Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH MEDIA PENDIDIKAN

Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah kebijakan Tafsir
tarbawi

Disusun Oleh : Kelompok 9


Arindi Prasella Nst
Risna Sartika

Dosen mengampuh : Dr. Fatima Rahma Rangkuti, M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

STIT AL- HIKMAH KOTA TEBING TINGGI


2023

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah swt karena


atas limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya semata, kami dapat menyelesaikan
Makalah dengan judul: “Analisa Kebijakan Pendidikan Islam”. Shalawat dan
salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw, para keluarga,
sahabat-sahabat dan pengikut-pengikutnya sampai hari penghabisan.

Semoga dengan tersusunnya Makalah ini dapat berguna bagi kami semua
dalam memenuhi tugas dari mata kuliah pendidikan nilai karakter dan semoga
segala yang tertuang dalam Makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun
bagi para pembaca dalam rangka membangun khasanah keilmuan. Makalah ini
disajikan khusus dengan tujuan untuk memberi arahan dan tuntunan agar yang
membaca bisa menciptakan hal-hal yang lebih bermakna.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini masih terdapat


banyak kekurangan dan belum sempurna. Untuk itu kami berharap akan kritik dan
saran yang bersifat membangun kepada para pembaca guna perbaikan langkah-
langkah selanjutnya.

Akhirnya hanya kepada Allah swt kita kembalikan semua, karena


kesempurnaan hanya milik Allah swt semata.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Tebing tinggi, 22 Mei 2023


Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II  PEMBAHASAN MEDIA PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF AL-
QUR’AN
A. Pengertian Media Pendidikan
B. Tafsir Surat Al-Alaq 4-5
C. Tafsir Surat Al-A’raf ayat 57
D. Tafsir Surat Al-Kahfi ayat 70-71 dan ayat 78-82
D. Tafsir Surat Al-Isra’ Ayat 14
E. Pesan Tarbawi
BAB III PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Belajar bahasa merupakan usaha yang tidak gampang dan kadang menjenuhkan,
bahkan kadang kala membuat orang frustasi. Hal tersebut merupakan hambatan dalam
mendalami suatu ilmu, Dalam kaitannya dengan usaha menciptakan suasana yang
kondusif itu, alat/media pendidikan atau pengajaran mempunyai peranan yang sangat
penting. Sebab alat/media merupakan sarana yang membantu proses pembelajaran
terutama yang berkaitan dengan indra pendengaran dan pengelihatan. Adanya
alat/media bahkan dapat mempercepat proses pembelajaran murid karena dapat
membuat murid lebih cepat menanggapipelajaran.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah antara lain:
1.      Apa pengertian media pendidikan ?
2.      Bagaimana tafsir surat Al-Alaq ayat 4-5 ?
3.      Bagaimana tafsir surat Al-A’raf ayat 57 ?
4.      Bagaimana tafsir surat Al-Kahfi ayat 70-71 dan Al-Kahfi ayat 78-80 ?
5.      Bagaimana tafsir surat Al-Isra’ ayat 14 ?
6.      Apa pesan tarbawy dari keempat surat mengenai media pendidikan ?

C. Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian media pendidikan.
2.      Untuk mengetahui tafsir surat Al-Alaq ayat 4.
3.      Untuk mengetahui tafsir surat Al-A’raf ayat 57.
4.      Untuk mengetahui tafsir surat Al-Kahfi ayat 70-71 dan ayat 78-80.
5.      Untuk mengetahui tafsir surat Al-Isra’ ayat 14.
6.      Untuk mengetahui pesan tarbawy mengenai media pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN

Media Pendidikan Dalam Perspektif Al quran


A. Pengertian Media Pendidikan
Kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari
kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Menurut Gagne
(1970) menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan
siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar.[1]
Asosiasi Pendidikan Nasional memiliki pengertian yang berbeda. Media
adalah bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun audio visual serta
peralatannya. Media hendaknya dapat dimanipulasi, dapat dilihat, didengar, dan
dibaca. Jadi, media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan
pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan,
perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar
terjadi. 
Pada mulanya media hanya dianggap sebagai alat bantu mengajar guru. Alat
bantu yang dipakai adalah alat bantu visual, misalnya gambar, model, objek, dan lain-
lain yang dapat memberikan pengalaman konkret, motivasi belajar serta
mempertinggi daya serap belajar siswa.

