Anda di halaman 1dari 68

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.   Konsep Asuhan Keperawatan Pada Lansia

Pengkajian keperawatan pada lansia adalah tahap pertama dari proses

keperawatan. Tahap ini adalah tahap penting dalam rangkaian proses

keperawatan. Pada tahap pengkajian akan didapatkan berbagai informasi

yang dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan masalah

keperawatan pada lansia. Keberhasilan dalam melakukan pengkajian

keperawatan merupakan hal penting untuk tahapan proses keperawatan

selanjutnya.

A. Defenisi Pengkajian Keperawatan Lansia

Pengkajian keperawatan pada lansia adalah suatu tindakan peninjauan

situasi lansia untuk memperoleh data dengan maksud menegaskan

situasi penyakit, diagnosis masalah, penetapan kekuatan dan kebutuhan

promosi kesehatan lansia. Data yang dikumpulkan mencakup data

subyektif dan data obyektif meliputi data bio, psiko, sosial, dan spiritual,

data yang berhubungan dengan masalah lansia serta data tentang

faktor-faktor yang mempengaruhi atau yang berhubungan dengan

masalah kesehatan lansia seperti data tentang keluarga dan lingkungan

yang ada.

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengkajian pada Lansia

a) Interelasi (saling keterkaitan) antara aspek fisik dan psikososial:

terjadi penurunan kemampuan mekanisme terhadap stres, masalah

psikis meningkat dan terjadi perubahan pada fisik lansia.

b) Adanya penyakit dan ketidakmampuan status fungsional.

9
c) Hal-hal yang perlu diperhatikan saat pengkajian, yaitu: ruang yang

adekuat, kebisingan minimal, suhu cukup hangat, hindari cahaya

langsung, posisi duduk yang nyaman, dekat dengan kamar mandi,

privasi yang mutlak, bersikap sabar, relaks, tidak tergesagesa, beri

kesempatan pada lansia untuk berpikir, waspada tanda-tanda

keletihan.

C. Data Perubahan Fisik, Psikologis, dan Psikososial

a) Perubahan Fisik Pengumpulan data dengan wawancara

1. Pandangan lanjut usia tentang kesehatan,

2. Kegiatan yang mampu di lakukan lansia,

3. Kebiasaan lanjut usia merawat diri sendiri,

4. Kekuatan fisik lanjut usia: otot, sendi, penglihatan, dan

pendengaran,

5. Kebiasaan makan, minum, istirahat/tidur, BAB/BAK,

6. Kebiasaan gerak badan/olahraga/senam lansia,

7. Perubahan-perubahan fungsi tubuh yang dirasakan sangat

bermakna,

8. Kebiasaan lansia dalam memelihara kesehatan dan

kebiasaan dalam minum obat.

Pengumpulaan data dengan pemeriksaan fisik : Pemeriksanaan

dilakukan dengan cara inspeksi, palpilasi, perkusi, dan

auskultasi untuk mengetahui perubahan sistem tubuh.

1) Pengkajian sistem persyarafan: kesimetrisan raut wajah,

tingkat kesadaran adanya perubahan-perubahan dari otak,

10
kebanyakan mempunyai daya ingatan menurun atau

melemah,

2) Mata: pergerakan mata, kejelasan melihat, dan ada tidaknya

katarak. Pupil: kesamaan, dilatasi, ketajaman penglihatan

menurun karena proses pemenuaan,

3) Ketajaman pendengaran: apakah menggunakan alat bantu

dengar, tinnitus, serumen telinga bagian luar, kalau ada

serumen jangan di bersihkan, apakah ada rasa sakit atau

nyeri ditelinga.

4) Sistem kardiovaskuler: sirkulasi perifer (warna, kehangatan),

auskultasi denyut nadi apical, periksa adanya

pembengkakan vena jugularis, apakah ada keluhan pusing,

edema.

5) Sistem gastrointestinal: status gizi (pemasukan diet,

anoreksia, mual, muntah, kesulitan mengunyah dan

menelan), keadaan gigi, rahang dan rongga mulut,

auskultasi bising usus, palpasi apakah perut kembung ada

pelebaran kolon, apakah ada konstipasi (sembelit), diare,

dan inkontinensia alvi.

6) Sistem genitourinarius: warna dan bau urine, distensi

kandung kemih, inkontinensia (tidak dapat menahan buang

air kecil), frekuensi, tekanan, desakan, pemasukan dan

pengeluaran cairan. Rasa sakit saat buang air kecil, kurang

minat untuk melaksanakan hubungan seks, adanya

kecacatan sosial yang mengarah ke aktivitas seksual.

11
7) Sistem kulit/integumen: kulit (temperatur, tingkat

kelembaban), keutuhan luka, luka terbuka, robekan,

perubahan pigmen, adanya jaringan parut, keadaan kuku,

keadaan rambut, apakah ada gangguan-gangguan umum.

8) Sistem muskuloskeletal: kaku sendi, pengecilan otot,

mengecilnya tendon, gerakan sendi yang tidak adekuat,

bergerak dengan atau tanpa bantuan/peralatan,

keterbatasan gerak, kekuatan otot, kemampuan melangkah

atau berjalan, kelumpuhan dan bungkuk.

b) Perubahan psikologis, data yang dikaji :

1) Bagaimana sikap lansia terhadap proses penuaan,

2) Apakah dirinya merasa di butuhkan atau tidak,

3) Apakah optimis dalam memandang suatu kehidupan,

4) Bagaimana mengatasi stres yang di alami,

5) Apakah mudah dalam menyesuaikan diri,

6) Apakah lansia sering mengalami kegagalan,

7) Apakah harapan pada saat ini dan akan datang,

8) Perlu di kaji juga mengenai fungsi kognitif: daya ingat,

proses pikir, alam perasaan, orientasi, dan kemampuan

dalam menyelesaikan masalah.

c) Perubahan sosial ekonomi, data yang dikaji:

1) Darimana sumber keuangan lansia,

2) Apa saja kesibukan lansia dalam mengisi waktu luang,

3) Dengan siapa dia tinggal,

4) Kegiatan organisasi apa yang diikuti lansia,

12
5) Bagaimana pandangan lansia terhadap lingkungannya,

6) Seberapa sering lansia berhubungan dengan orang lain di

luar rumah,

7) Siapa saja yang bisa mengunjungi,

8) Seberapa besar ketergantungannya,

9) Apakah dapat menyalurkan hobi atau keinginan dengan

fasilitas yang ada.

d) Perubahan spiritual, data yang dikaji :

1) Apakah secara teratur melakukan ibadah sesuai dengan

keyakinan agamanya,

2) Apakah secara teratur mengikuti atau terlibat aktif dalam

kegiatan keagamaan, misalnya pengajian dan penyantunan

anak yatim atau fakir miskin.

3) Bagaimana cara lansia menyelesaikan masalah apakah

dengan berdoa,

4) Apakah lansia terlihat tabah dan tawakal.

C. Pengkajian Khusus pada Lansia : Pengkajian Status Fungsional,

pengkajian status kognitif.

a. Pengkajian Status Fungsional dengan pemeriksaan Index Katz

Tabel 1 : Pemeriksaan kemandirian lansia dengan Index Katz

Skor Kriteria
A Kemandirian dalam hal makan, minum, berpindah, ke kamar
kecil, berpakaian dan mandi
B Kemandirian dalam aktivitas hidup sehari-hari, kecuali satu
dari fungsi tersebut
C Kemandirian dalam aktivitas hidup sehari-hari, kecuali mandi
dan satu fungsi tambahan
D Kemandirian dalam aktivitas hidup sehari-hari, kecuali
mandi, berpakaian dan satu fungsi tambahan
E Kemandirian dalam aktivitas hidup sehari-hari, kecuali

13
mandi, berpakaian, ke kamar kecil dan satu fungsi tambahan
F Kemandirian dalam aktivitas hidup sehari-hari, kecuali
berpakaian, ke kamar kecil, dan satu fungsi tambahan
G Kemandirian dalam aktivitas hidup sehari-hari, kecuali mandi
dan satu fungsi tambahan
Lain Tergantung pada sedikitnya dua fungsi, tetapi tidak dapat
-lain diklasifikasikan sebagai C, D, E atau F
Tabel 1 iIndex Katz di atas untuk mencocokkan kondisi lansia
dengan skor yang diperoleh.

b. Pengkajian status kognitif

1) SPMSQ (Short Portable Mental Status Questionaire) adalah

penilaian fungsi intelektual lansia.

Tabel 2. Penilaian SPMSQ

Benar Salah No Pertanyaan


01 Tanggal berapa hari ini ?
02 Hari apa sekarang ?
03 Apa nama tempat ini?
04 Dimana alamat anda?
05 Berapa umur anda ?
06 Kapan anda lahir ? (Minimal tahun)
07 Siapa presiden Indonesia sekarang ?
08 Siapa presiden Indonesia sebelumnya ?
09 Siapa nama Ibu anda?
10 Kurangi 3 dari 20 dan tetap pengurangan 3
dari setiap angka baru, semua secara
menurun.
Total Nilai :

2) MMSE (Mini Mental State Exam): menguji aspek kognitif dari

fungsi mental, orientasi, registrasi, perhatian dan kalkulasi,

mengingat kembali dan bahasa

Tabel 3. Penilaian MMSE

Nilai Maksimum Pasien Pertanyaan


Orientasi
5 Tahun, musim, tgl, hari, bulan, apa
sekarang? Dimana kita (negara bagian,
wilayah, kota ) di RS mana ? ruang apa
5
Registasi

14
3 Nama 3 obyek (1 detik untuk
mengatakan masingmasing) tanyakan
pada lansia ke 3 obyek setelah Anda
katakan. Beri point untuk jawaban
benar, ulangi sampai lansia mempelajari
ke 3 nya dan jumlahkan skor yang telah
dicapai
Perhatian dan Kalkulasi
5 Pilihlah kata dengan 7 huruf, misal kata
“panduan”, berhenti setelah 5 huruf,
beri 1 point tiap jawaban benar,
kemudian dilanjutkan, apakah lansia
masih ingat huruf lanjutannya)
Mengingat
3 Minta untuk mengulangi ke 3 obyek di
atas, beri 1 point untuk tiap jawaban
benar
Bahasa
9 Nama pensil dan melihat (2 point)
30

2.1.2. Diagnosa Menurut PPNI

SDKI Kategori Sub Kategori Kode


Perfusi Perifer Tidak Efektif Fisiologis Sirkulasi D.0009

Ketidakstabilan Kadar Fisiologis Nutrisi dan cairan D.0027


Glukosa Darah

Gangguan Eliminasi Urin Fisiologis Eliminasi D.0040


Gangguan Pola Tidur Fisiologis Aktivitas dan D.0055
Istirahat
Intoleransi Aktivitas Fisiologis Aktivitas dan D.0056
Istirahat
Gangguan Rasa Nyaman Psikologis Nyeri dan D.0074
Kenyamanan
Defisit Pengetahuan Perilaku Penyuluhan dan D.0111
Pembelajaran

2.1.3. Intervensi

Menurut Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018) bahwa intervensi


keperawatan pada diabetes melitus adalah:

