Anda di halaman 1dari 53

KERAGAMAN DAN KEPADATAN MACROBIOFOULING

PADA TIANG DERMAGA BETON DI PELABUHAN


KUALA BUBON KABUPATEN ACEH BARAT

SKRIPSI

Ruth Innel Gea


1805904040018

JURUSAN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS TEUKU UMAR
MEULABOH
2023
KERAGAMAN DAN KEPADATAN MACROBIOFOULING
PADA TIANG DERMAGA BETON DI PELABUHAN
KUALA BUBON KABUPATEN ACEH BARAT

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana


Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Teuku Umar

Ruth Innel Gea


1805904040018

JURUSAN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS TEUKU UMAR
MEULABOH
2023
KERAGAMAN DAN KEPADATAN MACROBIOFOULING
PADA TIANG DERMAGA BETON DI PELABUHAN
KUALA BUBON KABUPATEN ACEH BARAT

Ruth Innel Gea1, Mai Suriani2


1
Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar
2
Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Teuku Umar

ABSTRAK

Macrobiofouling merupakan biota yang hidupnya melekat pada jenis substrat


yang terbenam air maupun terbuka. Pelekatan makroorganisme (kolonisasi
avetebrata dan makroalga) biasanya bersifat merusak. Penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji tingkat keragaman macrobiofouling dan kepadatan
Macrobiofouling pada tiang dermaga beton di pelabuhan Kuala Bubon Kecamatan
Samatiga, Kabupaten Aceh Barat. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret
sampai Mei 2022 menggunakan metode Purposive sampling dengan
pertimbangan penentuan stasiun berdasarkan tingkat penempelan dari
Macrobiofouling. Pengambilan data macrobiofouling dilakukan pada 10 stasiun
dengan ukuran transek kuadran 20×90cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ditemukan 10 spesies Macrobiofouling yaitu: Balanus sp, Clathria sp, Isognomon
sp, Codium sp, Lottia gigantea, Littorina sp, Thais sp, Sargassum sp, Padina sp
dan Caulerpa taxifolia. Tingkat keragaman (H’) berkisar antara 1,67-1,68 dengan
kategori rendah. Tingkat kepadatan memiliki nilai yang tidak jauh berbeda dengan
nilai kepadatan tertinggi sebesar 3,33 ind/m2 dan tingkat kepadatan terendahnya
sebesar 3,11 ind/m2. Kepadatan Macrobiofouling yang terjadi pada tiang dermaga
beton di pelabuhan Bubon dapat dinyatakan tidak berdampak parah pada
kerusakan stuktur tiang (korosi), akan tetapi substrat yang telah ditempeli akan
lebih rapuh dibanding dengan substrat yang belum ditempeli oleh
Macrobiofouling.

Kata Kunci: Dermaga Beton, Macrobiofouling, Aceh Barat


MACROBIOFOULING DIVERSITY AND DENSITY
ON A CONCRETE PILE AT THE HARBOR
KUALA BUBON, WEST ACEH DISTRICT

Ruth Innel Gea1, Mai Suriani2


1
Students of the Faculty of Fisheries and Marine Sciences, Teuku Umar University
2
Lecturer of the Faculty of Fisheries and Marine Sciences, University of Teuku
Umar

ABSTRACT

Macrobiofouling is a biota that lives attached to a type of substrate that is


immersed in water or exposed. The attachment of macroorganisms (avetebrate
and macroalgae colonization) is usually destructive. This study aims to examine
the level of macrobiofouling diversity and macrobiofouling density on concrete
piers at Kuala Bubon port, Samatiga District, West Aceh District. This research
was conducted from March to May 2022 using the purposive sampling method
with consideration of determining the stasion based on the attachment level of
Macrobiofouling. Macrobiofouling data was collected at 10 stations with a
quadrant transect size of 20×90cm. The results showed that 10 species of
Macrobiofouling were found, namely: Balanus sp, Clathria sp, Isognomon sp,
Codium sp, Lottia gigantea, Littorina sp, Thais sp, Sargassum sp, Padina sp and
Caulerpa taxifolia. The level of diversity (H') ranges from 1.67-1.68 with the low
category. The density level has a value that is not much different with the highest
density value of 3.33 ind/m2 and the lowest density level of 3.11 ind/m 2.
Macrobiofouling density that occurs on concrete piers at Bubon Harbor can be
said to have no serious impact on the damage to the pile structure (corrosion), but
the substrate that has been attached will be more fragile than the substrate that
has not been attached by Macrobiofouling.

Keywords: Concrete Piers, Macrobiofouling, West Aceh


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi yang

berjudul “Keragaman dan Kepadatan Macrobiofouling pada Tiang Dermaga

Beton di pelabuhan Kuala Bubon Kabupaten Aceh Barat”. Penyusunan skripsi ini

dibuat daalam rangka untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan

studi pada jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Universitas Teuku Umar.

Proses penyelesaian skripi ini tidak terlepas dari arahan, bantuan dan

bimbingan dari semua pihak, oleh karena itu pada kesempatan kali ini penulis

mengucapkan terimakasih banyak kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Ismail Sulaiman, S.TP., Maitrise., M.Sc., IPU selaku

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

2. Ibu Ika Kusumawati, S.Kel., M.Sc. selaku ketua jurasan Ilmu Kelautan

yang telah membimbing, mengarahkan serta memberikan semangat

kepada penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Prof. M. Ali Sarong, M.Si selaku pembimbing pertama penulis

yang telah banyak membantu dan mengarahkan penulis dalam

penyusunan proposal sampai pada penelitian skripsi.

4. Ibu Mai Suriani, S.Kel., M.Si selaku dosen pembimbing yang telah

membantu mengarahkan dan membimbing penulis dalam penyelesaian

penyusunan skripsi.

i
5. Bapak Samsul Bahri, S.Kel., M.Si selaku dosen penguji I dan Ibu

Hayatun Nufus S.Kel., Msi selaku penguji II sekaligus Pembimbing

Akademik penulis yang telah memberikan masukan dan pengarahan

guna penyempurnaan penulisan skripsi ini.

6. Segenap dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Teuku Umar khususnya Program Studi Ilmu Kelautan yang telah

banyak memberikan bekal ilmu kepada penulis selama menempuh

perkuliahan.

7. Kedua orangtua dan saudara/I penulis yang telah memberikan doa

restu dan dukungan baik moril maupun materi.

8. Saudara Nazry Hanzala, Aris Yusdi, Irwansyah, Hamzanul Arif dan

Saudari Winda Sikasari, Anggun Muliana, Rabiatul Adhewiyah Berutu

yang telah berkontribusi besar selama proses penelitian maupun

penyelesaian penyusunan skripsi ini.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang juga

telah ikut membantu dalam penyususnan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terimakasih atas semua dukungan dan bantuannya,

semoga mendapatkan balasan yang tidak terhingga dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Skripsi ini jauh dari kata sempurna,

sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan dan

kesempurnaan karya tulis ini. Oleh karena itu penulis berharap Skripsi ini

bermanfaat dan memberikan informasi bagi semua pihak.

Meulaboh, Mei 2023

Ruth Innel Gea

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL.............................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR......................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang...................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah................................................................................. 3
1.3. Tujuan Penelitian.................................................................................. 3
1.4. Manfaat Penelitian................................................................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Biofouling.............................................................................................. 5
2.1.1 Definisi...................................................................................... 5
2.1.2 Macrobiofouling........................................................................ 6
2.1.3 Karakteristik Macrobiofouling.................................................. 7
2.1.4 Proses Penempelan Biofouling pada Substrat........................... 8
2.1.5 Jenis-jenis Macrobiofouling...................................................... 10
2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Pertumbuhan Biofouling............... 15
2.2.1 Salinitas..................................................................................... 15
2.2.2 Kondisi Pasang Surut................................................................ 15
2.2.3 Derajat Keasaman (pH)............................................................. 15
...................................................................................................
2.2.4 Oksigen Terlarut (DO).............................................................. 16
...................................................................................................
2.2.5 Temperatur................................................................................ 16
...................................................................................................
2.2.6 Arus........................................................................................... 16
...................................................................................................
2.3 Kerusakan Struktur jembatan akibat biota penempel........................... 17

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Waktu dan Tempat penelitian............................................................... 18
3.2 Alat dan Bahan...................................................................................... 19
3.3 Prosedur Penelitian............................................................................... 19
3.3.1 Persiapan................................................................................... 19
3.3.2 Penentuan Lokasi Penelitian..................................................... 19
3.3.3 Pengambilan Data..................................................................... 20
iii
3.4 Analisis Data......................................................................................... 21
3.4.1 Tingkat Keragaman................................................................... 21
3.4.2 Tingkat Kepadatan.................................................................... 21

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Keragaman Macrobiofouling................................................................ 22
4.2 Kepadatan Macrobiofouling................................................................. 25