B. Tafsir Surah Al- Alaq 4-5

5( ‫) َعلَّ َم اِإْل ْن َسانَ َما لَ ْم يَ ْعلَ ْم‬4( ‫الَّ ِذي َعلَّ َم بِ ْالقَلَ ِم‬
Artinya: “Yang mengajar dengan Pena, Mengajar manusia apa yang
belum diketahui (nya)”. (QS. Al-Alaq ayat 4-5).
Ayat diatas melanjutkan dengan memberi contoh sebagian dari kemurahan-
Nya itu dengan menyatakan bahwa : Dia Yang Maha Pemurah itu yang
mengajar manusia dengan pena, yakni dengan sarana dan usaha mereka, dan Dia
juga yang mengajar manusia tanpa alat dan usaha mereka apa yang belum
diketahui-nya.

Kata ‫القلمم‬ terambil dari kata kerja ‫(قلم‬qalama) yang berarti memotong ujung


sesuatu. Memotong ujung kuku disebut ‫تقليم‬. Tombak yang dipotong ujungnya
sehingga meruncing dinamai ‫مقا ليم‬. Anak panah yang runcing ujungnya dan yang
bisa digunakan untuk mengundi dinamai pula qalam. Alat yang digunakan untuk
menulis dinamai qalam karena pada mulanya alat tersebut dibuat dari suatu bahan
yang dipotong dan diperuncing ujungnya.
Kata qalam disini dapat berarti hasil dari penggunaan alat tersebut, yakni
tulisan. Ini karena bahasa sering kali menggunakan kata yang berarti “alat” atau
“penyebab” untuk menunjuk “akibat” atau “hasil’ dari  penggunaan alat tersebut.
Misalnya, jika seseorang berkata, “saya khawatir hujan”, yang dimaksud dengan
kata “hujan” adalah basah atau sakit, hujan adalah penyebab semata.
Pada kedua ayat diatas terdapat apa yang dinamai ihtibak yang maksudnya
adalah tidak disebutkan sesuatu keterangan, yang sewajarnya ada pada dua susunan
kalimat yang bergandengan, karena keterangan yang dimaksud telah disebut pada
kalimat yang lain. Pada ayat 4, kata manusiatidak disebut karena telah disebut pada
ayat 5, dan pada ayat 5 kalimat tanpa pena tidak disebut karena pada ayat 4 telah
diisyaratkan makna itu dengan disebutnya pena. Dengan demikian, kedua ayat di
atas dapat berarti “Dia (Allah) mengajarkan dengan pena (tulisan) (hal-hal yang
telah diketahui manusia sebelumnya) dan Dia mengajrka manusia (tanpa pena) apa
yang belum diketahui sebelumnya”. Kalimat yang telah diketahui sebelumnya
disisipkan karena isyarat pada ayat kedua, yaitu yang belum atau tidak diketahui
sebelumnya, sedang kalimat “tanpa pena” ditambahkan karena adanya kata
“dengan pena” dalam ayat pertama.
Dari uraian di atas, kita dapat menyatakan bahwa kedua ayat di atas
menjelaskan dua cara yang ditempuh Allah SWT. dalam mengajar manusia.
Pertama melalui media pena (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang
kedua melaui pengajaran secara langsung tanpa alat (tanpa media). Cara yang
kedua ini dikenal dengan istilah ‘ilm ladunniy.

C. Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 57

‫ت فََأ ْن َز ْلنَا بِ ِه‬ ْ َّ‫اح بُ ْشرًا بَ ْينَ يَ َديْ َرحْ َمتِ ِه ۖ َحتَّ ٰى ِإ َذا َأقَل‬
ٍ ِّ‫ت َس َحابًا ثِقَااًل ُس ْقنَاهُ لِبَلَ ٍد َمي‬ َ َ‫َوهُ َو الَّ ِذي يُرْ ِس ُل الرِّ ي‬

(57( َ‫ت ۚ َك ٰ َذلِكَ نُ ْخ ِر ُج ْال َموْ ت َٰى لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكرُون‬


ِ ‫ بِ ِه ِم ْن ُكلِّ الثَّ َم َرا‬Œ‫ْال َما َء فََأ ْخ َرجْ نَا‬
Artinya: “Dan Dia-lah yang mengutus aneka angin sebagai pembawa berita
gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); sehingga ia telah memikul awan
yang berat. Kami halau ia ke suatu daerah mati, lalu Kami turunkan hujan di sana,
maka Kami keluarkan dengan sebabnya berbagai macam buah-buahan. Seperti
itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu
mengambil pelajaran.”
Kata ar-riyah berbentuk jamak sehingga diterjemahkan dengan aneka
angin. Memang angin bermacam-macam, bukan saja arah datangnya, tetapi juga
waktu-waktunya. Biasanya, jika Al-Qur’an menggunakan bentuk jamak, angin
dimaksud adalah angin yang membawa rahmat dalam pengertian umum, baik hujan
maupun kesegaran. Tetapi, bila menggunakan bentuk tunggal rih, ia mengandung
makna bencana. Ini agaknya karena bila angin beragam dan banyak lalu menyatu,
tentu saja kekuatannya akan sangat besar sehingga dapat menimbulkan kerusakan.
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa, sebelum hujan turun, angin beraneka
ragam atau banyak. Namun, sedikit demi sedikit, Allah mengarak dengan perlahan
partikel-partikel awan, kemudian digabungkan-nya partikel-patikel itu sehingga ia
tindih-menindih dan menyatu, lalu turunlah hujan. Nah, Anda lihat ayat di atas
pada mulanya menggunakan kata angin dalam bentuk jamak, tetapi setelah ia
terhimpun dan menyatu menjadi satu kesatuan, bentuk yang dipilih bukan lagi
bentuk jamak, tetapi tunggal. Karena itu, kata yang digunakan
adalah suqnabul/Kami halau ia, yakni dalam bentuk mudzakar, padahal sebelum
kata aqallat dalam bentuk mu’annas. Bentuk muannas antara lain menunjuk
kepada makna jamak, sedang bentuk nudzakar kepada makna tunggal. Sungguh
amat teliti redaksi ayat-ayat al-Qur’an lagi sejalan dengan hakikat imiah.
Di sisi lain, ketika aneka angin itu belum mengandung partikel-partikel air,
kata yang digunakan adalah Kami mengutus untuk mengambarkan bahwa angin
ketika itu masih ringan dan seakan-akan dapat berjalan sendiri tanpa diarak atau
didorong. Tetapi, ketika ia telah menyatu, maka keadaannya menjadi berat
sehingga gerakannya menjadi lambat. Maka, untuk itu digunakan
kata suqnabul/Kami halau ia. Sekaligus untuk menunjukkan bahwa Allah swt.
yang menentukan di mana arah turunnya hujan itu.    
Kemudian di tafsir Ibnu Katsir dijeaskan, firman Allah Ta’ala, “Hingga
apabila angin itu telah membawa awan mendung”, yakni apabila angin itu
membawa awan yang berat karena mengandung banyak air, maka ia semakin dekat
jaraknya ke bumi untuk turun. Firman Allah Ta’ala, “Kami menghalaunya ke suatu
negeri yang mati,” yakni ke negeri yang mati dan tandus. Penggalan ini seperti
firman Allah Ta’ala,”Dan merupakan suatu tanda bagi mereka ialah Kami
menghidupkan tanah yang mati.” Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman, ”Maka
Kami mengeluarkan melalui hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah
Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati.” Yakni, sebagaimana Kami
menghidupkan tanah yang mati, maka seperti itu pula Kami menghidupkan tubuh
yang telah menjadi belulang.