2.1 Tebel Intervensi Keperawatan


No SDKI SLKI SIKI
1 Perfusi Perifer Setelah dilakukan Perawatan Sirkulasi

15
Tidak Efektif tindakan keperawatan Observasi:
3x24 jam diharapkan  Periksa sirkulasi perifer
perfusi perifer meningkat  Identifikasi faktor risiko
dengan kriteria hasil: gangguan sirkulasi
 Warna kulit pucat  Monitor panas, kemerahan, nyeri,
menurun (5) atau bengkak pada ekstremitas
 Edema perifer menurun Terapeutik
(5)  Hindari pemasangan infus atau
 Kelemahan otot pengambilan darah di area
menurun (5) keterbatasan perfusi
 Pengisian kapiler  Hindari pengukuran tekanan
membaik (5) darah pada ekstremitas dengan
 Akral membaik (5) keterbatasan perfusi
 Turgor Kulit membaik  Hindari penekanan dan
(5) pemasangan torniquet pada area
yang cedera
 Lakukan pencegahan infeksi
 Lakukan hidrasi
Edukasi
 Anjurkan berhenti merokok
 Anjurkan berolahraga rutin
 Anjurkan menggunakan obat
penurun tekanan darah,
antikoagulan, dan penurun
kolestrol, jika perlu
2 Ketidakstabilan Setelah dilakukan Observasi
Kadar Glukosa tindakan keperawatan  Identifkasi kemungkinan
Darah 3x24 jamdiharapkan penyebab hiperglikemia
kadar glukosa darah  Identifikasi situasi yang
berada pada rentang menyebabkan kebutuhan insulin
normal dengn kriteria meningkat (mis. penyakit
hasil: kambuhan)
 Kesadaran meningkat  Monitor kadar glukosa darah, jika
(5) perlu
 Mengantuk menurun  Monitor tanda dan gejala
(5) hiperglikemia (mis. poliuri,
 Pusing menurun (5) polidipsia, polivagia, kelemahan,
 Lelah/lesu menurun (5) malaise, pandangan kabur, sakit
 Rasa lapar menurun (5) kepala)
 Mulut kering menurun  Monitor intake dan output cairan
(5)  Monitor keton urine, kadar
 Rasa haus menurun (5) analisa gas darah, elektrolit,
 Kadar glukosa dalam tekanan darah ortostatik dan
urine membaik (5) frekuensi nadi
 Jumlah urine membaik Terapeutik

16
(5)  Berikan asupan cairan oral
 Konsultasi dengan medis jika
tanda dan gejala hiperglikemia
tetap ada atau memburuk
 Fasilitasi ambulasi jika ada
hipotensi ortostatik
Edukasi
 Anjurkan olahraga saat kadar
glukosa darah lebih dari 250
mg/dL
 Anjurkan monitor kadar glukosa
darah secara mandiri
 Anjurkan kepatuhan terhadap
diet dan olahraga
 Ajarkan indikasi dan pentingnya
pengujian keton urine, jika perlu
 Ajarkan pengelolaan diabetes
(mis. penggunaan insulin, obat
oral, monitor asupan cairan,
penggantian karbohidrat, dan
bantuan professional kesehatan)
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian insulin,
jika perlu
 Kolaborasi pemberian cairan IV,
jika perlu
 Kolaborasipemberian kalium,
jika perlu
3 Gangguan Setelah dilakukan Manajemen Eliminasi Urin
Eliminasi Urin tindakan keperawatan Observasi:
3x24 jampengosongan  Identifikasi tanda dan gejala
kandung kemih yang retensi atau inkontinensia urin
lengkap membaik  Identifikasi faktor yang
dengan kriteria hasil: menyebabkan retensi atau
 Sensasi berkemih inkontinensia urin
meningkat (5)  Monitor eliminasi urin
 Desakan Terapeutik:
berkemihmenurun (5)  Catat waktu-waktu haluaran
 Distensi kandung berkemih
kemihmenurun (5)  Batasi asupan cairan, jika perlu
 Disurismenurun (5)  Ambil sampel urin tengah
Edukasi
 Ajarkan tanda dan gejala infeksi
saluran kemih
 Ajarkan mengukur asupan

17
cairan dan haluaran urin
 Anjurkan minum yang cukup
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian obat
suppositoria, jika perlu
4 Gangguan Pola Setelah dilakukan Dukungan Tidur
Tidur tindakan keperawatan Observasi:
3x24 jam diharapkan  Identifikasi pola aktivitas dan
pola tidur membaik tidur
dengan kriteria hasil:  Identifikasi faktor pengganggu
 Keluhan sulit tidur tidur (fisik dan/atau psikologis)
meningkat (5)  Identifikasi makanan dan
 Keluhan sering terjaga minuman yang mengganggu tidur
meningkat (5) (mis. kopi, teh, alkohol, makanan
 Keluhan tidak puas mendekati waktu tidur, minum
tidur meningkat (5) banyak air sebelum tidur)
 Keluhan pola tidur  Identifikasi obat tidur yang
berubah meningkat (5) dikonsumsi
 Keluhan istirahat tidak Terapeutik:
cukup meningkat (5)  Modifikasi lingkungan (mis.
pencahayaan, kebisingan, suhu,
matras, dan tempat tidur)
 Batasi waktu tidur siang, jika
perlu
 Fasilitasi menghilangkan stres
sebelum tidur
 Tetapkan jadwal tidur rutin
 Lakukan prosedur untuk
meningkatkan kenyamanan (mis.
pijat, pengaturan posisi, terapi
akupresur)
 Sesuaikan jadwal pemberian obat
dan/atau tindakan untuk
menunjang siklus tidur-terjaga
Edukasi
 Jelaskan pentingnya tidur cukup
selama sakit
 Anjurkan menepati kebiasaan
waktu tidur
 Anjurkan menghindari
makanan/minuman yang
mengganggu tidur
 Anjurkan penggunaan obat tidur
yang tidak mengandung supresor
terhadap tidur REM

18
 Ajarkan faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap gangguan
pola tidur (mis. psikologis: gaya
hidup, sering berubah shift
bekerja)
 Ajarkan relaksasi otot autogenik
atau cara nonfarmakologi lainnya
5 Intoleransi Setelah dilakukan Manajemen Energi
Aktivitas tindakan keperawatan Observasi:
3x24 jam diharapkan  Identifikasi gangguan fungsi
toleransi aktivitas tubuh yang mengakibatkan
meningkat dengan kelelahan
kriteria hasil:  Monitor pola dan jam tidur
 Kemudahan dalam  Monitor kelelahan fisik dan
melakukan aktivitas emosional
sehari-hari meningkat Edukasi
(5)  Anjurkan tirah baring
 Kekuatan tubuh bagian  Anjurkan melakukan aktivitas
atas dan bawah secara bertahap
meningkat (5) Terapeutik:
 Keluhan lelah menurun  Sediakan lingkungan nyaman dan
(5) rendah stimulus
 Dispnea saat aktivitas  Lakukan latihan rentang gerak
menurun (5) pasif dan/atau aktif
 Berikan aktivitas distraksi yang
menenangkan
 Fasilitasi duduk di sisi tempat
tidur, jika tidak dapat berpindah
atau berjalan
Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara meningkatkan
asupan makanan
6 Gangguan Rasa Setelah dilakukan Terapi Relaksasi
Nyaman tindakan keperawatan Observasi:
3x24 jam diharapkan  Identifikasi penurunan tingkat
status kenyamanan energi, ketidakmampuan
meningkat dengan berkonsentrasi, atau gejala lain
kriteria hasil: yang mengganggu kemampuan
 Keluhan tidak nyaman kognitif
membaik (5)  Identifikasi teknik relaksasi yang
 Gelisah membaik (5) pernah efektif digunakan
 Keluhan sulit tidur  Periksa ketegangan otot,
membaik (5) frekuensi nadi, tekanan darah,
 Lelah membaik (5) dan suhu sebelum dan sesudah

19
 Postur tubuh menurun latihan
(5) Terapeutik
 Ciptakan lingkungan tenang, dan
tanpa gangguan dengan
pencahayaan dan suhu ruang
nyaman, jika memungkinkan
 Berikan informasi tertulis tentang
persiapan dan prosedur teknik
relaksasi
 Gunakan relaksasi sebagai
strategi penunjang dengan
analgetik atau tindakan medis
lain, jika sesuai
Edukasi
 Jelaskan tujuan, manfaat, batasan,
dan jenis relaksasi yang
tersedia(mis. Musik, meditasi,
napas dalam, relaksasi otot
progresif)
 Anjurkan mengambil posisi yang
nyaman
 Anjurkan sering mengulangi atau
melatih teknik yang dipilih
7 Defisit Setelah dilakukan Edukasi Kesehatan
Pengetahuan tindakan keperawatan Observasi:
3x24 jam diharapkan  Identifikasi kesiapan dan
tingkat pengetahuan kemampuan menerima informasi
membaik dengan kriteria  Identifikasi faktor-faktor yang
hasil: dapat meningkatkan dan
 Perilaku sesuai anjuran menurunkan motivasi perilaku
meningkat (5) perilaku hidup bersih dan sehat
 Kemampuan Terapeutik:
menjelaskan  Sediaakan materi dan media
pengetahuan suatu pendidikan kesehatan
topik menurun (5)  Jadwalkan pendidikan kesehatan
 Pertanyaan tentang sesuai kesepakatan
masalah yang dihadapi  Berikan kesempatan untuk
menurun (5) bertanya
 Persepsi yang keliru Edukasi
terhadap masalah  Jelaskan faktor risiko yang dapat
menurun (5) mempengaruhi kesehatan
 Menjalani pemeriksaan  Ajarkan perilaku hidup bersih dan
yang tidak tepat sehat
menurun (5)  Ajarkan strategi yang dapat
 Perilaku menurun (5) digunakan untuk meningkatkan

20
perilaku hidup bersih dan sehat
8 Risiko Disfungsi Setelah dilakukan Edukasi Seksualitas
Seksual tindakan keperawatan Observasi:
3x24 jam diharapkan  Identifikasi kesiapan dan
fungsi seksual membaik kemampuan menerima informasi
dengan kriteria hasil: Terapeutik:
 Kepuasan hubungan  Sediakan materi dan media
seksual meningkat (5 pendidikan kesehatan
 Verbalisai aktivitas  Jadwal pendidikan kesehatan
seksual berubah sesuai kesepakatan
menurun (5  Baerikan kesempatan untuk
 Verbalisasi peran bertanya
seksual berubah  Fasilitasi kesadaran keluarga
menurun (5 terhadap anak dan remaja serta
 Verbalisasi fungsi pengaruh media
seksual berubah Edukasi
menurun (5  Jelaskan anatomi dan fisiologi
 Keluhan nyeri saat system reproduksi laki-laki dan
berhubungan seksual perempuan
(dispareunia) menurun  Jelaskan perkembangan
(5 seksualitas sepanjang siklus
 Hasrat seksual kehidupan
membaik (5)  Jelaskan perkembangan emosi
 Orientasi seksual masa anak dan remaja
membaik (5)  Jelaskan pengaruh tekana
kelompok dan social terhadap
aktivitas seksual
 Jelaskan konsekuensi negative
mengasuh anak pada usia dini
(mis.kemiskinan, kehilangan
karis dan pendidikan)
 Jelaskan risiko tertular penyakit
menular seksual dan AIDS akibat
seks bebas
 Anjurkan orang tua menjadi
educator seksualitas bagi anak-
anaknya
 Anjurkan anak/remaja tidak
melakukan aktivitas seksual
diluar nikah
 Ajarkan keterampilan komunikasi
asertif untuk menolak tekanan
teamn sebaya dan social dalam
aktivitas seksual
Sumber: Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018)

21
2.1.4. Implementasi

A. Pengerttian Perencanaan Keperawatan Gerontik

Perencanaan keperawatan gerontik adalah suatu proses penyusunan

berbagai intervensi keperawatan yang berguna untuk untuk mencegah,

menurunkan atau mengurangi masalah-masalah lansia.

B. Prioritas Masalah Keperawatan

Penentuan prioritas diagnosis ini dilakukan pada tahap perencanaan

setelah tahap diagnosis keperawatan. Dengan menentukan diagnosis

keperawatan, maka perawat dapat mengetahui diagnosis mana yang

akan dilakukan atau diatasi pertama kali atau yang segera dilakukan.

Terdapat beberapa pendapat untuk menentukan urutan prioritas, yaitu:

a. Berdasarkan tingkat kegawatan (mengancam jiwa) Penentuan

prioritas berdasarkan tingkat kegawatan (mengancam jiwa) yang

dilatarbelakangi oleh prinsip pertolongan pertama, dengan membagi

beberapa prioritas yaitu prioritas tinggi, prioritas sedang dan prioritas

rendah.

