Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN (LP)

TINDAKAN KEPERAWATAN JIWA


RESIKO PERILAKU KEKERASAN (RPK)

DISUSUN OLEH:
CATUR LINTANG SEMBODO
NIM. P1337420922154

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG
2023
A. PENGERTIAN
Risiko perilaku kekerasan merupakan salah satu respon marah yang
diekspresikan dengan melakukan ancaman, mencederai diri sendiri maupun orang
lain dan dapat merusak lingkungan sekitar. Tanda dan gejala risiko perilaku
kekerasan dapat terjadi perubahan pada fungsi kognitif, afektif, fisiologis, perilaku,
dan sosial. Pada aspek fisik tekanandarah meningkat, denyut nadi dan pernapasan
meningkat, mudah tersinggung, marah, amuk serta dapat mencederai diri sendiri
maupun orang lain (Pardede & Hulu, 2020).
Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi tersebut
maka perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri,
orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan pada orang lain adalah tindakan
agresif yang ditujukan untuk melukai atau membunuh orang lain. Perilaku
kekerasan pada lingkungan dapat berupa perilaku merusak lingkungan, melempar
kaca, genting dan semua yang ada di lingkungan sekitarnya (Putri & Fitrianti,
2018).
Perilaku kekerasan merupakan bentuk kekerasan dan pemaksaan secara fisik
maupun verbal ditujukkan kepada diri sendiri maupun orang lain. Perilaku
kekerasan adalah salah satu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologi. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan
sering dipandang sebagai rentang dimana agresif verbal di suatu sisi dan perilaku
kekerasan (violence) di sisi yang lain. Suatu keadaan yang menimbulkan emosi,
perasaan frustasi, benci atau marah. Hal ini akan mempengaruhi perilaku
seseorang. Berdasarkan keadaan emosi secara mendalam tersebut terkadang
perilaku menjadi agresif atau melukai karena penggunaan koping yang kurang
bagus (Kandar & Iswanti, 2019).
B. PENYEBAB
Menurut Nurhalimah (2016) Proses terjadinya perilaku kekerasan pada pasien
akan dijelaskan dengan menggunakan konsep stress adaptasi Stuart yang meliputi
faktor predisposisi dan presipitasi.
1. Faktor Predisposisi
a) Faktor Biologis
Hal yang dikaji pada faktor biologis meliputi adanya faktor
herediter yaitu adanya anggota keluarga yang sering memperlihatkan
atau melakukan perilaku kekerasan, adanya anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa, adanyan riwayat penyakit atau trauma
kepala, dan riwayat penggunaan NAPZA (narkotika, psikotropika dan
zat adiktif lainnya).
b) Faktor Psikologis
Pengalaman marah merupakan respon psikologis terhadapstimulus
eksternal, internal maupun lingkungan. Perilaku kekerasan terjadi
sebagai hasil dari akumulasi frustasi. Frustasi terjadi apabila keinginan
individu untuk mencapai sesuatu menemui kegagalan atau terhambat.
Salah satu kebutuhan manusia adalah “berperilaku”, apabila kebutuhan
tersebut tidak dapat dipenuhi melalui berperilaku konstruktif, maka
yang akan muncul adalah individu tersebut berperilaku destruktif.
c) Faktor Sosiokultural
Teori lingkungan sosial (social environment theory) menyatakan
bahwa lingkungan sosial sangat mempengaruhi sikap individu dalam
mengekspresikan marah. Norma budaya dapat mendukung individu
untuk berespon asertif atau agresif. Perilaku kekerasan dapat dipelajari
secara langsung melalui proses sosialisasi (sociallearning theory).
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi perilaku kekerasan pada setiap individu bersifat unik,
berbeda satu orang dengan yang lain. Stressor tersebut dapat merupakan
penyebab yang berasal dari dalam maupun luar individu. Faktor dari dalam
individu meliputi kehilangan relasi atau hubungan dengan orang yang
dicintai atau berarti (putus pacar, perceraian, kematian), kehilangan rasa
cinta, kekhawatiran terhadap penyakit fisik, dll. Sedangkan faktor luar
individu meliputi serangan terhadap fisik, lingkungan yang terlalu ribut,
kritikan yang mengarah pada penghinaan, tindakan kekerasan.
C. MANIFESTASI KLINIK
Tanda dan gejala perilaku kekerasan berdasarkan standar asuhan keperawatan
jiwa dengan masalah risiko perilaku kekerasan, diantaranya :
a. Emosi : tidak adekuat, tidak aman, rasa terganggu, marah (dendam)
jengkel.
b. Intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan.
c. Fisik : muka merah, pandangan tajam, nafas pendek, berkeringat, sakit
fisik, penyalahgunaan zat, tekanan darah meningkat.
d. Spiritual : kemahakuasaan, kebijakan/kebenaran diri, keraguan, tidak
bermoral, kebejatan, kreativitas terlambat
e. Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, humor.
(Pardede, 2020)
Selain itu, tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan dapat terlihat melalui
