Anda di halaman 1dari 38

REFERAT

STUNTING DI INDONESIA DITINJAU DARI ASPEK


KESEHATAN MASYARAKAT

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Pada Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Komunitas

Disusun Oleh:
Syamsiar Ainunjaya
216100802046

Pembimbing:
Tri Widodo, SKM., MPH

BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS


PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
PALANGKA RAYA
2023
LEMBAR PENGESAHAN

ii
PERNYATAAN KEASLIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Syamsiar Ainunjaya

NIM : 216100802046

Jurusan : Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran


Universitas Palangka Raya

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa referat yang berjudul “Stunting Di


Indonesia Ditinjau Dari Aspek Kesehatan Masyarakat” ini benar-benar merupakan
hasil karya saya sendiri, bukan peniruan terhadap hasil karya orang lain. Kutipan
pendapat dan tulisan orang lain ditunjuk sesuai dengan cara-cara penulisan yang
berlaku. Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa dalam
laporan kasus ini terkandung ciri-ciri plagiat dan bentuk-bentuk peniruan lain
yang dianggap melanggar peraturan, maka saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut.

Palangka Raya, 21 Maret 2023

Syamsiar Ainunjaya
216100802006

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat-Nya, penyusunan referat yang berjudul “Stunting Di Indonesia
Ditinjau Dari Aspek Kesehatan Masyarakat” dapat diselesaikan dengan baik.
Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Kedokteran Komunitas. Penulis menyadari bahwa dalam proses
penulisan referat ini banyak mengalami kendala, namun berkat dan bantuan,
bimbingan dan kerjasama dari berbagai pihak sehingga kendala-kendala yang
dihadapi tersebut dapat diatasi.

Pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada bapak Tri
Widodo, SKM., MPH yang telah membantu membimbing dan memberikan
arahan kepada saya dalam penyusunan referat ini hingga selesai. Serta kepada
beberapa pihak yang telah membantu memberikan dukungan emotional sehingga
referat ini dapat terselesaikan sebagaimana mestinya.

Demikian yang dapat penulis sampaikan. Kiranya referat ini dapat berguna
dan membantu dokter-dokter muda selanjutnya maupun mahasiswa jurusan
kesehatan lain yang sedang menempuh pendidikan. Referat ini berguna sebagai
referensi dan sumber bacaan untuk menambah ilmu pengetahuan.

Palangka Raya, 21 Maret 2023

Syamsiar Ainunjaya

iv
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN REFERAT.........................................................................................i
HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN.............................................................ii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN........................................................iii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iv
DAFTAR ISI...........................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR............................................................................................vii
DAFTAR SINGKATAN....................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1. Latar Belakang..............................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................3
1.3. Tujuan Penulisan...........................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................4
2.1. Stunting.........................................................................................................4
2.1.1. Definisi..................................................................................................4
2.1.2. Metode pengukuran Stunting.................................................................4
2.1.3. Prevalensi Stunting................................................................................6
2.2. Tatalaksana Penanganan Stunting.................................................................9
2.3. Faktor Penyebab Stunting...........................................................................10
2.4. Peran Berbagai Aspek Dalam Mengatasi Stunting.....................................15
2.4.1. Peran Keluarga.....................................................................................15
2.4.2. Peran Masyarakat.................................................................................16
2.4.3. Peranan Metode Pendidikan dan Media..............................................18
2.4.4. Peran Gizi Ibu Hamil...........................................................................19
2.5. Program Penanganan Stunting....................................................................20
2.6. Upaya Pencegahan Stunting........................................................................21

v
BAB III PENUTUP..............................................................................................27
3.1. Kesimpulan.................................................................................................27
3.2. Saran............................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................29

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Alat ukur dan cara penggunaan stadiometer holtain/mikrotoice..........5


Gambar 2.2 Alat ukur dan cara penggunaan baby length board.............................5
Gambar 2.3 Prevalensi Balita Stunting menurut Riskesdas 2007, 2013 dan 2018.
Menurut SSGBI tahun 2019 dan 2021..................................................7
Gambar 2.4 Prevalensi Balita Stunting Berdasarkan Provinsi, SSGI tahun 2021...7
Gambar 2.5 Prevalensi Balita Stunting Berdasarkan Kabupaten/Kota Di Provinsi
Kalimantan Tengah...............................................................................8
Gambar 2.6 Prevalensi Balita Stunting Berdasarkan Provinsi, SSGI tahun 2022...8

vii
DAFTAR SINGKATAN

ASI : Air Susu Ibu


Baduta : Bawah Dua Tahun
Balita : Bawah Lima Tahun
BB/U : Berat Badan Per Umur
BBLR : Berat Badan Lahir Rendah
CDC-NCHS : Central Of Disease Control-National Center For
Health Statistics
DAK : Dana Alokasi Khusus
FKRTL : Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut
FKTP : Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
Gernas : Gerakan Nasional
HMF : Human Milk Fortifier
HPK : Hari Pertama Kehidupan
IMD : Inisiasi Menyusui Dini
JKN : Jaminan Kesehatan Nasional
KMK : Kurang Masa Kehamilan
MP-ASI : Makanan Pendamping-Air Susu Ibu
Pamsimas : Program Penyediaan Air Minum Dan Sanitasi
Berbasis Masyarakat
PKMK : Pangan Untuk Keperluan Medis Khusus
PMT : Pemberian Makan Tambahan
PNPK : Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan
PUFAs : Polyunsaturated Fatty Acid
Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar
SD : Standar Deviasi
WHO : World Health Organization

viii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Malnutrisi masih menjadi permasalahan utama pada bayi dan anak di bawah
lima tahun (balita) secara global. Data World Health Organization (WHO) tahun
2020 menunjukkan 5,7% balita di dunia mengalami gizi lebih, 6,7% mengalami
gizi kurang dan gizi buruk, serta 22,2% atau 149,2 juta menderita stunting
(malnutrisi kronik). Prevalensi stunting secara global tersebut tergolong kategori
tinggi karena berada antara 20% - <30%.1,2

Di Indonesia, malnutrisi merupakan satu permasalahan gizi utama pada


balita di Indonesia yang belum teratasi. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
menunjukkan prevalensi balita dengan status pendek dan sangat pendek di
Indonesia adalah 37,2% pada tahun 2013, dan menurun menjadi 30,8% pada
tahun 2018. Sedangkan untuk baduta, prevalensi pada tahun 2018 sebesar 29,9%
yang mengalami penurunan dari 32.8% pada tahun 2013. Studi Status Gizi
Indonesia (SSGI) 2021 di 34 provinsi menunjukkan angka stunting nasional turun
dari 27,7% tahun 2019 menjadi 24.4% di tahun 2021. Prevalensi tersebut
mengalami penurunan, namun berdasarkan kriteria WHO masih tergolong
kategori tinggi (>20%). Selain itu, data di Indonesia sampai saat ini belum
memisahkan antara pendek yang disebabkan oleh faktor nutrisi maupun faktor
non-nutrisi (faktor genetik, hormon atau familial).1,3,4