1) Prioritas tinggi: Prioritas tinggi mencerminkan situasi yang

mengancam kehidupan (nyawa seseorang) sehingga perlu

dilakukan terlebih dahulu seperti masalah bersihan jalan napas

(jalan napas yang tidak effektif).

2) Prioritas sedang: Prioritas ini menggambarkan situasi yang tidak

gawat dan tidak mengancam hidup klien seperti masalah higiene

perseorangan.

22
3) Prioritas rendah: Prioritas ini menggambarkan situasi yang tidak

berhubungan langsung dengan prognosis dari suatu penyakit yang

secara spesifik, seperti masalah keuangan atau lainnya.

b. Berdasarkan kebutuhan Maslow

Maslow menentukan prioritas diagnosis yang akan direncanakan

berdasarkan kebutuhan, diantaranya kebutuhan fisiologis

keselamatan dan keamanan, mencintai dan memiliki, harga diri dan

aktualisasi diri. Untuk prioritas diagnosis yang akan direncanakan,

Maslow membagi urutan tersebut berdasarkan kebutuhan dasar

manusia, diantaranya:

1) Kebutuhan fisiologis Meliputi masalah respirasi, sirkulasi, suhu,

nutrisi, nyeri, cairan, perawatan kulit, mobilitas, dan eliminasi.

2) Kebutuhan keamanan dan keselamatan Meliputi masalah

lingkungan, kondisi tempat tinggal, perlindungan, pakaian, bebas

dari infeksi dan rasa takut.

3) Kebutuhan mencintai dan dicintai Meliputi masalah kasih sayang,

seksualitas, afiliasi dalam kelompok antar manusia.

4) Kebutuhan harga diri Meliputi masalah respect dari keluarga,

perasaaan menghargi diri sendiri.

5) Kebutuhan aktualisasi diri Meliputi masalah kepuasan terhadap

lingkungan.

C. Penentuan Tujuan dan Hasil Yang Di Harapkan

Tujuan merupakan hasil yang ingin dicapai untuk mengatasi masalah

diagnosis keperawatan, dengan kata lain tujuan merupakan sinonim

kriteria hasil (hasil yang diharapkan) yang mempunyai komponen sebagai

23
berikut: S (subyek) P (predikat) K (kriteria) K (kondisi) W (waktu), dengan

penjabaran sebagai berikut:

S : Perilaku lansia yang diamati.

P : Kondisi yang melengkapi lansia.

K:Kata kerja yang dapat diukur atau untuk menentukan tercapainya

tujuan.

K : Sesuatu yang menyebabkan asuhan diberikan.

W : Waktu yang ingin dicapai.

Kriteria hasil (hasil yang diharapkan) merupakan standard evaluasi

yang merupakan gambaran faktor-faktor yang dapat memberi petunjuk

bahwa tujuan telah tercapai. Kriteria hasil ini digunakan dalam membuat

pertimbangan dengan cirri-ciri sebagai berikut: setiap kriteria hasil

berhubungan dengan tujuan yang telah ditetapkan, hasil yang ditetapkan

sebelumnya memungkinkan dicapai, setiap kriteria hasil adalah

pernyataan satu hal yang spesifik, harus sekongkrit mungkin untuk

memudahkan pengukuran, kriteria cukup besar atau dapat diukur,

hasilnya dapat dilihat, didengar dan kriteria menggunakan kata-kata

positif bukan menggunakan kata negatif.

Contoh: gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pada lansia

teratasi dengan kriteria hasil berat badan seimbang, porsi makan habis;

setelah dilaksanakan asuhan keperawatan selama 7 hari,

D. Rencana Tindakan

Setelah menetapkan tujuan, kegiatan berikutnya adalah menyusun

rencana tindakan. Berikut ini dijelaskan rencana tindakan beberapa

masalah keperawatan yang lazim terjadi pada lansia.

24
a. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi

Penyebab gangguan nutrisi pada lansia adalah penurunan alat

penciuman dan pengecapan, pengunyahan kurang sempurna, gigi

tidak lengkap, rasa penuh pada perut dan susah buang air besar,

otot-otot lambung dan usus melemah. Rencana makanan untuk

lansia :

1) Berikan makanan sesuai dengan kalori yang dibutuhkan,

2) Banyak minum dan kurangi makanan yang terlalu asin,

3) Berikan makanan yang mengandung serat,

4) Batasi pemberian makanan yang tinggi kalori,

5) Batasi minum kopi dan teh.

b. Gangguan keamanan dan keselamatan lansia :

Penyebab kecelakaan pada lansia :

1) Fleksibilitas kaki yang berkurang.

2) Fungsi pengindraan dan pendengaran menurun.

3) Pencahayaan yang berkurang.

4) Lantai licin dan tidak rata.

5) Tangga tidak ada pengaman.

6) Kursi atau tempat tidur yang mudah bergerak.

Tindakan mencegah kecelakaan :

1) Anjurkan lansia menggunakan alat bantu untuk meningkatkan

keselamatan.

2) Latih lansia untuk pindah dari tempat tidur ke kursi.

3) Biasakan menggunakan pengaman tempat tidur jika tidur.

25
4) Bila mengalami masalah fisik misalnya reumatik, latih klien

untuk menggunakan alat bantu berjalan.

5) Bantu klien kekamar mandi terutama untuk lansia yang

menggunakan obat penenang/deuretik.

6) Anjurkan lansia memakai kaca mata jika berjalan atau

melakukan sesuatu.

7) Usahakan ada yang menemani jika berpergian.

8) Tempatkan lansia diruangan yang mudah dijangkau.

9) Letakkan bel didekat klien dan ajarkan cara penggunaannya.

10). Gunakan tempat tidur yang tidak terlalu tinggi.

11) Letakkan meja kecil didekat tempat tidur agar lansia

menempatkan alat-alat yang biasa digunakannya.

12) Upayakan lantai bersih, rata dan tidak licin/basah.

13) Pasang pegangan dikamar mandi/WC

14) Hindari lampu yang redup/menyilaukan, sebaiknya gunakan

lampu 70-100 watt.

15) Jika pindah dari ruangan terang ke gelap ajarkan lansia untuk

memejamkan mata sesaat.

c. Gangguan kebersihan diri Penyebab kurangnya perawatan diri

pada lansia adalah :

1) Penurunan daya ingat,

2) Kurangnya motivasi,

3) Kelemahan dan ketidak mampuan fisik.

Rencana tindakan untuk kebersihan diri, antara lain :

1) Bantu lansia untuk melakukan upaya kebersihan diri,

26
2) Anjurkan lansia untuk menggunakan sabun lunak yang

mengandung minyak atau berikan skin lotion

3) Ingatkan lansia untuk membersihkan telinga dan mata,

4) Membantu lansia untuk menggunting kuku.

d. Gangguan istirahat tidur Rencana tindakannya, antara lain :

1) Sediakan tempat tidur yang nyaman,

2) Mengatur waktu tidur dengan aktivitas sehari-hari,

3) Atur lingkungan dengan ventilasi yang cukup, bebas dari bau-

bauan,

4) Latih lansia dengan latihan fisik ringan untuk memperlancar

sirkulasi darah dan melenturkan otot (dapat disesuaikan dengan

hobi),

5) Berikan minum hangat sebelum tidur, misalnya susu hangat.

e. Gangguan hubungan interpersonal melalui komunikasi

Rencana tindakan yang dilakukan antara lain :

1) Berkomunikasi dengan lansia dengan kontak mata,

2) Mengingatkan lansia terhadap kegiatan yang akan dilakukan,

3) Menyediakan waktu berbincang-bincang untuk lansia,

4) Memberikan kesempatan lansia untuk mengekspresikan atau

perawat tanggap terhadap respon verbal lansia,

5) Melibatkan lansia untuk keperluan tertentu sesuai dengan

kemampuan lansia,

6) Menghargai pendapat lansia

f. Masalah mekanisme pertahanan diri (Koping)

Rencana tindakan yang dilakukan :

27
1) Dorong aktifitas sosial dan komunitas,

2) Dorong lansia untuk mengembangkan hubungan,

3) Dorong lansia berhubungan dengan seseorang yang memiliki

tujuan dan ketertarikan yang sama,

4) Dukung lansia untuk menggunakan mekanisme pertahanan

yang sesuai,

5) Kenalkan lansia kepada seseorang yang mempunyai latar

belakang pengalaman yang sama.

g. Masalah cemas

Rencana tindakan yang dilakukan adalah

1) Bantu lansia mengidentifikasi situasi yang mempercepat

terjadinya cemas,

2) Dampingi lansia untuk meningkatkan kenyamanan diri dan

mengurangi ketakutan,

3) Identifikasi kondisi yang menyebabkan perubahan tingkat

cemas,

4) Latih klien untuk teknik relaksasi.

Pelaksanaan

Pelaksanaan tindakan merupakan langkah keempat dalam tahap proses

keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan

keperawatan), strategi ini terdapat dalam rencana tindakan keperawatan. Tahap

ini perawat harus mengetahui berbagai hal, diantaranya bahaya-bahaya fisik dan

pelindungan pada lansia, teknik komunikasi, kemampuan dalam prosedur

tindakan, pemahaman tentang hak-hak dari lansia dan memahami tingkat

28
perkembangan lansia. Pelaksanaan tindakan gerontik diarahkan untuk

mengoptimalkan kondisi lansia agar mampu mandiri dan produktif

A. Pengertian Tindakan Keperawatan Gerontik

Tindakan keperawatan gerontik adalah realisasi rencana tindakan untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

B. Cara Mempertahankan Kemampuan Aktifitas Sehari-hari Pada Lansia

Strategi mempertahankan kebutuhan aktifitas pada lansia meliputi :

a. Exercise/olahraga bagi lansia sebagai individu/ kelompok Aktifitas fisik

adalah gerakan tubuh yang membutuhkan energi; seperti berjalan,

mencuci, menyapu dan sebagainya. Olah raga adalah aktifitas fisik yang

terencana dan terstruktur, melibatkan gerakan tubuh berulang yang

bertujuan untuk meningkatkan kebugaran jasmani Manfaat olah raga :

1) Meningkatkan kekuatan jantung sehingga sirkulasi darah

meningkat,

2) Menurunkan tekanan darah,

3) Meningkatkan keseimbangan dan koordinasi,

4) Mencegah jatuh & fraktur,

5) Memperkuat sistem imunitas,

6) Meningkatkan endorphin zat kimia di otak menurunkan nyeri

sehingga perasaan tenang & semangat hidup meningkat,

7) Mencegah obesitas,

8) Mengurangi kecemasan dan depresi,

9) Kepercayaan diri lebih tinggi,

10) Menurunkan risiko terjadinya penyakit kencing manis, hipertensi dan

jantung,

29
11) Memfasilitasi pemenuhan kebutuhan tidur,

12) Mengurangi konstipasi,

13) Meningkatkan kekuatan tulang, otot dan fleksibilitas.

Latihan senam aerobik adalah olah raga yang membuat jantung

dan paru bekerja lebih keras untuk memenuhi peningkatan kebutuhan

oksigen. Contoh: berjalan, berenang, bersepeda atau senam, dilakukan

sekurang-kurangnya 30 menit dengan intensitas sedang, dilakukan 5 kali

dalam seminggu, 20 menit dengan intensitas tinggi dilakukan 3 kali dalam

seminggu, kombinasi 20 menit intensitas tinggi dalam 2 hari dan 20 menit

intensitas sedang dalam 2 hari.