tekanan darah yang meningkat, denyut nadi dan pernafasan meningkat, mudah
tersinggung, marah, amuk serta dapat mencederai diri sendiri maupun orang lain
(Pardede, Siregar & Hulu, 2020).
Tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan dapat dilihat pula melalui data
subjektif maupun data objektif yang diantaranya :
a. Subjektif : mengungkapkan perasaan kesal atau marah, keinginan untuk
melukai diri sendiri, orang lain dan lingkungan, klien suka membentak dan
menyerang orang lain.
b. Objektif : mata melotot atau pandangan tajam, tangan mengepal dan rahang
mengatup, wajah memerah, postur tubuh kaku, bicara kasar, ketus,
amuk/agresif, menyerang orang lain dan melukai diri sendiri/orang lain.
D. PENATALAKSANAAN
Penanganan yang dilakukan untuk mengontrol perilaku kekerasan yaitu dengan
cara medis dan non medis. Terapi medis yang dapat diberikan seperti obat
antipsikotik adalah Chlorporazine (CPZ), Risperidon (RSP), Haloperidol (HLP),
Clozapindan Trifluoerazine (TFP). Psikofarmaka adalah terapi menggunakan obat
dengan tujuan untuk mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa.
Pengobatan hanya akan efektif apabila penderita memenuhi aturan dalam
penggunaan obat dengan mengonsumsi obat yang direspkan oleh dokter pada waktu
dan dosis yang tepat (Pardede, Keliat & Yulia, 2015).
Tindakan yang dilakukan perawat dalam mengurangi risiko perilaku kekerasan
salah satunya adalah dengan menggunakan Strategi Pelaksanaan (SP). Strategi
Pelaksanaan (SP) merupakan pendekatan yang bersifat membina hubungan saling
percaya antara klien dengan perawat, dan dampak apabila tidak diberikan Strategi
Pelaksanaan (SP) akan membahayakan diri sendiri maupun lingkungannya. Strategi
Pelaksanaan (SP) yang dilakukan oleh klien dengan perilaku kekerasan adalah
diskusi mengenai cara mengontrol perilaku kekerasan secara fisik, obat, verbal, dan
spiritual. Mengontrol perilaku kekerasan secara fisik dapat dilakukan dengan cara
nafas dalam, dan pukul bantal atau kasur. Mengontrol secara verbal yaitu dengan
cara menolak dengan baik, meminta dengan baik, danmengungkapkan dengan baik.
Mengontrol perilaku kekerasan secaraspiritual dengan cara shalat dan berdoa. Serta
mengontrol perilaku kekerasan dengan minum obat secara teratur dengan prinsip
lima benar (benar klien, benar nama obat, benar cara minum obat, benar waktu
minum obat, dan benar dosis obat) (Sujarwo & Livana, 2018).
Selain Strategi Pelaksanaan (SP), penatalaksanaan yang dapat dilakukan yaitu
dengan terapi okupasi, terapi somatik, dan terapi kejang listrik jika diperlukan.
Terapi okupasi sering diterjemahkan dengan terapi kerja, dalam terapi ini tidak
harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti membaca koran
selain itu main catur dapat pula dijadikan media yang penting. Setelah klien
melakukan kegiatan tersebut, klien dapat diajak berdialog atau berdiskusi tentang
pengalaman dan arti kegiatan yang telah dilakukan bagi dirinya. Terapi ini
merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh petugas terhadap rehabilitasi
setelah dilakukannya seleksi dan ditentukan program kegiatannya (Eko Prabowo,
2014). Sedangkan untuk terapi somatik, menurut Depkes RI menerangkan bahwa
terapi somatik merupakan terapi yang diberikan kepada pasien dengan gangguan
jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku adaptif
dengan melakukan tindakan yang ditujukkan pada kondisi fisik pasien (Eko
Prabowo, 2014). Untuk terapi kejang listrik atau Electronic Convulsive Therapy
(ECT) adalah bentuk terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall
dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda. Dalam menangani skizofrenia
dibutuhkan 20 – 30 kali terapi dan biasanya dilaksanakan setiap 2 – 3 hari sekali
(seminggu 2 kali) (Eko Prabowo, 2014).
Peran keluarga juga sangat penting dalam proses kesembuhan klien. Keluarga
merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan langsung pada
setiap keadaan (sehat – sakit) pasien. Perawat membantu keluarga agar dapat
melakukan lima tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah kesehatan, membuat
keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada anggota keluarga,
menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada
pada masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengtasi masalah akan
dapat mencegah perilaku maladaptif (pencegahan primer), menanggulangi perilaku
maladaptif (pencegahan sekunder) dan memulihkan perilaku maladaptif ke perilaku
adaptif (pencegahan tersier) sehingga derajat kesehatan pasien dan keluarga dapat
ditingkatkan secara optimal (Eko Prabowo, 2014).
E. POHON MASALAH

