Anda di halaman 1dari 17

PRAKTIKUM BIOKIMIA

Reaksi Uji Protein dan Penentuan Kadar Protein


Modul 1

Oleh:
Adam Muhammad Syach : 11217009
.
Asisten : Naomi F. Silaban
Tanggal Percobaan : 08 Februari 2019
Tanggal Pengumpulan : 15 Februari 2019

PROGRAM STUDI REKAYASA HAYATI


SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2018
I. Tujuan Percobaan
1. Menentukan keberadaan protein pada sampel dengan uji Biuret
2. Menentukan pengaruh pH terhadap protein
3. Menentukan pengendapan protein dengan logam berat pada larutan
albumin telur (1:5)
4. Menentukan fraksinasi protein dengen pengendapan Amonium Sulfat
5. Menentukan Kadar protein pada larutan dengan menggunakan
metode Lowry

II. Teori Dasar


Protein merupakan makromolekul yang terbentuk dari asam amino yang
tersusun dari atom nitrogen, karbon, dan oksigen yang dihubungkan oleh ikatan
peptida. Protein merupakan senyawa polimer yang tersusun atas asam-asam
amino sebagai monomernya. Asam amino terdiri dari 20 jenis dan kumpulan
asam amino ini terikat satu sama lain melalui ikatan peptida, yaitu ikatan antara
gugus karboksil (-COOH) asam amino yang satu dengangugus amino (-NH2)
dari asam amino yang lain dengan melepaskan satu molekul air (Nelson &
Cox, 2004).
Protein memiliki empat struktur yaitu: primer, sekunder, tersier dan
kuartener. Primer terdiri dari satu jenis ikatan, yaitu ikatan kovalen yang
menghubungkan gugus karbonil dan gugus asam amino antar asam amino atau
disebut iktana peptida. Struktu sekunder adalah ikatan pada struktur primer
(kovalen) dan ikatan hidrogen antara oksigen karbi\onil dan hidrogen amida.
Struktur tersier merupakan gabungan dari struktur primer dan sekunder.
Struktur kuertener merupakan gabungan dari struktur tersier (Nelson & Cox,
2004).
Denaturasi protein adalah proses perubahan struktur lengkap dan
karakteristik bentuk protein akibat dari gangguan interaksi sekunder, tersier,
dan kuartener struktural. Karena fungsi biokimia protein tergantung pada tiga
dimensi bentuknya atau susunan senyawa yang terdapat pada asam amino.
Hasil denaturasi adalah hilangnya aktivitas biokimia yang terjadi didalam
senyawa protein itu sendiri. Protein yang terdenaturasi biasanya mengalami
pembukaan lipatan pada bagian-bagian tertentu. Denaturasi protein diakibatkan
beberapa faktor yaitu: suhu, pH, logam berat, dan alkohol (Nelson & Cox,
2004).
Uji Biuret digunakan unuk menentukan adanya ikatan peptida dalam suatu
zat yang diuji. Adanya ikatan peptida mengindikasikan adanya protein,
karena asam amino berikatan dengan asam amino yang lain melalui ikatan
peptida membentuk protein. Ikatan peptida merupakan ikatan yang terbentuk
ketika atom karbon dari gugus karboksil suatu molekul berikatan dengan atom
nitrogen dari gugus amina molekul lain. Reaksi tersebut melepaskan molekul
air sehingga disebut reaksi kondensasi. Ikatan peptida yang bereaksi dengan
reagen biuret menghasilkan perubahan warna. Reaksi positif uji biuret
ditunjukkan dengan munculnya warna ungu atau merah muda akibat adanya
persenyawaan antara Cu++ dari reagen biuret dengan NH dari ikatan peptida
dan O dari air. Semakin panjang ikatan peptida (banyak asam amino yang
berikatan) akan memunculkan warna ungu, semakin pendek ikatan peptida
(sedikit asam amino yang berikatan) akan memunculkan warna merah muda.