D. Tafsir Surah Al-Kahfi Ayat 70-71 dan Ayat 78-82


َ Œ‫ ْن‬Œ‫ ا‬Œَ‫ ف‬ )70(Œ‫ًر ا‬Œ ŒŒ‫ ْك‬Œ‫ ِذ‬Œُ‫ ه‬ŒŒ‫ ْن‬Œ‫ ِم‬Œ‫ك‬
Œ‫ ا‬Œ Œَ‫ ق‬Œَ‫ ل‬Œ‫ط‬ Œَ Œ‫ ِد‬Œ‫ْح‬Œ ‫ ُأ‬Œ‫ى‬Œٰ Œَّ‫ ت‬Œ‫ َح‬Œ‫ ٍء‬Œ‫ي‬
Œَ ŒŒَ‫ ل‬Œ‫ث‬ Œْ Œ‫ َش‬Œ‫ن‬Œْ Œ‫ َع‬Œ‫ ي‬Œِ‫ ن‬Œ‫ َأ ْل‬Œ‫ ْس‬Œَ‫ اَل ت‬Œَ‫ ف‬Œ‫ ي‬Œِ‫ ن‬Œَ‫ ت‬Œ‫ ْع‬Œَ‫ب‬Œَّ‫ت‬Œ‫ ا‬Œ‫ ِإ ِن‬Œَ‫ ف‬Œ‫ل‬Œَ Œ‫ ا‬Œَ‫ق‬

Œَ ‫ ْئ‬Œ‫ ِج‬Œ‫ ْد‬ŒŒَ‫ ق‬Œَ‫ ل‬Œ‫ ا‬ŒŒَ‫ ه‬Œَ‫ ل‬Œ‫ َأ ْه‬Œ‫ق‬


Œ‫ ًئ ا‬Œ‫ ْي‬Œ Œ‫ َش‬Œ‫ت‬ َ Œ‫ ِر‬Œ‫ ْغ‬Œُ‫ ت‬Œِ‫ ل‬Œ‫ ا‬ŒŒَ‫ ه‬Œَ‫ ت‬Œ‫ ْق‬Œ‫ َر‬Œ‫ َأ َخ‬Œ‫ َل‬Œ‫ ا‬ŒŒَ‫ ق‬Œۖ Œ‫ ا‬ŒŒَ‫ ه‬Œَ‫ ق‬Œ‫ َر‬Œ‫ َخ‬ Œِ‫ ة‬Œَ‫ن‬Œ‫ ي‬Œِ‫ ف‬ŒŒَّ‫س‬Œ‫ل‬Œ‫ ا‬Œ‫ ي‬Œِ‫ ف‬Œ‫ ا‬ŒŒَ‫ ب‬Œ‫ ِك‬Œ‫ َر‬Œ‫ ا‬Œ‫ ِإ َذ‬Œ‫ى‬Œٰ Œَّ‫ ت‬Œ‫َح‬

)71(Œ‫ ا‬Œ‫ ًر‬Œ‫ِإ ْم‬


Artinya: Dia berkata, “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan
kepadaku tentang sesuatu apa pun sampai aku menerangkannya padamu”. Maka
berangkatlah keduanya hingga tatkala keduanya menaiki perahu, dia melubanginya.
Dia berkata, “Apakah engkau melubanginya sehingga mengakibatkan engkau
menenggelamkan penumpangnya? Sungguh, engkau telah berbuat sesuatu kesalahan
besar.”
Ayat 70 menerangkan bahwa hamba yang saleh (nabi) Khidir menetapkan
syarat keikutsertaan nabi Musa a.s. dalam ayat tersebut dijelaskan Dia berkata,
“Jika engkau mengikutiku” secara bersungguh-sungguh, maka seandainya engkau
melihat hal-hal yang tidak sejalan dengan pendapatmu atau bertentangan dengan
apa yang engkau kerjakan, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang
sesuatu apapun, yang aku kerjakan atau kuucapkan, sampai bila tiba waktunya
nanti aku sendiri ysng menerangkannya kepadamu.
Di sisi lain, perlu dicatat bahwa jawaban hamba Allah yang saleh dalam
menerima keikutsertaan Nabi Musa a.s. sama sekali tidak memaksanya ikut. Beliau
memberi kesempatan kepada Nabi Musa a.s. untuk berfikir ulang dengan
menyatakan, “Jika engkau mengikutiku.” Beliau tidak melarangnya secara tegas
untuk mengajukan pertanyaan tetapi mengaitkan larangan tersebut dengan
kehendak Nabi Musa a.s. untuk mengikutinya. Dengan demikian, larangan tersebut
bukan datang dari diri hamba yang saleh itu, tetapi ia adalah konsekuensi dari
keikutsertaan bersamanya. Perhatikanlah ucapannya: “Jika engkau mengikutiku,
maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku
menerangkannya kepadamu.” Dengan ucapan ini, hamba yang saleh telah
mengisyaratkan adanya hal-hal yang aneh atau bertentangan dengan pengetahuan
Nabi Musa a.s. yang akan terjadi dalam perjalanan itu, yang boleh jadi
memberatkan Nabi Musa a.s.
Setelah usai pembicaraan pendahuluan, sebagaimana dilukiskan ayat-ayat
diatas, dan masing-masing telah menyampaikan serta menyepakati kondisi dan
syarat yang telah dikehendaki, maka berangkatlah keduanya, yakni Musa dan
hamba Allah yang saleh itu menelusuri pantai untuk menaiki perahu hingga tatkala
keduanya menaiki perahu, dia, yakni hamba yang saleh itu melubanginya. Nabi
Musa a.s. tidak sabar karena menilai pelubangan itu sebagai suatu perbuatan yang
tidak dibenarkan syariat, maka dia berkata pertanda tidak setuju, “Apakah engkau
melubanginya sehingga dapat mengakibatkan engkau menenggelamkan
penumpangnya? Sungguh, aku bersumpah engkau telah berbuat sesuatu kesalahan
yang besar.” Dia yakni hamba yang saleh itu berkata mengingatkan Nabi Musa a.s.
akan syarat yang telah mereka sepakati, “Bukankah engkau telah berkata,
‘sesungguhnya engkau hai Musa sekali-kali tidak akan mampu sabar ikut dalam
perjalanan bersamaku?”
ْ ‫ان‬ŒŒ‫فِينَةُ فَ َك‬Œ‫الس‬
‫َت‬ َ ‫ ِه‬Œ‫ت َِط ْع َعلَ ْي‬Œ‫ا لَ ْم ت َْس‬ŒŒ‫ ِل َم‬Œ‫ُأنَبُِّئكَ بِتَْأ ِوي‬Œ‫كَ َۚس‬ŒŒِ‫ق بَ ْينِي َوبَ ْين‬
َّ ‫) َأ َّما‬78 (‫ ْبرًا‬Œ‫ص‬ ُ ‫ َرا‬Œِ‫ َذا ف‬Œَ‫ال ٰه‬Œ
َ Œَ‫ق‬

ْ ‫ك يَْأ ُخ ُذ ُك َّل َسفِينَ ٍة غ‬


‫) َوَأ َّما‬79( ‫بًا‬Œ ‫َص‬ ٌ ِ‫ت َأ ْن َأ ِعيبَهَا َو َكانَ َو َرا َءهُ ْم َمل‬
ُ ‫لِ َم َسا ِكينَ يَ ْع َملُونَ فِي ْالبَحْ ِر فََأ َر ْد‬

‫رًا‬Œ‫ا َخ ْي‬ŒŒ‫ ِدلَهُ َما َربُّهُ َم‬Œ‫ َأ ْن يُ ْب‬Œ‫ا‬Œ َ‫) فََأ َر ْدن‬80( ‫ْال ُغاَل ُم فَ َكانَ َأبَ َواهُ ُمْؤ ِمنَي ِْن فَ َخ ِشينَا َأ ْن يُرْ ِهقَهُ َما طُ ْغيَانًا َو ُك ْفرًا‬

‫ا‬ŒŒ‫ ٌز لَهُ َم‬Œ‫هُ َك ْن‬Œ َ‫انَ تَحْ ت‬ŒŒ‫) َوَأ َّما ْال ِجدَا ُر فَ َكانَ لِ ُغاَل َم ْي ِن يَتِي َمي ِْن فِي ْال َم ِدينَ ِة َو َك‬81( ‫ب رُحْ ًما‬
َ ‫ِم ْنهُ زَ َكاةً َوَأ ْق َر‬
‫هُ ع َْن‬Œُ‫ك ۚ َو َما فَ َع ْلت‬
َ ِّ‫ َك ْنزَ هُ َما َرحْ َمةً ِم ْن َرب‬Œ‫د َربُّكَ َأ ْن يَ ْبلُغَا َأ ُش َّدهُ َما َويَ ْست َْخ ِر َجا‬Œَ ‫صالِحًا فََأ َرا‬
َ ‫َو َكانَ َأبُوهُ َما‬

