Anda di halaman 1dari 20

 Berdasarkan predileksi infeksi:

Pneumonia, Bronchopneumonia  Pneumonia lobaris


Overview
 Bronkopneumonia→ sering pada bayi dan orang tua, jarang
 → suatu peradangan akut parenkim paru yg disebabkan oleh Mo
dihubungkan dgn obstruksi bronkus
(bakteri, virus, jamur, parasit)
Etiologi CAP
 →peradangan paru yg disebabkan non Mo (bahan kimia, radiasi,
 Rawat Jalan :
aspirasi bahan toksik obat-obatan, dll)→ Pneumonitis
-
 Streptocccus pneumoniae
 Pneumonia komunitas adalah peradangan akut pada parenkim
 Mycoplasma pneumoniae
paru yang disebabkan oleh infeksi patogen yang didapat di luar
 Haemophilus influenza
rumah sakit atau komunitas (masyarakat)
 Chlamidophila pneumoniae
Faktor Resiko terhadap Resiko Infeksi Pneumoniae
 Virus respirasi
 Usia
 Rawat inap (non ICU)
 Merokok
 S. Pneumoniae
 Pajanan lingkungan
 M. Pneumoniae
 Malnutrisi
 C. Pneumoniae
 Riw CAP sblmnya
 H. Influenza
 Bronkitis kronik/PPOK
 Legionella spp
 Asma
 Aspirasi
 Ggn fungsional
 Virus respirasi
 Oral hygiene buruk
 Rawat ICU
 Terapi imunosupresif
 S. Pneumoniae
 Steroid oral
 Staphylococcus aureus
 Obat penghambat sekresi asam lambung
 Legionella spp
Klasifikasi
 Basil gram negative
 Berdasarkan klini dan epidemologis:
 H. Influenza
 Pneumonia komuniti (CAP) community -

acquiredpneumoniae  Dari beberapa Rumah Sakit rujukan (2020-2021)


 Pneumonia nasokomial (HAP) Hospital-acquired
 Health care associated pneumonia (HCAP)
pneumoniae  Rawat inap:
1. Klebsiella pneumoniae
 Pneumonia akibat pemasangan ventilator (VAP)
2. Escherichia coli
 Pneumonia aspirasi
3. Acinetobacter baumanii
 Pneumonia pada penderita immunocompromised
4. Pseudomonas aeruginosa
 Berdasarkan bakteri penyebab:
5. Streptococcus pneumoniae
 Pneumonia bakterial/tipikal
6. Staphylococcus aureus
 Pneumonia atipikal (Mycoplasma, Legionella, Chlamydia)
 Pneumonia virus
 Pneumonia jamur
Patogenesis  Menegakkan diagnosis dan adanya
 SEHAT→ Mo → bergantung komplikasi (efusi pleura, penyakit
mekanisme pertahanan paru multilobus)
 Cara Mo mencapai  Kemungkinan tidak bisa dilakukan
permukaan: pada beberapa kasus rawat jalan
 Inokulasi langsung  foto toraks : secara klasik dianggap
 Penyebaran melalui sebagai gold standard
pembuluh darah Peranan penanda infeksi pd pneumonia
 Inhalasi bahan aerosol  PCT (Procalcitonin)
 Kolonisasi dipermukaan mukosa  PCT pd infeksi dan inflamasi akan meningkatnterutama pd
Diagnosis infeksi bacterial berat, sepsis syok septik, MODS Multiple organ
Dysfunction syndrome
 Anamnesis, Pemeriksaan fisik, Gejala klinis, Foto toraks,  Dihasilkan oleh sel imun bawaan di hati, paru, usus
laboratorium  Prediktor komplikasi dan meningkatnya angka kematian
 BAKU EMAS CAP: foto toraks dengan gambaran infiltrate ditambah  PCT lebih baik daripada CRP dlm kasus infeksi akut
awitan akut dari bbrp gejala tanda dibawah ini:  Pemeriksaan PCT disertai CRP dapat meningkatkan
 Batuk ketepatan diagnosis pneumonia.
 Perubahan karakteristik sputum, biasanya purulent  Membedakan infeksi bakteri atau virusm→ PCT < 0,1 mcg/l
 Suhu tubuh ≥ 38°C (aksila)/riw demam → infeksi bakteri
 Nyeri dada  Kadar PCT > 2 ng/ml→prediktor bakteremia, sepsis, syok
 Sesak napas septik dan MODS.
 Pd pemfis → tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial  CRP C- Reactive protein)
dan ronki -  Nilai normal→3 mg/l, dan kadar 10 mg/l→indikasi inflamasi
 Leukosit ≥ 10.000 sel/mm3, atau < 4500 sel/mm3 dengan yg signifikan
peningkatan neutrophil batang/imatur
-
 Spesifitas rendah, krn kadar CRP diatas terdpt juga dlm
 Pemeriksaan Penunjang keadaan lain (merokok, obesitas, DM, uremia, HT, kurang
 Biakan sputum untuk menentukan kuman penyebab → aktivitas, penuaan dll)
lama  Kadar CRP > 100 mg/l→ prognosis dan kebutuhan ventilasi
 Berdasarkan rekomendasi terbaru → mekanik pada pas pneumonia
1. Pewarnaan gram dan biakan sputum, biakan darah
→ tidak rutin dilakukan pada pasien CAP rawat jalan Pneumonia Atipik CLM .

