Anda di halaman 1dari 10

1.

Pendahuluan

Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan", yang
merupakan cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi
mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep
seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Secara umum, etika didefinisikan
sebagai baku perilaku yang diterima secara bersama oleh sekelompok orang dalam
organisasi (profesi) tertentu. Pelanggaran terhadap suatu etika dapat berakibat pada
pemberian sanksi dari organisasi profesi. Dengan demikian, etika profesi dapat diartikan
sebagai perangkat kode etik profesi yang diperlukan untuk menjaga martabat serta
kehormatan profesi, dan sisi lain untuk melindungi masyarakat dari penyimpangan atau
penyalahgunaan keahlian.

Sesuai dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran


mendefinisikan keinsinyuran sebagai kegiatan teknik dengan menggunakan kepakaran dan
keahlian berdasarkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan nilai
tambah dan daya guna secara berkelanjutan dengan memperhatikan keselamatan,
kesehatan, kemaslahatan, serta kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan.
Persatuan Insinyur Indonesia (PII) sebagai wadah yang menaungi para insinyur di Indonesia
telah mengeluarkan Kode Etik Insinyur Indonesia yang dikenal dengan “Catur Karsa Sapta
Dharma Insinyur Indonesia“. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Karsa
didefiniskan sebagai daya (kekuatan) jiwa yang mendorong makhluk hidup berkehendak,
sedangkan Dharma adalah kewajiban, aturan dan kebenaran. Berikut adalah penjelasan
detail dari Catur Karsa dan Sapta Dharma Persatuan Insinyur Indonesia:
CATUR KARSA (CK) - Prinsip Dasar, meliputi:
1. Mengutamakan keluhuran budi (CK-1)
2. Menggunakan pengetahuan dan kemampuannya untuk kepentingan kesejahteraan umat
manusia (CK-2)
3. Bekerja secara sungguh-sungguh untuk kepentingan masyarakat, sesuai dengan tugas &
tanggungjawabnya (CK-3)
4. Meningkatkan kompetensi dan martabat berdasarkan keahlian profesi keinsinyuran (CK-4)
SAPTA DHARMA - Tujuh Tuntunan Sikap dan Perilaku Insinyur Indonesia senantiasa:
1. Mengutamakan keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat → CK-2
2. Bekerja sesuai dengan kompetensinya → CK-4
3. Hanya menyatakan pendapat yang dapat dipertanggungjawabkan → CK-3
4. Menghindari terjadinya pertentangan kepentingan dalam tanggung jawab tugasnya → CK-
3

2
5. Membangun reputasi profesi berdasarkan kemampuan masing-masing → CK-4
6. Memegang teguh kehormatan, integritas & martabat profesi → CK-1
7. Mengembangkan kemampuan profesionalnya → CK-4

Sesuai dengan lingkup pekerjaan bidang perencanaan wilayah dan kota, seseorang
yang berprofesi sebagai ahli perencanaan wilayah dan kota (planner) biasanya akan terlibat
dalam pekerjaan-pekerjaan penyusunan rencana tata ruang atau pekerjaan lain yang sejenis.
Dalam bidang sosial seperti bidang perencanaan wilayah dan kota, beberapa contoh
pelanggaran yang terjadi adalah:
1. Konflik kepentingan
Situasi yang terjadi di mana profesional mempunyai kepentingan cukup besar untuk
mempengaruhi tindakan yang objektif dalam pelaksanaan tugasnya.
2. Kerahasiaan dan loyalitas
Dalam hal ini, seorang profesional harus memiliki komitmen yang jelas terhadap segala
informasi yang diklasifikasikan sebagai informasi yang konfidensial (terbatas/rahasia) dan
harus menunjukkan sikap loyalitas terhadap klien.
3. Kontribusi dana balik
Situasi ini dapat berupa pemotongan sebagian dana yang harus dikembalikan kepada
pemberi proyek atau pemberi pekerjaan.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa etika dalam sebuah profesi adalah
merupakan suatu kebutuhan yang harus dipastikan pelaksanaannya. Namun tentu saja
terdapat perbedaan proses implementasinya dalam setiap bidang profesi. Oleh karena itu,
penulisan artikel ini bertujuan untuk:
1. Memahami makna etika dan kode etik profesi dalam bidang perencanaan wilayah dan
kota (planner).
2. Mendiskusikan hal-hal yang berpotensi untuk menjadi pelanggaran terhadap kode etik
profesi.

