PENDAHULUAN
Manusia adalah insan yang hidup berkelompok (zoon politicon) yang menampilkan insan
social ( homo politicus) sekaligus aspek insan usaha ( homo economicus), dalam arti bahwa nalar
dan naluri hidup berkelompoknya adalah untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Sebagai insan yang berfikir, maka berdasarkan iman, cipta, rasa dan karsanya seseorang
akan memiliki pandangan hidup yang akan menjawab permasalahannya yang berkaitan dengan
hidupnya.
Didalam kehidupan antar kelompok, apabila terjadi suatu penggabungan kelompok, maka
masing-masing anggota kelompok yakin bahwa pandangan hidup kelompoknya merupakan suatu
kebenaran sejauh yang dapat dipikirkan manusia sehinggga timbullah falsafah hidup
berkelompok.
Falsafah hidup suatu bangsa akan menjelmakan suatu tata nilai yang dicita-citakan
bangsa yang bersangkutan, ia akan membentuk keyakinan hidup berkelompok sekaligus menjadi
tolak ukur kesejahteraan hidup berkelompok sesuai yang dicita-citakan bangsa yang
bersangkutan. Sebagai yang dicita-citakan maka ia membentuk ide-ide dasar dari segala hal
aspek kehidupan manusia didalam kelompoknya. Kesatuan yang bulat dan utuh dari ide-ide
dasar yang disebut dasar negara.
Salah satu syarat berdirinya suatu Negara adalah mempunyai dasar Negara. Pancasila
dijadikan sebagai dasar Negara sesungguhnya secara implicit sejak 1 Juni 1945, walaupun secara
yuridis hal tersebut baru disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Negara yang berdasarkan
Pancasila itu ingin mencapai masyarakat yang adil dan makmur dan ikut membangun
perdamaian dunia. Pancasila tidak secara statis sebagai dasar Negara tetapi juga sebagai ideologi
bangsa yang selalu diperjuangkan dengan sekuat tenaga. Pancasila dijadikan sebagai dasar
Negara dan sebagai falsafah hidup bangsa karena Pancasila digali dari nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia.
Salah satu alasan mengapa Pancasila disebut memenuhi syarat sebagai dasar negara dan
pandangan hidup bangsa Indonesia, karena Pancasila memberikan jaminan terealisasinya
kehidupan yang pluralistik, dengan menjunjung tinggi dan menghargai manusia sesuai dengan
harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan secara berkeadilan, disesuaikan dengan
kemampuan dan hasil usahanya. Hal ini ditunjukkan oleh sila kedua yaitu Kemanusiaan yang
adil dan beradab. Selain itu Pancasila memberikan jaminan berlangsungnya demokrasi dan hak
asasi manusia sesuai dengan budaya bangsa. Hal ini dijamin oleh sila keempat Pancasila yakni
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Sejalan dengan 2 (dua) sila diatas terbentuk peraturan perundang-undangan yang secara
explisit menerangkan tentang kebebasan seorang warga negara berserikat dan berkumpul,
menge-luarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya yang diatur pada UUD 1945
Pasal 28. Bab XA tentang Hak Asasi Manusia pasal 28A sampai dengan pasal 28J. Berawal dari
hal ini mulai banyak terbentuk kelompok-kelompok yang yang mengatasnamakan masyarakat
sehingga dirasa perlu oleh pemerintah untuk menerbitkan peraturan Perundang-undangan untuk
mengatur hal tersebut.
Pada tahun 2013 sebagai bentuk pengaturan dan pengarahan terhadap kebebasan
seseorang atau kelompok masyarakat dalam berserikat, berkumpul serta menyatakan pendapat
dibuatlah UU RI Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan yang kemudian
pada Tahun 2017 pemerintah menegeluarkan PERPPU Nomor 2 Tahun 2017 sebagai perubahan
atas UU Nomor 17 Tahun 2013 dan telah disahkan sebagai UU lewat Rapat Paripurna DPR yang
menjadi UU Nomor 16 Tahun 2017.
Keputusan pemerintah tersebut dianggap sebagai bentuk koreksi dalam mengatasi
organisasi massa (ormas) yang dinilai radikal atau anti pancasila. Namun aturan tersebut dinilai
oleh beberapa pihak sebagai tidak mencerminkan asas pengayoman, kenusantaraan, bhineka
tunggal ika, dan kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintah.