Dalam kerangka konsep WHO, stunting merupakan hasil interaksi berbagai


faktor yaitu asupan gizi yang kurang dan/atau kebutuhan gizi yang meningkat.
Asupan kurang dapat disebabkan oleh faktor sosioekonomi (kemiskinan),
pendidikan dan pengetahuan yang rendah mengenai praktik pemberian makan
untuk bayi dan batita (kecukupan Air Susu Ibu (ASI), kecukupan protein hewani
dalam Makanan Pendamping ASI (MPASI), penelantaran, pengaruh budaya dan
ketersediaan bahan makanan setempat. Faktor-faktor yang menyebabkan
peningkatan kebutuhan misalnya penyakit kronis yang memerlukan Pangan untuk
Keperluan Medis Khusus (PKMK), antara lain penyakit jantung bawaan; alergi
1
2

susu sapi; bayi berat badan lahir sangat rendah; kelainan metabolisme bawaan;
infeksi kronik yang disebabkan kebersihan personal dan lingkungan yang buruk
(diare kronis); dan penyakit-penyakit yang dapat dicegah oleh imunisasi
(tuberkulosis/TBC, difteri, pertusis dan campak). Anak stunting berisiko tinggi
terinfeksi dan sakit TBC karena berkaitan dengan penurunan sistem kekebalan
tubuh. Sebuah studi di 22 negara dengan beban TBC yang tinggi mendapatkan
26% kasus TBC terkait dengan malnutrisi. Studi di Indonesia menunjukkan
bahwa prevalensi TBC pada anak stunting cukup besar yakni 38,1%.1

Anak stunting berisiko mengalami peningkatan morbiditas dan mortalitas,


penurunan kekebalan sistem imun dan peningkatan risiko infeksi. Efek jangka
panjang menyebabkan kegagalan seorang anak mencapai potensi kognitif dan
kemampuan fisiknya, sehingga akan memengaruhi kapasitas kerja dan status
sosial ekonomi di masa depan. Selain itu, pada anak stunting akan terjadi
penurunan oksidasi lemak sehingga rentan mengalami akumulasi lemak sentral
dan resistensi insulin. Hal ini menyebabkan risiko lebih tinggi untuk mengalami
penyakit-penyakit degeneratif seperti diabetes, hipertensi, dislipidemia, serta
fungsi reproduksi yang terganggu pada masa dewasa.1,5

Penyebab stunting multifaktorial dan berkaitan dengan asupan gizi yang


kurang atau kebutuhan gizi yang meningkat. Stunting memiliki dampak jangka
pendek dan jangka panjang yang irreversible. Sampai saat ini belum ada panduan
nasional pelayanan kesehatan untuk balita stunting. Tingginya beban masalah
stunting di Indonesia, karena prevalensi yang masih tinggi dan risiko dampak
jangka panjang yang dapat memengaruhi kualitas sumber daya manusia
Indonesia, menjadi latar belakang sangat diperlukannya suatu Pedoman Nasional
Pelayanan Kesehatan (PNPK) untuk pencegahan, deteksi dini dan tata laksana
segera bayi dan balita stunting di Indonesia.1
3

1.2. Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam referat ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang di maksud dengan Stunting?
2. Bagaimana penyebaran stunting di Indonesia?
3. Bagaimana penatalaksanaan stunting?
4. Apa saja penyebab stunting?
5. Bagaimana peran berbagai aspek dalam menangani stunting?
6. Bagaimana program menangani stunting?
7. Bagaimana upaya mencegah stunting?

1.3. Tujuan Penulisan


Tujuan Penulisan referat ini adalah untuk mengetahui:
1. Apa yang di maksud dengan Stunting
2. Bagaimana penyebaran stunting di Indonesia
3. Bagaimana penatalaksanaan stunting
4. Apa saja penyebab stunting
5. Bagaimana peran berbagai aspek dalam menangani stunting
6. Bagaimana program menangani stunting
7. Bagaimana upaya mencegah stunting
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Stunting
2.1.1. Definisi
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), Republik Indonesia
Nomor HK.01.07/Menkes/1928/2022 Tentang Pedoman Pelayanan Kedokteran
Tata Laksana Stunting. Stunting merupakan perawakan pendek atau sangat pendek
berdasarkan panjang/tinggi badan menurut usia yang kurang dari -2 Standar
Deviasi (SD) pada kurva pertumbuhan WHO, disebabkan kekurangan gizi kronik
yang berhubungan dengan status sosioekonomi rendah, asupan nutrisi dan
kesehatan ibu yang buruk, riwayat sakit berulang dan praktik pemberian makan
pada bayi dan anak yang tidak tepat.1

Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari
kekurangan gizi yang terjadi secara kronis sehingga anak menjadi terlalu pendek
untuk usianya. Kekurangan gizi dapat terjadi sejak bayi dalam kandungan dan
pada masa awal setelah anak lahir, tetapi baru nampak setelah anak berusia 2
tahun, di mana keadaan gizi ibu dan anak merupakan faktor penting dari
pertumbuhan anak. 1,6

2.1.2. Metode pengukuran Stunting


Secara umum pertumbuhan dapat diukur dengan beberapa indikator status
gizi yaitu berat badan per umur (BB/U), tinggi badan per umur (TB/U) dan berat
badan per tinggi badan (BB/TB). Stunting yang merupakan kondisi tinggi badan
tidak sesuai dengan usia akibat kekurangan zat gizi secara kronis, sehingga diukur
menggunakan indikator tinggi badan per umur (TB/U). Tinggi badan diukur
menggunakan alat ukur tinggi stadiometer holtain/mikrotoice untuk mengukur
tinggi badan anak yang sudah bisa berdiri (2 tahun atau lebih). Alat ukur baby
length board untuk mengukur panjang badan anak yang belum bisa berdiri (anak
kurang dari 2 tahun). Alat stadiometer holtain/mikrotoice terpasang didinding
dengan petunjuk kepala yang dapat digerakkan posisi horizontal. Alat tersebut

4
5

juga memiliki jarum petunjuk tinggi dan ada papan tempat kaki. Stick pada
petunjuk kepala disertai dengan skala dalam cm yang digantung di dinding
dengan petunjuk kepala yang dapat digerakkan secara horizontal. Alat ukur baby
length board diletakkan ditempat yang datar dengan petunjuk pada kaki yang
digerakkan secara vertikal. 7

Gambar 2.1 Alat ukur dan cara penggunaan stadiometer holtain/mikrotoice 1

Gambar 2.2 Alat ukur dan cara penggunaan baby length board 1
6

Analisis hasil pengukuran antropometri menggunakan 3 cara penilaian yaitu


nilai Skor-Z atau SD (Standar Defiasi), nilai persentil dan nilai persenan (%)
terhadap median. Skor-Z atau SD jika menggunakan kurva WHO 2006, nilai
persentil dan nilai persenan jika menggunakan kurva CDC-NCHS 2000.
Dikatakan pendek atau kategori stunting jika batas z-score <-2 SD, <P 10 dan
<90%.8

2.1.3. Prevalensi Stunting


Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan prevalensi balita
dengan status pendek dan sangat pendek di Indonesia adalah 37,2% pada tahun
2013, dan menurun menjadi 30,8% pada tahun 2018. Sedangkan untuk baduta,
prevalensi pada tahun 2018 sebesar 29,9% yang mengalami penurunan dari 32.8%
pada tahun 2013. Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 di 34 provinsi
menunjukkan angka stunting nasional turun dari 27,7% tahun 2019 menjadi
24.4% di tahun 2021, kemudian pada tahun 2022 turun lagi menjadi 21,6%.
Prevalensi tersebut mengalami penurunan namun berdasarkan kriteria WHO
masih tergolong kategori tinggi (>20%). Selain itu, data di Indonesia sampai saat
ini belum memisahkan antara pendek yang disebabkan oleh faktor nutrisi maupun
faktor non-nutrisi (faktor genetik, hormon atau familial). World Health
Organization (WHO) memperkirakan 22,2% atau 149,2 juta anak di bawah 5
tahun menderita stunting pada tahun 2020. Wilayah Asia memiliki angka stunting
tertinggi yaitu sebanyak 79 juta anak (52,9%), terutama di Asia Tenggara (54,3
juta anak), diikuti oleh Afrika 61,4 juta anak (41,1%) dan Amerika Latin 5,8 juta
anak (3,8%).1

Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan,


prevalensi balita stunting di Indonesia mencapai 21,6% pada 2022. Angka ini
turun 2,8 poin dari tahun sebelumnya. Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali
menempati posisi teratas dengan angka balita stunting sebesar 35,3%. Meski
masih bertengger di posisi puncak, namun prevalensi balita stunting di NTT
menurun dari 2021 yang sebesar 37,8%. Selanjutnya, Sulawesi Barat di peringkat
kedua dengan prevalensi balita stunting sebesar 35%. Lalu, Papua Barat dan Nusa
7

Tenggara Barat memiliki prevalensi balita stunting masing-masing sebesar 34,6%


dan 32,7%. Di sisi lain, Bali menempati peringkat terbawah alias prevalensi
balita stunting terendah Nasional. Persentasenya hanya 8% atau jauh di bawah
angka stunting nasional pada 2022. Kalimantan Tengah menempati posisi ke 11
dengan persentase 26,9%.9

Gambar 2.3 Prevalensi Balita Stunting menurut Riskesdas 2007, 2013 dan 2018.
Menurut SSGBI tahun 2019 dan 20219

Gambar 2.4 Prevalensi Balita Stunting Berdasarkan Provinsi, SSGI tahun 20219
8

Gambar 2.5 Prevalensi Balita Stunting Berdasarkan Kabupaten/Kota Di Provinsi


Kalimantan Tengah9

Gambar 2.6 Prevalensi Balita Stunting Berdasarkan Provinsi, SSGI tahun 2022 10
9

2.2. Tatalaksana Penanganan Stunting


Dalam tatalaksana stunting, dokter spesialis terlebih dahulu menegakkan
diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
untuk menentukan klasifikasi pendek berasal dari variasi normal atau patologis,
dan proporsional atau disproporsional. Diagnosa pendek akibat stunting, maka
diserahkan kepada dokter spesialis anak. Kemudian dilakukan juga penelusuran
dan eksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang menjadi penyebab stunting. Jika
ditemukan red flags atau penyebab potensial yang mendasari stunting, dilakukan
penatalaksanaan menurut PNPK atau panduan praktik klinis yang telah ditetapkan
dalam rekomendasi terpisah. Jika terdapat penyebab potensial yang terindikasi
mendapatkan PKMK, PKMK dapat diberikan sebagai tata laksana nutrisi pada
stunting.1

Tatalaksana stunting dilakukan oleh dokter spesialis di FKRTL. Tujuan tata


laksana selanjutnya adalah mencapai kejar tumbuh (catch-up growth) untuk
memperoleh kecepatan pertumbuhan optimal. Strategi pencapaian tujuan ini
adalah dengan memberikan tata laksana nutrisi sesuai dengan langkah-langkah
asuhan nutrisi pediatrik yang terdiri dari penilaian, penentuan kebutuhan nutrisi,
penentuan cara/rute pemberian, pemilihan jenis makanan dan pemantauan.1

Pada bayi prematur dan bayi kurang masa kehamilan (KMK) dengan berat
badan lahir rendah (BBLR) memiliki risiko lebih tinggi mengalami stunting akibat
oromotor yang belum matang, adanya penyulit masuknya nutrisi enteral atau
komposisi asi yang tidak dapat memenuhi kebutuhan protein untuk tumbuh kejar
bayi. Bayi prematur, khususnya bayi sangat prematur (usia gestasi <32 minggu)
dan bayi berat lahir sangat rendah (<1500 gram) juga membutuhkan PKMK yang
dapat meningkatkan kandungan protein dan mineral ASI yang disebut Human
Milk Fortifier (HMF) dan susu formula prematur.1

Selain pemberian nutrisi beberapa hal yang perlu dilakukan pada anak
stunting yaitu pemberian imunisasi sangat diwajibkan karena anak dengan
10

stunting sangat rentan terhadap infeksi, stimulasi perkembangan dan pemberian


tatalaksana pada penyakit penyerta.1

2.3. Faktor Penyebab Stunting


Pada beberapa penelitian, ditemukan beberapa hal sebagai penyebab
stunting pada anak.
A. Faktor Genetik
Setelah di telaah secara sistematis salah satu penyebab stunting
adalah faktor keluarga atau genetik. Banyak penelitian menyimpulkan
bahwa tinggi badan orang tua sangat mempengaruhi kejadian stunting
pada anak. Salah satunya adalah penelitian di kota Semarang pada
tahun 2011 menyimpulkan bahwa Ibu pendek (< 150 cm) merupakan
faktor risiko stunting pada anak 1-2 tahun. Ibu yang tubuhnya pendek
mempunyai risiko untuk memiliki anak stunting 2,34 kali dibanding ibu
yang tinggi badannya normal. Ayah pendek (< 162 cm) merupakan
faktor risiko stunting pada anak 1-2 tahun. Ayah pendek berisiko
mempunyai anak stunting 2,88 kali lebih besar dibanding ayah yang
tinggi badannya normal.11

Berdasarkan penelitian hubungan kejadian stunting berdasarkan


tinggi badan orang tua pada anak usia 24-59 bulan menyimpulkan
bahwa tinggi badan orang tua dengan kejadian stunting terdapat
hubungan pada anak usia 24-59 bulan (Toliu, dkk 2018).12

B. Faktor Keluarga dan Rumah Tangga


Pola asuh yang baik untuk mencegah stunting dapat ditemukan
dalam praktik pemberian makan. Peran keluarga sangat penting pada
pertumbuhan dan perkembangan anak terutama terkait cara pemberian
nutrisi baik jenis makanan, frekuensi dan jumlahnya berada di tanggung
jawab keluarga.2 Faktor keluarga dan rumah tangga yang terbukti secara
langsung berpengaruh terhadap kejadian stunting yaitu jenis kelamin
balita laki-laki (Rufaida, dkk 2020).13
11

C. Status Ekonomi
Sebagian besar anak stunting berasal dari latar belakang ekonomi
yang kurang mampu. Status ekonomi yang rendah mempengaruhi
kemungkinan terjadinya insufisiensi dan kualitas pangan akibat
rendahnya daya beli masyarakat. Kondisi ekonomi yang demikian
membuat anak stunting sulit mendapatkan asupan gizi yang cukup,
sehingga tidak dapat mengejar ketertinggalan dengan baik.2 Status
ekonomi kurang dapat diartikan daya beli juga rendah sehingga
kemampuan membeli bahan makanan yang baik juga rendah. Kualitas
dan kuantitas makanan yang kurang menyebabkan kebutuhan zat gizi
anak tidak terpenuhi, padahal anak memerlukan zat gizi yang lengkap
untuk pertumbuhan dan perkembangannya.11

Hasil penelitian Rufaida, dkk (2020) menunjukkan bahwa


terdapat hubungan pendapatan keluarga dengan kejadian stunting.
Pendapatan keluarga yang rendah memberikan kecendrungan 2,344 kali
memiliki balita yang mengalami stunting. Kejadian stunting pada balita
di Banda Aceh dipengaruhi oleh pendapatan keluarga rendah, ASI
eksklusif tidak adekuat, kurangnya pemberian MP-ASI, dan imunisasi
tidak lengkap (Al-Rahmad dan Miko, 2016). Status ekonomi rendah
menyebabkan daya beli rendah sehingga anak rentan masalah gizi
akibat pemenuhan kebutuhan gizi tidak adekuat (Candra, 2013).13,14

