Anda di halaman 1dari 52

PRAKTIKUM TEKNOLOGI BIOPRODUK BERBASIS TUMBUHAN

KULTIVASI TANAMAN SECARA IN VITRO

Oleh:
Kelompok 08
Ketua Kelompok : Salfa Afifah Amini
NIM Ketua Kelompok: 11218005
Anggota Kelompok:
Jonathan 11218017
Rahma 11218027
M. Farhan Aidira 11218038
Nadya Yasmin Dicky 11218041

Dosen : Sri Nanan B. Widyanto, Prof.


Novi Tri Astutiningsih, S.Si., M.Sc.
Khalilan Lambangsari, S.T., M.Si.
Asisten : Adrian Rinaldo Odianda Sinaga (11217029)
Tanggal Percobaan : 28 Januari 2020
Tanggal Pengumpulan : 17 Maret 2020

LABORATORIUM REKAYASA HAYATI


PROGRAM STUDI REKAYASA HAYATI
SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2020
LEMBAR PENILAIAN DAN PENGESAHAN

Komponen Nilai Maksimal Nilai


BAB I 10
BAB II 20
BAB III 10
BAB IV 40
BAB V 10
Format 10
Total 100

Laporan Praktikum Modul Bioproduk Untuk Industri Perasa & Pewangi sebagai
syarat untuk memenuhi rangkaian Praktikum Teknologi Bioproduk Berbasis
Tanaman dalam menempuh studi tingkat sarjana di Program Studi Rekayasa Hayati
Institut Teknologi Bandung
Jatinangor, 17 Maret 2020
Diperiksa oleh,
Asisten Praktikum

Adrian Rinaldo Odianda Sinaga


NIM. 11217029
Mengetahui dan menyetujui,
Dosen Pengampu Dosen Pengampu

Novi Tri Astutiningsih, S.Si., M.Sc. Khalilan Lambangsari, S.T.,


M.Si.
Nopeg. 118110065 Nopeg. 119110005
Dosen Pengampu

Sri Nanan B. Widyanto, Prof.


Nopeg. 19570314198203
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .............................................................................................................i

DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................iii

DAFTAR TABEL...................................................................................................iv

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................v

RINGKASAN .........................................................................................................vi

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

1.1 Latar Belakang ....................................................................................1

1.2 Tujuan .................................................................................................2

1.3 Ruang Lingkup....................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3

2.1 Kultur Jaringan....................................................................................3

2.2 Eksplan................................................................................................4

2.3 Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)...............................................................5

2.4 Medium Murashige-Skoog .................................................................6

2.5 Alternanthera dentata .........................................................................6

2.6 Plectranthus scutellaroides.................................................................7

BAB III METODOLOGI .........................................................................................9

3.1 Alat dan Bahan.....................................................................................9

3.2 Langkah Kerja...................................................................................11

3.2.1 Pembuatan Medium Murashige-Skoog ...................................11

3.2.2 Sterilisasi dan Penanaman Eksplan untuk Inisiasi Kultur .......11

3.2.3 Pengamatan Hasil Inisiasi Kultur ............................................12

i
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................13

4.1 Hasil Pertumbuhan Kultur Alternanthera dan Plectranthus.............13

4.2 Eksplan..............................................................................................16

4.3 Kultur in vitro dan medium...............................................................16

4.4 Kontaminasi pada percobaan kultur jaringan....................................18

BAB V PENUTUP.................................................................................................20

5.1 Kesimpulan .......................................................................................20

5.2 Saran..................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................22

LAMPIRAN ...........................................................................................................25

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Alternanthera dentata (Yusmita, 2017) ..............................................6

Gambar 2. 2 Plectranthus scutellaroides (Fuad, 2011) ...........................................7

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 3. 1 Alat dan bahan pada percobaan kultivasi tanamaan secara in vitro ........9

Tabel 3. 2 Variasi konsentrasi IAA dan BAP pada Inisiasi Kultur Tumbuhan .....11

iv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Pengolahan Data ...............................................................................26.

Lampiran B Data Mentah ......................................................................................27.

Lampiran C Dokumentasi .....................................................................................43.

v
RINGKASAN
Indonesia merupakan negara agraris dan mengandalkan sektor pertanian
dalam perekonomiannya, namun sayangnya produktivitas pertanian di Indonesia
masih jauh dari harapan. Salah satu cara untuk memperbanyak tanaman secara
massal adalah pengembangbiakan secara in vitro. Percobaan ini bertujuan untuk
mengamati pertumbuhan kultur tanaman Alternanthera dentata dan Plectranthus
scutellarioides pada medium Murashige dan Skoog dengan variasi pada IAA : BAP
(dalam ppm), 0:0; 1:1; 0,5 : 2; dan 1,5 : 3 untuk setiap tanaman. Bagian tanaman
yang dijadikan eksplan adalah daun, nodus, dan internodus. Untuk tumbuhan
Plectranthus scutellarioides eksplan daun, nodus, dan internodus pada medium
variasi 1, 2, dan 3 tidak menunjukkan adanya pertumbuhan baik pucuk, akar,
maupun kalus dikarenakan semua kulturnya mengalami kontaminasi jamur, bakteri,
atau keduanya. Sedangkan pada variasi 4, hanya bagian daun yang tidak
terkontaminasi, namun juga tidak menunjukkan adanya pertumbuhan. Untuk
tumbuhan Alternanthera dentata, eksplan daun, nodus, dan internodus pada
medium variasi 1, eksplan daun dan nodus pada variasi 2, eksplan nodus dan
internodus pada variasi 3, dan eksplan daun dan internodus pada variasi 4 juga tidak
menunjukkan adanya pertumbuhan baik pucuk, akar, maupun kalus dikarenakan
semua kulturnya mengalami kontaminasi jamur dan bakteri. Eksplan internodus
variasi 2 terlihat pembentukkan akar. Eksplan daun pada variasi 3 tidak
terkontaminasi, namun juga tidak mengalami perubahan atau pertumbuhan apapun.
Eksplan nodus pada variasi 4 terjadi pertumbuhan akar dan kalus. Karena
kurangnya data pengamatan terhadap banyaknya akar, pucuk, dan kalus yang
tumbuh pada eksplan dengan 4 variasi IAA dan BAP yang berbeda, maka tidak
dapat ditentukan variasi mana yang akan menghasilkan akar, pucuk, dan kalus
terbanyak baik pada eksplan tanaman Plectranthus scutellarioides maupun
Alternanthera dentata.

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia dikenal sebagai negara agraris atau negara yang mengandalkan
sektor pertanian dalam perekonomiannya. Pertanian merupakan kegiatan
pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan
bahan pangan, bahan baku industry, atau sumber energi. Sayangnya produktivitas
pertanian di Indonesia masih jauh dari harapan karena kualitas tanaman yang tidak
unggul dan proses pembibitan yang dilakukan masih menggunakan cara tradisional.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperbanyak tanaman dalam
jumlah besar dalam waktu singkat tanpa mengurangi kualitas panen ialah
pengembangbiakan secara in vitro. Metode ini sering disebut dengan kultur
jaringan. Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk memperbanyak bagian
tanaman dalam medium kultur yang memanfaatkan sifat totipotensi tanaman.
Metode kultur jaringan banyak dimanfaatkan di bidang pertanian untuk
penggandaan bibit secara massal, produksi bibit unggul, produksi biomassa,
produksi metabolit sekunder, serta pengembangan tanaman (Muso, 1990; Pierik,
1992)
Metode in vitro biasanya menjadi metode pilihan untuk skala besar oleh
industri farmasi karena kemudahan produksi melalui metode kultur, dibandingkan
produksi dari bahan alami. Contohnya pada proses produksi Cannabinoids. Sumber
bahan baku Cannabinoid berasal dari tanaman Cannabis sativa. Namun banyak
negara membatasi produksi skala besar bahkan beberapa negara melarang
penanaman tanaman Cannabis sativa akibat penyalahgunaan obat-obatan dan
narkotika. Hal ini merupakan tantangan bagi industri farmasi, oleh karena itu kultur
jaringan adalah sebuah solusi untuk mendapatkan Cannabinoid tanpa secara
langsung menanam tanaman Cannabis sativa (Loh,1983).
Dalam proses memperoleh bibit tanaman yang berkualitas tinggi atau
unggul dan dalam jumlah yang banyak diperlukan suatu metode yang efisien.
Metode yang sering digunakan dalam proses tersebut adalah kultur jaringan.

