Pneumonia
Disusun Oleh :
Haris Petriano
190070300011035
B. Klasifikasi
Pneumonia yang didapat dari komunitas (community acquired
pneumonia, CAP): pneumonia yang didapatkan di masyarakat yaitu
terjadinya infeksi di luar lingkungan rumah sakit. Infeksi LRT yang
terjadi dalam 48 jam setelah dirawat di rumah sakit pada pasien yang
belum pernah dirawat di rumah sakit selama > 14 hari. (Buke, 2010)
Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (nosokomial): pneumonia
yang terjadi selama atau lebih dari 48 jam setelah masuk rumah
sakit. jenis ini didapat selama penderita dirawat di rumah sakit
(Farmacia, 2016). Hampir 1% dari penderita yang dirawat di rumah
sakit mendapatkan pneumonia selama dalam perawatannya.
Demikian pula halnya dengan penderita yang dirawat di ICU, lebih
dari 60% akan menderita pneumonia (Supandi, 2010)
Pneumonia aspirasi/anaerob: infeksi oleh bakteroid dan organisme
anaerob lain setelah aspirasi orofaringeal dan cairan lambung.
Pneumonia jenis ini biasa didapat pada pasien dengan status mental
terdepresi, maupun pasien dengan gangguan refleks menelan (Buke,
2011)
Pneumonia oportunistik: pasien dengan penekanan sistem
imun (misalnya steroid, kemoterapi, HIV) mudah mengalami
infeksi oleh virus, jamur, dan mikobakteri, selain organisme
bakteria lain (Buke, 2010)
Pneumonia rekuren: disebabkan organisme aerob dan aneorob
yang terjadi pada fibrosis kistik dan bronkietaksis (Buke, 2009)
C. Etiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2009), etiologi pneumonia adalah
Bakteri
Bakteri adalah penyebab paling sering pneumonia di masyarakat dan
nosokomial. Berikut ini adalah bakteri-bakteri yang menjadi etiologi
pneumonia di masyarakat dan nosokomial:
Lokasi sumber masyarakat
Bakterinya adalah Streptococcus pneumoniae, Mycoplasma
pneumoniae, Legionella pneumoniae, Chlamydida pneumoniae,
Anaerob oral (aspirasi), dan Influenza tipe A dan B.
Lokasi sumber nosokomial
Bakterinya adalah Basil usus gram negatif (Escherichia coli,
Klebsiella pneumoniae), Pseudomonas aeroginosa,
Staphylococcus aureus, dan Anaerob oral (aspirasi).
Virus
Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh
virus. Virus yang tersering menyebabkan pneumonia adalah
Respiratory Syncial Virus (RSV). Meskipun virus-virus ini kebanyakan
menyerang saluran pernapasan bagian atas, pada balita gangguan
ini bisa memicu pneumonia.
Berikut ini adalah virus yang dapat menyebakan terjadinya
pneumonia:
Influenza virus
Adenovirus
Virus respiratory
Syncytial repiratory virus
Pneumonia virus
Mikoplasma
Mikoplasma adalah penyebab pneumonia atipikal primer yang paling
umum. Mikoplasma merupakan organisme kecil yang dikelilingi oleh
membran berlapis tiga tanpa diding sel. Organisme ini tumbuh pada
media kultur khusus tetapi berbeda dengan virus. Pneumonia
mikoplasma sering terjadi pada anak-anak yang sudah besar dan
dewas muda.
Protozoa
Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut
pneumonia pneumosistis. Termasuk golongan ini adalah
Pneumocystitis Carinii Pneumonia (PCP). Berikut ini adalah protozoa
yang dapat menyebabkan pnuemonia:
Pneumositis karini
Pneumonia pneumosistis
Pneumonia plasma sel
Penyebab Lain
Penyebab lain yang dapat menyebabkan pnuemonia adalah terapi
radiasi, bahan kimia, dan aspirasi. Pneumonia radiasi dapt menyertai
terapi radiasi untuk kanker payudara atau paru, biasanya 6 minbbu
atau lebih setelah pengobatan selesai. Pneumonia kimiawi terjadi
setelah mencerna kerosin atau inhalasi gas yang mengiritasi.