Risiko mencederai diri sendiri dan orang lain Effect

Perilaku Kekerasan Cor Problem

Halusinasi Causa

Harga Diri Rendah

Koping Individu Tidak Efektif

Faktor Predisposisi dan Presipitasi

F. RENTANG RESPON MARAH


Rentang respon kemarahan dari perilaku kekerasan dapat digambarkan sebagai
berikut, assertif, frustasi, pasif, agresif, dan mengamuk (Putri, N & Fitrianti, 2018).

Adaptif Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk

(Habbi et al., 2017)


Keterangan :
1. Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan
orang lain, atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
2. Frustasi adalah respon yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau
keinginan. Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan.
Akibat dari ancaman tersebut dapat menimbulkan kemarahan.
3. Pasif adalah respon dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan
yang dialami.
4. Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat
dikontrol oleh individu. Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui hak
orang lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung untuk
mendapatkan kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan yang sama dari
orang lain.
5. Amuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangancontrol
diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya sendiri maupun terhadap
orang lain.
G. PROSES TERJADINYA MARAH

Dikutip dari Yusuf, dkk., 2015


H. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
Menurut Yusuf (2015) proses keperawatan jiwa dimulai dari pengkajian
(termasuk analisis data dan pembuatan pohon masalah), perumusan diagnosis,
pembuatan kriteria hasil, perencanaan, implementasi, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses
keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam
pengumpulan data dari berbagai sumber untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan pasien. Seorang perawat harus berjaga –
jaga terhadap adanya peningkatan agitasi pada klien, hierarki perilaku
agresif dan kekerasan. Disamping itu, perawat harus mengkaji pula afek
klien yang berhubungan dengan perilaku agresif (Muhith, 2015).
Pengkajian dilakukan dengan cara wawancara dan observasi pada
pasien dan keluarga. Tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan dapat
ditemukan dengan wawancara (Nurhalimah, 2016).
a. Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, No.RM, tanggal masuk RS, tanggal
pengkajian.
b. Alasan Masuk
Biasanya klien masuk dengan alasan sering mengamuk tanpa sebab,
memukul, membanting, mengancam, menyerang orang lain,
melukai diri sendiri, mengganggu lingkungan, bersifat kasar dan
pernah mengalami gangguan jiwa dimasa lalu karena tidak mau
minum obat secara teratur maka terjadi kekambuhan.
c. Faktor Predisposisi
1) Gangguan jiwa dimasa lalu
Biasanya klien pernah mengalami gangguan jiwa pada masa lalu
dan pernah dirawat atau baru pertama kali mengalami gangguan
jiwa.
2) Pengobatan sebelumnya
Biasanya klien berobat untuk pertama kalinya ke dukun sebagai
