Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PRAKTIKUM KI3061

BIOKIMIA
MODUL I
REAKSI UJI PROTEIN DAN PENENTUAN KADAR PROTEIN

NAMA : GHIFFARY RIFQIALDI


NIM : 11217025
KELOMPOK :3
SHIFT : MINGGU 1
TANGGAL PERCOBAAN : 8 FEBRUARI 2019
TANGGAL PENGUMPULAN LAPORAN: 15 FEBRUARI 2019
ASISTEN : DYAH NUR ASRI
DARMASTUTI PURBO
(11215011)

LABORATORIUM BIOKIMIA
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2019
MODUL 1
REAKSI UJI PROTEIN DAN PENENTUAN KADAR PROTEIN

I. Tujuan Percobaan
1. Menentukan keberadaan ikatan peptida pada larutan albumin telur menggunakan uji
Biuret.
2. Menentukan pengaruh pH terhadap larutan albumin telur.
3. Menentukan pengaruh logam berat larutan albumin telur.
4. Menentukan pengaruh konsentrasi penambahan garam ammonium sulfat terhadap
fraksinasi protein larutan protein putih telur.
5. Menentukan kadar protein pada larutan albumin telur menggunakan metode Lowry
dan persentase galat.

II. Teori Dasar


Protein merupakan senyawa organic kompleks yang terdiri dari unsur N (15.30%
hingga 18%), C (52.40%), H (6.90% hingga 7.30%), O (21% hingga 23.50%), S (0.8%
hingga 2%) kadang-kadang mengandung unsur P, Fe, dan Cu (sebagai senyawa kompleks
dengan protein) (Sudarmadji, 1989). Chang (2008) menyatakan bahwa struktur protein
terdiri atas empat kelompok berdasarkan , yaitu struktur primer, struktur sekunder,
struktur tersier, dan struktur kuartener. Perbedaan antara tiap struktur sebagai berikut.
Struktur primer hanya terdiri dari urutan struktur-strukur asam amino yang membentuk
rantai polipeptida. Struktur sekunder merupakan pola teratur dari ikatan-ikatan hidrogen
antara gugus CO dan NH dari rantai utama asam amino, misalnya α-heliks, b-strand dan
coil. Struktur tersier berbeda dengan struktur sekunder karena gugus samping ikut
membentuk ikatan hidrogen dengan asam amino yang berjauhan. Keseluruhan struktur
dari polipeptida (asam amino dengan banyak peptida) disebut struktur kuartener. Peptida
tersusun dari beberapa asam amino dan gugus karboksil asam amino dihubungkan dengan
asam amino lain melalui ikatan peptida (Aisjah, 1993)
Protein memiliki sifat-sifat tertentu. Menurut Marzuki et al. (2010), protein dapat
mengalami denaturasi, ionisasi, dan viskositas. Protein dapat larut dalam air karena terdiri
dari beberapa asam amino. Selain itu, menurut Suhardi (1991) tiap-tiap asam amino
mempunyai titik isoelektris yang berbeda-beda. Titik isoelektrik adalah titik pH ketika pH
berada dalam bentuk amfoter (zwitter ion), dan pada titik isoelektrik ini kelarutan protein
menurun sehingga membentuk endapan (Harris & Karmas, 1989). Viskositas
(kekentalan) protein meningkat karena molekul berubah menjadi asimetrik sehingga
mengembang (Winarno, 1992). Ketika jumlah muatan positif dan muatan negatif protein
sama banyak disebut sebagai zwitter ion. Jika protein mengandung asam amino yang
bersifat asam, seperti glutamate dan aspartate, protein mempunyai titik isoelektrik yang
rendah (Elly, 2009). Namun, jika protein mengandung asam amino basa, seperti lisin,
arginin, dan histidine maka titik isoelektrik akan tinggi (Sumardjo, 2006).
Denaturasi protein adalah keadaan berubahnya susunan ruang polipeptida pada suatu
molekul protein, tetapi belum rusak sehingga hanya terjadi perubahan struktur sekunder,
tersier, dan kuartener (Elly, 2009). Menurut Winarno (1992), denaturasi didefinisikan
sebagai proses putusnya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam, dan
terbukanya lipatan protein. Protein dapat mengalami beberapa mekanisme denaturasi,
antara lain denaturasi karena panas, alcohol merusak ikatan hidrogen, denaturasi karena
asam, dan basa, dan denaturasi karena logam berat (Purnomo, 1997). Panas menyebabkan
energi kinetik meningkat sehingga molekul penyusun protein menjadi tidak stabil, dan
menyebabkan terputusnya ikatan-ikatan non kovalen. Ikatan hidrogen pada protein dapat
diputuskan oleh alkohol karena alkohol cenderung mengambil atom H pada protein
sehingga membentuk H2O. Denaturasi protein akibat asam, dan basa terjadi karena asam
maupun basa dapat mengubah pH protein menjadi pI (pH Isoelektrik) sehingga terjadi
pengendapan protein. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soeharsono (1989) bahwa pada
dasarnya asama amino yang terdapat dalam protein bermuatan ganda (zwitter ion)
sehingga mudah dipengaruhi pH lingkungan. Denaturasi akibat logam berat disebabkan
oleh garam logam berat yang mengionisasi protein sehingga terjadi penetralan muatan.
Pengendapan terjadi ketika protein berada pada daerah alkalis (muatan negatif) terhadap
titik isoelektrisnya dan dengan adanya ion positif dari logam berat maka terjadi penetralan
sehingga garam netral proteinat mengendap. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aisjah
(1990), bahwa protein dapat mengendap dalam garam berkonsentrasi tinggi , logam-
logam berat, dan alkohol.
Uji Millon merupakan suatu metode pengujian untuk mengidentifikasi keberadaan
gugus hidroksi fenolik pada suatu senyawa. Salah asam amino yang mengandung gugus
hidroksi fenolik adalah tirosin. Hasil uji positif ditandai dengan terbentuknya endapan
coklat kemerahan (Walsh, 1961). Berikut mekanisme reaksi uji Millon.
Gambar 2.1 Mekanisme reaksi uji Millon
Uji Biuret merupakan suatu metode pengujian untuk mengindentifikasi keberadaan
ikatan peptida. Hasil uji positif ditandai dengan terbentuknya larutan berwarna ungu pucat
(mauve) (Rose, 1833). Reaksi positif diperoleh jika sampel yang digunakan mengandung
lebih dari dua ikatan peptida, seperti protein. Warna ungu muncul karena Cu2+
berinteraksi dengan nitrogen pada ikatan peptida protein sehingga membentuk senyawa
kompleks (Clark, 1964). Berikut reaksi antara protein dengan Cu2+ pada uji Biuret.

