Anda di halaman 1dari 28

RESUME SEMINAR REGULASI DAN PERATURAN

DALAM PELAYANAN KEBIDANAN

KELOMPOK 3

Disusun Oleh:

Bella Dwi Erikasari : 222207086


Nadia Fara Rifanti : 222207087
Dyah Fatmawati : 222207088
Ria Rukmana : 222207089
Diyah Ayu Lutfiyati : 222207090
Lini Parmita : 222207091
Mulia Monica : 222207092
Yohana Fenli L aratmase : 222207093

PROGRAM STUDI KEBIDANAN (S-1)


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI YOGYAKARTA
2023
I. Kelompok 1
UNDANG-UNDANG NO 4 TAHUN 2019 TENTANG KEBIDANAN
A. Latar Belakang
Keberhasilan dalam pelaksanaan upaya kesehatan tidak terlepas dari peran
tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan dikelompokkan sesuai dengan kualifikasi dan
keahlian yang dimiliki, salah satunya adalah tenaga kebidanan, sebagaimana yang
diatur pada UndangUndang no 36 tahun 2014 Tentang Kesehatan (selanjutnya
disebut UU Tenaga Kesehatan) yang kemudian diatur secara khusus dengan
Undang-Undang nomor 4 tahun 2019 tentang Kebidanan (selanjutnya disebut uu
kebidanan). Pasal 1 butir 3 UU kebidanan bahwa: "Bidan adalah seorang
perempuan yang telah menyelesaikan program pendidikan kebidanan baik didalam
negeri maupun diluar negeri yang diakui secara sah oleh pemerintah pusat dan telah
memenuhi persyaratan untuk melakuakan praktik kebidanan".
Bidan dalam menyelenggarakan praktik kebidanan memiliki tugas meliputi
pelayanan kesehatan ibu, kesehatan anak, kesehatan reproduksi perempuan dan
keluarga berencana. Tenaga kebidanan yang diberikan kepercayaan oleh pasien
ketika datang berobat haruslah memperhatikan baik buruknya pelayanan yang
diberikan serta mengutamakan prinsip kehati-hatian dalam memberikan tindakan
pertolongan. Sebab tidak menutup kemungkinan suatu kesalahan atau kelalaian bisa
terjadi.
Oleh karena itu untuk mencegah agar tidak terjadi pelanggaran tersebut maka
bidan praktik mandiri harus mempunyai izin praktik dan senantiasa meningkatka
pengetahuan dan kemampuannya dapat memberikan pelayanan kesehatan yang
bermutu.
Hak pasien menjadi kewajiban diri pada bidan, sehingga dalam rangka
memberikan perlindungan hukum terdapat pasien dalam mendapatkan pelayanan
kesehatan, bidan harus melakuakn pelayanan kebidanan sesuai dengan kompetensi,
kewenangan, dan memenuhi kode etik, standar profesi, standar pelayanan profesi
dan standar prosedur operasional.
B. Tinjauan Pustaka
1. ISI SECARA GARIS BESAR REGULASI DAN PERATURAN
Pemenuhan pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang
dijamin secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Pembangunan kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat sehingga
dapat terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan kesehatan dilakukan
berbagai upaya kesehatan, salah satunya dalam bentuk pelayanan kesehatan.
Pelayanan Kebidanan, yang merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan
ditujukan khusus kepada perempuan, bayi baru lahir, bayi, balita, dan anak
prasekolah termasuk kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana.
Bidan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan berperan sebagai
pemberi Pelayanan Kebidanan, pengelola Pelayanan Kebidanan, penyuluh dan
konselor bagi K1ien, pendidik, pembimbing, dan fasilitator klinik, penggerak
peran serta masyarakat dan pemberdayaan perempuan, serta peneliti. Pelayanan
Kebidanan yang diberikan oleh Bidan didasarkan pada pengetahuan dan
kompetensi di bidang ilmu Kebidanan yang dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan Klien.Ketentuan mengenai profesi Bidan masih tersebar dalam
berbagai peraturan perundang-undangan dan belum menampung kebutuhan
hukum dari profesi Bidan maupun masyarakat. Hal ini mengakibatkan belum
adanya kepastian hukum bagi Bidan dalam menjalankan praktik profesinya,
sehingga belum memberikan pemerataan pelayanan, pelindungan, dan
kepastian hukum bagi Bidan sebagai pemberi Pelayanan Kebidanan dan
masyarakat sebagai penerima Pelayanan Kebidanan.
Profesi Bidan di Indonesia masih dihadapkan oleh berbagai macam
kendala seperti persebaran Bidan yang belum merata dan menjangkau seluruh
wilayah terpencil di Indonesia, serta pendidikan Kebidanan yang sampai saat
ini sebagian besar masih pada jenis pendidikan vokasi yang menyebabkan
pengembangan profesi Bidan berjalan sangat lambat. Dalam hal praktik
Kebidanan, masih terdapat ketidaksesuaian antara kewenangan dan kompetensi
yang dimiliki oleh Bidan. Pengaturan Kebidanan bertujuan untuk meningkatkan
mutu Bidan, mutu pendidikan dan Pelayanan Kebidanan, memberikan
pelindungan dan kepastian hukum kepada Bidan dan Klien, serta meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat.
Undang - Undang ini mengatur mengenai pendidikan Kebidanan,
Registrasi dan izin praktik, Bidan warga negara Indonesia lulusan luar negeri,
Bidan Warga Negara Asing, Praktik Kebidanan, hak dan kewajiban, Organisasi
Profesi Bidan, pendayagunaan Bidan, serta pembinaan dan pengawasan.
2. TANGGUNG JAWAB BIDAN DALAM PERATURAN
a. DEFINISI TANGGUNG JAWAB BIDAN
Tanggung jawab seorang bidan dalam menentukan mutu kinerja bidan.
mengarah pada kinerja tindakan dari tugas, mencakup tindakan para staf
dalam memberikan pelayanan kesehatan untuk kesejahteraan pasen.
Sedangkan akontabilitas mengarah pada hasil dari tindakan yang dilakukan.