2. Pewarnaan gram dan biakan sputum, biakan darah  Etiologi : Mycoplasma pneumonia, Legionella spp, Chlamydia
- - ✓

→ rawat inap derajat berat/faktor risiko infeksi pneumonia


MRSA atau P. aeruginosa  Gejala→ demam, batuk nonproduktif, nyeri kepala, mialgia
 Foto Thorax  Pemfis→ ronki basah tersebar
 Terlihatnya infiltrat pada foto toraks atau teknik  Radiologis→ infiltrosis ringan, infiltrat interstitial
pemeriksaan lainnya
- -

- -

 Lab→ leukositosis ringan, sediaan apusan gram, biakan sputum atau Penilaian derajat keparahan penyakit
 CURB-65 o =
-

darah tidak ditemukan bakteri


 Lab untuk menentukan atipik :
RUN > 30 -

 isolasi biakan sesitivitasnya sangat rendah


 Deteksi antigen enzyme immunoassays (EIA)
É
 PCR
 Uji serologis
✓ ✓

-
-
-

 PSI
→membantu menentukan indikasi rawat inap pasien

Pneumonia Virus
 Virus yg sering menyebabkan pneumonia:
 Virus influenza (H5N1, H1N1, H7N9, H3N2 dll)
 Virus Para Influenza
 Respirstory Synctitial Virus (RSV)
 Corona virus (Mers CoV, SARS)
 Kelainan yang mungkin ditemukan :
 Demam suhu > 38 C, batuk, sesak , riwayat bepergian ke
negara timur tengah 14 hari sblm onset
 Ro→ infiltrat, konsolidasi, ARDS
 Lab : PCR swab tenggorokan dan sputum
 Tingkat kesadaran berdasarkan Uji Mental DDx :
 Community-acquired pneumonia (CAP)
 Infeksi akut parenkim paru yang :
1. berhubungan dengan gejala-gejala infeksi akut
2. disertai adanya
 Infiltrat akut pada foto roentgen
 ATAU
 hasil pemeriksaan auskultasi yang konsisten
dengan pneumonia
(perubahan bunyi napas dan / atau suara
napas kasar yang terlokalisir)
 Hospital-acquired pneumonia (HAP) → Pneumonia yang muncul ≥
Pneumonia Berat (IDSA/ATS 2019) 48 jam setelah paasien rawat inap, yang belum mengalami inkubasi
 MEMENUHI 1 KRITERIA MAYOR ATAU ≥3 KRITERIA MINOR pada saat pasien masuk Rumah Sakit
 Kriteria minor:  Ventilator-associated pneumonia (VAP) → Pneumonia yang terjadi
1. Frekuensi napas > 30/menit > 48 sampai 72 jam setelah intubasi endotrakea
2. PaO2/FiO2 < 250 mmHg  Healthcare-associated pneumonia (HCAP)
3. Foto toraks menunjukkan infiltrat multilobus  Patients dirawat di Rumah Sakit dengan pneumonia yang :
4. Kesadaran menurun/disorientasi 1. telah menerima pengobatan i.v. di rumah,
5. Uremia (BUN > 20 mg/dl) perawatan luka atau panti perawatan khusus
6. Leukopeniac (leukosit < 4000 sel/mm3) 2. telah melakukan pengobatan i.v. sendiri dalam 30
7. Trombositopenia (trombosit < 100.000 sel/mm3) hari terakhir
8. Hipotermia (suhu < 360C) 3. telah rawat inap di Rumah Sakit atau klinik
9. Hipotensi yang memerlukan resusitasi cairan agresif hemodialisis atau menerima kemoterapi i.v. dalam
 Kriteria mayor : 30 hari terakhir
1. Membutuhkan ventilasi mekanik 4. telah masuk di bagian perawatan akut Rumah Sakit
2. Septik syok yang membutuhkan vasopresor selama lebih dari 2 hari dalam 90 hari terakhir atau
Alur Dx dan Tx CAP : masuk di fasilitas perawatan jangka panjang
Panduan untuk Penanganan CAP
 PASIEN RAWAT JALAN
 Pengobatan suportif/simptomatik
 Pemberian antibiotik harus diberikan segera mungkin
 PASIEN RANAP RUANGAN BIASA
 Pengobatan suportif/simptimatik
 Pengobatan antibiotik harus diberikan sesegera mungkin
 PASIEN RANAP RUANGAN INTENSIF Panduan Rawat Jalan
 Pengobatan suportif/simptomatik(Terapi oksigen,
Pemasangan infus → rehidrasi, koreksi kalori, elektrolit)
 Obat simptomatik (antipiretik. Mukolitik)
 Pengobatan antibiotik harus diberikan sesegera mungkin
 Bila ada indikasi pasien dipasang ventilasi mekanis
Strategi Penanganan CAP
 Panduan penanganan CAP saat ini merekomendasikan
 Stratifikasi pasien ke dalam kelompok risiko
 Pemilihan terapi antimikroba empirik yang tepat
 Peta kuman, Alergi, penggunaan AB sebelumnya, Efek
samping, patogen lokal, harga
 Panduan terapi CAP yang harmonis dapat
 Meningkatkan dampak kesehatan
 Menurunkan tekanan pada tenaga kesehatan
Faktor Komorbid  Memiliki FR MRSA / P.aeruginosa: Rawat inap untuk Ab intravena
 Pneumokokus resisten penisilin: Panduan Rawat Inap
 Usia > dari 65 tahun
 Pakai obat gol B lactam slm 3 bln terakhir
 Pecandu alcohol
 Penyakit ggn kekebalan
 Penyakit penyerta multiple
 Bakteri enteric gram neg
 Penghuni rumah jompo
 Punya penyakit jtg dan paru
 Punya Kelaina penyakit yg multiple
 Riw ab
 P.aeruginosa
 Bronkiektasis
 Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/h
 Pengobatan AB spektrum luas > 7 hari pd bulan terakhir
 GIZI kurang
Intervensi Non-Farmakologi untuk mencegah CAP peningkatan suhu, dan edema antara kapiler dan
 Berhenti merokok – 5A alveoli
 ASK / TANYAKAN tentang penggunaan tembakau pada tiap  Ekspansi kuman melaui pembuluh darah kemudian masuk
kunjungan kantor; pelaksanaan dokumentasi secara luas di kedalam saluran pencernaan dam menginfeksinya
perkantoran mengakibatkan terjadinya peningkatan flora normal dalam
 ADVISE / NASIHATKAN semua pasien perokok untuk usus, peristaltic meningkat akibat usus mengalami
berhenti merokok malabsorbsi dan kemudian terjadilah diare yang beresiko
 ASSESS / NILAI keinginan pasien untuk berhenti; berikan terhadap gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
motivasi  Pemeriksaan Penunjang
 ASSIST / BANTU pasien melalui counselling dan merujuk  Untuk dapat menegakkan diagnose keperawatan dapat
 ARRANGE / ATUR follow-up untuk mengevaluasi dan digunakan cara:
membangkitkan semangat 1. Pemeriksaan laboratorium
 Vaksinasi (pneumococcus dan influenza)  Pemeriksaan darah → leukositosis
 Influenza (meningkatnya jumlah neutrofil)
1. Subunit yang telah diinaktivasi (IIV)  Pemeriksaan sputum → Bahan pemeriksaan
 Intramuskular diperoleh dari batuk yang spontan dan
 Trivalent dalam. Digunakan untuk pemeriksaan
 Diberikan setiap tahun mikroskopis dan untuk kultur serta tes
2. Vaksin hidup yang telah dilemahkan (LAIV) sensifitas untuk mendeteksi agen infeksius
 Intranasal  Analisa gas darah untuk mengevaluasi
 Trivalent status oksigenasi dan status asam basa
 Diberikan setiap tahun  Kultur darah untuk mendeteksi bakterimia
 Sampel darah, sputum, dan urin untuk tes
imunologi untuk mendeteksi antigen
Bronchopneumonia mikroba
 Jenis infeksi paru yang disebabkan oleh agen infeksius seperti 2. Pemeriksaan radiologi