Reagen Biuret terdiri atas NaOH dan CuSO4. Uji biuret akan menunjukkan
hasil negatif pada asam amino bebas karena tidak memiliki ikatan peptide
(Poedjadi, 2006).
Suatu protein memiliki titik isoelektrik. Titik isoelektrik merupakan titik
dimana saat jumah ion positif = jumlah ion negatif pada suatu protein. Pada pH
diatas titik isoelektrik protein bermuatan negatif, sedangkan di bawah titik
isolektrik protein bermuatan positif. Kelarutan suatu protein dapat berubah
akibat berubahnya pH. Kelarutan akan bertambah jika pH menjauhi titik
isoelektrik (Wilson & Walker, 1994).
Protein yang tercampur dengan senyawa logam akan mengalami
pengendapan. Hal ini terjadi karena protein yang tercampur dengan senyawa
logam berat akan terdenaturasi. Pengendapan protein dengan ion logam positif
diperlukan pH larutan di atas titik isoelektrik, sedangkan
untuk pengendapan protein dengan ion negatif memerlukan pH larutan di
bawah titik isoelektrik. Ion-ion positif yang dapat mengendapkan protein
adalah Ag+, Ca2+, Zn2+, Hg2+, Pb2+, Cu2+, dan Fe2+. Sedangkan ion-ion negatif
yang dapat mengendapkan protein adalah ion salisilat, trikloroasetat, pikrat,
tanat dan sulfosalisilat (Plummer, 1987).
Pengendapan dengan Garam, Pembentukan senyawa tak larut antara
protein dengan ammonium sulfat. Apabila terdapat garam-garam anorganik
dalam konsentrasi tinggi dalam larutan protein (albumin dan gelatin), maka
kelarutan protein akan berkurang sehingga terjadi pengendapan protein. Teori
menyebutkan bahwa sifat tersebut terjadi karena ion garam mampu mengikat
air (terhidrasi) sehingga berkompetisi dengan molekul protein dalam mengikat
air sehingga terjadi pengendapan pada protein (Poedjadi, 2006).
Uji Lowry bertujuan untuk menentukan kadar protein suatu bahan. Dalam
keadaan basa, ion tembaga divalen (Cu2+) membentuk suatu komplek dengan
ikatan peptida yang mereduksi Cu2+ menjadi tembaga mobovalen (Cu2+), ion
Cu2+ bereaksi dengan pereaksi Folin-Ciocallteau membentuk senyawa
kompleks yang bewarna. Pembentukan warna tersebut disebabkan adanya
reaksi anatara basa tembaga dengan sampel protein yang diuji. Intensitas warna
yang terbentuk tergantung pada jumlah asam aromatik yang berbeda untuk
setiap jenis protein (Plummer, 1987).
Presipitasi protein adalah pengendapan yang terjadi karena penggumpalan
yang parsial. presipitasi disebabkan oleh berkurangnya kelarutan protein
(perubahan fisik) yang terjadi karenan perubahan kimia, pengembangan
molekul protein akibat unfolding atau membukanya heliks-heliks protein, dan
terganggunya kesetabilan koloid yang disebabkan oleh menurunnya muatan
elektrostatik protein sehingga gaya gravitasi akan lebih dominan dibandingkan
gaya tolak-menolak antar molekul (Elly, 2009).
Salting Out adalah Peristiwa adanya zat terlarut tertentu yang mempunyai
kelarutan lebih besar dibanding zat utama, akan menyebabkan penurunan
kelarutan zat utama atau terbentuknya endapan karena ada reaksi kimia.
Contohnya : kelarutan minyak atsiri dalam air akan turun bila kedalam air
tersebut ditambahkan larutan NaCl jenuh (Elly, 2009).
Salting in adalah adanya zat terlarut tertentu yang menyebabkan kelarutan
zat utama dalam solvent menjadi lebih besar. Contohnya : Riboflavin tidak
larut dalam air tetapi larut dalam larutan yang mengandung Nicotinamida
(Elly, 2009).