Ini berarti menerima hasil kerja atau tindakan serta tanggung jawab terhadap
keputusan yang diambil, serta tindakan, dan catatan yang dilakukan dalam
batas kewenangannya
b. KONSEP TANGGUNG JAWAB BIDAN
1) Menempatkan kebutuhan pasien diatas kepentingan sendiri;
2) Melindungi hak pasien untuk memperoleh keamanan dan pelayanan
yang berkualitas dari bidan;
3) Selalu meningkatkan pengetahuan, keahlian serta menjaga perilaku
dalam melaksanakan tugasnya
3. Tanggung Jawab Bidan
a. Tanggung Jawab Terhadap Peraturan Perundang-Undangan
Tugas dan wewenang bidan di atur oleh Undang-Undang yang berlaku,
maka Bidan harus mempertanggung jawabkan semua pelayanan yang
diberikan kepada setiap pasien.
b. Tanggung Jawab Terhadap Pengembangan Kompetensi
Bidan harus selalu meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dengan
mengikuti pendidikan berkelanjutan, pelatihan, dll.
c. Tanggung Jawab Terhadap Penyimpanan Pendokumentasian
Setiap bidan harus mendokumentasikan kegiatannya dalam bentuk catatan
tertulis. Catatan bidan mengenai pasien yang dilayaninya dapat
dipertanggungjawabkan bila terjadi gugatan.
d. Tanggung Jawab Terhadap Klien dan Keluarganya
Bidan memiliki kewajiban memberikan asuhan kepada ibu dan anak yang
meminta pertolongan kepadanya. Tanggung jawab bidan tidak hanya pada
kesehatan ibu dan anak, tetapi juga menyangkut kesehatan keluarga.
e. Tanggung Jawab Terhadap Profesi
Bidan harus dapat menolak untuk ikut terlibat didalam aktifitas yang
bertentangan dengan moral, namun hal tersebut tidak bole mencegahnya
dalam memberikan pelayanan terhadap pasien.
f. Tanggung Jawab Terhadap Masyarakat
Bidan turut tanggung jawab dalam memecahkan masalah kesehatan
masyarakat. Misalnya penganan lingkungan sehat, penyakit menular,
masalah gizi
4. Wewenang Bidan
Dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019 Tentang
Kebidanan telah diatur tentang tugas dan wewenang bidan dalam pasal tersebut
yaitu dalam pasal 46 – pasal 59.
5. TUGAS DAN WEWENANG BIDAN
a. Pasa1 46
1) Dalam menyelenggarakan Praktik Kebidanan, Bidan bertugas
memberikan pelayanan yang meliputi:
a) pelayanan kesehatan ibu;
b) pelayanan kesehatan anak;
c) pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana;
d) pelaksanaan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang; dan/atau
e) pelaksanaan tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu.
2) Tugas Bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan
secara bersama atau sendiri.
3) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
secara bertanggung jawab dan akuntabel.
b. Pasal 47
1) Dalam menyelenggarakan Praktik Kebidanan, Bidan dapat berperan
sebagai:
a) pemberi Pelayanan Kebidanan;
b) pengelola Pelayanan Kebidanan;
c) penyuluh dan konselor;
d) pendidik,
e) pembimbing,
f) dan fasilitator klinik;
g) penggerak peran serta masyarakat dan pemberdayaan perempuan;
dan/atau
h) peneliti.

Peran Bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai


dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

c. Pasal 48
Bidan dalam penyelenggaraan Praktik Kebidanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 dan Pasal 47, harus sesuai dengan kompetensi dan
kewenangannya.
d. Pasal 49
Pelayanan Kesehatan Ibu
Dalam menjalankan tugas memberikan pelayanan kesehatan ibu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf a, Bidan berwenang:
1) memberikan Asuhan Kebidanan pada masa sebelum hamil;
2) memberikan Asuhan Kebidanan pada masa kehamilan normal;
3) memberikan Asuhan Kebidanan pada masa persalinan dan menolong
persalinan normal;
4) memberikan Asuhan Kebidanan pada masa nifas;
5) melakukan pertolongan pertama kegawatdaruratan ibu hamil, bersalin,
nifas, dan rujukan;
6) dan melakukan deteksi dini kasus risiko dan komplikasi pada masa
kehamilan, masa persalinan, pascapersalinan, masa nifas, serta asuhan
pascakeguguran dan dilanjutkan dengan rujukan.
e. Pasal 50
PELAYANAN KESEHATAN ANAK
Dalam menjalankan tugas memberikan pelayanan kesehatan anak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf b, Bidan berwenang:
1) memberikan Asuhan Kebidanan pada bayi baru lahir, bayi, balita, dan
anak prasekolah;
2) memberikan imunisasi sesuai program Pemerintah Pusat;
3) melakukan pemantauan tumbuh kembang pada bayi, balita, dan anak
prasekolah serta deteksi dini kasus penyulit, gangguan tumbuh
kembang, dan rujukan;
4) dan memberikan pertolongan pertama kegawatdaruratan pada bayi baru
lahir dilanjutkan dengan rujukan.
f. Pasal 51
Pelayanan Kesehatan Reproduksi Perempuan dan Keluarga Berencana
Dalam menjalankan tugas memberikan pelayanan kesehatan reproduksi
perempuan dan keluarga berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
ayat (1) huruf c, Bidan berwenang melakukan komunikasi, informasi,
edukasi, konseling, dan memberikan pelayanan kontrasepsi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
g. Pasal 52
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan ibu, pelayanan
kesehatan anak, dan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan
keluarga berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 sampai dengan
Pasal 51 diatur dengan Peraturan Menteri.
h. Pasal 53
Pelimpahan wewenang
Pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1)
huruf d terdiri atas:
1) pelimpahan secara mandat; dan
2) pelimpahan secara delegatif.
i. Pasal 54
1) Pelimpahan wewenang secara mandat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53 huruf a diberikan oleh dokter kepada Bidan sesuai
kompetensinya.
2) Pelimpahan wewenang secara mandat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus dilakukan secara tertulis.
3) Pelimpahan wewenang secara mandat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dengan tanggung jawab berada pada pemberi pelimpahan
wewenang.
4) Dokter yang memberikan pelimpahan wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus melakukan pengawasan dan evaluasi
secara berkala.
j. Pasal 55
1) Pelimpahan wewenang secara delegatif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53 huruf b diberikan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah kepada Bidan.
2) Pelimpahan wewenang secara delegatif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang diberikan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerinlah Daerah
dalam rangka:
a) pelaksanaan tugas dalam keadaan ketcrbatasan tertentu; atau
b) program pemerintah.
3) Pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
dengan disertai pelimpahan tanggung jawab.
k. Pasal 56
1) Pelaksanaan tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1)huruf e merupakan penugasan
pemerintah yang dilaksanakan pada keadaan tidak adanya tenaga med is
dan/atau tenaga kesehatan lain di suatu wilayah tempat Bidan bertugas.
2) Keadaan tidak adanya tenaga medis dan/atau tenaga kesehatan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah
Daerah.
3) Pelaksanaan tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Bidan yang telah mengikuti
pelatihan dengan memperhatikan Kompetensi Bidan.
4) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.
5) Dalam rnenyelenggarakan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat melibatkan
Organisasi Profesi Bidan dan/atau organisasi profesi terkait yang
diselenggarakan oleh lembaga yang telah terakreditasi.
l. Pasal 57
1) Program pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2)
huruf b merupakan penugasan Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah untuk melaksanakan program pemerintah.
2) Program pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3) Pelaksanaan program pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Bidan yang telah mengikuti pelatihan dengan
memperhatikan Kompetensi Bidan.
4) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.
5) Dalam menyelenggarakan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat melibatkan
Organisasi Profesi Bidan dan/atau organisasi profesi terkait yang
diselenggarakan oleh lembaga yang telah terakreditasi.
m. Pasal 58
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelimpahan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 sampai dengan Pasal 57 diatur dengan Peraturan
Menteri.
n. Pasal 59
Keadaan Gawatdarurat
1) Dalam keadaan gawat darurat untuk pemberian pertolongan pertama,
Bidan dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan sesuai
dengan kompetensinya.
2) Pertolongan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan
untuk menyelamatkan nyawa Klien. Keadaan gawat darurat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keadaan yang
mengancam nyawa Klien.
3) Keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Bidan sesuai dengan hasil evaluasi berdasarkan keilmuannya.
4) Penanganan keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
6. Manajemen dan Kepemimpinan yang dapat dilakukan oleh Bidan sesuai
Pelayanan yang diberikan
a. Kompetensi Inti
Mampu menerapkan prinsip manajemen dan kepemimpinan dalam
perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi dalam pelayanan
kebidanan sehingga mampu menetapkan prioritas dan menyelesaikan
masalah dengan menggunakan sumber daya secara efisien.
b. Lulusan Bidan Mampu
1) 1)Mengembangkan konsep kepemimpinan dalam pelayanan dan praktik
kebidanan sebagai model peran dan mentor.
2) 2)Merancang alternatif pemecahan masalah dalam pelayanan dan
praktik kebidanan.
3) 3)Merencanakan keputusan strategis dalam pelayanan dan praktik
kebidanan.
4) 4)Mengelola pelayanan kebidanan secara mandiri, kolaborasi dan
rujukan.
5) 5)Merancang pembentukan tim (team building) dalam praktik
kebidanan.
6) 6)Membangun kemitraan/jejaring bersama pemangku kepentingan
interprofesional dalam meningkatkan kualitas asuhan kebidanan.
7) 7)Merancang advokasi untuk memperjuangkan hak-hak kesehatan
reproduksi perempuan dan anak.
8) 8)Merancang advokasi mendukung kebijakan dalam penerapan prinsip
keadilan gender.
9) 9)Mengidentifikasi potensi dalam upaya penggerakan peran serta
masyarakat untuk peningkatan kualitas pelayanan kebidanan .
10) 10)Merancang strategi pemberdayaan perempuan dalam bernegosiasi
dan mengatasi risiko.
C. Kesimpulan
Undang-Undang ini mengatur mengenai pendidikan Kebidanan, Registrasi dan izin
praktik, Bidan warga negara Indonesia lulusan luar negeri, Bidan Warga Negara
Asing, Praktik Kebidanan, hak dan kewajiban, Organisasi Profesi Bidan,
pendayagunaan Bidan, serta pembinaan dan pengawasan. Pengaturan Kebidanan
bertujuan untuk meningkatkan mutu Bidan, mutu pendidikan dan Pelayanan
Kebidanan, memberikanpelindungan dan kepastian hukum kepada Bidan dan
Klien, sertameningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Undang-Undang ini
mengatur mengenai pendidikan Kebidanan, Registrasi dan izin praktik, Bidan
warga negara Indonesia lulusan luarnegeri, Bidan Warga Negara Asing, Praktik
Kebidanan, hak dankewajiban, Organisasi Profesi Bidan, pendayagunaan Bidan,
sertapembinaan dan pengawasan.
II. Kelompok 2
Permenkes No. 28 Tahun 2017 Tentang Izin Dan Penyelengaraan Praktik Bidan
A. Landasan Teori
Bidan Praktek Mandiri (BPM) merupakan bentuk pelayanan kesehatan di
bidang kesehatan dasar. Praktek bidan adalah serangkaian kegiatan pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh nidan kepada pasien (individu, keluarga, dan
masyarakat) sesuai dengan kewenangan dan kemampuannya. Bidan yang yang
menjalankan praktek harus memiliki Surat Izin Praktek Bidan (SIPB) sehingga
dapat menjalankan praktek pada saran kesehatan atau program. (Imamah, 2012)
B. Persyaratan Pendirian Bidan Praktik Mandiri
1. Menjadi anggota IBI
2. Permohonan Surat Ijin Praktek Bidan selaku Swasta Perorangan
3. Surat Keterangan Kepala Puskesmas Wilayah setempat Praktek
4. Surat Persyaratan tidak sedang dalam sanksi profesi/hokum
5. Surat Keterangan Ketua Ranting IBI Wilayah 4
6. Persiapan peralatan medis usaha praktek bidan secara perorangan dengan
pelayanan pemeriksaan pertolongan persalinan dan perawatan
7. Membuat Surat Perjanjian sanggup mematuhi perjanjian yang tertulis
C. Bidan Dalam Menjalankan Praktek Harus
• Memiliki tempat dan ruangan praktik yang memenuhi persyaratan Kesehatan
• Menyediakan tempat tidur untuk persalinan minimal 1 dan maksimal tempat tidur
• Memiliki peralatan minimal sesuai dengan ketentuan dan melaksanakan prosedur
tetap (protap) yang berlaku.
• Menyediakan obat-obatan sesuai dengan ketentuan peralatan yang berlaku.
• Bidan yang menjalankan praktik harus mencantumkan izin praktik bidannya atau
foto copy praktiknya diruang praktik, atau tempat yang mudah dilihat.