1
1.2 Tujuan
Tujuan praktikum modul Kultivasi Tanaman secara in vitro adalah sebagai
berikut.

1. Menentukan hasil regenerasi organ daun, nodus, dan internodus tanaman


Alternanthera dentata dan Plectranthus scutellarioides melalui metode
kultur in vitro pada medium Murashige-Skoog dengan variasi ZPT

2. Menentukan hasil pertumbuhan kultur tanaman Alternanthera dentata dan


Plectranthus scutellarioides selama 4 minggu
3. Menentukan analisis pengaruh penambahan ZPT terhadap Alternanthera
dentata dan Plectranthus scutellarioides
1.3 Ruang Lingkup
Praktikum Teknologi Bioproduk Berbasis Tanaman Modul Kultivasi
Tanaman secara in vitro dilaksanakan pada hari Selasa, 28 Januari 2020 pukul 13:00
- 16:00 WIB di Laboratorium Instruksional I Labtek 1A Institut Teknologi Bandung
Kampus Jatinangor. Keadaan temperatur 27°C, tekanan 1012-1013 hPa dan
kelembaban laboratorium 58% RH.

Dalam praktikum ini dilakukan pengamatan terhadap pertumbuhan kultur


organ daun, nodus, dan internodus tanaman tanaman Alternanthera dentata dan
Plectranthus scutellarioides pada medium Murashige-Skoog dengan variasi
konsentrasi ZPT dan dilakukan tiga kali pengulangan pada setiap bagian eksplan.
Variabel yang diukur pada praktikum ini sebagai berikut.
1. Massa gula pasir pada pembuatan medium.
2. pH larutan medium.
3. Massa agar pada pembuatan medium

Parameter yang dihitung pada praktikum ini sebagai berikut.


1. Konsentrasi ZPT

Asumsi yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai berikut.


1. Tidak ada zat pengotor pada medium

2
2. Setiap alat pada praktikum layak pakai
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kultur Jaringan


Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman
seperti sekelompok sel atau jaringan yang ditumbuhkan dalam kondisi aseptik,
sehingga bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri tumbuh menjadi
tanaman lengkap kembali (Hameed et al., 2006). Sedangkan menurut Bhatia
(2015), kultur jaringan secara luas dapat didefinisikan sebagai usaha mengisolasi,
menumbuhkan, memperbanyak, dan meregenerasikan protoplas sel utuh atau
bagian tanaman seperti meristem, tunas, daun muda, ujung akar, kepala sari dan
bakal buah dalam suatu lingkungan aseptik yang terkendali.
Teknik kultur jaringan memanfaatkan prinsip perbanyakan tumbuhan secara
vegetatif. Berbeda dari teknik perbanyakan tumbuhan secara konvensional, teknik
kultur jaringan dilakukan dalam kondisi aseptik di dalam botol kultur dengan
medium dan kondisi tertentu (Hameed et al., 2006). Karena itu teknik ini sering kali
disebut kultur in vitro. Dikatakan in vitro (bahasa Latin), berarti "di dalam kaca"
karena jaringan tersebut dibiakkan di dalam botol kultur dengan medium dan
kondisi tertentu (Gunawan, 1987). Teori dasar dari kultur in vitro ini adalah
totipotensi. Teori ini mempercayai bahwa setiap bagian tanaman dapat berkembang
biak karena seluruh bagian tanaman terdiri atas jaringan-jaringan hidup. Oleh sebab
itu, semua organisme baru yang berhasil ditumbuhkan akan memiliki sifat yang
sama persis dengan induknya (Khan & Shaw, 1988).
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan eksplan yaitu
media, zat pengatur tumbuh, jenis eksplan, usia eksplan, sterilisasi dan topofisis.
Faktor yang berpengaruh terhadap perbanyakan tunas secara in vitro adalah jenis
tunas dan usia tunas baik aksilar maupun lateral. Jenis tunas yang berbeda akan
memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan tunas adventif. Begitu
pula untuk usia tunas yang berbeda juga akan memberikan pengaruh berbeda
terhadap pertumbuhannya. Pada umumnya usia tunas lateral yang muda lebih cepat

3
berdiferensiasi daripada usia tunas aksilar atau lateral yang tua (Dewanti, 2018).
Hal ini dikarenakan pada usia tunas yang lebih muda, sel-sel penyusun tunas
bersifat meristematik. Namun untuk sifat ketahanan pada sterilitas, tunas yang
berusia lebih muda lebih rentan terhadap sterilitas dibanding dengan tunas yang
berusia lebih tua. Selain jenis dan usia eksplan, topofisis juga berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan tunas tanaman. Pierik (1987) menyatakan bahwa
topofisis merupakan posisi atau letak eksplan pada suatu tanaman. Posisi eksplan
ini dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan secara in vitro setelah
tahap isolasi eksplan. Pada umumnya ujung tunas yang baru tumbuh (jaringan yang
bersifat meristematik) merupakan eksplan yang terbaik dibandingkan dengan organ
atau calon eksplan yang dekat maupun kontak langsung dengan tanah. Hal ini
dimungkinkan pada organ atau calon eksplan yang dekat maupun kontak langsung
dengan tanah lebih besar terinfeksi oleh penyakit (Dewanti, 2018). Oleh karena itu,
bahan sterilan untuk sterilisasi juga merupakan faktor penentu dalam keberhasilan
kultur.
2.2 Eksplan
Eksplan merupakan sel atau jaringan tanaman yang diambil dari bagian
tanaman, misalnya protoplasma, sel atau sekelompok sel, kemudian distimulasi
untuk membentuk tanaman secara utuh menggunakan media dan lingkungan
tumbuh yang sesuai. Pemilihan eksplan perlu mendapat perhatian karena itulah
yang nanti akan menentukan kualitas bibit yang akan dihasilkan. Paling baik
apabila eksplan berasal dari jaringan yang masih muda karena sel-selnya masih
aktif membelah (Husain, 2012). Sementara itu, pada praktikum kali ini, digunakan
eksplan berupa daun ke 2-5, nodus, dan internodus. Salah satu faktor yang sangat
mempengaruhi pertumbuhan eksplan dalam kultur jaringan adalah genotip tanaman
asal eksplan diisolasi. Perbedaan komposisi media, seperti jenis medianya, cair atau
padat, dan komposisi garam-garam anorganik, senyawa organik, serta zat pengatur
tumbuh, sangat mempengaruhi respon eksplan saat dikulturkan. Perbedaan
komposisi media sangat mempengaruhi arah pertumbuhan dan regenerasi eksplan
(Yuliarti, 2010).

4
2.3 Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
Dalam percobaan kultur jaringan, zat pengatur tumbuh merupakan faktor
penting penentu keberhasilan kultur yang diinginkan. Tanaman membutuhkan zat
pengatur tumbuh alami (fitohormon) untuk proses pertumbuhan, yaitu zat pengatur
tumbuh auksin dan sitokinin. Zat pengatur tumbuh berfungsi merangsang
pertumbuhan, misalnya pertumbuhan akar, tunas, perkecambahan, dan sebagainya
(Hendaryono & Wijayanti, 1994). Auksin merupakan kelompok zat pengatur
tumbuh yang berperan dalam pembentukan akar dan perbesaran sel. Zat pengatur
tumbuh golongan auksin terdiri atas Indo Asam Asetat (IAA), Indol Asam Buturat
(IBA), Naftalen Asam Asetat (NAA), dan 2,4 D.