Latihan penguatan otot adalah aktifitas yang memperkuat dan

menyokong otot dan jaringan ikat. Latihan dirancang supaya otot mampu

membentuk kekuatan untuk menggerakkan dan menahan beban seperti

aktivitas yang melawan gravitasi (gerakan berdiri dari kursi, ditahan

beberapa detik dan dilakukan berulang-ulang). Penguatan otot dilakukan

2 hari dalam seminggu dengan istirahat untuk masing-masing sesi dan

untuk masing-masing kekuatan otot. Fleksibilitas dan latihan

keseimbangan adalah aktifitas untuk membantu mempertahankan

rentang gerak sendi (ROM) yang diperlukan untuk melakukan aktifitas

fisik dan tugas sehari-hari secara teratur.

c. Terapi Aktifitas Kelompok Terapi aktivitas pada lansia sebagai

individu/kelompok dengan indikasi tertentu. Terapi aktivitas kelompok

(TAK) merupakan terapi yang dilakukan atas kelompok penderita

bersama-sama dengan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau

diarahkan oleh seseorang terapis.

30
Tujuan dari terapi aktivitas kelompok :

1) Mengembangkan stimulasi persepsi,

2) Mengembangkan stimulasi sensoris,

3) Mengembangkan orientasi realitas,

4) Mengembangkan sosialisasi.

Jenis Terapi Aktivitas Kelompok pada Lansia

a) Stimulasi Sensori (Musik) Musik dapat berfungsi sebagai ungkapan perhatian,

kualitas dari musik yang memiliki andil terhadap fungsi-fungsi dalam

pengungkapan perhatian terletak pada struktur dan urutan matematis yang

dimiliki. Lansia dilatih dengan mendengarkan musik terutama musik yang

disenangi.

b) Stimulasi Persepsi Klien dilatih mempersepsikan stimulus yang disediakan

atau stimulus yang pernah dialami. Proses ini diharapkan mengembangkan

respon lansia terhadap berbagai stimulus dalam kehidupan dan menjadi

adaptif. Aktifitas berupa stimulus dan persepsi. Stimulus yang disediakan:

seperti membaca majalah, menonton acara televisie. Stimulus dari

pengalaman masa lalu yang menghasilkan proses persepsi lansia yang mal

adaptif atau destruktif, misalnya kemarahan dan kebencian.

c) Orientasi Realitas Lansia diorientasikan pada kenyataan yang ada disekitar

klien, yaitu diri sendiri, orang lain yang ada disekeliling klien atau orang yang

dekat dengan klien, dan lingkungan yang pernah mempunyai hubungan

dengan klien. Demikian pula dengan orientasi waktu saat ini, waktu yang

lalu, dan rencana ke depan. Aktifitasnya dapat berupa : orientasi orang,

waktu, tempat, benda yang ada disekitar dan semua kondisi nyata.

31
d) Sosialisasi Klien dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang

ada disekitar klien. Sosialisasi dapat pula dilakukan secara bertahap dari

interpersonal (satu per satu), kelompok, dan massa. Aktifitas dapat berupa

latihan sosialisasi dalam kelompok. Tahap Terapi Aktivitas Kelompok

1) Pre kelompok Dimulai dengan membuat tujuan, merencanakan, siapa yang

menjadi pemimpin, anggota, dimana, kapan kegiatan kelompok tersebut

dilaksanakan, proses evaluasi pada anggota dan kelompok, menjelaskan

sumber-sumber yang diperlukan kelompok (biaya dan keuangan jika

memungkinkan, proyektor dan lain-lain).

2) Fase awal Pada fase ini terdapat 3 kemungkinan tahapan yang terjadi, yaitu

orientasi, konflik atau kebersamaan.

3) Orientasi. Anggota mulai mengembangkan system sosial masing – masing,

dan leader mulai menunjukkan rencana terapi dan mengambil kontak

dengan anggota.

4) Konflik Merupakan masa sulit dalam proses kelompok, anggota mulai

memikirkan siapa yang berkuasa dalam kelompok, bagaimana peran

anggota, tugasnya dan saling ketergantungan yang akan terjadi.

5) Fase kerja Pada tahap ini kelompok sudah menjadi tim. Perasaan positif dan

nengatif dikoreksi dengan hubungan saling percaya yang telah dibina,

bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah disepakati, kecemasan

menurun, kelompok lebih stabil dan realistik, mengeksplorasikan lebih jauh

sesuai dengan tujuan dan tugas kelompok, dan penyelesaian masalah yang

kreatif.

32
6) Fase terminasi Ada dua jenis terminasi (akhir dan sementara). Anggota

kelompok mungkin mengalami terminasi premature, tidak sukses atau

sukses.

C. Latihan Kognitif

a. Latihan kemampuan sosial meliputi; melontarkan pertanyaan, memberikan

salam, berbicara dengan suara jelas, menghindari kiritik diri atau orang lain

b. Aversion therapy: terapi ini menolong menurunkan frekuensi perilaku yang

tidak diinginkan tetapi terus dilakukan. Terapi ini memberikan stimulasi yang

membuat cemas atau penolakan pada saat tingkah laku maladaptif

dilakukan klien.

c. Contingency therapy: Meliputi kontrak formal antara klien dan terapis tentang

definisi perilaku yang akan dirubah atau konsekuensi terhadap perilaku jika

dilakukan. Meliputi konsekuensi positif untuk perilaku yang diinginkan dan

konsekuensi negatif untuk perilaku yang tidak diinginkan.

2.1.5. Evaluasi

Tahap penilaian atau evaluasi adalah tahap akhir dari proses

keperawatan gerontik. Penilaian yang dilakukan dengan membandingkan

kondisi lansia dengan tujuan yang ditetapkan pada rencana. Evaluasi

dilaksanakan berkesinambungan dengan melibatkan lansia dan tenaga

kesehatan lainnya.

Menurut Craven dan Hirnle (2000) evaluasi didefinisikan sebagai

keputusan dari efektifitas asuhan keperawatan antara dasar tujuan

keperawatan yang telah ditetapkan dengan respon perilaku lansia yang

tampilkan. Penilaian dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam

melaksanakan rencana tindakan yang telah ditentukan, kegiatan ini untuk

33
mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur

hasil dari proses keperawatan.

Penilaian keperawatan adalah mengukur keberhasilan dari rencana,

dan pelaksanaan tindakan keperawatan dilakukan untuk memenuhi

kebutuhan lansia. Beberapa kegiatan yang harus diikuti oleh perawat,

antara lain:

1) Mengkaji ulang tujuan klien dan kriteria hasil yang telah ditetapkan,

2) Mengumpulkan data yang berhubungan dengan hasil yang diharapkan,

3) Mengukur pencapaian tujuan,

4) Mencatat keputusan atau hasil pengukuran pencapaian tujuan,

5) Melakukan revisi atau modifikasi terhadap rencana keperawatan bila

perlu.

Manfaat Evaluasi dalam keperawatan :

a. Menentukan perkembangan kesehatan klien,

b. Menilai efektifitas, efisiensi dan produktifitas asuhan keperawatan yang

diberikan,

c. Menilai pelaksanaan asuhan keperawatan,

d. Sebagai umpan balik untuk memperbaiki atau menyusun siklus baru

dalam proses keperawatan,

e. Menunjang tanggung gugat dan tanggung jawab dalam pelaksanaan

keperawatan.

Jenis Evaluasi menurut Ziegler, Voughan – Wrobel, & Erlen (1986, dalam

Craven & Hirnle, 2003), terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:

a. Evaluasi struktur

34
Evaluasi struktur difokuskan pada kelengkapan tata cara atau keadaan

sekeliling tempat pelayanan keperawatan diberikan. Aspek lingkungan

secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi dalam pemberian

pelayanan. Persediaan perlengkapan, fasilitas fisik, rasio perawat-

klien, dukungan administrasi, pemeliharaan dan pengembangan

kompetensi staf keperawatan dalam area yang diinginkan.

b. Evaluasi proses

Evaluasi proses berfokus pada penampilan kerja perawat, dan apakah

perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan merasa cocok,

tanpa tekanan, dan sesuai wewenang. Area yang menjadi perhatian

pada evaluasi proses mencakup jenis informasi yang didapat pada

saat wawancara dan pemeriksaan fisik, validasi dari perumusan

diagnosa keperawatan, dan kemampuan tehnikal perawat.

c. Evaluasi hasil

Evaluasi hasil berfokus pada respons dan fungsi klien. Respons

perilaku lansia merupakan pengaruh dari intervensi keperawatan dan

akan terlihat pada pencapaian tujuan dan kriteria hasil. Evaluasi

formatif dilakukan sesaat setelah perawat melakukan tindakan pada

lansia. Evaluasi hasil/sumatif: menilai hasil asuhan keperawatan yang

diperlihatkan dengan perubahan tingkah laku lansia setelah semua

tindakan keperawatan dilakukan.

Evaluasi ini dilaksanakan pada akhir tindakan keperawatan secara

paripurna. Hasil evaluasi yang menentukan apakah masalah teratasi,

teratasi sebagian, atau tidak teratasi, adalah dengan cara

35
membandingkan antara SOAP (Subjektive-ObjektiveAssesment-

Planning) dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan.

S (Subjective) adalah informasi berupa ungkapan yang didapat dari

lansia setelah tindakan diberikan.

O (Objective) adalah informasi yang didapat berupa hasil pengamatan,

penilaian, pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah

tindakan dilakukan.

A (Assessment) adalah membandingkan antara informasi subjective

dan objective dengan tujuan dan kriteria hasil, kemudian diambil

kesimpulan bahwa masalah teratasi, teratasi sebagian, atau tidak

teratasi.

P (Planning) adalah rencana keperawatan lanjutan yang akan

dilakukan berdasarkan hasil analisis.

Contoh:

S : Lansia mengatakan sudah menghabiskan makanannya

O : Porsi makan habis, berat badan naik, semula BB=51 kg menjadi 52

kg

A : Tujuan tercapai

P : Rencana keperawatan dihentikan

36
2.2. Konsep Dasar Penyakit Diabetes Mellitus

2.2.1 Definisi Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus adalah keadaan hiperglikemi kronik yang disertai

berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang

menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan

pembuluh darah. Diabetes mellitus klinis adalah sindroma gangguan

metabolisme dengan hiperglikemia yang tidak semestinya sebagai

akibat suatu defisiensi sekresi insulin atau berkurangnya efektifitas

biologis dari insulin atau keduanya (M. Clevo Rendy dan Margareth

Th, 2019).

2.2.2. Etiologi Diabetes Mellitus

Etiologi diabetes mellitus menurut M. Clevo Rendy dan Margareth Th, 2019

yaitu:

1) Diabetes mellitus tergantung insulin (DM tipe I)

1. Faktor genetik

Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi

mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah

terjadinya diabetes tipe I. Kecenderungan genetik ini ditentukan pada

individu yang memiliki tipe antigen HLA (Human Leucocyte Antigen)

tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab

atas antigen transplantasi oleh proses imun lainnya.

2. Faktor imunologi

37
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini

merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan

normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang

dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing.

3. Faktor lingkungan

Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel beta pankreas

sebagai contoh hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau

toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang dapat

menimbulkan destruksi sel beta pankreas. Faktor lingkungan diyakini

memicu perkembangan DM tipe I. Pemicu tersebut dapat berupa

infeksi virus (campak, rubela, atau koksakievirus B4) atau bahkan

kimia beracun, misalnya yang dijumpai di daging asap dan awetan.

Akibat pajanan terhadap virus atau bahan kimia, respon autoimun

tidak normal terjadi ketika antibody merespon sel beta islet normal

seakan-akan zat asing sehingga akan menghancurkannya (Priscilla

LeMone, dkk, 2016).

2) Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (DM tipe II)

Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, faktor

genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya

resistensi insulin. Resistensi ini ditingkatkan oleh kegemukan, tidak

beraktivitas, penyakit, obat-obatan dan pertambahan usia. Pada

kegemukan, insulin mengalami penurunan kemampuan untuk

mempengaruhi absorpsi dan metabolisme glukosa oleh hati, otot

rangka, dan jaringan adiposa. DM tipe II yang baru didiagnosis sudah

mengalami komplikasi.

