BIOKIMIA
MODUL I
REAKSI UJI PROTEIN DAN PENENTUAN KADAR PROTEIN
LABORATORIUM BIOKIMIA
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2019
MODUL 1
REAKSI UJI PROTEIN DAN PENENTUAN KADAR PROTEIN
I. Tujuan Percobaan
1. Menentukan keberadaan ikatan peptida pada larutan albumin telur menggunakan uji
Biuret.
2. Menentukan pengaruh pH terhadap larutan albumin telur.
3. Menentukan pengaruh logam berat larutan albumin telur.
4. Menentukan pengaruh konsentrasi penambahan garam ammonium sulfat terhadap
fraksinasi protein larutan protein putih telur.
5. Menentukan kadar protein pada larutan albumin telur menggunakan metode Lowry
dan persentase galat.
Dari grafik absorbansi 700 nm vs μg protein BSA diperoleh hasil regresi sebagai berikut.
Absorbansi = 0,0046
Persentase galat dalam penentuan kadar protein larutan albumin dengan metode Lowry
dihitung dengan persamaan berikut.
¿ nilai literatur −nilai percobaan∨ ¿ ×100
nilai literatur
Persentase galat=¿
¿ 80−87,78261∨ ¿ × 100
80
Persentase galat kadar proteinalbumin telur =¿
Persentase galat kadar proteinalbumin telur =9,72826
V. Pembahasan
Pada percobaan pertama, dilakukan uji protein terhadap larutan albumin telur
menggunakan reagen Biuret. Diperoleh hasil positif yang ditandai dengan terjadinya
perubahan warna larutan menjadi warna ungu. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Syamsiatun & Siswati (2015), bahwa telur mengandung protein. Pada uji ini penambahan
CuSO4 tidak boleh terlalu banyak karena Cu merupakan logam berat. Jika digunakan
terlalu banyak maka albumin akan terdenaturasi membentuk endapan. Selain itu, pada
suasana alkalis akan terbentuk Cu(OH)2 dari reaksi berikut.
Cu2+ + 2OH- → Cu(OH)2
Karena Cu2+ berwarna biru intensif sedangkan Cu(OH)2 berwarna ungu, ketika
ditambahkan CuSO4 berlebih warna ungu akan terkalahkan sehingga warna yang tampak
adalah warna biru yang berarti hasil menjadi tidak valid. Adanya garam ammonium dapat
mengganggu uji Biuret karena ion-ion dari garam ammonium (NH4+ dan SO42-) lebih
mudah mengikat air sehingga kelarutan protein dalam air berkurang dan membentuk
endapan. Zat lain yang dapat memberikan hasil uji Biuret positif yaitu peptida dan asam
amino karena kedua senyawa ini memiliki ikatan peptida yang lebih dari dua ikatan
peptida.
Pada percobaan kedua, pengaruh pH terhadap larutan albumin telur, diperoleh hasil
pengamatan larutan lebih keruh pada tabung 3 (larutan albumin telur dengan buffer asetat
4.7 1 M) dari pada tabung 1, 2, dan 4. Hal ini menunjukkan bahwa titik isoelektrik larutan
albumin telur berada disekitar pH 4.7. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harris & Karmas
(1989), bahwa ketika protein berada pada titik isoelektrik kelarutan protein akan menurun
sehingga terbentuk endapan (keruh). Sifat fisik protein yang memperngaruhi kelarutan
protein ini adalah konformasinya. Karena sifatnya sangat peka terhadap lingkungan,
seperti pengaruh suhu, pH, dan reaksi dengan senyawa lain dilingkungannya,
konformasinya akan mudah berubah sehingga apabila protein bereaksi dengan asam
maupun basa, viskositasnya akan berubah, dan terjadi denaturasi karena lipatan protein
menjadi terbuka (asimterik). Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarno (1992), bahwa
viskositas (kekentalan) protein meningkat karena molekul berubah menjadi asimetrik
sehingga mengembang. Perubahan sifat kimia yang berhubungan dengan denaturasi telur,
yaitu perubahan suhu, pH, dan pelarut organik.
Pada percobaan ketiga, pengendapan protein dengan garam logam berat timbal asetat,
diperoleh endapan putih. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aisjah (1990), bahwa logam-
logam berat ketika bereaksi dengan protein akan membentuk endapan. Sampel putih telur
ini dapat digunakan sebagai penawar keracunan Pb karena dengan adanya ion positif dari
logam berat maka protein dapat mengikat logam berat tersebut sehingga tidak menggangu
aktifitas enzim di dalam tubuh.