bakteri, virus, jamur dan benda asing yang mengenai daerah  Rontgenogram thoraks → Menunujukan
bronkus dan sekitar alveoli. konsolidasi lobar
 Patofisiologi :  Komplikasi :
 Bronchopneumonia selalu didahului oleh infeksi saluran  Atelektasis adalah pengembangan paru yang tidak
nafas bagian atas yang disebabkan oleh bakteri sempurna atau kolaps paru yang merupakan akibat
staphylococcus, Haemophilus influenza atau karena aspirasi kurangnya mobilisasi atau reflek batuk hilang
makanan dan minuman.  Empyema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya
 Dari saluran pernafasan dengan gambaran sebagai berikut: nanah dalam rongga pleura yang terdapat disatu tempat
1. Infeksi saluran nafas bagian bawah menyebabkan atau seluruh rongga pleura.
tiga hal, yaitu dilatasi pembuluh darah alveoli,
 Abses paru adalah pengumpulan pus dala jaringan paru
yang meradang
 Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup
endokardial
 Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak
Abses Paru 2. Fusobacterium nucletum
3. Peptosraptococcus
Overview
 Abses paru sekunder kuman penyebabnya
 Abses paru adalah proses infeksi paru supuratif yang menimbulkan
1. Staphilococcus aereus
destruksi parenkim dan pembentukan satu atau lebih kaviti yang
E. A- mengandung pus sehingga membentuk gambaran Radiologist Air
Fluid Level.
2. Streptococcus pneumoniae
3. Klebsiella pneumoniae
4. Haemophillus influenza
 Abses paru Primer adalah akibat pneumonia aspirasi atau
Patogenesis
bronkogenik
 Abses Paru yang paling sering terjadi akibat aspirasi kuman dari
 Abses paru Sekunder adalah akibat penyebaran infeksi dari tempat
saluran napas bagian atas → Teraspirasi kedalam Paru Kanan
lain secara :
 Abses karena aspirasi dimulai dari suatu infeksi lokal bronkus→
 Hematogen
bronkiolus
 Limfogen
 Pembuluh darah local → Trombosis → Nekrosis + likuefaksi.
 Perkontinuitatum
Jaringan granulasi → Nekrosis → kaviti (Air Fluid Level)
Faktor Risiko
Gejala Klinis
 Faktor risiko utama :
 Akut maupun kronik
 Aspirasi sekret orofaring
 Prodromal
 Proses neurologis
 Demam
 Defek esophagus
 Sesak napas
 Intubasi
 Malaise
 Aspirasi
 Anoreksia
 Penyakit gigi dan gusi, piorhea
 Batuk darah
 Obstruksi jalan napas
 Nyeri dada
 Bronkiektasis
 Sianosis
 Infark paru
Pemeriksaan Fisik
 Fibrosis kistik
 Normal
 Sindrom disfungsi silia
 Dijumpai kelainan apabila teradapat
 Sekuester paru
 Pneumonia
 Gangguan imuniti/sindrom defisiensi imuniti
 Atelektasis
 Pneumonia emboli
 Efusi pleura
Etiologi
 Bunyi napas tambahan amforik→pada cavitas besar
 Menunjukkan kuman
Radiologis
 Abses paru primer disebabkan kuman anaerob yang
 Terdapat kaviti berbentuk oval dan bulan dengan dinding tebal dan
terdapat di daerah orofaring. Kuman penyebabnya
gambaran Air Fluid Level didalam kaviti tersebut.
polimikroba dengan predominan kuman anaerob Seperti :
1. Prevotella melanninogenica
Mikrobiologis  Bronkoskopi dapat membantu drainase dan pengambilan benda
 Pewarnaan gram sputum asing serta diagnosis tumor. Perlu diingat bahwa bronkoskopi
 Biakan kuman anaerob perlu dilakukan dengan media khusus mengandung risiko pecahnya abses paru sehingga dapat tumpah ke
 Bahan biakan didapat dari bronkus dan menyebabkan asfiksia.
 Aspirat trans trakeal
Komplikasi
 Cairan pleura (empiema)
 Komplikasi yang sering terjadi adalah empiema dengan atau tanpa
 Aspirasi paru perkutaneus dengan panduan CT-scan, USG,
fistel bronkopleura. Pecahnya abses mengakibatkan tumpahnya pus
Fluoroskopi
ke dalam saluran napas mengakibatkan penyebaran infeksi lebih
DDx :
luas dan bahkan dapat berakibat asfiksia.
 Karsinoma bronkus dengan kaviti
 Tuberkulosis paru dan infeksi jamur
 Bulla paru yang terinfeksi dengan suatu batas permukaan cairan
 Kista paru yang terinfeksi Efusi Pleura Masif
 Empiema terlokalisir Overview
 Hematoma paru  Efusi pleura adalah akumulasi
 Sekuester paru cairan di rongga pleura, dan kondisi
Terapi ini mengindikasikan adanya
 Pemberian antibiotic dan drainase merupakan kunci terapi abses gangguan keseimbangan produksi
paru. dan pengeluaran cairan pleura
 Terapi antibiotic umumnya memerlukan waktu cukup lama untuk  Pembentukan cairan pleura: 0,01
mencegah kekambuhan, biasanya memerlukan waktu antara 1 mg/kg BB/jam
sampai 3 bulan  Normal sekitar 15-20 cc perhr
Antibiotik  Parietal pleura terdiri dari jaringan ikat ireguler yang longgar dan
 Prevotella : metronidazole, klindamisin, kombinasi inhibotor dibungkus oleh satu lapis sel mesotelial.
betalaktamase dan karbapenem  Di dalam pleura tersebut dijumpai pembuluh darah, terutama
 Fusobakterium: klindamisin kapiler, dan lakuna limfatik.
 Peptostreptokokus: kombinasi inhibitor betalaktamase,  Ujung saraf sensorium dijumpai di pleura parietalis bagian
karbapenem, penisilin dosis tinggi diafragma dan kosta
 Bakteriodes: metronidazole  Pleura viseralis terdiri dari dua lapisan: mesotelium dan jaringan
 Klostridium: metronidazole, penisilin ikat.
 Aktinomises: penisilin dosis tinggi, klindamisin  Pleura viseralis tidak mengandung serabut nyeri sehingga dapat
Tx : dilakukan manipulasi tanpa menimbulkan gangguan
 Drainase postural perlu dilakukan pada penderita abses paru dan  Melekat ke paru
harus dilakukan dengan hati-hati. Tindakan drainase ini sangat  Lapisan jaringan ikat pada pleura viseralis memiliki dua fungsi
penting dalam penyembuhan abses. penting:
 Membantu elastic recoil paru, yang penting dalam proses  LDH cairan pleura lebih besar dari dua per tiga batas atas
pengeluaran udara dari paru normal LDH serum
 Membatasi pengembangan paru yang berlebihan.
Patogenesis
 Peningkatan tek hidrostatik di dlm sirkulasi mikrovaskular
 Menurunnya tek negatif di dalm sirkulasi mikrovaskular
 Menurunnya tek neg di dalam rongga pleura
 Bertambahnya permeabilitas dinding p.darah pleura
 Terganggunya penyerapan kembali sairan pleura ke pemb getah
bening
 Perembesan cairan dari rongga peritonium ke rongga pleura
0
Efusi Pleura Masif
 Efusi pleura masif merupakan terminologi yang digunakan sesuai
dengan size efusi pleura yang ditemukan.
 Size efusi pleura berdasarkan foto toraks yaitu:

Diagnosis
 Anamnesis
 Sesak napas, batuk, nyeri dada pada sisi sakit, nyeri pleuritik
 Pasien merasa lebih ringan bila posisi miring ke sisi sakit
 Pemeriksaan fisik toraks
 Inspeksi: dada bulging pada sisi sakit, ketinggalan bernapas
 Palpasi: tactile fremitus melemah pada sisi sakit
 Perkusi: beda pada sisi sakit
 Auskultasi: suara napas melemah-menghilang pada sisi sakit
 Pemeriksaan penunjang : foto toraks, USG toraks, CT scan toraks,
dan aspirasi cairan pleura
Cairan Efusi Pleura : Tx :
 Transudat  Aspirasi cairan pleura/torakosentesis terapeutik
 Eksudat  Pemasangan selang dada (toraks drain)
 Kriteria light untuk eksudat: (salah satu dari:) ➔ Lokasi ini adalah area yang dibatasi oleh batas tepi otot latissimus
 Protein cairan pleura dibagi dengan protein serum lebih dorsi, batas tepi otot pectoralis major, dan superior dari garis
besar dari 0,5 horizontal ruang inter kosta ke-5.
 LDH cairan pleura dibagi dengan LDH serum lebih besar dari
0,6
 Pencabutan selang dada:
 Selang dada dicabut ketika drainase cairan pleura berkurang
mencapai kurang dari 200 ml per hari, resolusi dari
pneumotoraks atau ketika selang dada tidak lagi berfungsi
 Pencabutan dilakukan dengan gerakan cepat smentara
asisten mengikatkan jahitan mattress yang telah disiapkan
TBC pada Anak  Lokasi infeksi primer terjadi di parenkim yang jauh dari bronkus,
tidak terjadi produksi sputum
Overview :
 Sedikit/tidak ada produksi sputum dan tidak terdapat reseptor
 Pada anak :
batuk di daerah parenkim menyebabkan jarang muncul gejala batuk
 Sulit mendapatkan specimen
 Peranan uji tuberkulin/mantoux
Patogenesis
 Sering overdiagnosis dan overtreatment
 Bisa underdiagnosis dan undertreatment
 Sumber penularan : orang dewasa dengan BTA sputum positif
 Program TB Nasional penanggulangan lebih ditekankan pada
dewasa
 Penanganan TB anak belum mendapat perhatian memadai