38
Menurut Priscilla LeMone, dkk, 2016 adapun faktor-faktor resiko DM

tipe II yaitu:

1. Riwayat DM pada orang tua dan saudara kandung. Meski tidak

ada kaitan HLA yang terindentifikasi, anak dari penyandang DM

tipe II memiliki peningkatan resiko dua hingga empat kali

menyandang DM tipe II dan 30% resiko mengalami, intoleransi

aktivitas (ketidakmampuan memetabolisme karbihodrat secara

normal).

2. Kegemukan, didefinisikan kelebihan berat badan minimal 20%

lebih dari berat badan yang diharapkan atau memiliki indeks

massa tubuh (IMT) minimal 27 kg/m. Kegemukan, khususnya

viseral (lemak abdomen ) dikaitkan dengan peningkatan resistensi

insulin.

3. Tidak ada aktivitas fisik.

4. Ras/etnis.

5. Pada wanita, riwayat DM gestasional, sindrom ovarium polikistik

atau melahirkan bayi dengan berat lebih dari 4,5 kg.

6. Hipertensi (≥ 130/85 pada dewasa), kolesterol HDL ≥ 35 mg/dl dan

atau kadar trigliserida ≥ 250 mg/dl.

2.2.3. Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus

Seseorang dapat dikatakan menderita diabetes mellitus apabila

menderita dua dari tiga gejala yaitu:

a. Keluhan TRIAS: banyak minum, banyak kencing, dan penurunan berat

badan

b. Kadar glukosa darah pada waktu puasa lebih dari 120 mg/dl.

39
c. Kadar glukosa darah dua jam sesudah makan lebih dari 200 mg/dl

Keluhan yang sering terjadi pada penderita diabetes mellitus adalah

poliuria, polidipsi, polifagia, berat badan menurun, lemah, kesemutan

gatal, visus menurun, bisul/luka, keputihan (M. Clevo Rendy dan

Margareth Th, 2019).

Adapun manifestasi klinis DM menurut Priscilla LeMone, dkk 2016

yaitu:

1. Manifestasi klinis DM tipe I

Manifestasi DM tipe I terjadi akibat kekurangan insulin untuk

menghantarkan glukosa menembus membran sel ke dalam sel.

Molekul glukosa menumpuk dalam peredaran darah

mengakibatkan hiperglikemia. Hiperglikemia menyebabkan

hiperosmolaritas serum, yang menarik air dari ruangan intra

seluler ke dalam sirkulasi umum. Peningkatan volume darah

meningkatkan aliran darah ginjal dan hiperglikemia bertindak

sebagai diuretik osmosis. Diuretik osmosis yang dihasilkan

meningkatkan haluaran urin. Kondisi ini disebut poliuria. Ketika

kadar glukosa darah melebihi ambang batas glukosa biasanya

sekitar 180 mg/dL, glukosa dieksresikan ke dalam urin, suatu

yang disebut glukosuria. Penurunan volume intraseluer dan

peningkatan haluaran urine yang menyebabkan dehidrasi. Mulut

menjadi kering dan sensor haus diaktifkan yang menyebabkan

orang tersebut minum jumlah air yang banyak (polidipsia).

Karena glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel tanpa

insulin, produksi energi menurun. Penurunan energi sel

40
menstimulasi rasa lapar dan orang makan lebih banyak

(polifagia). Meski asupan makanan meningkat, berat badan

orang tersebut turun saat tubuh kehilangan air dan memecah

protein dan lemak sebagai upaya memulihkan sumber energi.

Malaise dan keletihan menyertai penurunan energi. Penglihatan

yang buram juga umum terjadi akibat pengaruh osmotik yang

menyebabkan pembengkakan lensa mata.

Oleh sebab itu, manifestasi klasik meliputi poliuria,

polidipsi, dan polifagia disertai dengan penurunan berat badan,

malaise, dan keletihan. Bergantung pada tingkat kekurangan

insulin, manifestasinya bervariasi dari ringan sampai berat.

Orang dengan DM tipe I membutuhkan sumber insulin untuk

mempertahankann hidup.

2. Manifestasi klinis DM tipe II

Penyandang DM tipe II mengalami awitan, manifetasi

yang lambat dan sering kali tidak menyadari penyakit sampai

mencari perawatan kesehatan untuk beberapa masalah lain.

Polifagia jarang dijumpain dan penurunan berat badan tidak

terjadi. Manifestasi lain juga akibat hiperglikemi, penglihatan

buram, keletihan, paratesia, dan infeksi kulit.

2.2.4. Klasifikasi Diabetes Mellitus

Klasifikasi diabetes mellitus dari National Diabetes Data Group

Classification and Diagnosis of Diabetes Mellitus and Other Categories of

Glucosa Intolerance.

1. Klasifikasi klinis

41
a) Diabetes Mellitus

1) Tipe tergantung insulin (DMTI), tipe I

2) Tipe tidak tergantung insulin (DMTTI), tipe II

b) Gangguan Toleransi Glukosa (GTG)

c) Diabetes Kehamilan (GDM)

2. Klasifikasi risiko statistik

a) Sebelumnya pernah menderita kelainan toleransi glukosa

b) Berpotensi menderita kelainan toleransi glukosa

Pada Diabetes mellitus tipe I sel-sel beta pankreas yang

secara normal menghasilkan hormon insulin dihancurkan oleh

proses autoimun, sebagai akibatnya penyuntikan insulin diperlukan

untuk mengendalikan kadar glukosa darah. Diabetes mellitus tipe I

ditandai oleh awitan mendadak yang biasanya terjadi pada usia 30

tahun. Diabetes mellitus tipe II terjadi akibat penurunan sensitivitas

terhadap insulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan jumlah

produksi insulin

2.2.5. Patofisiologi Diabetes Mellitus

Patofisiologi diabetes mellitus (Brunner &Suddarth, 2013)

a. DM tipe I

Pada diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan pankreas

menghasilkan insulin karena hancurnya sel-sel beta pankreas telah

dihancurkan dengan proses autoimun. Hiperglikemia puasa terjadi

42
akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Disamping itu,

glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati

meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia

postprandial (sesudah makan).

Jika konsenterasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak

dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar,

akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosaria). Ketika

glukosa yang berlebihan diekskresikan dalam urin, ekskresi ini akan

disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini

dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan

yang berlebihan, klien akan mengalami peningkatan dalam berkemih

(poliuria) dan rasa haus (polidipsia).

Defisiensi insulin juga menganggu metabolisme protein dan

lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Klien dapat

mengalami peningkatan selera makan (polifagia) akibat menurunnya

simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelemahan dan kelelahan.

Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenelisis

(pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukosaneogenesis

(pembentukan glukosa baru dari asam-asam amino serta substansi

lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi

tanpa hambatan dan lebih lanjut turut menimbulkan hiperglikemia. Di

samping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan

peningkatan produksi badan keton yang merupakan produksi samping

pemecahan lemak.

43
b. DM tipe II

Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang

berhubungan dengan insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan

sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus

pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor

tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di

dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan

penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak

efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk

mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa

dalam darah, harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan.

Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi

akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan

dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat.

Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi

peningkatan kebutuhan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat

dan terjadi diabetes tipe II.

Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri

khas diabetes tipe II, namun masih terdapat insulin yang mencegah

pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya.

Karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II

44
2.2.6. Pathway Diabetes Mellitus

Skema 2.1 Pathway penyakit DM Tipe II

2.2.7. Komplikasi Diabetes Mellitus

Menurut Priscilla LeMone, dkk, 2016 penyandang DM apapun

tipenya, berisiko tinggi mengalami komplikasi yang melibatkan banyak

sistem tubuh yang berbeda. Perubahan kadar glukosa darah, perubahan

sistem kardiovaskuler, neuropati, peningkatan kerentanan terhadap

infeksi, dan penyakit peridontal umum terjadi. Selain itu, interaksi dari

beberapa komplikasi dapat menyebabkan masalah kaki. Pembahasan

tiap komplikasi adalah sebagai berikut :

45
a) Akut

1. Hipoglikemia dan hiperglikemia.

2. Penyakit makrovaskuler: mengenai pembuluh darah besar, penyakit

jantung koroner (cerebrovaskuler, penyakit pembuluh darah kapiler).

3. Penyakit mikrovaskuler, mengenai pembuluh darah kecil, retinopati,

nefropati.

4. Neuropati saraf sensorik (berpengaruh pada ekstremitas), saraf

otonom berpengaruh pada gastrointestinal, kardiovaskuler.

b) Kompikasi menahun diabetes mellitus

1. Neuropati diabetik.

2. Retinopati diabetik.

3. Nefropati diabetik.

4. Proteinuria.

5. Kelainan koroner.

6. Ulkus/gangren.

Terdapat lima grade ulkus diabetikum antara lain:

1. Grade 0: tidak ada luka

2. Grade 1: kerusakan hanya sampai pada permukaan kulit.

3. Grade 2: kerusakan kulit mencapai otot dan tulang

4. Grade 3: terjadi abses

5. Grade 4: gangren pada kaki bagian distal

6. Grade 5: gangren pada seluruh kaki dan tungkai bawah distal

2.2.8. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus

46
Tujuan utama terapi DM adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin

dan kadar glukosa darah dalam upaya mengurangi terjadinya komplikasi

vaskuler serta neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe DM adalah

mencapai kadar glukosa darah normal (euglikemia), tanpa terjadi

hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas pasien. Ada lima

komponen dalam penatalaksanaan DM yaitu:

a. Diet

Syarat diet DM hendaknya dapat:

1. Memperbaiki kesehatan umum penderita.

2. Mengarahkan pada berat badan normal.

3. Menormalkan pertumbuhan DM dewasa muda.

4. Menekan dan menunda timbulnya penyakit angiopati diabetik.

5. Memberikan modifikasi diit sesuai dengan keadaan penderita.

Prinsip diet DM adalah:

1. Jumlah sesuai kebutuhan.

2. Jadwal diet ketat.

3. Jenis: boleh dimakan/tidak.

Diit DM sesuai dengan paket-paket yang telah disesuaikan dengan

kandungan kalorinya

1. Diit DM I: 1100 kalori

2. Diit DM II : 1300 kalori

3. Diit DM III: 1500 kalori

4. Diit DM IV: 1700 kalori

5. Diit DM V: 1900 kalori

6. Diit DM VI: 2100 kalori

47
7. Diit DM VII: 2300 kalori

8. Diit DM VIII: 2500 kalori

Diit I s/d III: diberikan kepada penderita yang terlalu gemuk.

Diit IV s/d V: diberikan kepada penderita dengan berat badan normal.

Diit VI s/d VIII: diberikan kepada penderita kurus, diabetes remaja dan

diabetes komplikasi.

Dalam melaksanaan diit diabetes sehari-hari, hendaklah diikuti pedoman

3 J yaitu:

J I: jumlah kalori yang diberikan harus habis, jangan dikurangi atau

ditambah.

J II: jadwal diit harus sesuai dengan intervalnya.

J III: jenis makanan yang manis harus dihindari.

Penentuan jumlah kalori diit diabetes melitus harus disesuaikan dengan gizi

penderita, penentuan gizi dilaksanakan dengan menghitung percentage of

relative body weight (BBR=berat badan normal ) dengan rumus BBR=BB

(Kg)x100%

a. Kurus (underweight): BBR110% d. Obesitas, apabila: BBR >120%

1. Obesitas ringan: BBR 120-130%

2. Obesitas sedang: BBR 130-140%

3. Obesitas berat: BBR 140-200%

4. Morbid: BBR> 200%

48
Sebagai pedoman jumlah kalori yang diperlukan sehari-hari untuk

penderita DM yang bekerja biasa adalah:

a. Kurus: BB X 40-60 kalori sehari.

b. Normal: BB X 30 kalori sehari.

c. Gemuk: BB X 20 kalori sehari.

d. Obesitas: BB X 10-15 kalori sehari

II. Latihan

Beberapa kegunaan latihan teratur setiap hari bagi penderita DM adalah:

1. Meningkatkan kepekaan insulin (glukosa uptake), apabila dikerjakan setiap 1

½ jam sesudah makan, berarti pula mengurangi insulin resisten pada

penderita dengan kegemukan atau menambah jumlah reseptor insulin dan

meningkatkan sensitivitas insulin dengan reseptornya.