Sitokinin merupakan kelompok zat pengatur tumbuh yang berperan dalam


pembentukan tunas. Zat pengatur tumbuh golongan sitokinin terdiri atas Kinetin,
Zeatin, Ribosil, dan Bensil Aminopurin (BAP) (Hendaryono & Wijayanti, 1994).
Sitokinin disintesis melalui modifikasi biokimia dari adenin, terjadi pada ujung akar
dan biji yang tumbuh. Kebalikan dari auksin, sitokinin ditranspor melalui xilem dari
akar ke pucuk. Sitokinin hanya aktif jika ada auksin, pemberian sitokinin bersama
auksin pada medium kultur dapat memacu pembelahan sel dan morfogenesis.
Sitokinin sintetik seperti N6- benzylaminopurine (BAP) lebih sering digunakan
pada medium kultur jaringan. Phenylurea, substansi aktif yang terdapat pada air
kelapa mempunyai efek yang sama dengan zeatin, penggunaannya memerlukan
konsentrasi yang lebih tinggi (Endang, 2011). Komposisi auksin dan sitokinin
dalam media kultur in vitro memainkan peranan penting dalam induksi dan
regenerasi kalus menjadi tunas (Zheng et al., 1999, dalam Kadir, 2007).
Perbandingan konsentrasi yang tepat antara sitokinin dan auksin akan memacu
pertumbuhan eksplan kultur in vitro. Oleh karena itu, konsentrasi zat pengatur
tumbuh perlu diperhatikan untuk keberhasilan teknik kultur in vitro.

5
2.4 Medium Murashige-Skoog
Medium Murashige & Skoog (medium MS) merupakan perbaikan
komposisi media Skoog, terutama kebutuhan garam anorganik yang mendukung
pertumbuhan optimum pada kultur jaringan tembakau. Media MS mengandung 40
mM N dalam bentuk NO3 dan 29 mM N dalam bentuk NH4+. Kandungan N ini,
lima kali lebih tinggi dari N total yang terdapat pada media Miller, 15 kali lebih
tinggi dari media tembakau Hildebrandt, dan 19 kali lebih tinggi dari media White.
Kalium juga ditingkatkan sampai 20 mM, sedangkan P, 1.25 mM. Unsur makro
lainnya konsentrasinya dinaikkan sedikit. Pertama kali unsur-unsur makro dalam
media MS dibuat untuk kultur kalus tembakau, tetapi komposisi MS ini sudah
umum digunakan untuk kultur jaringan jenis tanaman lain. Media MS paling
banyak digunakan untuk berbagai tujuan kultur pada tahun-tahun sesudah
penemuan media MS (Suryowinoto, 1991)

2.5 Alternanthera dentata

Gambar 2. 1 Alternanthera dentata (Yusmita, 2017)

Daun darah (Alternanthera dentata) merupakan tanaman herba dengan


ukuran kecil yang dapat digunakan sebagai salah satu komoditas pewarna alami
prospektif dalam pemenuhan kebutuhan pewarna makanan dengan ketersediaan
cukup banyak dan perawatan cukup mudah.

6
Tabel 2. 1 Klasifikasi Alternanthera dentata

Kingdom Plantae
Divisi Angiospermae
Kelas Eudicots
Ordo Caryophyllates
Famili Amaranthacae
Subfamili Gompherenoiddeae
Genus Alternanthera
Spesies Alternanthera dentata

2.6 Plectranthus scutellaroides

Gambar 2. 2 Plectranthus scutellaroides (Fuad, 2011)


Jawer Kotok (Plectranthus scutellarioides) merupakan tumbuhan tumbuhan
semak, herba tegak dan merayap, tinggi berkisar 30-150 cm, dan termasuk kategori
tumbuhan basah yang batangnya mudah patah. Tumbuhan ini dikenal masyarakat
Indonesia dengan nama daerah yaitu: si gresing (batak), adang-adang (Palembang),
miana, plado (sumbar), jawer kotok (sunda), iler, kentangan (jawa), ati-ati, saru-
saru (bugis), majana (Madura) (Dalimartha, 2008).

7
Tabel 2. 2 Klasifikasi Plectranthus scutellaroides

Kingdom Plantae
Divisi Magnoliophyta
Kelas Magnoliopsida
Ordo Lamiales
Famili Lamiaceae

Genus Plectranthus
Spesies Plectranthus scutellaroides
Daun tunggal, helaian daun berbentuk hati, pangkal membulat atau melekuk
menyerupai bentuk jantung dan setiap tepiannya dihiasi oleh lekuk-lekuk tipis yang
bersambungan dan didukung tangkai daun dengan panjang tangkai 3-4 cm yang
memiliki warna beraneka ragam dan ujung meruncing dan tulang daun menyirip
berupa alur. Batang bersegi empat dengan alur yang agak dalam pada masing-
masing sisinya, berambut, percabangan banyak, berwarna ungu kemerahan. Daun
jawer kotok mengandung minyak atsiri dan tanin (Tjitrosoepomo, 1985). Daun
jawer kotok mengandung minyak atsiri, flavonoid, steroid, tanin dan saponin. Tanin
memiliki kadar yang paling tinggi yang tersebar di dalam tumbuhan (D. Mutiatikum
et al., 2010:16). Herba tumbuhan iler atau jawer kotok ini memiliki sifat kimiawi
harum, berasa agak pahit, dingin, memiliki kandungan kimia sebagai berikut: daun
dan batang mengandung minyak atsiri, fenol, tannin, lemak, phytosterol, kalsium
oksalat, dan peptik substances. Komposisi kandungan kimia yang bermanfaat
antara lain juga alkaloid, etil salisilat, metal eugenol, timol karvakrol, mineral
(Dalimartha, 2008).

8
BAB III
METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan


Dalam percobaan kultivasi tanaman secara in vitro, teladigunakan alat dan
bahan sebagai berikut:

Tabel 3. 1 Alat dan bahan pada percobaan kultivasi tanamaan secara in vitro

Alat Bahan

Tabung erlenmeyer (8) Eksplan daun coleus (20 lembar daun)

Beaker glass (13) Eksplan daun bayam hias (20 lembar daun)

Gelas ukur (8) Medium Murashige-Skoog (17,6 gr)

Botol kultur (160) Alkohol 70% (4 L)

Batang pengaduk (8) Alkohol 96% (4 L)

Pipet ukur (8) Chlorox 40% (4 L)

Cawan petri (8) Alumunium foil (1 roll)

Scalpel (8) Cling wrap (1 roll)

Blade (8) Zat pengatur tumbuh IAA dan BAP

Pinset (8) Agar swallow (8 pak atau 64 gr)

9
Lampu spiritus (4) Plastik tahan panas (1 pak)

Hand sprayer (2) Eksplan batang coleus (10 batang)

Laminar air flow/clean bench (2) Eksplan batang bayam hias (10 batang)

Timbangan (1)

pH meter (1)

Hot plate (4)

Autoclave (1)

Rak kultur (1)

Lampu TDL 36 watt (4)

10
Tabel 3. 2 Variasi konsentrasi IAA dan BAP pada Inisiasi Kultur Tumbuhan

Kelompok IAA BAP

1,5 0 0

2,6 1 ppm 1 ppm

3,7 0,5 ppm 2 ppm

4,8 1,5 ppm 3 ppm

3.2 Langkah Kerja


3.2.1 Pembuatan Medium Murashige-Skoog
Pertama labu erlenmeyer disiapkan lalu ditambahkan 200 mL aquades,
medium Murashige-Skoog sesuai takaran di kemasan, 3% gula, dan zat pengatur
tumbuh sesuai tabel 3.1.2. Lalu ditambahkan aquades hingga volume larutan 500
mL. Selanjutnya ditentukan keasaman dengan pengukuran menggunakan pH
meter larutan hingga pH menjadi 5,6 - 5,8 dengan menambahkan NaOH 1M jika
pH dibawah yang diinginkan atau HCl 1M jika pH melebihi yang diinginkan.
Larutan yang telah diuji pH kemudian ditambahkan agar swallow 8% kemudian
didihkan dan diaduk di atas hot plate.
Larutan medium yang sudah larut secara merata kemudian dituang ke botol
kultur dengan volume kurang lebih 25 mL/botol. Lalu seluruh botol kultur ditutup
rapat dan ditambahkan cling wrap. Terakhir botol kultur berisi medium disterilisasi
menggunakan autoclave suhu 121 C, tekanan 1,5 kg/cm2 selama 15 menit.