Pada percoban keempat, fraksinasi protein dengan pengendapan ammonium sulfat,
dilakukan uji Millon dan uji Biuret. Endapan pertama yang diperoleh pada percobaan ini
diuji dengan reagen Millon, diperoleh hasil pengamatan larutan berwarna merah tipis.
Sesuai dengan pernyataan Walsh (1961), bahwa hasil positif ditandai dengan endapan
merah kecoklatan. Namun, warna merah yang diperoleh pada uji ini hanya tipis. Hal ini
menunjukkan pada endapan pertama yang diuji Millon terdapat senyawa gugus hidroksi
fenolik dengan kadar yang sedikit. Senyawa gugus hidroksi fenolik ini adalah asam
amino tirosin karena tirosin merupakan satu-satunya sama amino yang mengandung
gugus tersebut. Supernatan kedua yang diperoleh pada percobaan ini diuji dengan reagen
Biuret, diperoleh hasil pengamatan larutan berwarna ungu. Hal ini berarti dalam
supernatan tersebut masih terkandung protein. Endapan kedua yang diperoleh pada
percobaan ini diuji dengan reagen Millon lagi, diperoleh hasil pengamatan larutan
berwarna kuning atau merah kecoklatan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kandungan
tirosin yang lebih banyak pada endapan kedua karena penggunaan ammonium sulfat
dengan kadar yang lebih tinggi pada endapan kedua menyebabkan lebih banyak tirosin
yang mengendap.
Percobaan kelima, dilakukan penentuan kadar protein larutan albumin telur dengan
metode Lowry. Pada percobaan ini digunakan tujuh tabung dengan tabung pertama
sebagai kontrol, tabung kedua sampai keenam digunakan larutan standar BSA, dan
tabung ketujuh diisi larutan sampel protein yang akan ditentukan kadarnya. Penambahan
biuret dilakukan secara teratur dan tepat waktu bertujuan agar absorbansi yang diperoleh
lebih akurat. Tiap penambahan biuret diberi selang waktu 1 menit untuk meminimalisasi
galat. Selanjutnya tiap tabung diaduk dan diinkubasi agar campuran bereaksi dengan baik.
Kemudian, ditambahkan reagen fenol secara teratur dan tepat waktu juga dengan tujuan
yang sama seperti penambahan biuret. Fungsi penambahan biuret untuk mengikat Cu-
protein dan fungsi penambahan fenol untuk mereduksi asam fosfomolibdat dan asam
fosfotungstat oleh fenol pada tirosin maupun triptofan (residu protein) sehingga
dihasilkan tungsten dan molibdenum berwarna biru (Huang et al., 2005). Oleh karena itu,
akan lebih mudah mengenali keberhasilan reaksi dengan reagen Folin-Ciocalteu. Galat
yang diperoleh dengan metode ini sebesar 9,72826% karena beberapa faktor berikut.
Pencucian wadah spektofotometer yang kurang sempurna, kontaminasi sampel,
ketidakteraturan waktu ketika melakukan spektofotometri, dan sebagainya.
Selain metode Lowry terdapat metode BCA dan metode Bradford untuk menentuan
kadar protein. Prinsip metode BCA (Bicicinchonicic Acid assay) ini, Cu2+ membentuk
senyawa kompleks dengan nitrogen pada ikatan peptida protein dalam kondisi alkalin
sehingga menghasikan Cu+ (Smith et al.,1985). Kemudian, Cu+ berikatan dengan reagen
BCA untuk membentuk senyawa kompleks BCA dengan absorbandi maksimum pada 562
nm. Berikut mekanisme reaksi metode BCA.
VI. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan percobaan yang telah dilakukan diperoleh beberapa
kesimpulan sebagai berikut.
1. Terdapat ikatan peptida dalam sampel larutan albumin telur.
2. Asam maupun basa dapat menyebabkan protein mencapai titik isoelektrik sehingga
protein menjadi terdenaturasi, dan membentuk endapan.
3. Ion-ion logam berat dapat menyebabkan protein mencapai titik isoelektrik sehingga
protein menjadi terdenaturasi, dan membentuk endapan.
4. Penambahan ammonium sulfat dengan kadar 50% jenuh menyebabkan hasil
fraksinasi protein albumin menjadi lebih tinggi.
5. Berdasarkan uji kadar protein melalui metode Lowry diperoleh konsentrasi larutan
albumin telur sebesar 87,78261 µg dan galat sebesar 9,72826%