D. Faktor Resiko
Berikut ini adalah faktor resiko pneumonia menurut Price dan Wilson,
2009:
Usia di atas 65 tahun
Aspirasi sekret orofaringeal
Infeksi pernapasan oleh virus
Sakit yang parah dan akan menyebabkan kelemahan, misalnya
diabetes militus dan uremia
Penyakit pernapasan kronik, misalnya COPD, asma, kistik fibrosis
Kanker, terutama kanker paru
Tirah baring yang lama
Trasektomi atau pemakaian selang endotrakeal
Bedah abdominial dan toraks
Fraktur tulang iga
Pengobatan dengan imunosupresif
AIDS
Riwayat merokok
Alkoholisme
Malnutrisi
Adapun faktor yang umumnya menjadi predisposisi individu terhadap
pneumonia, yaitu sebagai berikut:
Setiap kondisi yang menghasilkan lendir atau obstruksi bronkial dan
menganggu drainage normal paru. Meninngkatnya resiko pneumonia
dapat terjadi pada penyakit kanker dan penyakit obstruksi paru
menahun (PPOM).
Pasien imunosupresif dan mereka dengan jumlah neutrofil rendah
(neutropeni) akan beresiko pnuemonia.
Individu yang merokok akan beresiko peumonia karena asap rokok
menganggu aktivitas mukosiliaris dan makrofag.
Setiap pasien yang diperbolehkan berbaring secara pasif dalam waktu
yang lama, relatif imobil, dan bernapas dangkal maka akan beresiko
terhadap bronkopneumonia.
Setiap individu yang mengalami depresi refleks batuk (karena
medikasi, keadaan yang melemahkan, atau otot-otot pernapasan
melemah), telah mengaspirasi benda asing masuk ke dalam paru
selama periode tidak sadar (cedera kepala, anastesia), atau
mekanisme menelan yang abnormal dapat dikatakan hampir pasti
beresiko bronkopenumonia.
Setiap pasien yang dirawat dengan NPO (dipuasakan) atau mereka
yang mendapat antibiotik mengalami peningkatan kolonisasi
organisme (bakteri gram negatif) faring dan beresiko pneumonia.
Individu yang sering mengalami intoksinasi terutama rentan terhadap
pneumonia, karena alkohol menekan refleks-refleks tubuh, mobilisasi
sel darah putih, dan gerakan siliaris trakeobronkial.
Setiap individu yang menerima sedatif atau opioid dapat mengalami
depresi pernapasan, yang kemudian akan terjadi pengumpulan sekresi
bronkial dan selanjutnya mengalami penumonia.
Pasien tidak sadar atau mempunyai refleks batuk yang buruk adalah
mereka yang beresiko terkena pnuemonia akibat penumpukan sekresi
atau aspirasi.
Setiap orang yang menerima pengobatan dengan peralatan terapi
pernapasan dapat mengalami penumonia jika peralatan tersebut tidak
dibersihkan dengan tepat.
E. Patofisiologi
F. Manifestasi Klinis
Demam dan batuk (awalnya nonproduktif) merupakan gejala umum.
Bisa juga terjadi nyeri dada dan sesak napas. Gambaran sistemik
(lebih sering terjadi) di antaranya adalah nyeri kepala, confusion,
myalgia, dan malaise. Pada pemeriksaan fisik bisa ditemukan tanda-
tanda konsolidasi lokal dan ronki kasar (crackles) pada lobus yang
terkena. (Patrick Davey, 2006)
Pada anak-anak, infeksi virus (RSV) dan virus parainfluenzae akan
disertai rhinore, suara serak, dan otitis media. Terdengar ronki kering
di seluruh lapangan paru dan disertai dengan mengi inspirasi dan
ekspirasi. Jika disebabkan oleh mycobacterium pneumonia, maka
akan menimbulkan ronki terbatas, dan gejala proses konsolidasi,
tetapi pada foto paru, gambaran prosesnya menyebar. Terkadang
juga terdengar bising gesek pelura. (Darmanto Djojodibroto, 2008)
G. Pemeriksaan Diagnostik
Sinar X dada : mengidentifikyanasi distribusi struktural; dapat juga
menyatakan abses luas/infiltrasi baik menyebar ataupun terlokalisasi,
atau penyebaran/perluasan infiltrate nodul. Selain itu juga dapat
menunjukkan efusi pleura, kista udara-cairan, sampai konsolidasi.