3.2.2 Sterilisasi dan Penanaman Eksplan untuk Inisiasi Kultur


Pertama laminar air flow (LAF) dibersihkan dengan alkohol 70% dan
diletakkan seluruh peralatan untuk penanaman pada LAF, sehingga LAF siap
digunakan. Selanjutnya tanaman coleus dan bayam hias d ipetik dauh ke 2 hingga 5
(daun muda lunak), juga dipotong internodus dan nodus hingga sepanjang 1 cm
menggunakan skalpel dan pinset. Eksplan daun, internodus, dan nodus dicuci
dengan air mengalir selama 20 menit, direndam fungisida 3 g/L selama 10 menit,

11
dicuci kembali dengan air mengalir, lalu diletakkan di atas cawan petri yang dilapisi
kertas saring. Eksplan tumbuhan direndam dalam larutan NaClO 1,7% (40% larutan
Bayclin) dan 3 tetes tween-20 di erlenmeyer selama 10-20 menit atau hingga
pinggiran daun menjadi putih. Eksplan dibilas dan disterilkan dengan akuades 3
kali ulangan selama 3 menit per ulangan.

Bagian eksplan daun steril dipotong sebesar 1 x 1 cm2 dengan skalpel dan
pinset. Eksplan daun, internodus, dan nodus ditanam pada medium dalam botol
kultur dengan eksplan daun bagian bawahnya menghadap keatas, sementara untuk
internodus dan nodus diletakan hingga menancap di medium. Setiap botol kultur
berisi 3-4 eksplan daun, internodus, dan nodus. Lalu kultur ditempatkan pada rak
kultur pada suhu ruang dengan penerangan TLD 36 watt.

3.2.3 Pengamatan Hasil Inisiasi Kultur


Kultur tanaman diamati setiap minggu selama empat minggu, diperhatikan
diferensiasi yang terjadi pada setiap potongan jaringan dan diperhatikan apakah
terjadi pembentukan pucuk, akar, atau kalus. Selanjutnya dibandingkan,
didiskusikan, dan disimpulkan hasil pengamatan semua kelompok di laporan

12
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pertumbuhan Kultur Alternanthera dan Plectranthus


Pada praktikum kali ini dilakukan kultur in vitro tumbuhan Alternanthera
dentata dan Plectranthus scutellarioides dengan eksplan berupa daun, nodus, dan
internodus. Medium yang digunakan yaitu medium Murashige -Skoog (MS)
dengan perbedaan konsentrasi zat pengatur tumbuh (ZPT) yang ditambahkan
sebanyak 4 variasi antara konsentrasi IAA (Indole-3-Acetic acid) dengan
konsentrasi BAP (Benzylaminopurine).

Variasi pertama yaitu medium Murashige - Skoog (MS) dengan IAA dan
BAP masing-masing 0 ppm. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama 4
minggu didapatkan hasil pertumbuhan pucuk, akar, dan kalus pada eksplan daun,
nodus, dan internodus yang termuat pada Tabel B1 dan B7 pada Lampiran B. Untuk
tumbuhan Plectranthus scutellarioides, eksplan daun, nodus, dan internodus pada
medium variasi 1 tidak menunjukkan adanya pertumbuhan baik pucuk, akar,
maupun kalus dikarenakan semua kulturnya mengalami kontaminasi jamur, bakteri,
atau keduanya, sehingga pengamatan tidak dapat dilakukan. Untuk tumbuhan
Alternanthera dentata, eksplan daun, nodus, dan internodus pada medium variasi 1
juga tidak menunjukkan adanya pertumbuhan baik pucuk, akar, maupun kalus
dikarenakan semua kulturnya mengalami kontaminasi jamur dan bakteri, sehingga
pengamatan tidak dapat dilakukan.

Variasi kedua yaitu medium Murashige - Skoog (MS) dengan IAA dan BAP
masing-masing 1 ppm. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama 4 minggu
didapatkan hasil pertumbuhan pucuk, akar, dan kalus pada eksplan daun, nodus,
dan internodus yang termuat pada Tabel B2 dan B3 pada Lampiran B. Untuk
tumbuhan Plectranthus scutellarioides, eksplan daun, nodus, dan internodus pada
medium variasi 2 tidak menunjukkan adanya pertumbuhan baik pucuk, akar,
maupun kalus dikarenakan semua kulturnya mengalami kontaminasi jamur, bakteri,
atau keduanya, sehingga pengamatan tidak dapat dilakukan. Untuk tumbuhan

13
Alternanthera dentata, eksplan daun dan nodus pada medium variasi 2 tidak
menunjukkan adanya pertumbuhan baik pucuk, akar, maupun kalus dikarenakan
semua kulturnya mengalami kontaminasi jamur, bakteri, atau keduanya. Sementara
itu, untuk eksplan internodus, pada minggu ke-4 terlihat pembentukkan akar pada
eksplan.

Variasi ketiga yaitu medium Murashige - Skoog (MS) dengan IAA 0,5 ppm
dan BAP 2 ppm. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama 4 minggu
didapatkan hasil pertumbuhan pucuk, akar, dan kalus pada eksplan daun, nodus,
dan internodus yang termuat pada Tabel B4 dan B5 pada Lampiran B. Untuk
tumbuhan Plectranthus scutellarioides, eksplan daun, nodus, dan internodus pada
medium variasi 3 tidak menunjukkan adanya pertumbuhan baik pucuk, akar,
maupun kalus dikarenakan semua kulturnya mengalami kontaminasi jamur, bakteri,
atau keduanya. Untuk tumbuhan Alternanthera dentata, eksplan nodus dan
internodus pada medium variasi 3 tidak menunjukkan adanya pertumbuhan baik
pucuk, akar, maupun kalus dikarenakan semua kulturnya mengalami kontaminasi
jamur, bakteri, atau keduanya. Sementara itu, untuk eksplan daun, meskipun tidak
terkontaminasi, namun juga tidak mengalami perubahan atau pertumbuhan apapun.

Variasi keempat yaitu medium Murashige - Skoog (MS) dengan IAA 1,5
ppm dan BAP 3 ppm. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama 4 minggu
didapatkan hasil pertumbuhan pucuk, akar, dan kalus pada eksplan daun, nodus,
dan internodus yang termuat pada Tabel B6 dan B8 pada Lampiran B. Untuk
tumbuhan Plectranthus scutellarioides, eksplan nodus dan internodus pada medium
variasi 4 tidak menunjukkan adanya pertumbuhan baik pucuk, akar, maupun kalus
dikarenakan semua kulturnya mengalami kontaminasi jamur, bakteri, atau
keduanya. Sementara itu, untuk eksplan daun, meskipun tidak terkontaminasi,
namun juga tidak mengalami perubahan atau pertumbuhan apapun. Untuk
tumbuhan Alternanthera dentata, eksplan daun dan internodus pada medium variasi
4 tidak menunjukkan adanya pertumbuhan baik pucuk, akar, maupun kalus
meskipun tidak terkontaminasi. Sementara itu, untuk eksplan nodus, pada minggu

14
ke-3 terlihat pembentukkan akar sebanyak 1-3 akar pada eksplan. Pada minggu ke-
4, terlihat pembentukkan 4-6 akar dan 1-3 kalus pada eksplan.

Dikarenakan kurangnya data pengamatan terhadap banyaknya akar, pucuk,


dan kalus yang tumbuh pada eksplan dengan 4 variasi IAA dan BAP yang berbeda,
maka tidak dapat ditentukan variasi mana yang akan menghasilkan akar, pucuk, dan
kalus terbanyak baik pada eksplan tanaman Plectranthus scutellarioides maupun
Alternanthera dentata. Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Mufa'adi et al. (2004), untuk pertumbuhan pucuk, jumlah pucuk terbanyak didapat
dari pemberian BAP 3 ppm dan IAA 1 ppm yaitu sebesar 85, 4 dengan waktu
pengamatan 8 minggu. Interaksi pemberian BAP 1, 2, dan 3 ppm memberikan
pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap waktu munculnya pucuk. Pemberian
IAA tidak memberikan pengaruh nyata terhadap munculnya pucuk. Namun,
munculnya pucuk tercepat diperoleh dari pemberian BAP 3 ppm yaitu 1, 1 minggu
setelah kultur, sedangkan perlakuan tanpa BAP memberikan hasil terlama yaitu 1,5
minggu setelah kultur. Hal ini bisa terjadi karena tanaman terpacu untuk lebih cepat
melakukan multiplikasi tunas yang disebabkan oleh pemberian BAP. Sesuai dengan
pernyataan Hartmann et al. (1990) bahwa pertumbuhan pucuk dipengaruhi secara
kuat oleh konsentrasi sitokinin.

