Anda di halaman 1dari 8

a.

faktor pendukung yakni, kekuatan jaringan antara dalam negeri dan luar negeri, budaya
permisif dari sebuah masyarakat serta lemahnya pencegahan atau penegakan hukum oleh
pemerintah terhadap kelompok yang dapat dikategorikan sebagai teroris.

Radikalisme sebagai paham akan mudah mempengaruhi karakter generasi yang baru
tumbuh ketika nilai-nilai yang diyakini itu dicantumkan atau disisipkan dalam pelajaran
sekolah. Penyisipan nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila dapat disebabkan
unsure kesengajaan tetapi juga akibat ketidaktelitian dari pihak yang bertanggung jawab
atas pendidikan dan penerbitan buku itu. Anak-anak yang baru tumbuh akan dengan
mudah menyerap apa saja yang ditulis dalam buku pelajaran sekolah, baik itu benar
ataupun salah.maka itu akan sangat merusak ketahanan nasional Indonesia

Paham Radikalisme atau disebut Ekstrimisme merupakan faham. yang anti


toleransi dalam segala hal misalnya suku, agama, etnis, dan budaya, Radikalisme yang
paling jelas terlihat saat ini adalah Radikalisme berkedok agama, sekilas mereka seolah
olah sebagai pembela agama, namin prilaku intoleransi, dan selalu menghalalkan
kekerasan bahkan kekerasan seksual dan perbudakan seksual yang membuat mereka
disebut sebagai kaum radikal teroris, ideologi Khilafah yang mereka usung sangat
membahayakan keutuhan bangsa Indonesia yang begitu beragam /plural karena Khilafah
anti perbedaan, Pancasila merupakan solusi efektif untuk menangkal Khilafah yang
sangat tidak sesuai dengan nilai nilai luhur kepribadian bangsa Indonesia karena
Pancasila digali dari sendi sendi kepribadian Bangsa Indonesia sejak dahulu kala.

b. Menurut pendapat saya adalah krisis moral.


Hal ini terjadi karena pengaruh kebudayaan asing yang sangat kuat, sehingga sulit untuk
menyaringnya.
Apalagi adanya pasar bebas; orang akan menghalalkan segala cara agar menguasai pasar
perdagangan .

Sikap pemerintah seharusnya mengenalkan kebudayaan lokal dengan pentas seni budaya
selain itu pemerintah juga harus membantu rakyat dalam pasar bebas dengan memberikan
bekal berkompisi sehingga dapat meminimalsirkan tindakan kecurangan.

Masih segar dalam ingatan kita, bahwa krisis multidimensi yang

berkepanjangan—puncaknya tahun 1997-2000—merupakan pengalaman

terpahit dalam krisis ekonomi, politik, dan hukum pasca kemerdekaan In-

donesia. Krisis yang dapat diibaratkan negara-bangsa yang turbulensi (chaos)

di mana banyak pengamat menyebutnya sebagai “A Country in Despair”

suatu negara bangsa yang bukan sekedar dilterpa bencana, tetapi telah
tenggelam dalam ketiadaan harapan yang mendalam (Dhakidae, 2002; xvii).

Krisis multidimensi Indonesia, telah membuka seluruh “topeng” sampai

ke bagian-bagian yang tersembunyi. Ia dengan putus asa dan emosional penuh

sinis serta sindiran terhadap Indonesia sebagi negeri yang serba seolah-olah,

a heap of delusions, tidak ada lagi sebenarnya apa yang disebut nasionalisme,

heroisme, keadilan, persatuan, kejujuran maupun kebanggaan.

Pendeknya, lembaga-lembaga lama bertahan kendati tanpa

wibawa. Indonesia membangun dengan fundamental

ekonomi yang seolah-olah kuat, dengan politik yang seolah-

olah stabil; dengan kesadaran selolah-olah bersatu; dengan

pemerintah yang seolah-olah bersih dan kompeten; dengan

ABRI yang seolah-olah satria; dengan ahli hukum seolah-

olah adil; dengan pengusaha yang seolah-olah captains of

industri;… Semua tampak salah, ibarat gigi palsu yang

memang lebih kemilau daripada gigi asli,…mirip kebo-

hongan di atas kebohongan (Simbolon, 2000: 2-6).