Gambar 2.2 Reaksi uji Biuret dengan protein


Pengukuran kadar protein dapat digunakan metode Lowry. Kadar protein diukur
dengan metode Lowry menggunakan spektrofotometer (Sudarmadji et al., 1984; Suhardi,
1991; Hall et al., 1993). Uji Lowry merupakan pengembangan dari uji Biuret dengen
penambahan reagen Folin-Ciocalteu. Reagen Folin-Ciocalteu ini terbuat dari air, natrium
tungstat, natriummolibdat, asam fosfat, asam klorida, litium sulfat, dan bromin (Folin &
Ciocalteu, 1944).Uji Biuret kurang sensitive dibanding uji Lowry karena menurut Janairo
et al. (2011) uji Biuret tidak memperoleh hasil yang memuaskan untuk konsentrasi
sampel dibawah 5 mg/mL sedangkan uji Lowry mampu mendeteksi Cu tereduksi karena
menggunakan reagen Folin-Ciocalteu sehingga uji Lowry 100 kali lebih sensitive
dibanding Biuret. Selain itu, metode Lowry memerlukan sampel protein yang lebih
sedikit daripada metode Biuret sehingga lebih menguntungkan. Metode ini berdasarkan
prinsip reaksi antara Cu2+ dengan ikatan peptida dan reduksi asam fosfomolibdat dan
asam fosfotungstat oleh fenol pada tirosin maupun triptofan (residu protein) sehingga
dihasilkan tungsten dan molibdenum berwarna biru (Huang et al., 2005). Hasil reduksi ini
menunjukkan puncak absorpsi yang lebar pad daerah merah dari sinar tampak 600 nm
hingga 800 nm.
Untuk memurnikan protein dapat dilakukan pemisahan (fraksinasi) protein dengan
garam berkonsentrasi tinggi yang disebut salting out. Hal ini didasarkan pada perbedaan
kelarutan protein sehingga keluarnya larutan yang berbeda dari satu protein ke protein
lainnya (Mayes et al., 1990). Pengaruh penambahan garam terhadap kelarutan protein
berbeda-beda. Semakin banyak molekul air berinteraksi dengan ion-ion garam
menyebabkan protein saling berinteraksi, teragreagasi, dan mengendap. Hal ini tentu
tergantung pada konsentrasi dan jumlah muatan ionnya dalam larutan. Semakin tinggi
konsentrasi dan jumlah muatan ion garam maka semakin efektif garam tersebut dalam
mengendapkan protein (Yazid & Nursanti, 2006). Dalam metode salting out umumnya
digunakan garam ammonium sulfat. Hal ini karena menurut Cantarow & Schepartz
(1963), garam ammonium sulfat lebih sesuai untuk pemisahan analitik dari plasma
protein.
Sampel yang digunakan pada percobaan adalah larutan albumin atau putih telur ayam.
Menurut Syamsiatun & Siswati (2015), putih telur ayam ras mengandung 10.5 g protein /
100 g putih telur, dan 95% kandungan senyawa ini mengandung albumin 9.83 g. Albumin
merupakan protein yang larut dalam air, tetapi mengendap dalam larutan garam yang
berkonsentrasi tinggi (Aisjah, 1990).
III. Data Pengamatan
Tabel 3.1 Data Pengamatan Percobaan Pertama, Kedua, Ketiga, dan Keempat
Percobaan Data Pengamatan
Sebelum Sesudah
Uji Biuret