2. Mencegah kegemukan apabila ditambah latihan pagi dan sore.

3. Memperbaiki aliran perifer dan menambah supply oksigen..

4. Menurunkan kolesterol (total) dan trigliserida dalam darah karena

pembakaran asam lemak menjadi lebih baik.

III. Penyuluhan

Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMPS) merupakan salah

satu bentuk penyuluhan kesehatan kepada penderita DM melalui bermacam-

macam atau media misalnya leaflet, poster, TV, kaset, video, diskusi kelompok,

dan sebagainya.

IV. Obat

49
a. Tablet OAD (Oral Antidiabetes)

1) Mekanisme kerja sulfanilurea

a. Kerja OAD tingkat preseptor: pankreatik, ekstra pankreas.

b. Kerja OAD tingkat reseptor.

2) Mekanisme kerja Biguanida Biguanida tidak mempunyai efek pankreatik,

tetapi mempunyai efek lain yang dapat meningkatkan efektifitas insulin, yaitu:

a. Biguanida pada tingkat prereseptor ekstra pankreatik

a) Menghambat absorpsi karbohidrat.

b) Menghambat glukoneogenesis di hati.

c) Meningkatkan afinitas pada reseptor insulin.

b. Biguanida pada tingkat reseptor: meningkatkan jumlah reseptor insulin.

c. Biguanida pada tingkat pascareseptor: mempunyai efek intraselueler.

b. Insulin

1) Indikasi penggunaan insulin:

DM tipe I, DM tipe II yang pada saat tertentu tidak dapat dirawat dengan

OAD, DM kehamilan, DM dan gangguan faal hati yang berat, DM dan

infeksi akut (selulitis, gangren), DM dan TBC paru akut, DM dan koma lain

pada DM, DM operasi, DM patah tulang, DM dan underweight, dan DM

dan penyakit graves.

2) Beberapa cara pemberian insulin a. Suntikan insulin subkutan Insulin

reguler mencapai puncak kerjanya pada 1-4 jam, sesudah suntikan

50
subkutan, kecepatan absorpsi di tempat suntikan tergantung pada

beberapa faktor antara lain:

(1) Lokasi suntikan

Ada 3 tempat suntikan yang sering dipakai yaitu dinding perut,

lengan, dan paha. Dalam memindahkan suntikan (lokasi)

janganlah dilakukan setiap hari tetapi lakukan rotasi tempat

suntikan setiap hari 14 hari agar tidak memberikan perubahan

kecepatan absorpsi setiap hari.

(2) Pengaruh latihan pada absorpsi insulin

Latihan akan mempercepat absorpsi apabila dilaksanakan dalam

waktu 30 menit setelah insulin karena itu pergerakan otot yang

berarti, hendaklah dilaksanakan 30 menit setelah suntikan.

(3) Pemijatan (massage)

Pemijatan juga akan mempercepat absorpsi insulin.

(4) Suhu Suhu kulit tempat suntikan (termasuk mandi akan

mempercepat absorpsi insulin).

(5) Dalamnya suntikan Makin dalam suntikan makin cepat puncak

kerja insulin dicapai. Ini berarti suntikan intramuskular akan lebih

cepat efeknya daripada subkutan.

(6) Konsenterasi insulin Apabila konsenterasi insulin berkisar 40-100

u/ml tidak terdapat penurunan dari u-100 ke u-10 maka efek

insulin dipercepat

b. Suntikan intramuskular dan intravena

51
Suntikan intramuskular dapat digunakan pada kasus diabetik atau pada

kasus–kasus dengan degradasi lemak suntikan subkutan. Sedangkan

suntikan intravena dosis rendah digunakan untuk terapi koma diabetik.

V. Cangkok pankreas

Pendekatan terbaru untuk cangkok pankreas segmen dari donor hidup

saudara kembar identik. (M. Clevo Rendy dan Margareth Th, 2019)

2.2.9.Pemeriksaan Diagnostik Diabetes Mellitus

Pemeriksaan diagnostik yang digunakan untuk mendiagnosis dan

memantau DM mencakup glukosa darah puasa, pemeriksaan toleransi

glukosa oral, dan hemoglobin terglikolisasi. Pemeriksaan albumin dalam

urine digunakan untuk mendeteksi awitan awal kerusakan ginjal.

2.3. Pemantauan glukosa darah

Penyandang DM harus dipantau kondisinya setiap hari

dengan memeriksa kadar glukosa darah. Tersedia dua tipe

pemeriksaan. Tipe pertama, yang digunakan jauh sebelum

adanya alat yang dapat mengukur glukosa darah secara

langsung, adalah pemeriksaan glukosa dan keton dalam urine.

2.4. Pemeriksaan keton dan glukosa dalam urine

Pada keadaan sehat, glukosa tidak terdapat dalam urine

karena insulin mempertahankan glukosa serum di bawah ambang

batas ginjal 180 mh/dl. Pemeriksaan urine direkomendasikan

untuk memantau hiperglikemia dan ketoasidosis pada

penyandang DM tipe I yang mengalami hiperglikemia yang tidak

dapat dijelaskan selama sakit atau hamil. Keton dapat di deteksi

lewat pemeriksaan urine dan mencermikan adanya DKA.

52
2.5. Pemantauan mandiri glukosa darah

Pemantauan mandiri glukosa darah (self monitoring of

blood glucose, SMBG) memungkinkan penyandang DM untuk

memantau dan mencapai kontrol metabolik. SMBG

direkomendasikan tiga kali atau lebih per hari bagi pasien DM tipe

I yang menggunakan injeksi insulin multiple atau terapi pompa

insulin. Pemantauan oleh pasien DM tipe II tidak menggunakan

insulin harus cukup untuk membantu mereka mencapai tujuan

glukosa

2.3 Konsep Dasar

2.3.1 Definisi Lansia

Lansia adalah seorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas

baik pria maupun wanita, yamg masih aktif beraktifitas yang bekerja

maupubn mereka yang tidak berdaya untuk mencari nafka sendiri

hingga bergantung pada orang lain untuk menghidupi drinya sendiri

(nugroho, 2006). Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia

60 tahun ke atas. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan

proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan kumulatif,

merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi

rangsangan dari dalam dan luar tubuh Menua atau menjadi tua adalah

suatu keadaaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia.

Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya

dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan

kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti

seseorang telah melalui tiga tahap kehidupan, yaitu anak, dewasa dan

53
tua (Nugroho, 2006). Keperawatan Gerontik adalah Suatu bentuk

pelayanan profesional yang didasarkan pada ilmu dan kiat/teknik

keperawatan yang berbentuk bio-psikososio-spritual dan kultural yang

holistik, ditujukan pada klien lanjut usia, baik sehat maupun sakit pada

tingkat individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.

2.3.2. Batasan Lansia

WHO yang lama dan yang baru. Yang lama: Usia lanjut (elderly) antara

usia 60-74 tahun, Usia tua (old) :75-90 tahun, dan Usia sangat tua

(very old) adalah usia > 90 tahun. Yang baru: Setengah baya: 66- 79

tahun, Orang tua : 80- 99 tahun, Orang tua berusia panjang Depkes RI

(2005) batasan lansia dibagi menjadi tiga katagori: Usia lanjut

presenilis yaitu antara usia 45-59 tahun, Usia lanjut yaitu usia 60 tahun

ke 77 atas, Usia lanjut beresiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia

60 tahun ke atas dengan masalah kesehatan..

2.3.3. Teori Proses Menua Pada Lansia


Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi

didalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses

sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dati suatu waktu tertentu, tetapi

dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses

alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya

yaitu, anak, deawasa, dan tua.

Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun secara

psikologis. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran,

misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang

mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kuran

54
jelas, penghilatahan semakin memburuk, gerakan lambat, dan igur

tubuh yang tidak proposional. 

2.3.4. Ciri-Ciri Lansia

2.3.4.1 Lansia merupakan periode kemunduran.

Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor

fisik dan faktor psikologis. Motivasi memiliki peran yang penting

dalam kemunduran pada lansia. Misalnya lansia yang memiliki

motivasi yang rendah dalam melakukan kegiatan, maka akan

mempercepat proses kemunduran fisik, akan tetapi ada juga

lansia yang memiliki motivasi yang tinggi, maka kemunduran

fisik pada lansia akan lebih lama terjadi.

2.3.4.2 Lansia memiliki status kelompok minoritas.

Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak

menyenangkan terhadap lansia dan diperkuat oleh pendapat

yang kurang baik, misalnya lansia yang lebih senang

mempertahankan pendapatnya maka sikap sosial di

masyarakat menjadi negatif, tetapi ada juga lansia yang

mempunyai tenggang rasa kepada orang lain sehingga sikap

sosial masyarakat menjadi positif.

2.3.4.3 Menua membutuhkan perubahan peran.

Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai

mengalami kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran

pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri

bukan atas dasar tekanan dari lingkungan. Misalnya lansia

55
menduduki jabatan sosial di masyarakat sebagai Ketua RW,

sebaiknya masyarakat tidak memberhentikan lansia sebagai

ketua RW karena usianya.

2.3.4.4 Penyesuaian yang buruk pada lansia.

Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka

cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga

dapat memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Akibat dari

perlakuan yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia

menjadi buruk pula. Contoh : lansia yang tinggal bersama

keluarga sering tidak dilibatkan untuk pengambilan keputusan

karena dianggap pola pikirnya kuno, kondisi inilah yang

menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan, cepat

tersinggung dan bahkan memiliki harga diri yang rendah.

2.3.5. Tujuan Keperawatan Gerontik

a). Membantu memahami individu terhadap perubahan di usia lanjut

b). Memoivasi masyarakat dalam upaya meningkatkan

kesejahteraan lansia

c). Mengembalikan kemampuan melakukan aktifitas sehari-hari

d). Mempertahankan kesehatan serta kemampuan lansia dengan

jalan perawatan dan pencegahan.

e). Membantu mempertahankan serta membesarkan daya hidup

atau semangat hidup klien lanjut usia.

f). Menolong dan merawat klien lanjut usia yang menderita penyakit

atau mengalami gangguan tertentu (kronis maupun akut).

56
g). Merangsang para petugas kesehatan untuk dapat mengenal dan

menegakkan diagnosa yang tepat dan dini apabila mereka

menjumpai suatu kelainan tertentu

h). Mencari upaya semaksimal mungkin, agar para klien lanjut usia

yang menderita usia penyakit/ gangguan, masih dapat

mempertahankan kebebasan yang maksimal tanpa perlu suatu

pertolongan (memelihara kemandirian secara maksimal).

2.3.6. Perkembangan Lansia

Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan

manusia di dunia. Tahap ini dimulai dari 60 tahun sampai akhir

kehidupan. Lansia merupakan istilah tahap akhir dari proses

penuaan. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua (tahap

penuaan). Masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir,

dimana pada masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik,

mental dan sosial sedikit demi sedikit sehingga tidak dapat

melakukan tugasnya sehari-hari lagi (tahap penurunan). Penuaan

merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk

tubuh, jaringan dan sel, yang mengalami penurunan kapasitas

fungsional. Pada manusia, penuaan dihubungkan dengan perubahan

degeneratif pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-paru,

saraf dan jaringan tubuh lainnya. Dengan kemampuan regeneratif

yang terbatas, mereka lebih rentan terhadap berbagai penyakit,

sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan orang dewasa lain.