• Bidan dalam prakteknya memperkerjakan tenaga bidan yang lain, yang memiliki
SIPB untuk membantu tugas pelayanannya
• Bidan yang menjalankan praktek harus harus mempunyai peralatan minimal
sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan peralatan harus tersedia ditempat
prakteknya.
• Peralatan yang wajib dimilki dalam menjalankan praktk bidan sesuai dengan jenis
pelayanan yang diberikan
D. Dalam menjalankan tugas bidan harus serta mempertahankan dan meningkatkan
keterampilan profesinya antara lain dengan :
1. Mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan atau saling tukar informasi
dengan sesama bidan.
2. Mengikuti kegiatan-kegiatan akademis dan pelatihan sesuai dengan
bidangtugasnya, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun oleh organisasi
profesi.
3. Memelihara dan merawat peralatan yang digunakan untuk praktik agar tetap
siap dan berfungsi dengan baik
E. Tanggung Jawab dan Wewenang Bidan
1. Pasal 18
Dalam penyelenggaraan
Praktik kebidanan dalam pasal 18 Bidan memiliki kewenangan untuk
memberikan:
a. pelayanan kesehatan ibu
b. pelayanan kesehatan anak dan
c. pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana.
2. Pasal 19
a. Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a
diberikan pada masa sebelum hamil, masa hamil, masa persalinan, masa
nifas, masa menyusui, dan masa antara dua kehamilan.
b. Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pelayanan:
1) konseling pada masa sebelum hamil;
2) bantenatal pada kehamilan normal;
3) persalinan normal;
4) ibu nifas normal;
5) ibu menyusui; dan
6) konseling pada masa antara dua kehamilan
c. Dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Bidan berwenang melakukan:
1) episiotomi;
2) pertolongan persalinan normal;
3) penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II;
4) penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan;
5) pemberian tablet tambah darah pada ibu hamil;
6) pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas;
7) fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini dan promosi air susu ibu
eksklusif;
8) pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum;
9) penyuluhan dan konseling;
10) bimbingan pada kelompok ibu hamil; dan
11) pemberian surat keterangan kehamilan dan kelahiran.
3. Pasal 20
a. Pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b
diberikan pada bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak prasekolah.
b. Dalam memberikan pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bidan berwenang melakukan:
1) pelayanan neonatal esensial;
2) penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan;
3) pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, dan anak prasekolah;
dan
4) konseling dan penyuluhan.
c. Pelayanan noenatal esensial sebagaimana dimaksud pada ayat ( 2 ) huruf a
meliputi inisiasi menyusui dini , pemotongan dan perawatan tali pusat ,
pemberian suntikan Vit K 1 , pemberian imunisasi B 0 , pemeriksaan fisik
bayi baru lahir , pemantauan tanda bahaya , pemberian tanda identitas diri
, dan merujuk kasus yang tidak dapat ditangani dalam kondisi stabil dan
tepat waktu ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang lebih mampu.
d. Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
1) penanganan awal asfiksia bayi baru lahir melalui pembersihan jalan
nafas, ventilasi tekanan positif, dan/atau kompresi jantung;
2) penanganan awal hipotermia pada bayi baru lahir dengan BBLR
melalui penggunaan selimut atau fasilitasi dengan cara menghangatkan
tubuh bayi dengan metode kangguru;
3) penanganan awal infeksi tali pusat dengan mengoleskan alkohol atau
povidon iodine serta menjaga luka tali pusat tetap bersih dan kering;
dan
4) membersihkan dan pemberian salep mata pada bayi baru lahir dengan
infeksi gonore (GO).
e. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, dan anak prasekolah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi kegiatan
penimbangan berat badan, pengukuran lingkar kepala, pengukuran tinggi
badan, stimulasi deteksi dini, dan intervensi dini peyimpangan tumbuh
kembang balita dengan menggunakan Kuesioner Pra Skrining
Perkembangan (KPSP)
f. Konseling dan penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d
meliputi pemberian komunikasi, informasi, edukasi (KIE) kepada ibu dan
keluarga tentang perawatan bayi baru lahir, ASI eksklusif, tanda bahaya
pada bayi baru lahir, pelayanan kesehatan, imunisasi, gizi seimbang,
PHBS, dan tumbuh kembang.
4. Pasal 21
Dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 huruf c, Bidan berwenang
memberikan:
a. penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana; dan
b. pelayanan kontrasepsi oral, kondom, dan suntikan
F. kesimpulan
1. Semua bidan yang menyelenggarakan praktik mandiri bidan sudah melengkapi
administrasi yang telah ditetapkan dalam PerMenkes No. 28 Tahun 2017
Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan. Namun praktik mandiri bidan
dikota Makassar belum memenuhi persyaratan yang meliputi bangunan tempat
praktik, ruang praktik, prasarana, peralatan, obat dan bahan medis habis pakai
agar dapat menunjang pelayanan kebidanannya itu sendiri.
2. Praktik mandiri bidan telah memiliki kewenangan yang telah di atur dalam
PerMenKes No. 28 Tahun 2017 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik
Bidan namun ada beberapa praktik mandiri bidan di Kota Makassar yang
melakukan pelayanan tidak sesuai kewenangan yang miliki.
III. Kelompok 3
PERMENKES NO 21 TAHUN 2021 TENTANG PENYELENGGARAAN
PELAYANAN KESEHATAN MASA SEBELUM HAMIL, MASA HAMIL,
PERSALINAN, DAN MASA SESUDAH MELAHIRKAN, PELAYANAN
KONTRASEPSI, DAN PELAYANAN KESEHATAN SEKSUAL
A. Latar Belakang
Kementerian Kesehatan menerbitkan Peraturan baru yaitu Permenkes 21 tahun
2021 tentang Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan,
dan Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta
Pelayanan Kesehatan Seksual menggantikan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil,
Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan
Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan Seksual. (Kemenkes RI, 2015
B. Isi secara garis besar regulasi dan peraturan
1. 1.BAB II Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, dan Masa
Sesudah Melahirkan
2. 2.BAB III Pelayanan Kontrasepsi Pasal 23-32
3. 3.BAB IV Pelayanan Kesehatan Seksual Pasal 33- 34
C. Tanggung jawab Bidan dalam peraturan
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil,
Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, dan Pelayanan
Kesehatan Seksual1, bidan memiliki tanggung jawab dalam penyelenggaraan.