Faktor Resiko → Terinfeksi tidak selalu sakit TB


 Resiko Infeksi TB
 Kontak TB positif
 Daerah endemis Masa Inkubasi :
 Kemiskinan  Masa inkubasi : waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB
 Lingkungan ( higiene dan sanitasi tidak baik) hingga terbentuknya kompleks primer
 Tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara atau  Berbeda dengan masa inkubasi proses infeksi lain, yaitu : waktu
panti yang banyak TB dewasa aktif) yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala
 Resiko Sakit TB penyakit
 Usia : ≤ 5 tahun  Masa inkubasi TB berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya
 Infeksi baru : uji konversi tuberkulin menjadi positif dalam berlangsung selama 4-8 minggu
satu tahun terakhir  Terbentuk kompleks primer → Maka test tuberkulin/test mantoux
 Malnutrisi menjadi positif
 Imunokompromais  Infeksi TB Alamiah
 Virulensi dan dosis infeksi  BCG (Infeksi TB buatan)
 Infeksi M. atipic
TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain/dewasa disekitarnya,  Positif palsu
alasan :  Terbentuk kompleks primer, infeksi primer dinyatakan telah terjadi.
 Kuman tb jarang ditemukan di dalam sekret endobronkial pasien Imunitas selular terhadap TB terbentuk, dapat diketahui dengan
anak adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein yaitu uji
 Paucibacillary : jumlah kuman TB anak biasanya sedikit. Tapi karena tuberkulin positif
imunitas anak masih lemah, jumlah sedikit mampu menyebabkan  Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih negatif, Sebagian besar
sakit individu dengan sistem imun baik, pada saat imun selular
berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah Perjalanan Alamiah
kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma
 Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk
kedalam alveoli akan segera dimusnahkan olehs imunitas selular
spesifik (CMI: Cellular mediated immunity)
 Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau
kalsifikasi setelah nekrosis perkijuan dan enkapsulasi
 Kelenjar limfe regional juga mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tapi
penyembuhan tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru
 Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap bertahun2 dalam
kelenjar, tapi tidak menimbulkan gejala sakit TB
 Selama masa inkubasi, sebelum terbentuk imunitas selular dapat
Dx :
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen
Sulit :
 Penyebaran limfogen : Kuman menyebar ke kelenjar limfe
 Jumlah kuman <<
regional memb entuk kompleks primer atau berlanjut
 Sulit pengambilan spesimen/sputum
limfohematogen
 Klinis dan radiologi : tidak spesifik
 Penyebaran hematogen :
 Manifestasi klinis
1. Occult hematogenic spread
 Demam ≥ 2minggu tidak tinggi, hilang timbul
2. Acute generalized hematogenic
 Batuk ≥ 3 minggu
3. Proctacted hematogenic spread
 Anorexia, berat badan tidak sesuai grafik
Tuberculosis :
pertumbuhan/tidak sesuai
 Tb pulmonal :
 Diare persistent
 Penyebaran limfohematogen
Skoring TB :
 TB endotrakeal
 TB paru kronik
 Tb ekstrapulmonal : TB pascaprimer : skletal, tulang, otak dsb



 Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis
 Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan dokter penuh, dilanjutkan tappering off selama 1-2 minggu
 Gambaran milier/skrofuloderma langsung didiagnosis TB
 BB dinilai saat pasien datang FDC OAT Anak :
 Demam dan batuk tidak respons terapi baku
 Foto thorak bukan alat diagnostik utama
 Gbr suggest TB : Pembesaran kelenjar hilus/paratrakeal dengan
/tanpa infiltrat, konsolidasi segmental/lobar, kalsifikasi dengan
infiltrat, atelektasis, tuberkuloma. Gambaran milier diperlakukan
khusus
 Penting peran uji tuberkulin
 Reaksi cepat BCG ≤ 7 hari harus evaluasi skoring TB
 0
Diagnosis TB bila jumlah skor ≥ 6 ( maksimal 14)
Evaluasi Hasil Pengobatan
Tx – berdasarkan Skoring TB Anak  Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB sulit dan tidak
 Skor ≥6 → Beri OAT, 2 bulan terapi → Evaluasi jarang terjadi salah diagnosis
 Respons (+) → Terapi TB diteruskan  Evaluasi penting klinis : menghilang atau membaiknya kelainan klinis
 Respons (-) → Rujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut yang sebelumnya ada diawal pengobatan,misal :
 OAT lini pertama :  Penambahan berat badan
 Isoniazid  Hilangnya demam
 Rifampisin  Hilangnya batuk
 Pirazinamid  Perbaikan nafsu makan
 Etambutol  Apabila respons baik, maka pengobatan dilanjutkan
 Streptomisin  Apabila respons setelah 2 bulan kurang baik, OAT tetap diberikan
 Paduan obat TB sambil dievaluasi lebih lanjut mengapa tidak ada perbaikan
 Fase insentif ( 2 bulan pertama )  Kemungkinan : misdiagnosis, mistreatment atau resisten OAT
 Fase lanjutan  Evaluasi efek samping pengobatan
 Prinsip dasar : minimal 3 macam pada fase insentif  Gangguan gastrointestinal
 Dilanjutkan dengan 2 macam fase lanjutan  Hepatotoksisitas
 OAT setiap hari, tidak seperti dewasa, bertujuan mengurangi 1. Ditandai peningkatan SGOT & SGPT ≥ 5 kali tanpa
ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi. gejala
2. Atau ≥ 3 kali batas atas normal disertai gejala,
Keadaan TB berat 3. Peningkatan bilirubin total > 1,5 mg/dl
 OAT 4 macam 4. Peningkatan SGOT & SGPT dengan nilai berapapun
 Diberikan kortikosteroid dengan dosis 1-2 mg/kgbb/hari dibagi disertai ikterus, anoreksia, nausea dan muntah
dalam 3 dosis maksimal 60 mg dalam 1 hari  Ruam, gatal serta demam
Asfiksia Tenggelam 3. Jika dihirup 2 liter (orang dewasa) dan 30 sampai 40
mililiter (bayi) dapat mati
Overview :
 Lama di air:
 Suatu keadaan dimana sebagian atau seluruh tubuh berada di
 Primer → Bila dalam hitungan menit setelah tenggelam,
dalam media cairan dan menutup saluran nafas.
tidak ada pertolongan. (fibrilasi ventrikel dan asfiksia)
 Asfiksia karena Tenggelam -