Analisis gas darah : untuk mendiagnosis gagal napas,serta
menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat
terjadi asidosis respiratorik.
LED meningkat
Hitung jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/µl kadang-kadang
mencapai 30.000/µl
Pemeriksaan fungsi paru : volume turun, tekanan jalan napas
meningkat, dan komplain menurun.
Pemeriksaan elektrolit : Na dan Cl meningkat.
Pemeriksaan bilirubin : terjadi peningkatan bilirubin.
Aspirasi/biopsi jaringan paru
Kultur sputum : penting untuk koreksi terapi antibiotik. (Misnadiarly,
2008)
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk pneumonia bergantung pada penyebab, sesuai
yang ditentukan oleh pemeriksaan sputum mencakup :
Oksigen 1-2 L/menit
IVFD dekstrose 10%: NaCl 0,9% = 3:1, +KCl 10 mEq/500 ml
cairan
Jumlah cairan sesuai berat badan,kenaikan suhu, status hidrasi
Jika sesak tidak selalu berat dapat dimulai makanan enteral
bertahap melalui selang nasogastrik dengan feeding drip
Jika sekresi lender berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan
salin normal dan beta agonis untuk memperbaiki transport
mukosilier
Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit
Antibiotik sesuai hasil biakan atau diberikan untuk kasus pneumonia
community base:
Ampisilin 100 mg/kg BB/hari dalam 41 kali pemberian
Kloramfenikol 75 mg/kg BB/hari dalam 4 kali pemberian
Untuk kasus pneumonia hospital base:
Sefatoksim 100 mg/kg BB/ hari dalam 2 kali pemberian
Amikasin 10-15 mg/kg BB/hari dalam 2 kali pemberian
I. Komplikasi
Shock dan gagal napas
Komplikasi parah pneumonia meliputi hipotensi dan syok dan
kegagalan pernafasan (terutama dengan penyakit bakteri gram
negatif pada pasien usia lanjut). Komplikasi ini ditemui terutama pada
pasien yang tidak menerima pengobatan khusus atau pengobatan
yang tidak memadai atau tertunda. Komplikasi ini juga ditemui ketika
organisme penyebab infeksi yang resisten terhadap terapi dan ketika
penyakit penyerta mempersulit pneumonia.
Jika pasien sakit parah, terapi agresif termasuk dukungan
hemodinamik dan ventilasi untuk mencegah pecahnya kapiler perifer,
menjaga tekanan darah arteri, dan memberikan oksigenasi yang
memadai. Agen vasopressor dapat diberikan secara intravena
dengan infus dan pada tingkat disesuaikan sesuai dengan respon
tekanan. Kortikosteroid dapat diberikan parenteral untuk memerangi
shock dan toksisitas pada pasien yang sangat sakit dengan
pneumonia dan bahaya nyata kematian dari infeksi. Pasien mungkin
memerlukan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik. Gagal
jantung kongestif, disritmia jantung, perikarditis, miokarditis dan juga
komplikasi dari pneumonia yang dapat menyebabkan shock.
Atelektasis dan Efusi pleura
Atelektasis (dari obstruksi bronkus oleh akumulasi sekresi) dapat
terjadi pada setiap tahap pneumonia akut. Efusi pleura
parapneumonik terjadi pada setidaknya 40% dari pneumonia bakteri.