Untuk pertumbuhan akar, berdasarkan penelitian yang sama oleh Mufa'adi


et al. (2004), interaksi pemberian BAP dan IAA memberikan pengaruh yang nyata
pada peubah panjang akar. Akar terpanjang diperoleh pada perlakuan kontrol yaitu
13,3 cm selama 8 minggu pengamatan. Wattimena (1987) menjelaskan bahwa
selang konsentrasi ZPT untuk pembesaran sel pada batang menjadi penghambat
pada pembesaran sel akar. Pada penelitian lain oleh Arniputri et al. (2003),
menyebutkan bahwa IAA hanya signifikan berpengaruh pada peubah jumlah akar
dan panjang akar. Penggunaan IAA sampai dengan 1.5 ppm menghasilkan respon
linier pada peningkatan jumlah akar yang terbentuk.

Untuk pertumbuhan kalus, pada penelitian Mufa'adi et al. (2004), dijelaskan


adanya pengaruh IAA dan BAP terhadap persentase kultur berkalus, yaitu jika
dikaitkan dengan percobaan yang kami lakukan, terdapat pertumbuhan kalus

15
tertinggi pada variasi 2 dan 3. Merujuk pernyataan Evans et al. (1981) bahwa secara
umum kombinasi auksin berkonsentrasi tinggi dan sitokinin berkonsentrasi rendah
pada media dapat menghasilkan kalus.

4.2 Eksplan
Pemilihan eksplan yang tepat merupakan salah satu faktor yang menentukan
keberhasilan regenerasi tanaman secara in vitro. Meskipun pada prinsipnya semua
jenis sel dapat ditumbuhkan, tetapi bagian tanaman yang masih muda dan mudah
tumbuh yaitu bagian meristematik, seperti daun muda, ujung akar, ujung batang,
dan kotiledon akan memberikan peluang keberhasilan yang tinggi (Gunawan 1988).
Ukuran eksplan yang digunakan bervariasi dari ukuran mikroskopik (±0,1 mm)
sampai 5 cm (Mariska & Sukmadjaja, 2003). Pada percobaan yang dilakukan,
eksplan tanaman diambil dari bagian nodus, internodus, dan daun. Daun yang
dijadikan eksplan pada percobaan merupakan semua daun pada tumbuhan, baik
muda maupun tua. Hal ini dapat menjadi penyebab tidak terjadinya pertumbuhan
pada daun karena umur daun mempengaruhi perolehan jumlah dan viabilitas sel
(Prihastanti et al., 2001). Daun yang bagus untuk dijadikan eksplan adalah daun
yang tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Nodus dapat dijadikan eksplan karena
memiliki sel yang meristematik dan juga dapat menginduksi tunas aksilar. Namun
pada saat eksplan nodus akan diinisiasi pada medium, pada bagian cabang nodus
terdapat sisa detergen berwarna putih yang sulit untuk disingkirkan. Hal ini dapat
menjadi salah satu penyebab kultur nodus terkontaminasi bakteri/jamur. Untuk
eksplan internodus, internodus yang diambil dari tunas yang muncul dari batang
sekunder (umurnya lebih tua) masih tetap mampu membentuk tunas majemuk,
namun jumlah tunas yang dihasilkan lebih rendah dari internodus yang diisolasi
dari tunas primer. Tunas primer yaitu tunas yang terbentuk langsung dari batang
stek merupakan eksplan yang terbaik untuk pembentukan tunas majemuk. Umur
eksplan juga mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan tunas (Brand, 1993).

4.3 Kultur in vitro dan medium


Kultur in vitro atau dikenal juga dengan kultur jaringan merupakan
perbanyakan tanaman secara vegetatif. Kultur in vitro terus berkembang dari

16
mengkulturkan biji kemudian jaringan dan terus berkembang hingga mampu
mengkulturkan satu sel dari tanaman. Teknik kultur jaringan ini memiliki prinsip
totipotensi yang artinya potensi suatu sel untuk tumbuh dan berkembang menjadi
tanaman yang lengkap. Setiap sel yang ditempatkan di lingkungan yang sesuai akan
dapat beregenerasi menjadi suatu tanaman yang utuh (Farnsworth, 1996). Teknik
kultur jaringan akan dapat berhasil dengan baik apabila syarat-syarat yang
diperlukan terpenuhi. Kegunaan utama dari kultur jaringan ini adalah untuk
mendapatkan tanaman baru dalam jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat
serta mempunyai sifat fisiologi dan morfologi sama persis dengan tanaman
induknya.

Tujuan dari kultur jaringan adalah untuk membiakkan bagian tanaman


dalam ukuran yang sekecil-kecilnya seperti organ tanaman, sel, jaringan, benang
sari, protoplas, kloroplas, dan sebagainya sehingga menjadi beratus-ratus ribu
tanaman kecil (klon), dan untuk menghasilkan kalus sebanyak-banyaknya agar
dapat menghasilkan metabolit sekunder (Hendaryono, 1994). Tahapan kultur in
vitro meliputi inisiasi, multiplikasi, perpanjangan, induksi akar, dan terakhir
tahapan aklimatisasi. Terdapat juga faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
keberhasilan teknik kultur jaringan ini. Mulai dari seleksi bahan alam tanaman yang
akan diisolasi, teknik sterilisasi eksplan, komposisi media yang digunakan,
penambahan zat pengatur tubuh, serta faktor lingkungan dimana kultur akan
ditempatkan menjadi faktor yang mempengaruhi keberlangsungan dan kelancaran
dari teknik kultur ini (Nurtjahjaningsih, 2009). Terdapat juga faktor-faktor lain
seperti faktor biologi dan kimia yang ada pada kultur yang digunakan.

Apapun tujuan pengkulturan eksplan, media kultur merupakan salah satu


faktor penentu keberhasilan terpenting. Bagian tanaman yang dikulturkan
berukuran sangat kecil untuk dapat hidup di lingkungan di luar tabung. Jika eksplan
tersebut kita isolasi dalam tabung, maka potongan kecil bagian tanaman tersebut
umumnya tidak dapat berfotosintesis. Media kultur merupakan supporting system
untuk eksplan agar tetap hidup, bahkan dapat tumbuh dan berkembang menjadi
kalus, organ atau tanaman utuh yang dikehendaki. Oleh karena itu media tempat

17
eksplan dikulturkan harus mengandung semua komponen esensial yang diperlukan
oleh eksplan agar dapat bertahan hidup, lalu mengalami perubahan fisiologis,
biokimia, pembelahan dan diferensiasi sel yang bermuara pada terjadinya
pertumbuhan dan morfogenesis (Yusnita, 2015). Dalam percobaan ini, digunakan
medium yang bernama medium Murashige-Skoog. Komposisi dari medium ini
merupakan sumber nutrisi bagi tanaman yang dikulturkan. Di dalam medium MS
ini terdapat berbagai zat hara baik berupa mikronutrien maupun makronutrien
seperti N, P, K. Ca, Mg, S, Fe, Cu, Mn, Zn, Mo, d an Co (Hendaryono, 1994).
Terdapat juga senyawa organik berupa nutrisi tambahan bagi tanaman seperti asam
amino, vitamin, dan karbohidrat.