 Sekunder → Korban berhasil diselamatkan. Kematian pada


 Penyebab kematian yang utama yang terjadi segera saat di -

tipe ini adalah asfiksia, akibat dari asidosis metabolik,


air (tenggelam), karena terhalangnya jalan nafas oleh air.
oedema paru, pneumonitis dan infeksi paru
 Dapat juga disebabkan oleh :
 Penyebab :
1. Vagal Reflek → Kematian terjadi sangat cepat
 True drowning → Kematian disebabkan asfiksia, akibat paru
(karena inhibisi n. Vagus) dan pemeriksaan
terisi air
postmortem tidak ditemukan adanya tanda-tanda
 Submersion drowning → Karena Inhibisi refleks vagal,
asfiksia ataupun air di dalam paru-parunya sehingga
spasme laring atau fibrilasi ventrikel, tanpa tanda asfiksia
sering disebut tenggelam kering (Dry drowning).
 Immersion drowning → Karena pengaruh obat-obatan atau
2. Spasme Laring → Sangat jarang terjadi (kecuali
penyakit (epilepsi), kemudian jatuh ke air dan tenggelam,
tenggelam di air dingin) disebabkan karena
kematian karena asfiksia atau inhibisi vagus
rangsangan air dingin yang masuk ke laring.
 Lokasi :
Pemeriksaan post mortem dapat ditemukan tanda-
 Di air tawar →
tanda asfiksia tetapi paru-parunya tidak didapati
1. Terjadi hemodilusi (72%, air masuk ke darah),
adanya air atau benda-benda air
mengakibatkan hemolisis. Sehingga dalam plasma
3. Gangguan elektrolit → Pada peristiwa tenggelam di
meningkat ion K, dan terjadi perubahan
air tawar akan menimbulkan anoksia disertai
keseimbangan ion K+, Ca++ mempengaruhi kerja
gangguan elektrolit, hemodilusi dan hemolisis. Pada
jantung dan menyebabkan, fibrilasi ventrikel serta
peristiwa tenggelam di air asin mengakibatkan
penurunan tekanan darah segera (5 menit).
anoksia dan hemokonsentrasi
 Di air asin →
4. Trauma → Akibat trauma (tumpul, tajam, dll) dari
1. Terjadi Hemokonsentrasi sekitar 42%, air akan
benda yang ada di air atau akibat tubuh korban
ditarik ke jaringan interstitial paru akibatnya edema
terbawa arus deras air
paru dan terjadi hipovolemik dan kenaikan kadar
Klasifikasi :
magnesium darah.
 Morfologi paru :
2. Sirkulasi darah sebelumnya menetap beberapa saat
 Dry Drowning → Pengaruh obat-obatan (hipnotik sedatif)/
kemudian menjadi lambat (Hipotensi),
alkohol. Air tidak teraspirasi masuk ke traktus respiratorius.
mengakibatkan anoksia pada miokardium serta
 Wet Drowning
asfiksia.
1. Terjadi karena aspirasi cairan.
3. Tidak terjadi hemolisis, melainkan hemokonsentrasi
2. Aspirasi 1-3 ml/ kg BB air akan beresiko gangguan
(10 menit).
pertukaran udara di sal nafas.
Aspek Medikolegal  Maserasi kulit → Tanda pertama bisa dilihat pada area yang cukup
 Kecelakaan. banyak mengandung keratin (seperti ujung jari, telapak tangan,
 Kebanyakan karena penyakit (jantung atau epilepsi). belakang tangan dan tapak tangan) dimana permukaan kulit
 Pada keadaan akibat pengaruh obat–obatan (alkohol). menjadi keriput, pucat dan basah disebut washer women hands and
 Trauma (termasuk sengatan listrik) dan terjatuh di air. feet.
 Bunuh diri.
 Menjatuhkan diri ke air dengan mengikat tubuh pelaku
diikat dengan benda berat.
 Melukai tubuh atau minum racun sambil berbaring di dalam
bak mandi.  Pembusukan dan penebalan kulit → Stratum corneum tebal atau
 Pembunuhan. terlipat secara alamiah, permukaan extensor lutut dan siku. Keratin
 Melemparkan korban ke laut atau memasukkan kepalanya yang tebal pada tangan dan kaki menjadi sobek dan akhirnya
ke dalam bak berisi air. mengelupas dalam bentuk seperti “sarung tangan dan kaus kaki”.
Kuku dan rambut terlepas hampir pada saat yang bersamaan.
Pemeriksaan Luar Pembusukan cepat terjadi dan seluruh tubuh membengkak.
 Buih halus.  Cutis anserina atau “kulit angsa”.
 Salah satu tanda paling penting adalah adanya buih halus  Hal ini terkait dengan air dingin.
sukar pecah yang menetap di mulut dan lubang hidung.  Karena : Musculus erektor pili pada tiap kantung (folikel)
rambut bisa mengkerut. Menyerupai “ kulit angsa”