Sebuah efusi parapneumonik adalah setiap efusi pleura yang
berhubungan dengan pneumonia bakteri, abses paru, bronkiektasis
atau. Setelah efusi pleura terdeteksi pada dada x-ray, thoracentesis
yang dapat dilakukan untuk mengeluarkan cairan tersebut. Cairan ini
dikirim ke laboratorium untuk analisis. Ada tiga tahap efusi pleura
parapneumonik berdasarkan patogenesis: tidak rumit, rumit, dan
empiema toraks. Sebuah empiema terjadi ketika tebal, cairan purulen
terakumulasi dalam ruang pleura, sering dengan perkembangan fibrin
dan loculated (berdinding-off) daerah di mana infeksi berada. Sebuah
tabung dada dapat dimasukkan untuk mengobati infeksi pleura
dengan mendirikan drainase yang tepat dari empiema tersebut.
Sterilisasi rongga empiema membutuhkan 4 sampai 6 minggu
antibiotik. Kadang-kadang manajemen bedah diperlukan.
Superinfeksi
Superinfeksi dapat terjadi dengan pemberian dosis yang sangat
besar antibiotik, seperti penisilin, atau dengan kombinasi antibiotik.
Superinfeksi juga dapat terjadi pada pasien yang telah menerima
berbagai kursus dan jenis antibiotik. Dalam kasus tersebut, bakteri
dapat menjadi resisten terhadap terapi antibiotik. Jika pasien
membaik dan demam berkurang setelah terapi antibiotik awal, tetapi
kemudian ada kenaikan suhu dengan meningkatnya batuk dan bukti
bahwa pneumonia telah menyebar, superinfeksi mungkin terjadi.
Antibiotik dapat diubah atau dihentikan sama sekali dalam beberapa
kasus.
J. Pencegahan
Berikut adalah upaya untuk mencegah terjadinya penyakit
pneumonia:
- Perawatan selama masa kehamilan
Untuk mencegah risiko bayi dengan berat badan lahir rendah,
perlu gizi ibu selama kehamilan dengan mengkonsumsi zat-zat
bergizi yang cukup bagi kesehatan ibu dan pertumbuhan janin
dalam kandungan serta pencegahan terhadap hal-hal yang
memungkinkan terkenanya infeksi selama kehamilan.
- Perbaikan gizi balita
Untuk mencegah risiko pneumonia pada balita yang disebabkan
karena malnutrisi, sebaiknya dilakukan dengan pemberian ASI
pada bayi neonatal sampai umur 2 tahun. Karena ASI terjamin
kebersihannya, tidak terkontaminasi serta mengandung faktor-
faktor antibodi sehingga dapat memberikan perlindungan dan
ketahanan terhadap infeksi virus dan bakteri. Oleh karena itu,
balita yang mendapat ASI secara ekslusif lebih tahan infeksi
dibanding balita yang tidak mendapatkannya.
- Memberikan imunisasi lengkap pada anak
Untuk mencegah pneumonia dapat dilakukan dengan pemberian
imunisasi yang memadai, yaitu imunisasi anak campak pada
anak umur 9 bulan, imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus)
sebanyak 3 kali yaitu pada umur 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan.
- Memeriksakan anak sedini mungkin apabila terserang batuk
Balita yang menderita batuk harus segera diberi pengobatan yang
sesuai untuk mencegah terjadinya penyakit batuk pilek biasa
menjadi batuk yang disertai dengan napas cepat/sesak napas.5.
Mengurangi polusi di dalam dan di luar rumah. Untuk mencegah
pneumonia disarankan agar kadar debu dan asap diturunkan
dengan cara mengganti bahan bakar kayu dan tidak membawa
balita ke dapur serta membuat lubang ventilasi yang cukup.
Selain itu asap rokok, lingkungan tidak bersih, cuaca panas,
cuaca dingin, perubahan cuaca dan dan masuk angin sebagai
faktor yang memberi kecenderungan untuk terkena penyakit
pneumonia.