Untuk menjelaskan penurunan pada tahap ini, terdapat berbagai

57
perbedaan teori, namun para ahli pada umumnya sepakat bahwa

proses ini lebih banyak ditemukan pada faktor genetik.

2.3.7 Permasalahan yang Terjadi Lansia

2.3.7.1 Masalah fisik

Masalah yang hadapi oleh lansia adalah fisik yang mulai melemah,

sering terjadi radang persendian ketika melakukan aktivitas yang

cukupberat, indra pengelihatan yang mulai kabur, indra

pendengaran yang mulai berkurang serta daya tahan tubuh yang

menurun, sehingga sering sakit.

2.3.7.2 Masalah kognitif ( intelektual )

Masalah yang hadapi lansia terkait dengan perkembangan

kognitif, adalah melemahnya daya ingat terhadap sesuatu hal

(pikun), dan sulit untuk bersosialisasi dengan masyarakat di

sekitar.

2.3.7.3 Masalah emosional

Masalah yang hadapi terkait dengan perkembangan emosional,

adalah rasa ingin berkumpul dengan keluarga sangat kuat,

sehingga tingkat perhatian lansia kepada keluarga menjadi sangat

besar. Selain itu, lansia sering marah apabila ada sesuatu yang

kurang sesuai dengan kehendak pribadi dan sering stres akibat

masalah ekonomi yang kurang terpenuhi.

2.3.7.4 Masalah spiritual

58
Masalah yang dihadapi terkait dengan perkembangan spiritual,

adalah kesulitan untuk menghafal kitab suci karena daya ingat

yang mulai menurun, merasa kurang tenang ketika mengetahui

anggota keluarganya belum mengerjakan ibadah, dan merasa

gelisah ketika menemui permasalahan hidup yang cukup serius.

2.3.8.   Tujuan Pelayanan Kesehatan Lansia

Pelayanan pada umumnya selalu memberikan arah dalam

memudahkan petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan

sosial, kesehatan, perawatan dan meningkatkan mutu pelayanan

bagi lansia. Tujuan pelayanan kesehatan pada lansia terdiri dari :

2.3.8.1 Mempertahankan derajat kesehatan para lansia pada taraf

yang setinggitingginya, sehingga terhindar dari penyakit atau

gangguan.

2.3.8.2 Memelihara kondisi kesehatan dengan aktifitas-aktifitas fisik

dan mental.

2.3.8.3 Mencari upaya semaksimal mungkin agar para lansia yang

menderita suatu penyakit atau gangguan, masih dapat

mempertahankan kemandirian yang optimal.

2.3.8.4 Mendampingi dan memberikan bantuan moril dan perhatian

pada lansia yang berada dalam fase terminal sehingga

lansia dapat mengadapi kematian dengan tenang dan

bermartabat. Fungsi pelayanan dapat dilaksanakan pada

pusat pelayanan sosial lansia, pusat informasi pelayanan

sosial lansia, dan pusat pengembangan pelayanan sosial

lansia dan pusat pemberdayaan lansia.

59
2.3.9.  Prinsip Etika Pada Pelayanan Kesehatan Lansia

2.3.9.1 Empati.

Istilah empati menyangkut pengertian “simpati atas dasar

pengertian yang dalam”artinya upaya pelayanan pada lansia harus

memandang seorang lansia yang sakit dengan pengertian, kasih

sayang dan memahami rasa penderitaan yang dialami oleh

penderita tersebut. Tindakan empati harus dilaksanakan dengan

wajar, tidak berlebihan, sehingga tidak memberi kesan over

protective dan belas-kasihan. Oleh karena itu semua petugas

geriatrik harus memahami peroses fisiologis dan patologik dari

penderita lansia.

a. Non maleficence dan beneficence.

Pelayanan pada lansia selalu didasarkan pada keharusan untuk

mengerjakan yang baik dan harus menghindari tindakan yang

menambah penderitaan (harm). Sebagai contoh, upaya pemberian

posisi baring yang tepat untuk menghindari rasa nyeri, pemberian

analgesik (kalau perlu dengan derivate morfina) yang cukup,

pengucapan kata-kata hiburanmerupakan contoh berbagai hal

yang mungkin mudah dan praktis untuk dikerjakan.

b. Otonomi;

Suatu prinsip bahwa seorang individu mempunyai hak untuk

menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri.

Dalam etika ketimuran, seringakali hal ini dibantu (atau menjadi

semakin rumit ) oleh pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki,

prinsip otonomi berupaya untuk melindungi penderita yang

60
fungsional masih kapabel (sedangkan non-maleficence dan

beneficence lebih bersifat melindungi penderita yang inkapabel).

Dalam berbagai hal aspek etik ini seolah-olah memakai prinsip

paternalisme, dimana seseorang menjadi wakil dari orang lain

untuk membuat suatu keputusan (misalnya seorang ayah

membuat keputusan bagi anaknya yang belum dewasa).

2.4 Konsep Dasar Teori Edukasi


2.4.1 Definisi Edukasi
Edukasi merupakan suatu proses interaktif yang

mendorong terjadinya pembelajaran, dan pembelajaran

merupakan upaya menambah pengetahuan baru, sikap, serta

ketrampilan melalui penguatan praktik dan pengalaman tertentu

(Potter & Perry, 2009). Edukasi kesehatan adalah proses

perubahan perilaku yang dinamis, dimana perubahan tersebut

bukan pula seperangkat prosedur, akan tetapi perubahan tersebut

terjadi karena adanya kesadaran dari dalam individu, kelompok,

atau masyarakat (Mubarak dan Chayatin, 2009).

Pendidikan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang

dilakukan dengan cara menyebarkan pesan, menanamkan

keyakinan sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu dan

mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang

ada hubungannya dengan kesehatan (Maulana, 2009).

2.4.2 Tujuan Edukasi

61
Sasaran edukasi kesehatan bertujuan meningkatkan

pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk memelihara serta

meningkatkan kesehatannya sendiri. Oleh karena itu, tentu

diperlukan upaya penyediaan dan penyampaian informasi untuk

mengubah, menumbuhkan, atau mengembangkan perilaku positif.

Tujuan dari pendidikan kesehatan menurut Undang-Undang

Kesehatan No.23 tahun 1992 maupun WHO yang meningkatkan

kemampuan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan

derajat kesehatan baik fisik, mental, dan sosialnya sehingga

produktif secara ekonomi maupun secara sosial, pendidikan

kesehatan disemua program kesehatan baik pemberantas

penyakit menular, sanitasi lingkungan, gizi masyarakat pelayanan

kesehatan sangat berpengaruh untuk meningkatkan derajat

kesehatan seseorang dengan cara meningkatkan kemampuan

masyarakat untuk melakukan upaya kesehatan itu sendiri

(Maulana, 2009).

Menurut Mubarak dan Chayatin (2009) berpendapat

bahwa sasaran pendidikan kesehatan dibagi menjadi dalam tiga

kelompok yaitu :

2.5.2.1 Sasaran primer (Primary Target), sasaran langsung pada

masyarakat segala upaya pendidikan atau promosi

kesehatana.

2.5.2.2 Sasaran sekunder (Secondary Target), sasaran para tokoh

masyarakat adat, diharapkan kelompok ini pada umumnya

62
akan memberikan pendidikan kesehatan pada masyarakat

disekitarnya.

2.5.2.3 Sasaran tersier (tersiery Target), ssaran pada pembuat

keputusan atau penentu kebijakan baik ditingkat pusat

maupun ditingkat daerah, diharapakan dengan keputusan

dari kelompok ini akan berdampak kepada perlaku

kelompok sasaran yang kemudian pasa kelompok primer.

Edukasi atau penyuluhan kesehatan tentang pemberian insulin

dan perawatan pasien diabetes melitus merupakan

tindakan keperwatan yang harus diberikan agar regimen

terapeutik dirumah efektif dan menghindari terjadinya

hospitalisasi ulang (Damayati, 2015).

2.4.3 Model-Model Metode Pendidikan Kesehatan

Ada berbagai metode yang dapat diterapkan dalam pendidikan

kesehatan baik yang berupa pendidikan individual, kelompok

maupun massa (Notoatmodjo, 2007).

2.4.3.1 Metode Pendidikan Individual.

Metode ini merupakan metode yang digunakan dalam

membina perilaku baru atau seseorang yang mulai tertarik

dengan suatu perubahan perilaku atau inovasi. Bentuk

pendekatan perorangan antara lain :

1. Bimbingan dan penyuluhan (Guidance and conseling).

Melalui pendekatan ini petugas secara intensif

63
melakukan kontak dengan klien sehingga permasalah

yang dihadapi dapat dikorek dan dibantu

penyelesaiannya.

2.5.3.2 Metode Pendidikan Kelompok

Metode pendidikan kelompok mempunyai beberapa bentuk

baik yang sifat komunikasinya berpusat pada pemateri

maupun yang berpusat pada peserta (Sudjana, 2011).

Beberapa bentuk pendidikan kelompok yakni :

1. Metode Ceramah

Metode ceramah merupakan metode yang baik untuk

sasaran yang berpendidikan tinggi maupun rendah.

Kunci dan keberhasilan metode ini adalah pencemaran

harus menguasai materi dan sasaran ceramah harus

bersikap dan berpenampilan meyakinkan, suara

hendaknya cukup keras dan jelas, pandangan harus

tertuju kepada seluruh peserta, berdiri di depan atau

ditengah dan menggunakan alat-alat bantu lihat

semaksimal mungkin.

2. Metode Demonstrasi

Metode demonstrasi merupakan metode pembelajaran

yang memperagakan dan mempertunjukan kepada

peserta mengenai suatu proses, situasi, atau benda

tertentu baik berupa benda sebenarnya maupun hanya

tiruan. Proses penerimaan siswa terhadap pelajaran

64
akan lebih berkesan secara mendalam, sehingga

membentuk pengertian dengan baik dan sempurna,

selain itu peserta dapat mengamati dan

mempertahankan apa yang diperlihatkan selama

pelajaran berlangsung.

3. Diskusi kelompok

Pengaturan formasi duduk para peserta harus diatur

sedemikian rupa sehingga mereka dapat saling

berhadapan atau saling memandang satu sama lain,

misalnya bentuk lingkaran atau segi empat. Hal ini

penting, agar para peserta dapat bebas berpartisipasi

dalam diskusi.

4. Curah pendapat

Metode ini pada dasarnya sama dengan metode diskusi

kelompok. Namun dalam metode ini, pada awalnya

diskusi pemimpin kelompok memancing dengan satu

masalah, kemudian tiap peserta memberikan

tanggapan atau jawaban. Setiap tanggapan atau

semua jawaban yang diberikan ditulis di papan tulis.

Setelah semua peserta mengeluarkan pendapatnya,

tiap angota dapat mengomentari dan pada akhirnya

terjadi diskusi.

5. Permainan peran

65
Metode ini dilakukan dengan permainan peran oleh

beberapa anggota kelompok. Contohnya sebagai

masyarakat dan penyuluhan kesehatan.

6. Metode pendidikan Massa (Publik)

Metode ini ditunjukan kepada masyarakat yang sifatnya

masa atau publik. Sasarannya bersifat umum yaitu

tidak membedakan umur, jenis kelamin, pendidikan,

pekerjaan, status sosial ekonomi.

2.4.4. Media Pendidikan Keseshatan

Media pendidikan dibagi menjadi tiga macam berdasarkan

fungsinya (Notoatmodjo, 2003) :

2.4.4.1. Media cetak

a. Boocklet merupakan media penyimpanan pesan dalam

bentuk buku.

b. Leaflet merupakan media penyiampaian informasi atau

pesan-pesan kesehatan melalui lembaran yang dilipat.

