Oleh :
RINI KUSMIATI
NIM. 221133074
2. Klasifikasi Lansia
Menurut Depkes RI (2003) mengklasifikasikan lansia dalam kategori
berikut:
a. Pralansia, seseorang berusia 45 – 59 tahun.
b. Lansia, seseorang berusia 60 tahun atau lebih.
c. Lansia resiko tinggi, seseorang berusia 70 tahun atau lebih / seseorang
yang usia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
d. Lansia potensial, lansia yang masih melakukan pekerjaan dan atau
kegiatan yang dapat menghasilkan barang / jasa.
e. Lansia tidak potensial, lansia yang tidak berdaya mencari nafkah
sehingga hidupnya tergantung pada bantuan orang lain.
3. Karakteristik lansia
Lansia memiliki tiga karakteristik, sebagai berikut:
a. Berusia lebih dari 60 tahun.
b. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,
dari kebutuhan biopsikososial hingga spiritual, serta dari kondisi adaptif
hingga kondisi maladaptif.
c. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.
4. Tipe lansia
Dalam Nugroho (2000) banyak ditemukan bermacam-macam tipe
lansia. Beberapa yang menonjol adalah:
a. Tipe arif bijaksana
Lansia ini kaya dengan hikmah pengalaman, menyesuaikan diri dengan
perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati,
sederhana, dermawan, memenuhi undangan dan menjadi panutan.
b. Tipe mandiri
Lansia kini senang mengganti kegiatan yang hilang dengan kegiatan
yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan dan teman pergaulan, serta
memenuhi undangan.
c. Tipe tidak puas
Lansia yang selalu mengalami konflik lahir batin, menentang proses
penuaan yang menyebabkan kehilangan kecantikan, kehilangan daya
tarik jasmani, kehilangan kekuasaan, status, teman yang disayangi,
pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, menuntut, sulit dilayani, dan
pengkritik.
d. Tipe pasrah
Lansia yang selalu menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti
kegiatan beribadah, ringan kaki, melakukan berbagai jenis pekerjaan.
e. Tipe bingung
Lansia yang sering kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri,
merasa minder, menyesal, pasif, acuh tak acuh.
1) Analisa hasil:
a) Nilai 24 – 30 : normal
b) Nilai 17 – 23 : gangguan kognitif ringan
c) Nilai 0 – 16 : gangguan kognitif berat
c. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Keadaan umum klien lansia yang mengalami masalah psikososial
demensia biasanya lemah.
2) Kesadaran
Biasanya Compos Mentis.
3) Tanda-tanda vital
a) Suhu dalam batas normal (37 ℃).
b) Nadi normal (70- 82 x/menit).
c) Tekanan darah kadang meningkat atau menurun.
4) Pemeriksaan Review Of System (ROS)
a) Sistem pernapasan (B1 : Breathing)
Dapat ditemukan peningkatan frekuensi nafas atau masih
dalam batas normal.
b) Sistem sirkulasi (B2 : Bledding)
Tidak ditemukan adanya kelainan, frekuensi nadi masih
dalam batas normal.
c) Sistem persyarafan (B3 : Brain)
Klien mengalami gangguan memori, kehilangan ingatan,
gangguan konsentrasi, kurang perhatian, gangguan
persepsi sensori, insomnia.
d) Sistem perkemihan (B4 : Bladder)
Tidak ada keluhan terkait dengan pola berkemih.
e) Sistem pencernaan (B5 : Bowel)
Klien makan berkurang atau berlebih karena kadang lupa
apakah sudah makan atau belum, penurunan berat badan,
kadang juga konstipasi.
f) System musculoskeletal (B6 : Bone)
Klien mengalami gangguan dalam pemenuhan aktivitas.