III. Pengolahan Data


Tabel 3.1 Data Hasil Pengamatan pada Uji Biuret
Sampel Sebelum Sesudah Keterangan

Larutan Perubahan
Albumin warna menjadi
(1:4) ungu

Gambar 3.1 Sebelum uji Gambar 3.2 Setelah


Biuret uji Biuret

Tabel 3.2 Data Hasil Pengamatan pada Uji Pengaruh pH pada larutan albumin
Perlakuan Sebelum Sesudah Keterangan

Penambahan Larutan keruh dan


HCl 0.1 M terbentuk sedikit
(Asam) endapan

Gambar 3.3 Sebelum Gambar 3.4 Setelah


penambahan HCl penambahan HCl
Larutan tidak
Penambahan
berwarna (bening)
NaOH 0.1 M
dan tidak terbentuk
(Basa)
endapan
Gambar 3.5 Sebelum Gambar 3.6 Setelah
penambahan NaOH penambahan NaOH

Penambahan
Larutan keruh dan
Buffer Asetat
terbentuk edapan
pH=4.7
Gambar 3.7 Sebelum Gambar 3.8 Setelah
penambahan buffer penambahan buffer
asetat asetat

Tabel 3.3 Data Hasil Pengamatan pada Uji pengendapan protein


dengan logam berat
Sampel Sebelum Sesudah Keterangan

Larutan
Terbentuk
Albumin
endapan putih
(1:4)

Gambar 3.9 Sebelum Gambar 3.10 Setelah


penambahan Pbasetat penambahan Pbasetat
Tabel 3.4 Data Hasil Pengamatan Fraksinasi Protein
dengan Pengendapan Ammonium Sulfat
Perlakuan Sebelum Sesudah Keterangan
Larutan
sampel
Hasil positif
ditambahkan
Terbentuk endapan
(NH4)2SO4 Gambar 3.11 Sebelum Gambar 3.12 Setelah
20% penambahan penambahan
(NH4)2SO4 20% (NH4)2SO4 20%
Larutan
sampel
Hasil positif
ditambahkan
Terbentuk endapan
(NH4)2SO4 Gambar 3.13 Sebelum Gambar 3.14 Setelah
penambahan penambahan
50% (NH4)2SO4 50% (NH4)2SO4 50%

Uji
supernatan
Hasil negatif
dengan
reagen biuret Gambar 3.16 Sebelum
Gambar 3.15 Sebelum
uji Biuret uji Biuret

Tabel 3.5 Data Hasil Pengamatan Penentuan Kadar Protein


dengan Metode Lowry
Tabung A700nm Konsentrasi (µM)
1 246 0
2 328 40
3 410 80
4 504 120
5 606 160
6 693 200
7 400 -
IV. Pengolahan Data

Grafik Nilai A700nm


800
700 y = 2.2593x + 238.57
600 R² = 0.9985
Nilai A700nm

500
400
300
200
100
0
0 50 100 150 200 250

Konsentrasi sampel protein (M)

Gambar 4.1 Grafik nilai absorbansi terhadap konsentrasi protein sampel

Dari regeresi linear diperoleh hasil sebagai berikut.


a = 2,259
b = 238,5
y = ax+b
y = 2,259x + 238,5 (1)
Dari persamaan (1), dapat dihitung kadar protein pada sampel.
y = 400
400 = 2,259x + 238,5
x = 71.49 µM

V. Pembahasan
Pada percobaan ini, dilakukan berbagai macam uji kualitatif dan
kuantitatif untuk protein. Uji kualitatif protein pada percobaan ini antara lain
uji biuret, pengaruh pH terhadap protein, pengaruh penambahan logam berat,
serta fraksinasi pengendapan ammonium sulfat. Uji kuantitatif protein pada
percobaan ini yaitu pengujian kadar protein sampel dengan metode Lowry.
Pada percobaan pertama, dilakukan uji biuret untuk sampel larutan
albumin telur (1:4). Uji biuret digunakan untuk mengetahui adanya ikatan
peptide pada protein. Reagen biuret terdiri dari larutan NaOH dan CuSO4
(Poedjadi, 2006).

Gambar 5.1 Struktur Biuret (Sumber: Poedjadi, 2006)

Prinsip dari uji biuret adalah ion Cu2+ (dari pereaksi Biuret) dalam suasana
basa bereaksi dengan polipeptida atau ikatan-ikatan peptida yang menyusun
protein sehingga membentuk senyawa kompleks berwarna ungu (violet)
(Poedjadi, 2006). Gambar 5.2 menunjukkan reaksi antara ion Cu2+ dengan
polipeptida.