2. Metodologi

2.1. Metode Pendekatan

Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah metode deskriptif. Metode
deskriptif merupakan suatu metode yang bertujuan untuk membuat deskripsi atau memberi
gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai suatu kejadian (Nazir, 1988).
Adapun untuk pendekatan yang digunakan dalam pelaksanaan pekerjaan Penyusunan
Rencana Pembangunan Kawasan Permukiman Prioritas (RPKPP) Kabupaten Sumba Timur
adalah: (1) pendekatan normatif, (2) pendekatan fasilitatif dan partisipatif, serta (3)

3
pendekatan teknis-akademis. Pendekatan Normatif adalah suatu cara pandang untuk
memahami permasalahan atau kondisi dengan berdasarkan pada norma-norma yang ada
atau pada suatu aturan yang menjelaskan bagaimana kondisi tersebut seharusnya terjadi.
Pendekatan Fasilitatif dan Partisipatif digunakan dengan dasar pertimbangan bahwa proses
penyusunan dilakukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang terkait
dengan pengembangan kabupaten/kota maupun pembangunan permukiman dan
infrastruktur permukiman perkotaan. Pendekatan Teknis-Akademis merupakan pendekatan
yang dilakukan dengan menggunakan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan secara
akademis, baik itu dalam pembagian tahapan pekerjaan maupun teknik-teknik identifikasi,
analisis, penyusunan strategi maupun proses pelaksanaan penyepakatan

2.2. Lingkup Pembahasan

Lingkup yang dibahas dalam artikel ini meliputi etika, kode etik profesi dan
implementasinya dalam praktik keprofesian. Sesuai dengan bidang keahlian penulis, maka
contoh implementasi yang dibahas adalah praktik keprofesian di bidang perencanaan wilayah
dan kota (planner) dan beberapa contoh kasus yang dapat diangkat sebagai kasus
pelanggaran terhadap etika profesi.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Etika, Kode Etik dan Praktik Profesi

Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan", yang
merupakan cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi
mengenai standar dan penilaian moral. Etika dapat diartikan sebagai nilai-nilai dan norma-
normal moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya (Bertens, 2004). Selanjutnya, kode etik didefinisikan sebagai sistem norma,
nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik,
dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik ini merupakan payung
dalam praktik profesi atau praktik keinsinyuran, yang mana praktik keinsinyuran ini
didefinisikan sebagai kegiatan teknik dengan menggunakan kepakaran dan keahlian
berdasarkan penguasaan

Semua bidang keahlian tentunya mempunyai kode etik profesi masing-masing. Etika
dalam perencanaan diartikan sebagai batasan-batasan sistem dan tata nilai minimum dalam
ruang, waktu dan kondisi tertentu yang dipersyaratkan untuk menjamin keberlangsungan
proses perencanaan guna mencapai tujuan. Pada hakikatnya, etika perencanaan sangat
diperlukan oleh setiap perencana sebagai pengendali perilaku pihak yang terlibat dalam
perencanaan dan mengikatnya agar bertanggung jawab pada ranah publik. Kode etik

4
perencana profesional pertama kali diadopsi pada tahun 2005 dan diperbarui pada tahun
2016 oleh American Institute of Certified Planners (AICP) dan American Planning Association
(APA). Secara prinsip, kode etik dan perilaku profesional perencana meliputi (AICP dan APA,
2016):
1. Tanggung jawab perencana kepada publik/masyarakat
2. Tanggung jawab perencana kepada klien dan pemberi kerja
3. Tanggung jawab perencana kepada profesi dan rekan sejawat/kolega
Prinsip kode etik di atas kemudian diturunkan menjadi beberapa prinsip etika dalam
perencanaan oleh APA (2016). Kode etik dan perilaku profesional ini tidak jauh berbeda
dengan “Catur Karsa dan Sapta Dharma” yang ditetapkan oleh Persatuan Insinyur Indonesia
(PII).

3.2. Praktik Keinsinyuran dalam Bidang Perencanaan Wilayah dan Kota

Dalam artikel ini, contoh praktik keinsinyuran yang akan dibahas oleh penulis adalah
kegiatan-kegiatan yang pernah dikerjakan pada tahun 2013 dan 2016. Kegiatan tersebut
yaitu:
1. Rencana Pembangunan Kawasan Permukiman Prioritas (RPKPP) Kabupaten Sumba
Timur (2013)
2. Evaluasi Hasil Pelaksanaan Pembangunan Bidang Infrastruktur Provinsi Jawa Timur
(2016).
Deskripsi ringkas dari masing-masing kegiatan akan dijelaskan dijabarkan pada bagian di
bawah ini.

