Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MAKALAH

MODEL ETIKA PERENCANAAN

DI SUSUN OLEH:

KELOMPOK 4:

REZA RESKI (D0321020)


SYAMSUL BAHRI (D0320351)
NILMAWATI (D0320345)
ELA ALFINA (D0320504)
AINUN FATMIDIANI (D0320329)

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SULAWESI BARAT
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA
sehingga makalah Model Etika Perencanaan sebagai bahan belajar dalam mata kuliah
Etika Perencanaan, dapat tersusun hingga selesai .

Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari
pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pemikiran dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupunmenambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin


masih banyak kekurangan dalam makalah Model Etika Perencanaan ini, Oleh karena
itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Majene, 05 April 2023

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan masalah

1.3 Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Etika dan Perencanaan

2.2 Teori Etika Perencanaan

2.3 Teori Moral

2.4 Pengembangan Moral

2.5 Subtantive Profesional

2.6 Proses Driven

2.7 Integrative

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan

Daftar Pustaka

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Perencanaan merupakan suatu proses yang sangat penting dalam segala


aspek kehidupan manusia. Proses perencanaan dilakukan untuk mencapai suatu
tujuan atau hasil yang diinginkan melalui penentuan sasaran, strategi, dan rencana
tindakan yang tepat. Perencanaan dapat dilakukan dalam berbagai bidang, seperti
bidang ekonomi, sosial, politik, dan lingkungan.

Di bidang ekonomi, perencanaan dapat dilakukan untuk mengoptimalkan


penggunaan sumber daya dan meningkatkan efisiensi dan produktivitas dalam
produksi dan distribusi barang dan jasa. Dalam bidang sosial, perencanaan dapat
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam hal pendidikan,
kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Dalam bidang politik, perencanaan dapat
dilakukan untuk merencanakan kebijakan dan tindakan pemerintah yang dapat
meningkatkan stabilitas dan keamanan negara.

Perencanaan juga penting dalam upaya pelestarian lingkungan hidup.


Dalam hal ini, perencanaan dilakukan untuk merencanakan penggunaan sumber
daya alam yang berkelanjutan dan mempertimbangkan dampak lingkungan dari
kegiatan manusia.

Dalam keseluruhan, perencanaan menjadi sangat penting dalam


memastikan pencapaian tujuan dan hasil yang diinginkan dalam segala aspek
kehidupan. Dengan melakukan perencanaan yang baik, sumber daya dapat
digunakan secara efektif dan efisien untuk mencapai hasil yang optimal dan
berkelanjutan.

Etika dalam perencanaan menjadi sangat penting karena perencanaan


mempengaruhi kehidupan banyak orang dan lingkungan sekitarnya. Seorang
perencana harus mempertimbangkan dampak keputusan dan tindakan mereka

1
terhadap masyarakat dan lingkungan, serta menghargai hak individu dan
masyarakat untuk memiliki akses yang sama terhadap sumber daya dan
kesempatan.

Dalam konteks perencanaan, etika berperan sebagai pedoman dalam


membuat keputusan yang benar dan bertanggung jawab. Etika dalam perencanaan
juga mencakup prinsip-prinsip moral yang mendorong perencana untuk
mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan semua pihak yang terlibat dalam
suatu proyek atau kegiatan.

Ketika etika diabaikan dalam perencanaan, maka bisa timbul konflik


antara kepentingan yang berbeda, seperti antara kepentingan investor dan
kepentingan masyarakat yang terkena dampak dari kegiatan tersebut.
Ketidakadilan dalam alokasi sumber daya, diskriminasi, atau ketidakberpihakan
kepada kelompok tertentu juga bisa terjadi tanpa adanya prinsip etika yang
diterapkan dalam perencanaan.

Dengan memperhatikan etika dalam perencanaan, seorang perencana


dapat mengambil keputusan yang benar dan bertanggung jawab secara moral,
menghindari konflik dan diskriminasi, dan memastikan kepentingan semua pihak
terpenuhi dengan adil. Hal ini membantu menciptakan lingkungan yang sehat dan
berkelanjutan serta masyarakat yang merasa dihargai dan dilindungi.

1.2 Rumusan masalah


1. Apa yang dimaksud dengan etika dalam perencanaan?
2. Bagaimana jenis-jenis model etika dalam perencanaan?
3. Apa saja teori-teori dalam etika perencanaan?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan etika dalam perencanaan
2. Untuk mengetahui jenis-jenis model etika dalam perencanaan
3. Untuk mengetahu teori-teori saja yang ada dalam etika perencanaan

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Etika dan Perencanaan

Etika adalah ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip moral dan standar


perilaku yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Etika mengajarkan
manusia untuk mempertimbangkan tindakan dan keputusan yang akan dilakukan,
dengan memperhatikan prinsip moral yang dianut dan nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat (Moh. Solikodin Djaelani: 2011).