D. Faktor Sosial Budaya


Faktor sosial budaya dapat mempengaruhi proses pertumbuhan
dan perkembangan pada anak. Beberapa budaya atau perilaku
masyarakat dalam penyajian konsumsi asupan nutrisi anak terkait jenis
makanan, cara penyajian, penyiapan yang belum sesuai dengan
seharusnya. Upaya pencegahan perlu dilakukan melalui edukasi tentang
pengaruh kebiasaan makan yang tidak benar dan perubahan perilaku
untuk mencegah malturasi sehingga dapat meningkatkan derajat
12

kesehatan dan mempertahankan kebiasaan baru dengan tetap menjaga


pengendalian kebiasaan makan (Atmarita dan Zahraini, 2018).2

E. Faktor Pendidikan
Pendidikan memiliki peran penting dalam mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan karena berkaitan dengan kemampuan
keluarga dalam memahami konsumsi makanan melalui berbagai sistem
pangan pada balita. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi diyakini
mampu memperbaiki pemberian nutrisi yang sesuai dengan usia
anak.11,2

Pendidikan ibu dikaitkan dengan penggunaan garam beryodiuam,


pemberian kapsul vitamin A, imunisasi anak, dan pola pengasuhan pada
anak (Nasikhah dan Margawati, 2012). Orang tua dengan pendidikan
baik dapat memberikan peluang lebih dalam menerima informasi
tentang mengasuhan dan menjaga kesehatan anak serta mendidik anak
yang baik (Soetjiningsih dan Ranuh, 2014).13

F. Jarak Kelahiran dan Riwayat BBLR


Jarak Kelahiran sangat mempengaruhi terjadinya stunting, hal ini
berkaitan dengan kepedulian ibu ataupun keluarga terhadap anak. Jarak
kelahiran mempengaruhi pola asuh orangtua terhadap anaknya. Jarak
kelahiran dekat membuat orangtua cenderung lebih kerepotan sehingga
kurang optimal dalam merawat anak. Hal ini disebabkan karena anak
yang lebih tua belum mandiri dan masih memerlukan perhatian yang
sangat besar. Jarak kelahiran kurang dari dua tahun juga menyebabkan
salah satu anak, biasanya yang lebih tua tidak mendapatkan ASI yang
cukup karena ASI lebih diutamakan untuk adiknya. Perawatan anak
sepenuhnya hanya dilakukan oleh ibu seorang diri, padahal ibu juga
masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang lain. Akibatnya
asupan makanan anak kurang diperhatikan. Membutuhkan 2-3 tahun
paska persalinan agar pulih secara fisiologi untuk mempersiapkan
13

kehamilan selanjutnya. Kehamilan dengan jarak dekat memberikan


indikasi kurang siapnya rahim dalam menerima implantasi embrio
kembali. Hal ini dapat berkaitan dengan kejadian terjadinya BBLR.3,15

Pernyataan diatas didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh


Candra (2013) yaitu menyimpulkan bahwa jarak kelahiran dekat (<2
tahun) mempunyai risiko menjadi stunting 11,65 kali dibanding anak
yang mempunyai jarak kelahiran jauh (≥ 2 tahun). Hal tersebut dapat
terjadi dikarenakan perbedaan kategori jarak kelahiran anak, usia
subyek penelitian, dan tempat penelitian. Keluarga dengan jumlah anak
dan jarak kelahiran anak yang terlalu dekat dapat mempengaruhi status
gizi anak karena ibu kesulitan dalam mengurus anak–anaknya.14

Berat badan lahir rendah erat kaitannya dengan morbiditas dan


mortalitas janin dan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan kognitif, kerentanan terhadap penyakit kronis di
kemudian hari. Anak dengan berat badan lahir rendah memiliki risiko
terjadinya stunting dibandingkan anak yang lahir dengan berat badan
normal. Pengaruh berat badan lahir terhadap kejadian stunting paling
tinggi pada saat usia 6 bulan pertama dan kemudian menurun hingga
usia 24 bulan. Riwayat BBLR dapat memiliki pertumbuhan dan
perkembangan yang berjalan sesuai usia apabila ana mendapatkan
asupan nutrisi yang cukup dan kondisi lingkungan yang mendukung
pertumbuhan dan perkembangan anak.4

G. Faktor Ibu Selama Kehamilan


Status gizi ibu saat hamil dipengaruhi oleh banyak faktor, faktor-
faktor tersebut dapat terjadi sebelum ataupun selama kehamilan. Usia
ibu saat hamil erat kaitannya dengan kejadian berat badan lahir rendah.
Kehamilan dibawah usia 20 tahun merupakan kehamilan dengan risiko
tinggi untuk kejadian BBLR yaitu 2-4 kali lebih tinggi dibandingkan
usia diatas 20 tahun. Hal ini dipengaruhi terkait kematangan dan
14

perkembangan organ-organ pada janin dan emotional yang masih sulit


untuk di kontrol. Faktor lain selama kehamilan yang dapat menjadi
penyebab stunting adalah anemia pada ibu hamil, penyakit kronis dan
infeksi. Anemia dapat menambah risiko BBLR, gangguan
perkembangan janin, risiko perdarahan dan bahkan berisiko pada
kematian ibu dan janin. Anemia berat dapat menyebabkan asupan
nutrisi ke janin dapat berkurang.5

H. Pelayanan Kesehatan dan Sanitasi Lingkungan


Sanitasi dan kebersihan lingkungan yang buruk memicu
gangguan pencernaan dan mengalihkan energi yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan ke dalam daya tahan tubuh terhadap infeksi. Sebuah
penelitian menemukan bahwa semakin sering seorang anak mengalami
diare, semakin tinggi risikonya untuk mengalami stunting (Manggala &
Kenwa, 2018). Saat sakit anak dominan akan malas untuk makan
karena nafsu makan yang berkurang sehingga risiko mengalami
stunting menjadi lebih besar. Kondisi lingkungan sanitasi yang buruk
dapat memungkinkan berbagai bakteri masuk ke dalam tubuh dan
menyebabkan berbagai penyakit seperti diare, parasit usus, demam,
malaria, dan banyak penyakit lainnya. Infeksi dapat mengganggu
penyerapan nutrisi, menyebabkan malnutrisi dan pertumbuhan
terhambat.2

I. Defisiensi Zat Gizi dan Masalah dalam Pemberian ASI


Jika seseorang tidak mendapatkan cukup energi dari makanan, ia
mungkin harus meminjam atau menggunakan cadangan energi dalam
tubuh untuk mengganti energi. Hal tersebut dapat berakibat pada
kekurangan zat gizi terutama energi. Makronutrien adalah zat utama
dalam nutrisi (energi, karbohidrat, protein, dan lemak). Mikronutrien
(kalsium, zat besi, seng, dan mineral lainnya) sangat penting untuk diet
sehat. Nutrisi sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan
anak.2
15

Transisi dari pemberian ASI ke MP-ASI, asupan makanan yang


sering dirasakan kurang baik kuantitas maupun kualitasnya, hal ini erat
kaitannya dengan praktik diet serta peningkatan paparan lingkungan,
yang meningkatkan kejadian penyakit. Kualitas dan kuantitas asupan
makanan anak sangat penting untuk diperhatikan, agar anak tidak
mengalami gejala defisiensi kronis, hal ini erat kaitannya dengan gizi
bayi dan anak.2,1

Pemberian ASI pada anak sangat berperan penting dalam


menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak. Lama pemberian
ASI eksklusif pada bayi sampai usia 6 bulan, kemudian dilanjutkan
makanan pendamping ASI (MP-ASI). MP-ASI yang diberikan terlalu
dini akan menurunkan konsumsi ASI dan bayi dapat mengalai
gangguan sistem pencernaan. Sebaliknya MP-ASI yang terlambat dapat
mengakibatkan kekurangan gizi pada anak jika terjadi dalam jangka
waktu yang lama.11