- Menjauhkan balita dari penderita batuk
Balita sangat rentan terserang penyakit terutama penyakit pada
saluran pernapasan, karena itu jauhkanlah balita dari orang yang
terserang penyakit batuk. Udara napas seperti batuk dan bersin-
bersin dapat menularkan pneumonia pada orang lain. Karena
bentuk penyakit ini menyebar dengan droplet, infeksi akan
menyebar dengan mudah. Perbaikan rumah akan menyebabkan
berkurangnya penyakit saluran napas yang berat. Semua anak
yang sehat sesekali akan menderita salesma (radang selaput
lendir pada hidung), tetapi sebagian besar mereka menjadi
pneumonia karena malnutrisi.
- Mengurangi minum alkohol
Mengurangi minum alkohol dapat membantu dalam mengatasi
hidrasi. Hal ini juga membantu melawan pneumonia. Obat
penurun demam, contohnya acetaminophen (Tylenol) atau
ibuprofen (Advil) mungkin juga dapat membantu agar lebih baik.
- Latihan Nafas
Untuk orang-orang yang rentan terhadap pneumonia, latihan
bernafas dalam dan terapi untuk membuang dahak, bisa
membantu mencegah terjadinya pneumonia. (Jeremy, 2005)
K. Diagnosa Keperawatan
3. Nyeri akut
Intervensi Utama Intervensi Pendukung
Manajemen Nyeri (I.08238) Edukasi Efek Samping Obat
Observasi: (1.12371)
- Identifikasi lokasi, karakteristik, Observasi:
durasi, frekuensi, kualitas, - Identifikasi Kemampuan
intensitas nyeri pasien dan keluarga
menerima informasi
- Identifikasi skala nyeri
Terapeutik:
- Identifikasi respons nyeri non - Persiapkan materi dan media
verbal edukasi
- Identifikasi faktor yang - Jadwalkan waktu yang tepat
memperberat dan memperingan untuk memberikan
nyeri pendidikan kesehatan sesuai
- Identifikasi pengetahuan dan kesepakatan dengan pasien
keyakinan tentang nyeri dan keluarga
- Identifikasi pengaruh budaya - Berikan kesempatan pasien
terhadap respon nyeri dan keluatga bertanya
- Identifikasi pengaruh nyeri pada Edukasi:
kualitas hidup - Jelaskan tujuan obat yang
- Monitor keberhasilan terapi diberikan
komplemter yang sudah - Jelaskan indikasi dan
diberikan kontraindikasi obat yang
- Monitor efek samping akan dikonsumsi
penggunaan analgetik - Jelaskan cara kerja obat
Terapeutik: secara umum
- Berikan teknik non fakmakologis - Jelaskan dosis, cara
untuk mengurangi rasa nyeri pemakaian, waktu dan
(mis: TENS, hypnosis, lamanya pemberian obat
akupressur, terapi music, - Jelaskan tanda dan gejala
biofeedback, terapi pijat,
bila obat yang dikonsumsi
aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat/ tidak cocok untuk pasien
dingin, terapi bermain) - Jelaskan reaksi alergi yang
- Kontrol lingkungan yang mungkin timbul saat atau
memperberat rasa nyeri (mis: setelah obat dikonsumsi
suhu ruangan, pencahayaan, - Anjurkan melihat tanggal
kebisingan)
kadaluarsa obat yang akan
- Fasilitasi istrahat dan tidur
dikonsumsi
- Pertimbangkan jenis dan - Anjurkan untuk segera ke
sumber nyeri dalam pemilihan fasilitas kesehatan terdekat
strategi meredakan nyeri jika reaksi obat yang
Edukasi:
dikonsumsi membahayakan
- Jelaskan penyebab, periode,
dan pemicu nyeri hidup pasien
- Jelaskan strategi meredakan - Ajarkan cara mengatasi
nyeri reaksi obat yang tidak
- Anjurkan memonitor nyeri diinginkan
secara mandiri
- Anjurkan menggunakan Terapi Relaksasi (1. 09326)
analgetik secara tepat Observasi:
- Ajarkan teknik non farmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri - Identifikasi penurunan tingkat