alternative serta memasung dan bila tidak berhasil baru dibawa
kerumah sakit jiwa.
3) Trauma
Biasanya klien pernah mengalami atau menyaksikan
penganiayaan fisik, seksual, dan penolakan dari lingkungan
disekitarnya.
4) Herediter
Biasanya terdapat anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa.
5) Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan
Biasanya klien pernah mengalami pengalaman masa lalu yang
tidak menyenangkan, misalnya perasaan ditolak, dihina,
dianiaya, dan penolakan dari lingkungan disekitarnya.
d. Fisik
1) Ukur dan observasi tanda – tanda vital seperti tekanan darah
akan bertambah naik, nadi cepat, suhu, pernafasan terlihat cepat.
2) Ukur tinggi badan dan berat badan.
3) Yang kita temukan pada klien dengan perilaku kekerasan pada
saat pemeriksaan fisik (mata melotot, pandangan tajam, tangan
mengepal, rahang mengatup, wajah memerah).
4) Verbal (mengancam, mengumpat kata – kata kotor, berbicara
kasar dan ketus).
e. Psikososial
1) Genogram
Genogram dibuat 3 generasi keatas yang dapat menggambarkan
hubungan klien dengan keluarga. Tiga generasi ini merupakan
jangkauan yang mudah diingat oleh klien maupun keluarga pada
saat pengkajian.
2) Konsep Diri/Citra Tubuh
Biasanya ada anggota tubuh klien yang tidak disukai klien yang
mempengaruhi keadaan klien saat berhubungan dengan orang
lain sehingga klien merasa terhina, diejek dengan kondisinya
tersebut.
a) Identitas
Biasanya pada klien dengan perilaku kekerasan tidak puas
dengan pekerjaannya, tidak puas dengan statusnya, baik
disekolah, tempat kerja dan dalam lingkungan tempat
tinggal.
b) Harga diri
Biasanya klien dengan risiko perilaku kekerasan hubungan
dengan orang lain akan terlihat tidak baik, tidak harmonis
atau terdapat penolakan atau klien merasa tidak berharga,
dihina, diejek dalam lingkungan keluarga maupun diluar
lingkungan keluarga. Harga diri kerap berkaitan dengan
depresi yang ditandai dengan perasaan yang tidak puas,
menurunnya kegiatan, dan pesimisme menghadapi masa
yang akan datang (Dirgayunita, 2016).
c) Peran diri
Biasanya klien memiliki masalah dengan peran atau tugas
yang diembannya dalam keluarga, kelompok atau
masyarakat dan biasanya klien tidak mampu melaksanakan
tugas serta peran tersebut sehingga merasa tidak berguna.
d) Ideal diri
Biasanya klien memilki harapan yang tinggi terhadap tubuh,
posisi dan perannya baik dalam keluarga, sekolah, tempat
kerja dan masyarakat.
3) Hubungan Sosial
a) Orang yang berarti, tempat mengadu, berbicara.
b) Peran serta dalam kegiatan kelompok
Kegiatan yang diikuti klien dalam masyarakat dan
apakah klien berperan aktif dalam kelompok tersebut.
c) Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain/tingkat
keterlibatan klien dalam hubungan masyarakat.
4) Spiritual
a) Nilai dan keyakinan
Biasanya klien mengatakan bahwa dia tidak mengalami
gangguan jiwa.
b) Kegiatan ibadah
Biasaya selama sakit klien jarang melakukan ibadah.
5) Status Mental
a) Penampilan
Biasanya penampilan klien kotor.
b) Pembicaraan
Biasanya pada klien perilaku kekerasan pada saat dilakukan