2.4. Peran Berbagai Aspek Dalam Mengatasi Stunting


2.4.1. Peran Keluarga
Keluarga berperan penting dalam mencegah stunting di semua tahap
kehidupan. Mulai dari janin dalam kandungan, bayi, balita, remaja, orang yang
sudah menikah, ibu hamil, dll. Hal ini mendukung upaya pemerintah untuk
memerangi stunting di Indonesia. Suami membagi beban pekerjaan rumah tangga
dengan istri, memotivasi ibu untuk makan makanan bergizi selama hamil,
memotivasi ibu untuk minum suplemen darah selama hamil, dan menyusui
sepenuhnya. Ibu dari balita harus merangsang tumbuh kembang anaknya,
memastikan anaknya mendapatkan imunisasi lengkap, membawa anaknya ke
Posyandu setiap bulan untuk memantau tumbuh kembangnya, dan memantau
kesukaan anaknya serta pola makan yang baik. Seorang ibu dari seorang gadis
remaja memperhatikan pola makan putrinya, mendorong anak-anaknya untuk
minum obat penambah sirkulasi darah, dan mengajarkan pengetahuan gizi dasar
16

dan kebiasaan makan yang baik. Dukungan keluarga yang dapat diterima adalah
1. Menyiapkan makanan bergizi untuk ibu menyusui. 2. Dorongan bagi ibu
menyusui yang mengalami kesulitan menyusui. 3. Memberikan suasana tenang
dan nyaman untuk meningkatkan rasa percaya diri ibu dalam menyusui. 4.
Dapatkan konseling atau baca tentang perawatan bayi dan menyusui. 5. Tidak
mudah mempercayai informasi yang beredar secara lokal. Kebenaran informasi
yang mendukung atau menghambat menyusui ibu harus diverifikasi. 6. Keluarga
dan lingkungan harus bijak memilih tradisi yang dapat mendukung tumbuh
kembang balita untuk mencegah stunting.2

2.4.2. Peran Masyarakat


Pada tahun 2017, pemerintah mencanangkan Rencana Aksi Nasional untuk
mengatasi stunting di tingkat nasional, regional dan khususnya desa. Inisiatif
nirlaba ini dirancang untuk mempromosikan pengetahuan, pemahaman, dan
partisipasi masyarakat dalam program pencegahan dan deteksi dini untuk
pengerdilan bayi. Hal ini diharapkan dapat secara langsung memotivasi
masyarakat setempat untuk berpartisipasi dalam pertumbuhannya dan
berpartisipasi dalam pembangunannya. Anak tumbuh dan berkembang secara
optimal.15

Komitmen pemerintah untuk mempercepat perbaikan gizi dikukuhkan


dengan Peraturan Presiden Nomor 42 tanggal 23 Mei 2013 tentang Gerakan
Nasional Percepatan Perbaikan Gizi (Gernas). Dengan mengidentifikasi strategi
kunci Gernas untuk mempromosikan perbaikan gizi, yaitu:
1. Meningkatkan gizi sebagai pilar pembangunan sumber daya.
2. Meningkatkan intervensi berbasis bukti yang efektif di berbagai bidang
masyarakat.
3. Meningkatnya keterlibatan masyarakat dalam menerapkan norma sosial
yang mendukung perilaku sadar pangan.

Upaya Pemerintah dalam melakukan advokasi taraf tinggi yang


berkelanjutan dan warta baiknya menganggap masalah gizi ini sebagai satu
17

prioritas Nasional. Pendekatan multisektor juga terus dilakukan melalui acara gizi
sensitif yang dilaksanakan secara simultan termasuk pembelajaran berdasarkan
aneka macam acara sebelumnya yang sangat berhasil misalnya Posyandu, PKH,
PNPM Generasi, Pamsimas. Langkah lainnyai merupakan mengupayakan
pembiayaan berbasis hasil, yaitu Dana Alokasi Khusus (DAK) berbasis kinerja
pada sektor kesehatan dan pendidikan menggunakan memakai indikator-indikator
gizi, mendorong penerapan pembayaran kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN), buat memperbaiki layanan gizi, dan mendorong Dana Desa buat
merevitalisasi acara gizi rakyat. Selain itu jua melakukan advokasi buat penguatan
kepemimpinan dan pencerahan buat mengatasi perkara harta benda nutrisi,
kapasitas buat merencanakan, melaksanakan, dan memantau acara gizi
multisektor secara terpadu, dan penegakan Standar Pelayanan Minimum yang
terkait menggunakan layanan gizi lebih baik.2

Libatkan tokoh dalam pelaksanaan posyandu keluarga, bekerjasama dengan


aparat desa agar masyarakat mau datang ke Posyandu. Adapun dukungan
masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan stunting:
1. Sering melakukan kunjungan ke ibu hamil
2. Berdoa untuk keselamatan ibu dan anak juga merupakan dorongan
besar
3. Tetangga adalah kerabat dekat yang selalu senang membantu saat
dibutuhkan
4. Mengatakan hal-hal yang baik dan memberikan nasihat yang positif
5. Berbagi pengalaman tentang kehamilan dan persalinan dan dengan
senang hati membantu dengan berbagai kebutuhan selama kehamilan
dan persalinan
6. Lingkungan lebih sensitif terhadap wanita hamil. Mintalah wanita hamil
itu duduk selama pertemuan
7. Mengundang ibu hamil ke kegiatan sosial yang ringan dan
menyenangkan
18

8. Sumbangan lingkungan terbesar untuk membantu ibu hamil yang


berjuang untuk mempersiapkan persalinan

Puskesmas melakukan kegiatan deteksi dini dengan mengukur panjang


badan anak di bawah usia dua tahun dengan alat standar yaitu tornator bayi.
Posyandu sebagai wadah transfer informasi dan keterampilan dari tenaga medis ke
dan antar masyarakat. Posyandu diibaratkan sebagai jembatan untuk membuat
layanan kesehatan dasar lebih mudah diakses oleh masyarakat. Posyandu berperan
penting dalam pencegahan stunting melalui program pemberian makanan
tambahan (PMT) lokal bagi balita.2

Dengan mengukur panjang tubuh dan mencatat hasil kurva pertumbuhan,


deteksi dini mencegah keterlambatan perkembangan. Pengukuran harus dilakukan
oleh personel yang terlatih dan kompeten dengan menggunakan alat yang sesuai.
Pelaksana posyandu harus dilatih oleh tenaga medis sebelum melakukan
pengukuran. (Maria Wigati, 2022).2

Pencegahan stunting harus dilakukan sejak dini, bahkan sejak masa


kehamilan. Pencegahan-stunting yang-dapat kita lakukan adalah tes kehamilan
secara teratur, menjamin kecukupan gizi ibu dan anak, deteksi dini penyakit,
melahirkan di fasilitas medis yang sesuai, inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI
Eksklusif, makanan tambahan, vaksinasi penuh.2

2.4.3. Peranan Metode Pendidikan dan Media


Pemerintah telah menegaskan untuk menangani masalah stunting melalui
koordinasi lintas kementerian/lembaga. Selain itu, sekolah merupakan salah satu
lembaga pendidikan yang mana peserta didik datang untuk belajar sehingga
mampu meningkatkan kualitas peserta didik itu sendiri. Pendidikan gizi yang
dilakukan di sekolah merupakan pendidikan gizi komunitas dan salah satu
langkah strategis untuk meningkatkan status kesehatan dan menyukseskan
gerakan 1000 HPK. Dalam peranan mengatasi permasalahan stunting, pendidikan
orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak.
19

