnya aku kagum
melihatmu. Tapi ternyata kamu hanya bicara 200 unta yang kurampas darimu. Padahal aku datang hendak
menghancurkan rumah dari agamamu, agama nenek moyangmu. Kamu tak sedikit pun menyinggungnya.”
Abdul Muththalib menjawab,”Sesungguhnya aku adalah pemilik unta. Rumah itu mempunyai pemilik yang
akan melindunginya.”
Abraha menukas,”Dia tidak layak menghalang-halangiku.”
Abdul Muththalib menegaskan,”Itu terserah antara tuan denganNya.”
Abdul Muththalib mendapatkan untanya lantas pulang bersama pendampingnya. Sampai di Mekkah
dia umumkan agar semua penduduk keluar berlindung ke bukit agar aman dari serangan pasukan yang bakal
datang.  
Kemudian dia bersama pemimpin Quraisy menuju Kakbah dan berdoa sambil memegang rantai pintu
Kakbah. ”Ya Allah, sesungguhnya seorang hambah telah melindungi pelananya maka lindungi rumahMu.
Ya Tuhan, salib mereka tidak akan mengalahkanMu besok pagi karena hanya Engkau Yang Mahakuat. Jika
Engkau membiarkan mereka dan kiblat kami maka itu karena sesuatu yang telah Engkau inginkan.”
Esok hari pasukan Abraha yang naik di atas gajah bernama Mahmud memimpin pasukan sudah
mendekati Mekkah. Tiba-tiba gajah Abraha mogok berjalan lantas duduk. Tentu saja ini membuat panik
Abraha dan pawangnya. Pasukannya juga berhenti.
Gajah itu dipukuli agar berdiri tetap tak mau. Setelah dicucuk perutnya bahkan diiris kulitnya, baru
gajah-gajah  berdiri tapi balik arah menuju Yaman. Ketika digiring ke arah Mekkah, gajah itu duduk lagi.  
Untuk peristiwa ini Ibnu Hisyam bercerita, saat gajah Mahmud disiapkan berangkat, diam-diam
Nufail bin Habib al-Kats’ami yang menjadi tawanan mendekati gajah itu. Dia membisikkan mantra ke
telinganya, ”Duduklah atau pulanglah karena sesungguhnya kamu berada di tanah haram.” Kemudian Nufail
lari bersembunyi ke gunung.
Di tengah kekacauan atas ulah gajah ini tiba-tiba datanglah burung berbondong-bondong. Seperti
burung camar atau balsan dari arah laut. Burung-burung itu menjatuhkan kerikil sebesar kacang dan adas.
Saat kerikil-kerikil mengenai tubuh pasukan langsung tewas meleleh seperti diceritakan dalam surat al-Fiil.
Para tentara lari kocar-kacir menyelamatkan diri kembali pulang atau mencari perlindungan ke bukit.
Sebagian besar tentara mati, hanya sedikit yang selamat. Abraha yang sudah mati dengan tubuh penuh luka
dibawa pulang ke ibukota Shan’a.

Anda mungkin juga menyukai