Gambar 5.2 Reaksi biuret dengan polipeptida


(Sumber: Poedjadi, 2006)

Reaksi ini positif untuk dua atau lebih ikatan peptida dan negativf untuk
asam amino bebas (Poedjadi, 2006). Penambahan NaOH bertujuan untuk
membentuk suasana basa dalam reaksi dengan CuSO4 yang bersifat asam
sehingga ion OH- dari basa kuat dapat mengikat H+ dari garam CuSO4 dan tidak
mengganggu ikatan antara ion Cu2+ dengan ikatan peptida.
Merujuk pada Tabel 3.1 Data Hasil Pengamatan pada Uji Biuret, albumin
telur berubah warna menjadi ungu setelah di tetesi reagen biuret. Hal ini
menindikasi bahwa albumin telur merupakan protein yang memiliki ikatan
peptida. Reaksi dapat terjadi akibat terbentuknya ikatan koordinasi antara atom
nitrogen pada kerangka protein dengan ion ion Cu2+. Protein berperan sebagai
ligan. Kompleks terbentuk karena atom nitrogen pada kerangka protein
memiliki pasangan elektron bebas yang bisa didonasikan ke ion tembaga.
Reaksi yang terjadi merupakan reaksi asam-basa lewis dimana ligan sebagai
basa lewis (pemberi pasangan elektron bebas) sedangkan ion tembaga sebagai
asam lewis (penerima pasangan elektron bebas) (Jespersen et al, 2012).
Penambahan CuSO4 berlebih harus dihindari dikarenakan CuSO4 dapat
membuat protein terdenaturasi sehingga protein mengendap dilarutan. CuSO4
merupakan logam jika terus ditambahkan dapat menyebabkan protein
mengendap sehingga tidak terbentuk kompleks Cu-protein. Selain itu
penambahan garam amonium dapat menggangu uji biuret. Hal ini dikarenakan
CuSO4 akan bereaksi dengan garam amonium dimana garam amonium sebagai
ligan. Garam amonium yang memiliki nitrogen membentuk ikatan koordinasi
lain dengan ion Cu2+, sehingga ion Cu2+ tidak berikatan dengan protein dan
warna yang tebentuk bukan warna ungu (Jespersen et al, 2012).
Selain pada protein, biuret dapat bereaksi pada senyawa yang memiliki
atom nitrogen dan memiliki PEB seperi garam amonium dan melamin
(Jespersen et al, 2012).
Pada percobaan kedua, dilakukan uji pengaruh pH terhadap protein dengan
penambahan HCl 0.1 M 1 mL (asam), NaOH 0.1 M 1 mL (basa), dan buffer
asetat 1M (pH = 4.7) 1 mL. Merujuk pada Tabel 3.2 Data Hasil Pengamatan
pada Uji Pengaruh pH pada larutan albumin, penambahan HCl (asam) ke
larutan albumin telur larutan berubah warna menjadi keruh. Pada penambahan
NaOH (basa) ke larutan albumin telur larutan berubah warna dari keruh
menjadi bening. Sedangkan pada penambahan buffer larutan berubah warna
menjadi lebih keruh. Endapan putih yang terbentuk pada tabung reaksi
menandakan bahwa albumin mengalami denaturasi.
Denaturasi terjadi karena kerusakan struktur sekunder, tersier dan struktur
kuarterner, tetapi struktur primer (ikatan peptida) masih utuh. Pada struktur
tersier, terdapat jenis interaksi jembatan garam. Jembatan garam merupakan
ikatan ionik antara muatan positif dan negatif pada rantai samping asam amino
(Ophardt, 2003). Sebagai contoh adalaha interaksi antara ion -COO- dari
glysine dan ion -NH+3 asam glutamat. Penambahan asam atau basa dapat
merusak jembatan garam yang tergabung oleh muatan ionik. Hal tersebut
menyebabkan ikatan jembatan garam pada protein terputus dan struktur tersier
protein rusak. Jembatan garam terputus karena rusaknya ikatan hidrogen pada
ikatan non polar yang terjadi pada struktur berlipat dari protein (Ophardt,
2003). Dapat dilihat reaksi pemutusan jembatan garam akibat asam pada
Gambar 5.3.