Warna ungu tipis : (+)


Pengaruh pH terhadap
Protein 3 2 1 4 3 1
4 2
 Tabung 1 : +HCl 0,1M
 Tabung 2 : +NaOH
0,1M
 Tabung 3 : +Buffer
asetat pH 4,7M
 Tabung 4 : kontrol

Larutan paling keruh : tabung 3


Pengendapan Protein
dengan Logam Berat

Terbentuk endapan putih


Fraksionasi Protein
dengan Pengendapan
Amonium Sulfat

Endapan hasil sentrifugasi


pertama + millon : (+)

Endapan hasil sentrifugasi


kedua + millon : (+)

Supenatan hasil sentrifugasi


kedua + biuret : (+)
1 3
Penentuan Kadar 2
4 5 6
Protein Secara Lowry 7 6 5 4 3 2 1

Warna biru paling pekat :


tabung 6

Tabel 3.2 Data Percobaan Penentuan Kadar Protein Secara Lowry


Kandungan
Tabung %T700nm A700nn
( µg/tabung)
1 100% 0 0
2 82,9% 0,082 20
3 63,8% 0,196 40
4 52,9% 0,274 60
5 44,8% 0,349 80
6 34,1% 0,468 100
7 39,7% 0,402 -

IV. Pengolahan Data


Grafik absorbansi 700 nm terhadap μg protein BSA
0.5
0.45
f(x) = 0x - 0
0.4 R² = 1
0.35
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0 20 40 60 80 100 120

Gambar 4.1 Penentuan kadar protein standar dengan metode Lowry

Dari grafik absorbansi 700 nm vs μg protein BSA diperoleh hasil regresi sebagai berikut.
Absorbansi = 0,0046

Untuk menentukan kadar protein sampel digunakan rumus berikut.


Y −B
Kadar protein larutan albumin telur =
A
Kadar protein larutan albumin telur = 87,78261 µg/mL

Persentase galat dalam penentuan kadar protein larutan albumin dengan metode Lowry
dihitung dengan persamaan berikut.
¿ nilai literatur −nilai percobaan∨ ¿ ×100
nilai literatur
Persentase galat=¿
¿ 80−87,78261∨ ¿ × 100
80
Persentase galat kadar proteinalbumin telur =¿
Persentase galat kadar proteinalbumin telur =9,72826