D. Wewenang Bidan
1. Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil
2. Pelayanan Kesehatan Masa Hamil
3. Pelayanan Kesehatan Persalinan
4. Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan
5. Pelayanan Kontrasepsi
E. Manajemen dan Kepemimpinan yang dapat dilakukan oleh Bidan sesuai pelayanan
yang diberikan
1. pemantauan dan evaluasi;
2. kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus;
3. advokasi dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara efektif dan
efisien; dan
4. perencanaan dan penganggaran terpadu.
Manajemen pelayanan kesehatan reproduksi terpadu merupakan pengelolaan
kegiatan pelayanan kesehatan dengan pendekatan yang mengintegrasikan semua
pelayanan kesehatan dalam lingkup kesehatan reproduksi yang meliputi kesehatan
ibu dan anak, keluarga berencana, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan
penanggulangan infeksi menular seksual termasuk HIV-AIDS dan hepatitis B, dan
pelayanan kesehatan reproduksi lainnya.
F. Kesimpulan
Pemeriksaan kehamilan juga dapat dijadikan sebagai ajang promosi kesehatan dan
pendidikan tentang kehamilan, persalinan, dan persiapan menjadi orang tua.
(Permenkes No 21 tahun 2021, 2014)
IV. Kelompok 4
PP No. 33 Tahun 2012
PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF
A. Pendahuluan
Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari pembangunan nasional diarahkan pada
peningkatan kualitas sumber daya manusia dan dilaksanakan guna tercapainya
kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar
dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Indikator keberhasilan pembangunan kesehatan antara lain adalah penurunan angka
kematian bayi dan peningkatan status gizi masyarakat.
Berdasarkan Pasal 6 (PP NO. 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu Ibu
Eksklusif, 2012) tentang pemberian air susu ibu eksklusif, setiap ibu yang
melahirkan harus memberikan ASI Eksklusif kepada bayi yang dilahirkannya. ASI
Eksklusif merupakan pemberian ASI ibu kepada bayi dari mulai bayi tersebut lahir
sampai dengan usia 6 bulan. Sedangkan susu formula bayi seharusnya diberikan
setelah bayi berumur6 bulan.
Susu formula dapat diberikan kepada bayi dengan usia di bawah 6 bulan jika ada
pertimbangan tertentu. Dalam Pasal 7 PP No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air
Susu Ibu Eksklusif disebutkan bahwa, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 tidak berlaku dalam hal terdapat: indikasi medis, ibu tidak ada atau bu
terpisah dari bayi.
B. Pembahasan
1. Pasal 1 1). Air Susu Ibu yang selanjutnya disingkat ASI adalah cairan hasil
sekresi kelenjar payudara ibu. 2) Air Susu Ibu Eksklusif yang selanjutnya
disebut ASI Eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada Bayi sejak dilahirkan
selama 6 (enam) bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan
makanan atau minuman lain.
2. Pasal 2 Pengaturan pemberian ASI Eksklusif bertujuan untuk: a. menjamin
pemenuhan hak Bayi untuk mendapatkan ASI Eksklusif sejak dilahirkan sampai
dengan berusia 6 (enam) bulan dengan memperhatikan pertumbuhan dan
perkembangannya b. memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan
ASI Eksklusif kepada bayinya.
3. Pasal 3 Tanggung jawab Pemerintah dalam program pemberian ASI Eksklusif
4. Pasal 4 Tanggung jawab pemerintah daerah provinsi dalam program pemberian
ASI Eksklusif
5. Pasal 5 Tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota dalam program
pemberian ASI Eksklusif
6. Pasal 6 Setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI Eksklusif kepada
Bayi yang dilahirkannya.
7. Pasal 7 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 tidak berlaku dalam
hal terdapat: a. indikasi medis: b. ibu tidak ada; atau c. ibu terpisah dari Bayi.
8. Pasal 8 (1) Penentuan indikasi medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf a dilakukan oleh dokter. (2) Dokter dalam menentukan indikasi medis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan standar profesi,
standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. (3) Dalam hal di daerah
tertentu tidak terdapat dokter, penentuan ada atau tidaknya indikasi medis dapat
dilakukan oleh bidan atau perawat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
9. Pasal 9 (1) Tenaga Kesehatan dan penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan
wajib melakukan inisiasi menyusu dini terhadap Bayi yang baru lahir kepada
ibunya paling singkat selama 1 (satu) jam. (2) Inisiasi menyusu dini
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara meletakkan Bayi
secara tengkurap di dada atau perut ibu sehingga kulit Bayi melekat pada kulit
ibu.
10. Pasal 10 (1) Tenaga Kesehatan dan penyelenggara Fasilitas Pelayanan
Kesehatan wajib menempatkan ibu dan Bayi dalam 1 (satu) ruangan atau rawat
gabung kecuali atas indikasi medis yang ditetapkan oleh dokter. (2) Penempatan
dalam 1 (satu) ruangan atau rawat gabung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimaksudkan untuk memudahkan ibu setiap saat memberikan ASI Eksklusif
kepada Bayi.
11. Pasal 11 Pendonor Air Susu Ibu
12. Pasal 12 (1)Setiap ibu yang melahirkan Bayi harus menolak pemberian Susu
Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya. (2) Dalam hal ibu yang melahirkan
Bayi meninggal dunia atau oleh sebab lain sehingga tidak dapat melakukan
penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penolakan dapat dilakukan
oleh Keluarga.
13. Pasal 13 Informasi dan Edukasi
14. Pasal 14 Sanksi Administratif
15. Pasal 15 Penggunaan Susu Formula Bayi dan Produk Bayi Lainnya
16. Pasal 16 Dalam memberikan Susu Formula Bayi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15, Tenaga Kesehatan harus memberikan peragaan dan penjelasan atas
penggunaan dan penyajian Susu Formula Bayi kepada ibu dan/atau Keluarga
yang memerlukan Susu Formula Bayi.
17. Pasal 17 (1) Setiap Tenaga Kesehatan dilarang memberikan Susu Formula Bayi
dan/atau produk bayi lainnya yang dapat menghambat program pemberian ASI
Eksklusif kecuali dalam hal diperuntukkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15. (2) Setiap Tenaga Kesehatan dilarang menerima dan/atau mempromosikan
Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya yang dapat menghambat
program pemberian ASI Eksklusif.