4.4 Kontaminasi pada percobaan kultur jaringan


Dari 110 botol kultur yang dilakukan kultur jaringan coleus dan bayam hias,
105 botol kultur mengalami kontaminasi. Sehingga pada percobaan ini 95% dari
kultur jaringan mengalami kontaminasi dengan jenis kontaminasi jamur
(cendawan) dan bakteri. Kontaminasi ini dapat dibedakan melalui ciri-ciri fisik
yang muncul pada eksplan dan media kultur. Bila kultur terkena kontaminasi
bakteri maka tanaman akan basah atau berlendir, hal ini dikarenakan bakteri
langsung menyerang jaringan tubuh tumbuhan. Sedangkan pada kontaminasi jamur
tanaman akan tetap kering dan muncul hifa jamur pada tanaman yang terserang dan
biasanya terlihat garis-garis (seperti benang) yang berwarna putih atau abu-abu
(Prasetyo & Admojo, 2016).

Kontaminasi ini telah menjadi permasalahan yang krusial pada kultur in


vitro dan hal ini merupakan salah satu faktor pembatas yang umum terjadi pada
fase tanam. Kontaminasi pada eksplan dapat disebabkan oleh beberapa faktor
seperti mikroorganisme jamur, bakteri, virus, hingga serangga. Pada percobaan ini
seluruh kontaminasi disebabkan oleh jamur dan bakteri, hal ini paralel dengan
referensi kultur jaringan in vitro lainnya yang menemukan sumber utama
kontaminasi dari spora jamur dan bakteri yang dapat terbentuk secara alami pada
atmosfer (Putri, 2009). Kontaminasi ini sebenarnya bersifat non patogenik artinya
mereka tidak menyebabkan bahaya bagi tanaman inang pada kondisi normal.

18
Namun karena kontaminasi terjadi beberapa saat setelah fase tanam, menyebabkan
berkurang kemampuan tumbuhan untuk beregenerasi karena bersaing akan nutrisi
dengan jamur atau bakteri yang telah mengkontaminasi sehingga menyebabkan
lingkungan tumbuh yang tidak optimal. Kontaminasi yang terjadi dapat disebabkan
karena kesalahan pada proses sterilisasi. Pada percobaan ini setelah direndam
larutan fungisida eksplan tanaman masih berinteraksi dengan atmosfer dan
lingkungan praktikum yang tidak steril.

Sampel tanaman secara langsung diproses untuk dipotong menggunakan


peralatan dan tangan praktikan yang belum disterilkan. Dari hal tersebut
kontaminasi dapat terjadi dengan spora kontaminan tertanam pada sampel tanaman.
Selanjutnya pada ruang laminar air flow untuk proses inisiasi kultur dan sterilisasi
lebih lanjut, sampel tanaman berulang kali keluar dari laminar air flow sehingga
sampel terekspos lingkungan yang tidak steril. Proses sterilisasi pun tidak dilakukan
sesuai cara kerja referensi karena perendaman sampel pada NaClO 1,7% hanya
dilakukan selama 5 menit yang seharusnya dilakukan selama 10-20 menit. Oleh
karena itu kontaminasi kontaminasi bakteri dan jamur terjadi secara masal pada
percobaan kultur jaringan kali ini.

Kontaminasi pada kultur in vitro dapat dicegah menggunakan teknik aseptik


yang merupakan segala upaya untuk mencegah masuknya mikroorganisme ke
dalam tubuh yang kemungkinan besar dapat menyebabkan infeksi (Caselles, 2005).
Tujuan dari teknik aseptik ini adalah mengurangi atau mengeliminasi
mikroorganisme yang terdapat pada permukaan sampel. Proses asepsis meliputi
penambahan antiseptik yang dapat memperlambat atau menghentikan pertumbuhan
mikroorganisme pada jaringan tubuh dan perlu digunakan bahan yang dapat
membunuh spora (sporosidal) untuk bekerja dengan bahan yang non sporosidal
untuk hasil yang lebih sempurna. Perlu juga digunakan desinfektan seperti alkohol,
garam amonium, klorida dioksida, ataupun pemutih. Selain itu proses asepsis juga
meliputi sterilisasi menggunakan autoklaf.

19
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, didapatkan:

1. Regenerasi organ daun, nodus, dan internodus tanaman Alternanthera


dentata dan Plectranthus scutellarioides melalui metode kultur in vitro pada
medium Murashige-Skoog dengan variasi ZPT menghasilkan pertumbuhan
akar dan kalus tanpa menghasilkan pucuk.

2. Pembentukan kalus, pucuk, dan akar tanaman kultur Plectranthus


scutellarioides dan Alternanthera dentata selama 4 minggu dengan variasi
4 jenis media yang berbeda memberikan hasil yang kurang dapat diamati
karena banyaknya tanaman kultur yang terkontaminasi. Pada kultur daun
Plectranthus scutellarioides dengan variasi IAA: BAP sebesar 1,5: 3 dan
kultur daun Alternanthera dentata dengan variasi IAA: BAP sebesar 0,5: 2
tidak terkontaminasi, namun tidak terbentuk kalus, pucuk, dan juga akar
yang tumbuh dari eksplan. Pada kultur nodus Alternanthera dentata dengan
variasi IAA: BAP sebesar 1,5: 3 terdapat pertumbuhan akar dan kalus yang
sedikit tidak sesuai dengan literatur. Komposisi IAA < BAP akan
menghasilkan pertumbuhan akar (Ali et al., 2007). Namun pada kultur
internodus Alternanthera dentata dengan variasi IAA: BAP sebesar 1: 1
dapat diamati pertumbuhan akar.
3. Penambahan IAA dan BAP terhadap pertumbuhan kultur tanaman
Plectranthus scutellarioides dan Alternanthera dentata berpengaruh
terhadap pertumbuhan akar. Komposisi IAA: BAP sebesar 1,5: 3 ppm dan
1: 1 ppm berturut-turut menghasilkan pertumbuhan akar pada kultur nodus
Alternanthera dentata dan kultur internodus Alternanthera dentata.
Komposisi IAA BAP sebesar 0:0 ppm dan 0,5: 2 ppm tidak dapat diambil
kesimpulan karena kultur terkontaminasi bakteri,jamur, atau keduanya.

20
5.2 Saran
Beberapa percobaan yang telah dilakukan, dapat memberikan saran sebagai
berikut:

1. Memastikan botol kultur yang digunakan sudah bersih dan steril, tidak ada
bakteri atau jamur yang hidup di botol kultur.
2. Mensterilisasi peralatan yang digunakan untuk kultivasi dengan baik agar
tidak terjadi kontaminasi pada kultur.
3. Membersihkan dan membilas eksplan dengan baik agar tidak terjadi
kontaminasi yang disebabkan oleh kontaminan yang tertinggal pada
eksplan.

21
DAFTAR PUSTAKA

Ali, G., Hadi, F., Ali, Z., Tariq, M., & Khan, M. A. (2007). Callus induction and in vitro
complete plant regeneration of different cultivars of tobacco (Nicotiana tabacum
L.) on media of different hormonal concentrations. Biotechnology, 6(4), 561-566.
Altmann, W. (2005). Practical Process Control for Engineers and Technicians. USA :
Newnes.
Arniputri, R. B., Praswanto, & Purnomo, D. (2003). Pengaruh Konsentrasi IAA dan BAP
Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Kunir Putih (Kaempferia
rotunda L.) Secara In Vitro. Agrosains, 5(2): 48 - 51.
Bhatia, S. (2015). Application of Plant Biotechnology. Journal of Modern Application of
Plant in Pharmaceutical, 157-207.
Brand, M.B. (1993). Initiating cultures of Helesia and Malus. influence off1ushing stage
and benzyladenine. Plant Cell, Tissue and Organ Culture, 33: 129-132 .
Caselles, A. (2005). History of Infection Control and its Contributions to the Development
and Success of Brain Tumor Operations. Neurosurgical Focus, 18(4): 1-5
Dalimartha, I.G.O., Besung, I.N.K., & Mahatmi. (2008). Potensi Daun Binahong (Anredera
cordifolia) dalam Menghambat Pertumbuhan Escherichia coli Secara In Vitro.
Indonesia Mediscus Veterinus, 1(3): 337.
Dewanti, P. (2018). Teknik Kultur Jaringan. Jember: UPT Percetakan & Penerbitan
Universitas Jember.
Evans, D. A., Sharp, W. R., & Flick, C. E. (1981). Growth and Behaviour of Cell Cultures:
Embryogenesis and Organogenesis. In: T. A. Thorpe (Ed.) Plant Tissue Culture
Methods and Applications in Agriculture. Academic Press, Inc. London, page 45 -
113.
Farnsworth, N.R. (1996). Biological and Phytochemical Screening of Plant. Journal
Pharmacy Science, page 243-268.
Fuad, M. (2011). Plectranthus scutellarioides. Retrieved from http://tropical.theferns.info
Gunawan, L.W. (1988). Teknik Kultur Jaringan. Bogor: Pusat Antar Universitas
Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. (hal 252)