V. Pembahasan
Pada percobaan pertama, dilakukan uji protein terhadap larutan albumin telur
menggunakan reagen Biuret. Diperoleh hasil positif yang ditandai dengan terjadinya
perubahan warna larutan menjadi warna ungu. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Syamsiatun & Siswati (2015), bahwa telur mengandung protein. Pada uji ini penambahan
CuSO4 tidak boleh terlalu banyak karena Cu merupakan logam berat. Jika digunakan
terlalu banyak maka albumin akan terdenaturasi membentuk endapan. Selain itu, pada
suasana alkalis akan terbentuk Cu(OH)2 dari reaksi berikut.
Cu2+ + 2OH- → Cu(OH)2
Karena Cu2+ berwarna biru intensif sedangkan Cu(OH)2 berwarna ungu, ketika
ditambahkan CuSO4 berlebih warna ungu akan terkalahkan sehingga warna yang tampak
adalah warna biru yang berarti hasil menjadi tidak valid. Adanya garam ammonium dapat
mengganggu uji Biuret karena ion-ion dari garam ammonium (NH4+ dan SO42-) lebih
mudah mengikat air sehingga kelarutan protein dalam air berkurang dan membentuk
endapan. Zat lain yang dapat memberikan hasil uji Biuret positif yaitu peptida dan asam
amino karena kedua senyawa ini memiliki ikatan peptida yang lebih dari dua ikatan
peptida.
Pada percobaan kedua, pengaruh pH terhadap larutan albumin telur, diperoleh hasil
pengamatan larutan lebih keruh pada tabung 3 (larutan albumin telur dengan buffer asetat
4.7 1 M) dari pada tabung 1, 2, dan 4. Hal ini menunjukkan bahwa titik isoelektrik larutan
albumin telur berada disekitar pH 4.7. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harris & Karmas
(1989), bahwa ketika protein berada pada titik isoelektrik kelarutan protein akan menurun
sehingga terbentuk endapan (keruh). Sifat fisik protein yang memperngaruhi kelarutan
protein ini adalah konformasinya. Karena sifatnya sangat peka terhadap lingkungan,
seperti pengaruh suhu, pH, dan reaksi dengan senyawa lain dilingkungannya,
konformasinya akan mudah berubah sehingga apabila protein bereaksi dengan asam
maupun basa, viskositasnya akan berubah, dan terjadi denaturasi karena lipatan protein
menjadi terbuka (asimterik). Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarno (1992), bahwa
viskositas (kekentalan) protein meningkat karena molekul berubah menjadi asimetrik
sehingga mengembang. Perubahan sifat kimia yang berhubungan dengan denaturasi telur,
yaitu perubahan suhu, pH, dan pelarut organik.
Pada percobaan ketiga, pengendapan protein dengan garam logam berat timbal asetat,
diperoleh endapan putih. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aisjah (1990), bahwa logam-
logam berat ketika bereaksi dengan protein akan membentuk endapan. Sampel putih telur
ini dapat digunakan sebagai penawar keracunan Pb karena dengan adanya ion positif dari
logam berat maka protein dapat mengikat logam berat tersebut sehingga tidak menggangu
aktifitas enzim di dalam tubuh.
Pada percoban keempat, fraksinasi protein dengan pengendapan ammonium sulfat,
dilakukan uji Millon dan uji Biuret. Endapan pertama yang diperoleh pada percobaan ini
diuji dengan reagen Millon, diperoleh hasil pengamatan larutan berwarna merah tipis.
Sesuai dengan pernyataan Walsh (1961), bahwa hasil positif ditandai dengan endapan
merah kecoklatan. Namun, warna merah yang diperoleh pada uji ini hanya tipis. Hal ini
menunjukkan pada endapan pertama yang diuji Millon terdapat senyawa gugus hidroksi
fenolik dengan kadar yang sedikit. Senyawa gugus hidroksi fenolik ini adalah asam
amino tirosin karena tirosin merupakan satu-satunya sama amino yang mengandung
gugus tersebut. Supernatan kedua yang diperoleh pada percobaan ini diuji dengan reagen
Biuret, diperoleh hasil pengamatan larutan berwarna ungu. Hal ini berarti dalam
supernatan tersebut masih terkandung protein. Endapan kedua yang diperoleh pada
percobaan ini diuji dengan reagen Millon lagi, diperoleh hasil pengamatan larutan
berwarna kuning atau merah kecoklatan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kandungan
tirosin yang lebih banyak pada endapan kedua karena penggunaan ammonium sulfat
dengan kadar yang lebih tinggi pada endapan kedua menyebabkan lebih banyak tirosin
yang mengendap.
Percobaan kelima, dilakukan penentuan kadar protein larutan albumin telur dengan
metode Lowry. Pada percobaan ini digunakan tujuh tabung dengan tabung pertama
sebagai kontrol, tabung kedua sampai keenam digunakan larutan standar BSA, dan
tabung ketujuh diisi larutan sampel protein yang akan ditentukan kadarnya. Penambahan
biuret dilakukan secara teratur dan tepat waktu bertujuan agar absorbansi yang diperoleh
lebih akurat. Tiap penambahan biuret diberi selang waktu 1 menit untuk meminimalisasi
galat. Selanjutnya tiap tabung diaduk dan diinkubasi agar campuran bereaksi dengan baik.
Kemudian, ditambahkan reagen fenol secara teratur dan tepat waktu juga dengan tujuan
yang sama seperti penambahan biuret. Fungsi penambahan biuret untuk mengikat Cu-
protein dan fungsi penambahan fenol untuk mereduksi asam fosfomolibdat dan asam
fosfotungstat oleh fenol pada tirosin maupun triptofan (residu protein) sehingga
dihasilkan tungsten dan molibdenum berwarna biru (Huang et al., 2005). Oleh karena itu,
akan lebih mudah mengenali keberhasilan reaksi dengan reagen Folin-Ciocalteu. Galat
yang diperoleh dengan metode ini sebesar 9,72826% karena beberapa faktor berikut.
Pencucian wadah spektofotometer yang kurang sempurna, kontaminasi sampel,
ketidakteraturan waktu ketika melakukan spektofotometri, dan sebagainya.
Selain metode Lowry terdapat metode BCA dan metode Bradford untuk menentuan
kadar protein. Prinsip metode BCA (Bicicinchonicic Acid assay) ini, Cu2+ membentuk
senyawa kompleks dengan nitrogen pada ikatan peptida protein dalam kondisi alkalin
sehingga menghasikan Cu+ (Smith et al.,1985). Kemudian, Cu+ berikatan dengan reagen
BCA untuk membentuk senyawa kompleks BCA dengan absorbandi maksimum pada 562
nm. Berikut mekanisme reaksi metode BCA.