Gambar 5.3 Reaksi pemutusan jembatan garam protein


(Sumber: Ophardt, 2003)

Setiap asam amino mempunyai titik isoelektrik yang berbeda-beda. Titik


isoelektrik adalah titik dimana muatan pada senyawa protein tersebut adalah
nol (tidak bermuatan). Pada pH 4,8–6,3 (pH isoelektris), protein berada dalam
bentuk dipolar atau ion zwitter yang bersifat amfoter. Dapat dilihat pada
Gambar 5.4 (b) bentuk ion zwitter. Keadaan ini mudah berubah oleh keadaan
sekitar atau pH lingkungan (Plummer, 1987). Pada pH rendah (suasana asam),
asam amino akan bermuatan positif seperti ditunjukkan pada Gambar 5.4 (a),
sedangkan pada pH tinggi (suasana basa) akan bermuatan negatif seperti
ditunjukkan pada Gambar 5.4 (c).
(a) (b) (c)
Gambar 5.4 Bentuk dan muatan protein pada (a) suasana asam;
(b) titik isoelektrik; (c) suasana basa

Berdasarkan percobaan yang dilakukan, ketika larutan albumin


ditambahkan buffer asetat dengan (pH 4.7), warna larutan menjadi keruh. Hal
ini dikarenakan penambahan buffer asetat pH 4.7 menyebabkan larutan sampel
albumin berada dalam titik isoelektriknya. Titik isoelektrik merupakan titik
dimana kelarutan protein minimum dikarenakan jumlah ion positif dan ion
negatif sama sehingga cenderung menurunkan kelarutan protein. Pada titik
isoelektrik, protein akan berikatan antara muatannya sendiri membentuk
lipatan ke dalam sehingga terjadi pengendapan yang relatif cepat (Bohme &
Scheler, 2006).
Pada penambahan HCl, larutan albumin menjadi keruh juga karena pH
masih dekat dengan titik isoelektrik sehingga kelarutan protein masih rendah.
Warna keruh merupakan hasil endapan dari protein (Bohme & Scheler, 2006).
Pada penambahan NaOH, larutan albumin berubah warna menjadi bening.
Hal ini dikarenakan pH pada larutan menjadi tinggi dan menjauhi titik
isoelektrik. Jika suatu larutan protein menjauhi titik isoelektrik mengakibatkan
kelarutan protein meningkat sehingga endapan protein menjadi sedikit.
Kelarutan protein meningkat akibat menigkatnya afinitis protein terhadap air.
Dikarenakan banyaknya ion OH - terlarut, gugus-gugus mempunyai muatan
negativf lebih banyak yang mengakibatkan meningkatnya afinitas protein
terhadap air (Bohme & Scheler, 2006).
Pada percobaan ketiga, dilakukan pengujian pengaruh logam berat
terhadap protein. Larutan albumin (1:4) ditambahkan dengan larutan
Pb(CH3COOH)2 dan membentuk endapan seperti diperoleh pada Tabel 3.3
Data Hasil Pengamatan pada Uji pengendapan protein dengan logam berat. Hal
ini terjadi karena protein mengalami denaturasi akibat adanya logam berat
termasuk timbal. Timbal memiliki kemampun berbagi elektron. Karena
memiliki elektron berlebih mengindikasi terbentuknya ikatan kovalen dengan
gugus sulfohidril atau gugus fungsional lain pada albumin sehingga
membentuk kompleks dengan protein. Timbal dapat menginduksi produksi
spesies oksigen reaktif secara berlebih dan menyerang gugus sulfohidril yang
awalnya memiliki jembatan garam sesama, sehingga terbentuk ikatan disulfida.
Hal ini dapat mempengaruhi konformasi dan stabilitas protein sehingga
denaturasi protein dapat terjadi (Zavodszky ea al, 2001).