Berdasarkan hal ini kelompok kami ingin menganalisis lebih jauh mengenai PERPPU
Nomor 2 Tahun 2017 (UU Nomor 16 Tahun 2017), apakah terdapat aturan yang tidak sesuai atau
tidak sejalan dengan nilai pancasila didalamnya dan mengapa aturan tersebut dikatakan tidak
sejalan dengan nilai-nilai pancasila.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat aturan pada PERPPU Nomor 02 Tahun 2017 (UU Nomor 16 Tahun
2017) bertentangan dan tidak sejalan dengan nilai-nilai pancasila sebagai dasar negara?
2. Alternatif apa yang dapat dilakukan pemerintah selain mengeluarkan PERPPU Nomor
02 Tahun 2017 untuk mengatasi ormas yang dianggap radikal atau anti pemerintah?
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui apakah terdapat aturan pada PERPPU Nomor 02 Tahun 2017 (UU
Nomor 16 Tahun 2017) bertentangan dan tidak sejalan dengan nilai-nilai pancasila
sebagai dasar negara
2. Mencari Alternatif apa yang dapat dilakukan pemerintah selain mengeluarkan PERPPU
Nomor 02 Tahun 2017 untuk mengatasi ormas yang dianggap radikal atau anti
pancasila
1.4. Manfaat
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Pancasila
Seperti yang kita tahu bahwa pancasila adalah dasar dari negara Indonesia. Pancasila
adalah suatu ideologi dan dasar dari negara pancasila yang menjadi landasan, dari segala
keputusan yang dihasilkan oleh bangsa Indonesia. Yang juga mencerminkan kepribadian dari
bangsa Indonesia itu sendiri. Secara etimologi kata pancasila berasal dari sebuah bahasa
sanserkerta India, pada kasta Brahmana. Yang dimana arti kata panca adalah lima, dan arti kata
sila artinya dasar. Sehingga pengertian kata pancasila secara harfiah adalah lima dasar, yang
kemudian dibuatlah masing-masing lambang dari pancasila tersebut yang jumlahnya 5. Isi dari
pancasila ini juga berjumlah 5 sesuai arti kata pancasila.
Berikut ini adalah bunyi atau isi dari pancasila, diantaranya sebagai berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Agar lebih memahami apa pengertian dari pancasila, maka marilah kita lihat lebih dalam
mengenai pengertian pancasila menurut para ahli. Yang diantaranya yaitu sebagai berikut :
Menurut Ir. Soekarno arti dari pancasila adalah, isi dari jiwa bangsa Indonesia yang telah
turun temurun dan sudah berabad-abad lamanya terpendam dengan bisu dalam kebudayaan barat.
Dengan demikian pancasila ini bukan hanya sekadar falsafah di dalam negara kita, tetapi
maknanya lebih luas lagi yaitu falsafah bagi bangsa Indonesia.
Sedangkan menurut Notonegoro pengertian dari pancasila ini adalah, dasar falsafah dan
juga ideologi negara yang diharapkan akan menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia. Yang
fungsinya sebagai dasar pemersatu bangsa Indonesia, lambang dari persatuan dan kesatuan, dan
sebagai pertahanan dari bangsa dan Negara Indonesia.
Pancasila menurut Muhammad Yamin adalah kata panca yang berarti lima, dan sila yang
berarti sendi atas dasar atau peraturan tingkah laku yang penting dan juga baik. Maka dari itu
pancasila menjadi 5 dasar yang isinya adalah pedoman, atau pun aturan tentang tingkah laku
yang penting dan juga baik.
2.2. Arti Pancasila Sebagai Dasar Negara
Pancasila sebagai dasar Negara mengandung makna bahwa nilai nilai yang terkandung
dalam pancasila menjadi dasar atau pedoman bagi masyarakat Indonesia. Nilai pancasila
dasarnya adalah nilai nilai filsafat yang mendasar yang d jadikan peraturan dan dasar dari norma
norma yang berlaku dalam Indonesia. Nilai dasar pancasila bersifat normatif dan abstrak yang
bisa d jadikan landasan dalam kegiatan bernegara. Pancasila sebagai dasar Negara berarti
pancasila di jadikan sebagai pedoman dalam penyelenggarakan segala norma norma hokum dan
dalam penyelenggarakan Negara.
Nilai nilai dasar pancasila di Indonesia belum bersifat yang kongkrit sesuai dengan
keinginan kita bersama. Sebagai nilai yang bersifat abstrak pancasila harus bersifat kongkrit dan
upaya pancasila agar bersifat kongkrit yaitu menjadikan nilai nilai dasar pancasila sebagai norma
dasar dan sumber normative bagi penyusunan hukum Negara Indonesia yang positive bagi
Negara. Menurut Undang Undang Dasar Negara Indonesia yang di kemukakan dalam
pembukaan, bahwasanya pancasila dapat di jadikan sebagai dasar dasar Negara yang melingkup :
Dalam Undang Undang sudah menjelaskan bahwsanya pancasila sebagai dasar Negara
yang dapat di simpulkan bahwasanya pancasila berkedudukan sebagai dasar Negara yang
menjadi sumber, landasan norma, serta member fungsi konstitutif dan regulative bagi
penyusunan hukum hukum Negara.
Pancasila memiliki sifat dasar yang pertama dan utama yakni sebagai dasar
negara (philosophische grondslaag)Republik Indonesia. Pancasila yang terkandung dalam alinea
keempat Pembukaan UUD 1945 tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18
agustus 1945 oleh PPKI yang dapat dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat
Indonesia yang merdeka.
Penetapan pancasila sebagai dasar negara itu memberikan pengertian bahwa negara
Indonesia adalah negara pancasila. Hal tu mengandung arti bahwa harus tunduk kepadanya,
membela dan melaksanakan dalam seluruh perundang-undangan. Mengenai hal itu, pandangan
tersebut melukiskan pancasila secara integral (utuh dan menyeluruh) sehingga
merupakan penopang yang kokoh terhadap negara yang didirikan di atasnya, dipertahankan
dan dikembangkan dengan tujuan untuk melndungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak
azasi semua warga bangsa Indonesia. Perlindungan dan pengembangan martabat kemanusiaan
itu merupakan kewajiban negara, yakni dengan memandang manusia qua talis, manusia adalah
manusia sesuai dengan principium identatis-nya.
Pancasila seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 dan ditegaskan keseragaman
sistematkanya melalui Intruksi Presiden No. 12 Tahun 1968 itu tersusun secara hirarkis-
piramidal. “Setiap sila (dasar/azaz) memiliki hubungan yang salng mengikat dan menjiwai satu
sama lain sedemikian rupa hingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Melanggar satu sila dan
mencari pembenaran pada sila lainnya adalah tindakan yang sia-sia” .
Dalam kedudukannya sebagai dasar negara itu maka Pancasila berfungsi sebagai :
sumber dari segala sumber hukum (sumber tertib hukum) Negara Indonesia. Dengan demikian
Pancasila ialah :
Secara hakiki, organisasi merupakan upaya atau proses terpeliharanya persatuan, dalam
kerangka mempertahankan keutuhan organisasi dalam mencapai tujuan organisasinya. Dalam
konteks ini, Sejalan dengan itu, Sondang P. Siagian, menerangkan apa itu organisasi dengan
melihat dari sisi hakikat organisasi, yaitu bahwa organisasi dapat ditunjau dari tiga
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sebuah organisasi adalah merupakan
tempat dan tempat itu dibentuk oleh para pemrakarsa organisasi yang kemudian menjadi
anggota organisasi tersebut. Terbentuknya suatu wadah organisasi itu berangkat dari adanya
kesamaan visi, misi, dan/atau ideologi, karena kesamaan visi, dan misi dan ideologi itu
kemudian menetapkan tujuan yang sama, terbentuk secara terstruktur dari mulai pimpinan
tertinggi sampai terendah, serta menetapkan arah kebijakan dan program kerjanya dalam
mencapai tujuan organisasi.
Marak dan munculnya ormas-ormas baru merupakan konsekuensi logis dari dibukanya
keran kebebasan berekspresi dalam kerangka mendorong perkembangan kehidupan demokrasi
di Negara kita. Selain itu, kehdairan ormas-ormas baru dengan berbagai bentuk dan landasan
organisasi yang melatarbelakanginya, harus disambut positif sebagai manifestasi dari keinginan
masyarakat luas untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Artinya hukuman berat hanya teguran tertulis dan harus memperbaiki kesalahan
saja. Organisasi Masyarakat diberi tempat oleh pemerintah sebagai sarana untuk menyalurkan
pendapat dan pikiran bagi anggota masyarakat, sehingga mempunyai peranan yang penting
dalam meningkatkan keikutsertaan secara aktif seluruh lapisan masyarakat dalam
mewujudkan cita-cita berkeadilan dan berkemakmuran sesuai dengan Pancasila dan UUD
1945.
Dalam konteks inilah maka pembubaran ormas semestinya hanya dapat dilaksanakan
melalui pengadilan. Harus ada pengadilan yang layak bagi setiap ormas yang hendak
dibubarkan. Hak mereka untuk membela diri tetap harus dijamin. Dalam hal ini, semestinya
kewenangan pemerintah hanya bersifat administratif. Yakni menjalankan administrasi
keputusan pengadilan atas satu ormas tertentu.
Ada beberapa masalah pokok yang menjadi urgensi revisi UU No. 8 tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Pertama, alasan normatif, karena UU No. 8 tahun 1985
tentang Ormas sudah tidak lagi sesuai dengan sistem pemerintahan demokratis Indonesia saat ini.
Pelanggaran ormas yang paling sering terjadi dan sulit ditangani adalah penindasan hak-
hak konstitusional warga oleh ormas-ormas yang berlindung dibalik hak konstitusionalnya dan
juga nilai-nilai agama sesuai pandangannya sendiri. Dan juga, banyaknya UU lama yang
inkonstitusional yang dijadikan “tongkat penggebuk” oleh ormas. Pelanggaran ormas yang
berulang kali ini meresahkan masyarakat dan mengurangi kepercayaan publik terhadap negara.
Salah satu contoh adalah kasus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Hak konsitusional
kebebasan beragama JAI seakan tidak diindahkan karena dinilai menodai agama berdasarkan
UU No. 5 tahun 1969 tentang Penodaan Agama. Sementara ormas radikal seperti FPI, dengan
berlindung dibalik kebebasan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat dan “kebebasan
beragama”-nya, seringkali melakukan aksi intimidatif dan juga kekerasan tanpa konsekuensi
yang tegas terhadap pelaku dan organisasinya.
FPI yang mengambil hak ormas untuk berkecimpung di ranah publik/negara seakan-akan
tidak dapat disentuh hukum. Pertama, karena ketidak-jelasan status FPI sebagai ormas atau
kelompok agama, dan juga status hukumnya sebagai ormas. Kedua, perangkat hukum dan
pengaturan yang masih belum jelas mengatur aktifitas kelompok masyarakat (ormas) dalam
ranah publik/negara.
Beradasarkan kasus-kasus diatas dan hal lain serupa maka pada tahun 2013 pemerintah
mengganti UU Nomor 8 Tahun 1985 dengan UU Nomor 17 Tahun 2013 yang didalamnya telah
mengatur tentang larangan – larangan yang tidak boleh di lakukan oleh ormas dan juga telah
ditetapkan tata cara penghentian bantuan/penghentian sementara kegiatan selama paling lama 6
(enam) bulan, yang diwajibkan bagi pemerintah untuk meminta pertimbangan dari Mahkamah
Agung. Dalam hal Ormas telah mematuhi sanksi penghentian sementara kegiatan sebelum
berakhirnya jangka waktu Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat mencabut sanksi
penghentian sementara kegiatan.
Kemudian dalam hal Ormas tidak berbadan hukum tidak mematuhi sanksi penghentian
sementara kegiatan, Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menjatuhkan sanksi pencabutan
surat keterangan terdaftar dengan meminta pertimbangan hukum Mahkamah Agung. Peraturan
ini mengatur bagaimana penghentian, pencabutan badan hukum, pencabutan keterangan
terdaftar, dan pembubaran ormas secara teratur dan terperinci. Peraturan ini juga melibatkan
adanya putusan mahkamah agung, putusan pengadilan ataupun keterlibatan pihak yang terkait
dalam pengambilan keputusan mengenai pembubaran suatu ormas. Hal tersebut diatur jelas pada
UU Nomor 17 tahun 2013 pasal 60 sampai dengan pasal 82.
Jumlah Ormas di Indonesia telah mencapai 344.039 yang telah beraktifitas di segala bidang
kehidupan, baik dalam tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Ormas tersebut harus
diberdayakan, didayagunakan dan dibina sehingga dapat memberikan kontribusi positif bagi
pembangunan nasional.
Dalam kenyataannya saat ini, terdapat kegiatan-kegiatan Ormas yang bertentangan dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang merupakan
ancaman terhadap eksistensi bangsa dengan telah menimbulkan konflik di masyarakat.
1. Tidak terwadahinya asas hukum administrasi contrario actus yaitu asas hukum bahwa
lembaga yang mengeluarkan izin atau yang memberikan pengesahan, adalah lembaga
yang seharusnya mempunyai wewenang untuk mencabut atau membatalkannya.
2. Pengertian tentang ajaran dan tindakan yang bertentangan dengan Pancasila
dirumuskan secara sempit, yaitu hanya terbatas pada ajaran Atheisme, Marxisme dan
Leninisme, padahal sejarah Indonesia membuktikan bahwa ajaran-ajaran lain juga bisa
menggantikan dan bertentangan dengan Pancasila.
3. Berdasarkan Keputusan MK Nomor 139/PUU-VII/2009, Presiden bisa mengeluarkan
Perppu atas dasar:
a. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum
secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
b. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan
hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
c. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-
Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama.
2.5. Bentuk Pelanggaran Nilai-Nilai Pancasila Dalam PERPPU Nomor 2 Tahun 2017
Pada dasarnya segala bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh Ormas telah diberikan
sanksi-sanksi yang jelas yang tertuang pada UU Nomor 7 Tahun 2013, namun Pemerintah
berargumen bahwa UU tersebut tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan atau
membubarkan suatu ormas yang dianggap menyimpang ditambah lagi dengan argumentasi
adanya keadaan mendesak yang mengharusnkan pemerintah untuk mengeluarkan PERPPU
sebagai bentuk pencegahan terhadap ideologi-ideologi dikalangan Ormas tertentu yang
bertentangan dengan pancasila. Namun sesungguhnya apabila kita menkaji lebih jauh sebenarnya
tidak ada sesuatu yang bersifat mendesak yang mengharuskan pemerintah untuk mengeluar
PERPPU tersebut. Kemudian segala bentuk pelangggaran oleh Ormas telah memiliki urutan
sanksi yang jelas dan dapat diproses secara peradilan dengann ketentuan UU Nomor 7 Tahun
2013.
Kami menilai Perppu Ormas tidak sejalan dengan prinsip-prinsip negara hukum yang
menghendaki perlindungan kebebasan sipil. Keberadaan Perppu ini hanya memberikan
legitimasi hukum bagi tindakan kekuasaan dari pemerintah. Sama seperti halnya ketika
pemerintah Orde Baru mengatakan bertindak atas nama undang-undang. Perppu Ormas hadir
untuk mengancam organisasi yang dianggap terlarang dan dituduh melakukan penodaan agama.
Bahaya dari Perppu ini adalah penyalahgunaan untuk membubarkan kelompok minoritas dan
sangat besar peluang Perppu ini menjadi senjata yang menyasar kelompok apa pun, karena
batasan anti-Pancasila juga luas artiannya.
Keberadaan Perppu ini sama halnya dengan UU Ormas yang dilahirkan pada periode
terkuat kekuasaan Orde Baru, setelah selesainya periode konsolidasi pada satu dekade
sebelumnya, yang ditandai fusi partai-partai politik menjadi hanya dua partai politik dan
Golongan Karya. Pada periode ini pula kelompok-kelompok oposisi terhadap Orde baru mulai
menguat, sehingga pemerintah saat itu menyiapkan perangkat untuk mengontrol sekaligus
mengalahkan lawan-lawan politiknya. Caranya lewat wadah tunggal, sebagaimana fusi partai
politik, sehingga kontrol dari penguasa saat itu lebih mudah dilakukan.
Mereka yang tidak masuk dalam wadah tunggal akan dituduh melawan penguasa dan
layak dibubarkan. Mereka juga harus berasaskan Pancasila dengan tafsiran Orde Baru. Sehingga
mereka yang tidak berasaskan Pancasila, otomatis dituduh anti-Pancasila. Bahkan, dalam rangka
kontrol ini, penguasa menempatkan orang-orangnya di dalam kepengurusan suatu organisasi,
baik secara terbuka maupun bawah tangan.
Pada persoalan Hizbut Tahrir Indonesia, pemerintah terlihat enggan melakukan dialog
atau mengedepankan sikap persuasif. Itu terkait penafsiran atas Pancasila secara sepihak, karena
melalui Perppu 2/2017, pencabutan badan hukum ormas tak perlu lewat pengadilan.
Meskipun kebebasan berserikat merupakan salah satu hak yang dapat dibatasi, tetapi
sebagian ahli berpendapat bentuk-bentuk pembubaran merupakan bentuk pembatasan yang
paling kejam. Sehingga harus ditempatkan sebagai upaya terakhir.
Ketentuan Pasal 22 ayat (2) ICCPR menyatakan kebebasan berserikat adalah bagian dari
hak asasi manusia yang dapat dibatasi (derogable rights) sepanjang hal itu diatur oleh undang-
undang (prescribed by law), dan diperlukan dalam masyarakat yang demokratis demi
kepentingan keamanan nasional (national security) atau keamanan publik (public safety),
ketertiban umum (public order), perlindungan akan kesehatan atau moral publik, atau atas dasar
perlindungan akan hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain.
Selain itu, tindakan pembubaran juga harus sepenuhnya mengacu pada prinsip-prinsip due
process of law, sebagai pilar dari negara hukum, di mana pengadilan memegang peranan kunci
dalam prosesnya.
Pengadilan harus digelar secara terbuka dan akuntabel, kedua belah pihak—pemerintah dan
pihak yang dilakukan pembubaran—harus didengar keterangannya secara berimbang (audi et
alteram partem) serta putusannya dapat diuji pada tingkat pengadilan lebih tinggi.
Tindakan pembubaran melalui pengadilan juga hanya bisa ditempuh setelah seluruh upaya lain
dilakukan, dari peringatan, penghentian kegiatan, sanksi administratif, hingga pembekuan
sementara. Hal ini juga sebagaimana diatur ketentuan Pasal 60-78 UU No. 17/2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan.
Artinya, pemerintah tidak memiliki hak absolut untuk melakukan pembubaran suatu organisasi,
dengan dasar alasan apa pun, di sini berlaku sistem checks and balances.
Maina Kiai, mantan Pelapor Khusus PBB untuk hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul
secara damai, menyatakan pembubaran organisasi secara paksa merupakan bentuk pembatasan
akan kebebasan berserikat yang paling kejam. Oleh karenanya, langkah semacam ini hanya dapat
dimungkinkan ketika ada bahaya yang jelas dan mendesak yang mengakibatkan adanya
pelanggaran yang cukup parah terhadap hukum nasional suatu negara.
Dalam melaksanakan tindakan ini, perlu ditegaskan perihal pentingnya peran pemerintah untuk
menjamin proporsionalitas dari tindakan yang dilakukannya tersebut. Agar langkah yang
dilakukan berkesesuaian dengan tujuan yang sah yang ingin dicapai, serta pelaksanaan langkah
semacam ini hanya dimungkinkan sepanjang langkah-langkah lunak atau softer measures sudah
dianggap tidak mampu mengatasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh organisasi yang
hendak dibubarkan tersebut.
Secara teoritis, sebuah Perppu hanya dapat dikeluarkan karena suatu keadaan bahaya atau karena
alasan-alasan yang mendesak, sementara proses legislasi di DPR tidak dapat dilaksanakan.
Sehingga atas dasar keyakinan itu, presiden dapat mengeluarkan peraturan yang materinya
setingkat dengan undang-undang.
Meskipun unsur “kegentingan yang memaksa” merupakan penilaian yang subjektif dari presiden,
sesuai tuntutan mendesak dari dalam pemerintahannya untuk bertindak secara cepat dan tepat,
tetapi mestinya ada kacamata objektif yang menjadi acuannya.
Putusan MK No. 145/PUU-VII/2009 misalnya memberikan tiga syarat objektif atas frasa
kegentingan yang memaksa: adanya keadaan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah
hukum secara cepat berdasarkan UU; UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi
kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai; kekosongan hukum tersebut tidak dapat
diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang
cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Sementara UU Ormas (UU No. 17/2013) sesungguhnya sudah sangat detail mengatur proses
pembubaran suatu organisasi. Dari mulai pemberian surat peringatan, pembekuan sementara,
sampai dengan pembubaran melalui jalur pengadilan.
Artinya, alasan kekosongan hukum tidak terpenuhi di situ, karena sejatinya pemerintah tinggal
menjalankan saja mandat UU Ormas. Bahkan dalam rezim hukum internasional, unsur
kegentingan memaksa atau keadaan darurat ini lebih banyak: adanya ancaman bagi kehidupan
bangsa dan eksistensinya; mengancam integritas fisik penduduk baik di semua atau sebagian
wilayah; mengancam kemerdekaan politik atau integritas wilayah; terganggunya fungsi dasar
dari lembaga-lembaga pemerintah sehingga memengaruhi kewajiban perlindungan hak-hak
warga negara; keadaan darurat dinyatakan secara resmi melalui sebuah deklarasi keadaan
darurat; ancamannya bersifat aktual atau akan terjadi; tindakan pembatasan diizinkan untuk
pemeliharaan keselamatan, kesehatan, dan ketertiban umum, dan bersifat temporer atau dalam
periode waktu tertentu.
Menurut Anda mengapa DPR harus menolak Perppu Ormas agar tak jadi Undang-
Undang?
Penilaian subjektif atas keluarnya sebuah Perppu ada pada presiden. Sedangkan penilaian
objektif akan diberikan DPR ketika Perppu telah diajukan sebagai rancangan undang-undang
kepada DPR, untuk kemudian ditolak atau ditetapkan menjadi undang-undang.
Terhadap Perppu Ormas, kenapa DPR harus menolaknya? Karena mestinya DPR konsisten
dengan materi UU Ormas yang dihasilkannya. Perppu ini menghapus banyak sekali ketentuan
UU Ormas, khususnya yang terkait dengan mekanisme dan prosedur pembubaran suatu
organisasi. Padahal rumusan aturan mengenai prosedur pembubaran yang harus melalui jalur
pengadilan ini merupakan pembeda utama antara UU Ormas saat ini dan UU Ormas masa Orde
Baru.
Kalau ketentuan itu dihapuskan, lalu apa bedanya UU Ormas saat ini dengan UU No. 8/1985?
Rumusan demikian jelas memperlihatkan bahwa materinya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip
negara hukum atau the rule of law yang menghendaki adanya perlindungan kebebasan sipil.
Keberadaan Perppu ini semata-mata memberikan legitimasi hukum bagi tindakan kekuasaan dari
pemerintah atau rule by law. Sama seperti halnya ketika pemerintah Orde Baru mengatakan
bertindak atas nama undang-undang.
Belum lagi ancaman pidana bagi anggota ormas yang dinyatakan terlarang, termasuk mereka
yang dituduh melakukan penodaan agama, yang seringkali menyasar kelompok-kelompok agama
minoritas. Tegasnya, sangat besar peluang Perppu ini menjadi 'bola liar' yang menyasar
kelompok apa pun, karena batasan 'anti-Pancasila' juga luas.
Sebenarnya UUD 1945 sudah memberikan jaminan perlindungan yang sangat bagus bagi
kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berorganisasi. Belum lagi sejumlah instrumen
internasional hak asasi manusia yang telah diratifikasi oleh Indonesia, seperti Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Juga UU No. 39/1999 tentang HAM, yang memberikan
jaminan perlindungan menyeluruh bagi hak-hak asasi warga negara.
HTI adalah ormas yang strukturnya terkait Partai Pembebasan atau Hizbut Tahrir
melalui jaringan internasional. Basis gerakannya dakwah non-kekerasan: menyebarkan
pengaruhnya melalui pemikiran. Menurut Anda apa ada ormas yang lebih genting untuk
dikontrol dan bisa jelaskan apa alasannya?
Tadi saya sempat singgung mengenai latar belakang revisi UU Ormas saat itu, terkait banyaknya
organisasi kemasyarakatan yang gemar melakukan tindak kekerasan, atau bahkan menggunakan
instrumen kekerasan sebagai bahasa komunikasi mereka sehari-hari.
Termasuk pengadilan juga bisa menyatakan ISIS sebagai organisasi terlarang, ketika mereka
yang didakwa melakukan tindak pidana terorisme, bisa dibuktikan sebagai anggota ISIS.
Mekanisme UU Ormas tidak bisa menjerat kelompok-kelompok ini karena mereka sendiri tidak
mengakui keberadaan negara atau pemerintah.
Dokumen 73 lembar beredar berisi matriks daftar nama pengurus, anggota, dan
simpatisan HTI yang berprofesi sebagai ASN, TNI, Polri, dan akademisi. Data itu
menyebar dengan cara memutus mata rantai siapa pembuat dan pengedarnya. Anda
sendiri mengatakan sudah mendapat data itu dari “pihak tertentu.” Siapa yang harusnya
bertanggung jawab atas bocornya data ini?
Kita seringkali dihebohkan dengan beredarnya data-data semacam itu, biasanya bertujuan untuk
memprovokasi publik, menciptakan kegelisahan dan rasa saling curiga di tengah masyarakat.
Bila melihat materinya yang sedetail itu, kemungkinan besar pendataan dilakukan oleh aparat
negara, karena hanya mereka yang memiliki kemampuan sebesar itu. Tapi kalau pemerintah
bukan yang membuat dan menyebarkannya, sebaiknya segera dibuat pernyataan terbuka untuk
menyangkalnya, sehingga data-data itu bisa dibilang sebagai rumor semata. Karena kalau
dibiarkan, potensi terjadi gesekan di masyarakat juga besar.
Apa akibatnya dokumen semacam ini, secara sengaja atau tidak, bocor ke publik?
Kekhawatiran paling besar dari beredarnya data-data itu ialah potensi terjadinya pengecualian,
stigmatisasi, dan persekusi terhadap mereka yang diduga anggota HTI atau mereka yang dituduh
simpatisan HTI. Kalau sampai situasi ini terjadi, negara akan sulit mengontrol serta
mengendalikannya, dan itu berarti kita mengulangi kesalahan-kesalahan kita di masa lalu.
Hampir seluruh peristiwa persekusi (Arti kata persekusi menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan
disakiti, dipersusah, atau ditumpas) yang terjadi di Indonesia bermula dari penyebaran identitas.
Contoh menjelang pembantaian 1965-1966, ketika daftar nama beredar untuk kemudian
ditindaklanjuti dengan persekusi.
Daftar nama mereka yang akan menjadi target penembakan dalam peristiwa penembakan
misterius (Petrus) 1982-1985, atau menjelang peristiwa dukun santet pada 1999-2000. Kemudian
yang terbaru penyebaran identitas mereka yang memposting status di media sosial, yang
materinya dianggap menyinggung pihak atau kelompok tertentu, lalu kemudian ditindaklanjuti
dengan persekusi oleh anggota kelompok tersebut.
Seseorang meyakini suatu paham atau pandangan tertentu itu bagian dari kebebasan berpikir dan
berkeyakinan. Negara tidak bisa kemudian mengintervensinya. Sehingga sulit juga untuk
mengatakan seseorang anti-Pancasila sepanjang yang bersangkutan tidak mendemonstrasikan
permusuhannya terhadap Pancasila.
Namun, meski orang-orang tersebut terbukti memusuhi atau anti-Pancasila, mereka masih tetap
sebagai warga negara Indonesia, yang berhak atas seperangkat perlindungan dari negara. Oleh
karenanya, pemerintah selaku pemangku kewajiban terhadap hak asasi warga negara juga harus
tetap bertindak dalam koridor hukum dan hak asasi manusia, tidak kemudian melakukan
pembiaran persekusi terhadap mereka yang dianggap anti-Pancasila.
Kaitannya dengan perlindungan identitas warga negara, acuannya sudah ada pada sejumlah
undang-undang, misalnya UU Administrasi Kependudukan dan UU Informasi dan Transaksi
Elektronik. Tegasnya data pribadi seseorang tidak bisa dipindahtangankan tanpa persetujuan si
pemilik data.
Sayangnya, memang Indonesia belum memiliki UU perlindungan data pribadi, yang secara jelas
memberikan batasan tentang jenis data apa saja yang masuk kategori data sensitif dan harus
dilindungi, seperti agama, orientasi seksual, afiliasi politik, dan sebagainya. Perlindungan
identitas atau data pribadi warga negara sangat terkait erat dengan martabat atau dignity orang
tersebut, oleh karenanya semestinya negara juga bisa secara penuh menegakkannya.
Catatan Pendamping
Pasal 28E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan
dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal
diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Makna: Setiap orang berhak untuk memilih agamanya sendiri dalam arti dia nyaman dengan
agamanya tersebut dan tidak berpindah-pindah agama dan pengajaran untuk menuntut ilmu ,
memilih pekerjaan mana yang pantas untuk mereka dan sesuai dengan kualitas mereka masing-
masing dan memilih negara serta bertempat tinggal dinegara piulihannya tersebut tetapi atas
dasar hukum dan pemerintahan yang sah.
(2) Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya.
Makna: Serta pemerintah memberikan kebebasan atas keyakinan yang diyakini oleh warga
Negara tesebut dan berhak atas pemikiran dan sikap yang mereka ambil dikehidupan sehari hari
sesuai dengan hati nurani yang mereka anggap benar selama semua itu tidak merugikan orang
lain.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Makna: Serta setiap Negara menjamin atas kebebasan berorganisasi berserikat dan berkumpul
dengan tidak merugikan pihak lain atau Negara itu sendiri dan mengeluarkan pendapat dengan
bebas dan mendengar pendapat tersebut dengan baik , baik pendapatnya diterima atau pun tidak
diterima