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan........................................................................................... 33
5.2 Saran..................................................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

iv
DAFTAR TABEL

Halaman
1. Golongan utama macrobiofoling................................................................. 8
2. Alat dan Bahan............................................................................................. 19
3. Kategori Indeks Keragaman......................................................................... 21
4. Macrobiofouling yang ditemukan pada tiang dermaga beton di
pelabuhan Kuala Bubon............................................................................... 22
5. Keragaman Macrobiofouling....................................................................... 23

v
DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Struktur Waktu Penempelan Biofouling Pada Substrat................................ 9


2. Tahapan Kolonisasi...................................................................................... 10
3. Lokasi Penelitian.......................................................................................... 18
4. Kepadatan Macrobiofouling pada stasiun 1................................................. 25
5. Kepadatan Macrobiofouling pada stasiun 2................................................. 26
6. Kepadatan Macrobiofouling pada stasiun 3................................................. 26
7. Kepadatan Macrobiofouling pada stasiun 4 ................................................ 27
8. Kepadatan Macrobiofouling pada stasiun 5................................................. 27
9. Kepadatan Macrobiofouling pada stasiun 6................................................. 28
10. Kepadatan Macrobiofouling pada stasiun 7................................................. 28
11. Kepadatan Macrobiofouling pada stasiun 8................................................. 29
12. Kepadatan Macrobiofouling pada stasiun 9................................................. 29
13. Kepadatan Macrobiofouling pada stasiun 10............................................... 30
14. Peta sebaran suhu permukaan laut di perairan Kuala Bubon....................... 31
15. Grafik Kepadatan Macrobiofouling............................................................. 32

vi
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Balanus Sp......................................................................................................
........................................................................................................................38
2. Clathria Sp.....................................................................................................
........................................................................................................................38
3. Isognomon Sp.................................................................................................
........................................................................................................................38
4. Codium Sp......................................................................................................
........................................................................................................................38
5. Lottia gigantea...............................................................................................
........................................................................................................................38
6. Littorina Sp.....................................................................................................
........................................................................................................................38
7. Thais Sp..........................................................................................................
........................................................................................................................39
8. Sargassum Sp.................................................................................................
........................................................................................................................39
9. Padina Sp.......................................................................................................
........................................................................................................................39
10. Calerpan taxifolia...........................................................................................
........................................................................................................................39
11. Klasifikasi Macrobiofouling...........................................................................
........................................................................................................................39

vii
12. Kondisi perairan.............................................................................................
........................................................................................................................40
13. Pengambilan data...........................................................................................
........................................................................................................................40

viii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perairan laut terdapat sejumlah sumber daya hayati sebagai bagian dari

struktur biota lingkungan dan perairan. Biota yang hidupnya dilaut ada yang

membenamkan diri dan ada yang melekat di jenis substrat yang terbenam maupun

terbuka dipermukaan biasa dikenal dengan biofouling. Pada umumnya Biofouling

berasal dari kelompok bakteri, tumbuhan dan kelompok hewan. Biofouling dapat

melekat pada substrat alami, dan pada setiap fasilitas kepentingan manusia yang

terbenam di laut, diantaranya pada kapal dan pada bangunan dipantai. Apabila

substrat keras terbenam didalam air laut, substrat tersebut tidak dapat menghindari

pelekatan biofouling. Proses pelekatan biofouling terjadi sangat cepat dalam skala

mikroskopis pada suatu substrat, sehingga biofouling dikelompokkan menjadi 2

jenis yaitu, microbiofouling yaitu pembentukan biofilm (kolonisasi bakteri dan

mikroalga) dan macrobiofouling yaitu pelekatan makroorganisme (kolonisasi

avetebrata dan makroalga) yang bersifat merusak (Railkin 2004).

Proses pembentukan komunitas biofouling melalui proses kolonisasi terjadi

dipermukaan substrat sebagai hasil pembentukan biofouling. Membran biokimia

pertama kali terbentuk dipermukaan yang bersih, disertai oleh pelekatan mikroba

atau microbiofouling (kolonisasi bakteri dan diatom), diikuti oleh

macrobiofouling (kolonisasi alga besar dan invertebrata). Organisme ini dapat

menempel secara temporer atau permanen pada permukaan suatu substrat yang

1
ditempelinya sehingga dapat merusak dan menyebabkan kerugian (Budiharta

2009).

Pelekatan biofouling pada tiang dermaga atau pilar jembatan yang ada

dilingkungan laut, membawa dampak kerusakan pada struktur tiang yang

diakibatkan oleh korosi karena keberadaan biota yang penempel. Substrat yang

ditempeli oleh macrobiofouling, akan lebih rapuh dibanding dengan substrat yang

tidak ditempeli. Hal ini disebabkan karena terbentuknya lingkungan asam di

sekitar beton, konsekuensi dari proses metabolisme macrobiofouling, yang

mempengaruhi lemahnya ikatan hidrolik antara semen dan air sehingga

menyebabkan beton menjadi rapuh. Keadaan ini diperparah jika terjadinya

difusivitas air laut dan abrasi yang disebabkan oleh arus air laut, sehingga

kecepatan penetrasi ion klorida pada beton menjadi semakin cepat, dan ketika

sampai pada tulangan beton dapat menyebabkan karat (Gunawan 2016).

Salah satu pelabuhan yang terdapat di Kabupaten Aceh Barat adalah

pelabuhan Kuala Bubon banyak dihuni oleh macrobiofouling yang menempel di

tiang dermaganya. Pelabuhan Kuala Bubon merupakan tempat bersandarnya kapal

penumpang atau barang-barang dagangan. Banyak biofouling yang tedapat pada

tiang dermaga di pelabuhan Kuala Bubon Kecamatan Samatiga, Kabupaten Aceh

Barat. Biofouling yang terdapat ditiang dermaga beton pelabuhan Kuala Bubon

terdiri dari berbagai spesies salah satunya adalah teritip (Balanus sp) dari filum

Arthropoda.

Banyaknya spesies macrobiofouling yang terdapat di tiang dermaga

pelabuhan Kuala Bubon perlu dikaji secara sistematis melalui penelitian. Karena

itu dilakukan penelitian dengan judul “Keragaman dan Kepadatan

2
Macrobiofouling pada Tiang Dermaga Beton di Pelabuhan Kuala Bubon,

Kabupaten Aceh Barat”.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana tingkat keragaman macrobiofouling pada tiang dermaga beton di

pelabuhan Kuala Bubon Kecamatan Samatiga, Kabupaten Aceh Barat?

2. Berapakah kepadatan macrobiofouling pada tiang dermaga beton di

pelabuhan Kuala Bubon Kecamatan Samatiga, Kabupaten Aceh Barat?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Untuk mengkaji tingkat keragaman Macrobiofouling pada tiang dermaga

beton di pelabuhan Kuala Bubon Kecamatan Samatiga, Kabupaten Aceh

Barat.

2. Untuk mengkaji kepadatan Macrobiofouling pada tiang dermaga beton di

pelabuhan Kuala Bubon Kecamatan Samatiga, Kabupaten Aceh Barat.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang:

1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan menjadi bahan bacaan dan

referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya terkait kepadatan dan

keragaman macrobiofouling.

3
2. Bagi Pemerintah, penelitian ini dapat menjadi bahan informasi yang

bermanfaat untuk mengetahui tingkat keragaman macrobiofouling pada

tiang dermaga pelabuhan Kuala Bubon.

3. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah wawasan dalam menganalisis

kepadatan dan keragaman macrobiofouling.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biofouling

2.1.1 Definisi

Secara garis besar, biofouling merupakan pelekatan dan pertumbuhan suatu

organisme pada permukaan substrat atau material yang terendam dilaut.

Organisme ini dapat saja menempel secara temporer atau secara permanen ke

permukaan material yang ditempelinya. Biofouling juga termasuk kumpulan

mikroorganisme terutama bakteri yang menempel pada permukaan substrat dan

diselubungi oleh matriks ekstralular polimer. Biofouling dikenal sebagai prasyarat

bagi pelekatan dan metamorfosis dari organisme penempel (Sabdono 2007,

Marhaeni 2011).

Rittchof (2001) mengemukakan bahwa setiap permukaan bawah air di

lingkungan laut dipengaruhi oleh pelekatan organisme pengotor (biofouling)

seperti bakteri, alga dan invertebrata terutama teritip. Permukaan di lingkungan

laut juga dipengaruhi oleh faktor biologi, fisika dan kimia. Peristiwa ini akan

membentuk lapisan kompleks dari pelekatan mikroorganisme (microbiofouling)

dan makroorganisme (macrobiofouling) yang biasa dikenal dengan istilah

biofouling.

Ketika suatu substrat terbenam air laut, substrat ini tidak terlepas dari

pelekatan biofouling. Biofouling terbentuk sangat cepat dalam skala mikroskopis,

sehingga biofouling dapat dibagi menjadi 2, antara lain microfouling dan

macrobiofouling. Microbiofouling adalah pembentukan biofilm (kolonisasi bakteri

5
dan makroalga) sedangkan macrobiofouling adalah pelekatan makroorganisme

(kolonisasi avertebrata dan makroalga) yang bersifat merusak (Railkin 2004).