5) Pengkajian saraf kranial
Pengkajian saraf ini meliputi pengkajian saraf kranial I – XII :
a) Saraf I (Olfaktorius)
Biasanya pada klien penyakit Alzheimer tidak ada kelainan
fungsi penciuman.
b) Saraf II (Optikus)
Tes ketajaman penglihatan yaitu perubahan sesuai dengan
keadaan usia lanjut. Biasanya klien dengan demensia
mengalami penurunan ketajaman penglihatan.
c) Saraf III (Okulomotorius), IV (Troklearis), VI (Abdusen)
Biasanya tidak ditemukan adanya kelainan pada saraf ini.
d) Saraf V (Trigeminus)
Wajah simetris dan tidak ada kelainan pada saraf ini.
e) Saraf VII (Fasialis)
Persepsi pengecapan dalam batas normal.
f) Saraf VIII (Vestibulokoklearis)
Adanya konduktif dan tuli persepsi berhubungan proses senilis
serta penurunan aliran darah regional.
g) Saraf IX (Glosofaringeal) dan X (Vagus)
Kesulitan dalam menelan makan yang berhubungan dengan
perubahan status kognitif.
h) Saraf XI (Aksesorius)
Tidak ada atrofi otot strenokleidomastoideus dan trapezius.
i) Saraf XII (Hipoglosus)
Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
vasikulasi dan indera pengecapan normal.
d. Pola fungsi kesehatan
Yang perlu dikaji adalah aktivitas apa saja yang biasa dilakukan
sehubungan dengan adanya masalah psikososial demensia :
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Klien mengalami gangguan persepsi, klien mengalami gangguan
dalam memelihara dan menangani masalah kesehatannya.
2) Pola tidur dan istirahat
Klien mengalami insomnia.
3) Pola aktivitas
Klien mengalami gangguan dalam pemenuhan aktivitas sehari-
hari karena penurunan minat. Pengkajian kemampuan klien dalam
memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari dapat menggunakan
Indeks KATZ.
Table 2.2 pengkajian Indeks KATZ (Aspiani, 2014)
INDEKS KATZ
SKORE KRITERIA
A Kemandirian dalam hal makan, kontinen,
berpindah ke kamar kecil, berpakaian dan
mandi
B Kemandirian dalam semua aktivitas hidup
sehari-hari, kecuali satu dari fungsi tersebut
C Kemandirian dalam semua aktivitas hidup
sehari-hari, kecuali mandi dan satu fungsi
tambahan
D Kemandirian dalam semua aktivitas hidup
sehari-hari, kecuali mandi, berpakaian dan satu
fungsi tambahan
E Kemandirian dalam semua aktivitas hidup
sehari-hari, kecuali mandi, berpakaian, ke
kamar kecil dan satu fungsi tambahan
F Kemandirian dalam semua aktivitas hidup
sehari-hari, kecuali mandi, berpakaian,
berpindah dan satu fungsi tambahan
G Ketergantungan pada enam fungsi tersebut
Lain-lain Ketergantungan pada sedikitnya dua fungsi,
tetapi tidak dapat diklasifikasikansebagai C, D,
E, F dan G
Penilaian SPMSQ
(1) Kesalahan 0 – 2 : fungsi intelektual utuh
(2) Kesalahan 3 – 4 : fungsi intelektual ringan
(3) Kesalahan 5 – 7 : fungsi intelektual sedang
(4) Kesalahan 8 – 10 : fungsi intelektual berat
Interpretasi hasil :
1) 20 : mandiri
2) 12 – 19: ketergantungan ringan
3) 9 – 11 : ketergantungan sedang
4) 5 – 8 : ketergantungan berat
5) 0 – 4 : ketergantungan total
e. Data subyektif
1) Klien mengatakan mudah lupa akan peristiwa yang baru saja
terjadi.
2) Klien mengatakan tidak mampu mengenali orang, tempat dan
waktu.
f. Data obyektif
1) Klien kehilangan kemampuan untuk mengenali wajah, tempat, dan
objek yang sudah dikenalnya dan kehilangan suasana keluarganya.