Gambar 5.5 Reaksi timbal asetat dengan protein (Sumber: Elly, 2009)

Putih telur dapat menjadi penawar keracunan Pb karena Pb akan bereaksi


pada gugus sulfohidril pada putih telur membentuk ikatan disulfida. Pb tidak
meracuni tubuh karena sudah terbentuk ikatan Pb-disulfida yang lebih tidak
beracun dari pada logam Pb itu sendiri (Zavodszky ea al, 2001).
Pada percobaan keempat, dilakukan pengujian fraksinasi protein dengan
(NH4)2SO4 (garam ammonium sulfat). Penambahan (NH4)2SO4 pada protein
akan menurunkan kelarutan protein dan terjadi pembentukan senyawa tak larut
antara protein dengan ammonium sulfat (protein mengalami pengendapan)
seperti diperoleh pada Tabel 3.3 Data Hasil Pengamatan Fraksinasi Protein
dengan Pengendapan Ammonium Sulfat. (NH4)2SO4 dapat mempengaruhi
protein dengan mekanisme salting-out atau salting-in. Pada konsentrasi rendah
garam akan membuat kelarutan protein berkurang (salting-in) sedangkan pada
konsentrasi tinggi akan meningkatkan kelarutan protein (salting-out) (Elly,
2009). seperti pada Gambar 5.6
Gambar 5.6 Salting-out dan Salting-in

Dalam percobaan ini amonium sulfat lebih banyak mengendapkan albumin


pada konsentrasi 50% dibanding konsentrasi 20% dikarenakan pada
konsentrasi rendah counterion menyediakan efek shielding sehingga kelarutan
protein bertambah sedangkan pada konsentrasi yang tinggi dikarenakan efek
antar muka dari anion yang terhidrasi kuat yang dekat dengan permukaan
protein sehingga dapat mengeluarkan molekul air dari solvasi protein dan
mendehidrasi permukaan protein mengakibatkan presipitasi (Elly, 2009).
Dalam percobaan ini juga supernatan dari (NH4)2SO4 50% yang sudah di
sentrifugasi di uji millon. Uji millon merupakan uji yang digunakan untuk
mendeteksi adanya gugus hidroksi fenolik pada suatu protein. Reagen millon
terdiri dari larutan merkuri (Hg) dalam HNO3. Apabila uji positif maka akan
terbentuk endapan garam merkuri yang bewarna putih dan jika dipanaskan
maka akan berubah warna menjadi merah (Poedjadi, 2006). Hasil percobaan
mennjukan hasil negatif (tidak bewarna merah) yang mengindikasi seluruh
protein mengendap saat di sentrifugasi
Percobaan terakhir merupakan uji kuantitatif protein. Metode yang
digunakan untuk uji kunatitatif protein yaitu dengan uji lowry. Metode lowry
merupakan penentuan kadar protein pada suatu sampel reagen Folin-Ciocalteu.
Sampel yang mengandung asam amino akan menghasilkan warna biru yang
muncul akibat tungsten dan molibdenum yang muncul sebagai hasil reduksi
fosfotungstat dan fosfomolibdat pada regan Folin-Ciocalteu. Warna biru yang
terbentuk akan semakin pekat dengan konsentrasi ion fenolat yang terbentuk
(Kiigemagi & Van, 1962). Reaksi reagen Folin-Ciocalteau dapat dilihat pada
Gambar 5.7

Gambar 5.7 Proses Reagen Folin-Ciocalteau (Sumber: Kiigemagi & Van, 1962)

Gambar 5.8 Larutan Protein dengan Reagen Biuret dan Folin-Ciocalteau

Gambar 5.9 Skemareaksi metode Lowry (Sumber: Khorn, 2005)