2.1.2 Macrobiofouling

Menurut Callow dan Callow (2002), Macrobiofouling terbagi dua jenis,

yaitu Macrobiofouling lunak dan Macrobiofouling keras. Macrobiofouling lunak

yaitu soft coral, spons, anemon, tunikata, dan hydroid, sedangkan

Macrobiofouling keras bernakel, kerang dan cacing tabung. Kerang hijau yang

melekat dipermukaan substrat, dapat melekat pada permukaan substrat karena

bantuan senyawa yang dikeluarkan oleh tubuhnya. Senyawa ini mempunyai sifat

lekat seperti lem disebut sebagai protein dyhidroxypenylalanine yang masuk

dalam kelompok polipeptida. Seperti kerang hijau, bernakel juga dapat

mengeluarkankan senyawa dengan sifat yang sama sebagai senyawa protein

hydrophobic. Larva bernakel (cyprid) mempunyai cambuk dan mampu berenang

bebas, setelah itu akan memilih substrat yang baik untuk menempel dengan

menggunakan antennules. Organ antennules mampu menciptakan cairan untuk

mengenali lokasi yang akan digunakan untuk melekat. Enthemorpha adalah salah

satu jenis kelompok makroalga yang melekat pada permukaan substrat di laut

sejak fase spora. Spora makroalga mempunyai cambuk yang berperan sebagai alat

yang dipakai untuk melekat pada permukaan substrat, karena mampu melepaskan

senyawa glycoprotein, yaitu senyawa yang dikeluarkan dari bagian apparatus

golgi spora alga (Callow dan Callow 2002).

Kelompok macrobiofouling yang biasa ditemukan adalah Mollusca, teritip,

bryozoa, tunicata, decapoda, crustacea, hidroid dan anthozoa. Tiga kelompok

6
pertama adalah macrobiofouling yang paling banyak dijumpai dan paling besar

jumlahnya, sementara yang lainnya tidak terlalu signifikan (Dharmaraj et al.

1987).

2.1.3 Karakteristik Macrobiofouling

Menempelnya macrobiofouling (makroorganisme) pada permukaan substrat

mampu mengubah bobot dari suatu struktur dan kecepatan hidrodinamik kapal.

Penelitian yang dilakukan oleh Walter et al. (1996) tentang pengaruh penempelan

biota pada struktur tiang pancang jembatan, menyatakan bahwa pelekatan biota

laut yang terjadi pada permukaan tiang dermaga mampu meningkatkan bobot dari

struktur tersebut sebesar 5 kg/m2 dan tergantung pada tingkat kebersihan

lingkungan laut atau pesisir dan kondisi geografis wilayahnya.

Menurut Gunawan (2016), Macrobiofouling terdiri dari beberapa jenis

tumbuhan dan hewan yang secara universal diklasifikasikan menjadi 2 kelompok

besar yaitu macrobiofoling lunak dan macrobiofoling keras. Spesies

macrobiofoling keras mempunyai karakteristik tubuh yang dilapisi cangkang yang

keras yang dapat menutupi tubuhnya seperti teritip, keong dan kerang, sementara

spesies macrobiofoling lunak mempunyai karakteristik tubuh yang tidak

mempunyai cangkang pelindung seperti rumput laut anemon, bryozoa dan lain-

lain. Tabel 1 berikut menunjukkan macrobiofoling utama yang terbagi kedalam

dua kelompok sebagai berikut.

7
Tabel 1. Golongan utama macrobiofoling
No Keras Lunak
1. Teritip (Barnacles Sp) Rumput Laut (Seaweed)
2. Kerang (Mussel) Hidroid (Hydroida)
3. Tiram (Oyster) Karang Lunak (Soft Coral)
4. Cacing tabung (Tubeworm) Anemon (Anemone)
Sumber: Gunawan (2016)

Jenis kerang dan teritip adalah kelompok biota penempel yang sering

dijumpai. Kerang umumnya hidup dan tumbuh pada kedalaman 0-20 m dan

mampu membentuk koloni dengan ukuran yang sangat besar pada tahun pertama

setelah suatu struktur terbenam lingkungan air laut, sementara teritip bisa

dijumpai pada zona percikan (splash zone) sampai kedalaman 20 m.

Macrobiofoling lain seperti tiram, cacing tabung, alga, rumput laut, hydroid dan

lainnya bisa menyebabkan efek pelekatan yang serius, bahkan dapat membentuk

suatu koloni yang sangat besar pada suatu substrat yang ditempelinya (Gunawan

2016).

2.1.4 Proses Penempelan Biofouling pada Substrat

Proses fouling dipermukaan substrat yang keras dimulai dengan

menempelnya mikroorganisme tertutama oleh bakteri dan diatom yang tumbuh

berkali-kali lipat dengan cepat. Bersama dengan debris dan bahan organik

partikulat lainnya, mikroorganisme ini membentuk lapisan tipis pada permukaan

suatu benda. Tahap ini adalah tahap primer dimana mikroorganisme bertindak

sebagai prekursor bagi organisme penempel selanjutnya yang biasanya berukuran

lebih besar. Hewan dan tumbuhan yang kemudian melekat pada substrat

umumnya berasal dari hewan dan tumbuhan yang secara alami hidup melekat

(sessil) di substrat bangunan seperti karang dan lain-lain (Railkin 2003).

8
Proses pelekatan biofouling pada substrat keras terbagi menjadi 5 tahap

(Railkin 2003), yaitu:

1) Tahap 1, proses adsorpsi (penyerapan) makromolekul organik dan

anorganik sesaat setelah struktur tersebut terendam.

2) Tahap 2, pergerakan sel mikroba ke permukaan struktur dan bakteri akan

melekat pada permukaan substrat.

3) Tahap 3, bakteri melekat kuat ke permukaan struktur, dan menghasilkan

polimer ekstraseluler, membentuk lapisan film mikroba pada permukaan.

4) Tahap 4, terbentuknya koloni yang besar dan beragam pada permukaan

struktur dengan adanya spesies multiseluler seperti mikroalga, endapan

lumpur, kotoran, dan lain-lain.

5) Tahap 5, invertebrata laut yang lebih kompleks mulai saling melekat seperti

teritip, keong, makro alga, dan lain-lain.

Sumber: (Abarzua & Jakubowski 1995)

Gambar 1. Struktur Waktu Penempelan Biofouling Pada Substrat

Bakteri planktonik diperairan mengalami pengendapan yang bervariasi

dalam hitungan detik, kemudian bakteri tersebut menempel pada substrat dalam

hitungan menit (pelekatan awal). Bakteri yang menempel menciptakan koloni dan

melekat secara permanen pada substrat karena produksi eksopolimer dalam

beberapa hitungan menit hingga jam. Tahap awal pematangan biofilm (maturasi 1)
9
berlangsung dalam hitungan 1 jam sampai 24 jam. Tahap akhir pematangan

biofilm (maturasi 2) terjadi dalam hitungan 24 jam sampai 1 minggu. Dalam

hitungan 2 minggu sampai 1 bulan terjadi proses difusi, dimana beberapa bakteri

siao menyebar dan berkoloni ditempat lain (Loeb and Neihof 1975).

Sumber: (Abarzua dan Jakubowski 1995)

Gambar 2. Tahapan Kolonisasi

2.1.5 Jenis-Jenis Macrobiofouling

Kelompok biofouling yang banyak dijumpai, yaitu Mollusca, Teritip,

Bryozoa, Tunicata, Crustacea, Hidroid dan Anthozoa. Tiga kelompok pertama

adalah yang paling banyak jumlahnya, sedangkan sisanya tidak terlalu signifikan

(Dharma 2008).

1. Mollusca

Mollusca berasal dari bahasa Romawi yaitu mollis yang berarti lunak.

Mollusca adalah hewan yang berdaging dan tidak bertulang, ada yang menutupi

dirinya dengan cangkang dan ada yang tidak memiliki cangkang. Bentuk

cangkang bervariasi, ada yang bercangkang tunggal (Gastropoda), bercangkang

ganda (Bivalvia), berbentuk tanduk (Scaphoda), berlapis seperti susunan genting

(Polyplacophora) dan yang memiliki cangkang dalam tubuh, misalnya Loligo sp.

(Dharma 2008).

10
Oemarjati dan Wardhana (2000) menyatakan, Mollusca adalah hewan

simetri bilateral, bertubuh lunak dan tidak beruas. Sebagian besar anggotanya

memiliki cangkang yang terbuat dari zat kapur dengan berbagai bentuk. Dharma

(2008) menyatakan, Filum Mollusca dibagi 7 kelas yaitu Aplacophora,

Monoplacophora, Polyplacophora, Scaphopoda, Gastropoda, Pelecypoda dan

Cephalopoda.