Rencana Pembangunan Kawasan Permukiman Prioritas (RPKPP) merupakan suatu


rencana yang memuat rencana aksi program strategis untuk penanganan persoalan
permukiman dan pembangunan infrastruktur bidang cipta karya. Kegiatan ini merupakana
kegiatan yang didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jangka waktu
pelaksanaan pekerjaan ini adalah 7 (tujuh) bulan. Lokasi pekerjaan adalah Kabupaten Sumba
Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kegiatan ini dilakukan pada tahun 2013. Serupa
dengan pekerjaan penyusunan rencana tata ruang, pekerjaan RPKPP ini juga memerlukan
partisipatif aktif dari masyarakat, karena merekalah yang nantinya yang akan menjadi bagian
dari rencana aksi yang akan dirumuskan sebagai penanganan dari persoalan permukiman
dan pembangunan infrastruktur permukiman. Dari bulan ke-2 sampai dengan bulan ke-5,
masyarakat diharapkan terlibat secara aktif, karena dalam proses pekerjaan ini terdapat Pra
Focus Group Discussion (Pra FGD) dan Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan
sebanyak masing-masing 3 kali. Pada bulan ke-4, terdapat “Diskusi Partisipatif” yang akan
melibatkan masyarakat setempat untuk perumusan konsep penanganan kawasan
pembangunan tahap 1. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa kegiatan ini memang

5
sangat padat dan penuh dengan keterlibatan masyarakat pada setiap tahapnya. Gambaran
tahapan kegiatan RPKPP dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Rangkaian Kegiatan Penyusunan Rencana Pembangunan Kawasan Permukiman


Prioritas (RPKPP)

Kegiatan kedua adalah kegiatan Evaluasi Hasil Pelaksanaan Pembangunan Bidang


Infrastruktur Provinsi Jawa Timur yang dilakukan pada tahun 2016. Kegiatan ini didanai oleh
APBD Provinsi Jawa Timur dengan jangka waktu pelaksanaan 3 (tiga) bulan. Lingkup
substansi kegiatan ini meliputi evaluasi capaian pelaksanaan pembangunan berdasarkan
indikator kinerja yang telah ditetapkan, baik indikator kinerja utama maupun indikator kinerja
daerah (indikator sektoral). Luaran dari kegiatan ini adalah penyusunan indikator kinerja
pembangunan infrastruktur di Provinsi Jawa Timur, evaluasi kinerja pelaksanaan program dan
kegiatan pembangunan bidang infrastruktur di Provinsi Jawa Timur, dan rekomendasi
program sebagai input bagi pelaksanaan Rencana Kerja Pemerintah Daerah di Satuan Kerja
Perangkat Daerah Provinsi Jawa Timur tahun 2014-2019.

3.3. Contoh Kasus Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi

Kasus yang akan diangkat dalam praktik keinsinyuran ini merupakan pengalaman
penulis yang selama ini terlibat dalam pekerjaan yang terkait dengan penyusunan tata ruang
dan sejenisnya. Beberapa kegiatan yang dianggap menyimpang atau tidak sesuai dengan

6
kode etik akan dibahas menurut Kode Etik Profesi Insinyur yang dikenal dengan “Catur Karsa
dan Sapta Dharma”. Beberapa kasus penyimpangan atau pelanggaran terhadap kode etik
dalam lingkup pekerjaan perencanaan tata ruang yang terjadi antara lain konflik kepentingan,
perencanaan yang tidak melibatkan masyarakat, perencanaan yang dihasilkan tidak
mencerminkan kualitas keahlian, peminjaman nama tenaga ahli dan adanya kontribusi dana
balik (commitment fee).