Kolaborasi: energi, ketidakmampuan
- Kolaborasi pemberian analgetik berkonsentrasi atau gejala
lain yang mengganggu
- Identifikasi teknik relaksasi
Pemberian Analgesik (I.08243):
Observasi: yang pernah efektif digunakan
- Identifikasi karakteristik nyeri - Identifikasi kesediaan,
(mis: pencetus, pereda, kualitas, kemampuan dan penggunaan
lokasi, intensitas, frekuensi, teknik sebelumnya
durasi) - Periksa ketegangan otot,
- Identifikasi riwayat alergi obat frekuensi nadi, tekanan darah
- Identifikasi kesesuaian jenis
dan suhu sebelum dan
analgesic (mis: narkotika, non
narkotik, atau NSAID) dengan sesudah latihan
tingkat keparahan nyeri - Monitor respon terhadap
- Monitor tanda-tanda vital terapi relaksasi
sebelum dan sesudah Terapeutik:
pemberian analgesic - Ciptakan lingkungan yang
- Monitor efektifitas pemberian tenang dan tanpa gangguan
analgesik
dengan pencahayaan dan
Terapeutik:
- Diskusikan jenis analgesic yang suhu ruang nyaman, jika
disukai untuk mencapai memungkinkan
analgesia optimal, jika perlu - Berikan informasi tertulis
- Pertimbangkan penggunaan tentang persiapan dan
infuse kontinu, atau bolus oploid prosedur teknik relaksasi
untuk mempertahankan kadar - Gunakan pakaian longgar
dalam serum
- Gunakan nada suara lembut
- Tetapkan target efektifitas
analgesic untuk dengan irama lambat dan
mengoptimalkan respons pasien berirama
- Dokumentasikan respons - Gunakan relaksasi sebagai
terhadap efek anlgesik dan efek stratefi penunjang dengan
yang tidak diinginkan analgetik atau tindakan medis
Edukasi: lain, jika sesuai
- Jelaskan efek terapi dan efek Edukasi
samping obat - Jelaskan tujuan, manfaat,
Kolaborasi: batasan dan jenis relaksasi
- Kolaborasi pemberian dosis dan
yang telah tersedia (imajinasi
jenis analgesic, sesuai indikasi
terbimbing)
- Jelaskan secara rinci
intervensi relaksasi yang
dipilih
- Anjurkan mengambil posisi
nyaman
- Anjurkan rileks dan
merasakan sensasi relaksasi
- Anjurkan sering mengulangi
atau melatih teknik yang
dipilih
- Demonstrasikan dan latih
teknik relaksasi (imajinasi
terbimbing)
2. Intoleransi aktifitas
Intervensi Utama Intervensi Pendukung
Dukungan Mobilisasi (1.05178): Terapi Aktivitas (1. 05186)
Observasi: Observasi:
- idetifikasi adanya nyeri atau
keluhan fisik lainnya - identifikasi defisit tingkat
- identifikasi toleransi fisik
aktivitas
- identifikasi kemampuan
melakukan pergerakan
- monitor frekuensi jantung dan
berpartisipasi dalam aktivitas
tekanan darah sebelum memulai tertentu
- identifikasi sumberdaya
mobilisasi
- monitor kondisi umum selama
untuk aktivitas yang
melakukan mobilisasi diinginkan
- identifikasi strategi
Terapeutik:
- fasilitasi aktivitas mobilisasi meningkatkan partisipasi
dengan alat bantu (mis. Pagar dalam aktivitas
tempat tidur) - monitor respon emosional,
- fasilitasi melakukan pergerakan fisik, sosial dan spiritual
jika perlu terhadap aktivitas
- libatkan keluarga untuk Terapeutik:
- fasilitasi fokus pada
membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan kemampuan bukan defisit
yang dialami
Edukasi: - sepakati komitmen untuk
- jelaskan tujuan dan prosedur meningkatkan frekuensi dan
mobilisasi rentang aktivitas
- anjurkan untuk melakukan - fasilitasi memilih aktivitas
mobilisasi diniajarkan mobilisasi dan tetapkan tujuan aktivitas