2) Klien mengulang-ulang cerita yang sama karena lupa telah
menceritakannya
Terjadi perubahan ringan dalam pola berbicara, mendengar
menggunakan kata-kata yang lebih sederhana, menggunakan kata-kata
yang tidak tepat atau tidak mampu menemukan kata-kata yang tepat.
2. Klasifikasi
Klasifikasi hipertensi menurut JNC (Joint National Comitte 8)
Klasifikasi Tekanan Sistolik Tekanan Diastolik
Normal < 120 < 80
Pre Hipertensi 120 – 139 80 – 89
Stadium 1 140 – 159 90 – 99
Stadium 2 > 160 > 100
3. Penyebab hipertensi
Menurut Manuntung, Alfeus (2018), berdasarkan penyebabnya hipertensi
dapat digolongkan menjadi 2, yaitu :
a. Hipertensi esensial atau primer
Penyebab pasti dari hipertensi esensial sampai saat ini masih belum
diketahui. Namun berbagai factor diduga turut berperan sebagai
penyebab hipertensi primer, seperti brtambahnya umur, stress
psikologis, dan hereditas (keturunan).
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, antara lain kelainan
pembuluh darah, ginjal, hipertiroid, penyakit kelenjar adrenal, dll.
Beberapa penyebab terjadinya hipertensi sekunder : penyakit
ginjal,stenosis arteri renalis, obat-obatan, pil KB, kortikosteroid,
penyalahgunaan alcohol, kayu manis adalam jumlah besar, dan
penyebab lainnya.
4. Tanda gejala
Manifestasi klinis hipertensi secara umum dibedakan menjadi (Rokhaeni,
2001)
a. Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan
peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh
dokter yang memeriksa.
b. Gejala yang lazim
Meliputi nyeri kepala dan kelelahan.
Menurut Smeltzer, 2001 manifestasi klinis hipertensi pada lansia secara
umum adalah sakit kepala, perdarahan hidung, vertigo, mual muntah,
perubahan penglihatan, kesemutan pada kaki dan tangan, sesak nafas,
kejang atau koma, nyeri dada.
5. Patofisiologi
Secara umum hipertensi disebabkan oleh peningkatan tahanan
perifer dan atau peningkatan volume darah, gen yang berpengaruh pada
hipertensi primer meliputi resptor angiotensi II, gen angiotensi dan renin,
gen sintetase oksida nitrat endoteliel, gen protein reseptor kinase G, gen
reseptor adrenergic, gen kalsium transpot dan natrium hydrogen antiporter
(mempengaruhi sensitivitas garam), dan gen yang berhubungan dengan
resistensi insulin, obesitas, hyperlipidemia, dan hipertensi sebagai
kelompok bawaan.
Hipertensi primer meliputi peningkatan aktivitas system saraf
simpatis (SNS) yaitu terjadi respon maladaptive terhadap stimulasi saraf
simpatis dan perubahan gen pada reseptor ditambah kadar katekolamin
serum yang menetap, peningkatan aktivitas sstem renin-angiotensin-
aldosteron (RAA), secara langsung menyebabkan vasokonstriksi tetapi
juga meningkatkan aktivitas SNS dan menurunkan kadar prostaglandin
vasodilator dan aksida nitrat, memediasi remodeling arteri (perubahan
structural pada dinding pembuluh darah), memediasi kerusakan organ
akhir pada jantung (hipertrofi), pembuluh darah, dan ginjal. Defek pada
transpot garam dan air menyebabkan gangguan aktivitas peptide
natriuretic otak (brain natriuretic peptide, BNF), peptide natriuretic atrial
(atrial natriuretic peptide, ANF), adrenomedulin, urodilatin, dan endotelin
dan berhubungan dengan asupan diet kalsium, magnesium, dan kalium
yang rendah. Interaksi kompleks yang melibatkan resistensi insulin dan
fungsi endotel, hipertensi sering terjadi pada penderita diabetes, dan
resistensi insulin ditemukan pada banyak pasien hipertensi yang tidak
memiliki diabetes klinis.