Pendidikan yang baik memungkinkan orang tua dapat menerima segala informasi
dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, menjaga kesehatan
anak, dan pendidikan.7

Penggunaan media pembelajaran terhadap materi yang diajarkan merupakan


faktor yang memengaruhi efektifitas dalam proses pendidikan sebab periode emas
tumbuh kembang anak adalah penentu masa depan anak terhadap kondisi
kesehatannya, kecerdasan fisik dan mental anak serta daya saing anak sebagai
generasi penerus bangsa.7

2.4.4. Peran Gizi Ibu Hamil


Salah satu cara untuk mencegah stunting adalah dengan memberikan
pelayanan gizi dan kesehatan kepada ibu hamil. Mengingat dampak stunting
terhadap kecerdasan anak dan kesehatan orang dewasa, maka upaya tersebut
sangat dibutuhkan. Efek malnutrisi pada 1000 HPK bersifat permanen dan sulit
diperbaiki.2
Tujuan penataan gizi pada ibu hamil, menyiapkan: (1) cukup kalori, protein
yang bernilai biologi tinggi, vitamin, mineral, dan cairan untuk memenuhi
kebutuhan zat gizi ibu, janin, serta plasenta; (2) makanan padat kalori dapat
membentuk lebih banyak jaringan tubuh bukan lemak; (3) cukup kalori dan zat
gizi untuk memenuhi pertambahan berat baku selama hamil; (4) perencanaan
perawatan gizi yang memungkinkan ibu hamil untuk memperoleh dan
mempertahankan status optimal sehingga dapat menjalani kehamilan dengan
aman dan berhasil, melahirkan bayi dengan potensi fisik dan mental yang baik,
dan memperoleh cukup energi untuk menyusui serta merawat bayi kelak; (5)
perawatan gizi yang dapat mengurangi atau menghilangkan reaksi yang tidak
diinginkan, seperti mual dan muntah; (6) perawatan gizi yang dapat membantu
pengobatan penyulit yang terjadi selama kehamilan (diabetes kehamilan) dan; (7)
mendorong ibu hamil sepanjang waktu untuk mengembangkan kebiasaan makan
yang baik yang dapat diajarkan kepada anaknya selama hidup.7
20

2.5. Program Penanganan Stunting


Dalam menangani stunting dilakukan Intervensi Spesifik dan Sensitif pada
sasaran 1.000 hari pertama kehidupan seorang anak sampai usia 6 tahun.
Berdasarkan peraturan Presiden No. 42 tahun 2013 menyatakan bahwa Gerakan
1000 HPK terdiri dari intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif.
Intervensi spesifik, adalah tindakan atau kegiatan yang dalam perencanaannya
ditujukan khusus untuk kelompok 1000 HPK. Sedangkan intervensi sensitif
adalah berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan. Sasarannya
adalah masyarakat umum, tidak khusus untuk 1000 HPK.7

A. Intervensi Gizi Spesifik


Ini merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam
1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30%
penurunan stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik
umumnya dilakukan pada sektor kesehatan. Intervensi dengan sasaran
Ibu Hamil: 1). Memberikan makanan tambahan pada ibu hamil untuk
mengatasi kekurangan energi dan protein kronis.2). Mengatasi
kekurangan zat besi dan asam folat, 3) Mengatasi kekurangan iodium,
4). Menanggulangi kecacingan pada ibu hamil, 5). Melindungi ibu
hamil dari Malaria. Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak
Usia 0-6 Bulan: 1) Mendorong inisiasi menyusui dini (pemberian ASI
jolong/colostrum), 2). Mendorong pemberian ASI Eksklusif. Intervensi
dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23 bulan: 1).
Mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi
oleh pemberian MP-ASI. 2). Menyediakan obat cacing, 3).
Menyediakan suplementasi zink, 4). Melakukan fortifikasi zat besi ke
dalam makanan, 5). Memberikan perlindungan terhadap malaria, 6).
Memberikan imunisasi lengkap, 7). Melakukan pencegahan dan
pengobatan diare. 7
21

B. Intervensi Gizi Sensitif


Idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan
diluar sector kesehatan dan berkontribusi pada 70% Intervensi Stunting.
Sasaran dari intervensi gizi spesifik adalah masyarakat secara umum
dan tidak khusus ibu hamil dan balita pada 1.000 Hari Pertama
Kehidupan (HPK). 1). Menyediakan dan Memastikan Akses pada Air
Bersih, 2). Menyediakan dan Memastikan Akses pada Sanitasi, 3).
Melakukan Fortifikasi Bahan Pangan, 4). Menyediakan Akses kepada
Layanan Kesehatan dan Keluarga Berencana (KB), 5). Menyediakan
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), 6). Menyediakan Jaminan
Persalinan Universal (Jampersal). 7). Memberikan Pendidikan
Pengasuhan pada Orang tua., 8). Memberikan Pendidikan Anak Usia
Dini Universal. 9). Memberikan Pendidikan Gizi Masyarakat. 10).
Memberikan Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi, serta Gizi
pada Remaja. 11). Menyediakan Bantuan dan Jaminan Sosial bagi
Keluarga Miskin. 12). Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi.7

Dalam upaya aksi intervensi stunting maka membutuhkan lima pilar


penanganan stunting, yaitu: 1). Pilar 1: komitmen dan visi Pimpinan Tertinggi
Negara. 2). Pilar 2: Kampanye Nasional Yang Berfokus Pada Peningkatan
Pemahaman, Perubahan Perilaku, Komitmen Politik Dan Akuntabilitas. 3). Pilar
3: Konvergensi, Koordinasi, Dan Konsolidasi Program Nasional, Daerah Dan
Masyarakat. 4). Pilar 4: Mendorong kebijakan ”Food Nutritional Security”. 5).
Pilar 5: Pemantauan dan Evaluasi.2

2.6. Upaya Pencegahan Stunting


Upaya dalam mencegah stunting terdiri atas pencegahan primer, sekunder
dan tersier.
A. Pencegahan Primer (Promotif)
Pencegahan primer dilakukan mulai dari tingkat kader di
posyandu. Kader melakukan pemantauan pertumbuhan, pengukuran
Panjang Badan atau Tinggi Badan (PB atau TB) dan Berat Badan (BB)
22

menggunakan alat dan metode pengukuran standar, serta memberikan


edukasi kepada orang tua/pengasuh mengenai pemberian ASI eksklusif
dan MPASI dengan kandungan gizi lengkap terutama protein hewani.
Saat pelaksanaan posyandu, diusahakan Pemberian Makanan Tambahan
(PMT) yang mengandung protein hewani seperti telur, ayam, ikan,
daging, susu dan produk olahan susu.1

Jika didapatkan anak dengan PB atau TB berdasarkan usia dan


jenis kelamin <-2 SD, BB/U <- 2 SD, atau weight faltering (kenaikan
berat tidak memadai) dan growth deceleration (perlambatan
pertumbuhan linier), maka anak tersebut harus dirujuk ke Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) atau puskesmas. Penimbangan
berat badan, dan pengukuran panjang badan di posyandu harus
dilakukan setiap bulan untuk deteksi dini weight faltering.1

B. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan oleh dokter di fasilitas kesehatan
tingkat pertama. Dokter melakukan konfirmasi pengukuran
antropometrik sebelumnya dan penelusuran penyebab potensial
stunting. Anak dengan berat badan rendah, weight faltering atau gizi
kurang namun tidak berperawakan pendek (PB/U atau TB/U ≥-2 SD)
dapat diberikan Pangan untuk Keperluan Diet Khusus (PDK) sesuai
indikasi dan/atau pangan padat energi yang mempunyai komposisi gizi
yang memenuhi persyaratan PDK serta terbukti secara ilmiah mengatasi
gizi kurang secara efektif. Tindakan ini juga bertujuan untuk mencegah
agar anak-anak dengan gangguan gizi tersebut tidak berlanjut menjadi
stunting. Pangan olahan yang termasuk dalam PKGK adalah susu
formula standar untuk usia 0-12 bulan dan susu pertumbuhan untuk usia
1-3 tahun. Pemberian PDK diresepkan dan dipantau penggunaannya
oleh dokter di FKTP.1
23

Dasar pemberian PDK adalah dikarenakan kebutuhan energi pada


anak-anak dengan gizi kurang yang meningkat sesuai dengan laju
pertambahan berat badan selama masa kejar tumbuh (catch-up growth).
Oleh karena itu, kecukupan nutrisi harus sekurangkurangnya terdiri dari
30% lemak dan 10-15% protein. Selain itu, 4.5% dari total kebutuhan
energi anak gizi kurang harus mengandung n-6 polyunsaturated fatty
acids (PUFAs) dan 0.5% dari n-3 PUFAs, dengan rasio asam
linoleic/alpha-linolenic berkisar antara 5-15.1

Pada FKTP dapat dilakukan pemeriksaan penunjang dasar yang


tersedia seperti pemeriksaan darah rutin, urinalisis, feses rutin dan tes
Mantoux untuk kemungkinan infeksi tuberkulosis. Jika teridentifikasi
ada penyebab medis atau komplikasi yang mendasari misalnya penyakit
jantung bawaan, dan tata laksana dengan PKGK tidak menunjukkan
respon yang adekuat selama 1 minggu, maka anak dirujuk ke dokter
spesialis anak di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL).
1

Pada kasus-kasus gizi buruk tanpa komplikasi dapat diberikan


formula F-75 dan F-100 yang berbahan dasar susu, gula, minyak dan
mineral mix. Jika terdapat komplikasi medis dan/atau hasil evaluasi
tidak sesuai target yang diharapkan atau tidak terdapat perbaikan
kondisi klinis dalam satu minggu maka dirujuk ke dokter spesialis anak
di FKRTL. Anak yang terkonfirmasi perawakan pendek (PB/U atau
TB/U <-2 SD) baik dengan/tanpa penyebab potensial yang mendasari
harus dirujuk ke dokter spesialis anak di FKRTL.1

Dokter dan petugas gizi lapangan di puskesmas tetap memberikan


konseling dan edukasi kepada orang tua. Konseling dilakukan untuk
menyampaikan informasi kepada orang tua/pengasuh tentang hasil
penilaian pertumbuhan anak dan alasan rujukan ke rumah sakit. Edukasi
meliputi anjuran cara pemberian makan sesuai usia dan kondisi anak,
24

cara menyiapkan formula, petunjuk memilih jenis bahan makanan dan


pelaksanaan aturan makan (feeding rules).1

C. Pencegahan Tersier (Tatalaksana stunting dan risiko stunting)


Pencegahan tersier dilakukan oleh dokter spesialis anak di
FKRTL. Dokter spesialis anak melakukan konfirmasi diagnosis
stunting. Dilakukan penelusuran perawakan pendek pada anak yang
dibagi menjadi variasi normal atau patologis. Pada anak usia < 2 tahun
nilai pertambahan panjang badan (length increment), sedangkan pada
anak usia 2 tahun atau lebih dilakukan pemeriksaan usia tulang. Jika
didapatkan kondisi patologis, bedakan antara proporsional akibat faktor
pranatal atau pascanatal, dan disproporsional pada displasia tulang dan
kelainan genetik lain. Tentukan penyebab perawakan pendek
berdasarkan growth velocity dan bone age.1

Program pencegahan stunting harus dilaksanakan secara komprehensif,


melibatkan seluruh komponen, tidak kasus per kasus. Program pencegahan yang
bisa dilakukan antara lain:
1. Mempersiapkan Pernikahan yang baik
Pernikahan seharusnya tidak hanya mempertimbangkan
kepentingan calon ayah dan ibu atau pasangan yang akan menikah,
namun juga perlu mempertimbangkan kepentingan calon anak yang
akan dilahirkan. Seorang wanita yang tinggi badannya kurang dari
normal diusahakan menikah dengan pria yang tinggi badannya normal
atau lebih, demikian juga sebaliknya. Sebelum menikah, calon
pengantin atau calon orang tua sebaiknya sudah mempunyai
penghasilan yang tetap dan diperkirakan cukup untuk memenuhi
kebutuhan keluarga sehari-hari. Kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi
apabila kondisi ekonomi sudah mampu mencukupi. Calon pengantin
wanita atau calon ibu sebaiknya memperoleh edukasi tentang gizi
sehingga mempunyai bekal yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
gizi keluarganya nanti.1
25

2. Pendidikan Gizi
Masyarakat Indonesia memperoleh Informasi tentang kesehatan
dan gizi dari media massa, bukan dari sekolah. Informasi dari media
massa apalagi media sosial sering menyesatkan dan tidak berdasarkan
bukti-bukti ilmiah. Pendidikan kesehatan dan gizi seharusnya diberikan
sejak dini. Pendidikan dasar yang berisi informasi umum tentang
kesehatan dan gizi selain diberikan dalam bentuk mata pelajaran juga
harus diaplikasikan dalam kehidupan sekolah sehari-hari sehingga
siswa mempunyai pengetahuan dan kebiasaan hidup sehat baik di
rumah maupun di sekolah. Pendidikan Gizi Non formal dapat
digunakan antara lain melalui penyuluhan, konseling secara langsung
kepada masyarakat atau melalui media komunikasi seperti media cetak,
media elektronik dan media sosial di internet.11

3. Suplementasi Ibu Hamil


Pertumbuhan janin di dalam kandungan sangat tergantung pada
kondisi ibu yang mengandungnya. Oleh karena itu ibu hamil harus
tespenuhi kebutuhan zat gizinya baik untuk dirinya sendiri maupun
untuk janinnya. Suplemen yang wajib dikonsumsi ibu hamil hanya
asam folat dan zat besi. Sedangkan untuk mikronutrien lain ibu hamil
harus membeli sendiri. Diharapkan pemerintah membuat program
suplementasi mikronutrien yang lengkap untuk ibu hamil sehingga
masalah defisiensi mikronutrien ini bisa diatasi.11

4. Suplementasi Ibu Menyusui


Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan utama bagi bayi. Oleh
karena itu kuantitas dan kualitas ASI tidak boleh kurang. Oleh karena
itu, suplementasi zat gizi seperti vitamin B12 dan asam folat merupakan
salah satu cara untuk mengatasi permasalahan ini. Preparat vitamin B12
dan asam folat mudah diperoleh, tidak mahal dan dapat diperoleh di
mana saja tanpa resep dokter.11
26

5. Suplementasi Mikronutrien untuk Balita


Suplementasi mikronutrien pada balita selain berpengaruh
langsung ke pertumbuhan juga berpengaruh terhadap kejadian penyakit
infeksi seperti ISPA dan diare. Seng dan zat besi merupakan zat gizi
yang penting untuk imunitas. Mikronutrien lain yang berpengaruh
terhadap kejadian stunting adalah kalsium dan vitamin D yang
merupakan mikronutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tulang.11

6. Mendorong Peningkatan Aktivitas Fisik diluar Ruangan


Aktivitas di luar ruangan artinya aktivitas yang dilakukan di luar
ruangan sehingga anak terpapar sinar matahari secara langsung.
Manfaat dari paparan sinar matahari adalah untuk membentuk vitamin
D sehingga anak terhindar dari defisiensi vitamin D. Aktivitas di luar
ruangan biasanya membutuhkan energi yang banyak sehingga mampu
membakar lemak dan mengurangi timbunan lemak yang menyebabkan
obesitas. Aktivitas fisik meliputi bermain, permainan, olahraga,
transportasi, pekerjaan rumah, rekreasi, pendidikan jasmani, atau
olahraga yang direncanakan, dalam konteks kegiatan keluarga, sekolah,
danmasyarakat.11
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1. Stunting adalah perawakan pendek atau sangat pendek berdasarkan


panjang/tinggi badan menurut usia yang kurang dari -2 Standar Deviasi
(SD) disebabkan kekurangan gizi kronik.

2. Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 di 34 provinsi menunjukkan


angka stunting nasional turun dari 27,7% tahun 2019 menjadi 24.4% di
tahun 2021, kemudian pada tahun 2022 turun lagi menjadi 21,6%.

3. Penanganan stunting dilakukan dokter spesialis di FKRTL dengan PKMK


(Pangan untuk keperluan medis khusus) seperti HMF (Human milk
fortifier dan susu formula bagi bayi prematur atau BBLR.

4. Terdapat beberapa faktor yang berkontribusi dalam terjadinya Stunting


yaitu, Faktor genetik, Faktor keluarga dan rumah tangga, status ekonomi,
faktor sosial budaya, faktor pendidikan, faktor jarak kelahiran dan riwayat
BBLR, faktor ibu selama kehamilan, faktor pelayanan kesehatan dan
sanitasi lingkungan, faktor zat gizi dan masalah dalam pemberian ASI.

5. Berbagai aspek yang berperan dalam mengatasi stunting yaitu peran


keluarga, peran masyarakat, peran media dan pendidikan dan peran pada
gizi ibu hamil.

6. Dalam menangani stunting program yang dilakukan adalah Intervensi


Spesifik yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan
(HPK) dan Intervensi Sensitif yaitu berbagai kegiatan pembangunan di
luar sektor kesehatan.

27
28

7. Dalam pencegahan stunting terdiri dari pencegahan primer yang dilakukan


mulai dari tingkat kader di posyandu dengan pemantauan pertumbuhan
dan pengukuran antropometri. Pencegahan sekunder dilakukan oleh dokter
di fasilitas kesehatan tingkat pertama melakukan konfirmasi pengukuran
antropometrik sebelumnya dan penelusuran penyebab potensial stunting.
Pencegahan tersier dilakukan oleh dokter spesialis anak di FKRTL
melakukan konfirmasi diagnosis dan pemberian terapi sesuai pedoman
Nasional Pelayanan kesehatan terkait stunting.

3.2. Saran
Dalam menghadapi sesuatu yang tidak diharapkan seperti Stunting, kita
selaku petugas kesehatan harus mampu memahami dengan cermat dan memberi
solusi penanganan yang paling efektif, terhadap musibah yang terjadi. Oleh sebab
itu saran yang dapat penulis sampaikan adalah selalu memahami dengan cermat
setiap hal yang sudah ditetapkan sebagai langkah-langkah menangani dan upaya
pencegahan stunting agar tidak terjadi atau meminimalkan banyaknya kerugian
yang akan dialami bila terjadi peningkatan angka kejadian stunting.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. Kepmenkes RI no HK.01.07/MENKES/1928/2022 Tentang


Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Stunting. 2022;1–
52.
2. Adriani P, Aisyah I, Hasanah L, Idris, Nursiah A, Yulistianingsih A, et al.
Stunting Pada Anak [Internet]. Oktavianus, Sagara RM, editors. Vol. 124.
Padang: PT GLOBAL EKSEKUTIF TEKNOLOGI; 2022. 1–41 p.
Available from: https://www.researchgate.net/publication/364952626
3. Kementerian PPN/ Bappenas. Pedoman Pelaksanaan Intervensi Penurunan
Stunting Terintegrasi di Kabupaten/Kota. Rencana Aksi Nas dalam Rangka
Penurunan Stunting Rembuk Stunting [Internet]. 2018;(November):1–51.
Available from: https://www.bappenas.go.id
4. Sandjojo E putro. Buku saku desa dalam penanganan stunting. Buku Saku
Desa Dalam Penanganan Stunting. jakarta: Kementerian Desa
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi; 2017. 42 p.
5. UNNES PK. Buku Panduan UNNES GIAT Penanganan Stunting
[Internet]. Mipa.Unnes.Ac.Id. Semarang: LPPM UNNES; 2022. 61 p.
Available from:
https://mipa.unnes.ac.id/v3/wp-content/uploads/2022/01/Buku-Panduan-
GIAT_SDGs-Desa.pdf
6. Nawalia C. Pencegahan Stunting.
7. Rahayu A, Yulidasari F, Putri AO, Anggraini L. Study Guide - Stunting
dan Upaya Pencegahannya. Hadianor, editor. Buku stunting dan upaya
pencegahannya. Yogyakarta: CV Mine; 2018. 88 p.
8. Latief A, Tumbeleka A, Matondang C, Chair I, Bisanto J, Abdoerachman
H, et al. Pemeriksaan Klinis Pada Bayi Dan Anak. III. Kresnawati W,
editor. jakarta: CV Sagung Seto; 2014. 33–55 p.
9. Hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Tingkat Nasional,Provinsi dan
Kabupaten/Kota Tahun 2021.

29
30

10. Annur CM. Daftar Prevalensi Balita Stunting di Indonesia pada 2022
[Internet]. Databooks. 2022. Available from:
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/02/02/daftar-prevalensi-
balita-stunting-di-indonesia-pada-2022-provinsi-mana-teratas
11. Candra A. Pencegahan dan Penanggulangan Stunting [Internet]. I.
Epidemiologi Stunting. Semarang; 2020. 1–53 p. Available from:
https://r.search.yahoo.com/_ylt=Awrxw_53QaJhPmUA3w_LQwx.;_ylu=Y
29sbwNzZzMEcG9zAzQEdnRpZAMEc2VjA3Ny/RV=2/
RE=1638052344/RO=10/RU=http%3A%2F%2Feprints.undip.ac.id
%2F80670%2F1%2FBuku_EPIDEMIOLOGI_STUNTING_KOMPLIT.pd
f/RK=2/RS=BFSY8aq0Lx1bha7MtII8PgwQwYU-
12. Toliu SNK, Malonda NS., Kapantow NH. Hubungan Antara Tinggi Badan
Orang Tua Dengan Kejadian Stunting Pada Anak Usia 24-59 Bulan Di
Kecamatan Pasan Kabupaten Minahasa Tenggara. J KESMAS.
2018;7(5):5–9.
13. Rufaida FD, Raharjo AM, Handoko A. The Correlation of Family and
Household Factors on The Incidence of Stunting on Toddlers in Three
Villages Sumberbaru Health Center Work Area of Jember. J Agromedicine
Med Sci. 2020;6(1):1.
14. Candra A. Hubungan underlying factors dengan kejadian stuntingpada anak
1-2 th. J Nutr Heal. 2013;1(1).
15. Fitriani, Barangkau, Masrah Hasan, Ruslang, Eka Hardianti, Khaeria, et al.
Cegah Stunting Itu Penting! J Pengabdi Kpd Masy Sosiosaintifik.
2022;4(2):63–7.

Anda mungkin juga menyukai