Perencanaan adalah proses pembuatan rencana atau program untuk


mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara
efektif dan efisien. Perencanaan melibatkan analisis situasi, perumusan tujuan,
identifikasi alternatif solusi, evaluasi alternatif solusi, dan pemilihan alternatif
solusi yang paling sesuai.

Dalam konteks perencanaan, etika menjadi penting karena perencanaan


mempengaruhi kehidupan banyak orang dan lingkungan sekitarnya. Etika dalam
perencanaan mencakup prinsip-prinsip moral yang mendorong perencana untuk
mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan semua pihak yang terlibat dalam
suatu proyek atau kegiatan, serta menghargai hak individu dan masyarakat untuk
memiliki akses yang sama terhadap sumber daya dan kesempatan.

Dengan demikian, etika dan perencanaan saling terkait erat karena etika
memandu perencanaan dalam membuat keputusan dan tindakan yang benar dan
bertanggung jawab secara moral, dan memastikan bahwa kepentingan semua
pihak terpenuhi dengan adil.

2.2 Teori Etika Perencanaan

Terdapat beberapa teori etika yang dapat diterapkan dalam perencanaan,


diantaranya:

3
1. Utilitarianisme: teori etika ini menekankan bahwa tindakan yang benar
adalah tindakan yang memberikan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin
orang. Dalam konteks perencanaan, teori ini dapat diterapkan dengan
mempertimbangkan manfaat dan dampak kegiatan atau proyek terhadap
masyarakat secara keseluruhan.
2. Etika Deontologi: teori etika ini menekankan bahwa tindakan yang benar
adalah tindakan yang sesuai dengan prinsip moral dan hukum yang ada.
Dalam perencanaan, perencana harus memperhatikan hukum dan regulasi
yang berlaku serta memastikan bahwa kegiatan atau proyek yang mereka
rencanakan sesuai dengan nilai moral dan etika yang diterima oleh
masyarakat.
3. Etika Keadilan: teori etika ini menekankan bahwa tindakan yang benar
adalah tindakan yang adil bagi semua pihak yang terlibat. Dalam
perencanaan, perencana harus mempertimbangkan kepentingan semua pihak
yang terlibat dan memastikan bahwa distribusi sumber daya dan manfaat
dari kegiatan atau proyek tersebut adil bagi semua pihak.
4. Etika Etisisme: teori etika ini menekankan pentingnya integritas dan
moralitas pribadi dalam tindakan dan keputusan. Dalam perencanaan,
perencana harus mempertimbangkan nilai-nilai dan prinsip moral yang
dianut oleh masyarakat dan memastikan bahwa tindakan dan keputusan
mereka tidak merugikan nilai-nilai moral tersebut.
5. Etika Ekologi: teori etika ini menekankan pentingnya keberlanjutan dan
keseimbangan lingkungan hidup dalam tindakan dan keputusan. Dalam
perencanaan, perencana harus mempertimbangkan dampak kegiatan atau
proyek terhadap lingkungan dan memastikan bahwa kegiatan atau proyek
tersebut tidak merusak keseimbangan lingkungan hidup secara jangka
panjang.

Secara keseluruhan, teori etika dapat membantu perencana dalam membuat


keputusan yang benar dan bertanggung jawab secara moral serta memastikan

4
kepentingan semua pihak terpenuhi dengan adil dan menghasilkan dampak yang
positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.

2.3 Teori Moral

Teori moral adalah bidang filsafat yang mempertanyakan sifat dasar


moralitas dan bagaimana kita seharusnya bertindak dalam situasi moral. Terdapat
banyak teori moral yang berbeda yang dikembangkan oleh para filsuf selama
berabad-abad.

Salah satu teori moral yang paling terkenal adalah etika deontologis yang
dikembangkan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, moralitas terletak pada niat
atau motif seseorang dalam bertindak, dan bukan pada hasil akhir dari tindakan
tersebut. Dalam pandangan Kant, tindakan yang benar adalah tindakan yang
dilakukan karena kewajiban moral, tanpa memperhitungkan konsekuensi atau
hasil akhir dari tindakan tersebut.

Teori moral lain yang terkenal adalah etika utilitarianisme yang


dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Menurut teori ini,
tindakan yang benar adalah tindakan yang menghasilkan konsekuensi yang
paling menguntungkan bagi sebanyak mungkin orang. Dalam pandangan
utilitarianisme, tindakan yang menghasilkan kebahagiaan lebih banyak daripada
penderitaan adalah tindakan yang benar. Ada juga teori moral yang berfokus
pada konsep kebajikan atau karakter, seperti etika Aristotelian yang
dikembangkan oleh Aristoteles. Menurut teori ini, tindakan yang benar adalah
tindakan yang dilakukan oleh orang yang memiliki karakter atau kebajikan moral
yang baik.