Dalam makalah ini akan dibahas beberapa kasus pelanggaran terhadap kode etik yang
pernah dialami penulis dalam pekerjaan Penyusunan Rencana Pembangunan Kawasan
Permukiman Prioritas (RPKPP) Kabupaten Sumba Timur tahun 2013 dan Evaluasi Hasil
Pelaksanaan Pembangunan Bidang Infrastruktur Provinsi Jawa Timur tahun 2016. Kasus
penyimpangan yang terjadi dalam pekerjaan RPKPP Kabupaten Sumba Timur adalah
kejadian yang terkait dengan pengurangan tahapan kegiatan penyusunan RPKPP yang
sudah ditentukan dalam panduan penyusunan RPKPP. Lokasi pekerjaan yang berada di luar
Jawa, sedangkan posisi tenaga ahli yang berada di Jawa, ditambah dengan koneksi dari Jawa
ke luar Jawa yang saat itu tidak terdapat banyak pilihan pelayanan perhubungan dan
banyaknya tahapan kegiatan yang harus dilakukan membuat pekerjaan ini menjadi relatif
berat. Penulis dalam hal ini mendapatkan tanggung jawab sebagai Team Leader dari sebuah
konsultan yang berada di Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dari hasil
monitoring proses pelaksanaan kegiatan penyusunan RPKPP Sumba Timur yang dibuat
dengan kurva S menunjukkan adanya deviasi antara rencana dan realisasi, maka terdapat
usulan dari manajemen konsultan untuk menggabungkan diskusi Pra FGD dan FGD yang
seharusnya dilakukan terpisah atau meniadakan salah satunya. Kegiatan pelibatan
masyarakat juga diusulkan untuk ditiadakan.

Menurut penulis, hal yang dijelaskan di atas bertentangan dengan prinsip dasar profesi
insinyur khususnya CK-2, yaitu Menggunakan pengetahuan dan kemampuannya untuk
kepentingan kesejahteraan umat manusia dan CK-3, yaitu Bekerja secara sungguh-sungguh
untuk kepentingan masyarakat, sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya. Adapun
pertentangan yang terjadi terhadap sapta dharma profesi insinyur khususnya terkait dengan
Sapta Dharma 1 (Mengutamakan keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat),
Sapta Dharma 3 (Hanya menyatakan pendapat yang dapat dipertanggungjawabkan), dan
Sapta Dharma 4 (Menghindari terjadinya pertentangan kepentingan dalam tanggung jawab
tugasnya). Oleh karena itu, penulis mencoba untuk meluruskan informasi dan memberikan
pemahaman kepada manajemen konsultan bahwa tiap tahapan penyusunan RPKPP
merupakan tahapan yang penting dan wajib untuk dilakukan, karena semua itu tercantum
dalam panduan penyusunan RPKPP, sehingga tidak boleh ada satupun tahapan yang
diabaikan atau ditiadakan. Untuk menyiasati masalah waktu dan kesulitan mobilitas karena

7
koneksi perhubungan saat itu, maka dengan kesepakatan pemerintah daerah setempat,
kegiatan Pra FGD dan FGD dilakukan di dua waktu yang berbeda namun dengan waktu yang
berselisih sehari. Dengan mengambil solusi yang penulis usulkan tersebut, akhirnya semua
tahapan kegiatan dapat dilakukan sesuai panduan, berjalan dengan lancer dan khususnya
tidak ada proses yang diabaikan atau dilewati.

Penyimpangan terhadap kode etik terkait dengan pekerjaan perencanaan tata ruang
yang lain adalah yang terkait dengan kontribusi dana balik (commitment fee). Pemberi kerja
dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur dan jenis pekerjaan adalah
swakelola. Dalam pekerjaan ini, penulis menjadi team leader dan wadah jasa konsultansi yang
digunakan adalah Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM). Pada saat awal,
team leader dan perwakilan beberapa tenaga ahli diundang oleh pemberi kerja untuk
melakukan diskusi awal. Dalam pertemuan ini, dilakukan pembahasan tentang lingkup
pekerjaan yang sebenarnya merupakan salah satu tipe pekerjaan yang berulang, artinya
hampir setiap tahun dalam 3 tahun terakhir selalu dilakukan. Diskusi bertujuan juga untuk
memperkaya lingkup baru yang sebenarnya terkait namun belum pernah masuk dalam
lingkup pekerjaan sebelumnya. Selain membahas tentang lingkup kerja, pihak pemberi kerja
juga melemparkan hal lain terkait kontribusi dana balik, yang diistilahkan oleh pihak pemberi
kerja sebagai commitment fee. Tim tenaga ahli saat itu menyampaikan bahwa adanya
kontribusi dana balik ini merupakan sesuatu yang tidak pas dan tanpa adanya commitment
fee, tim tenaga ahli juga memastikan akan melakukan pekerjaan sesuai dengan lingkup tugas
secara profesional. Pembicaraan saat itu memang belum selesai dengan mencapai
kesamaan pemahaman, namun dijelaskan juga oleh tim tenaga ahli bahwa dari hasil
pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ke Institut Teknologi Sepuluh Nopember
(ITS), disebutkan bahwa temuan yang sering terjadi dari pekerjaan swakelola adalah
kontribusi dana balik. Oleh karena itu, hal ini dijelaskan pula oleh penulis dan tim tenaga ahli
lain. Karena pihak pemberi kerja mempunyai kepercayaan yang kuat terhadap kapasitas
tenaga ahli untuk menangani pekerjaan ini, maka akhirnya pihak pemberi kerja saat itu
memilih tidak untuk melanjutkan pembicaraan. Dari kami selaku tim tenaga ahli juga tidak
memberikan janji apapun terhadap permintaan yang disampaikan oleh pemberi kerja.