Nontji (2007) menyatakan, Mollusca terdiri dari 5 kelas, yaitu Amphineura,

Gastropoda, Scaphopoda, Pelecypoda dan cephalopoda. Dari kelima kelas tersebut

hanya tiga kelas yang memiliki nilai ekonomis yaitu Gastropoda (jenis-jenis

keong), Pelecypoda (jenis-jenis kerang) dan Cephalopoda (cumi-cumi, sotong dan

gurita). Mollusca merupakan hewan yang dapat beradaptasi untuk hidup

diberbagai tempat dan cuaca. Ada yang hidup di hutan mangrove, di laut yang

sangat dalam, melekat pada substrat karang, di atas pasir, membenamkan diri

dalam pasir, diatas tanah berlumpur dan ada yang hidup di darat (Dharma 2008).

Hal ini dikarenakan cangkangnya keras dan daya ketahanannya mampu bertahan

terhadap perubahan lingkungan sehingga pertumbuhannya lebih cepat

(Rohmimohtarto 2007).

Menurut Connaughey dan Zottoli (2003), Teritip adalah salah satu golongan

hewan yang paling banyak tersebar, yang dijumpai di perairan pasang surut atau

laut dangkal. Tiga jenis teritip yaitu Balanus amphitrite, Balanus titinabulum,

Balanus trigonus merupakan jenis penghuni lautan dangkal (Nybakken 2012).

Menurut Hutagalung (2002), pelekatan dan perkembangan teritip sangat

dipengaruhi oleh faktor oseanografi yaitu pasang surut, kecerahan, cahaya, arus

11
dan gelombang. Selain itu, sifat fisika substrat, sifat kimia substrat, suplai

makanan dan ruang juga mempengaruhi perkembangan teritip.

2. Hidroid

Hydrozoa ditemukan sekitar 3.000 spesies hidup, dan dalam siklus

hidupnya, kelas ini memiliki tahap polip sub-ordo thecate (Leptomedusae)

Athecate (Anthomedussae), Limnomedusae, Milleporina, Stylasterina, Trachylina,

Siphonophora, dan Actinulida. Sebarannya dari daerah perairan dangkal hingga

kedalaman 30-40 m, oleh karena itu banyak penelitian dilakukan pada kedalaman

5-15 m. Hidrozoa merupakan hewan yang berenang bebas dan melekat pada

substrat keras seperti bebatuan, tiang dermaga pelabuhan dan pasir. Hewan ini

tersebar dari daerah tropis hingga subtropis (Kozloff 1990). Penamaan Hydroid

telah dilakukan sejak awal abad ke-19, selama ekspedisi Danish tahun 1922 di

Kepulauan Kei, Indonesia. Beberapa dari nama Hydroid pada perairan maluku

diberikan oleh Pieter dan Bedot (1890) yang sudah direvisi (Schuchert 2003).

Sejak awal abad ke-20, ada 15 spesies hidroid tercatat dari perairan Indonesia oleh

Mulder dan Trebilcock (2014).

3. Tunicata

Hewan yang masuk dalam subfilum ini adalah hewan yang menempel atau

sessile. Makanan didapatkan dari aliran air yang masuk melalui mulut ke celah

insang, dinamakan tunicata karena tubuhnya ditutupi oleh cangkang yang terdiri

dari tunika. Tunika tersusun dari selulosa. Selulosa umumnya ditemukan pada

tumbuhan atau protista tertentu, yang mampu memberikan indikasi hewan ini

12
chordata yaitu adanya celah insang. Pada tingkat dewasa, hewan ini tidak

memiliki tali punggung (chorda dorsalis) dan sistem saraf. Seperti hewan

menempel lainnya, tunicata membentuk larva yang dapat berenang, sehingga

mereka dapat mencari tempat pelekatan baru. Larva tergolong chordata dicirikan

dengan memiliki chorda dorsalis dan sistem saraf yang terletak pada bagian

belakang tubuh. Larva akhirnya menempel pada substrat dan berkembang menjadi

dewasa yang kehilangan karakteristik chordatanya (Barnes 2003).

4. Alga

Tumbuhan alga, ada yang uniseluler (bersel tunggal) dan ada juga yang

multiseluler (bersel banyak). Gaya hidupnya dapat berupa fitoplankton yang

terapung-apung atau melayang di air atau tumbuh bentik yang menancap atau

melekat. Dalam artikel ini, pengertian alga dibatasi hanya berdasarkan ukuran

besar saja (makroalga) yang berupa tumbuhan bentik. Alga yang hidup di dasar

laut banyak ditemukan disepanjang pantai dari dari zona pasang-surut hingga

kedalaman dimana sinar matahari dapat tembus. Pada perairan jernih, beberapa

jenis alga bisa hidup hingga kedalaman lebih 150 meter (Nontji 2007).

Alga biasanya jarang ditemukan di perairan yang dasarnya agak berlumpur

atau berpasir, karena hanya ada sedikit benda keras (substrat) yang cukup kuat

untuk tempatnya menempel. Di terumbu karang, alga ini biasanya menempel

pada batu, potongan karang, cangkang Mollusca, potongan kayu dan lainnya. Ada

juga yang jika terlepas dari substrat dasar dapat hidup mengapung ke permukaan

karena memiliki gelembung udara yang berfungsi sebagai pelampung, seperti

yang ada pada Sargassum. Alga dibagi menjadi tiga kelas yakni Chlorophyceae

13
(alga hijau), Phaeophyceae (alga coklat), dan Rhodophyceae (alga merah). Setiap

kelas mempunyai kandungan jenis pigmen yang tertentu (Nontji 2007).

5. Anthozoa

Anthozoa berasal dari bahasa Yunani, anthos + zooa = zoa (anthos = bunga,

zoa = hewan) hewan yang berbentuk seperti bunga. Semua anggota kelas ini

hidup di laut, mulai dari daerah pantai sampai kedalaman 6000 meter, terkhusus di

perairan hangat, akan tetapi beberapa dapat ditemukan di daerah kutub. Mereka

aadalah polip yang berkoloni dengan menempel pada suatu benda di dasar laut.

Anggota kelas ini telah berkurang pada tahap Medusa, sehingga mereka hanya

memiliki satu tahap polip saja. Anthozoa adalah kelas coelenterate terbesar,

meliputi 6000 species, dua sub kelas, masing-masing subkelas 6 ordo. Dari

prespektif kerangka tubuh, Anthozoa bisa dibedakan menjadi dua sub kelas, yaitu

sub kelas Alcyonaria (Octocorallia) dan sub kelas Zoantharia (Hexacorallia)

(Jasin 2002).

2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Pertumbuhan Biofouling

2.2.1 Salinitas

Salinitas (kadar garam) merupakan berat semua garam yang terlarut dalam

1000 gram air laut. Organisme fouling mampu bertahan hidup pada perairan

estuari antara 5-30‰ dan salinitas pada laut lepas mampu mencapai 41‰ (Al-

Kautsar 2022).

14
2.2.2 Kondisi Pasang Surut

Pasang surut adalah proses naik turunnya permukaan laut secara periodik

dalam jangka waktu tertentu. Pasang surut adalah faktor yang mampu mengubah

kehidupan di zona interdidal yaitu, paparan udara terbuka secara periodik dengan

parameter fisika yang sedikit besar. Paparan ke udara terbuka akan suatu

organisme adalah fungsi suhu dan kekeringan. Apabila lama terpapar udara

terbuka mengakibatkan kenaikan suhu yang mempengaruhi metabolisme tubuh

organisme (Nybakken 1992).

2.2.3 Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) adalah parameter untuk menentukan sifat asam dan

basa suatu perairan yang dipahami melalui konsentrasi atau aktivitas ion hidrogen.

Nilai pH bisa dipengaruhi beberapa faktor seperti suhu, CO2 dan DO (Dissolved

oxygen). Perubahan pH di perairan dapat mempengaruhi proses fisika, kimia dan

biologis suatu organisme, jika biofouling hidup pada pH yang lebih besar maka

akan terjadi tekanan fisiologis pada tubuh sehingga menyebabkan kematian

(Romimoharto 1991).

2.2.4 Oksigen Terlarut (Dissolved oxygen)

Oksigen terlarut dapat mempengaruhi kehidupan organisme perairan baik

secara langsung maupun tidak langsung. Kadar oksigen terlarut adalah ukuran

yang digunakan oleh biota untuk proses metabolisme tubuhnya. Semakin rendah

kadar oksigen terlarut maka dapat menghalangi pertumbuhan dan dapat

mengakibatkan kematian pada biota yang menempel (Faturohman et al. 2016).

15
2.2.5 Temperatur

Organisme laut pada dasarnya bersifat polikiloterm (suhu tubuh dipengaruhi

oleh lingkungan) sehingga dalam persebarannya akan mengikuti perbedaan suhu

laut secara geografis, organisme biofouling mampu bertahan hidup pada perairan

yang memiliki suhu antara 15-30°C atau dari perairan estuari sampai laut terbuka,

iklim tropik hingga iklim sedang. Air mempunyai kapasitas penyerapan panas

yang lebih tinggi daripada daratan. Sehingga dalam menaikan suhu suatu perairan

sebesar 1°C, maka air akan membutuhkan lebih banyak energi daripada yang

dibutuhkan oleh daratan dalam jumlah massa yang sama (Gunawan 2016).