Rasa kebangsaan tersebut, telah mencapai titik nadir yangmemilukan. Apakah itu rasa
kebangsaan kwarganegaraan atau

nasionalisme sipil seperti yang dikemukakan oleh J.J. Rousseau dalam Du

Contract Sociale; begitu juga dalam nasionalisme budaya sebagaimana

kesediaan Dinasti Qing untuk menggunakan adat istiadat Tionghoa yang

membuktikan keutuhan budaya Tionghoa; begitupun pada nasionalisme

ekonomi seperti yang mengikuti model Sumitro yang dikemukakanMudrajad

Kuncoro, serta nasionalisme etnik seperti yang ditulis oleh Johann Gottfried
von Herder dengan memperkenalkan konsep Volk dan berkaitan dengan

nasionalisme kenegaraan—dimana penyelenggaraan sebuah ‘national state’

adalah suatu argumen yang ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih

baik dengan tersendiri—contohnya nasionalisme Fleming di Belgia dan

Basque di Spanyol serta Kurdi di Turki. Kemudian nasionalisme keagamaan

di Irlandia semangat nasionalisme bersumber dari persamaan agama mereka

yaitu Katolik; nasionalisme di India seperti yang diamalkan oleh pengikut

partai BJP bersumber dari Agama Hindu. Semuanya mengalami fluktuasi.

Nasionalisme Indonesia masa kini sedang mengalami degradasi

dengan meningkatnya konflik-konflik antaretnik, antaragama, dan fenomena

disintegrasi bangsa lainnya. Konflik antaretnik dan antaragama di Indonesia

sejak tahun 1997 barangkali dapat dijelaskan dengan teori chaos—yang mulai

dikenal di kalangan sains pada penghujung abad 20. Secara sederhana

fenomena chaos dapat digambarkan dengan ungkapan terkenal, “Does the

flap of a butterly’s wings in Brazil set off a tornado in Texas” (Lorenz,

1993: 14). Atau ada juga yang mengatakan “Kepak sayap seekor kupu-

kupu di pelabuhan Sydney sudah cukup menimbulkan angin taufan dua

minggu kemudian di Jamaica”¾ soal-soal kecil dan spele bisa menimbulkan

kekacauan besar.

Konflik-konflik yang terjadi di berbagai pulau-pulau besar—

Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian, Sumatera—salah satu buntutnya adalah

pilihan penduduk untuk bertahan tinggal ataukah meninggalkan kediaman

mereka yang telah berubah menjadi daerah konflik berkepanjangan. Sampai


dengan tanggal 5 April 2002 saja sudah 1.247.449 orang Indonesia hidup

mengungsi di negerinya sendiri (Sugiya, 2002: 337). Saat itu pengungsi tersebar

di di 20 provinsi. Kemudian data sampai tanggal 5 April 2002 memperlihatkan

c. BNPT mempunyai tugas: Mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam


pelaksanaan dan melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme; ... Bidang
penanggulangan terorisme meliputi pencegahan, perlindungan, deradikalisasi,
penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional.

Berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 46 Tahun 2010 Tentang Badan Nasional


Penanggulangan Terorisme, dalam menjalankan tugasnya, BNPT menyelenggarakan
fungsi :

1. Penyusunan kebijakan, strategi dan program nasional di bidang penanggulangan


terorisme;

2. Monitoring, analisa dan evaluasi di bidang penanggulangan terorisme;

3. Koordinasi dalam pencegahan dan pelaksanaan kegiatan melawan propaganda ideologi


radikal di bidang penanggulangan terorisme;

4. Koordinasi pelaksanaan deradikalasi;

5.Koordinasi pelaksanaan perlindungan terhadap obyek-obyek yang potensial menjadi


target serangan terorisme;