Pekerjaan Evaluasi Hasil Pelaksanaan Pembangunan Bidang Infrastruktur Provinsi


Jawa Timur ini dilakukan oleh tim tenaga ahli dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan. Pekerjaan
dapat dilakukan dengan lancar sesuai dengan Kerangka Acuan Kerja yang diberikan. Seluruh
proses administrasi dan keuangan juga diselesaikan dengan baik sesuai waktu, meskipun
saat ini terjadi perubahan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Namun di akhir pekerjaan, pihak
pemberi kerja kembali menanyakan soal kontribusi dana balik tersebut. Kejadian ini membuat
situasi menjadi sedikit tegang, namun penulis sebagai team leader dan juga tenaga ahli lain

8
tetap menyampaikan bahwa tim konsultan tidak bisa memberikan kontribusi dana tersebut.
Selain karena alasan bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan etika pekerjaan, juga dapat
berpotensi sebagai temuan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tim tenaga ahli yang
diwakili oleh penulis menyampaikan bahwa di awal tidak pernah ada perjanjian atau komitmen
apapun yang disampaikan oleh tim tenaga ahli dan konsultan. Penulis dan tenaga ahli lain
bersikukuh untuk memegang kebenaran ini, meskipun dampaknya adalah tidak digunakannya
lagi tim tenaga ahli untuk pekerjaan ini pada masa mendatang. Penulis dan tim tenaga ahli
lain berupaya untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak mencerminkan respek terhadap
nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi oleh profesi. Dalam hal ini, penulis berusaha
sungguh-sungguh untuk menjalankan prinsip dasar etika profesi yaitu CK-1 (Mengutamakan
keluhuran budi) dan Sapta Dharma 6 (Memegang teguh kehormatan, integritas dan martabat
profesi).

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya menurut organisasi profesi perencana


internasional (AICP dan APA, 2016) bahwa kode etik dan perilaku professional perencana
tidak hanya meliputi tanggung jawab terhadap profesi dan rekan sejawat, namun juga
tanggung jawab kepada klien atau pemberi kerja dan juga tanggung jawab kepada
publik/masyarakat. Sebagai seorang perencana profesional yang juga menjadi anggota dalam
Persatuan Insinyur Indonesia, sudah sewajarnya penulis menjadikan Catur Karsa dan Sapta
Dharma Insinyur Indonesia sebagai pegangan dalam melakukan praktik keprofesian. Oleh
karena itu, setiap kejadian yang berpotensi menjadi penyimpangan atau pelanggaran
terhadap kode etik, perlu untuk diantisipasi. Dari kedua kejadian yang dibahas pada bagian
sebelumnya, penulis telah berupaya untuk tidak membiarkan potensi penyimpangan atau
pelanggaran terhadap kode etik tersebut terjadi. Respon yang perlu dilakukan untuk
mengantisipasi, menghindari dan mengatasi potensi penyimpangan atau pelanggaran dalam
praktik keprofesian memang berat, namun wajib untuk dilakukan. Berbagi pengalaman
dengan rekan sejawat atau kolega dapat dijadikan sebagai alternatif untuk mencari solusi atau
langkah yang dibutuhkan jika terjadi sesuatu hal yang dirisaukan terkait dengan praktik-praktik
keprofesian.

4. Lesson Learnt

Etika merupakan batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di
dalam kelompok sosialnya. Etika kemudian diwujudkan dalam bentuk aturan tertulis secara
sistematik yang dibuat berdasarkan pada prinsip-prinsip moral yang ada. Prinsip-prinsip ini
yang kemudian menjadi acuan dan harus dipatuhi dalam sebuah organisasi profesi. Insinyur
sebagai salah satu profesi tentunya juga memiliki kode etik sendiri. Dalam melaksanakan

9
praktik-praktik keinsinyuran, tentunya tidak lepas dari berbagai kejadian yang berpotensi
menjadi tindakan penyimpangan atau pelanggaran terhadap kode etik yang telah ditetapkan.