Gambar 5.1 Mekanisme reaksi metode BCA dengan protein


Beberapa kelebihan metode BCA ini sebagai berikut. Metode ini sangat sensitif
dengan kemampuan pengukuran protein dari 0.5 μg/mL hingga 1.5 mg/mL. Warna
kompleks yang terbentuk stabil. Tidak rentan terhadap deterjen. Dapat diterapkan pada
rentang yang luas pada konsentrasi protein. Metode ini juga memiliki kekurangan. Reaksi
kurang sensitive untuk beberapa jenis asam amino yang terdapat dalam larutan tapi
dipengaruhi oleh residu sistein, tirosin, dan triptofan yang mungkin mengganggu hasil
pengujian. Pengujian membutuhkan waktu inkubasi yang lebih lama dari 30 menit hingga
2 jam.
Metode Bradford menggunakan prinsip pewarna Coomessie brilliant blue G-250
untuk mengikat protein (mengikat sebagian asam amino biasa dan residu) (Bradford,
1976). Dengan menghasilkan senyawa kompleks biru mengubah panjang gelombang
absorbansi 465 nm hingga 595 nm. Senyawa kompleks ini distabilkan oleh interaksi
hidrofobik dan ionik. Berikut reaksi metode ini.

Gambar 5.2 Reaksi metode Bradford dengan protein


Beberapa kelebihan metode Bradford sebagai berikut. Metode ini merupakan metode
yang paling cepat dengan proses keseluruhan pengujian hanya butuh waktu setengah jam.
Pengujian ini menggunakan cahaya tampak sehingga tidak butuh spektofotometer UV
hanya menggunakan spektofotometer cahaya biasa. Metode ini mampu mendeteksi
protein dari 1 μg/mL hingga 2 mg/mL. Teknik ini sangat sensitive dan sangat sederhana
pengukuran pada 595 nm dilakukan setelah 5 menit inkubasi. Beberapa kekurangan
metode ini sebagai berikut. Tidak cocok dengan surfaktan pada konsentrasi yang biasa
digunakan untuk melarutkan membran protein, dengan adanya surfaktan walaupun
sedikit, reagen akan mengendap. Reagen Bradford sangat asam sehingga protein dengan
kelarutan asam yang lemah tidak bisa diuji dengan metode ini. Dibanding metode BCA
dan metode Bradford, metode Lowry memiliki beberapa keuntungan dan kelebihan juga.
Sensitifitas tinggi dari 10 μg/mL hingga 1 mg/mL tetapi tidak cocok untuk deterjen, agen
reduksi dan prosedur yang panjang.