2.2.6 Arus

Arus adalah gerakan mengairi suatu massa air yang dikarenakan oleh angin

atau karena perbedaan kepadatan air laut atau dikarenakan gerakan gelombang

yang panjang (Nontji 1987). Nybakken (1992) mengemukakan bahwa angin

mendorong pergerakan air ke permukaan yang mendapatkan suatu gerakan

horizontal secara perlahan sehingga membawa volume air yang sangat besar

melalui jarak di lautan. Arus dan gelombang mengakibatkan kegagalan pelekatan

organisme biofouling pada substrat.

2.3 Kerusakan struktur jembatan akibat biota penempel

Pelekatan biota laut pada struktur buatan manusia seperti tiang dermaga atau

pilar jembatan yang dapat ditemukan di lingkungan laut dapat mengakibatkan

kerusakan pada struktur tersebut akibat korosi yang disebabkan oleh adanya biota

yang melekat. Tingginya tingkat pelekatan biota yang menempel terutama jenis

16
teritip dipermukaan struktur menjadi masalah yang penting karena akan

mengakibatkan semakin banyaknya biota yang melekat pada permukaan struktur

dan menyebabkan lebih besar terbentuk lingkungan asam akibat proses

metabolisme biota yang melekat menjadi lebih luas. Lingkungan asam dapat

melemahkan ikatan hidrolik semen dan air sehingga menyebabkan beton menjadi

rapuh (Railkin 2003).

Senyawa asam yang didapatkan dari proses metabolisme tubuh biota yang

melekat dan proses aktivitas biota yang melekat membenamkan dirinya ke

permukaan dalam upaya untuk mempertahankan hidupnya dari arus laut akan

merusak permukaan pelindung, sehingga lapisan akan rusak mulai dari adanya

lubang-lubang kecil pada permukaan substrat. Lubang tersebut akan membuat air

laut masuk kedalam beton dan melemahkan daya lekat lapisan pelindung dari

dalam, sehingga lama-kelamaan lapisan pelindung akan terlepas kemudian pecah

(Gunawan 2016).

17
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Mei tahun 2022.

Penelitian ini dilaksanakan di dermaga Pelabuhan Kuala Bubon, Kecamatan

Samatiga, Kabupaten Aceh Barat. Panjang dermaga 392,4 meter dan dapat

disandari kapal berkapasitas 1 GT (Kuswati et al. 2017).

Gambar 3. Lokasi Penelitian

18
3.2 Alat dan Bahan

Adapun beberapa alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini,

ditampilkan pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Alat dan Bahan


No. Nama Alat/Bahan Jumlah Kegunaan
A. Alat
1. Alat Dasar Selam 1 set untuk mobilitas dalam air
(ADS)
2. GPS - untuk menentukan titik koordinat
pada lokasi penelitian
3. Transek Kuadran 1 set untuk mengetahui kepadatan dan
keragaman macrobiofouling
4. Alat tulis 1 set untuk mencatat data macrobiofouling
5. Kamera underwater 1 unit untuk dokumentasi penelitian
6. Buku identifikasi 1 buah untuk mengidentifikasi sampel
7. Botol sampel untuk wadah/tempat sampel yang
akan diawetkan
8. Pisau 1 buah untuk mengambil sampel
B. Bahan
1. Alkohol 70% - untuk mengawetkan sampel

3.3 Prosedur penelitian

3.3.1 Persiapan

Pada tahap persiapan, kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan alat dan

bahan yang digunakan dalam kegiatan penelitian dan pengumpulan data.

3.3.2 Penentuan lokasi penelitian

Dalam penentuan lokasi penelitian, digunakan metode Purposive Sampling.

Purposive Sampling adalah metode yang dalam penentuan lokasi penelitian

dilakukan dengan berbagai pertimbangan tertentu untuk pengambilan sampel dan

menyesuaikan dengan tujuan dari penelitian yang akan dilakukan (Winarno 2011).

Lokasi penelitian macrobiofouling dilakukan pada permukaan tiang dermaga


19
beton di Pelabuhan Kuala Bubon. Pertimbangan yang digunakan dalam penentuan

lokasi transek kuadran yaitu berdasarkan tingkat penempelan dari

macrobiofouling yang masih dapat diamati, paparan sinar matahari pada lokasi

transek (Faisal 2014).

3.3.3 Pengambilan Data

Pengambilan data Macrobiofouling menggunakan transek kuadran yang

dilakukan pada tiang dermaga pelabuhan Kuala Bubon. Pengambilan data

Macrobiofouling dilakukan pada 10 stasiun dengan ukuran transek kuadran

20×90cm. Pengambilan data dilakukan pada siang hari saat pasang surut terendah

air laut. Pengambilan data dimulai dari stasiun 1 sampai stasiun 10 secara

berurutan.

Tahapan sampling Macrobiofouling dilaksanakan pada lokasi penelitian,

sebagai berikut:

- Sampling individu Macrobiofuling dilakukan dengan menggunakan kuadran

ukuran 20x90 cm di permukaan tiang dermaga pelabuhan Kuala Bubon.

- Sampel individu Macrobiofouling diambil dengan bantuan kamera sebagai

dokumentasi untuk memudahkan penghitungan jumlah individu yang

terdapat pada transek.

- Sampel individu Macrobiofouling yang merupakan hasil gambar

dokumentasi dihitung untuk menentukan jumlah dari individu

Macrobiofouling.

20
Sampel Macrobiofouling yang belum diketahui jenisnya diambil dan

dimasukkan kedalam plastik sampel, lalu diawetkan menggunakan alkohol 70%

untuk diidentifikasi di Laboratorium Ilmu Kelautan.

3.4 Analisis Data

3.4.1 Tingkat Keragaman

Tingkat Keragaman macrobiofouling dianalisis dengan menggunakan rumus

indeks keragaman dengan rumus seperti berikut (Fachrul 2012).

𝐻 ′ = −∑ (ni/𝑁) 𝑙𝑛 (ni/𝑁)

Keterangan:
H’ = Tingkat Keragaman
ni = Jumlah Individu Jenis i
N = Jumlah Total Individu Semua Jenis

Tabel 3. Kategori indeks keragaman (H’) (Odum 1971)


No. Keragaman Kategori
1. H’ < 2,0 Rendah
2. 2,0 < H’ < 3,0 Sedang
3. H’ ≥ 3,0 Tinggi

3.4.2 Tingkat Kepadatan

Kepadatan macrobiofouling dianalisis dengan menggunakan rumus

kepadatan seperti berikut (Krebs 1989).

D= ¿
A

Keterangan:
D = Kepadatan spesies (Ind/m2)
ni = Jumlah total individu ke-I (ind)
A = Luas total transek (m2)

21
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keragaman Macrobiofouling

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di tiang dermaga beton

pelabuhan Kuala Bubon Kabupaten Aceh Barat ditemukan 10 spesies

Macrobiofouling dari kelas dan famili yang berbeda (Tabel 4).

Tabel 4. Macrobiofouling yang ditemukan pada tiang dermaga beton di pelabuhan


Kuala Bubon.
Stasiun
No Jenis
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Balanus sp + + + + + + + + + +
2 Clathria sp + - - + - - - + + -
3 Isognomon sp - + - - + + - - - +
4 Codium sp + + + + + + + + + +
5 Lottia gigantea + + + + + + + + + +
6 Littorina sp + + + + + + + + + +
7 Thais sp + + + + + + + + + +
8 Sargassum sp - - + - - + + - - +
9 Padina sp + - + - + + - + - +
10 Caulerpa taxifolia - - + + - - + + - -

Keterangan
+ = Ada
- = Tidak ada

Macrobiofouling yang ditemukan menempel pada tiang dermaga beton

pelabuhan Kuala Bubon sebanyak 10 spesies yang terdiri dari 4 kelompok

diantaranya 2 kelompok kelas hewan dan 2 kelompok kelas tumbuhan. Dari

kelompok hewan yang ditemukan yaitu kelas Maxillopoda ditemukan satu spesies

yaitu Balanus sp, kelas Demospongiae ditemukan spesies Clathria sp, kelas

22
Bivalvia ditemukan Isognomon sp, dan dari kelas Gastropoda ditemukan 3 spesies

yaitu Lottia gigantea, Littorina sp dan Thais sp. Kelompok tumbuhan ditemukan

Codium sp dan Caulerpa Taxifolia dari kelas Ulvophyceae dan kelas

Phaeophyceae ditemukan Sargasum sp dan Padina sp. Ruslan (2014) melaporkan

bahwa di Pulau Balanglompo. Kec. Mattiro Sompe. Kab. Pangkep ditemukan 20

jenis Macrobiofouling dari 5 kelompok hewan dan hanya satu dari kelompok

tumbuhan yaitu alga. Dari kelompok hewan yaitu Bivalvia ditemukan delapan

jenis, yaitu Pinctada sp, Branchidontes sp, Chama sp, Hyotissa sp, Isognomon sp,

Saccostrea sp, dan Spondylus sp, kelompok gastropoda, yaitu Littorina sp,

Acmaea sp, Thais sp, Patelloida sp , dan Fisurella sp, kelompok Crustacea, yaitu

Balanus sp dan Pagurus sp, dari kelompok Tunicata, yaitu Arcidia Sp dan

Polycarpa sp, dari kelompok Spongia, yaitu Callyspongia sp dan Theonella sp.