6. Pathway
7. Komplikasi
a. Stroke
b. Infark miokard
c. Gagal ginjal
d. Gagal jantung
e. Ensefalopati
8. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu:
a. Pemeriksaan yang segera seperti :
1) Darah rutin (hematokrit / hemoglobin) : untuk mengkaji hubungan
dari sel-sel terhadap volume cairan (viskositas) dan dapat
mengindikasikan faktor resiko seperti : hipokoagulabilitas,
anemia.
2) Blood Unit Nitrogen / kreatinin : memberikan informasi tentang
perfusi / fungsi ginjal.
3) Glukosa : Hiperglikemi (Diabetes Melitus adalah pencetus
hipertensi) dapat diakibatkan oleh pengeluaran kadar ketokolamin
(meningkatkan hipertensi).
4) Kalium serum : peningkatan kadar kalsium serum dapat
menyebabkan hipertensi.
5) Kalsium serum : peningkatan kadar kalsium serum dapat
menyebabkan hipertensi.
6) Kolesterol dan trigliserid serum : peningkatan kadar dapat
mengindikasikan pencetus untuk / adanya pembentukan plak
ateromatosa (efek kardiovaskuler).
7) Pemeriksaan tiroid : Hipertiroidisme dapat menimbulkan
vasokonstriksi dan hipertensi.
8) Kadar aldosteron urin / serum : untuk mengkaji aldosteronisme
primer (penyebab).
9) Urinalisa : darah, protein, glukosa, mengisaratkan disfungsi ginjal
dan ada DM.
10) Asam urat : hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko
hipertensi.
11) Steroid urin : kenaikan dapat mengindikasikan hiperadrenalisme.
12) EKG : 12 lead, melihat tanda iskemi, untuk melihat adanya
hipertrofi ventrikel kiri ataupun gangguan koroner dengan
menunjukkan pola regangan, dimana luas, peninggian gelombang
P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.
13) Foto dada : apakah ada oedema paru (dapat ditunggu setelah
pengobatan terlaksana) untuk menunjukkan destruksi klasifikasi
pada area katup, pembesaran jantung.
b. Pemeriksaan lanjutan (tergantung dari keadaan klinis dan hasil
pemeriksaan yang pertama) :
1) IVP : dapat mengidentifikasi penyebab hipertensi sepeti penyakit
parenkim ginjal, batu ginjal / ureter.
2) CT Scan : mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati.
3) IUP : mengidentifikasi penyebab hipertensi seperti : batu ginjal,
perbaikan ginjal. Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah
neurologi : spinal tab, CAT scan.
4) USG untuk melihat struktur ginjal dilaksanakan sesuai kondisi
klinis klien.
9. Penatalaksanaan
Smeltzer (2002) menyebutkan bahwa tujuan tiap program
penanganan bagi setiap pasien adalah mencegah terjadinya morbiditas
dan mortalitas penyerta dengan mencapai dan mempertahankan tekanan
darah dibawah 140/90 mmHg. Efektivitas setiap program ditentukan oleh
derajat hipertensi, komplikasi, biaya perawatan dan kualitas hidup
sehubungan dengan terapi.
Menurut Bambang Sadewa (2004) pencegahan hipertensi meliputi :
a. Berhenti merokok secara total dan tidak mengkonsumsi alkohol.
b. Melakukan antisipasi fisik secara teratur atau berolahraga secara
teratur dapat mengurangi ketegangan pikiran, membantu menurunkan
berat badan, dapat membakar lemak yang berlebihan.
c. Diet rendah garam.
d. Latihan olahraga seperti senam aerobik, jalan cepat, dan bersepeda
paling sedikit 7x dalam seminggu.
e. Memperbanyak minum air putih, minum 8 -10 gelas per hari.
f. Memeriksakan tekanan darah secara berkala.
g. Menjalani gaya hidup yang wajar untuk mengendalikan stress.
(Manuntung, Alfeus. 2018)
3) Perkusi
Hasil pengkajian perkusi menunjukkan adanya bunyi resonan
pada seluruh lapang paru.