sederhana yang harus dilakukan yang konsisten sesuao
(mis.duduk, berpindah posisi) kemampuan fisik, psikologis
dan sosial
- kondisikan pemilihan
aktivitas sesuai usia
- fasilitasi pasien dan keluarga
dalam menyesuaikan
lingkungan untuk
mengakomodasi aktivitas
yang dipilih
- fasilitasi aktivitas fisik rutin
(ambulansi, mobilisasi dan
perawatan diri) sesuai
kebutuhan
- fasilitasi aktivitas motorik
untuk merelaksasi otot
- libatkan keluarga dalam
aktivitas
- fasilitasi mengembangkan
motivasi dan penguatan diri
- fasilitasi pasien dan keluarga
memantau kemajuan sendiri
untuk mencapai tujuan
Edukasi
- Jelaskan metode aktivitas
fisik sehari-hari, jika perlu
- Ajarkan cara melakukan
aktivitas yang dipilih
- Anjurkan melakukan aktivitas
fisik, sosial, spiritual dan
kognitif dalam menjaga ungsi
dan kesehatan
- Anjurkan keterlibatan dalam
aktivitas kelompok atau
terapi jika perlu
3. Risiko Infeksi
INTERVENSI KEPERAWATAN
Intervensi Utama Intervensi Pendukung
Pencegahan Infeksi (1.14539): Perawatan Luka (1.14564)
Observasi: Observasi:
- Monitor tanda dan gejala infeksi
lokal dan sistemil - Monitor karakteristik luka
Terapeutik: (mis.drainase, warna, ukuran,
- Batasi jumlah pengunjung bau)
- Berikan perawatan kulit pada area - Monitor tanda-tanda infeksi
edema Terapeutik:
- Cuci tangan sebelum dan sesudah - Lepaskan balutan dan plester
kontak dengan pasien dan secara perlahan
lingkungan pasien - Cukur rambut di sekitar daerah
- Pertahankan teknik aseptik pada luka, jika perlu
pasien berisiko tinggi - Bersihkan dengan cairan NaCl
Edukasi: atau pembersihan nontoksik,
- Jelaskan tanda dan gejala infeksi sesuai kebutuhan
- Ajarkan cara mencuci tangan - Bersihkan jaringan nekrotik
dengan benar - Berikan salep yang sesuai ke
- Ajarkan etika batuk kulit/lesi, jika perlu
- Ajarkan cara memeriksa kondisi - Pasang balutan sesuai jenis
luka atau luka operasi luka
- Anjurkan meningkatkan asupan - Pertahankan teknik steril saat
nutrisi melakukan perawatan luka
- Anjurkan meningkatkan asupan - Ganti balutan sesuai jumlah
cairan eksudat dan drainase
Kolaborasi: - Jadwalkan perubahan posisi
- Kolaborasi pemberian imunisasi, setiap 2 jam atau sesuai kondisi
jika perlu pasien
- Berikan diet dengan kalori 30-
35 kkal/kgBB/hari dan protein
1,25-1,5 g/kgBB/hari berikan
suplemen vitamin dan mineral
(mis. Vitamin A, C, Zinc, asam
amino), sesuai indikasi
- Berikan terapi TENS (stimulasi
saraf transkutaneous) jika perlu
Edukasi:
- Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
- Anjurkan mengkonsumsi
makanan tinggi kalori dan
protein
- Ajarkan prosedur perawatan
luka secara mandiri
Kolaborasi:
- Kolaborasi prosedur
debridement (mis. Enzimatik,
biologis, mekanik, autolitik),
jika perlu
- Kolaborasi pemberian
antibiotik, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
MIsnadiarly. 2011. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak Balita,
Orang Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta: Pustaka Obor PopulerBare Brenda
G, Smeltzer Suzan C. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol. 1, EGC,
Jakarta.
Smeltzer, Suzane dan Bare, Brenda G. 2009. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah ; Brunner and Suddarth. Cetakan I. Volume 1. Edisi 8. Jakarta :
EGC.
Suriadi, Rita Yuliana. 2016. Asuhan Keperawtan pada Anak. Jakarta : Penebar
Swadaya.