6. Koordinasi pelaksanaan penindakan, pembinaan kemampuan dan kesiapsiagaan


nasional;

7. Pelaksanaan kerjasama internasional di bidang penanggulangan terorisme;

8. Perencanaan, pembinaan dan pengendalian terhadap program, administrasi dan sumber


daya serta kerjasama antar instansi;

9. pengoperasian Satuan Tugas-Satuan Tugas dilaksanakan dalam rangka pencegahan,


perlindungan, deradikalisasi, penindakan dan penyiapan kesiapsiagaan nasional di bidang
penanggulangan terorisme.

a) Dalam rangka memberikan jaminan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia


dan menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan penegakkan Hak
Asasi Manusia, pemerintah telah melakukan langkah-langkah antara lain: (1)
pembentukan Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berdasarkan
Keputusan Presiden nomor 5 tahun 1993 pada tanggal 7 Juni 1993, yang
kemudian dikukuhkan lagi melalui undang-undang nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia; (2) 210HUMANIORA Vol.2 No.1 April 2011:
201-213penetapan Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia; (3) pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc
dengan Keputusan Presiden, untuk memeriksa dan memutuskan perkara
pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-
Undang nomor 26 tahun 2000; (4) pembentukan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliaasi sebagai alternative penyelesaian pelanggaran Ham diluar
Pengadilan HAM sebagaimana diisyaratkan oleh Undang-Undang tentang
HAM; (5) meratifikasi berbagai konvensi internasional tentang Hak Asasi
Manusia. Sementara itu, konvensi yang telah diratifikasi berkaitan dengan
penegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia adalah: (1) Konvensi Jenewa
tanggal 12 Agustus 1949 (diratifikasi dengan Undang-Undang nomor 59 tahun
1958); (2) Konvensi tentang Hak Politik Kaum Perempuan (diratifikasi dengan
Undang-Undang nomor 68 tahun 1958); (3) Konvensi tentang Penghapusan
segala bentuk diskriminasi terhadap Perempuan (diratifikasi dengan Undang-
Undang nomor 7 tahun 1984); (4) Konvensi tentang Hak Anak ( diratifikasi
dengan Undang-Undang nomor 36 tahun 1990); (5) Konvensi tentang
Pelarangan, Pengembangan, Produksi, dan Penyimpanan senjata biologis dan
beracun serta Pemusnahannya (diratifikasi dengan Keppres nomor 58 tahun
1991); (6) Konvensi Internasional terhadap Apartheid dalam Olahraga
(diratifikasi dengan Undang-Undang nomor 48 tahun 1993); (7) Konvensi
menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam,
tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia (diratifikasi dengan
Undang-Undang nomor 5 tahun 1998); (8) Konvensi Organisasi Buruh
Internasional nomor 87 tahun 1998 tentang kebebasan berserikat dan
Perlindungan Hak untuk Berorganisasi (diratifikasi dengan Undang-Undang
nomor 83 tahun 1998); (9) Konvensi tentang Penghapusan semua bentuk
Diskriminasi Rasial (diratifikasi dengan Undang-Undang nomor 29 tahun
1999); (10) Konvensi tentang Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan (diratifikasi dengan Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan kekerasan dalam rumah Tangga).
Pemerintah Indonesia telah berupaya menegakkan HAM dengan membuat undang –
undang, membentuk Komisi Nasional, membentuk pengadilan HAM, memasukkan dalam
kurikulum pelajaran, dan sebagainya. ... Namun pada prakteknya setelah hukum tentang HAM
dibuat, pelanggaran HAM masih terjadi hingga saat ini.

Sikap egois,rendahnya kesadaran HAM, dan kurangnya rasa tanggung jawab

1.Faktor Internal
   * ego yang tinggi
   * kesadaran yang rendah
   * kurangnya sikap toleransi
2.Faktor Eksternal
   * penyalahgunaan kekuasaan
   * ketidak tegasan aparat hukum
   * teknologi yang disalah gunakan
   * kesenjangan sosial dan ekonomi yang meningkat

1)Sikap egois atau terlalu mementing diri sendiri.