18. Pasal 18 (1) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang memberikan
Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya yang dapat menghambat
program pemberian ASI Eksklusif kepada ibu Bayi dan/atau keluarganya,
kecuali dalam hal diperuntukkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. (2)
Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang menerima dan/atau
mempromosikan Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya yang dapat
menghambat program pemberian ASI Eksklusif. (3) Dalam hal terjadi bencana
atau darurat, penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat menerima
bantuan Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya untuk tujuan
kemanusiaan setelah mendapat persetujuan dari kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota setempat. (4) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan
dilarang menyediakan pelayanan di bidang kesehatan atas biaya yang
disediakan oleh produsen atau distributor Susu Formula Bayi dan/atau produk
bayi lainnya.
19. Pasal 19 Produsen atau distributor Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi
lainnya dilarang melakukan kegiatan yang dapat menghambat program
pemberian ASI Eksklusif berupa : a. pemberian contoh produk Susu Formula
Bayi dan/atau produk bayi lainnya secara cuma-cuma atau bentuk apapun
kepada penyelenggara FasilitasPelayanan Kesehatan, Tenaga Kesehatan, ibu
hamil, atau ibu yang baru melahirkan; b. penawaran atau penjualan langsung
Susu Formula Bayi ke rumah-rumah; c. pemberian potongan harga atau
tambahan atau sesuatu dalam bentuk apapun atas pembelian Susu Formula Bayi
sebagai daya tarik dari penjual; d. penggunaan Tenaga Kesehatan untuk
memberikan informasi tentang Susu Formula Bayi kepada masyarakat; dan/atau
e. pengiklanan Susu Formula Bayi yang dimuat dalam media massa, baik cetak
maupun elektronik, dan media luar ruang.
20. Pasal 20 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e
dikecualikan jika dilakukan pada media cetak khusus tentang kesehatan. (2)
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi
persyaratan: a. mendapat persetujuan Menteri; dan b. memuat keterangan
bahwa Susu Formula Bayi bukan sebagai pengganti ASI.
21. Pasal 21 (1) Setiap Tenaga Kesehatan, penyelenggara Fasilitas Pelayanan
Kesehatan, penyelenggara satuan pendidikan kesehatan, organisasi profesi di
bidang kesehatan dan termasuk keluarganya dilarang menerima hadiah dan/atau
bantuan dari produsen atau distributor Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi
lainnya yang dapat menghambat keberhasilan program pemberian ASI
Eksklusif. (2) Bantuan dari produsen atau distributor Susu Formula Bayi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterima hanya untuk tujuan
membiayai kegiatan pelatihan, penelitian dan pengembangan, pertemuan
ilmiah, dan/atau kegiatan lainnya yang sejenis.
22. Pasal 22 Pemberian bantuan untuk biaya pelatihan, penelitian dan
pengembangan, pertemuan ilmiah, dan/atau kegiatan lainnya yang sejenis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dapat dilakukan dengan
ketentuan: a. secara terbuka; b. tidak bersifat mengikat; c. hanya melalui
Fasilitas Pelayanan Kesehatan, penyelenggara satuan pendidikan kesehatan,
dan/atau organisasi profesi di bidang kesehatan; dan d. tidak menampilkan logo
dan nama produk Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya pada saat
dan selama kegiatan berlangsung yang dapat menghambat program pemberian
ASI Eksklusif.
23. Pasal 23 (1) Tenaga Kesehatan yang menerima bantuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (2) wajib memberikan pernyataan tertulis kepada atasannya
bahwa bantuan tersebut tidak mengikat dan tidak menghambat keberhasilan
program pemberian ASI Eksklusif. (2) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan
Kesehatan yang menerima bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(2) wajib memberikan pernyataan tertulis kepada Menteri bahwa bantuan
tersebut tidak mengikat dan tidak menghambat keberhasilan program
pemberian ASI Eksklusif. (3)Penyelenggara satuan pendidikan kesehatan yang
menerima bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) wajib
memberikan pernyataan tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pendidikan bahwa bantuan tersebut tidak mengikat dan
tidak menghambat keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif. (4)
Pengurus organisasi profesi di bidang kesehatan yang menerima bantuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) wajib memberikan pernyataan
tertulis kepada Menteri bahwa bantuan tersebut tidak mengikat dan tidak
menghambat keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif.
24. Pasal 24 Dalam hal Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menerima bantuan
biaya pelatihan, penelitian dan pengembangan, pertemuan ilmiah, dan/atau
kegiatan lainnya yang sejenis maka penggunaannya harus sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
25. Pasal 25 (1) Setiap produsen atau distributor Susu Formula Bayi dan/atau
produk bayi lainnya dilarang memberikan hadiah dan/atau bantuan kepada
Tenaga Kesehatan, penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
penyelenggara satuan pendidikan kesehatan, dan organisasi profesi di bidang
kesehatan termasuk keluarganya yang dapat menghambat keberhasilan program
pemberian ASI Eksklusif, kecuali diberikan untuk tujuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2). (2) Setiap produsen atau distributor Susu
Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya yang melakukan pemberian bantuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan laporan kepada
Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling sedikit memuat: a. nama penerima dan pemberi bantuan; b.
tujuan diberikan bantuan; c. jumlah dan jenis bantuan; dan d. jangka waktu
pemberian bantuan.
26. Pasal 26 (1) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, penyelenggara
satuan pendidikan kesehatan, dan/atauorganisasi profesi di bidang kesehatan
yang menerima bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c wajib
memberikan laporan kepada Menteri, menteri terkait, atau pejabat yang
ditunjuk. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memuat: a.nama pemberi dan penerima bantuan; b.tujuan diberikan bantuan;
c.jumlah dan jenis bantuan; dan d.jangka waktu pemberian bantuan.
27. Pasal 27 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26
disampaikan kepada Menteri, menteri terkait, atau pejabat yang ditunjuk paling
singkat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan bantuan.
28. Pasal 28 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan Susu Formula
Bayi dan produk bayi lainnya diatur dengan Peraturan Menteri.
29. Pasal 29 (1) Setiap Tenaga Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), dan Pasal
23 ayat (1), dikenakan sanksi administratif oleh pejabat yang berwenang
berupa: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; dan/atau c. pencabutan izin. (2)
Setiap penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, penyelenggara satuan
pendidikan, pengurus organisasi profesi di bidang kesehatan serta produsen dan
distributor Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya yang tidak
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), ayat
(2), dan ayat (4), Pasal 19, Pasal 21 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4), Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 26 ayat (1) dikenakan sanksi
administratif oleh pejabat yang berwenang berupa: a.teguran lisan; dan/atau b.
teguran tertulis. (3) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
30. Pasal 30 Tempat Kerja dan Tempat Sarana Umum
31. Pasal 31 Tempat Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 terdiri atas: a.
perusahaan; dan b. perkantoran milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
swasta.
