Anda di halaman 1dari 3

And The Real Insecurity is…

~ Aida Hanifa ~
Berapa banyak dari kita yang sering merasa tidak puas dengan diri sendiri?
Setiap kali berkaca;
“Ah, ini kantong mataku gimana sih cara ngilanginnya? Kenapa malah kantong
mata ini yang diturunin ke aku, kenapa nggak hidung mancung Mama yang
diturunkan ke aku?”
Atau,
“Gigiku kenapa nggak rata gini tumbuhnya, sih? Malah ada yang dobel. Jadi nggak
pede kalo ngomong atau senyum.”
Ngomong-ngomong soal gigi, seorang teman pernah mencoba obat pemutih gigi
karena ingin giginya putih bersih. Tidak disangka, efek dari obat itu ternyata gigi
jadi rapuh. Selang beberapa tahun, giginya rontok satu persatu dan kemudian ia
terpaksa pakai gigi palsu.
Ada lagi seorang teman yang menyesali perihal nama yang ia punya. Dari SD hingga
kuliah, jenis kelaminnya seringkali ditulis sebagai laki-laki karena namanya seperti
nama laki-laki. “Apa sih pertimbangan orang tuaku sampai ngasih nama aku seperti
ini? Padahal kakak dan adikku namanya bagus, lho,” keluhnya.
“Tapi namamu bagus juga kan artinya, ada di Al-Qur’an” timpal saya.
“Ya tapi kan bisa dicari kata lain yang juga bagus artinya dan terdengar seperti
nama perempuan. Menurutku, salah satu yang bikin orang bisa pede juga dari nama
yang dia punya. Karena dia punya nama yang bagus, enak disebut dan sudah
keliatan cantik dari namanya aja, makanya dia jadi orang yang pede dan auranya
positif gitu, lho! Lah, aku? Kalo ditanya nama aja aku suka bingung jawabnya. Mau
pakai penggalan awal, tengah atau akhir, semuanya nama laki-laki bukan nama
perempuan!” keluhnya panjang lebar.
Lah, aku?
Sementara aku?
Akrab dengan kata-kata itu? Atau pernah mengucapkannya juga saat
membandingkan diri sendiri dengan orang lain?
“Dia good looking, jago public speaking, lulusan luar negeri, pantes aja sukses. Lah
gue?”
Dan masih banyak kalimat-kalimat yang mencerminkan insecurity yang tanpa sadar
kita cetuskan sendiri.
Hmm… Kalau dipikir-pikir, sebetulnya yang sering berkomentar pedas bukan teman-
teman atau netizen. Yang suka memandang rendah, meremehkan, mencibir juga
bukan orang lain. Yang jahat bukan juga teman yang khianat. Tapi ternyata kita
yang tanpa sadar suka membully diri sendiri karena merasa insecure. Iya nggak,
sih?
***
Dari manakah munculnya rasa tidak puas dengan apa yang kita miliki saat ini? Ya,
karena terlalu sering membandingkan diri kita dengan orang lain.
Kita melihat teman yang bermata bulat sehingga membuat wajahnya menarik,
kemudian membandingkan dengan bentuk mata kita sendiri yang kecil. Kita
membandingkan bentuk tubuh, warna kulit, raut wajah dan masih banyak lagi.
Sehingga tanpa disadari kita sudah merendahkan fisik kita sendiri yang adalah
pemberikan dari Allah SWT.
Padahal, Allah SWT sudah berfirman:
‫َلَق ْد َخَلْق َنا اِاْلْنَس اَن ِف ْٓي َاْحَس ِن َتْق ِو ْيٍۖم‬
"Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya," (Qs.
At-Tin: 4).
Menurut Tafsir Al-Azhar yang ditulis Buya Hamka, yang dikatakan sebagai ‘bentuk
yang sebaik-baiknya’ bukan hanya bentuk fisik yang sempurna, tapi manusia juga
diberikan akal untuk memikirkan dan mencerna penciptaan Allah SWT sehingga
tumbuh keimanannya. Dengan perseimbangan fisik dan akal, manusia mampu
menjadi pangatur di muka bumi dan mengerjakan amal salih sebagai bentuk
syukurnya. Maka makna dari ‘bentuk yang sebaik-baiknya’ adalah bentuk lahir dan
bentuk batin; bentuk tubuh dan bentuk nyawa.
‫ُثَّم َرَدْد َناُه َأْس َف َل َس اِفِليَن‬
)Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya” (QS. At-Tin: 5“