22
Gunawan, L. W. (1992). Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas
Bioteknologi IPB. Bogor. (hal 165)
Hameed, N., Shabbir, A., Ali, A., & Bajwa, R. (2006). In Vitro Micropropagation of
Disease Free Rose (Rosa indica L.). Mycopath, 4: 35-38.
Hartmann, H. T., Kester, D. E., & Davies, F. T. (1990). Plant Propagation Principles and
Practices, 5th Edition. Prentice-Hall International, Inc. New Jersey.
Hendaryono, D., P., S. & A. Wijayanti. (1994). Teknik Kultur Jaringan (Pengenalan dan
Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif Modern). Yogyakarta: Kanisius.
Husain, I. (2012). Induksi Protocorm pada Eksplan Bawang Putih pada Media MS Minim
Hara Makro dan Mikro yang Ditambahkan Air Kelapa. JATT. 1(1) : 28-3.
Johnson, M. A. & Arthur, T. (1999). Biological Process Engineering: An Analogical
Approach to Fluid Flow, Heat Transfer, Mass Transfer Applied to Biological
System. USA : John Wiley & Sons Inc.
Johnson, M. A. & Moradi, M. H. (2006). PID control: New Identification and Design
Methods. Berlin : Springer Science & Business Media.
Kadir, A. (2007). Anthurium Daun. Penebar Swadaya. Jakarta
Khan, I.A., & Shaw, J.J. (1988). Biotechnology in Agriculture. Punjab. Agric. Res.
Coordination Board Faisalabad, Pakistan.
Loh, W. T., Hartsel, S. C., & Robertson, L. W. (1983). Tissue culture of Cannabis sativa
L. and in vitro biotransformation of phenolics. Zeitschrift fuer Pflanzenphysiologie,
111(5), 395-400.
Mariska, I., & Sukmadjaja, D. (2003). Perbanyakan Bibit Abaka melalui Kultur Jaringan.
Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Mufa'adi, A., Aziz, S. A., & Dinarti, D. (2004). Pengaruh Kombinasi Zat Pengatur Tumbuh
BAP dan IAA terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Daun Dewa
(Gynura procumbens (Back.)). Kultur In Vitro. Bul. Argon., 32(3): 44 - 52.
Muso, S.M. (1990). Pembudidayaan Tanaman Secara In Vitro. Fakultas Biologi, UGM.

23
Mutiatikum, D., Alegantina, S., dan Astuti, Y. (2010). Standarisasi Simplisia dari Buah
Miana (Plectranthus Seutellaroides (L) R.Btlz ) yang Berasal dari 3 Tempat
Tumbuh Manado, Kupang Dan Papua. Buletin Penelitian Kesehatan, 38(1): 1-16.
Nurtjahjaningsih. (2009). Pengaruh media dasar d an zat pengatur tumbuh BAP pada
perbanyakan mikro Pinus merkusii. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, 3 (3):103-
116.
Pierik, R.L.M. (1987). In Vitro Culture of Higer Plants. Martinus Nijhoff. Publishers
Dordrecht, The Netherlands.
Prasetyo, Nur Eko & Admojo, L. (2016) Pengaruh Sterilan Terhadap Tingkat Kontaminasi
Pada Kultur Petiol dan Midrie Daun Tanaman Karet. Jurnal Penelitian Karet,
34(2): 151-164.
Prihastanti, E., Soergihardjo, C.J., & Purbaningsih, S. (2001). Kultur Suspensi Sel Mesofil
Daun Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) dan Analisis Kualitatif Senyawa
Asiatikosida. Majalah Farmasi Indonesia, 12(1): 10 -19.
Putri, Asri I. (2009). Kajian Glycocalyx Bakteri Pada Kontaminasi Ulin (Eusideroxylon
zwageri) In-vitro. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, 3(1): 33-42.
Suryowinoto, M. (1991). Budidaya Jaringan dan Manfaatnya. Fakultas Biologi.
Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta
Tjitrosoepomo, G. (1985). Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta:Gajah Mada University
Press.
Wattimena, G. A. (1987). Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Lab Kultur Jaringan Tanaman
PAU Bioteknologi IPB. Bogor. (hal 147)
Yuliarti, N. (2010). Kultur Jaringan Tanaman Skala Rumah Tangga. Yogyakarta: Andi.
Yusmita, L., Kasim, A., & Nurdin, H. (2017). Pengaruh Suhu Ekstraksi dan Konsentrasi
Asam Sitrat terhadap Pigmen Betacyanin Daun Kremah Merah (Alternanthera
dentata) dan Aplikasinya pada Pangan. Pro Food, 3(1): 178-185.
Yusnita, Yusnita (2015). Kultur Jaringan Tanaman Sebagai Teknik Penting Bioteknologi
Untuk Menunjang Pembangunan Pertanian. AURA Publisher, Bandar Lampung.
Zheng, B., De Vries, L., & Farquhar, M.G. (1999). Divergence of RGS proteins: evidence
for the existence of six mammalian RGS subfamilies. Trends Biochem. Sci.,
24(11): 411- 414

24
LAMPIRAN

25
Lampiran A Pengolahan Data

A.1 Cara Mengolah Data Persentase Kontaminasi

Data yang jumlah diperoleh pada praktikum ini pada percobaan pertama
disajikan pada tabel A.1.

Tabel A.1 Jumlah Kontaminasi dari Total Botol Kultur

Nilai persentase kontaminasi yang terjadi pada percobaan ini kemudian


dapat dihitung dengan persamaan A1, didapatkan nilai persentase kontaminasi
sebesar 95%.

(A.1)

26
Lampiran B Data Mentah
B.1 Data Pengamatan Eksplan Tanaman Coleus (Plectranthus scutellarioides)
dengan penambahan ZPT IAA:BAP sebanyak 0:0 ppm

DATA PENGAMATAN EKSPLAN TANAMAN COLEUS (Plectranthus


scutellarioides) IAA:BAP (0:0 ppm)

Jenis Minggu Minggu Minggu Minggu kontamina Foto


eksplan 1 2 3 4 si

P A K P A K P A K P A K

Daun - - - - - - - - - - - - Bakteri

Internodu - - - - - - - - - - - - Jamur,
s bakteri

Nodus - - - - - - - - - - - - Jamur,
bakteri

Keterangan :
P = Pucuk A = Akar K = Kalus

27
Data Kontaminasi Eksplan Tanaman Coleus IAA:BAP (0:0 ppm)

Kontaminasi Jamur Bakteri Jamur dan Bakteri

Foto

Jumlah Botol : 1 botol 1 botol 12 botol terdiri


14 Terdiri dari Terdiri dari dari
• Nodus : 0 • Nodus : 0 • Nodus : 4
• Internodus : • Internodus : • Internodus :
1 0 4
• Daun : 0 • Daun : 1 • Daun : 4

28
B.2 Data Pengamatan Eksplan Tanaman Coleus (Plectranthus scutellarioides)
dengan penambahan ZPT IAA:BAP sebanyak 1:1 ppm

DATA PENGAMATAN EKSPLAN TANAMAN COLEUS IAA:BAP (1:1


ppm)

Jenis Minggu Minggu Minggu Minggu kontamin Foto


eksplan 1 2 3 4 asi

P A K P A K P A K P A K

internod - - - - - - - - - - - - Jamur,
us bakteri

Daun - - - - - - - - - - - - Jamur,
bakteri

Nodus - - - - - - - - - - - - Jamur,
bakteri

Keterangan :
P = Pucuk A = Akar K = Kalus

29
Data Kontaminasi Eksplan Tanaman Coleus IAA:BAP (1:1 ppm)

Kontaminasi Jamur Bakteri Jamur dan Bakteri

Foto -

Jumlah Botol : 11 Botol 0 Botol 3 Botol


14 Terdiri dari Terdiri dari Terdiri dari
• Nodus : 4 • Nodus : 0 • Nodus : 1
• Internodus : • Internodus : • Internodus
2 0 :1
• Daun : 5 • Daun : 0 • Daun : 1