Isi informasi dapat dalam bentuk kalimat atau gambar

atau kombinasi keduanya. Flyer, seperti leaflet tetapi

tidak dalam bentuk lipatan.

c. Flipchart (lembar balik), biasanya dalam bentuk buku

dimana tiap lembar berisi gambar peragaan dan

baliknya berisi kalimat sebagai pesan atau informasi

terkait gambar.

d. Rubric atau tulisan-tulisan pada surat kabar, jurnal,

atau majalah.

66
2.4.4.2. Media Elektronik

a. Televisi

Penyampaian pesan atau informasi kesehatan

melalui televisi dapat berupa sandiwara, sinetron,

forum diskusi atau tanya jawab, quiz, atau cerdas

cermat.

b. Radio

Penyampaian pesan atau informasi kesehatan

dapat melalui video media ini dapat memberikan

realita yang mungkin sulit direkam oleh mata dan

pikiran sasaran, serta memacu diskusi mengenai

sikap dan perilaku.

c. Video

Penyampaian pesan atau informasi kesehatan

dapat melalui video media ini dapat memberikan

realita yang mungkin sulit direkam oleh mata dan

pikiran sasaran, dapat memacu diskusi mengenai

sikap dan perilaku.

d. Slide

67
Media silde cocok digunakan untuk sasaran yang

jumlahnya relative besar, dan pembuatannya

relative murah dan mudah digunakan.

e. Media papan Bill board yang dipasang di tempat-

tempat umum yang berisi pesn-pesan atau

informasi-informasi kesehatan.

2.5. Konsep Dasar Nutrisi

2.5.1. Pengertian Nutrisi

Nutrisi adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk

melakukan fungsinya, yaitu energi, membangun dan

memelihara jaringan, serta mengatur proses kehidupan

(Soenarjo, 2000). Menurut Rock CL. (2004), nutrisi adalah

proses dimana tubuh manusia menggunakan makanan untuk

membentuk energi, mempertahankan kesehatan, pertumbuhan

dan untuk berlangsungnya fungsi normal setiap organ baik

antara asupan nutrisi dengan kebutuhan nutrisi. Sedangkan

menurut Supariasa (2001), nutrisi adalah suatu proses

organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara

normal melalui proses degesti, absorbsi, transportasi,

penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak

digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan,

dan fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi.

2.5.2. Kebutuhan Nutrisi

2.5.2.1 Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi

68
Tunjangan nutrisi yang tepat dan akurat pada anak

sakit kritis dapat menurunkan angka kematian.

Terdapat dua tujuan dasar dari tunjangan nutrisi yaitu :

a. Mengurangi konsekuensi respon berkepanjangan

terhadap jejas yaitu starvation dan infrastruktur.

b. Mengatur respon inflamasi, penentuan status

nutrisi pada anak sakit kritis hendaknya dilakukan

berulang ulang untuk menentukan kecukupan

nutrisi dan untuk menentukan tunjangan nutrisi

selanjutnya. Pemeriksaan yang berulang-ulang ini

penting karena 16-20% anak yang dirawat di ruang

Intensif mengalami defisiensi makronutrien 48jam

setelah anak dirawat. Disamping itu disfungsi/gagal

multipel dapat terjadi sesudah trauma, sepsis atau

gagal nafas yang berhubungan dengan

hipermetabolisme yang berlangsung lama (Setiati,

2000).

2.5.3.2 Beberapa cara mengukur kebutuhan nutrisi :

a. Metabolic Chart Indirect Caloritmetry Resting Energi

Expenditur (REE).

[(konsentrasi O2)(0,39) + (produktif CO2)(1,11)] x

1440. Rumus ini kurang akurat pada pasien-pasien

dengan FiO2 lebih dari 40%.

b. Persamaan Haris Benedickt (untuk dewasa).

Basal Energi Expenditure (BEE) :

69
Laki-laki: 66,47 + (13,75 x BB)+(5+TB)-(6,76xUmur)

Wanita: 655,1+ (9,56 x BB)+(1,85 x TB)-(4,67 x

Umur)

Rata-rata BEE adalah mendekati 25 kkal/kgbb/hari.

BB=berat badan, TB=tinggi badan

Untung menghitung BEE harus disesuaikan dengan

faktor-faktor metabolik, seperti : demam, operasi,

sepsis, luka bakar dan lain-lain.

c. 25-30 kkal/kgbb ideal/hari (untuk dewasa)

120-135 kkal/kgbb/hari (untuk premature)

120-140 kkal/kgbb/hari (untuk infat) (Setiati, 2000)

d. Menghitung balance nitrogen dengan menggunakan

urea urine 24 jam dan dalam hubungannya dengan

urea darah dan Albumin.Tiap gram nitrogen yang

dihasilkan menggunakan energi sebesar 100-150

kkal (At Tock, 2007).

Kebutuhan energi pada pasien kritis: Rule of Thumb

dalam menghitung kebutuhan kalori, yaitu 25-30

kkal/kgbb/hari. Selain itu penetapan Resting Energy

Expenditure (REE) harus dilakukan sebelum

memberikan nutrisi. REE adalah pengukuran jumlah

energy yang dikeluarkan untuk mempertahankan

kehidupan pada kondisi istirahat dan 12- 18 jam

setelah makan. REE sering juga disebut Basal

70
Metabolic Rate (BMR), Basal Energy Requirement

(BER), atau Basal Energy Expenditure (BEE).

Perkiraan REE yang akurat dapat membantu

mengurangi komplikasi akibat kelebihan pemberian

nutrisi (overviding) seperti 11 infiltrasi lemak ke hati

dan pulmonary compromise (Wiryana, 2007).

2.5.3. Nutrisi Enteral

Nutrisi enteral adalah nutrisi yang diberikan pada pasien yang

tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisinya melalui rute oral,

formula nutrisi diberikan melalui tube ke dalam lambung

(gastric tube), nasogastrik tube (NGT), atau jejunum dapat

secara manual maupun dengan bantuan pompa mesin (At

Tock, 2007). Menurut Wiryana (2007), Nutrisi enteral adalah

faktor resiko independent pnemoni nosokomial yang

berhubungan dengan ventilasi mekanik. Cara pemberian

sedini mungkin dan benar nutrisi enteral akan menurunkan

kejadian pneumonia, sebab bila nutrisi enteral yang diberikan

secara dini akan membantu memelihara epitel pencernaan,

mencegah translokasi kuman, mencegah peningkatan distensi

gaster, kolonisasi kuman, dan regurgitasi. Posisi pasien

setengah duduk dapat mengurangi resiko regurgitasi aspirasi.

Diare sering terjadi pada pasien di Intensif Care Unit yang

mendapat nutrisi enteral, penyebabnya multifaktorial,

termasuk therapy antibiotic, infeksi clostridium difficile, impaksi

feses, dan efek tidak spesifik akibat penyakit kritis. Komplikasi

71
metabolik yang paling sering berupa abnormalitas elektrolit

dan hiperglikemi (Wiryana, 2007).

2.5.4. Nutrisi parenteral

Nutrisi parenteral adalah suatu bentuk pemberian nutrisi yang

diberikan langsung melalui pembuluh darah tanpa melalui

saluran pencernakan (Wiryana, 2007). Nutrisi parenteral

diberikan apabila usus tidak dipakai karena suatu hal

misalnya: malformasi kongenital intestinal, enterokolitis

nekrotikans, dan distress respirasi berat. Nutrisi parsial

parenteral diberikan apabila usus dapat dipakai, tetapi tidak

dapat mencukupi kebutuhan nutrisi untuk pemeliharaan dan

pertumbuhan ( Setiati, 2000).

2.5.4.1. Status Nutrisi Pasien

Status nutrisi adalah fenomena multidimensional

yang memerlukan beberapa metode dalam

penilaian, termasuk indicator-indikator yang

berhubungan dengan nutrisi, asupan nutrisi dan

pemakaian energy, seperti Body Mass Index

(BMI), serum albumin, prealbumin, hemoglobin,

magnesium dan fosfor (Wiryana, 2007).

a. Penilaian status nutrisi

1. Klinis: Metode yang sangat penting untuk

menilai status gizi masyarakat. Metode ini

didasarkan atas perubahan-perubahan

yang terjadi yang dihubungkan dengan

72
ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat

dilihat pada jaringan epitel seperti: kulit,

rambut, dan mukosa oral, atau pada organ-

organ yang dekat dengan permukaan

tubuh seperti kelenjar tiroid.

2. Biofisik: Penentuan status gizi dengan

melihat kemampuan fungsi dan melihat

perubahan struktur dari jaringan.Cara yang

digunakan adalah tes adaptasi gelap.

3. Biokimiawi: Pemeriksaan specimen yang

diuji secara laboratoris yang dilakukan

pada berbagai macam jaringan tubuh.

Jaringan tubuh yang digunakan antara lain:

darah, urine, tinja dll.

4. Antropometri: Pengertian Antropometri:

berasal dari kata anthropos dan metros.

Anthropos artinya tubuh dan methros

artinya ukuran. Dari definisi di atas dapat

ditarik pengertian bahwa anthropometri gizi

adalah berhubungan dengan berbagai

macam pengukuran dimensi tubuh dan

komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur

dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran

tubuh antara lain: berat badan tinggi

73
badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak

dibawah kulit.

b. Antropometri

Antropometri sebagai indikator status gizi

dapat dilakukan dengan mengukur beberapa

parameter. Parameter adalah ukuran tunggal

dari tubuh manusia, antara lain umur, berat

badan, tinggi badan, lingkar lengan atas,

lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul,

dan tebal lemak dibawah kulit. Dibawah ini

akan diuraikan parameter sebagai berikut:

1. Umur

Faktor umur sangat penting dalam

penentuan status gizi. Kesalahan

penentuan umur akan menyebabkan

interprestasi status gizi menjadi salah.

Hasil pengukuran tinggi badan dan berat

badan yang akurat, menjadi tidak berarti

bila tidak disertai dengan penentuan umur

yang tepat.

Menurut Puslitbang gizi Bogor

(1980), batasan umur digunakan adalah

tahun umur penuh (Completed Year) dan

anak umur 0-2 tahun digunakan bulan usia

penuh (Completed Mounth)

74
Contoh: Tahun usia penuh (Completed

Year)

Umur : 7 tahun 2 bulan, dihitung 7 tahun

6 tahun 11 bulan, dihitung 6 bulan

Contoh: Bulan usia penuh (Completed

Mounth)

Umur : 4 bulan 5 hari, dihitung 4 bulan

3bulan 27 hari, dihitung 3 bulan

2. Berat badan

Berat badan merupakan ukuran

antropometri yang terpenting dan paling

sering digunakan pada bayi baru lahir

(neonatus). Berat badan digunakan untuk

mendiagnosa bayi normal atau BBLR.

Disamping itu pula berat badan dapat

digunakan sebagai dasar perhitungan

dosis obat dan makanan. Berat badan

menggambarkan jumlah dari protein,

lemak, air dan mineral pada tulang.

3. Tinggi Badan Tinggi badan merupakan

parameter yang penting bagi keadaan yang

telah lalu dan keadaan sekarang, jika umur

tidak diketahui dengan tepat. Disamping itu

tinggi badan merupakan ukuran kedua

yang penting, karena dengan

75
menghubungkan berat badan terhadap

tinggi badan, faktor umur dapat

dikesampingkan.

4. Lingkar Lengan

Atas Lingkar lengan atas (LLA) dewasa ini

memang merupakan salah satu pilihan

untuk penentuan status gizi karena mudah

dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat

yang sulit diperoleh dengan harga yang

lebih murah.

c. Indeks Antropometri Penggolongan Keadaan

Gizi Menurut Indeks Antropometri (Sumber

Puslitbang Gizi, 1980. Pedoman Ringkas Cara

Pengukuran Antropometri dan Penentuan Gizi,

Bogor)

76

Anda mungkin juga menyukai