Teori moral yang paling kontemporer adalah etika kelayakan yang


dikembangkan oleh Martha Nussbaum. Menurut teori ini, moralitas terkait
dengan kemampuan manusia untuk mencapai kehidupan yang bermakna dan
penuh martabat. Dalam pandangan Nussbaum, ada 10 kemampuan dasar yang
harus dipenuhi oleh setiap manusia agar dapat hidup dengan bermartabat, dan

5
tindakan yang mendukung kemampuan-kemampuan ini dianggap sebagai
tindakan yang benar.

2.4 Pengembangan Moral

Pengembangan moral adalah proses di mana seseorang memperoleh nilai-


nilai moral dan prinsip-prinsip untuk membimbing perilaku mereka. Berikut
adalah beberapa model perkembangan moral yang terkenal:

a) Model Kohlberg

Model Kohlberg membagi perkembangan moral menjadi tiga tingkat,


dengan masing-masing tingkat dibagi lagi menjadi dua tahap. Tingkat pertama
adalah moralitas prakonvensional, di mana tindakan diukur berdasarkan
konsekuensinya, dan tingkat kedua adalah moralitas konvensional, di mana
tindakan diukur berdasarkan standar sosial dan hukum yang ada. Tingkat
ketiga adalah moralitas pasca-konvensional, di mana tindakan diukur
berdasarkan prinsip moral yang abstrak.

b) Model Gilligan

Model Gilligan mengusulkan bahwa wanita dan pria memiliki cara yang
berbeda dalam mengembangkan moralitas mereka. Menurut model ini, wanita
cenderung mengembangkan moralitas perawatan, yang melibatkan perhatian
terhadap hubungan antar pribadi, sementara pria cenderung mengembangkan
moralitas keadilan, yang melibatkan kepatuhan pada prinsip-prinsip objektif
dan universal.

c) Model Hoffman

Model Hoffman mengusulkan bahwa anak-anak mengalami perkembangan


moral dari pemikiran otonom, yang didasarkan pada pertimbangan prinsip-
prinsip moral, menjadi pemikiran heteronom, di mana mereka mengikuti
aturan-aturan yang ditetapkan oleh orang dewasa, dan akhirnya ke pemikiran

6
otonom kembali, di mana mereka kembali mempertimbangkan prinsip-prinsip
moral dalam pengambilan keputusan.

d) Model Rest

Model Rest mengusulkan bahwa perkembangan moral melibatkan tiga


tahap. Tahap pertama adalah respons hedonistik, di mana seseorang
mempertimbangkan konsekuensi bagi dirinya sendiri. Tahap kedua adalah
orientasi persetujuan atau sosial, di mana seseorang mempertimbangkan
pandangan orang lain. Tahap ketiga adalah orientasi prinsip, di mana seseorang
mempertimbangkan prinsip-prinsip moral abstrak dalam
pengambilan keputusan. Seiring berjalannya waktu, kehidupan sosial budaya
masyarakat pasti akan mengalami perubahan. Ini sudah terbukti dari zaman ke
zaman, dari peradaban kuno manusia ke era kerajaan kuno ke kolonialisasi dan
hingga saat ini. Pertama yang akan berubah adalah unsur-unsur sosial seperti
fungsi dan struktur sosial, nantinya akan menyebabkan perubahan sosial.

2.5 Substantive Professional

Substantive professional dapat didefinisikan sebagai individu yang


memiliki pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang mendalam dalam
bidang tertentu. Mereka biasanya berperan sebagai ahli atau pakar dalam bidang
tersebut, dan sering kali memiliki tanggung jawab yang spesifik dalam organisasi
atau perusahaan.

Contoh dari substantive professional termasuk dokter spesialis, insinyur,


pengacara, akuntan, atau ilmuwan. Mereka memiliki pengetahuan mendalam dan
keterampilan teknis yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang
spesifik dan kompleks dalam bidang mereka.

Sebagai individu yang berperan spesifik, substantive professional biasanya


memegang peran kepemimpinan atau bertanggung jawab atas tugas-tugas
tertentu di dalam organisasi. Mereka dapat bekerja secara mandiri atau sebagai
bagian dari tim, dan sering kali bekerja dengan klien atau pelanggan.

7
Ketika sebuah organisasi mempekerjakan substantive professional, mereka
diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam bidang mereka.
Mereka diharapkan dapat menyelesaikan tugas-tugas yang kompleks dengan
efektif dan efisien, serta memberikan saran dan panduan yang berharga untuk
organisasi tersebut. Perubahan sosial dan kebudayaan dapat dibedakan kedalam
beberapa bentuk, yaitu:

2.6 Proses Driven

Proses-driven dalam konteks pembuatan keputusan etika mengacu pada


pendekatan yang menekankan pentingnya proses yang digunakan untuk
mencapai keputusan etika yang tepat, daripada hanya fokus pada hasil akhir atau
keputusan akhir itu sendiri. Proses-driven memandang bahwa pentingnya proses
yang transparan, terbuka, dan adil dalam membentuk keputusan etika.