pengkajian bicara cepat, keras, kasar, nada tinggi dan mudah
tersinggung.
c) Aktivitas motorik
Biasanya aktivitas motorik klien dengan perilaku kekerasan
akan terlihat tegang, gelisah, gerakan otot muka berubah –
ubah, gemetar, dan tangan mengepal.
d) Alam perasaan
Biasanya akan merasa sedih dan menyesali apa yang telah
dilakukan.
e) Efek
Biasanya klien mudah tersinggung dan sering marah –
marah tanpa sebab.
f) Interaksi selama wawancara
Biasanya klien dengan risiko perilaku kekerasan akan
terlihat bermusuhan, curiga, tidak kooperatif, tidak mau
menatap lawan bicara dan mudah tersinggung.
g) Persepsi
Biasanya klien dengan perilaku kekerasan masih dapat
menjawab pertanyaan dengan jelas.
h) Isi pikir
Biasanya klien meyakini dirinya tidak sakit, dan baik – baik
saja.
i) Tingkat kesadaran
Biasanya klien perilaku kekerasan kadang tampak bingung.
j) Memori
Biasanya klien diwaktu wawancara dapat mengingat
kejadian yang terjadi dan mengalami gangguan daya ingat
jangka panjang.
k) Kemampuan penilaian
Biasanya klien mengalami kemampuan penilaian ringan atau
sedang dan tidak mampu mengambil keputusan.
f. Kebutuhan Persiapan Pulang
1) Makan
Biasanya klien tidak mengalami perubahan.
2) BAK/BAB
Biasanya klien dengan risiko perilaku kekerasan tidak ada
gangguan.
3) Mandi
Biasanya klien jarang mandi, tidak menyikat gigi, jarang
mencuci rambut dan bercukur atau berhias. Badan klien sangat
bau dan kotor, dan klien hanya melakukan kebersihan diri jika
disuruh.
4) Berpakaian
Biasanya klien jarang mengganti pakaian, dan tidak mau
berdandan. Klien tidak mampu mengenakan pakaian dengan
sesuai dan klien tidak mengenakan alas kaki.
5) Istirahat dan tidur
Biasanya klien tidak melakukan persiapan sebelum tidur, seperti
menyikat gigi, cuci kaki, dan berdoa. Klien juga bisanya tidak
melakukan persiapan sesudah tidur seperti merapikan tempat
tidur, mandi atau cuci muka dan menyikat gigi. Frekuensi tidur
klien berubah – ubah, kadang nyenyak dan kadang gaduh atau
tidak tidur.
6) Penggunaan obat
Biasanya klien mengatakan minum obat 3 kali sehari dan klien
tidak mengetahui fungsi obat dan akibat jika putus minum obat.
7) Pemeliharaan kesehatan
Biasanya klien tidak memperhatikan kesehatannya, dan tidak
peduli tentang bagaimana cara yang baik untuk merawat
dirinya.
8) Aktivitas didalam rumah
Biasanya klien mampu merencanakan, mengolah, dan
menyajikan makanan, merapikan rumah, mencuci pakaian
sendiri dan mengatur biaya sehari – hari.
g. Masalah Psikologis dan Lingkungan
Biasanya klien merasa ditolak dan mengalami masalah interaksi
dengan lingkungan.
2. Masalah Keperawatan
Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji
Risiko Perilaku Kekerasan/Amuk Subyektif :
- Klien mengatakan benci atau
kesal pada seseorang.
- Klien suka membentak dan
menyerang orang yang
mengusiknya jika sedang kesal
atau marah.
- Riwayat perilaku kekerasan
atau gangguan jiwa lainnya.
Obyektif :
- Mata merah, wajah agak merah.
- Nada suara tinggi dan
keras, bicara menguasai.
- Ekspresi marah saat
membicarakan orang,
pandangan tajam.
- Merusak dan melempar barang
– barang.