Para mufassir berbeda pendapat mengenai makna ayat ke 5 di atas. Pendapat


pertama, bahwa ‘tempat yang serendah-rendahnya’ adalah neraka bagi orang-
orang yang tidak bersyukur atas penciptaan Allah yang indah, tidak taat kepada
Allah dan tidak mengikuti rasul-rasul-Nya. Pendapat kedua, yang berpendapat
bahwa ‘tempat yang serendah-rendahnya’ adalah keadaan manusia yang semula
muda dan bugar kemudian berangsur-angsur melemah seiring menuanya usia, hingga
kemudian dia berada pada kondisi lemah fisik, pendengaran berkurang, dan pikun.
Pendapat kedua ini juga didasarkan pada asbabun nuzul QS At-Tin ayat 6
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Al-Aufi dari Ibnu Abbas, di mana
Rasulullah ditanya oleh para sahabat mengenai kedudukan orang pikun. Maka
turunlah ayat 6 dari surat At-Tin sebagai penegasan bahwa seseorang yang
beriman dan senantiasa beramal salih sebelum datangnya kepikunan, telah
mendapat pahala yang banyak dan mengalir tiada putus (amal jariyah) dari sisi
Allah SWT.
‫َأ‬
‫ِإاَّل اَّلِذيَن آَم ُنوا َو َع ِم ُلوا الَّص اِلَحاِت َفَلُه ْم ْجٌر َغ ْي ُر َم ْم ُنوٍن‬
“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebaikan, maka mereka akan
mendapat pahala yang tidak ada putusnya” (QS. At-Tin: 6)

Meski pendapat mufassir berbeda, namun ada benang merah yang bisa kita ambil,
bahwa dengan apa yang kita punya saat ini; jasad, akal, dan ruh yang merupakan
sebaik-baiknya pemberian dari Allah, marilah kita gunakan untuk produktif beramal
salih sebelum Allah cabut segala nikmat dan kita sudah tidak bisa melakukan apa-
apa lagi. Bukankah kita ingin pahala kita terus mengalir meski ruh sudah tidak
bersama jasad?
Lihat saja tubuh kita di depan cermin. Apapun sebutan orang ketika
menggambarkan fisik ini; kurus, tinggi, pendek, langsing, gempal, seluruh tubuh ini
adalah sarana ibadah kita. Tubuh ini yang bersujud kepada Allah siang dan malam.
Tubuh ini yang kita ajak berpuasa. Tangan ini yang kita gunakan untuk bekerja.
Kaki ini yang berdiri untuk menegakkan sholat, kaki ini yang kita gunakan untuk
melangkah ke masjid dan menuntut ilmu. Mata dan mulut ini yang kita gunakan
membaca ayat demi ayat Al-Qur’an.
Lalu akal yang Allah karuniakan. Ketika tidak bisa menjadi orang yang berbicara di
depan umum, tapi mungkin kita punya kemampuan berbicara melalui tulisan, yang
dengan itu kita bisa sampaikan kebaikan. Ketika kita merasa belum punya prestasi
apa-apa, bukankah ini saatnya mencoba lebih banyak lagi skill; menulis, mendesain,
berkebun, berbenah rumah, memasak, mereparasi barang elektronik, memasarkan
atau mempromosikan barang, bertani, dan lain sebagainya selama itu masih dalam
koridor syariat, kenapa tidak?
Dan ruh ini, jiwa ini, hubungkan dan ingatkan selalu pada Allah melalui ibadah
harian kita. Bersyukur atas segala kemampuan fisik dan akal kita yang Allah
berikan dengan begitu baik—khusus untuk kita. Bukankah di antara milyaran umat
manusia di muka bumi, Allah dengan kebesaran-Nya telah menciptakan keunikan
masing-masing termasuk yang ada di ujung jari ini? You don’t have to be beautiful.
You can be educated, you can be talented, you can be an inspiration, you can be
kind, you can be a grateful person, and that’s still beautiful in some ways.
Jadi untuk apa menyesali bentuk hidung, mata, bibir, dan bentuk fisik lainnya?
Kenapa insecure dengan pencapaian teman ketika Allah juga memberikan
kemampuan kepada kita juga untuk mengejar pencapaian kita sendiri? Bukankah
ada insecurity yang lebih penting daripada insecure terhadap pemberian Allah? Yes,
insecure dengan… apa bekalku jika Allah panggil aku saat ini?

Anda mungkin juga menyukai