Dalam praktiknya, proses-driven dapat diimplementasikan melalui


berbagai metode dan alat, termasuk diskusi kelompok terbuka, evaluasi risiko
dan dampak, pemetaan pemangku kepentingan, dan pemantauan dan audit terus-
menerus. Pendekatan proses-driven dapat membantu memastikan bahwa
keputusan etika dibuat dengan mempertimbangkan berbagai perspektif dan nilai-
nilai yang berbeda, serta meminimalkan risiko bias atau diskriminasi yang tidak
disengaja.

Pendekatan proses-driven juga dapat membantu organisasi untuk


meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pembuatan keputusan etika,
serta membangun kepercayaan dan kredibilitas dengan pemangku kepentingan
yang berbeda. Selain itu, dengan menekankan pada pentingnya proses yang adil
dan terbuka, proses-driven dapat membantu organisasi untuk mengurangi risiko
hukum dan reputasi yang mungkin terkait dengan keputusan etika yang
kontroversial atau tidak tepat.

2.7 Integrative

8
Integratif adalah pendekatan teori etika yang mencoba untuk memadukan
berbagai prinsip, nilai, dan kepercayaan moral yang berbeda menjadi satu sistem
yang konsisten dan holistik. Pendekatan ini mengakui kompleksitas dan
keragaman nilai-nilai moral yang ada di masyarakat, dan mencoba untuk
menciptakan kerangka kerja yang menggabungkan aspek-aspek yang berbeda
dari berbagai teori etika.

Pendekatan integratif ini menekankan pentingnya konsistensi dalam


pandangan etika seseorang dan menolak pendekatan yang bersifat relativis atau
subyektif. Oleh karena itu, dalam pendekatan ini, prinsip-prinsip dan nilai-nilai
etika dipilih dan diintegrasikan berdasarkan pada konsistensi dan kesesuaian
dengan kenyataan empiris dan pengalaman manusia.

Contoh teori etika integratif yang terkenal adalah etika kebajikan atau
virtue ethics, yang menekankan pentingnya karakter dan kebiasaan moral dalam
menentukan tindakan yang benar atau salah. Etika kebajikan mengintegrasikan
prinsip-prinsip dari berbagai teori etika, termasuk utilitarianisme, deontologi, dan
etika kontrak sosial, untuk menciptakan kerangka kerja yang holistik.

Dalam pendekatan integratif, prinsip-prinsip etika dipilih dan


diintegrasikan berdasarkan pada kesesuaian dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip
moral yang sudah ada, serta dengan kenyataan empiris dan pengalaman manusia.
Dengan demikian, pendekatan ini memberikan cara yang terpadu dan
komprehensif untuk memandang etika dan nilai-nilai moral.

9
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Dalam melakukan perencanaan, penting untuk mempertimbangkan aspek
etika agar tindakan dan keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan
secara moral dan menghasilkan dampak yang positif bagi masyarakat dan
lingkungan sekitarnya. Etika dalam perencanaan mencakup prinsip-prinsip moral
yang mendorong perencana untuk mempertimbangkan kepentingan dan
kebutuhan semua pihak yang terlibat dalam suatu proyek atau kegiatan, serta
menghargai hak individu dan masyarakat untuk memiliki akses yang sama
terhadap sumber daya dan kesempatan.

Beberapa teori etika yang dapat diterapkan dalam perencanaan antara lain
utilitarianisme, deontologi, keadilan, etisisme, dan ekologi. Perencana dapat
memilih teori etika yang paling sesuai dengan konteks perencanaan yang sedang
dihadapi. Dengan menerapkan etika dalam perencanaan, perencana dapat
menjaga integritas moral dan profesionalisme dalam mengambil keputusan,
menghindari keputusan yang berpotensi merugikan pihak-pihak tertentu, dan
memastikan bahwa kegiatan atau proyek yang direncanakan memberikan
manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan.

Dalam kesimpulannya, etika dalam perencanaan adalah bagian integral


dari setiap proses perencanaan yang bertanggung jawab secara moral dan
memperhatikan kepentingan dan kebutuhan semua pihak yang terlibat, sehingga
kegiatan atau proyek yang direncanakan dapat memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Djaelani, M. S. (2011). Etika lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan. Jurnal


Ilmiah Econosains, 9(1), 21-27.

Rustiadi, E. (2018). Perencanaan dan pengembangan wilayah. Yayasan Pustaka


Obor Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai