Anda di halaman 1dari 3

Mengenal Gula Kelapa Organik

Gula kelapa (ada yang menyebut gula merah atau gula jawa) akrab bagi masyarakat
kita. Meskipun namanya gula jawa misalnya, konsumennya dan produsennya sudah
tidak di Jawa saja. Gula ini banyak dimanfaatkan untuk keperluan dalam membuat
makanan dan minuman. Bukan skala rumah tangga saja, tapi juga bahan baku industri
seperti pabrik kecap dan industri jenang (dodol).

Pengrajin gula kelapa merupakan industri rumah tangga yang cukup terkenal Di
Banyumas, Jawa Tengah, salah satunya adalah di Kecamatan Cilongok. Sebagian besar
warga Desa di Kecamatan tersebut merupakan pengrajin gula kelapa. Bahkan kerajinan
pembuatan gula jawa ini sudah dilakoni hingga turun temurun oleh warganya.

Banyaknya makanan yang berbahan dasar gula kelapa ini karena aroma serta rasa yang
khas karamel palma sangat cocok untuk menambah citarasa pada makanan, rasa
karamel dan pasta yang ada di gula kelapa memang tidak bisa digantikan dengan jenis
gula lain seperti gula tebu.

Selain pemanfaatan gula kelapa sebagai gula cetak, saat ini gula kelapa juga
dimanfaatkan dalam bentuk serbuk atau lebih dikenal dengan nama gula semut organik
atau gula kristal.

Dinamakan gula semut ini karena bentuknya yang menyerupai dengan sarang semut
yang ada di tanah. Gula semut juga memiliki beberapa kelebihan dibanding gula cetak
pada umumnya, yakni dapat tahan lama disimpan dalam jangka waktu hingga dua tahun
tanpa mengalami perubahan warna dan rasa jika di bungkus dalam tempat yang rapat,
ini karena kadar air yang terdapat pada gula semut hanya berkisar 2-3 persen.

Dalam pembuatannya pun tidak berbeda dengan cara membuat gula cetak, yakni
melalui proses pengambilan air nira yang dilakukan para penderes kelapa. Pagi itu Ajis
Irwanto (57) mulai beranjak dari rumahnya untuk menuju pohon kelapa miliknya yang
berada di sekitaran rumahnya, biasanya dia mulai beraktifitas menyadap air nira
sekitar pukul 05.30 - 09.00 WIB dan mengambil air nira di atas pohon yang tingginya
kira-kira mencapai 30 meter, dan bukan hanya satu pohon yang dia panjat melainkan
25 pohon pada pagi hari.

Dia akan melanjutkan naik dan menyadap air nira itu pada sore harinya yakni sekitar
pukul 16.00 - 19.00 WIB. Itu biasa dilakukan Ajis setiap harinya untuk menghasilkan
gula semut organik.

Saat memanjat pohon biasanya Ajis yang lebih dikenal dengan sebutan penderes ini
naik keatas pohon kelapa dengan membawa beberapa pongkor yang terbuat dari
bambu atau wadah air nira yang sudah diberikan laru alami dari kapur dan cangkang
manggis untuk mencegah terjadinya fermentasi.

Jika laru tersebut tidak diberikan pada pongkor makan bisa menyebabkan air nira
berubah menjadi asam. Ketika berada di atas pohon, Ajis dan para penderes lainnya
akan mengambil air nira di dalam pongkor yang sebelumnya sudah dipasang untuk
kemudian menggantinya dengan pongkor yang baru setelah sebelumnya menyayat
bunga kelapa (Manggar) dengan sayatan baru agar air nira dapat kembali keluar.

"Air nira dapat terisi setelah 7-8 jam. Tapi setelah mendapat air nira jangan menunggu
hingga 2 jam, itu harus segera di proses memasak agar air nira tidak berubah menjadi
arak," kata Ajis, petani gula semut organik Desa Rancamaya, Kecamatan Cilongok,
Banyumas, Sabtu (26/10/2013).

Setelah Ajis turun dan membawa hasil Air nira yang di dapatnya hari ini, Dasinan (48)
yang merupakan istri Ajis sibuk mempersiapkan tungku untuk memasak hasil air nira
yang disadap suaminya tersebut. Dengan telaten dia memasukkan serbuk hasil
gergajian kayu kedalam tungku pembakaran agar api dapat menyala dengan merata.

Asap putih mengepul dengan sangat pekat membakar seluruh gergajian kayu yang
sebelumnya dimasukkan, wajan pun di pasang dan air nira pun di tuangkan hingga
mendidih dengan suhu antara 10-120 derajat celcius.

Untuk mengahasilkan gula semut setidaknya butuh waktu sekitar 4 jam hingga air nira
benar-benar siap untuk dibuat gula semut. Saat nira mendidih, air nira akan tampak
berwarna kecoklatan dan berbuih, Ketika berbuih itulah Dasinan dengan hati-hati
menyerok buih-buih yang menggumpal di sekitaran wajan untuk memisahkan buih dari
kotoran yang ada.

"Agar buihnya tidak meluap, kita tambahkan satu sendok makan minyak kelapa," jelas
Dasinan yang sebelumnya merupakan pengrajin gula cetak dan beralih ke gula semut
organik sejak dua tahun lalu setelah melihat pasar gula semut organik yang sangat
menjanjikan.

Ketika air nira sudah mulai mengental dan meletup-letup, Ajis mulai mengecilkan api di
tungku dengan cara menumpuk serbuk kayu ke segala arah agar tidak ada udara yang
masuk kedalam tungku. Ini dimaksudkan agar nira tidak hangus saat dilakukan
pengadukan.

Dengan sigap tangan Dasinan terus mengaduk-aduk air nira yang ada didalam wajan
yang sudah terlihat mulai menggumpal dan memadat serta mulai mengeras,
pengadukan mulai dilakukan dengan gerakan memutar di dalam wajan agar kekentalan
gula merata di setiap sisi wajan dan mulai mengkristal.

Setelah air nira tersebut keras, kemudian Dasinan dan Ajis mengangkat tungku wajan
tersebut menggunakan sebilah kayu dan meletakkannya di sebuah ban untuk menjaga
agar wajan tidak tumpah. Dasinan dan Ajis pun mulai melakukan penghalusan gula
tersebut dengan menggunakan batok kelapa atau lebih dikenal oleh warga Banyumas
dengan 'diguser'.

Tapi untuk menjaga kualitas ekspor dan standar pembuatan gula semut organik,
pasangan suami istri tersebut harus menggunakan penutup kepala dan masker, ini
dimaksudkan agar rambut atau keringat mereka tidak masuk kedalam wajan yang
berisi gula semut yang sedang di haluskan. Gula yang sudah di guser kemudian diayak
untuk memisahkan gula halus dan gula yang masih kasar.

'Kalau masih kasar kita guser lagi sampai halus, setelah itu diayak kembali. Kalau sudah
selesai baru kita jemur gula semut yang sudah jadi kurang lebih 6 jam di bawah terik
matahari," ujarnya.

Dasinan menjelaskan, dulu dirinya merupakan pengrajin gula kelapa cetak, namun
setelah beralih ke gula semut organik, kehidupannya berangsur-angsur mapan, dengan
perbandingan harga yang jauh dibanding harga gula cetak yang saat ini hanya berkisar
Rp 7 ribu per kilogram.

"Sangat berbeda setelah saya beralih dari gula cetak ke gula semut, terutama masalah
harga. Gula semut saat ini harganya Rp 12 ribu perkilogram dan sangat stabil karena
sudah ekspor," jelasnya.

Dalam produksi gula semut di wilayah tersebut, yang berperan dalam proses control
mutu dan kebersihan gula semut hingga layak ekpor adalah Koprasi Nira Satria. Di
tempat tersebut nantinya para petani gula yang sudah mengumpulkan hasil gula
semutnya ke para pengepul atau tergabung dalam kelompok tani yang mengumpulkan
gula semutnya untuk kemudian kembali disortir dan dioven agar mencapai kualitas gula
yang sangat baik dan setelah di peking baru gula semut dapat di ekspor ke negara-
negara pemesan.

"Biasanya kita kirim ke Amerika, Eropa dan Jepang, karena kita sudah mempunyai
sertifikasi dari Internasional Control Union untuk mengontrol kualitas dari gula semut
tersebut. Selain itu Koperasi ini juga sudah punya 3 sertifikat untuk pemasaran ke
Amerika, Jepang dan Eropa. Semua sertifikat itu sesuai dengan standart negara masing-
masing," kata Zaenal Abidin, Koordinator Internal Control System (ICS) Koprasi Nira
Satria.

Dalam sebulan setidaknya Koprasi nira Setria dapat memenuhi pasar gula semut
sebanyak 70 ton. Dengan asumsi 60 ton digunakan untuk pasar ekspor dan 10 ton
digunakan untuk pasar lokal. "Untuk lokal kita kirim ke daerah-daerah di Indonesia,"
ujarnya.

Dia mengungkapkan, bukan hanya gula semut organik yang diekspor, namun gula
semut organik terus mengalami perkebangan terutama mengenai rasa, saat ini koperasi
berencana mengembangkan sekitar 38 varian rasa dari gula semut yang sudah
tersertifikasi. Biasanya permintaan gula semut yang mempunyai rasa tertentu seperti
rasa jahe, kunyit, vanila tersebut lebih banyak diekspor ke Jepang.

"Ada sekitar 38 varian rasa yang sudah tersertifikasi, tapi yang sudah terealisasi baru 5
varian rasa dan 3 varian rasa di antaranya sudah diekspor," ungkapnya.

Anda mungkin juga menyukai