Makalah ini menyajikan kode etik profesi insinyur yang terdiri dari Catur Karsa dan Sapta
Dharma Insinyur Indonesia. Contoh kasus penyimpangan atau pelanggaran yang terjadi
diambil dari pengalaman yang dialami oleh penulis selama melakukan praktik keinsinyuran
dalam bidang perencanaan tata ruang. Dua kasus yang diangkat merupakan kegiatan praktik
perencanaan yang dilakukan dengan lokasi kegiatan yang berbeda, yaitu di Provinsi Jawa
Timur dan Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dari deskripsi terkait dengan etika, kode etik, praktik profesi dan pelanggaran terhadap
kode etik profesi pada bagian sebelumnya, terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan
pelajaran, antara lain yaitu:

a. Memegang teguh kode etik profesi yang meliputi Catur Karsa sebagai Prinsip Dasar dan
Sapta Dharma sebagai Tuntunan Sikap dalam menjalankan praktik keprofesian.
b. Membuat catatan perjalanan praktik keprofesian, tidak hanya untuk kompilasi data pribadi,
namun juga untuk merekam berbagai inforrmasi detail kegiatan yang mungkin berguna di
kemudian hari.
c. Menjaga komunikasi antar pihak, tidak hanya dengan sesama tenaga ahli, namun juga
dengan pihak pemberi kerja, walaupun ada perbedaan pandangan yang terjadi.

5. Kesimpulan

Etika profesi merupakan suatu aturan yang bersifat membatasi apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan, dan dibuat dari dan untuk kepentingan suatu kelompok sosial (profesi) itu
sendiri. Etika profesi juga merupakan “self-control” terhadap pelaksanaan kegiatan
keprofesian. Oleh karena itu, organisasi profesi memiliki peran untuk menjaga martabat dan
kehormatan profesi, serta melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan atau
penyalahgunaan suatu keahlian. Pelanggaran terhadap kode etik profesi dapat berakibat
pada adanya sanksi yang diberikan oleh organisasi profesi. Oleh karena itu, prinsip dan
tuntunan sikap berperilaku dalam praktik keprofesian harus senantiasa dijunjung tinggi.

Persatuan Insinyur Indonesia (PII) sebagai wadah keanggotaan profesi insinyur telah
memiliki aturan dan kode etik sendiri, yang tercantum dalam Catur Karsa dan Sapta Dharma
Insinyur Indonesia. Catur Karsa merupakan prinsip dasar yang berisi empat butir prinsip yang
harus dinjunjung tinggi dan dipegang teguh, sedangkan Sapta Dharma merupakan tuntunan
sikap dan perilaku yang harus senantiasa diterapkan dalam praktik keprofesian. Catur Karsa
dan Sapta Dharma yang merupakan kode etik profesi insinyur di Indonesia ini harus dipegang
teguh dan dijunjung tinggi dalam menjalankan setiap praktik keprofesian.

10
Dalam menjalankan praktik profesi insinyur, tentunya tidak lepas dari kemungkinan
terjadinya berbagai penyimpangan atau pelanggaran terhadap kode etik, mulai dari level kecil
sampai besar. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya pelanggaran ataupun mengatasi
terjadinya pelanggaran, setiap insinyur profesional harus memahami terlebih dahulu kode etik
yang dimiliki organisasi, sehingga mempunyai acuan untuk bersikap dan mengambil tindakan.
Ketepatan dalam mengambil tindakan ini sangat diperlukan untuk mengurangi atau
meniadakan kemungkinan pelanggaran yang terjadi.

Referensi

American Institute of Certified Planners (ACIP) and American Planning Association (APA).
(2016). AICP Code of Ethics and Professional Conduct. https://planning-org-uploaded-
media.s3.amazonaws.com/document/AICP-Ethics-Revised-AICP-Code-Professional-
Conduct-2016-04-01.pdf. Diakses pada 9 Desember 2020.
American Planning Association (APA). (2016). Ethical Principles in Planning.
https://www.planning.org/ethics/ethicalprinciples/
Bertens, K. (2004). Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Nazir, M. (1988). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Direktorat Pengembangan Permukiman, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian
Pekerjaan Umum (2013). Panduan Penyusunan Strategi Pembangunan Permukiman
dan Infrastruktur Perkotaan (SPPIP) dan Rencana Pembangunan Kawasan
Permukiman Prioritas (RPKPP) Edisi ke-4. Jakarta: Direktorat Pengembangan
Permukiman, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran.

11

Anda mungkin juga menyukai