32. Pasal 32 Tempat sarana umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 terdiri
atas: a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan; b. hotel dan penginapan; c. tempat
rekreasi; d. terminal angkutan darat; e. stasiun kereta api; f. bandar udara; g.
pelabuhan laut; h. pusat-pusat perbelanjaan; i. gedung olahraga;j. lokasi
penampungan pengungsi; dan k. tempat sarana umum lainnya.
33. Pasal 33 Penyelenggara tempat sarana umum berupa Fasilitas Pelayanan
Kesehatan harus mendukung keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif
dengan berpedoman pada 10 (sepuluh) langkah menuju keberhasilan menyusui
34. Pasal 34 Pengurus Tempat Kerja wajib memberikan kesempatan kepada ibu
yang bekerja untuk memberikan ASI Eksklusif kepada Bayi atau memerah ASI
selama waktu kerja di Tempat Kerja.
35. Pasal 35 Pengurus Tempat Kerja dan penyelenggara tempat sarana umum wajib
membuat peraturan internal yang mendukung keberhasilan program pemberian
ASI Eksklusif.
36. Pasal 36 Setiap pengurus Tempat Kerja dan/atau penyelenggara tempat sarana
umum yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (1) dan ayat (3), atau Pasal 34, dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
37. Pasal 37 Dukungan Masyarakat Pasal
38. 38 Pendanaan
39. Pasal 39 Pembinaan Dan Pengawasan
40. Pasal 40 (1) Pengawasan terhadap produsen atau distributor Susu Formula Bayi
dan/atau produk bayi lainnya yang melakukan kegiatan pengiklanan Susu
Formula Bayi yang dimuat dalam media massa, baik cetak maupun elektronik,
dan media luar ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e
dilaksanakan oleh badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
pengawasan obat dan makanan. (2)Ketentuan (2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai pengawasan terhadap produsen atau distributor Susu Formula Bayi
dan/atau produk bayi lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan peraturan kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di
bidang pengawasan obat dan makanan.
G. TANGGUNGJAWAB BIDAN DALAM PERATURAN
Sesuai dengan Pasal 9 bahwa Tenaga Kesehatan dan penyelenggara Fasilitas
Pelayanan Kesehatan wajib melakukan inisiasi menyusu dini terhadap Bayi yang
baru lahir kepada ibunya paling singkat selama 1 (satu) jam. Inisiasi menyusu dini
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara meletakkan Bayi
secara tengkurap di dada atau perut ibu sehingga kulit Bayi melekat pada kulit ibu.
Kemudian di Pasal 10 tertera bahwa (1) Tenaga Kesehatan dan penyelenggara
Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib menempatkan ibu dan Bayi dalam 1 (satu)
ruangan atau rawat gabung kecuali atas indikasi medis yang ditetapkan oleh dokter.
(2) Penempatan dalam 1 (satu) ruangan atau rawat gabung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dimaksudkan untuk memudahkan ibu setiap saat memberikan ASI
Eksklusif kepada Bayi.
Selanjutnya sesuai Pasal 13 berisi informasi dan edukasi yaitu (1) Untuk
mencapai pemanfaatan pemberian ASI Eksklusif secara optimal, Tenaga Kesehatan
dan penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib memberikan informasi dan
edukasi ASI Eksklusif kepada ibu dan/atau anggota Keluarga dari Bayi yang
bersangkutan sejak pemeriksaan kehamilan sampai dengan periode pemberian ASI
Eksklusif selesai.
(2) Informasi dan edukasi ASI Eksklusif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit mengenai: a. keuntungan dan keunggulan pemberian ASI; b. gizi ibu,
persiapan dan mempertahankan menyusui; c. akibat negatif dari pemberian
makanan botol secara parsial terhadap pemberian ASI; dan d. kesulitan untuk
mengubah keputusan untuk tidak memberikan ASI. (3) Pemberian informasi dan
edukasi ASI Eksklusif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat
dilakukan melalui penyuluhan, konseling dan pendampingan. (4) Pemberian
informasi dan edukasi ASI Eksklusif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan oleh tenaga terlatih.
H. Wewenang Bidan
1. Pasal 6 Setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI Eksklusif kepada
Bayi yang dilahirkannya.
2. Pasal 7 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 tidak berlaku dalam
hal terdapat: a. indikasi medis: b. ibu tidak ada; atau c. ibu terpisah dari Bayi.
3. Pasal 8 (1) Penentuan indikasi medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf a dilakukan oleh dokter. (2) Dokter dalam menentukan indikasi medis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan standar profesi,
standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. (3) Dalam hal di daerah
tertentu tidak terdapat dokter, penentuan ada atau tidaknya indikasi medis dapat
dilakukan oleh bidan atau perawat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
I. Manajemen danKepemimpinan yang dapat dilakukan oleh bidan sesuai pelayanan
yang diberikan
1. Pasal 16 Dalam memberikan Susu Formula Bayi sebagaimana dimaksud dalam
2. Pasal 15, Tenaga Kesehatan harus memberikan peragaan dan penjelasan atas
penggunaan dan penyajian Susu Formula Bayi kepada ibu dan/atau Keluarga
yang memerlukan Susu Formula Bayi.
3. Pasal 17 (1) Setiap Tenaga Kesehatan dilarang memberikan Susu Formula Bayi
dan/atau produk bayi lainnya yang dapat menghambat program pemberian ASI
Eksklusif kecuali dalam hal diperuntukkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15. (2) Setiap Tenaga Kesehatan dilarang menerima dan/atau mempromosikan
Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya yang dapat menghambat
program pemberian ASI Eksklusif.
4. Pasal 18 (1) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang memberikan
Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya yang dapat menghambat
program pemberian ASI Eksklusif kepada ibu Bayi dan/atau keluarganya,
kecuali dalam hal diperuntukkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. (2)
Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang menerima dan/atau
mempromosikan Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya yang dapat
menghambat program pemberian ASI Eksklusif. (3) Dalam hal terjadi bencana
atau darurat, penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat menerima
bantuan Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya untuk tujuan
kemanusiaan setelah mendapat persetujuan dari kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota setempat. (4) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan
dilarang menyediakan pelayanan di bidang kesehatan atas biaya yang
disediakan oleh produsen atau distributor Susu Formula Bayi dan/atau produk
bayi lainnya.