2) Rendahnya kesadaran HAM.

3) Sikap tidak toleran.

4) Penyalahgunaan kekuasaan.

5) Ketidaktegasan aparat penegak hukum.


1.Alat-alat perlengkapan daerah yakni
aparatur daerah dan pegawai daerah.

2.Pemerintah daerah yang terdiri dari kepala daerah dan dewan perwakilan daerah(DPRD).

3.Rakyat daerah yakni sebagai komponen environmental (lingkungan)yang merupakan sumber


energi terpenting bagi daerah sebagai organisasi yang bersifat terbuka.

Faktor penghambat al. : 


Koordinasi yang masih belum optimal 
Pemanfaatan sda belum maksimal 
Keterbatasan SDM yang kompeten 
Daya tarik untuk investor kurang. (jwaban no.4)

Jawaban no 3 a.) Perbandingan terhadap demokrasi yang pernah diterapkan di indonesia pada
masa orde lama, masa orde baru,dan maupun masa reformasi antara lain adalah:

- Pada masa orde lama yang dimana merupakan masa yang berada dibawah kepemimpinan oleh
Presiden Soekarno yang ditetapkan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Masa Orde
Lama merupakan dimana terbentuknya ataupun terlaksananya demokrasi terpimpin yaitu hal
yang berupa setiap keputusan ada pada penguasa dan sifatnya absolut serta di demokrasi
terpimpin inilah tercipta rasa untuk bergotong royong, Tidak mau memperoleh kemenangan dan
bersifat membeda-bedakan terhadap golongan lain yang berbeda. Terdapat batasan terhadap
partai politik juga.

- Pada masa orde baru yang berbeda dengan orde lama dimana masa orde baru adalah masa yang
berada dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang ciri-ciri dari masa orde baru dapat dilihat
bahwa penentuan keputusan ada pada kekuasaan yang ada di tangan Presiden, lalu dimasa orde
baru juga tidak dikenal dengan yang namanya periode jabatan sehingga Soeharto mampu dapat
menjabat hingga 32 tahun, Di masa orde baru juga terdapat maraknya KKN (Korupsi, Kolusi
Dan Nepotisme) yang meresahkan rakyat serta terjadinya pembatasan dibagian hak-hak politik
rakyat sendiri.

- Pada masa reformasi, dimana pada masa inilah diberlakukan periode jabatan untuk presiden
dan wakil presiden yaitu disepakati dengan masa jabatan selama 5 tahun. Setelah 5 tahun, akan
melakukan pergantian. Lalu, pelaksanaan demokrasi di masa reformasi ini dapat dilihat
perubahannya yang ada pada pemilihan kepala pemerintahan yang dilakukan secara langsung,
lalu adanya pemberdayaan buat masyarakat-masyarakat sipil, adanya partai politik yang
independen serta terjadinya dan terbentuk lembaga-lembaga penguatan masyarakat.

b) Kelemahan demokrasi Indonesia yang pertama, yaitu masih terdapatnya budaya politik feodal
dan komunalistik, bisa dilihat dari berbagai macam idiom-idiom yang digunakan partai politik
dan tokohnya dalam berkampanye.
Akibatnya, usaha partai politik untuk memperjuangkan kepentingan konstituennya
didasarkan pada penilaian yang subjektif ketimbang objektif.
Kelemahan kedua adalah munculnya otoritarianisme mayoritas akibat terlalu liberalnya
demokrasi Indonesia.

Hal ini, menurut dia, membuat sulitnya sebuah keputusan politik diambil secara mufakat.

Kelemahan demokrasi yang ketiga adalah dikesampingkannya ideologi dalam partai-partai di


Indonesia karena partai politik lebih mengutamak

c)

Anda mungkin juga menyukai