Dua jenis dari tumbuhan (alga) yaitu Padina sp dan Sargassum sp.

Tingkat keragaman jumlah spesies Macrobiofouling yang ditemukan pada

tiang dermaga beton di Pulau Balanglompo lebih banyak dibandingkan dengan

Macrobiofouling yang ditemukan pada tiang dermaga beton di pelabuhan Bubon.

Hal ini diduga dipengaruhi oleh kondisi oseanografi dari masing-masing lokasi

penelitian. Qian et al., (2000) menyatakan bahwa biofouling melimpah pada

kondisi perairan yang cukup akan suhu, salinitas serta kondisi arus yang lemah.

Nilai keragaman (H’) memiliki hubungan yang erat dengan sedikit atau

banyaknya jumlah suatu spesies Macrobiofouling yang ada pada suatu substrat.

Nilai indeks keragaman (H’) pada 10 stasiun pengamatan ditampilkan pada Tabel

5 berikut.

23
Tabel 5. Keragaman Macrobiofouling
Stasiun H’ Kategori
1 1,68 Rendah
2 1,68 Rendah
3 1,68 Rendah
4 1,67 Rendah
5 1,68 Rendah
6 1,68 Rendah
7 1,67 Rendah
8 1,67 Rendah
9 1,67 Rendah
10 1,67 Rendah

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa stasiun 1 hingga stasiun 10

memiliki indeks keragaman yang tidak jauh berbeda. Berdasarkan kategori indeks

keragaman (H’) oleh Odum (1971), nilai indeks keragaman (H’) yang diperoleh

dari penelitian ini tergolong dalam kategori rendah (< 2,0). Tinggi rendahnya nilai

dari indeks keragaman Macrobiofouling pada permukaan tiang dermaga beton

pelabuhan Bubon disebabkan oleh tingginya tingkat penempelan dari suatu biota

Macrobiofouling tertentu pada stasiun penelitian. Tingkat keragaman suatu biota

dapat dikatakan tinggi apabila jumlah spesies dengan jumlah individu masing-

masing spesies memiliki jumlah yang merata. Apabila suatu biota hanya memiliki

spesies yang sedikit dan jumlah individu tiap spesies yang tidak merata maka

keragaman dapat dikatakan rendah (Barus, 2004).

Nento, et al (2013) mengemukakan bahwa suatu komunitas memiliki indeks

keragaman jenis yang tinggi apabila pada komunitas tersebut disusun dari banyak

spesies dan sebaliknya apabila komunitas tersebut disusun dari sedikit spesies

yang dominan maka indeks keragaman jenisnya akan rendah. Selain itu, menurut

Chan, et al (2009) adanya dominansi teritip dari kelas Maxillopoda menyebabkan

keragaman Macrobiofouling rendah seperti yang terjadi pada tiang dermaga beton

di pelabuhan Bubon.
24
Menurut Gunawan (2016) rendahnya keragaman dari Macrobiofouling pada

lokasi penelitian dapat disebabkan karena adanya persaingan antara jenis

Macrobiofouling. Persaingan yang terjadi antar macrobiofouling yaitu persaingan

ruang dan tempat (Sumanto 1985). Teritip adalah salah satu jenis

Macrobiofouling yang dapat berkembang dengan cepat sehingga biota ini dapat

dengan cepat menguasai suatu habitat akibatnya jenis Macrobiofouling lainnya

tidak ada ruang untuk berkembang pada habitat tersebut.

4.2 Kepadatan Macrobiofouling

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, pada stasiun 1 ditemukan

7 jenis Macrobiofouling diantaranya, yaitu Balanus sp, Clathria sp, Codium sp,

Lottia Gigantea, Littorina sp, Thais sp dan Padina sp. Kepadatan

Macrobiofouling tertinggi yaitu Balanus sp dengan nilai kepadatan 1,17 ind/m2

dan kepadatan Macrobiofouling terendah yaitu Clathria sp dan Padina sp dengan

nilai kepadatan 0,11 ind/m2 (Gambar 4).

Stasiun 1
1.40
1.17
1.20
1.00
Kepadatan (m2)

0.80 0.67
0.60 0.44
0.40 0.33 0.33
0.20 0.11 0.11
0.00
Balanus Clathria Codium Lottia Littorina Thais sp. Padina
sp sp sp gigantea sp. sp.
Spesies

Gambar 4. Kepadatan Macrobiofouling pada stasiun 1

25
Pada stasiun 2 ditemukan 6 jenis Macrobiofouling, yaitu Balanus sp,

Isognomon sp, Codium sp, Lottia gigantea, Littorina sp dan Thais sp. Kepadatan

Macrobiofouling tertinggi yaitu Balanus sp dengan nilai kepadatan 1,28 ind/m2

dan kepadatan Macrobiofouling terendah yaitu Isognomon sp dengan nilai

kepadatan 0,22 ind/m2 (Gambar 5).

Stasiun 2
1.40 1.28
1.20
1.00
Kepadatan (m2)

0.80
0.60 0.50 0.50 0.56
0.40 0.33
0.22
0.20
0.00
Balanus sp Isognomon Codium sp Lottia Littorina Thais sp.
sp. gigantea sp.
Spesies

Gambar 5. Kepadatan Macrobiofouling pada stasiun 2

Pada stasiun 3 ditemukan 8 jenis Macrobiofouling, yaitu Balanus sp,

Codium sp, Lottia gigantea, Littorina sp, Thais sp, Sargassum sp, Padina sp dan

Caulerpa Taxifolia. Kepadatan Macrobiofouling tertinggi yaitu Balanus sp

dengan nilai kepadatan 1,22 ind/m2 dan kepadatan Macrobiofouling terendah yaitu

Sargassum sp dengan nilai kepadatan 0,11 ind/m2 (Gambar 6).

26
Stasiun 3
1.22
1.20
0.80 0.61
Kepadatan (m2) 0.44
0.40 0.33
0.17 0.11 0.17 0.17
0.00
. p. . .
sp sp ea sp sp sp lia
us um an
t
na si s m na fo
an i g i a su i xi
l d gi or Th as d ta
Ba Co a Li
tt g Pa a
tti S ar le
rp
Lo u
Ca
Spesies

Gambar 6. Kepadatan Macrobiofouling pada stasiun 3

Pada stasiun 4 ditemukan 7 jenis Macrobiofouling, yaitu Balanus sp,

Clathria sp, Codium sp, Lottia gigantea, Littorina sp, Thais sp, dan Caulerpa

Taxifolia. Kepadatan Macrobiofouling tertinggi yaitu Balanus sp dengan nilai

kepadatan 1,33 ind/m2 dan kepadatan Macrobiofouling terendah yaitu Codium sp

dan Caulerpa taxifolia dengan nilai kepadatan 0,11 ind/m2 (Gambar 7).

Stasiun 4
1.40 1.33
1.20
1.00 0.83
Kepadatan (m2)

0.80
0.60
0.40 0.33 0.33
0.17 0.11 0.11
0.20
0.00
Balanus Clathria Codium Lottia Littorina Thais sp. Caulerpa
sp sp sp gigantea sp. taxifolia
Spesies

Gambar 7. Kepadatan Macrobiofouling pada stasiun 4

Pada stasiun 5 ditemukan 7 jenis Macrobiofouling, yaitu Balanus sp,

Isognomon sp, Codium sp, Lottia gigantea, Littorina sp, Thais sp, dan Padina sp.

Kepadatan Macrobiofouling tertinggi yaitu Balanus sp dengan nilai kepadatan

27
1,11 ind/m2 dan kepadatan Macrobiofouling terendah yaitu Padina sp dengan nilai

kepadatan 0,11 ind/m2 (Gambar 8).

Stasiun 5
1.20 1.11
1.00
0.80 0.67
0.60
Kepadatan (m2)

0.40 0.33 0.28 0.33


0.22
0.20 0.11
0.00
sp . sp a . . .
s sp m n te sp s sp sp
a nu on iu ga rin
a ai in
a
l om d gi o Th d
Ba g n Co a Li
tt Pa
Iso tti
Lo
Spesies

Gambar 8. Kepadatan Macrobiofouling pada stasiun 5

Pada stasiun 6 ditemukan 8 jenis Macrobiofouling, yaitu Balanus sp,

Isognomon sp, Codium sp, Lottia gigantea, Littorina sp, Thais sp, Sargassum sp

dan Padina sp. Kepadatan Macrobiofouling tertinggi yaitu Balanus sp dengan

nilai kepadatan 1,17 ind/m2 dan kepadatan Macrobiofouling terendah yaitu

Sargassum sp dengan nilai kepadatan 0,06 ind/m2 (Gambar 9).