 Lebam Mayat → Umumnya dijumpai kondisi lebam mayat di daerah


superior dari tubuh (kepala, leher) atau dada
 Cadaveric spasme → Fenomena vital (antemortem), merupakan
keadaan kaku terlihat pada tangan yang memegang erat benda air  Benda air di tubuh korban → Lumpur, coal-slurry, minyak, lumpur
seperti pasir atau rumput atau pasir mungkin akan nampak pada permukaan tubuh dan
 Bintik perdarahan → Merupakan salah satu tanda kejadian pakaian, atau pada rambut, mulut, lubang hidung, telinga dll.
kematian karena asfiksia, perdarahan (petechiae) terlihat di kulit
atau konjungtiva mata dan organ dalam seperti jantung dan paru- Pemeriksaan Dalam
paru  Paru-paru.
 Paru-paru membesar, tampak impresi dari tulang iga-iga
oleh paru-paru (ballooning of the lung).
 Pada pengirisan banyak keluar cairan (kasus tenggelam di
laut).
 Akan terasa krepitasi karena air ada di jaringan. Test Pemeriksaan Penunjang
 Berat paru-paru mencapai lebih dari 1 kilogram (Normal  Test asal air.
:200-300 gram).  Pemeriksaan diatome (test destruksi paru/ test getah paru)
 Paru-paru pucat (hemolisis) dijumpai bercak kemerahan.  Ambil jaringan perifer paru sebanyak 100 gram.
 Pada pengirisan dijumpai cairan hitam (darah asfiksia)  Masukkan ke dalam labu dan tambahkan asam sulfat pekat
bercampur buih halus dengan jumlah yang banyak. (H2SO4) sampai jaringan paru terendam.
 Gambaran paru itu disebut : “emphysema aquosum” atau  Diamkan lebih kurang setengah hari (+ 12 jam) agar jaringan
“ephysema hydroaerique”. hancur.
 Mekanisme terjadinya emphysema aquosum dan adanya  Dipanaskan dalam lemari asam sambil diteteskan asam
busa dalam saluran pernafasan : nitrat pekat (HNO3) 10% sampai terbentuk cairan yang
1. Karena, terinhalasinya air dan mengiritasi membran jernih.
mukosa saluran pernafasan, mengakibatkan stimulir  Dinginkan dan cairan di sentrifuge hingga terdapat
sekresi mucusa. sedimen/ endapan hitam.
2. Keadaan pergerakan udara yang ada dalam sal.  Sedimen yang terjadi ditambah dengan aquabides,
pernafasan (pada fase dispnue dari asfiksia) sentrifuge kembali.
mengocok mucosa tersebut sehingga terbentuk  Dilihat dengan mikroskop (hitung diatomenya)
busa.  PENILAIAN : Pemeriksaan diatom positif bila pada jaringan
 Pleura → Dijumpai gambaran bercak perdarahan berwarna biru paru ditemukan diatome cukup banyak (4-5/LPB) atau 10-20
kemerahan dan berdiameter 3-5 cm (robeknya penyekat alveoli) per satu sediaan, atau pada sum-sum tulang cukup
akibat peningkatan cairan dalam pembuluh darah dan hemolisa ditemukan hanya satu.
(pada tenggelam air tawar).  Pemeriksaan lainnya :
 Lambung → berisi cairan dan kotoran-kotoran air, atau binatang air  Test kimia darah (berat jenis dan elektrolit)
serta tumbuhan air.  Pemeriksaan histologi (PA)
 Jantung → Perbedaan berat jenis cairan darah antara ventrikel
kanan dan kiri, dapat menentukan apakah betul-betul orang
tersebut masih hidup pada waktu masuk ke dalam air dan di lokasi
mana tenggelam
 Bila air air sungai: Maka pada jantung kiri akan terjadi
hemodilusi di mana darah pada jantung kiri menjadi lebih
encer dari yang kanan (berat jenis ventrikel kiri lebih kecil
dari ventrikel kanan).  PEMERIKSAAN DARAH JANTUNG → Pemeriksaan berat jenis
 Bila air laut: Akan terjadi sebaliknya. Karena air laut dan kadar elektrolit pada darah yang berasal dari bilik
mengandung NaCl, jadi pada jantung kiri akan terjadi jantung kiri dan bilik jantung kanan.
hemokonsentrasi (berat jenis dari ventrikel kiri lebih besar
dari ventrikel kanan).
Kesimpulan :
 Tenggelam adalah kematian akibat mati lemas atau asfiksia yang
disebabkan cairan masuk dalam saluran pernafasan, dapat terjadi di
laut, sungai, bisa juga terjadi dalam wastafel atau ember berisi air.
 Sebagai seorang dokter sebaiknya kita harus dapat menilai korban
tenggelam berdasarkan :
 Klasifikasi tenggelam.
 Tempat/ lokasi tenggelam (air tawar/ air asin).
 Tanda patognomi (antemortem membedakan dari post
mortem).
 Dugaan peristiwa (aspek medikolegal) : bunuh diri,
pembunuhan atau kecelakaan.
 Memperkirakan penyebab dan mekanisme kematian.
 Menentukan faktor-faktor penyerta/ mempercepat
kematian (penyakit atau obat-obatan).
 Perlunya mengetahui apa saja yang dibutuhkan dalam pemeriksaan
penunjang :
 Test asal air.
 Pemeriksaan diatome (test destruksi paru).
 Pemeriksaan lainnya :
 Test getah paru.
 Test kimia darah (berat jenis dan elektrolit).
 Pemeriksaan histologi (PA).
Sindrom Croup (Laringotracheitis)
 Berat
Overview :
1. Sering -
 Sindrom klinis, ditandai:
2. Terdengar jelas dan stridor ekspirasi +/-
 Suara serak.
3. +
 Batuk menggonggong.
-
4. -
 Stridor inspirasi.
 Gagal Nafas Mengancam
 Stres pernapasan +/-
1. Kadang tidak jelas
 Istilah lain :
2. Terdengar (kadang sangat jelas saat istirahat)
5. Gangguan Kesadaran dan Letargi
Epidemiologi
 Sering Usia 6 Bln−6 thn (Puncak:1−2 Thn).
 Usia 3 Bln & > 15 Thn dapat terjadi
 ♂>♀ (rasio 3:2)
 Musim dingin & musim gugur >> (dpt tjd sepanjang tahun)
 15% dari seluruh pasien infeksi respiratori
 Kekambuhan : sering usia 3−6 thn → berkurang
 Croup Secara Umum →
 15% punya keluarga dengan riwayat penyakit yang sama
 Viral Croup
Etiologi
 Spasmodic Croup/Spasmodic Cough
 Sering (60%):
 Tanda :
 Human Parainfluenza virus type 1,2,3 & 4 (HPIV-1,2,3,4).
1. Batuk keras menggonggong. -