Metode Lowry dilengkapi dengan penggunaan reagen biuret untuk
mengikatkan reduksi fosfotungstat dan fosfomolibdat. Penambahan tersebut
akan meningkatkan juga sensitifitas terhadap spektrofotometer. Absorbansi
warna-warna yang akan terbentuk diukur pada panjang gelombang 700nm.
Metode ini lebih sensitif untuk uji protein dengan konsentrasi rendah jika
dibandingkan dengan metode biuret saja (Khorn, 2005).
Setelah diperoleh data nilai absorbansi, dibuat kurva konsentrasi protein
strandar terhadap absorbansi (absis (x) : konsentrasi, ordinat (y) : nilai
absorbansi) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.1. Dari grafik tersebut,
dilakukan regresi linier dan didapatkan persamaan regresi konsentrasi terhadap
absorbansi yaitu y = 2,259x + 238,5.
Dari hasil pengolahan data, diperoleh konsentrasi protein sebesar 71.49µM
dengan 10,63%. Terdapat perbedaan dengan konsentrasi yang seharusnya,
yaitu 80 µg/mL, dikarenakan pada saat percobaan, blanko yang digunakan
untuk tempat larutan sampel dibilas dengan akuades dan saat pengujian sampel
protein saat di masukan ke kuvet, aquades masih tersisa. Hal ini menyebabkan
adanya kemungkinan terjadi pengenceran larutan sehingga menyebabkan nilai
absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer tidak akurat.
Selain Metode lowry, metode yang dapat digunakan untuk menentukan
kandungan nitrogen adalah metode nessler dan metode mikro-kjedahl. Metode
nessler adalah metode yang digunakan untuk menentukan jumlah amonia
nitrogen yang terlarut dalam air. Keuntungan metode ini dapat menentukan
banyaknya amonia yang ada pada larutan, tetapi kekurangan metode ini tidak
menentukan secara spesifik bahwa amonia tersebut berasal dari protein saja.
Metode mikro-kjedahl adalah metode yang digunakan untuk menentukan
nitrogen total. Keuntungan metode ini adalah dapat menentukan nitrogen total
secara akurat, tetapi kekurangan metode ini sama seperti metode nessler yaitu
tidak menentukan secara spesifik bahwa nitrogen berasal dari protein saja.
VI. Kesimpulan
1. Larutan albumin telur (1:4) mengandung protein ditandakan dengan
perubahan warna menjadi ungu setelah diberi reagen biuret
2. Pada pH basa protein terlarut dalam air. Sedangkan pada pH asam
yang dekat dengan titik isoelektrik, protein albumin mengendap
3. Timbal dapat mengendapkan protein dengan cara membentuk
kompleks dengan gugus sulfohidril
4. Protein mengendap akibat penambahan garam amonium sulfat
dengan cara gara ammonium sulfat menarik air sehingga kelarutan
pada protein menurun
5. Kadar protein pada larutan dengan menggunakan metode Lowry
sebesar 71.49µM

VII. Daftar Pustaka


Elly, K. (2009). Pembuatan Konsentrat Protein dari Biji Kecipir dengan
Penambahan HCl. Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Teknik, 9(2), 115-122.
Pordjiadi, A. (2006). Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: UI-Press.
Plummer, D. I. (1987). Introduction to Practical Biochemistry 3rd. Mc Graw-
Hill Publishing Co. New York.
Nelso, David L. & Cox, Michael M. (2008). Lehninger Principles of
Biochemistry 4th. New York: W.H Freeman & Co.
Wilson, K. & Walker, J. (1994). Principles and Techniques of Practical
Biochemistry 4th. Cambridge University Press.
Jespersen, N., Brady, J., & Hyslop, A. (2012). Chemistry : The Molecular
Nature of Matter 6th edition. Neew York: Wiley & Sons.
Ophardt, C.E. (2003). Virtual Chembook. Depertment of Chemistry Elmhurst
IL. Elmhurst College.
Bohme, U., & Scheler, U. (2006). Effective charge of bovine serum albumin
determined by electrophoresis NMR. Chemical Physics Letter,435 , 342-
34.
Zavodszky, M., Chen, C., Huang, J., Zolkiewski, M., Wen, L., &
Krishnamoorthi, R. (2001). Disulfide bond effects on protein stability:
Designed variants of Cucurbita maxima trypsin inhibitor-V. Protein
Science,10 , 149-160.
Kiigemagi, U., & Van Vleck Jr, F. (1962). Fungicide Determination, Field Estimation
of Stop Mold B Concentrations. Journal of Agricultural and Food
Chemistry, 10(5), 392-393.
Krohn, R. (2005). The Colorimetric Detection and Quantitation of Total
Protein. Current Protocol in Toxicology,23, 1-28.

Anda mungkin juga menyukai