3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan ialah identifikasi atau penilaian terhadap pola
respons klien baik aktual maupun potensial dan merupakan dasar pemilihan
intervensi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh perawat yang
bertanggung jawab.
4. Fokus Intervensi
Implementasi keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan
keperawatan dengan memperhatikan dan mengutamakan masalah utama
yang aktual dan mengancam integritas klien beserta lingkungannya.
Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah direncanakan,
perawat perlu menvalidasi apakah rencana tindakan keperawatan masih
dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi klien pada saat ini. Hubungan saling
percaya antara perawat dengan klien merupakan dasar utama dalam
pelaksanaan tindakan keperawatan.
Tindakan keperawatan dengan pendekatan Strategi Pelaksanaan (SP)
perilaku kekerasan terdiri dari SP 1 (pasien) : membantu klien dalam
meminum obat secara teratur. SP 2 (pasien) : membantu klien mengontrol
perilaku kekerasan secara verbal seperti menolak dengan baik. SP 3
(pasien) : membantu klien mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual
dengan cara sholat atau berdoa. SP 4 (pasien) : membantu klien mengontrol
perilaku kekerasan dengan memukul bantal atau kasur dan nafas dalam.
a. Tujuan Umum
Klien dapat melanjutkan hubungan peran sesuai dengan tanggung
jawab.
b. Tujuan Khusus
1) Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
2) Pasien dapat mengidentifikasi tanda – tanda perilaku kekerasan.
3) Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya.
4) Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukannya.
5) Pasien dapat menyebutkan cara mencegah/mengontrol perilaku
kekerasannya.
6) Pasien dapat mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya secara
fisik, spiritual, sosial, dan dengan terapi psikofarmaka.
c. Intervensi Keperawatan untuk Pasien
1) Bina hubungan saling percaya
a) Mengucapkan salam terapeutik.
b) Berjabat tangan.
c) Menjelaskan tujuan interaksi.
d) Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu
pasien.
2) Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini
dan masa lalu.
3) Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku
kekerasan
a) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik.
b) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
psikologis.
c) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial.
d) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual.
e) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
intelektual.
4) Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
pada saat marah secara :
a) Verbal.
b) Terhadap orang lain.
c) Terhadap diri sendiri.
d) Terhadap lingkungan.
5) Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya.
6) Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan
secara :
a) Obat.
b) Sosial/verbal, misalnya menyatakan secara asertif rasa
marahnya.
c) Spiritual, misalnya sholat atau berdoa sesuai keyakinan pasien.
d) Fisik, misalnya pukul kasur dan batal, tarik napas dalam.
7) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik, yaitu
latihan napas dalam dan pukul kasur/bantal, secara sosial/verbal,
secara spiritual, dan patuh minum obat.
8) Ikut sertakan pasien dalam terapi aktivitas kelompok stimulasi
persepsi mengontrol perilaku kekerasan.
d. Intervensi Keperawatan untuk Keluarga
1) Tujuan
Keluarga dapat merawat pasien di rumah.
2) Tindakan
a) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat
pasien.
b) Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan
(penyebab, tanda dan gejala, serta perilaku yang muncul dan
akibat dari perilaku tersebut).
c) Diskusikan bersama keluarga kondisi – kondisi pasien yang
perlu segera dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau
memukul benda/orang lain.
d) Latih keluarga merawat pasien dengan perilaku kekerasan.
- Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien melakukan
tindakan yang telah diajarkan oleh perawat.
- Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada pasien
bila pasien dapat melakukan kegiatan tersebut secara tepat.
- Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus
dilakukan bila pasien menunjukkan gejala – gejala perilaku
kekerasan.
e) Buat perencanaan pulang bersama keluarga.
DAFTAR PUSTAKA