Stasiun 6
1.17
1.20

0.80
0.56 0.50
Kepadatan (m2)

0.40 0.33 0.28


0.22
0.06 0.11
0.00
sp . sp . . . .
s sp t ea sp sp sp sp
on um an na s na
nu di g ri ai um i
l a om gi Th ss d
Ba gn Co tto ga Pa
t ia Li ar
Iso Lo
t S

Spesies

Gambar 9. Kepadatan Macrobiofouling pada stasiun 6

28
Pada stasiun 7 ditemukan 7 jenis Macrobiofouling, yaitu Balanus sp,

Codium sp, Lottia gigantea, Littorina sp, Thais sp, Sargassum sp dan Caulerpa

taxifolia. Kepadatan Macrobiofouling tertinggi yaitu Balanus sp dengan nilai

kepadatan 1,17 ind/m dan kepadatan Macrobiofouling terendah yaitu Caulerpa

taxifolia dengan nilai kepadatan 0,06 ind/m2 (Gambar 10).

Stasiun 7
1.17
1.20
0.80 0.56
0.44
Kepadatan (m2)

0.40 0.33
0.17 0.11 0.06
0.00
sp . . .
s sp t ea sp sp sp lia
nu um an na ai
s
um i fo
l a di gi
g
or
i
Th ss t ax
Ba Co a Li
tt rg
a a
tt i S a le
rp
Lo u
Ca
Spesies

Gambar 10. Kepadatan Macrobiofouling pada stasiun 7

Pada stasiun 8 ditemukan 8 jenis Macrobiofouling, yaitu Balanus sp,

Clathria sp, Codium sp, Lottia gigantea, Littorina sp, Thais sp, Padina sp dan

Caulerpa taxifolia. Kepadatan Macrobiofouling tertinggi yaitu Balanus sp dengan

nilai kepadatan 1,22 ind/m2 dan kepadatan Macrobiofouling terendah yaitu Padina

sp dengan nilai kepadatan 0,06 ind/m2 (Gambar 11).

29
Stasiun 8
1.22
1.20
0.80 0.67
Kepadatan (m2)
0.40 0.33 0.33
0.22
0.11 0.06 0.11
0.00
. p. .
sp sp sp ea sp sp lia
us ria um an
t
na si s na fo
an th i g i a i xi
l a d gi or Th d ta
Ba Cl Co a Li
tt Pa a
tti le
rp
Lo u
Ca
Spesies

Gambar 11. Kepadatan Macrobiofouling pada stasiun 8

Pada stasiun 9 ditemukan 6 jenis Macrobiofouling, yaitu Balanus sp,

Clathria sp, Codium sp, Lottia gigantea, Littorina sp, dan Thais sp. Kepadatan

Macrobiofouling tertinggi yaitu Balanus sp dengan nilai kepadatan 1,33 ind/m2

dan kepadatan Macrobiofouling terendah yaitu Clathria sp dengan nilai kepadatan

0,06 ind/m2 (Gambar 12).

Stasiun 9
1.40 1.33
1.20
1.00 0.83
Kepadatan (m2)

0.80
0.60 0.44
0.40 0.22
0.20 0.06 0.11
0.00
Balanus sp Clathria sp Codium sp Lottia Littorina Thais sp.
gigantea sp.
Spesies

Gambar 12. Kepadatan Macrobiofouling pada stasiun 9

Pada stasiun 10 ditemukan 8 jenis Macrobiofouling, yaitu Balanus sp,

Isognomon sp, Codium sp, Lottia gigantea, Littorina sp, Thais sp Sargassum sp

dan Padina sp. Kepadatan Macrobiofouling tertinggi yaitu Balanus sp dengan

30
nilai kepadatan 1,11 ind/m2 dan kepadatan Macrobiofouling terendah yaitu Padina

sp dengan nilai kepadatan 0,06 ind/m2 (Gambar 13).

Stasiun 10
1.20 1.11
1.00
0.80
0.60 0.50 0.50 0.50
kepadatan (m2)

0.40 0.33
0.22
0.20 0.11 0.06
0.00
sp . sp a . . . .
s sp m n te sp s sp sp sp
a nu on iu ga rin
a ai su
m in
a
l om d gi o Th as d
Ba g n Co a Li
tt rg Pa
Iso tti Sa
Lo
Spesies

Gambar 13. Kepadatan Macrobiofouling pada stasiun 10

Tingkat kepadatan Macrobiofouling dari stasiun 1-10 dapat dilihat bahwa

Macrobiofouling jenis Balanus sp dari kelas Maxillopoda lebih tinggi

dibandingkan dengan biota lainnya. Hal ini disebabkan disebabkan karena spesies

Balanus sp. dalam proses rekrutmen larva pada substrat telah mengalami bentuk

diferensiasi pada organ pelekatannya yang memungkinkan Balanus sp. dapat

hidup pada berbagai jenis substrat. Organ yang berperan dalam proses perlekatan

ini yaitu cement glands yang berkembang seiring bertambahanya usia dari larva

Balanus sp. Cement galnds ini sangat berperan dalam penempelan Balanus sp

pada suatu substrat dan tidak mudah terlepas ketika mendapat tekanan dari

golombang dan arus (Ruslan, 2014).

Selain itu juga disebabkan oleh pengaruh faktor lingkungan perairan laut

seperti suhu. Balanus sp merupakan salah satu biota yang dapat mentolerir

berbagai kondisi lingkungan. Pada penelitian Qiu & Qian (1999) menyatakan

bahwa pada suhu 30°C, suhu khas musim panas di Hong Kong, larva berkembang

31
pesat, tingkat kelangsungan hidup tinggi, larva dewasa sering berganti kulit, dan

sebagian besar individu memiliki ovarium dan embrio yang sedang berkembang.

Bahkan pada suhu 150C Balanus sp dapat hidup akan tetapi perkembangannya

rendah. Hal ini menunjukkan bahwa Balanus sp dapat hidup dan berkembang

pada suhu tertinggi maupun terendah. Suhu memainkan peran yang sangat

signifikan dalam pengaruhnya terhadap kehidupan makhluk laut, baik secara

langsung maupun tidak langsung. Kecepatan metabolisme, respirasi organisme

laut, kualitas air, dan proses metabolisme ekosistem perairan sangat dipengaruhi

oleh suhu air (Odum, 1971). Berdasarkan hasil analisisis citra satelit didapatkan

bahwa suhu berada pada kisaran 27-32oC (Gambar14).

Gambar 14. Peta sebaran suhu permukaan laut di perairan Kuala Bubon

Kisaran suhu tersebut masih dalam batas toleransi organisme yang hidup di laut.

Hal ini sesuai yang dikatakan Romimohtarto dan Juwana (1999) bahwa suhu

alami air laut berkisar antara dibawah 0oC hingga 33oC. Berdasarkan penelitian-
32
penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa suhu memainkan peran penting dalam

kepadatan macrobiofouling. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa semakin

tinggi suhu air laut, semakin tinggi pula kepadatan biofouling. Fitzsimmons dan

Nelson (2019) menunjukkan bahwa suhu air yang lebih tinggi dapat memicu

pertumbuhan dan reproduksi organisme laut, sehingga meningkatkan kepadatan

biofouling pada permukaan benda-benda seperti kapal atau struktur laut.

Didukung penelitian yang dilakukan oleh Kamat (2018), juga menunjukkan

bahwa suhu air dapat memengaruhi kepadatan dan jenis organisme laut yang

membentuk biofouling. Studi ini menemukan bahwa suhu yang lebih tinggi dapat

menyebabkan peningkatan kepadatan bakteri dan ganggang yang membentuk

biofouling.

Nilai kepadatan Macrobiofouling secara total ditunjukkan pada Gambar 14

sebagai berikut.

Kepadatan Macrobiofouling

3.33 3.33

3.27
Tingkat Kepadatan

3.22 3.22

3.16 3.16 3.16

3.11 3.11

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Stasiun

Gambar 15. Grafik kepadatan Macrobiofouling

Berdasarkan grafik diatas, kepadatan Macrobiofouling pada tiang dermaga

beton di pelabuhan Bubon memiliki nilai yang tidak jauh berbeda. Hal ini diduga

33
disebabkan karena jarak antar stasiun hanya 1,5 m sehingga memiliki faktor

oseanografi dan sifat fisika kimia yang tidak jauh berbeda disetiap stasiunnya.