C. Penutup
Dengan adanya peraturan di atas maka hendaknya bisa menjadi acuan tenaga
kesehatan khususnya bidan dalam memberikan informasi edukasi dan konseling
kepada calon ibu dan para ibu mengenai pemberian ASI eksklusif terkecuali bayi
dengan indikasi tertentu yang tidak mungkin diberi ASI eksklusif secara langsung
oleh ibunya.
Kemudian kita sendiri pun bidan harusnya memiliki sikap kepemimpinan yang
dapat kita tuangkan dalam bentuk menolak apa pun produk susu formula dari
produsen dan mendukung pemerintah dalam mensosialisasikan program pemberian
ASI eksklusif ini kepada masyarakat.
V. Kelompok 5
A. Latar Belakang
Stunting atau sering disebut pendek adalah kondisi gagal tumbuh akibat
kekurangan gizi kronis dan stimulasi psikososial serta paparan infeksi berulang
terutama dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari janin hingga anak
berusia dua tahun. Anak tergolong stunting apabila panjang atau tinggi badannya
berada di bawah minus dua standar deviasi (-2SD) anak seusianya.
Stunting dan kekurangan gizi lainnya yang terjadi pada 1.000 HPK tidak hanya
menyebabkan hambatan pertumbuhan fisik dan meningkatkan kerentanan terhadap
penyakit, tetapi juga mengancam perkembangan kognitif yang akan berpengaruh
pada tingkat kecerdasan dan produktivitas anak di masa dewasanya. Kerugian
ekonomi akibat stunting pada angkatan kerja di Indonesia saat ini diperkirakan
mencapai 10,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB), atau setara dengan Rp386
triliun.
Prevalensi stunting dalam 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa stunting
merupakan salah satu masalah gizi terbesar pada balita di Indonesia. Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan 30,8% balita menderita stunting.
Masalah gizi lain terkait dengan stunting yang masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat adalah anemia pada ibu hamil (48,9%), Berat Bayi Lahir Rendah atau
BBLR (6,2%), balita dengan status gizi buruk (17,7%) dan anemia pada balita.
B. Regulasi dan peraturan
Dalam mewujudkan percepatan penurunan stunting di Indonesia dengan target
pencapaian sebesar 14% pada tahun 2024, pemerintah memiliki peran sebagai
pengarah, sebagai regulator, dan sebagai pelaksana. Sebagai pengarah pemerintah
menetapkan, melaksanakan, dan memantau serta mengkoordinasikan berbagai
pihak yang terlibat dalam pelaksanaan percepatan penurunan stunting.
Kerangka regulasi dalam pelaksanaan percepatan penurunan stunting diarahkan
untuk menjamin terwujudnya pencapaian target/sasaran yang ditetapkan dalam
Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting,
Secara umum, sudah terdapat dukungan regulasi yang berdampak pada pencegahan
dan penurunan angka Stunting serta dapat memperkuat pelaksanaan percepatan
penurunan stunting, meliputi:
1. Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Undang-Undang Dasar 1945
mengamanatkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan Kesehatan, apabila amanat tersebut
dilaksanakan dan diterapkan dalam program dan kegiatan, angka stunting di
indonesia semestinya dapat menjadi rendah.
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005 – 2025, Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional sangat penting dan mendesak bagi bangsa Indonesia untuk melakukan
penataan kembali berbagai langkah-langkah, antara lain di bidang pengelolaan
sumber daya alam, sumber daya manusia, lingkungan hidup dan
kelembagaannya sehingga bangsaIndonesia dapat mengejar ketertinggalan dan
mempunyai posisi yang sejajar serta daya saing yang kuat di dalam pergaulan
masyarakat internasional.
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Dalam Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 mengamanatkan bahwa Upaya perbaikan gizi
dilakukan pada seluruh siklus kehidupan sejak dalam kandungan sampai dengan
lanjut usia dengan prioritas kepada kelompok rawan: a). bayi dan balita; b).
remaja perempuan; dan c). ibu hamil dan menyusui.
4. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan
dan Pembangunan Keluarga Dalam Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009
mengamanatkan bahwa Pembangunan keluarga bertujuan untuk meningkatkan
kualitas keluarga agar dapat timbul rasa aman, tenteram, dan harapan masa
depan yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan
batin.
C. Tanggung jawab Bidan
Sebagai Tim Percepatan Penurunan Stunting tingkat desa/kelurahan yang
bertugas mengoordinasikan, menyinergikan, dan mengevaluasi penyelenggaraan
Percepatan Penurunan Stunting di tingkat desa/kelurahan.
Pada Pasal 23:
1. mengetahui kemajuan dan keberhasilan pelaksanaan Percepatan Penuru nan
Stunting;
2. memberikan umpan balik bagi kemajuan pelaksanaan Percepatan Penurunan
Stunting;
3. menjadi pertimbangan perencanaan dan penganggaran serta peningkatan
akuntabilitas Percepatan Penuru nan Shtnting;
4. memberikan penilaian kesesuaian terhadap kegiatan, keluaran, dan target
Strategi Nasional Percepatan Penurunan Sfitnting dan rencana aksi nasional;
dan
5. menjadi pertimbangan pemberian rekomendasi untuk pencapaian keberhasilan
pelaksanaan Percepatan Penuru nan Stunting.
D. Wewenang Bidan
1. menurunkan prevalensi stunting;
2. meningkatkan kualitas penyiapan kehidupan berkeluarga;
3. menjamin pemenuhan asupan gizi;
4. memperbaiki pola asuh;
5. meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan; dan
6. meningkatkan akses air minum dan sanitasi.
E. Manajemen dan Kepemimpinan
1. Pemantauan dan Evaluasi pelaksanaan Percepatan Penurunan Stunting
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didukung dengan:
a. Sistem manajemen data terpadu di pusat, daerah, dan desa dengan
memaksimalkan system informasi yang sudah ada melalui mekanisme Stu
Data Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
b. Riset dan inovasi serta pengembangan pemanfaatan hasil riset dan inovasi

2. Pendampingan keluarga berisiko Stunting sebagaimana dimaksud dalam Pasal


8 ayat (3) huruf b bertujuan untuk meningkatkan akses informasi dan pelayanan
melalui:
a. Penyuluhan
b. Fasilitasi pelayanan rujukan; dan
c. Fasilitasi penerimaan program bantuan sosial

Anda mungkin juga menyukai