Dirgayunita, A. (2016). Depresi : Ciri, penyebab dan penangannya. Journal An – Nafs :


Kajian Penelitian Psikologi, 1(1), 1 – 14. https://doi.org/10.33367/psi.v1i1.235
Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi ASUHAN KEPERAWATAN JIWA.
Yogyakarta : Nuha Medika.
Habbi Yulsar Rahman, F., Widodo, A., & Kep, A. (2017). Upaya Penurunan Risiko
Perilaku Kekerasan Dengan Melatih Asertif Secara Verbal (Doctoral dissertation,
Universitas Muhammadiyah Surakarta). http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/52404
Kandar, K., & Iswanti, D. I. (2019). Faktor Predisposisi dan Prestipitasi Pasien Resiko
Perilaku Kekerasan. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 2(3), 149 – 156.
http://dx.doi.org/10.32584/jikj.v2i3.226
Muhith, Abdul. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Andi
Nurhalimah. (2016). Bahan Ajar Keperawatan Jiwa
Pardede, J. A. (2020). Family Knowledge about Hallucination Related to Drinking
Medication Adherence on Schizophrenia Patient. Jurnal Penelitian Perawat
Profesional, 2(4), 399 – 408. https://doi.org/10.37287/jppp.v2i4.183
Pardede, J.A. (2020). Standar Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan Masalah Risiko
Perilaku Kekerasan.
Pardede, J. A., & Hulu, E. P. (2020). Pengaruh Behaviour Therapy Terhadap Risiko
Perilaku Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.
Muhammad Ildrem Provsu Medan. Konferensi Nasional (Konas) Keperawatan
Kesehatan Jiwa, 4(1), 257 – 266.
https://journalpress.org/proceeding/ipkji/article/view/51/51
Pardede, J. A., Keliat, B. A., & Yulia, I. (2015). Kepatuhan dan Komitmen Klien
Skizofrenia Meningkat Setelah Diberikan Acceptance And Commitment Therapy dan
Pendidikan Kesehatan Kepatuhan Minum Obat. Jurnal Keperawatan
Indonesia,18(3), 157 – 166. 10.7454/jki.v18i3.419
Pardede, J. A., Siregar, L. M., & Hulu, E. P. (2020). Efektivitas Behaviour Therapy
Terhadap Risiko Perilaku Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa
Prof. Dr. Muhammad Ildrem Provsu Medan. Jurnal Mutiara Ners,3(1), 8 – 14.
http://114.7.97.221/index.php/NERS/article/view/1005
Putri, V. S., & Fitrianti, S. (2018). Pengaruh Strategi Pelaksanaan Komunikasi
Terapeutik Terhadap Resiko Perilaku Kekerasan Pada Pasien Gangguan Jiwa Di
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jambi. Jurnal Akademika Baiturrahim Jambi, 7(2), 138 -
147. http://dx.doi.org/10.36565/jab.v7i2.77
Sujarwo, S., & Livana, P. H. (2019). Studi Fenomenologi : Strategi Pelaksanaan Yang
Efektif Untuk Mengontrol Perilaku Kekerasan Menurut Pasien Di Ruang Rawat
Inap Laki – Laki. Jurnal Keperawatan Jiwa, 6(1), 29 – 35.
https://doi.org/10.26714/jkj.6.1.2018.29-35
Yusuf, Ah dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika.

Anda mungkin juga menyukai