 Virus Influenza A dan B.


2. Stridor saat istirahat.
 Adenovirus.
3. Retraksi dinding dada.
 Respiratory Syncytial virus (RSV).
4. Gawat nafas.
 Virus campak.
5. Ggn kesadaran & Letargi.
 Jarang: Mycoplasma pneumonia
 Derajat Kegawatan :
Patogenesis
 Ringan
1. Kadang muncul -

2. – stridor
3. Ringan retaken
 Sedang

☐①
1. Sering -
=
2. Mudah terdengar stridor
-

- -
-

3. Sedikit terlihat renata


-

= .

4. –
Manifestasi Klinis & Perjalanan Penyakit  Pada croup yang lebih parah pemberian nebulisasi epinefrin
 Didahului demam tidak begitu tinggi 12−72 jam, hidung berair, nyeri mungkin perlu diulang dengan dosis yang sama.
menelan, dan batuk ringan→batuk nyaring, suara parau & kasar.  Kortikosteroid
Gejala sistemik yang menyertai seperti demam, malaise.  Kortikosteroid mengurangi edema pada mukosa laring
 Bila berat dapat terjadi sesak napas, stridor inspiratorik yang berat, melalui mekanisme antiradang.
retraksi, dan anak tampak gelisah, dan akan bertambah berat pada  Uji klinik menunjukkan adanya perbaikan pada pasien
malam hari. laringotrakeitis ringan–sedang yang diobati dengan steroid
 Gejala puncak pada 24 jam pertama - 48 jam. Biasanya perbaikan oral atau parenteral dibandingkan dengan plasebo
akan tampak dalam waktu satu minggu. Anak akan sering menangis,  Intubasi endotrakeal
rewel, dan akan merasa nyaman jika duduk di tempat tidur atau  Intubasi endotrakeal dilakukan pada pasien sindrom croup
digendong yang berat, yang tidak responsif terhadap terapi lain.
Dx & Pemeriksaan Penunjang  Antibiotik
 Diagnosis → gejala klinis.  Tidak diberikan, kecuali pada laringotrakeobronkitis atau
 Pemeriksaan fisik: suara serak, hidung berair, peradangan faring, laringotrakeopneumonitis yang disertai infeksi bakteri.
dan FP sedikit meningkat.  Diberi terapi empiris sambil menunggu hasil kultur. Terapi
 Kondisi pasien bervariasi (sesuai derajat stres pernapasan). awal dapat menggunakan sefalosporin generasi ke-2 atau
 Pemeriksaan langsung area laring tidak terlalu diperlukan, bila ke-3.
diduga tjd epiglotitis (serangan akut, gawat napas/respiratory  Sedatif dan dekongestan oral tidak dianjurkan.
distress, disfagia, drooling) →sangat diperlukan. Komplikasi & Prognosis
 Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium &  Komplikasi
radiologis (steeple sign) → tidak perlu dilakukan (dapat ditegakkan  15% kasus terjadi komplikasi : otitis media, dehidrasi, dan
dgn anamnesis, gejala klinis, & pemeriksaan fisis. pneumonia (jarang terjadi).
 Leukosit >20.000/mm3 yang didominasi oleh PMN → superinfeksi,  Sebagian kecil memerlukan intubasi.
misalnya epiglotitis  Gagal jantung & gagal napas terjadi pada pasien dgn
Tx : perawatan dan pengobatan tidak adekuat.
 Tatalaksana utama : atasi obstruksi jalan napas.  Prognosis → Self-limited, kadang-kadang cenderung menjadi berat
 Sebagian besar tidak perlu dirawat di RS, cukup dirawat di rumah. bahkan fatal
 Dirawat di RS bila dijumpai salah satu dari gejala berikut:
 anak berusia di bawah 6 bulan, terdengar stridor progresif, stridor
terdengar ketika sedang beristirahat, terdapat gejala gawat napas,
hipoksemia, gelisah, sianosis, gangguan kesadaran, demam tinggi,
anak tampak toksik, dan tidak ada respons terhadap terapi.
 Epinefrin
 Nebulisasi epinefrin (1:1000) 0.5ml/Kg (maks 5ml)
 Kontraindikasi pada penderita kelainan ventrikel seperti TOF

Anda mungkin juga menyukai