30
B.3 Data Pengamatan Eksplan Tanaman Bayam Hias (Alternanthera dentata)
dengan Penambahan Zat Pengatur Tumbuh IAA:BAP sebanyak 1:1ppm

DATA PENGAMATAN EKSPLAN TANAMAN BAYAM HIAS IAA:BAP


(1:1 ppm)

Jenis Minggu Minggu Minggu Minggu kontamin Foto


eksplan 1 2 3 4 asi

P A K P A K P A K P A K

Nodus - - - - - - - - - - - - Jamur,
bakteri

Internod - - - - - - - - - - v - berhasil
us

Daun - - - - - - - - - - - - Jamur,
Bakteri

Keterangan :
P = Pucuk A = Akar K = Kalus

31
Data Kontaminasi Eksplan Tanaman Bayam Hias IAA:BAP (1:1 ppm)

Kontaminasi Jamur Bakteri Jamur dan Bakteri

Foto

Jumlah 8 Botol 4 Botol 3 Botol


Botol: 15 Terdiri dari Terdiri dari Terdiri dari
• Nodus : 2 • Nodus : 2 • Nodus : 1
• Internodus : • Internodus • Internodus : 0
1 :2 • Daun : 2
• Daun : 5 • Daun : 0

32
B.4 Data Pengamatan Eksplan Tanaman Coleus (Plectranthus scutellarioides)
dengan Penambahan Zat Pengatur Tumbuh IAA:BAP sebanyak 0,5:2ppm

DATA PENGAMATAN EKSPLAN TANAMAN COLEUS IAA:BAP (0,5:2


ppm)

Jenis Minggu Minggu Minggu kontamin Foto


eksplan 1 Minggu 3 4 asi
2

P A K P A K P A K P A K

Nodus - - - - - - - - - - - - Jamur,
bakteri

Daun - - - - - - - - - - - - Jamur,
bakteri

Internod - - - - - - - - - - - - Jamur,
us bakteri

Keterangan :
P = Pucuk A = Akar K = Kalus

33
Data Kontaminasi Eksplan Tanaman Coleus IAA:BAP (0,5:2 ppm)

Kontaminasi Jamur Bakteri Jamur dan Bakteri

Foto

Jumlah Botol : 10 Botol 1 Botol 4 Botol


15 Terdiri dari Terdiri dari Terdiri dari
• Nodus : 3 • Nodus : 1 • Nodus : 0
• Internodus : • Internodus : • Internodus :
2 0 2
• Daun : 5 • Daun :0 • Daun : 2

34
B.5 Data Pengamatan Eksplan Tanaman Bayam Hias (Alternanthera dentata)
dengan Penambahan Zat Pengatur Tumbuh IAA:BAP sebanyak 0,5:2 ppm

DATA PENGAMATAN EKSPLAN TANAMAN BAYAM HIAS IAA:BAP


(0,5:2 ppm)

Minggu Minggu Minggu


Minggu
Jenis 1 2 4 3kontaminas Foto
eksplan i
P A K P A K P A K P A K

daun - - - - - - - - - - - - Tidak
terkontamin
asi namun
tidak
tumbuh
apa2

internod - - - - - - - - - - - - jamur
us

nodus - - - - - - - - - - - - Bakteri ,
jamur

Keterangan :
P = Pucuk A = Akar K = Kalus

35
Data Kontaminasi Eksplan Tanaman Bayam Hias IAA:BAP (0,5:2 ppm)

Kontaminas Jamur Bakteri Jamur dan Bakteri


i

Foto

Jumlah 3 Botol 3 Botol 3 Botol


Botol : 9 Terdiri dari Terdiri dari Terdiri dari
• Nodus :3 • Nodus : 0 • Nodus : 0
• Internodus :0 • Internodus : • Internodus :
• Daun :0 3 0
• Daun :0 • Daun :3

36
B.6 Data Pengamatan Eksplan Tanaman Coleus (Plectranthus scutellarioides)
dengan Penambahan Zat Pengatur Tumbuh IAA:BAP sebanyak 1,5:3ppm

DATA PENGAMATAN EKSPLAN TANAMAN COLEUS


IAA:BAP (1,5:3 ppm)

Jenis Minggu Minggu Minggu Minggu kontamin Foto


eksplan 1 2 3 4 asi

P A K P A K P A K P A K

nodus - - - - - - - - - - - - Jamur,
bakteri

internod - - - - - - - - - - - - bakteri
us

daun - - - - - - - - - - - - Tidak
kontam
namun
tidak
tumbuh
apa-apa

Keterangan :
P = Pucuk A = Akar K = Kalus

37
Data Kontaminasi Eksplan Tanaman Coleus IAA:BAP (1,5:3 ppm)

Kontaminasi Jamur Bakteri Jamur dan Bakteri

Foto

Jumlah 5 Botol 1 Botol 8 Botol


Botol:14 Terdiri dari Terdiri dari Terdiri dari
• Nodus : 0 • Nodus : 0 • Nodus : 5
• Internodus : • Internodus : • Internodus
2 1 :2
• Daun : 3 • Daun : 0 • Daun : 1

38
B.7 Data Pengamatan Eksplan Tanaman Bayam Hias (Alternanthera dentata)
tanpa Penambahan Zat Pengatur Tumbuh

DATA PENGAMATAN EKSPLAN TANAMAN BAYAM HIAS IAA:BAP


(0:0 ppm)

Jenis Minggu Minggu Minggu Minggu kontamin Foto


eksplan 1 2 3 4 asi

P A K P A K P A K P A K

Internod - - - - - - - - - - - - Jamur,
us bakteri

Nodus - - - - - - - - - - - - Jamur

Daun - - - - - - - - - - - - Jamur

Keterangan :
P = Pucuk A = Akar K = Kalus

39
Data Kontaminasi Eksplan Tanaman Bayam Hias IAA:BAP (0:0 ppm)

Kontaminasi Jamur Bakteri Jamur dan Bakteri

Foto -

Jumlah Botol : 12 Botol 2 Botol 0 Botol


14 Terdiri dari Terdiri dari Terdiri dari
• Nodus : 4 • Nodus : 0 • Nodus : 0
• Internodus • Internodus : • Internodus
:2 2 :0
• Daun : 6 • Daun : 0 • Daun :0

40
B.5 Data Pengamatan Eksplan Tanaman Bayam Hias (Alternanthera dentata)
dengan Penambahan Zat Pengatur Tumbuh IAA:BAP sebanyak 1,5:3 ppm

DATA PENGAMATAN EKSPLAN TANAMAN BAYAM HIAS IAA:BAP


(1,5:3 ppm)

Jenis Minggu Minggu Minggu Minggu kontamin Foto


eksplan 1 2 3 4 asi

P A K P A K P A K P A K

Nodus - - - - - - - + - - + + Tidak
+

Internod - - - - - - - - - - - - Tidak
us

Daun - - - - - - - - - - - - Tidak

Keterangan :
P = Pucuk A = Akar K = Kalus

41
Data Kontaminasi Eksplan Tanaman Bayam Hias IAA:BAP (1,5:3 ppm)

Kontaminasi Jamur Bakteri Jamur dan Bakteri

Foto -

Jumlah Botol 10 Botol 2 Botol 0 Botol


:12 Terdiri dari Terdiri dari Terdiri dari
• Nodus : 4 • Nodus : 0 • Nodus : 0
• Internodus : • Internodus : • Internodus
4 0 :0
• Daun : 2 • Daun : 2 • Daun :0

42
Lampiran C Dokumentasi

Gambar C.1 Kultur tanaman bayam hias pada rak kultur

43
Gambar C.2 Kultur internodus yang terkena kontaminasi jamur

44

Anda mungkin juga menyukai