ِ ‫َأ ْم ِري ۚ ٰ َذلِكَ تَْأ ِوي ُل َما لَ ْم تَس‬


َ ‫ْط ْع َعلَ ْي ِه‬
)82( ‫ص ْبرًا‬

Artinya: Dia berkata, “Inilah perpisahan antara aku denganmu”. Aku akan
memberitahukan kepadamu makna apa yang engkau tidak dapat sabar terhadapnya.
Adapun perahu, maka ia adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, maka
aku ingin menjadikannya memiliki cela karena di balik sana ada raja mengambil
setiap perahu secara paksa. Dan adapun anak remaja, maka kedua orangtuanya adalah
dua orang mukmin, dan kami khawatir dia akan membebani kedua orangtuanya
kedurhakaan dan kekufuran. Maka, kami menghendaki kiranya Tuhan mereka berdua
mengganti bagi mereka berdua yang lebih baik darinya (dalam hal) kesucian dan lebih
dekat (dalam) kasih sayang (-nya). Adapun dinding itu adalah kepunyaan dua orang
anak yatim di kota itu, dan di bawahnya terdapat simpanan bagi mereka berdua,
sedang ayah keduanya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar
supaya keduanya mencapai kedewasaan mereka berdua dan mengeluarkan
simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan aku tidaklah melakukannya
berdasar kemauanku. Demikian itu makna apa yang engkau tidak dapat sabar
terhadapnya.
Telah tiga kali Nabi Musa as. melakukan pelanggaran. Kini cukup sudah
alasan bagi hamba Allah itu untuk menyatakan perpisahan. Karena itu, dia berkata:
“inilah masa atau pelanggaran yang menjadikan perpisahan antara aku denganmu,
wahai Musa. Namun, sebelum berpisah aku akan memberitahukan kepadamu
informasi yang pasti tentang makna dan tujuan di balik peristiwa-peristiwa yang
engkau tidak dapat sabar menghadapinya”. 
Lalu, hamba Allah yang saleh menerangkan pengalaman mereka satu demi
satu: ”Adapun perahu-katanya-maka ia adalah milik orang-orang miskin yang mereka
gunakan bekerja di laut untuk mencari rezeki, maka aku ingin menjadikannya
memiliki cela sehingga dinilai tidak bagus digunakan, karena dibalik sana ada raja
yang kejam dan selalu memerintahkan petugas-petugasnya agar mengambil secara
paksa setiap perahu yang berfungsi baik”. Hamba Allah yang saleh itu seakan-akan
melanjutkan dengan berkata: “Dengan demikian, apa yang kubocorkan itu bukanlah
bertujuan menenggelamkan penumpangnya, tetapi justru menjadi sebab
terpeliharanya hak-hak orang miskin”. Memang, melakukan kemudharatan yang kecil
dapat dibenarkan guna menghindari kemudharatan yang lebih besar.[3]
Selanjutnya, hamba Allah yang saleh itu menjelaskan latar belakang peristiwa
kedua. Dia berkata: “Adapun si anak yang aku bunuh itu, maka kedua orangtuanya
adalah dua orang mukmin yang mantap keimanannya dan Kami khawatir bahkan
tahu, berdasar informasi Allah, bahkan jika anak itu hidup dan tumbuh dewasa dia
akan membebani kedua orang tuanya dengan beban yang sangat berat akibat
keberanian dan kekejaman sang anak sehingga keduanya melakukan kedurhakaan dan
kekufuran. Maka dengan membunuhnya-aku dengan niat di dalam hati- dan Allah
SWT dengan kuasa-Nya menghendaki, kiranya Tuhan Yang Maha Esa yang
disembah oleh ibu bapak anak itu mengganti buat mereka berdua anak lain yang lebih
baik dalam hal kesucian, yakni sikap keberagamaannya dan lebih dekat lagi mantap
dalam kasih sayang dan buktinya kepada kedua orang tuanya daripada anak yang
kubunuh itu “.
Peristiwa terakhir dijelaskan oleh hamba Allah yang saleh itu dengan
menyatakan: “Adapun dinding rumah yang aku tegakkan tanpa mengambil upah itu,
ia adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya terdapat harta
simpanan orang tua mereka buat mereka berdua. Kalau dinding itu roboh, harta
simpanan itu ditemukan dan diambil orang yang tidak berhak, sedang ayah keduanya
adalah seorang yang saleh yang niatnya menyimpan harta itu untuk kedua anaknya.
Maka Tuhanmu menghendaki dipeliharanya harta itu agar supaya keduanya mencapai
usia dewasa dan menemukan simpanan kedua orangtuanya itu untuk mereka
manfaatkan. Apa yang aku lakukan itu adalah sebagai rahmat terhadap kedua anak
yatim itu dari Tuhamu “.
Lalu, hamba Allah yang saleh itu menegaskan untuk menampik kemungkinan
dugaan melanggar agama bahwa, “Aku tidaklah melakukan apa yang telah kulakukan
sejak pembocoran perahu, penegakan tembok, dan pembunuhan anak berdasar
kemauanku sendiri. Tetapi, semuanya adalah atas perintah Allah melalui ilmu yang
diajarkan-Nya kepadaku. Ilmu itu pun kuperoleh bukan atas usahaku, tetapi semata-
mta anugerah-Nya. Demikian-lanjut hamba Allah itu-makna dan penjelasan peristiwa-
peristiwa yang engkau tidak dapat sabar menghadapinya”.

E. Tafsir Surah Al-Isra’ Ayat 14

)14( ‫ك ْاليَوْ َم َعلَ ْيكَ َح ِسيبًا‬ َ َ‫ا ْق َرْأ ِكتَاب‬


َ ‫ك َكفَ ٰى بِنَ ْف ِس‬
Artinya: “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri sekarang penghisap
atas dirimu.” (Q.S. Al-Isra ayat 14)
Ayat di atas menyatakan bahwa Allah akan menyodorkan kepada manusia
sebuah kitab yang menampakkan secara rinci semua amalnya dan kitab itu
dijumpainya terbuka sehingga tidak ada yang ditutupi dan tersembunyi atau ia
terbuka sehingga dengan mudah dan segera dapat dibacanya. Thabathaba’i
menekankan bahwa yang dimaksud dengan kitab disini adalah himpunan dari
amal-amal itu, bukannya tulisan-tulisan sebagaimana kitab yang tertulis dan kita
kenal dengan kehidupan dunia ini. 