Tingkat kepadatan tertinggi pada grafik diatas sebesar 3,33 ind/m2 dan tingkat

kepadatan terendahnya sebesar 3,11 ind/m2.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dinyatakan bahwa tingkat kepadatan

Macrobiofouling yang terjadi pada tiang dermaga beton di pelabuhan Bubon dapat

dinyatakan tidak berdampak parah pada kerusakan stuktur tiang (korosi), akan

tetapi substrat yang telah ditempeli akan lebih rapuh dibanding dengan substrat

yang belum ditempeli oleh Macrobiofouling. Gunawan (2016) menyatakan bahwa

tingkat keparahan kerusakan tiang dermaga akan terjadi apabila tingkat pelekatan

Macrobiofoulingnya tinggi disertai dengan difusitas air laut sehingga kecepatan

penetrasi ion klorida pada tulangan beton akan menyebabkan karat.

34
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada tiang dermaga beton

di pelabuhan Kuala Bubon dapat disimpulkan bahwa:

1. Tingkat keragaman (H’) yang terdapat pada tiang dermaga beton pelabuhan

Bubon sebesar 1,67 dan 1,68 dimana nilai keragaman (H’) tersebut masuk

dalam kategori rendah.

2. Kepadatan Macrobiofouling pada tiang dermaga beton di pelabuhan Bubon

memiliki nilai yang tidak jauh berbeda. Tingkat kepadatan tertinggi sebesar

3,33 ind/m2 dan tingkat kepadatan terendahnya sebesar 3,11 ind/m2.

3. Kepadatan Macrobiofouling yang terjadi pada tiang dermaga beton di

pelabuhan Bubon dapat dinyatakan tidak berdampak parah pada kerusakan

stuktur tiang (korosi), akan tetapi substrat yang telah ditempeli akan lebih

rapuh dibanding dengan substrat yang belum ditempeli oleh

Macrobiofouling.

5.2 Saran

Perlunya penelitian lebih lanjut terkait pengaruh faktor oseanografi dan

pengaruh sifat fisika-kimia perairan air aut di pelabuhan Bubon untuk diketahui

secara pasti pengaruhnya terhadap kepadatan dan keragaman Macrobiofouling

pada tiang dermaga beton di pelabuhan Bubon.

35
DAFTAR PUSTAKA

Abarzua, S., & Jakubowski, S. (1995). Biotechnological Investigation for the


Prevention of Biofouling. Jurnal Marine Ecology Progress Series,
123,301-312.

AlKautsar, W. (2020). Pengaruh Faktor Oseanografi Terhadap Laju Penempelan


Macrofouling pada Tiang Pancang Jembatan Suramadu [Skripsi] Program
Studi Ilmu Kelautan Fakultas Sains Dan Teknologi Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Armitage, J. (2005). Understanding the Development and Formation of Biofilm.


University of Oxford.

Barus, P. 2004. Komunitas Biota Penempel di Perairan Suralaya, Selat Malaka.


Jurnal Oseanologi, 16, 29-41

Budiharta, R. (2009). Studi Penempelan Biofouling dengan Variasi Jenis Material


di Laut Tropis [Skripsi] Program Studi Teknik Perkapalan Fakultas
Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Callow, M., & Callow, J. (2002). Marine Biofouling: a sticky problem. Biologist
(London England), 49(1), 10-14.

Chan, B.K., Prabowo, R.E., & Lee, K.S. (2009). Crustacean Fauna of Taiwan:
Barnacles, Volume I - Cirripedia: Thoracic Excluding The Pyrgomatidae
And Acastinae. Taiwan: National Taiwan Ocean University Press.

Chen, W. & Duan, L. (2013). Handbook of International Bridge Engineering.


Boca raton: CRC Press.

Czaczyk, K., & Myszka. (2007). Biosynthesis of Extracellular Polymeric


Substance an its Role in Microbial Biofilm Formation Polish Journal of
Environmental Studies, 16(6), 799-806.

Dahuri, R. (1996). Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara


Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

Darmaraj. S.A., Chellam, & T.S., Velayudhan. (1987). Biofouling, Boring and
Predation of Pearl Oyster. CMFRI bulletin 39. Central Marine Fisheries
Research Institute

Fachrul, M.F. (2007). Bioecological Sampling Method. Jakarta: Pt Bumi Aksara.

36
Faturohman, I.S., & Nurruhwati, I. (2016). Hubungan Kelimpahan Plankton
dengan Suhu Perairan Laut disekitar PLTU Cirebon. Jurnal Kelautan, VII,
115-122.

Fitzsimmons, K., & Nelson, D. C. (2019). Influence of temperature on marine


biofouling. In Oceanography and Marine Biology. Singapore: CRC Press.

Gunawan, H.S. (2016). Cat Anti Fouling untuk Penanganan Kerusakan Struktur
Jembatan akibat Biota Penempel. Jurnal Perikanan dan Ilmu Kelautan.. 1-
74.

Kamat, P. (2018). Effects of temperature on marine biofouling. International


Journal of Innovative Research in Science, Engineering and Technology,
7(6), 7745-7752

Kumalasari, D.E., Sulistiyowati, H., & Setyati, D. (2018). Komposisi Jenis Alga
Makrobentik Divisi Phaeophyta di Zona Interdidal Pantai Pancur Taman
Nasional Alas Purwo. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Jember.

Kuswati, A., Yuliani A., & Lestari E.M. (2017). Modelling and Simulations of
Gangway Facilyty in Meulaboh Ferry Terminal. Jurnal Transportasi
Multimoda, 15, 63-74.

Loeb, G.J., & Neihof, R.A. (1975). Marine conditioning films. Adv Chem Ser
145(16), 319-335.

Malik, I. A. (2018). Keragaman dan Kepadatan Macrobiofouling pada Media


Terumbu Buatan Dengan Bahan Material Beton Normal dan Beton
Campuran Cangkang Kerang di Pantai Pasir Putih Situbondo [Skripsi]
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Ampel Surabaya.

Marhaeni, B. (2011). Potensi bakteri simbion tumbuhan lamun sebagai


penghambat terjadinya biofouling di laut [Tesis] Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

McConnaughey, B.H., & Zotti, R. (1983). Pengantar Biologi. London: Mosby


Company.

Nontji, A. (2007). Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan.

Nybakken, J. (1992). Biologi Laut Suatu Pendekatan Biologis. Jakarta: PT


Gramedia.

Odum, E.P. (1983). Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga (Alih bahasa oleh T.
Samingan). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

37
Qiu, J. W., & Qian, P. Y. (1999). Tolerance of the barnacle Balanus amphitrite
amphitrite to salinity and temperature stress: effects of previous
experience. Marine Ecology Progress Series, 188, 123-132.

Qian, P., Rittschof, D., & Seedhar, B. (2000). Macrofouling in undirectional flow:
miniature pipes as experimental models for studying the interaction of
flow and surface characteristic on the attachment of bernacle, bryozoan
and polychaete larvae. Jurnal Marine Ecology, 207, 100-121

Railkin, A. (2003). Marine Biofouling: Colonization Processes and Defenses.


Florida: CRC Press.

Rittschof, D. (2001). Natural Product Antifoulants and Coatings Development.


Florida: CRC Press.

Romimoharto, K. (1991). Pengantar Pemantauan Pencemaran Laut. Jakarta:


Puslitbang Oseanografi-LIPI.

Ruslan, A.F. (2014). Kepadatan dan Keragaman Macrobiofouling pada Dermaga


Beton dan Dermaga Kayu di Pulau Balanglompo Kec. Mattiro Sompe
Kab. Pangkep [Skrips] Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas
Hasanuddin. Makassar

Sabdono, A. (2007). Pengaruh Ekstrak Antifouling Bakteri Karang Pelagiobacter


Variabilis Strain USP3.37 Terhadap Penempelan Bernakel Di Perairan
Pantai Teluk Awur Jepara, 12(1), 18-23.

Winarno, (2011). Metodologi Penelitian dalam Pendidikan Jasmani. Malang: UM


Press.

38
LAMPIRAN

Spesies Macrobiofouling

Lampiran 1. Balanus sp. Lampiran 2. Clathria sp.

Lampiran 3. Isognomon sp. Lampiran 4. Codium Sp.

Lampiran 5. Lottia gigantea Lampiran 6. Littorina Sp.

39
Lampiran 7. Thais Sp.
Lampiran 8. Sargassum Sp.

Lampiran 9. Padina Sp. Lampiran 10. Caulerpa taxifolia

Lampiran 11. Klasifikasi Macrobiofouling


No. Kelas Family Spesies
1. Maxillopoda Balanidae Balanus sp
2. Demospongiae Microcionidae Clathria sp
3. Bivalvia Isognomonidae Isognomon sp.
4. Ulvophyceae Codiaceae Codium sp
5. Gastropoda Lottidae Lottia gigantea
6. Gastropoda Littorinidae Littorina sp.
7. Gastropoda Muricidae Thais sp.
8. Phaeophyceae Sargassaceae Sargassum sp.
9. Phaeophyceae Dictyotaceae Padina sp.
10. Ulvophyceae Caulerpacae Caulerpa taxifolia

Lampiran 12. Kondisi Perairan


40
Lampiran 13. Pengambilan data

41

Anda mungkin juga menyukai