VI. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan percobaan yang telah dilakukan diperoleh beberapa
kesimpulan sebagai berikut.
1. Terdapat ikatan peptida dalam sampel larutan albumin telur.
2. Asam maupun basa dapat menyebabkan protein mencapai titik isoelektrik sehingga
protein menjadi terdenaturasi, dan membentuk endapan.
3. Ion-ion logam berat dapat menyebabkan protein mencapai titik isoelektrik sehingga
protein menjadi terdenaturasi, dan membentuk endapan.
4. Penambahan ammonium sulfat dengan kadar 50% jenuh menyebabkan hasil
fraksinasi protein albumin menjadi lebih tinggi.
5. Berdasarkan uji kadar protein melalui metode Lowry diperoleh konsentrasi larutan
albumin telur sebesar 87,78261 µg dan galat sebesar 9,72826%

VII. Daftar Pustaka


Aisjah, G. (1990). Biokimia 1. Jakarta: PT. Gramedia.
Aisjah, G. (1993). Biokimia 1. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Bradford, M. (1976). A Rapid And Sensitive Method For The Quantification Of
Microgram Quantities Of Protein Utilizing The Principle Of Protein-Dye Binding.
Analytical Biochemistry, 72, 248–254.
Chang, R. (2008). Kimia Dasar Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Clark, J. M. (1964). Experimental Biochemistry. New York: W. H. Freeman and Company
Elly, K. (2009). Pembuatan Konsentrat Protein Dari Biji Kecipir Dengan Penambahan
HCl. Jurnal Penelitian Ilmu Teknik, 9(2), 115-122.
Folin, & Ciocalteu. (1944). On Tyrosine And Tryptophane Determinations In Proteins.
Jour. Bio. Chem, 73, 627-650.
Hall, D.O., J.M.O. Scurlock, H.R. Bolhar, R.C. Leegood, and S.P. Long. (1993).
Photosynthesis and Production in a Changing Environment. A Field and Laboratory
Manual. London: Chapman & Hall.
Haris, R., & Karmas, E., (1989). Evaluasi Gizi Pada Pengolahan Bahan Pangan,
Bandung: ITB.
Huang, D., Ou, B., & Prior, R. L. (2005). The Chemistry Behind Antioxidant Capacity
Assays. J Agri and Food Chem, 53, 1841-1856.
Janairo G., Sy M. L., Yap L., Llanos-Lazaro N., Robles J. 2011. Determination of the
Sensitivity Range of Biuret Test for Undergraduate Biochemistry Experiments.
Journal of Science & Technology, 5(6), 77–83.
Marzuki, I., Amirullah, & Fitriana. (2010). Kimia Dalam Keperawatan. Sulawesi Selatan:
Pustaka As Salam.
Mayes, P. A., Granner, D. K., Rodwell, V. W., & Martin, D. W. (1990). Biokimia Harper
Edisi 20. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Purnomo, H. (1997). Studi Tentang Stabilitas Protein Daging Kering Dan Dendeng
Selama Penyimpanan. Laporan Penelitian. Malang: Universitas Brawijaya.
Rose, Ferdinand. (1833). Über die Verbindungen des Eiweiss mit Metalloxyden.
Poggendorfs Annalen der Physik und Chemie, 104, 132-142
Smith, P. K., Krohn, R. I., Hermanson, G. T, Mallia, A. K., Gartner, F. H., Provenzano, M.
D., Fujimoto, E. K., Goeke, N. M., Olson, B. J., & Klenk, D. C. (1985). Measurement
Of Protein Using Bicinchoninic Acid. Anal Biochem, 150(1), 76–85.
Soeharsono, M. T. (1989). Biokimia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. (1984). Prosedur Analisa Untuk Bahan
Makanan dan Pertanian. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Sudarmadji, S, B. Haryono, & Suhardi. (1989). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian.
Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Suhardi. (1991). Kimia dan Teknologi Protein. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM.
Syamsiatun, N. H., & Siswati, T. (2015). Pemberian ekstra jus putih telur terhadap kadar
albumin dan Hb pada penderita hipoalbuminemia. Jurnal Gizi Klinik Indonesia,
12(2), 54-61.
Walsh, Edward O'Farrell. (1961). An Introduction to Biochemistry. London: The English
Universities Press Ltd.
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Yazid, E., & Nursanti, L. (2006). Penuntun Praktikum Biokimia Untuk
Mahasiswa Analis. Yogyakarta: C.V Andi Offset.

Anda mungkin juga menyukai