F. Pesan Tarbawi
1. Sumber ilmu pengetahuan adalah Allah. Dia yang mengajar manusia dan
mengilhaminya.
2. Ada dua cara memperoleh pengetahuan. Pertama, dengan upaya manusia sendiri
menggunakan potensi-potensi yang dianugerahkan Allah SWT. Dan kedua, tanpa
usaha manusia, seperti yang diperoleh melalui ilham, intuisi, dan wahyu ilahi. Yang
kedua ini semata-mata karena Allah SWT bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
3. Sebelum hujan turun, angin beraneka ragam, namun sedikit demi sedikit Allah
SWT. mengarak dengan perlahan partikel-partikel awan, kemudian digabungkan-Nya
partikel-partikel itu sehingga ia tindih-menindih dan menyatu, lalu turunlah hujan.
Yang melakukan itu adalah Allah SWT. melalui hukum-hukum alam yang ditetapkan-
Nya. Demikian juga dia kuasa menghidupkan siapa yang telah mati dan menuntut
dari mereka tanggung jawab masing-masing.
4. Seseorang tidak boleh dipaksa mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
ruhaniah atau tasawuf, karena ilmu ini tidak dapat dicerna oleh semua orang. Itu
sebabnya sehingga hamba Allah itu berkata kepada Musa as., “Jika engkau
mengikutiku, maka janganlah....” 
5. Seseorang yang melakukan kesalahan serupa berkali-kali hendaknya menyadari
kelemahan dirinya dan mempertimbangkan untuk melakukan langkah lain yang lebih
sesuai dengan bakat atau kemampuannya.
6. Segala yang buruk atau yang dapat berkesan buruk harus dihindarkan dari
pensibahannya kepada Allah, karena itulah ketika hamba Allah membocorkan
perahu, dia berucap,“maka aku ingin menjadikannya memiliki cela”. Sebaliknya segala
yang baik hendaknya dinisbahkan kepada Allah, karena itu ketika menopang tembok
yang hampir roboh, redaksi yang digunakannya, “maka Tuhanmu menghendaki”.
7. Setiap orang memiliki kitab amal yang kini dalam kehidupan dunia masih
tersembunyi dan tidak diketahui hakikatnya. Di hari kemudian kitab itu akan
dikeluarkan dari “tempatnya” yang tersembunyi, lalu akan disodorkan kepada
masing-masing pemiliknya sehingga terlihat dan terbaca dengan jelas lagi rinci
isinya.

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Pada surat Al-Alaq ayat 4-5 menjelaskan bahwa ada dua cara yang
ditempuh Allah SWT dalam mengajar manusia. Pertama melalui media pena
(tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua melaui pengajaran secara
langsung tanpa alat (tanpa media). Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah ‘ilm
ladunniy. Kemudian pada surat Al-A’raf ayat 57 media pendidikan yang dimaksud
adalah meniupkan aneka angin sebagai pembawa berita gembira sebelum
kedatangan rahmat-Nya, yakni sebelum turunnya hujan.
Kemudian di surat Al-Kahfi ayat 70-71 dan ayat 78-82 media
pendidikannya adalah perahu yang dilubangi, anak yang dibunuh, dan dinding
rumah. Yang terakhir adalah surat Al-Isra’ ayat 14 media pendidikan yang
digunakan adalah kitab. 

B. Saran

Kami selaku penulis telah melakukan pengamatan, mencari, dan membaca


sebagai referensi kami dalam penulisan makalah ini. Kamiucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah
ini. Kami menyarankan pembaca untuk membaca sumber referensi lain yang
berkaitan dengan media pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an.

DAFTAR PUSTAKA

Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib . 1999. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2. Jakarta: Gema
Insani.
Sadiman, Arief S., dkk. 2012. Media Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Shihab, M. Quraish. 2012. Al-Lubab. Tangerang: Lentera Hati. 
Shihab, M. Quraish. 2012. Tafsir Al-Misbah Jilid 6. Jakarta: Lentera Hati.

Anda mungkin juga menyukai