4) Auskultasi
Jika abses terisi penuh dengan cairan pus akibat drainase yang
buruk, maka suara napas melemah, jika bronkus paten dan
drainasenya baik ditambah adanya konsuldasi di sekitar abses,
maka akan terdengar suara napas bronkial dan ronkhi basah.
f. Pemeriksaan diagnostik
1) Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan foto thoraks posterior – anterior dilakukan utuk
menilai derajat progresivitas penyakt yang berpengaruh menjadi
penyakit paru obstruktif menahun.
2) Pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium menujukkan adanya perubahan
pada peningkatan eosinofil (berdasarkan pada hasil hitung jenis
darah). Sputum diperiksa secara makroskopis untuk diagnosis
banding dengan tuberculosis paru (Soemantri, 2007).
2. Diagnosa keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan afterload,
vasokonstriksi, iskemia miokard, hipertropi ventricular.
b. Nyeri (sakit kepala) berhubungan dengan peningkatan tekanan
vaskuler serebral.
c. Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
d. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan dan krisis
situasional.
e. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan
hipertensi.
3. Intervensi Keperawatan
a. Penurunan curah jantung (D.0008) berhubungan dengan perubahan
irama jantung, perubahan frekuensi jantung, perubahan kontraktilitas,
perubahan preload, perubahan afterload.
Definisi : Ketidakadekuatan jantung memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
SLKI : Curah Jantung (L.02008)
Kriteria Hasil :
1) Tanda Vital dalam rentang normal (Tekanan darah, Nadi,
respirasi).
2) Dapat mentoleransi aktivitas, tidak ada kelelahan.
3) Tidak ada edema paru, perifer, dan tidak ada asites.
4) Tidak ada penurunan kesadaran.
5) AGD dalam batas normal.
6) Tidak ada distensi vena leher.
7) Warna kulit normal.
SIKI :
Perawatan Jantung (I.02075)
1) Identifikasi tanda / gejala primer penurunan curah jantung
(meliputi dyspnea, kelelahan, edema, ortopnea)
2) Evaluasi adanya nyeri dada (intensitas, lokasi, durasi).
3) Catat adanya distrimia jantung.
4) Catat adanya tanda dan gejala penurunan cardiac putput.
5) Monitor status cardiovaskuler.
6) Monitor status pernafasan yang menandakan gagal jantung.
7) Monitor balance cairan.
8) Monitor respon pasien terhadap efek pengobatan antiaritmia.
9) Atur periode latihan dan istirahat.
Pemantauan Tanda Vital (I.02060)
1) Monitor TD, nadi, suhu, dan RR.
2) Monitor VS saat pasien berbaring, duduk atau berdiri.
3) Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan.
4) Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama dan setelah aktivitas.
5) Monitor jumlah, bunyi dan irama jantung.
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan keberhasilan dari diagnosis keperawatan,
rencana intervensi,dan implementasi. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat
kemampuan klien dalam mencapai tujuan. Hal ini dapat dilakukan dengan
melihat respon klien terhadap asuhan keperawatan yang diberikan sehingga
perawat dapat mengambil keputusan.
DAFTAR PUSTAKA
Aspiani, R. Y. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik Jilid 2. Jakarta : CV.
Trans Info Media.
Jones, Richard Nelson. 2011. Teori dan Praktik Konseling dan Terapi. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Komalasari, G. et al. Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: Indeks
Manuntung, Alfeus. 2018. Terapi Perilaku Kognitif pada Pasien Hipertensi. Malang :
Wineka Media.
Utami, M.S. tanpa tahun. Prosedur-prosedur Relaksasi (dlm Subandi ed.). 2002.
Psikoterapi : Pendekatan Konvensional & Kontemporer. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
& Unit Publikasi Fakultas Psikologi UGM.
http://keperawatan.unsoed.ac.id/content/pengaruh-teknik-relaksasi-autogenik-
terhadap-skala-nyeri-pada-ibu-post-operasi-sectio